• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEDUDUKAN KUASA HUKUM DALAM PROSES PENDAFTARAN PERKARA GUGATAN SEDERHANA Oleh: Fatchur Rochman, S.H. ( )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEDUDUKAN KUASA HUKUM DALAM PROSES PENDAFTARAN PERKARA GUGATAN SEDERHANA Oleh: Fatchur Rochman, S.H. ( )"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

1 KEDUDUKAN KUASA HUKUM DALAM PROSES PENDAFTARAN PERKARA

GUGATAN SEDERHANA Oleh:

Fatchur Rochman, S.H. (199403312017121005)

A. PENDAHULUAN

Pasca ditetapkannya Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana, untuk selanjutnya disebut sebagai Perma GS, babak baru penyelesaian perkara perdata di Indonesia telah terbuka. Gugatan sederhana, atau yang juga dikenal dengan sebutan small claim court, merupakan gugatan perdata dengan nilai gugatan materil paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), yang diselesaikan dengan tata cara pembuktian sederhana. Selain menentukan batas maksimal nilai gugatan materil, gugatan sederhana juga mengatur mengenai batasan-batasan lain sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 Perma GS.

Dengan mengusung asas peradilan cepat, sederhana dan berbiaya ringan, Perma GS hadir dengan sejumlah ketentuan yang membuat penyelesaian perkara menjadi lebih cepat, sederhana dan berbiaya ringan daripada penyelesaian perkara melalui gugatan biasa. Salah satu ketentuan yang dimaksud di atas adalah Para pihak dalam gugatan sederhana terdiri dari penggugat dan tergugat yang masing-masing tidak boleh lebih dari satu, kecuali memiliki kepentingan hukum yang sama sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4 ayat (1) Perma GS. Ketentuan tersebut diperkuat dengan adanya kewajiban penggugat dan tergugat untuk menghadiri secara langsung setiap persidangan dengan atau tanpa didampingi oleh kuasa hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4 ayat (4) Perma GS. Dengan adanya ketentuan ini, kuasa hukum hanya berkedudukan sebagai pendamping para pihak prinsipal dalam setiap persidangan.

Hanya saja, tata cara penyelesaian gugatan sederhana tidak hanya terbatas pada persidangan semata. Pasal 5 ayat (2) Perma GS telah mengatur bahwa terdapat 8 (delapan) tahapan penyelesaian perkara gugatan sederhana. Apabila dipaduserasikan dengan pembagian teknis administrasi peradilan perdata umum sebagaimana yang diatur dalam Buku II Mahkamah Agung Republik Indonesia, hanya terdapat 3 (tiga) dari 8 (delapan) tahapan penyelesaian perkara gugatan sederhana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 ayat (2) Perma GS yang termasuk dalam ruang

(2)

2

lingkup persidangan. Lantas, yang menjadi persoalan adalah apakah kedudukan kuasa hukum sebagai pendamping para pihak prinsipal hanya sebatas pada 3 (tiga) tahapan penyelesaian semata, atau meliputi semua tahapan penyelesaian perkara gugatan sederhana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 ayat (2) Perma GS. Oleh karena itu, mentee tertarik untuk menulis paper yang berjudul “Kedudukan Kuasa Hukum Dalam Proses Pendaftaran Perkara Gugatan Sederhana”.

B. PERMASALAHAN

Berdasarkan uraian di atas, mentee mengajukan dua rumusan masalah yaitu:

1. Berkaitan dengan kedudukan kuasa hukum dalam proses pendaftaran perkara gugatan sederhana, apakah seorang kuasa hukum boleh mengajukan gugatan sederhana di Kepaniteraan Pengadilan?

2. Berkaitan dengan proses pendaftaran perkara gugatan sederhana bagi pihak penggugat yang didampingi oleh kuasa hukum, hal apakah yang harus diperhatikan oleh Kepaniteraan Pengadilan dalam penerimaan perkara gugatan sederhana?

