• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. menjadi 19 lingkungan hukum, adapun lingkungannya sebagai berikut:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. menjadi 19 lingkungan hukum, adapun lingkungannya sebagai berikut:"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Beranekaragamnya suku bangsa yang ada di Indonesia melahirkan banyaknya hukum atau kebiasaan adat pada masing-masing daerah, yang ditiap-tiap daerah memiliki aturan atau norma-norma yang harus dijalankan oleh setiap masyarakatnya. Soepomo menyatakan bahwa hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis didalam peraturan-peraturan legislatif meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib, namun ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum.1Hukum adat memiliki beberapa sifat yang diantaranya adalah bersifat tidak tertulis, dan bersifat dinamis, hal ini menyebabkan terhadap hukum adat senantiasa dapat berkembang dan menyesuaikan diri dengan perkembangan dan perubahan yang terjadi didalam masyarakat. Sehingga yang dimaksud dengan hukum adat adalah suatu sistem yang tidak tertulis, yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat yang bersifat memaksa.

Van Vollenhoven dalam bukunya membagi-bagi seluruh daerah Indonesia menjadi 19 lingkungan hukum, adapun lingkungannya sebagai berikut:

1. Aceh

2. Tanah Gayo-Alas dan Batak beserta Nias 3. Daerah Minangkabau beserta Mentawai

1Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Toko Gunung Agung,

(2)

4. Sumatera Selatan

5. Daerah Melayu (Sumatera Timur, Jambi, Riau) 6. Bangka dan Belitung

7. Kalimantan 8. Minahasa 9. Gorontalo 10. Daerah Toraja 11. Sulawesi Selatan 12. Kepulauan Ternate 13. Maluku, Ambon 14. Irian 15. Kepulauan Timor

16. Bali dan Lombok (beserta Sumbawa Barat) 17. Jawa-Tengah dan Timur (beserta Madura)

18. Daerah-Daerah Swapraja (Surakarta dan Yogyakarta) 19. Jawa-Barat2

Dengan dibaginya lingkungan hukum tersebut maka dapat dikatakan bahwa adanya perbedaan-perbedaan yang terdapat dari masing-masing daerah yang akan menyebabkan terjadinya perbedaan pula terhadap peraturan-peraturan hukum adat yang berlaku dan berkembang di masing-masing daerah tersebut.

Adat dan kebiasaan merupakan salah satu dari sumber hukum. Dengan diterimanya dan dipakainya istilah hukum adat yang kemudian menjadi salah satu cabang ilmu hukum. Tujuan dari mempelajari hukum adat untuk memelihara dan mengembangkan hukum adat sebagai ilmu dan nilai-nilai yang merupakan bagian dari budaya bangsa Indonesia serta berfungsi dalam mempertimbangkan dan menerapkan hukum yang sesuai dengan tuntutan keadilan masyarakat, khususnya dalam kasus-kasus yang berkenaan dengan adat. Setiap masyarakat hukum adat di Indonesia mempunyai bentuk sistem kekerabatan dan sistem kewarisannya masing-masing. Hukum waris adat di Indonesia sangat dipengaruhi oleh sistem kekerabatan yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan. Sistem kekerabatan ini terutama

2

(3)

berpengaruh terhadap penetapan ahli waris maupun bagian harta warisan yang diwariskan, baik yang materil maupun immateril.3

Pluralitas masyarakat dengan adat, budaya dan tradisinya sendiri-sendiri menumbuhkan praktek-praktek hukum adat yang berbeda-beda. Salah satunya hukum waris adat, juga dalam bidang-bidang hukum adat tertentu lainnya yang bergantung pada corak kekerabatan dari masing-masing masyarakat. Secara umum, istilah kekerabatan menggambarkan adanya hubungan darah antara seseorang dengan orang lain. Dalam masyarakat seorang anak dipandang sebagai keturunan dari kedua orang tuanya, sehingga setiap anak mempunyai hubungan kekerabatan yang dapat ditelusuri, baik melalui bapak maupun ibunya. Kerabat yang ditelusuri melalui bapak biasanya disebut patrilineal, kerabat yang melalui ibu biasanya dinamakan matrilineal dan kerabat yang ditelusuri dari kedua belah pihak (ibu dan bapak) disebut parental/bilateral.

Hak waris (hak untuk mendapatkan bagian dari harta warisan) ditetapkan atau diturunkan hanya kepada mereka yang termasuk golongan kekerabatannya. Sementara mereka yang berada diluar garis kekerabatan, misalnya status perempuan pada masyarakat patrilineal atau status laki-laki pada masyarakat matrilineal, tidak terlalu diperhitungkan pada pembagian waris.4 Di Indonesia, hukum waris yang berlaku dan dapat diterima oleh masyarakat ada 4 (empat) macam, yakni hukum waris berdasarkan Hukum Waris Perdata, Hukum Waris Islam, Hukum Waris Adat, dan Hukum Waris menurut Yurisprudensi.

3 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, Hal.

259-260.

4 Otje Salman Soemadiningrat, Rekonsetualisasi Hukum Adat Kontemporer, ALUMNI,

(4)

Perkembangan sosial budaya yang bergerak cepat sekarang ini menimbulkan banyak dampak terhadap kehidupan masyarakat. Perkembangan itu dapat berupa kemajuan pendidikan, perkembangan teknologi, dan hubungan masyarakat yang terbuka dan sangat cepat antar provinsi dan antar suku bangsa, yang dapat dimungkinkan dengan hubungan perkawinan antar suku atau antar daerah, dan hal ini lah sebagian kecil yang dapat mempengaruhi perkembangan sosial masyarakat.

