• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV NURCHOLISH MADJID DAN SEKULARISASI. A. Latar Belakang Pemikiran Nurcholish Madjid

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV NURCHOLISH MADJID DAN SEKULARISASI. A. Latar Belakang Pemikiran Nurcholish Madjid"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

82

BAB IV

NURCHOLISH MADJID DAN SEKULARISASI

A. Latar Belakang Pemikiran Nurcholish Madjid 1. Kondisi Sosial Budaya

Nurcholish Madjid mendapatkan pendidikan keagamaan sejak kecil dari ayahnya, yaitu Abdul Madjid. Beliau mengajarkan Nurcholish membaca Al-Qur’an sejak usia 6 tahun. Walaupun lulusan Sekolah Rakyat (SR), Abdul Madjid fasih berbahasa Arab dan memegang kuat tradisi pesantren. Masyarakat di sekitarnya memanggil beliau “Kiai Haji”, sebagai penghormatan atas peranannya mengajarkan agama Islam, terutama di madrasah yang dikelolanya yaitun Madrasah al-Wathoniyah di Mojoanyar, Jombang (Barton, 1999: 72).

Nurcholish Madjid (selanjutnya disebut Cak Nur) dilahirkan pada tanggal 17 Maret 1939 di desa Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur. Seperti ayahnya, Nurcholish sekolah di Sekolah Rakyat pada pagi hari dan belajar agama Islam di Madrasah al-Wathoniyah pada saat sore hari. Nurcholish meraih prestasi yang baik di sekolahnya juga di madrasah. Kemudian pada usia 14 tahun, Nurcholis madjid belajar di pesantren Dârul-‘Ulûm Rejoso di Jombang (Barton, 1999: 72-74).

Ayahnya Nurcholish Madjid, yaitu Abdul Madjid, merupakan salah seorang murid Kiai Hasyim Asy’ari di pesantren Tebuireng, Jombang. Wawasan keagamaan beliau banyak dipengaruhi oleh Hasyim Asy’ari sebagai

(2)

83

guru dan pembimbingnya. Bahkan Abdul Madjid pernah dinikahkan dengan cucu Hasyim Asy’ari, yaitu Nyai Kiai Adlan Ali; walaupun kemudian bercerai dan dinikahkan dengan gadis lain, yaitu ibu Nurcholish Madjid, atas pilihan Hasyim Asy’ari. Karena penghormatan beliau terhadap Hasyim Asy’ari, maka Abdul Madjid mengikuti langkah Kiai Hasyim Asy’ari untuk bergabung ke dalam partai Masyumi (Barton, 1999: 73).

Jika meninjau masa kecil Nurcholish sekitar tahun 1930-an, beliau telah dapat menempuh pendidikan formal, berarti keluarganya dianggap memiliki pengaruh dalam status sosial dan status ekonominya. Penerapan “politik etis” sebagai kebijakan pemerintahan Hindia Belanda saat itu memang memberikan kesempatan yang lebih luas bagi masyarakat Indonesia menempuh pendidikan. Sistem pendidikan yang lengkap, yang berkembang terutama dalam periode 1892-1920, memberikan dasar yang kokoh bagi perkembangan sistem pendidikan Indonesia modern (Nasution, 1987: 152-154). Akan tetapi, pada masa tahun 1930-an ketika sebagian besar wilayah Indonesia berada dalam kondisi memperjuangkan kemerdekaannya, pendidikan menjadi hal yang sulit bagi masyarakat Indonesia.

Berkaitan dengan latar belakang sosialnya, Nurcholis Madjid dianggap memiliki kelebihan yang dimiliki elit pedesaan saat itu. Nur Khalik Ridwan (2002: 39) menyatakan kelebihan latar belakang sosial Nurcholish yaitu dalam beberapa hal: “(1) Cak Nur lahir dari keluarga haji atau Kiai Haji; (2) Cak Nur lahir dari keluarga yang terdidik; (3) Cak Nur berasal dari keluarga yang

(3)

84

cukup mampu. Sehingga, Nurcholish tidak mengalami kesulitan untuk mendapatkan kesempatan menempuh pendidikan yang layak.