C. PEMBAHASAN

1. Kedudukan Kuasa Hukum Dalam Pengajuan Gugatan Sederhana

Berkaitan dengan hukum acara dalam penyelesaian gugatan sederhana, Perma GS mengatur secara rinci tata cara pemeriksaan terhadap gugatan sederhana. Pemeriksaan terhadap gugatan sederhana dilakukan oleh Hakim tunggal yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan dan harus diselesaikan paling lama 25 (dua puluh lima) hari kerja sejak hari sidang pertama. Apabila ada pihak yang tidak puas terhadap putusan hakim tunggal tersebut, satu-satunya upaya hukum yang dapat dilakukan adalah dengan mengajukan keberatan dalam tempo paling lambat 7 (tujuh) hari setelah putusan diucapkan atau setelah pemberitahuan putusan. Keberatan ini akan diputuskan oleh majelis hakim sebagai putusan akhir dan tidak tersedia upaya hukum lagi setelahnya, baik upaya hukum banding, kasasi, maupun peninjauan kembali terhadap putusan tersebut.

Hukum acara dalam penyelesaian gugatan sederhana juga mengatur adanya Pemeriksaan Pendahuluan. Pada tahap ini, hakim berwenang untuk menilai dan menentukan apakah suatu perkara merupakan gugatan sederhana atau bukan. Apabila Hakim berpendapat bahwa suatu gugatan tidak termasuk dalam gugatan sederhana, Hakim mengeluarkan penetapan yang menyatakan bahwa gugatan tersebut bukan gugatan sederhana, mencoret dari register perkara dan memerintahkan pengembalian sisa biaya perkara kepada penggugat. Terhadap penetapan tersebut tidak dapat diajukan upaya hukum apapun.

(3)

3

Berkaitan dengan kuasa hukum, terminologi kuasa hukum hanya disebutkan satu kali dalam Perma GS, yaitu dalam Pasal 4 ayat (4) Perma GS yang menyatakan bahwa “Penggugat dan tergugat wajib menghadiri secara langsung setiap persidangan dengan atau tanpa didampingi oleh kuasa hukum”. Aria Suyudi menjelaskan bahwa aturan itu sebenarnya mengandung penekanan bahwa para pihak tidak perlu menggunakan jasa advokat. Hal ini dimaksudkan agar agar proses peradilan lebih efektif dan efisien (litigation of efficiency) serta berbiaya ringan. Lebih lanjut, Aria Suyudi menjelaskan bahwa perkara gugatan sederhana sesungguhnya tidak dirancang sebagai sengketa, tetapi mencari solusi atas persoalan hukum yang dihadapi para pihak secara cepat dan sederhana.1 Lebih Lanjut, Ridwan Mansyur dan D.Y. Witanto mengungkapkan bahwa kewajiban para pihak untuk hadir secara langsung dalam proses persidangan merupakan implementasi atas prinsip yang dianut dalam Perma GS, yaitu adanya keterlibatan langsung dari pihak prinsipal sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4 ayat (1) Perma GS. Keterlibatan langsung dari pihak prinsipal tersebut bertujuan agar proses penyelesaian perkara bisa dilakukan dengan lebih cepat dan sederhana.2 Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa efektifitas dan efisiensi penyelesaian perkara menjadi komponen penting yang melandasi pembentukan Perma GS

Salah satu hal yang menarik untuk diperhatikan dalam Pasal 4 ayat (4) Perma GS adalah adanya frase “wajib menghadiri secara langsung setiap persidangan”. Dengan adanya frase

tersebut, Perma GS hendak menyatakan bahwa kuasa hukum tidak dapat mewakili para pihak yang berperkara. Kata wajib dalam ketentuan tersebut menunjukkan adanya ketentuan imperatif untuk menghadirkan pihak prinsipal dalam setiap persidangan kendati kuasa hukumnya hadir dalam persidangan. Jika ketentuan tersebut tidak dipenuhi, akibat hukum yang ditimbulkan adalah kehadiran kuasa hukum yang tanpa dihadiri pula oleh pihak prinsipal tidak akan dipandang sebagai sebuah kehadiran untuk memenuhi panggilan sidang.3 Dengan demikian, Perma GS melakukan

penerobosan terhadap prinsip perwakilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 123 ayat (1) HIR. Sebagaimana disebutkan di awal bahwa tata cara penyelesaian gugatan sederhana tidak hanya terbatas pada persidangan semata. Pasal 5 ayat (2) Perma GS mengatur secara rinci mengenai tahapan penyelesaian perkara gugatan sederhana. Terdapat 8 (delapan) tahapan penyelesaian

1 Agus Sahbanim Gugatan Sederhana Boleh Tanpa Jasa Advokat,

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt55e935c0ecded/gugatan-sederhana-boleh-tanpa-jasa-advokat, diakses 1 Desember 2018 pukul 20.54 wib.