Kelompok Etnis Minangkabau, secara historis dan geografis, dianggap sebagai komunitas yang menyerupai budaya pesisir. Padahal, masyarakat Minangkabau pada dasarnya termasuk kedalam komunitas kelompok pedalaman, karena menempati daerah seputar pegunungan Bukit Barisan (pedalaman Sumatera). Salah satu ciri masyarakat pedalaman adalah kecenderungan menjadikan pertanian sebagai sumber penghidupan mereka. Tetapi, ciri tersebut tidak sepenuhnya melekat pada komunitas Minangkabau. Dalam perspektif perdagangan, komunitas Minangkabau telah berperan penting dalam perdagangan merica (lada) dan emas yang seharusnya dilakukan oleh masyarakat pesisir.5

Seiring dengan berkembangnya zaman, menyebabkan terjadinya angka perpindahan penduduk yang semakin besar, sehingga dengan mudahnya seseorang atau sekelompok orang dapat berpindah dari suatu daerah ke daerah lainnya. Namun meski perpindahan penduduk itu dapat terjadi dengan mudah, tidak demikian dengan hukum adat atau kebiasaan yang berlaku dapat ikut berubah juga, sehingga seseorang

5Amir Sjarifoedin Tj. A, Minangkabau : Dari Dinasti Iskandar Zulkarnain Sampai Tuanku

(5)

atau sekelompok orang yang berpindah ke daerah baru, harus menyesuaikan diri dengan adat kebiasaan yang berlaku didaerah baru yang mereka tempati. Dengan kata lain faktor lingkungan tempat tinggal juga turut mempengaruhi keadaan hukum masyarakat terhadap hukum adatnya, seperti halnya yang terjadi pada masyarakat Minangkabau yang berpindah dan kemudian menetap di Kecamatan Tapaktuan, Aceh Selatan.

Reformasi budaya dan Agama di Minangkabau terjadi sejak kembalinya Syekh Burhanuddin Ulakan dari Aceh pada abad ke-17. Ia menyebarkan dan mengembangkan serta menyiarkan ajaran Islam melalui sistem pendidikan surau secara damai di Minangkabau. Ia juga berusaha memurnikan ajaran Islam dari pengaruh kepercayaan Animistik dan budaya Hindu-Budha, serta menghapus kebiasaan-kebiasaan anak nagari yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.6

Masyarakat Minangkabau sebagai salah satu suku bangsa yang terdapat di Sumatera Barat yang dalam konsep Van Vollenhoven termasuk kedalam 19 lingkungan hukum adat, merupakan masyarakat adat yang sangat kuat dalam hal penerapan hukum adatnya, hal ini salah satunya dapat dilihat pada sistem kewarisannya, walaupun masyarakat Minangkabau hampir keseluruhan beragama Islam, namun dalam hal pembagian warisan Pusako Tingginya tetap mengunakan hukum adat sebagai aturannya, kewarisan Hukum Islam hanya dipergunakan terhadap harta pusako randahnya saja. Pada dasarnya, selagi masyarakat Minangkabau taat memeluk agama Islam dan beriman serta bertaqwa kepada Allah SWT, maka

nilai-6

(6)

nilai yang terkandung di dalam ketentuan Adat nan sabana Adat dan Adat nan Diadatkan akan lestari sepanjang masa. Dan sebagai konsekuensinya, seorang Minangkabau, harus mematuhi ketentuan-ketentuan agamanya yang dipakaikan dalam adat tersebut. Demikian juga struktur masyarakat Minangkabau yang disusun menurut garis keturunan ibu dimana pewarisan sako dan pusako yang telah dimantapkan oleh nenek moyang masyarakat Minangkabau Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang, akan tetap menurut garis ibu.7

Sistem kekeluargaan yang dikenal pada masyarakat Minangkabau adalah sistem matrilineal, yang memiliki ciri adanya keterikatan orang Minangkabau pada ibunya, dan rumah serta pusaka keturunan ibunya. Kaum perempuan di Minangkabau memiliki kedudukan yang istimewa sehingga dijuluki dengan bundo kanduang, yang juga menjadi peranan dalam menentukan keberhasilan pelaksanaan keputusan-keputusan yang dibuat oleh kaum laki-laki.8

Perkawinan dalam masyarakat matrilineal tidaklah menciptakan keluarga inti (nuclear family) yang baru, sebab suami atau istri masing-masingnya tetap menjadi anggota dari garis keturunan mereka masing-masing. Sebab itu pengertian tentang keluarga inti yang terdiri dari ibu, ayah dan anak-anak sebagai suatu unit tersendiri tidak terdapat dalam struktur sosial Minangkabau oleh karena dia selalu ternaung oleh sistem garis keturunan ibu yang lebih kuat. Sebagai akibatnya, anak-anak dihitung sebagai anggota garis keturunan ibu dan selalu lebih banyak melekatkan diri kepada

7Ibid, Hal. 102. 8

(7)

sang ibu serta anggota-anggota lainnya dalam garis keturunan itu. Sistem perkawinan matrilineal di Minangkabau menganut sistem eksogami, yakni mencari jodoh ke luar lingkungan kerabat matrilineal. Sistem ini tidak mengenal pembayaran “jujur” atau “kawin jujur” seperti di Tapanuli. Pada saat perkawinan, suami dijemput oleh keluarga perempuan dengan upacara adat untuk kemudian dibawa ke rumah istri dengan nama “Alek malapeh marapulai” (adat melepas mempelai). Sistem ini menjadikan perkawinan sebagai urusan komunal. Mulai dari pencarian pasangan, membuat persetujuan, pertunangan, upacara perkawinan, bahkan sampai akibat-akibat perkawinan. Sesuai dengan kebersamaan sebagai ciri khas adat dalam masyarakat komunal, maka rumah tangga menjadi urusan bersama pula. Karena sistem ini terkait dengan harta pusako tinggi, maka kedua belah pihak tidak melebur dalam kerabat pasangannya, tetapi tetap menjadi kerabat kaumnya. Keadaan inilah yang menjadikan perkawinan eksogami menjadi rapuh. Istri pantang mengeluh kepada suami, sehingga suami tidak mempunyai beban berat dalam rumah tangganya. Kepemilikan harta oleh perempuan menjadikan ia berkedudukan sama seperti suaminya.9

Hukum waris Minangkabau merupakan bagian hukum adat yang banyak seluk beluknya. Pada satu pihak ini merupakan kelanjutan yang sesuai dengan tertib susunan menurut hukum ibu, akan tetapi pada pihak lain, lebih-lebih pada waktu akhir-akhir ini ia mempunyai sangkut paut pula bahkan bertendensi dipengaruhi