Nurcholish Madjid mendapatkan pendidikan dari ayahnya dalam dua lingkungan yang berbeda. Karena keluarganya berasal dari lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) dan ayahnya merupakan salah seorang pemimpin partai politik Masyumi (dalam http://tokohindonesia.com/ensiklopedi/n/nur cholismadjid/index.shtml, 8/07/2009). Nurcholish dianggap tumbuh besar dalam lingkungan keagamaan yang berbeda karena Nadlatul Ulama dianggap mewakili kaum konservatif, sedangkan para pendukung partai Masyumi saat itu dianggap kaum Modernis (Saridjo, 2005: 34).

Berdasarkan pertimbangan latar belakang keagamaan Nurcholish, Barton mengklasifikasikan pemikiran beliau dalam tipologi Neo-Modernisme. Karena Nurcholish dibesarkan dalam lingkungan yang menekankan tradisi Islam klasik dan di sisi lainnya beliau mendapatkan pendidikan yang modern dan progresif. Barton (1999: 5) menguraikan bahwa “Gerakan neo-Modernisme ini, yang seringkali lahir dari pemikir Islam seperti Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid, mencerminkan perkembangan Modernisme Islam lebih jauh di zaman keahlian dan pengetahuan klasik maupun tradisional digabungkan dengan pendekatan aktual dalam menafsirkan sebuah teks, …”.

Varian pemikiran (tipologi) yang diberikan oleh Barton kepada Nurcholish Madjid, yaitu sebagai tokoh neo-Modernisme merujuk pada pandangan Fazlur Rahman mengenai sejarah gerakan pembaruan Islam. Barton (1999: 9) mengutip pembagian sejarah gerakan pembaruan Islam

(4)

85

selama dua abad terakhir tersebut, yaitu menjadi empat macam gerakan: 1) Gerakan Revivalis di akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 (yaitu gerakan Wahhabiyah di Arab, Sanusiyah di Afrika Utara dan Fulaniyah di Afrika Barat), 2) Gerakan Modernis (yang dipelopori India oleh Sayyid Ahmad Khan, di seluruh Timur Tengah oleh Jamal al-Din al-Afghani, dan di Mesir oleh Muhammad Abduh), 3) Neo-Revivalisme (yang modern namun agak reaksioner, contohnya Mawdudi dan kelompoj Jama’ati Islami di Pakistan), dan 4) Neo-Modernisme (Fazlur Rahman sendiri mengkategorikan dirinya ke dalam wilayah terakhir ini dengan alasa karena neo-Modernisme mempunyai sintesis progresif dari rasionalitas Modernis dengan ijtihad dan tradisi klasik). Pemikiran Fazlur Rahman tersebut dianggap memiliki kontribusi untuk memperluas pemahaman Nurcholish dalam menggabungkan tradisi Islam klasik dengan modernisme, walaupun sebenarnya sejak kecil Nurcholish sudah terpengaruh dengan dua lingkungan tersebut.

Di dunia sekolah Nurcholish Madjid memperlihatkan grafik prestasi akademik yang luar biasa, khususnya selama belajar di madrasah dan di pesantren Dârul-‘Ulûm. Namun, pendidikan agama yang dijalani pesantren Dârul-‘Ulûm tidak lama diikuti Nurcholish Madjid. Setelah dua tahun berada di pesantren Dârul-‘Ulûm yang merupakan pesantren NU, Nurcholish menerima kritikan yang negatif dari teman-temannya karena ayahnya tetap bergabung dengan partai Masyumi. Oleh karena itu, kemudian ayahnya memindahkan Nurcholish Madjid ke pesantren modern Gontor di Ponorogo, Jawa Timur (Barton, 1999: 74-75).

(5)

86

Pendidikan yang dialami Nurcholish Madjid di pesantren Dârul-‘Ulûm Rejoso di Jombang cukup berpengaruh juga terhadap perkembangan ilmu agamanya. Seperti yang dipaparkan Nur Khalik Ridwan (2002: 45-46),

Kalau Cak Nur masuk pada tahun 1952, berarti pesantren Darul Ulum sedang dipegang oleh tiga serangkai: K.H. Tamim Ramli, K.H. Dahlan Khalil dan K.H. Ma’sum Khalil… Pada tahun 1952 (merujuk angka Cak Nur masuk di Darul Ulum), di pesantren ini sudah diperkenalkan pendidikan diniyyah tingkat Ibtida’iyah dan Mu’allimin. Pada tahun yang sama pesantren ini sedang mengalami perkembangan yang pesat. Kalau merujuk bahwa Cak Nur hanya dua tahun di pesantren ini, antara 1952-1954, berarti ia masih menyaksikan kejayaan pesantren Darul Ulum.