2 Ridwan Mansyur dan D.Y. Witanto, Gugatan Sederhana: Teori, Praktik dan Permasalahannya, Pustaka Dewa,

Jakarta, 2017, hlm. 83

(4)

4

perkara gugatan sederhana yang terdiri atas (1) Pendaftaran, (2) Pemeriksaan kelengkapan gugatan sederhana, (3) Penetapan hakim dan penunjukan panitera pengganti, (4) Pemeriksaan pendahuluan, (5) Penetapan hari sidang dan pemanggilan para pihak, (6) Pemeriksaan sidang dan perdamaian, (7) Pembuktian, dan (8) Putusan. Apabila merujuk pada pembagian teknis administrasi peradilan perdata umum sebagaimana yang diatur dalam Buku II Mahkamah Agung Republik Indonesia, 8 (delapan) tahapan penyelesaian perkara gugatan sederhana dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu tahap penerimaan perkara, persiapan persidangan dan persidangan. Tahap penerimaan perkara gugatan sederhana meliputi pendaftaran, dan pemeriksaan kelengkapan gugatan sederhana. Tahapan persiapan persidangan terdiri atas penetapan hakim dan penunjukan panitera pengganti, pemeriksaan pendahuluan, penetapan hari sidang, dan pemanggilan para pihak, sedangkan tahap persidangan terdiri atas pemeriksaan sidang dan perdamaian, pembuktian dan putusan. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa kuasa hukum tidak dapat mewakili kepentingan pihak penggugat pada persidangan. Dengan demikian, kuasa hukum tidak dapat mewakili kepentingan pihak penggugat pada tahapan pemeriksaan sidang dan perdamaian, pembuktian dan putusan.

Berkaitan dengan pengajuan gugatan sederhana, Ridwan Mansyur dan D.Y. Witanto mengungkapkan bahwa prinsip keterlibatan langsung pihak prinsipal dilaksanakan pada setiap tahapan penyelesaian gugatan sederhana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 ayat (2) Perma GS. Meskipun Perma tidak menentukan bahwa kuasa hukum tidak boleh mewakili Penggugat untuk mendaftarkan gugatannya di pengadilan, tetapi karena prinsip yang dianut oleh Perma adalah keterlibatan langsung para prinsipalnya, maka pihak pengadilan berhak untuk meminta prinsipalnya untuk langsung datang ke pengadilan untuk menandatangani surat gugatannya.4 Apabila merujuk pendapat Satjipto Rahardjo yang menyatakan bahwa hak dari satu pihak akan melahirkan kewajiban pada pihak lain yang dituju untuk memenuhi hak yang dibenarkan tersebut,5 pendapat Ridwan Mansyur dan D.Y. Witanto di atas, terdapat kewajiban bagi pihak prinsipal untuk langsung datang ke pengadilan untuk menandatangani surat gugatannya. Dengan demikian, Ridwan Mansyur dan D.Y. Witanto berpendapat bahwa kuasa hukum penggugat tidak dapat mengajukan gugatan sederhana untuk dan atas nama penggugat.

4Ibid.

(5)

5

Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa tidak semua orang dapat mengajukan gugatan ke pengadilan. Syarat utama untuk dapat diterimanya gugatan di pengadilan untuk diperiksa adalah adanya kepentingan hukum yang cukup sebagai penjelmaan atas prinsip point d’interest, point

d’action. Lebih lanjut, Mahkamah Agung dalam putusannya tertanggal 7 Juli 1971 Nomor 294 K/Sip/1971 mensyaratkan bahwa gugatan harus diajukan oleh orang yang mempunyai hubungan hukum. Dengan demikian, penentuan suatu pihak memiliki kewenangan untuk mengajukan gugatan atau tidak terletak pada ada atau tidaknya hubungan hukum.