9Fidia Nurul Maulidah, Sistem Perkawinan Matrilineal, diakses pada tanggal 28-

(8)

hukum waris menurut syarak.10Adat diperkokoh oleh syarak, syarak diperkokoh oleh Kitabullah, begitulah pepatah yang menjadi acuan bagi masyarakat Minangkabau. Antara adat dan syarak di Minangkabau keduanya saling memperkuat satu sama lainnya, sehingga semua dapat berjalan bersamaan tanpa adanya kesenjangan. Dalam hal tertentu, ada yang menggunakan adat dan ada yang menggunakan syarak saja, syarak diterima sebagai bagian hukum adat sepanjang menyangkut dengan pahala dan dosa, sah dan batal serta halal dan haram. Selebihnya masyarakat Minangkabau menggunakan hukum adat mereka, seperti halnya pada pembagian warisan. Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah menjadi kerangka pandangan hidup orang Minangkabau yang memberi makna hubungan manusia, Allah Maha Pencipta dan alam semesta, yang betujuan untuk memperjelas kembali jati diri etnis Minangkabau sebagai sumber harapan dan kekuatan yang menggerakkan ruang lingkup kehidupan dan tolak ukur untuk melihat dunia Minangkabau dari ranah kehidupan berbangsa dan bernegara, dan dalam pergaulan dunia.11

Harta warisan pada Masyarakat Minangkabau dapat dibedakan atas apa yang disebut dengan Sako dan Pusako. Sako dalam pengertian Adat Minangkabau adalah segala kekayaan tanpa wujud (kekayaan immaterial), yang dapat berupa gelar dan

10

Chairul anwar, Hukum Adat Indonesia Meninjau Hukum Adat Minangkabau, Rineka Cipta, Jakarta, 1997, Hal .88.

11Buya Masoed Abidin, Penjelasan Filosofi, Penjabaran Dan Implementas Adat Basandi

Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, diakses pada tanggal 18-September-2015,

(9)

jabatan adat yang dipegang oleh saudara laki-laki tertua dari garis keturunan ibu.12 Sedangkan Pusako adalah warisan dalam bentuk kekayaan materi, yang terdiri dari harta Pusako Tinggi, dan harta Pencaharian (Pusako Randah). Harta Pusako Tinggi adalah harta warisan yang diwariskan secara turun menurun dari satu generasi ke generasi berikutnya yang telah melawati beberapa generasi.13 Harta warisan yang diberikan dapat berupa harta yang berwujud benda tetap dan benda tidak berwujud, yang mana benda-benda tersebut umumnya terletak di kampung asal. Harta Pencaharian (Pusako Randah) adalah harta warisan yang baru diturunkan dari satu generasi saja, yang berasal dari hasil pencaharian kakek bersama nenek atau ayah bersama ibu.14Harta Pusaka Rendah ini dapat dibagi kepada anak laki-laki dan anak perempuan sesuai dengan hukum Fara’idh.

Perkembangan hukum waris adat Minangkabau ditandai dengan hasil Rapat Adat yang berlangsung di Bukit Tinggi pada tanggal 02-04 Mei 1952 dan di kuatkan dengan Seminar Hukum Adat Minangkabau pada tanggal 21-25 Juli 1968, yang menetapkan bahwa harta orang Minangkabau itu terbagi atas dua bahagian, yaitu : Harta Pusaka (Pusako Tinggi), dan Harta Pencaharian (Pusako Randah).15

Menurut Hukum Islam, harta haruslah diturunkan sesuai dengan fara’idh yang sudah diatur pembagiannya antara pihak perempuan dan laki-laki. Namun di

12Amir MS, Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang, Mutiara Sumber

Widya, Jakarta, 2003, Hal. 91.

13Mochtar Naim (ed), Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris Adat, Center for

Minangkabau Studies press, Padang, 1968, Hal. 85

14Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Indonesia menurut : Perundangan, Hukum Adat,

Hukum Agama Hindu-Islam, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, Hal. 39

(10)

Minangkabau sesuai dengan ketentuan adatnya, seluruh harta pusako tinggi diturunkan kepada anggota keluarga perempuan dari garis keturunan ibu, hal ini menimbulkan kontroversi dari sebagian ulama. Ulama Minangkabau yang paling keras menentang pengaturan harta pusako tinggi yang tidak mengikuti hukum waris Islam adalah Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Syeikh Tahir Jalaluddin Al-Azhari, dan Agus Salim. Ahmad Khatib Al-Minangkabawi imam dan khatib Masjidil Haram Mekkah, menyatakan bahwa harta pusako tinggi termasuk harta syubhat, sehingga haram untuk dimanfaatkan. (Hamka, Agustus 1985).16 Namun berbeda dengan pendapat Syeikh Abdul Karim yang mengambil jalan tengah dengan memfatwakan bahwa harta pusako tinggi termasuk kategori wakaf, yang boleh dimanfaatkan oleh pihak keluarga, namun tidak boleh diperjualbelikan.17

Bagi masyarakat Minangkabau yang sudah tinggal menetap pada suatu daerah lain diluar daerah Minang (perantauan), seperti di Kecamatan Tapaktuan, dapat menyebabkan terjadinya perbedaan terhadap pelaksanaan hukum adatnya, khususnya dalam hal kewarisan yang digunakan, dimana dulunya memakai sistem kewarisan Harta Pusako tinggi, dan Harta Pencaharian (Pusako Randah).

Pada umumnya, para perantau Minang ini mampu menyesuaikan diri dengan adat istiadat serta kebudayaan daerah rantaunya. Hampir tidak pernah terjadi konflik dengan masyarakat tempatan yang menjadi tuan rumahnya. Mungkin sekali hal ini berpedoman kepada pepatah bijak Minangkabau: ”Dimano bumi dipijak, disitu langik

16Ibid, Hal. 206 17

(11)

dijunjung” yang bermakna menghargai kultur dan budaya setempat tanpa harus kehilangan kultur budaya sendiri.18

Pada awal merantaunya masyarakat Minangkabau ke Kecamatan Tapaktuan, tidak sedikit dari mereka yang masih menggunakan hukum adat Minangkabau dalam penyelesaian masalah-masalah yang terjadi, khususnya dalam hal pewarisan. Meski pembagian harta pusako tinggi ditujukan pada harta yang terletak di daerah asal (Minangkabau), masyarakat Minangkabau masih terus membagi harta pusako tinggi tersebut, dengan mensiasati cara pengelolaannya, yaitu dengan cara tinggal sementara selama 3 (tiga) bulan di Minangkabau dan kembali lagi ke Tapaktuan untuk 6 (enam) bulan berikutnya, seperti itu seterusnya.19 Hal ini tidak dibenarkan, kecuali jika ada ”dunsanak” kemenakan yang kehidupannya agak susah di perantauan boleh kembali kekampung untuk mengurus harta itu.20 Sehingga dapat dilihat bahwa masyarakat Minang perantauan dapat membagi harta pusako tinggi, namun harus kembali ke Minangkabau (Menetap).