Pada tahun 1955, Nurcholish dipindahkan ke Pesantren Modern Dârusaalâm Gontor di Ponorogo. Walaupun pesantren tersebut dikenal sebagai pesantren Masyumi, tetapi anak didiknya berasal dari berbagai kelompok Islam yang berbeda seperti NU dan Muhammadiyah. Proses pemindahan Nurcholish ke sekolah yang berbeda tidak mengalami kesulitan karena beliau tidak berada dalam keluarga yang memiliki masalah biaya dan kebutuhan hidup. Problem Nurcholish terletak pada bagaimana memilih sekolah yang lebih kondusif baginya. Dalam konteks tersebut, dapat dipercaya jika Nurcholish memiliki prestasi yang baik dan selalu menjadi juara kelas di Gontor (Ridwan, 2002: 49-50).

Gontor pada waktu itu sudah memiliki semacam sistem madrasah yang berintegrasi dengan sistem pondok pesantren klasik, sehingga santri harus tinggal di asrama. Orang-orang yang menempati asrama adalah orang-orang yang mampu membayar biaya tempat atau iuran bulanan. Sehingga pendidikan seperti itu hanya bisa dijangkau bagi mereka yang mampu membayar berbagai biaya tersebut (Ridwan, 2002: 52).

(6)

87

Jika diukur dengan masa sekarang, pendidikan di Gontor ketika Nurcholish Madjid nyantri di akhir 1950-an, pola pendidikan yang dikembangkan dapat dianggap sebagai pendidikan yang progresif. Kurikulum Gontor menghadirkan perpaduan yang liberal, yakni tradisi belajar klasik dengan gaya modern Barat, yang diwujudkan secara baik dalam pengajaran maupun mata pelajarannya. Para santri yang belajar di pesantren Gontor, tidak hanya diproyeksikan mampu menguasai Arab klasik, tetapi juga bahasa Inggris (Barton, 1999: 75).

Penguasaan bahasa menjadi sangat bermanfaat bagi Nurcholish ketika beliau mendalami bahasa Arab di IAIN Jakarta, serta mampu mengikuti perkembangan dunia yang membutuhkan kemampuan berbahasa Inggris ketika kemudian beliau melakukan studi di luar negeri. Dijelaskan dalam Ridwan (2002: 54), bahwa sebelumnya di Gontor, Nurcholish menjalani program sekolah yang mewajibkan santri-santrinya berbicara dengan Bahasa Arab dan bahasa asing lainnya selama enam bulan pertama.

Berdasarkan penjelasan Barton, selama pendidikan yang ditempuhnya sejak awal bersama ayahnya hingga pendidikannya di Gontor, Nurcholish Madjid memiliki keluasan wawasan yang menjadi bekal pendidikan selanjutnya di Jakarta pada tahun 1961 (1999: 77). Dengan rekomendasi K.H. Zarkasyi, salah satu pimpinan Pesantren Dârusaalâm Gontor, Nurcholish dapat diterima di IAIN Jakarta, meskipun tanpa ijazah negeri. Karena pada saat itu, Ijazah Gontor secara resmi tidak diakui pemerintah Indonesia. Sebagai salah satu gurunya di pesantren Gontor, K.H. Zarkasyi merupakan orang yang sangat

(7)

88

berjasa bagi Nurcholish, di samping ayahnya Haji Abdul Madjid yang begitu dihormati (Ridwan, 2002: 54).

Nurcholish Madjid kuliah di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan mengambil jurusan Bahasa Arab dan Sejarah Kebudayaan Islam. Selama di IAIN Jakarta, Nurcholish mengenal dan mengikuti kegiatan-kegiatan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Selain itu, Nurcholish mengikuti aktivitas menulis dimulai ketika beliau menerjemahkan artikel berbahasa Arab yang dikirimkan ke majalah Gema Islam, majalah milik Hamka. Sejak saat itu, tulisan-tulisan beliau banyak dipublikasikan dalam majalah Gema Islam dan memiliki kedekatan dengan Hamka (Ridwan, 2002: 54). Kemampuan bahasa Nurcholish lebih meningkat setelah di Jakarta beliau mengikuti kursus bahasa Perancis di Alliance Francaise, yang selesai tahun 1962. Selain bahasa Arab, Inggris dan Perancis, Nurcholish pun fasih dalam bahasa Persia yang diajarkan dalam perkuliahan di IAIN (Barton, 1999: 78).