Hubungan hukum (rechtsbetrekkingen) adalah hubungan antara dua subyek hukum atau lebih mengenai hak dan kewajiban di satu pihak berhadapan dengan kewajiban di pihak lainnya. Hubungan hukum memerlukan syarat berupa adanya dasar hukum atau adanya peristiwa hukum.6 Berbeda dengan Pasal 6 ayat (1) Perma GS yang menyatakan bahwa “Penggugat mendaftarkan gugatannya di Kepaniteraan pengadilan”, Pasal 118 ayat (1) HIR menyatakan bahwa “Gugatan perdata …. harus dimasukkan dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh penggugat atau oleh wakilnya menurut Pasal 123 HIR…”. Tidak digunakannya “atau oleh wakilnya” dalam Pasal

6 ayat (1) Perma GS menandakan bahwa pendaftaran gugatan dalam gugatan sederhana memang didesain untuk dilaksanakan secara langsung oleh Penggugat. Hal ini berarti bahwa kuasa hukum tidak memiliki dasar hukum untuk mengajukan gugatan sederhana di Kepaniteraan Pengadilan.

Ketiadaan dasar bagi kuasa hukum untuk mengajukan gugatan sederhana di Kepaniteraan Pengadilan memiliki akibat hukum bahwa kuasa hukum tidak berhak untuk mewakili pihak prinsipal dalam pendaftaran perkara. Kedudukan hukum kuasa hukum dalam proses pendaftaran perkara gugatan sederhana hanyalah sebatas pendamping bagi pihak prinsipal. Hal ini juga berarti bahwa penerobosan prinsip perwakilan sebagaimana dalam Pasal 123 HIR berlaku pula dalam proses pendaftaran perkara gugatan sederhana Dengan demikian, kuasa hukum tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam melakukan pendaftaran gugatan sederhana sehingga kuasa hukum tidak berwenang untuk mendaftarkan gugatan dalam perkara gugatan sederhana di Kepaniteraan pengadilan dalam rangka untuk mewakili kepentingan kliennya (pihak prinsipal).

2. Penerimaan Kelengkapan Gugatan Sederhana Bagi Penggugat Yang Didampingi Oleh Kuasa Hukum

Merujuk pada ketentuan Pasal 5 ayat (2) Perma GS, salah satu tahapan dalam tata cara penyelesaian gugatan sederhana adalah tahapan pendaftaran sebagaimana yang dijelaskan dalam

(6)

6

Pasal 6 Perma GS. Pasal 6 Perma GS tidak membedakan proses pendaftaran perkara gugatan sederhana yang dilakukan oleh penggugat, baik dengan atau tanpa didampingi oleh kuasa hukum. Inti pengaturan dalam pasal tersebut adalah Penggugat mendaftarkan gugatannya di Kepaniteraan pengadilan dengan cara mengisi blanko gugatan yang disediakan yang berisi keterangan mengenai identitas penggugat dan tergugat, penjelasan ringkas duduk perkara dan tuntutan penggugat. Selain itu, penggugat wajib melampirkan bukti surat yang sudah dilegalisasi pada saat mendaftarkan gugatan sederhana.

Berkaitan dengan blanko gugatan, Buku Saku Gugatan Sederhana Mahkamah Agung memberikan rincian alur pendaftaran perkara gugatan sederhana bahwa Penggugat mengajukan gugatan secara mandiri dengan mengisi formulir atau blanko gugatan berupa Formulir Gugatan Sederhana sebagaimana terdapat dalam Lampiran 3 Formulir Gugatan Sederhanayang tersedia di kepaniteraan pengadilan negeri setempat.7 Formulir Gugatan Sederhana sejatinya memiliki formulasi yang sama dengan surat gugatan (biasa), yaitu ditujukan (dialamatkan kepada Ketua Pengadilan Negeri sesuai dengan kompetensi relatif, diberi tanggal, adanya identitas para pihak,

fundamentum petendi yang dalam Formulir Gugatan Sederhana disebut sebagai alasan Penggugat, dan petitum. Perbedaan antara Formulir Gugatan Sederhana dengan surat gugatan (biasa) terletak pada penanda tangan dan adanya penyebutan alat bukti. Namun, hal yang harus diperhatikan dalam proses pendaftaran perkara gugatan sederhana bagi pihak penggugat yang didampingi oleh kuasa hukum adalah pihak yang menandatangani formulir gugatan sederhana tersebut.