Kecamatan Tapaktuan memiliki 2 (dua) suku asli, yaitu suku Aceh dan suku Aneuk Jamee. Suku Aneuk Jamee di Aceh adalah masyarakat keturunan Minangkabau, yang nenek moyang mereka telah merantau dari Ranah Minang sejak berabad-abad yang lalu.21 Yang mana didalam kehidupan sehari-hari mereka masih menggunakan Bahasa Minangkabau dengan dialek Aceh.

18Ibid, Hal. 654

19Wawancara dengan Bapak Atiak, orang yang dituakan oleh masyarakat Minangkabau di

Tapaktuan, tanggal 28- Agustus-2015 di Tapaktuan

20Amir Sjarifoedin Tj. A, Op. Cit, Hal. 210 21Ibid, Hal. 668

(12)

Berdasarkan Badan Pusat Statistik Kabupaten Aceh Selatan pada tahun 2010 Kecamatan Tapaktuan memiliki jumlah penduduk lebih kurang 22.463 jiwa, yang dulunya dihuni oleh hampir sebagian besar masyarakat yang berasal dari suku Aneuk Jamee dan juga dihuni oleh masyarakat yang berasal dari suku Aceh, namun dikarenakan adanya kematian dan pencampuran perkawinan dari kedua suku tersebut (suku Aneuk Jamee dan suku Aceh), maka sekarang jumlah populasi masyarakat yang berasal dari suku Aneuk Jamee asli hanya sebanyak 30% dari keseluruhan jumlah populasi yang ada di Kecamatan Tapaktuan.22

Daerah Aceh merupakan daerah yang sangat kental dengan nilai keIslamannya, dikarenakan hampir seluruh penduduk Aceh beragama Islam, sehingga segala sesuatu yang dijalankan dalam kehidupan sehari-hari selalu berpegangan kepada Hukum Islam. Hukum adat Aceh pertama kali dikemukan oleh Snouck Hurgrounje seorang ahli sastra timur dari Belanda (1894) yang pernah belajar agama Islam di Arab. Sebelum istilah hukum adat berkembang, dulu dikenal istilah adat Recht. Snouck Hurgrounje dalam bukunya De Atjehers (Aceh) pada tahun 1893-1894 menyatakan hukum rakyat Indonesia yang tidak dikodifikasi adalah De Atjehers atau hukum adat Aceh. Rakyat Aceh memutuskan suatu perkara adat berdasarkan jumhur Ulama yang memiliki peranan penting di Aceh.23 Termasuk dalam hal pembagian warisan, baik waris secara adat maupun waris secara hukum Islamnya. Hukum waris

22Wawancara dengan Bapak Muslidin, Staf kantor Badan Pusat Statistik Aceh Selatan, di

Tapaktuan, tanggal 22-Agustus-2015 di Tapaktuan

23Teuku Asri, Menegenal dan Memahami Adat Aceh serta Budaya Aceh, diakses pada tanggal

28-September-2015, http://atjehliterature.blogspot.co.id/2013/04/mengenal-dan-memahami-adat-Aceh-serta-budaya-Aceh.html?m=1

(13)

adat di Aceh selalu seiring dan sejalan dengan Hukum Islam yang mana memiliki peran penting didalam masyarakat.

Hukum waris Islam adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkenaan dengan peralihan hak dan atau kewajiban atas harta kekayaan seseorang setelah meninggal dunia kepada ahli warisnya. Hukum waris Islam disebut juga dengan hukum fara’idh, yang berarti kewajiban yang harus dilaksanakan, Sumbernya ialah Al-Qur’an dan Hadist.24 Proses peralihan harta dari orang telah meninggal kepada yang masih hidup dalam hukum kawarisan Islam mengenai 3 tiga unsur yaitu, pewaris, harta warisan dan ahli waris.

“Hukum waris Islam adalah salah satu hukum yang paling sempurna petunjuknya dari nash, dan ilmu hukum ini adalah ilmu yang paling cepat hilang dimuka bumi menurut Hadist Rasulullah”.25

Secara teoritis, masyarakat Indonesia sekalipun ia beragama Islam, umumnya dalam melaksanakan hukum waris masih banyak dipengaruhi oleh Hukum Adat masing-masing. Hal ini dapat dilihat dari berbagai teori bagaimana berlakunya hukum waris Islam dan hukum waris Adat yaitu dengan teori Reception In Complexu (bagi orang Islam berlaku Hukum Islam termasuk didalamnya hukum waris) dari L. W. C. Van Den Berg, kemudian dibantah oleh Snouck Hogronje dengan teori Receptie menyebutkan bahwa Hukum Islam tidak secara otomatis berlaku bagi orang yang beragama Islam, Hukum Islam berlaku apabila sudah diterima oleh hukum adat. 24Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Islam, Raja Grafindo Utama, Jakarta,

2002, Hal. 20.

(14)

Kemudian muncul lagi bantahan terhadap teori tersebut, yaitu teori Receptie Exit yang diperkenalkan oleh Hazairin, yang menyebutkan bahwa semua peraturan perundang-undangan yang berlaku pada zaman Hinda-Belanda yang berdasarkan teori receptie bertentangan dengan jiwa UUD 1945, dengan demikian teori Receptie itu harus exit atau keluar dari tata hukum Indonesia merdeka. Setelah itu terhadap teori tersebut dikembangkan lagi oleh Sayuti Thalib, yaitu teori Receptio a Contrario, yang menyebutkan hukum adat baru berlaku jika tidak bertentangan dengan Hukum Islam. Sebagai kelanjutan dari teori Receptie Exit dan teori Receptio a Contrario muncullah teori Eksistensi dari Ichtijanto S.A yang menerangkan adanya Hukum Islam dan hukum Nasional Indonesia.26

Masyarakat Minangkabau yang menganut sistem kekerabatan matrilineal dan mayoritas beragama Islam dalam pembagian warisannya juga dipengaruhi oleh sistem pewarisan Islam, namun tidak keseluruhan sistem kewarisannya mengikuti sistem pewarisan secara Islam, melainkan hanya pada pewarisan harta Pusako Randah sajanya. Sedangkan terhadap harta Pusako Tinggi, masyarakat Minangkabau lebih mengedepankan hukum adat. Hal ini dapat dilihat dalam pembagian warisan secara harta Pusako Tinggi pada masyarakat Minangkabau, yang mendapatkan bagian besar atau pewarisnya adalah anak perempuan.