Berbagai organisasi penting diikuti Nurcholish. Hal itu memperkuat pribadi Cak Nur dalam hal kepemimpinan. Dia dikenal sebagai Ketua Umum PB HMI (Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam) pada tahun 1966-1969 dan 1969-1971. Juga sebagai Presiden PEMIAT (Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara) pada 1967-1969. Pemikiran Nurcholish tersebar melalui berbagai tulisannya yang dimuat secara berkala di tabloid Mimbar Demokrasi yang diterbitkan HMI. Gagasan-gagasan Presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara itu, membuat Nurcholish digelari oleh orang-orang Masyumi sebagai “Natsir muda” (dalam http://tokohindonesia.com/ensiklopedi/n/nur

(8)

89 cholismadjid/index.shtml, 8/07/2009).

Setelah menyelesaikan studinya pada tahun 1965, kemudian antara tahun 1968 hingga 1971, Nurcholish menjadi Wakil Sekretaris Umum dan pendiri International Islamic Federation of Students Organisation (IIFSO, Himpunan Organisasi Mahasiswa Islam se-Dunia). Menurut Barton, di samping kegiatan Nurcholish di HMI, pengalamannya di tingkat internasional merupakan bentuk kegiatan yang selama beberapa puluh tahun telah memberi sumbangan berharga terhadap perkembangan intelektualnya (1999: 79). Dengan berbagai pengalaman organisasi dalam bidang keagamaan dan keilmuan tersebut, Nurcholish tidak hanya tetap berada dalam lingkungan budaya intelektual yang berada pada lapisan sosial menengah ke atas, tetapi juga lingkungan politik nasional hingga internasional.

Aktivitas-aktivitas yang diikuti Nurcholish terutama sejak mengikuti HMI melibatkan beliau dalam pemikiran, perbincangan dan penelitian berbagai masalah masyarakat yang memungkinkannya tampil dalam forum yang lebih luas lagi dengan perjalanannya ke Amerika dan Timur Tengah sekitar tahun 1967-1969. Dengan kondisi latar belakang sosial dan budaya tersebut, perhatian Nurcholish terfokus pada kondisi umat Islam di Indonesia hingga tingkat dunia internasional, terutama berkaitan dengan wacana modernisasi saat itu. Menurut Barton (1999: 82), “Semua itu telah membangun medan kesadaran Nurcholish Madjid terhadap kebutuhan-kebutuhan masyarakat agar mampu bersikap elastis ketika berhadapan dengan perubahan”.

(9)

90

Nurcholish menyelesaikan studinya di IAIN Syarif Hidayatullah pada tahun 1968 dengan lulus terbaik dalam skripsi berjudul Al-Qur’ân ‘Arabiyyun Lughatan wa ‘Alâmaiyyun Ma’nân (Al-Qur’an Secara Bahasa adalah Arab, Secara Makna adalah Universal). Setelah menamatkan S-1 dan S-2 di IAIN Jakarta, Nurcholish memperoleh kesempatan untuk melanjutkan studi ke Chicago. Hal tersebut diperoleh dengan beasiswa dari Ford Foundation pada saat Fazlur Rahman dan Leonard Binder berkunjung ke Indonesia tahun 1973 untuk mencari peserta untuk program seminar dan lokakarya di University of Chicago (Ridwan, 2002: 59-60).

Kesempatan melanjutkan studinya dimulai pada bulan Maret 1978 di bawah bimbingan Fazlur Rahman di bidang kajian Keislaman di University of Chicago. Nurcholish lulus dengan nilai Cum Laude (memuaskan) pada tahun 1984 dengan judul disertasi doctor Ibn Taymîyya on Kalâm and Falsafah: A Problem of Reason and Revelation in Islam (Ibn Taymiyah dalam Ilmu Kalam dan Filsafat: Masalah Akal dan Wahyu dalam Islam). Oleh karena disertasi yang ditulisnya tersebut, terlihat bahwa perhatian Nurcholish kepada pemikiran intelektual Islam Ibn Taymiyah mempengaruhi pemahaman beliau, sehingga sering dijadikan rujukan dalam tulisan-tulisan Nurcholish.