Tanda tangan (handtekening, signature), pada umumnya merupakan tanda atau inisial nama yang dituliskan dengan tangan sendiri oleh penanda tangan. Tanda tangan menjadi formulasi yang harus ada, baik dalam Formulir gugatan sederhana maupun surat gugatan (biasa). Perbedaannya adalah penandatanganan surat gugatan (biasa) dapat dilaksanakan oleh kuasanya, asalkan pada saat kuasa ditandatangani, lebih dahulu telah dibuat dan diberikan surat kuasa khusus. Dengan demikian, penandatangan oleh kuasa hukum menjadi sah asalkan pemberi kuasa memberikan kuasa kepada penerima kuasa untuk menandatangani surat gugatannya dan hal tersebut tercantum dalam surat kuasa khusus.8

Berbeda dengan gugatan (biasa), gugatan sederhana melakukan penerobosan terhadap prinsip perwakilan sebagaimana dalam Pasal 123 HIR dalam proses pendaftaran perkara gugatan

7 Mahkamah Agung RI dkk, op.cit., hlm. 17-18.

(7)

7

sederhana. Akibat hukum dari penerobosan ini adalah kuasa hukum tidak berwenang untuk mewakili pihak prinsipal dalam pendaftaran perkara, tetapi hanya berwenang untuk mendampingi prinsipal. Dengan demikian, peraturan perundang-undangan mengatur bahwa kuasa hukum tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan gugatan dalam perkara gugatan sederhana di pengadilan dalam rangka untuk mewakili kepentingan kliennya (pihak prinsipal). Lantas, bagaimana apabila dalam surat kuasa, pemberi kuasa memberikan kuasa kepada penerima kuasa untuk mengajukan, membuat dan menadatangani formulir gugatan sederhana?

Pemberian kuasa, sejatinya, tidak hanya bersifat mengatur hubungan internal antara pemberi kuasa dan penerima kuasa, akan tetapi, hubungan hukum itu langsung menerbitkan dan memberi kedudukan serta kapasitas kepada kuasa untuk menjadi wakil penuh (full power) pemberi kuasa, yaitu memberi hak dan kewenangan (authority) kepada kuasa untuk bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa terhadap pihak ketiga. Dalam ikatan hubungan hukum yang dilakukan kuasa dengan pihak ketiga, pemberi kuasa berkedudukan sebagai pihak materiil atau principal atau pihak utama, dan penerima kuasa berkedudukan dan berkapasitas sebagai pihak formil. Akibat hukum dari hubungan tersebut adalah segala tindakan yang dilakukan kuasa kepada pihak ketiga dalam kedudukannya sebagai pihak formil, sepanjang menyangkut hal-hal yang diperjanjikan dan tidak melebihi apa yang dikuasakan kepadanya, mengikat kepada pemberi kuasa sebagai principal

(pihak materiil).9 Dengan demikian, setiap pemberian kuasa mengandung penyerahan perwakilan kepada penerima kuasa sehingga penerima kuasa langsung bertindak mewakili pemberi kuasa.10

Secara umum, surat kuasa tunduk pada prinsip hukum yang diatur dalam Bab Keenam belas Buku II Burgerlijk Wetboek, atau yang lazimnya dikenal dengan sebutan KUH Perdata. Merujuk pada Pasal 1792 KUH Perdata, pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seseorang memberikan kekuasaan kepada seseorang lain, yang menerimanya untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.11 Pemberian kuasa merupakan sebuah perjanjuan yang bersifat konsensual (consensuale overeenkomst), yaitu perjanjian yang berdasarkan kesepakatan sehingga syarat sah perjanjian sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1320 KUH Perdata haruslah terakomodir dalam pemberian kuasa.

9Ibid., hlm. 2-3.

10 Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Jakarta, 1982, hlm. 306

11 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Paradnya Paramita, Jakarta, 2007, hlm.