Berbeda dengan di Aceh yang menganut sistem kekerabatan parental/bilateral dan sangat didasarkan pada Hukum Islam, karena hampir keseluruhan dari

26Muhammad Daud Ali, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum di Indonesia Cet:III, Rajawali

(15)

masyarakat yang tinggal di Aceh menganut agama Islam, dimana dalam Hukum Islam yang mendapat bagian warisan adalah anak laki-laki dan anak perempuan, namun besar bagian yang ditentukan adalah lebih besar bagian laki laki, yaitu laki-laki mendapat dua bagian lebih besar dari pada anak perempuan. Besarnya bagian warisan yang diterima oleh laki-laki dalam Hukum Islam sejalan dengan hukum adat pada masyarakat Aceh, khususnya di Kecamatan Tapaktuan.

Dari uraian diatas dapat terlihat adanya perbedaan sistem kekerabatan yang dianut oleh masing-masing daerah, yang mana hal ini akan berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat apabila mereka berada disuatu daerah yang sama. Dengan adanya perbedaan sistem kekerabatan diantara kedua masyarakat adat tersebut maka akan menimbulkan perbedaan dalam penerapan hukum adat yang digunakan, khususnya dalam hal hukum kewarisannya. Maka untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai pembagian waris adat ini akan diteliti lebih lanjut dan kemudian dituangkan dalam sebuah tesis yang berjudul : “Perkembangan Hukum Waris Adat Minangkabau Dalam Pembagian Warisan Pada Masyarakat Minangkabau Di Kecamatan Tapaktuan, Aceh Selatan”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah Perkembangan Hukum Waris Adat Minangkabau di Kecamatan Tapaktuan ?

(16)

2. Bagaimanakah Pelaksanaan Pembagian Harta Warisan pada masyarakat Minangkabau di Kecamatan Tapaktuan?

3. Bagaimanakah Hambatan yang terjadi dalam Pelaksanaan Hukum Waris Adat Minangkabau di Kecamatan Tapaktuan?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui perkembangan hukum waris Adat Minangkabau di Kecamatan Tapaktuan.

2. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan pembagian harta warisan pada masyarakat Minangkabau di Kecamatan Tapaktuan.

3. Untuk mengetahui hambatan yang terjadi dalam pelaksanaan hukum waris Adat Minangkabau di Kecamatan Tapaktuan.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian yang dilaksanakan ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menyumbang pemikiran di bidang hukum yang akan mengembangkan disiplin ilmu hukum, khususnya dalam disiplin ilmu hukum waris adat terutama berkaitan dengan bidang warisan.

Secara praktis, diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai masukan untuk para praktisi hukum, notaris, masyarakat umum, akademisi tentang cara pembagian warisan secara adat.

(17)

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran pada perpustakaan Universitas Sumatera Utara, khususnya di Program Magister Kenotariatan dan Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, belum ada penelitian sebelumnya tentang “Perkembangan Hukum Waris Adat Minangkabau Dalam Pembagian Warisan Pada Masyarakat Minangkabau Di Kecamatan Tapaktuan, Aceh Selatan”. Namun, penulis menemukan ada beberapa tesis karya mahasiswa, yang menyangkut masalah warisan pada masyarakat Minang, namun permasalahan dan bidang kajiannya sangat jauh berbeda, yaitu :

1. Tesis atas nama Desriati, NIM : 027011010, dengan judul penyelesaian sengketa harta Pusako tinggi di Minangkabau.

Dengan rumusan masalah :

a. Faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya sengketa harta Pusako tinggi di Kota Padang.

b. Bagaimana cara yang dilakukan untuk menyelesaikan sengketa harta Pusako tinggi di Kota Padang

c. Bagaimana keberhasilan Kerapatan Adat Nagari (KAN) di Kota Padang dalam menyelesaikan sengketa harta Pusako tinggi.

d. Bagaimana upaya pemerintah Kota Padang untuk memaksimalkan fungsi KAN dalam menyelesaikan sengketa.

2. Tesis atas nama Kikky Febriasi, NIM : 127011123, dengan judul Perkembangan Syarat Menggadai Tanah Harta Pusako tinggi dalam Masyarakat Adat Minangkabau di Kabupaten Agam Nagari Kamang Mudiak.

(18)

Dengan rumusan masalah:

a. Bagaimana pelaksanaan gadai tanah harta Pusako tinggi di Kabupaten Agam Nagari Kamang Mudiak?

b. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan dilakukannya gadai atas tanah harta Pusako tinggi di Kabupaten Agam Nagari Kamang Mudiak?

c. Bagaimana dampak dari adanya perkembangan syarat adat menggadai tanah harta Pusako tinggi di Kabupaten Agam Nagari Kamang Mudiak?

3. Tesis atas nama Cahaya Masita Nasution, NIM :047011007, dengan judul Pelaksanaan Pembagian Warisan pada Masyarakat Adat Minangkabau (Studi Kasus di Kabupaten Agam).

Dengan rumusan masalah:

a. Bagaimanakah Penerapan Hukum Waris Adat dan Hukum Waris Islam pada Masyarakat Adat Minangkabau di Kabupaten Agam?

b. Bagaimanakah Peranan Mamak Kepala Waris dalam pembagian harta warisan pada masyarakat adat Minangkabau di Kabupaten Agam?

c. Bagaimanakah cara penyelesaian sengketa harta warisan yang terjadi pada masyarakat Minangkabau di Kabupaten Agam?

4. Tesis atas nama Yunasril, NIM : 017011067, dengan judul Sengketa Warisan dan Upaya Penyelesaiannya Pada Masyarakat Adat Minangkabau (Studi Kasus di Kabupaten Solok)

Dengan rumusan masalah:

(19)

b. Faktor-faktor apa yang menyebabkan timbulnya sengketa waris dalam masyarakat adat di Kabupaten Solok?

c. Kaidah hukum apa yang di pakai untuk penyelesaian sengketa warisan pada masyarakat adat di Kabupaten Solok?