Fazlur Rahman mempengaruhi pemikiran pembaruan pemikiran Islam Nurcholish Madjid karena pembelajaran yang didapatkannya selama menjadi murid Fazlur Rahman. Terkait dengan hal tersebut karena Neo-Modernisme yang digagas Fazlur Rahman bertitik tolak pada ide pembaruan pemikiran dan mencoba membongkar doktrin-doktrin Islam yang dipopulerkan melalui

(10)

91

tulisan-tulisannya, sehingga penggunaannya terhadap term Neo-Modernisme untuk menggambarkan pola pembaruan pemikiran (Barton, 1999: 446).

Pengaruh Fazlur Rahman terhadap pemikiran Nurcholish, tidak secara langsung merupakan agenda yang disengaja Fazlur Rahman untuk menyebarkan Neo-Modernisme di Indonesia. Hal tersebut dijelaskan oleh Barton bahwa,

…Fazlur Rahman bukanlah--terlepas adanya hubungan yang sama dan sebangun yang teramat kuat antara ide-idenya dengan Nurcholish Madjid, Ahmad Wahib, Djohan Effendi dan kawan-kawan—pencetus atau penggagas awal Modernisme di Indonesia. Dasar-dasar Neo-Modernisme Indonesia telah dibangun di akhir tahun 1969. Pada tahun 1970, pembaruan pemikiran Islam lahir dengan mendapat respon yang keras dari masyarakat, dan di sekitar akhir tahun 1972, pertempuran kian mengeras setelah tiga tahun berkembang di arena public. Baru pada tahun 1973 ketika untuk pertama kali Fazlur Rahman mengunjungi Indonesia, Nurcholish Madjid, Djohan Effendi dan Ahmad Wahib mengetahui tentang fenomena pemikiran yang dikembangkan Fazlur Rahman.

Alasan inilah yang membuat Nurcholish Madjid tidak pernah mengakui sebagai pengikut Fazlur Rahman. …tapi ia telah begitu berpengaruh dalam mengantarkan Nurcholish Madjid untuk kembali kepada warisak klasik kesarjanaan Islam. Fazlur Rahmanlah yang mendorong Nurcholish Madjid untuk mengambil gelar Ph.D dalam kajian keislaman daripada pilihan pertamanya, ilmu politik.(1999: 447).

Sebagai ketua Yayasan Wakaf Paramadina Jakarta sejak tahun 1986-1997, dan kemudian menjadi Rektor Universitas Paramadina pada tahun 1998-2005, Nurcholish banyak melakukan aktivitas yang berkaitan dengan yayasan yang dibangunnya tersebut. Selain itu, Nurcholish juga merupakan Guru Besar di Fakultas Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah dari tahun 1985 hingga beliau wafat pada tahun 2005. Aktivitas sebagai cendekiawan muslim dan aktivis Hak Asasi Manusia (sebagai anggota Komisi Nasional HAM pada tahun 1993-2005) terlihat dari berbagai kegiatannya sebagai presenter dan

(11)

92

pembicara dalam seminar-seminar internasional mengenai Islam dan HAM (dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Nurcholish_Madjid, 05/08/09)

Dengan berbagai kegiatan yang mendukung Nurcholish berada dalam lingkungan intelektual, gagasan-gagasan beliau semakin mudah untuk disebarkan. Pemahaman beliau mengenai kondisi sosial-budaya serta politik umat Islam di Indonesia juga semakin meningkat seiring dengan aktivitas intelektual dan sosialnya. Kegiatan penulisan beliau mendapatkan fasilitas dengan diberikannya kolom khusus untuk Nurcholish Madjid dalam harian Suara Merdeka sejak tahun 2003-2004. Dengan fasilitas seperti itu, Nurcholish dapat lebih mudah menyebarkan pemikirannya mengenai pembaruan pemikiran Islam. Perkembangan pemikiran Nurcholish mengenai pembaruan pemikiran Islam secara lebih jelas akan diuraikan dalam pembahasan sub bab berikutnya.