(8)

8

Berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata, salah satu syarat sah perjanjian adalah adanya kausa yang halal. Arrest HR. tertanggal 17 November 1922 memberikan pengertian pada kausa sebagai apa yang menjadi tujuan para pihak, yaitu apa yang dituju oleh para pihak dengan menutup perjanjian tersebut (jadi tujuan bersama).12 Berdasarkan Pasal 1337 KUH Perdata, kausa perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, maupun dengan ketertiban umum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1337 KUH Perdata. Akibat hukum dari tidak dipenuhinya ketentuan ini adalah perjanjian tersebut batal demi hukum sehingga perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada (null and void) mengingat kausa yang halal merupakan syarat objektif dari suatu perjanjian. Dengan demikian, segala ketentuan yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, maupun dengan ketertiban umum, kendati telah disetujui oleh kedua belah pihak, dianggap tidak pernah ada (null and void). Oleh karena itu, kuasa hukum tidak memiliki kewenangan untuk menandatangani surat gugatan kendati telah dikuasakan mengenai hal tersebut. Apabila kuasa hukum menandatangani formulir gugatan sederhana, formulir yang ditandatangani oleh kuasa hukum tersebut tidak sah menurut ketentuan Pasal 4 ayat (4) jo Pasal 6 ayat (1) Perma GS.

Berkaitan dengan pihak penggugat yang tuna aksara, gugatan yang diajukan dapat dilakukan secara lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri, yang mencatat gugatan tersebut atau menyuruh mencatatnya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 120 HIR. Hal ini sesuai pada Pasal 32 Perma GS yang menyatakan bahwa “ketentuan hukum acara perdata tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dalam Peraturan Mahkamah Agung ini” sehingga ketentuan mengenai pengajuan

gugatan secara lisan dapat dilaksanakan berdasarkan hukum acara yang berlaku. Menurut Yahya Harahap, ketentuan ini melepaskan rakyat kecil yang tidak mampu menunjuk seorang kuasa atau pengacara dan membantu masyarakat tuna aksara yang tuidak mampu membuat dan menformulasikan gugatan tertulis. Hal ini juga berkesesuaian dengan tujuan adanya Perma GS, yaitu untuk mewujudkan proses peradilan yang lebih efektif dan efisien (litigation of efficiency).

Namun, surat gugatan tersebut harus tetap ditandatangani sendiri oleh penggugat. Apabila penggugat tidak mengerti mengenai tanda tangan, maka penggugat dapat membubuhkan cap jempol di atas surat gugatan sebagai pengganti tanda tangan berdasarkan St. 1919-776.13 Menurut

12 J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian Buku II, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995,

hlm. 62-63

(9)

9

St. 1919-776, cap jempol, berupa cap ibu jari tangan disamakan dengan tanda tangan (handtekening), akan tetapi agar benar-benar sah sebagai pengganti tanda tangan, cap jempol tersebut harus dilegalisasi oleh Pejabat yang berwenang (camat, hakim atau panitera).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penanda tangan formulir gugatan sederhana merupakan hal yang penting yang harus diperhatikan dalam proses penerimaan perkara gugatan sederhana di Kepaniteraan Pengadilan. Apabila formulir gugatan sederhana tersebut tidak ditandatangani oleh Penggugat, maka pihak pengadilan berhak untuk meminta prinsipalnya untuk langsung datang ke pengadilan untuk menandatangani surat tersebut. Apabila pihak prinsipal tidak bisa hadir langsung ke pengadilan untuk menadatangani surat tersebut, maka petugas penerima berkas mengembalikan berkas tersebut.

D. Penutup 1. Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, kesimpulan yang dapat diambil adalah:

1. Kedudukan kuasa hukum yang mendampingi pihak penggugat dalam proses pendaftaran perkara gugatan sederhana hanyalah sebatas sebagai pendamping. Oleh karena itu, Kuasa hukum tidak boleh mengajukan gugatan dalam perkara gugatan sederhana di pengadilan dalam rangka untuk mewakili kepentingan kliennya (pihak prinsipal).

2. Dalam penerimaan gugatan sederhana, yang harus diperhatikan adalah penanda tangan formulir gugatan sederhana. Kendati didampingi oleh kuasa hukum, penggugat wajib untuk mengajukan gugatan secara mandiri di Kepaniteraan Pengadilan dan menandatangani gugatan tersebut. Apabila kuasa hukum menandatangani formulir gugatan sederhana, formulir yang ditandatangani oleh kuasa hukum tersebut tidak sah menurut ketentuan Pasal 4 ayat (4) jo Pasal 6 ayat (1) Perma GS dan berkas dikembalikan.

2. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, berikut rekomendasi yang diajukan oleh mentee.