Dari penelusuran kepustakaan tersebut diatas, ternyata bahwa kelompok bahasan dari permasalahan yang diajukan, lain dari penelitian tesis yang pernah dilakukan, sehingga dengan demikian, maka penelitian ini adalah asli, serta dapat dipertanggungjawabkan keasliannya secara ilmiah.

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori adalah menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi, suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta– fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.27 Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan atau petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati. Kerangka teori merupakan teori yang dibuat untuk memberikan gambaran yang sistematis mengenai masalah yang diteliti. Teori diartikan sebagai suatu sistem yang beriskan proporsi–proporsi yang telah di uji kebenarannya, berpedoman kepada teori maka akan dapat menjelaskan aneka macam gejala sosial yang dihadapi, walau hal ini tidak selalu berarti adanya pemecahan terhadap masalah yang dihadapi, suatu teori juga mungkin memberikan pengarahan 27JJJ.Wuisman, Penyunting M. Hisyam, Penelitian Ilmu Sosial Jilid 1, Universitas Indonesia

(20)

pada efektifitas penelitian yang dijalankan dan memberikan taraf pemahaman tertentu.28

Sebagai tolak ukur menganalisis permasalahan yang akan diteliti karena suatu teori atau kerangka teori harus mempunyai kegunaan paling sedikit mencakup hal-hal sebagai berikut :

a. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diteliti atau diuji kebenarannya.

b. Teori sangat berguna dalam mengembangkan konsep-konsep

c. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar dari pada hal-hal yang telah diketahui serta diuji kebenarannya yang meyangkut objek yang telah diteliti. d. Teori memberikan kemungkinan prediksi fakta mendatang, oleh karena telah

diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang.

e. Teori memberikan petunjuk–petunjuk terhadap kekurangan pada pengetahuan penelitian.29

Sedangkan kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir butir, pendapat, teori, tesis, mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan pegangan teoritis, yang mungkin disetujuinya.30

Sehubungan dengan pembahasan diatas, maka penelitian ini perlu mempunyai landasan fikir, yaitu berupa teori-teori hukum yang akan digunakan adalah sebagai

28Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UII Press, Jakarta, 1991, Hal.6

29J. Satrio, Hukum Perikatan : Perikatan Pada Umumnya, Alumni, Bandung, 1993, Hal. 254 30M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, PT. Sofmedia, Medan, 2012, Hal. 129

(21)

berikut : Teori ‘Urf (Adat yang sesuai dengan ajaran Islam) dan Teori Perubahan Hukum.

a. Teori Urf’ (Adat yang sesuai dengan ajaran Islam)

Secara terminologi, kata urf’ ini didefinisikan dengan kebiasaan mayoritas ummat dalam penilaian satu perkataan atau perbuatan. Urf’ ini merupakan salah satu dalil dalam menetapkan hukum syarak.31 Adat kebiasaan seperti juga halnya dengan aspek-aspek kemasyarakatan lainnya, adalah berbeda-beda sesuai keadaan tempat dan waktu. Pada setiap waktu, ia mengambil watak dan sifat yang khusus yang berbeda dari pada adat kebiasaan lainya.32

Dengan kata lain, ada dua macam adat kebiasaan, pertama yang bersifat umum, yaitu kebiasaan yang dianut oleh seluruh rakyat dari suatu bangsa mengenai perbuatan-perbuatan yang termasuk mu’amalah. Kedua yang bersifat khusus, yaitu yang dianut oleh sebagian daerah saja dari suatu negara. Akan tetapi keduanya ini tetap dianggap sebagai ketentuan hukum yang mengikat.33

Adat kebiasaan pada permulaan perkembangan umat manusia menjadi asas bagi semua aspek-aspek kemasyarakatan, maka dengan sendirinya merupakan asas pula dalam masalah-masalah agama, akhlak, dan mu’amalat. Barulah kemudian peranannya secara berangsur-angsur menjadi berkurang, yaitu setelah lahirnya pengadilan-pengadilan dan lembaga-lembaga kenegaraan dan adanya penyusunan

31Zamakhsyari, Teori- teori Hukum Islam Dalam Fiqih dan Ushul Fiqih, Citapustaka Media

Perintis, Bandung, 2013, Hal. 117

32Sayuthi Thalib, Receptio A Contrario, Bina Aksara, Jakarta, Hal. 119

(22)

hukum perundang-undangan. Sehingga pada saat sekarang ini lingkup pengaruh adat semakin kecil lagi.34

Menurut Imam Al-Qarafi, Ahli Fikih Mazhab Maliki, seorang mujtahid dalam menetapkan suatu hukum harus terlebih dalulu meneliti kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat setempat, sehingga hukum yang ditetapkan itu tidak bertentangan atau menghilangkan kemaslahatan masyarakat tersebut.35

Salah satu bukti sahih intergrasi Hukum Islam dengan hukum adat yang terbentuk di dunia Islam adalah ungkapan yang menjadi dasar filsafat adat masyarakat Minangkabau, sebagai hasil dari pertauatan adat dan agama Islam. “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”. Adat berarti kebiasaan atau tradisi masyarakat yang telah dilakukan berulang kali secara turun temurun. Kata adat disini lazim dipakai tanpa membedakan mana yang mempunyai sanksi, seperti hukum adat, dan mana yang tidak memliki sanksi, seperti disebut adat saja. Basandi artinya “bersendikan atau menjadi dasar dari sesuatu itu menjadi kokoh”. Syarak berarti Agama Islam. Kitabullah berarti “Al-Qur’an dan sekaligus Sunnah Rasulullah S.A.W sebagai penjelasan dari Al-Qur’an. Dengan demikian Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, berarti adat Minangkabau bersendikan syari’at Islam dan syari’at Islam bersendikan Kitabullah.36

34M. Idris Ramulyo, Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Peradilan Agama Dan Hukum

Perkawinan, Ind. Hill Co, Jakarta, Hal. 120

35Zamakhsyari, Op. Cit, Hal. 124 36Ibid, Hal. 131-132

(23)

b. Teori Perubahan Hukum

Syariat adalah hukum yang berasal dari Tuhan, baik mengenai sumbernya maupun dasar-dasarnya. Karena memahami Syariat adalah Fikih. Syariat tidak akan berubah, sedangkan Fikih terus berubah dengan perubahan keadaan tempat, waktu dan kepentingan. Hukum yang berkaitan dengan kemasyarakatan berlangsung dengan tiada hentinya sesuai dengan kemaslahatan manusia kerena perubahan gejala-gejala kemasyarakatan. Dan oleh karena kemaslahatan manusia itu menjadi dasar setiap macam hukum, maka sudah menjadi kelaziman yang masuk akal apabila terjadi perubahan hukum disebabkan karena berubahnya zaman dan keadaan serta pengaruh dari gejala-gejala kemasyarakatan itu.