2. Kondisi Politik

Berdasarkan pemaparan Azyumardi Azra (1999a: 3-4) mengenai gerakan agama di Indonesia, agama-agama di Indonesia mengalami kebangkitan pasca kegagalan kudeta Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1965, karena Islam secara signifikan muncul sebagai faktor penting dalam kehidupan sosial-politik Indonesia. Pada waktu yang sama, pemerintah Orde Baru mulai melancarkan pembangunan nasional, yang pada intinya adalah modernisasi masyarakat Indonesia dalam berbagai aspek kehidupan. Perdebatan kemudian muncul di antara para ahli, khususnya ahli mengenai

(12)

93

modernisasi dalam kaitannya dengan agama, mengenai dampak modernisasi tersebut terhadap kehidupan keagamaan di Indonesia.

Kebangkitan Islam tersebut dianggap juga sebagai respon terhadap wacana modernisasi saat itu, juga karena kehidupan sosial-politik masyarakat Indonesia saat itu cukup stabil. Pada masa rezim Orde Baru, menurut Barton (1999: 2), “Periode ini merupakan saat di mana secara relatif terdapat stabilitas dan kehidupan yang harmoni di masyarakat Indonesia- lebih khusus jika dibandingkan dengan periode sebelumnya”. Akan tetapi realitas politik pada awal pemerintahan Orde Baru ternyata membatasi aktivitas partai politik Islam, terutama setelah usulan rehabilitasi partai Masyumi (yang dibubarkan pemerintah Orde Lama pada tahun 1960) tidak didukung rezim tersebut. Partai Masyumi dianggap terlibat dalam DI/TII dan PRRI, sedangkan pembentukan PARMUSI (Partai Muslimin Indonesia) sebagai alternatif partai bagi mantan aktivis Masyumi juga tidak mendapatkan dukungan pemerintah Orde Baru (Rachman, dalam Ulumul Qur’an (Jurnal Ilmu dan Kebudayaan), 1995, No.3 vol.VI p.4-5).

Peristiwa-peristiwa tersebut yang akhirnya membuat tokoh-tokoh muda Islam, khususnya mereka yang aktif di HMI, merasa perlu merefleksikan kembali bentuk-bentuk hubungan Islam dan negara dalam Indonesia modern di masa depan. Puncaknya adalah adalah pidato Nurcholish Madjid, 3 Januari 1970, yang beradasarkan analisisnya mengenai keadaan organisasi-organisasi politik Islam, bahwa Islam tak mungkin lagi akan mendapatkan kekuatan politik, karena itu ia menyerukan pembaruan politik

(13)

94

Islam di Indonesia (Rachman, dalam Ulumul Qur’an (Jurnal Ilmu dan Kebudayaan), 1995, No.3 vol.VI p.5). Gerakan secara intelektual dan sosial mengenai modernisasi dianggap lebih dibutuhkan karena lebih kondusif dengan perubahan sosial.

Berpijak pada pengalaman Eropa dalam proses modernisasinya, terlihat bahwa salah satu konsekuensi terpenting modernisasi adalah terjadinya sekularisasi, yang secara sederhana berarti tersingkirnya agama dari ranah aktivitas sosial dan pengalaman kemanusiaan yang diatur dengan norma-norma keagamaan. Kebijakan-kebijakan politik pemerintah sepertinya mengarah kepada sekularisasi tersebut. Hal tersebut terlihat pada, misalnya, fusi partai-partai pada Januari 1973, yaitu partai-partai Islam digabungkan ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan partai-partai nasionalis, Katolik dan Protestan digabungkan ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Tidak hanya bagi organisasi-organisasi politik, tetapi juga bagi seluruh organisasi sosial-kemasyarakatan, seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Dewan Gereja Indonesia (DGI), MAWI, dan seterusnya (Azra, 1999a: 5).