1. Menambahkan kata “yang ditandatangani oleh Penggugat” pada checklist perkara perdata gugatan sederhana Panitera Muda Perdata Pengadilan Negeri Sumedang Kelas I B. Dalam SOP Perdata Gugatan Sederhana bernomor W11.U13/01/APM-SOP/PDT/2018, kegiatan 2 menyatakan bahwa Petugas Meja I Panitera Muda Perdata meneliti kelengkapan berkas gugatan, dan untuk meneliti kelengkapan berkas tersebut, Petugas Meja I Panitera Muda Perdata menggunakan checklist. Oleh karena itu, penambahan kata tersebut berfungsi

(10)

10

sebagai pengingat bagi Petugas Meja I Panitera Muda Perdata bahwa yang menandatangani surat gugatan haruslah penggugat sendiri;

2. Membuat papan pengumuman yang berisi informasi bahwa surat gugatan pada perkara gugatan sederhana haruslah dibuat oleh penggugat sendiri sebagai media sosialisasi dan pembelajaran bagi masyarakat mengenai tata cara pembuatan surat gugatan dalam gugatan sederhana.

3. Melakukan revisi terhadap Perma GS dengan menghilangkan frase “setiap persidangan” pada Pasal 4 ayat (4) Perma GS sehingga memperkuat kedudukan kuasa hukum sebagai pendamping dari pihak prinsipal pada setiap tahapan penyelesaian gugatan sederhana.

DAFTAR PUSTAKA Peraturan Perundang-Undangan:

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana

Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor KMA/032/SK/IV/2006 tentang Pemberlakuan Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan

KUH Perdata HIR

Buku:

Harahap, Yahya. 1982. Segi-segi Hukum Perjanjian. Jakarta : Alumni. ---. 2017. Hukum Acara Perdata. Jakarta:Sinar Grafika.

Mahkamah Agung Republik Indonesia. 2009. Buku II Mahkamah Agung Republik Indonesia : Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Edisi 2007.

R. Subekti dan R. Tjitrosudibio. 2007. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta:Paradnya Paramita.

Rahardjo, Satjipto. 2007. Ilmu Hukum. Bandung : Citra Aditya.

Ridwan Mansyur dan D.Y. Witanto. 2017. Gugatan Sederhana: Teori, Praktik dan Permasalahannya. Jakarta: Pustaka Dewa.

Satrio, J. 1995. Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian Buku II. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Soeroso, R. 2011. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. Sudarsono. 2007. Kamus Hukum. Jakarta:PT Rineka Cipta

Sumber Internet:

Agus Sahbanim. Gugatan Sederhana Boleh Tanpa Jasa Advokat,

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt55e935c0ecded/gugatan-sederhana-boleh-tanpa-jasa-advokat, diakses 1 Desember 2018 pukul 20.54 wib.

Mahkamah Agung RI dkk, Buku Saku Gugatan Sederhana, https://www.pshk.or.id/wp-content/uploads/2017/03/Buku-Saku-Gugatan-Sederhana.pdf, diakses 22 November 2018 pukul 20.54 wib.

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil perhitungan statistik muncul secara konsisten bahwa hipotesis awal yang diasumsikan pada awal penulisan penelitian ini yang menyatakan bahwa Persepsi

Apabila harga transaksi dalam suatu pasar yang tidak aktif berbeda dengan nilai wajar instrumen sejenis pada transaksi pasar terkini yang dapat diobservasi atau berbeda dengan

Informasi tentang Profil Pegawai Kabupaten Sekretaris PPID Pembantu Tentatif Soft copy dan Hard Selama berlaku Website BKDD... Ringkasan Program dan

Dalam penelitian hukum ini penulis menggunakan bahan hukum primer yaitu putusan Mahkamah Agung nomor 1541 K/Pid.Sus/2013 atas nama terdakwa Kartini Hutapea,

Melihat nilai kisaran hematokrit yang diperoleh pada anak burung maleo dan dibandingkan dengan nilai lasaran hematokrit berbagai jenis burung di atas dapat dikatakan nilai

• Fungsi yang digunakan untuk mengambil nilai terendah dari suatu range dalam program pengolah angka adalah ……

Mencari solusi untuk setiap potongan kecil mungkin memberikan perspektif yang lebih baik dari mana untuk menentukan bagaimana potongan elemen kembali bersama-sama

Karya tulis ilmiah ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan strata satu (S1) pada Program Studi Ilmu Administrasi Niaga,