Kaidah ini menetapkan, bahwa yang dimaksud dengan kemaslahatan yang terkandung didalamnya, ialah kemaslahatan menurut pandangan Syariat dan Fikih Islam. Dan oleh karena apa yang disebut kemaslahatan itu menjadi alasan dan asas hukum, maka seharusnya pengertian ini diikuti dengan kaidah lain, yaitu bahwa jika alasan itu sudah tiada lagi ataupun sudah berubah, maka hukum yang berdasarkan atas alasan dan asas tersebut harus ditinggalkan ataupun harus dirubah.37 Hukum bergantung kepada kemaslahatan, dimana ada kemaslahatan disitu ada hukum, yang mana kemaslahatan umum lebih diutamakan dari pada kemaslahatan pribadi atau kelompok.38

37Ibid, Hal. 161

(24)

2. Kerangka Konsepsi

Konsepsi adalah pemahaman yang terbangun dalam akal dan pikiran peneliti untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstrak dan kenyataan. Konsep di artikan sebagai suatu kata yang menyatukan abstrak yang digeneralisasikan dari hal– hal yang khusus yang disebut definisi operasional. Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan haruslah didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil dalam penelitian ini yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan. Konsep merupakan alat yang digunakan oleh hukum disamping yang lainnya, seperti asas dan standar. Oleh sebab itu kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan penting dalam hukum.39

Agar tidak terjadi kesalahfahaman terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam tesis ini, maka perlu diuraikan pengertian-pengertian konsep yang dipakai, yaitu sebagai berikut:

a. Hukum waris adat adalah waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda (immaterele goerderen) dari suatu angkatan manusia (generalite) kepada turunannya.40

b. Hukum kewarisan menurut Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 171 huruf (a) adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi 39Sumardi Surya Brata, Metodelogi Penelitian, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998,

Hal. 4

(25)

ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing. Hukum kewarisan baru dapat berlaku jika pewaris adalah beragama Islam dan yang menerima juga beragama Islam. Dengan demikian pelaksanaan hukum waris bagi umat Islam merupakan Ibadah.

c. Pembagian Warisan adalah saat dilakukannya pembagian harta warisan peninggalan pewaris yang dilakukan oleh ahli waris.

d. Masyarakat Minangkabau di Kecamatan Tapaktuan adalah orang atau sekelompok orang yang telah merantau dari Minangkabau dan tinggal menetap di Tapaktuan lebih dari 20 tahun lamanya.41

e. Adat Minangkabau adalah aturan hidup bermasyarakat di Minangkabau yang diciptakan oleh leluhurnya yaitu, Datuak Perpatieh Nan Sabatang dan Datuak Katumanggung. Ajaran-ajarannya membedakan secara tajam antara manusia dengan hewan di dalam tingkah laku dan perbuatan, yang didasarkan kepada ajaran-ajaran berbudi baik dan bermoral mulia sesama manusia dan alam lingkungannya.42

f. Adat Aceh adalah budaya yang dijalani oleh masyarakat yang adat istiadatnya sangat berkaitan dengan Islam. Kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat Aceh tidak bertentangan dengan ajaran Islam.43

41

Wawancara dengan Bapak Atiak, orang yang dituakan oleh masyarakat Minangkabau di Tapaktuan, tanggal 28- Agustus-2015, di Tapaktuan

42Idrus Hamkimy DT. Rajo Penghulu, Pokok-pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau,

PT.Remaja Rosdakarya, Bandung, 2004, Hal. 13

43Maya Ismaini, Makalah Adat dan Budaya Aceh, diakses pada tanggal 21-Juni-2016,

(26)

g. Tapaktuan adalah sebuah Kecamatan yang berada di bagian pantai Selatan Provinsi Aceh yang merupakan ibu kota Kabupaten Aceh Selatan. Tapaktuan atau yang juga sering disebut Kota Naga merupakan kota yang dihuni oleh 2 (dua) suku, yaitu Suku Aceh dan Suku Aneuk Jamee.

G. Metode Penelitian

Penelitian hukum atau suatu kegiatan ilmiah didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau segala hukum dengan jalan menganalisanya.44 Metodelogi yang dimaksud berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu, sistematis, berdasarkan suatu sistem dan konsisten berarti tidak bertentangan dengan suatu kerangka tertentu.45

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian hukum Empiris, yaitu suatu penelitian hukum yang mempergunakan data primer yaitu data yang didapat langsung melalui penelitian lapangan dengan melihat sesuatu berdasarkan kenyataan hukum didalam masyarakat, melihat aspek-aspek hukum dalam interaksi sosial didalam masyarakat yang berfungsi sebagai sumber utama untuk mengidentifikasi dan mengklarifikasi temuan bahan non hukum bagi keperluan penelitian atau penulisan hukum.46 Penelitian empiris atau sosiologis yang dibutuhkan untuk mengamati bagaimana reaksi dan interaksi yang terjadi ketika 44Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo, Persada,

Jakarta, 2001, Hal. 42

45Roni Hanitijo, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia,Jakarta, 1988,

Hal. 105

(27)

sistem norma tersebut bekerja didalam masyarakat.47Yang berupa penerapan kaedah-kaedah Hukum Islam yang terkait terhadap perilaku masyarakat dalam melakukan pembagian warisan pada masyarakat Minangkabau di Aceh.