Pemikiran sekularisasi dalam pembaruan pemikiran Islam yang dikemukakan Nurcholish sebenarnya tidak bermaksud mendukung kebijakan-kebijakan politik pemerintah Orde Baru tersebut. Berdasarkan kajian yang dilakukan Ann Kull mengenai keterkaitan antara pembaruan Nurcholish dengan pemerintah Orde Baru, dapat disimpulkan bahwa kondisi saat itu:

In conclusion it is of course justified to ask whether neomodernism is a product of Suhartos reign or not. What is out of doubt is that the

(14)

95

development of neomodernistic ideas has benefited from the strategy on political Islam carried out by the Suharto regime. This strategy not only provided the neomodernists with the possibility to freedom of thought but also freedom to express these thoughts. …But it is not fair to see it as solely a product of political circumstances. It is also according to Barton ”a sincere theological response by Islamic intellectuals to the changing social environment in Indonesia, and a product of their educational and other experiences” (dalam http://www.smi.uib.no/pal/kull.pdf, 05/08/09).

Penjelasannya bahwa dapat dipastikan bahwa kemunculan gagasan-gagasan Neo-Modernisme karena keuntungan dari strategi politik Islam pada masa Presiden Suharto (Orde Baru). Kondisi tersebut memberikan kebebasan mengemukakan pendapat/ gagasan serta kebebasan untuk menerapkan dan menjalankan gagasan tersebut. Walaupun tidak juga dapat dijustifikasi bahwa pembaruan pemikiran Islam merupakan produk/ hasil dari kondisi politik saja. Hal tersebut dikutip Ann Kull dari Barton, sebagai respon keagamaan dari cendekiawan Islam untuk melakukan perubahan sosial di Indonesia serta sebagai hasil dari pendidikan dan pengalaman cendekiawan-cendekiawan tersebut. Seperti yang dijelaskan pada pemaparan di atas, menurut peneliti, kondisi sosial-budaya sebagai alternatif sarana pergerakan Islam lebih mudah dilakukan pada masa Orde Baru. Berbeda dengan masa pemerintahan Orde Lama, dengan kondisi lemahnya stabilitas politik, ekonomi, dan sosial di Indonesia.

Barton (1999:15) memaparkan, “Persoalan yang sesungguhnya memang lebih jauh daripada yang diduga banyak orang, yakni bahwa pemikiran Islam neo-Modernis secara fundamental dan substansial memiliki semangat religious dan tidak sekadar reaksi pragmatik terhadap realitas-realitas politik Orde Baru.” Menurut Azra (1999a: 5), berlawanan dengan apa

(15)

96

yang disebutkan teori modernisasi dan sekularisasi, perkembangan selanjutnya ternyata tidak menimbulkan prediksi sekularisme. Proses pembangunan atau modernisasi, termasuk sekularisasi atau desakralisasi politik, ternyata tidak menghilangkan peran agama. Tetapi sebaliknya justru semakin meningkatkan antusiasme keagamaan.

Pemaparan Azra mengenai cita-cita Nurcholish masa Orde Baru memperlihatkan keterkaitan dengan agenda pemikiran, bahwa:

Agenda Cak Nur pada periode ini juga kentara: “membawa umat ke alam modern, dunia kemajuan”. Dan ini kebetulan sama dengan agenda pemerintah Orde Baru dengan program pembangunannya, yang pada esensinya merupakan “modernisasi”. Tetapi, jelas simplistis untuk mengatakan bahwa Cak Nur terperangkap ke dalam –apalagi sekadar memberikan justifikasi terhadap—strategi dan agenda pembangunan Orde Baru. Sikap Cak Nur yang berkampanye untuk PPP –bukan untuk Golkar—pada pemilu 1978 merupakan salah satu contoh untuk memperkuat argumen ini (1999b: 156).

Dalam kondisi sosial-politik Indonesia yang dikemukakan di atas, dapat diperoleh kesimpulan bahwa program pembangunan dan modernisasi Orde Baru cukup berkontribusi memberikan kesempatan stabilitas ekonomi dan sosial, walaupun secara politik tidak berbeda dengan Orde Lama, sehingga memberikan kesempatan bagi berkembangnya gagasan pembaruan pemikiran Islam. Pemikiran Nurcholish Madjid juga mendapatkan kebebasan untuk tersebar luas, terutama dengan pemberitaan majalah Tempo, yang terdapat dalam laporan utama pada edisi Mei 1971, April 1972, Juli 1972, Desember 1972, Januari 1973, Juni 1986, dan April 1993 (Ridwan, M. Deden; dalam Ulumul Qur’an (Jurnal Ilmu dan Kebudayaan), 1995: Vol.VI p.52).