2. Sumber Data

Sumber data penelitian ini meliputi :

a. Data Primer, data yang diperoleh langsung dari sumbernya baik melalui wawancara, observasi (baik partisipasi maupun non partisipasi), laporan-laporan yang kemudian diolah dimasukkan dalam kategori data sekunder. Adapun yang akan diwawancarai adalah sebagai berikut :

1. Responden

Yang menjadi sumber dalam penelitian ini adalah masyarakat adat Minangkabau yang tinggal dan telah menetap di Kecamatan Tapaktuan. Adapun penarikan sampel dilakukan dengan menentukan jumlah sampel penelitian sebanyak 30 (tiga puluh) keluarga masyarakat adat Minangkabau yang telah melakukan pembagian warisan di Kecamatan Tapaktuan, dengan menggunakan metode Purposive Sampling atau ditentukan sendiri oleh peneliti dari keseluruhan populasi masyarakat adat Minangkabau di Kecamatan Tapaktuan yang diperkirakan dapat mewakili.

47Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,

(28)

2. Informan

Untuk melengkapi data penelitian, diperlukan tambahan informasi dari nara sumber yaitu orang yang dianggap mengetahui dan berkompeten dengan objek penelitian yang terdiri dari :

1. Ketua Ikatan Masyarakat Minangkabau Indonesia (IKAMI) 2. Keuchik Kelurahan Pasar, Tapaktuan

3. Imuem Mesjid Tuo, Kelurahan Padang, Tapaktuan

b. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian dalam bentuk laporan, skripsi, tesis, disertasi, dan Peraturan Perundang-Undangan. Data sekunder tersebut dapat dibagi menjadi:

1. Bahan Hukum Primer

Bahan Hukum Primer ialah salah satu sumber hukum yang penting bagi sebuah penelitian ilmiah hukum yang bersifat yuridis normatif. Bahan hukum primer meliputi bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat bagi landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian. Bahan hukum yang difokuskan oleh peneliti adalah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hukum keluarga, hukum waris adat dan hukum waris Islam.

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan dan memperkuat bahan hukum primer, seperti hasil-hasil

(29)

penelitian, hasil karya pakar hukum, buku teks, buku bacaan hukum, jurnal-jurnal, serta bahan dokumen hukum lain yang terkait.

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum penunjang yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedi, kamus bahasa, artikel, sumber data elektronik dari internet dan lain-lain yang relevan dengan penelitian ini. 3. Teknik dan Alat Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penulisan tesis ini, maka penulis menggunakan 2 (dua) metode, yakni :

a. Penelitian Kepustakaan (Library Research)

Yaitu pengumpulan data sekunder dalam penelitian tesis ini berupa hasil-hasil penelitian, hasil-hasil karya pakar hukum, buku teks, buku bacaan hukum, jurnal-jurnal, dan dokumen yang berkaitan dengan objek yang diteliti yang berkaitan dengan bidang keperdataan khususnya hukum keluarga, hukum waris adat dan hukum waris Islam.

b. Penelitian Lapangan (Field Research)

Yaitu pengumpulan data primer yang di peroleh langsung dari informan dan responden dengan cara menggunakan kuisioner terbuka. Dan untuk melengkapi data-data yang butuh juga dilakukan wawancara. Daftar kuisioner dan wawancara dilakukan dengan berpedoman pada daftar pertanyaan yang

(30)

telah disusun terlebih dahulu sehingga diperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini.

4. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Kecamatan Tapaktuan, Aceh Selatan. Dengan pertimbangan bahwa 30% jumlah populasi masyarakat di Kecamatan Tapaktuan adalah masyarakat Minangkabau asli yang telah menetap di Kecamatan Tapaktuan.48

5. Analisis Data

Analisa data merupakan hal yang sangat penting dalam suatu penelitian dalam rangka memberikan jawaban terhadap masalah yang di teliti.49 Analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikan kedalam suatu pola, kategori dan satuan urutan dasar.50 Dalam penelitian ini analisis data di lakukan pedekatan kulitatif. Pendekatan kualitatif adalah merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang di amati.51

Data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan dan data primer yang diperoleh dari penelitian lapangan dalam bentuk wawancara kemudian dikumpulkan dan dikelompokkan sesuai dengan data yang sejenis. Data yang terkumpul dipilah-pilah dan diolah, serta disusun secara berurutan dan sistematis 48Wawancara dengan Bapak Muslidin, Staf kantor Badan Pusat Statistik Aceh Selatan,

tanggal 22-Agustus-2015 di Tapaktuan

49Heru Irianto dan Burhan Bungin, Pokok-pokok Penting Tentang Wawancara dalam

Metodologi Penelitian Kualitatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, Hal. 143.

50Lexy J. Moleong. Metode Kualitatif. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2004. Hal. 3 51Ibid

(31)

untuk selanjutnya dianalisis secara kualitatif dengan metode deskriptif analisis sehingga dapat diperoleh gambaran secara menyeluruh tentang gejala dan fakta yang terdapat dalam perkembangan hukum waris masyarakat Minangkabau yang berada di Tapaktuan. Atas dasar pembahasan dan analisis ini maka dapat ditarik kesimpulan dengan menggunakan kerangka berfikir Induktif.

Referensi

Dokumen terkait

Sehubungan itu, definisi yang terperinci diberikan oleh Jurnal al-Insan wa al-Mujtama’ (Zarawih 2016) berhubung definisi sinkretisme (talfiqiyyah) dalam bidang sains sosial

Analisis jalur (path analysis) merupakan model dasar yang digunakan untuk menganalisis jalur dalam mengestimasi kekuatan dari hubungan-hubungan kausal yang

Pada email gigi terdapat akumulasi ikatan kimia antara tanin dengan protein sehingga mengakibatkan ketika dilakukan pengukuran kekerasan email gigi, akumulasi tersebut

Adapun tujuan penelitian yang akan dilakukan adalah, untuk Mengetahui Hubungan Pendidikan Akhlak dengan Perilaku Keagamaan Siswa Kelas X SMK Tunggal Cipta Manisrenggo Klaten?.

Hasil yang diperoleh dari penelitian di SMA Laboratorium Percontohan UPI yaitu (1) pelaksanaaan peningkatan perilaku disiplin belajar siswa dalam pembelajaran PKn

Berdasarkan hasil studi kasus dan pembahasan pada bab sebelumnya, maka dapat diambil beberapa simpulan antara lain penulis menyusun resume keperawatan yaitu

Dan setelah mendengar pembelaan dari terdakwa yang disampaikan secara lisan yang pada pokonya mohon keringanan hukuman atau dihukum seringan-ringannya, maka hakim memutus