(16)

97

Pada perkembangannya kemudian, pembaruan pemikiran Islam yang dikemukakan Nurcholish semakin menyebar karena aktivitas-aktivitas beliau di Yayasan Wakaf Paramadina (mulai sekitar tahun 1985). Selain itu, Nurcholish juga mendapatkan posisi sebagai Anggota MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) Republik Indonesia pada tahun 1987-1992 dan 1992-1997. Dari berbagai tulisan dan ceramahnya yang disampaikan dalam seminar-seminar, peneliti akan dapat menggambarkan bagaimana perkembangan pemikiran Nurcholish.

Genesis pemikiran Nurcholish Madjid tidak hanya dikaji dari latar belakang beliau mengemukakan pertama kali gagasan pembaruan pemikiran Islam. Akan tetapi seiring dengan waktu, baik adanya konsistensi maupun perubahan pemikiran, pemikiran Nurcholish pasti mendapatkan pengaruh dari berbagai kondisi pada waktu-waktu tersebut. Perkembangan atau pergeseran dalam pemikiran, concern intelektual, dan agenda Nurcholish Madjid, dapat dilihat dari kondisi sosial-politik yang pada masa tersebut. Seperti yang dijelaskan Azra (199b: 155), sepulangnya Nurcholish dari Chicago, terlihat adanya perubahan dalam agenda pemikiran Nurcholish. Berdasarkan perspektifnya terhadap kondisi sosial-politik saat itu, sekitar tahun 1984, Nurcholish menyadari bahwa umat Islam Indonesia sudah mulai sadar dengan peningkatan paham keagamaannya, sehingga agendanya berubah menjadi untuk “membangun integritas umat”, khususnya dalam membangun konteks peradaban Islam. Pemaparan mengenai perubahan pemikiran Nurcholish tersebut akan lebih dijelaskan pada sub bab berikutnya.

(17)

98 B. Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia

Gerakan pembaruan dalam Islam sangat berkaitan dengan konsep ijtihad, karena hal tersebut menjadi landasan yang memungkinkan Islam relevan dengan setiap perkembangan zaman. Berkaitan dengan perlunya meningkatkan pemahaman keagamaan Islam di Indonesia, maka para cendekiawan Muslim Indonesia melakukan berbagai upaya pemurnian ajaran agama Islam. Hal tersebut yang menjadi motivasi Nurcholish Madjid mengemukakan anjuran sekularisasi dalam pembaruan pemikiran Islam.

Nurcholish Madjid mengemukakan tentang urgensi dari pembaruan pemikiran Islam dalam buku Kontektualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. Salah satu tulisannya dalam buku tersebut berjudul “Taqlid dan Ijtihad, Masalah Kontinuitas dan Kreativitas dalam Memahami Pesan Agama”, dijelaskan hal tersebut:

Para pembaharu mendapati bahwa praktek taqlid yang umum menguasai orang-orang muslim, baik awam maupun ulama, telah berkembang menjadi suatu sikap mental, jika bukan malah pandangan teologis, yang meliputi penolakan secara sadar terhadap segala sesuatu yang baru, khususnya jika berbentuk unsur dari budaya asing. Tapi, sebagai sama-sama kegiatan manusiawi yang serba terbatas, maka taqlid ataupun ijtihad selalu mengandung persoalan, sehingga harus senantiasa dibiarkan membuka diri bagi tinjauan dan pengujian.

Jadi tidak dibenarkan adanya absolutisme di sini. Sebab, setiap bentuk absolutisme akan membuat suatu sistem pemikiran menjadi tertutup, dan ketertutupan itu akan menjadi sumber absolutnya. Maka problema yang dihadapkan kepada setiap orang ialah bagaimana ia teguh tanpa menjadi kemutlakan-kemutlakan, dan sekaligus berkembang dan kreatif tanpa kehilangan keotentikan dan keabsahan -suatu penitian jalan yang sulit, namun tidak mustahil. Seluruh ide tentang mendekati (taqarrub) kepada Tuhan mengisyaratkan perlunya manusia berjalan tanpa jemu-jemunya meniti jalan lurus yang sulit itu, sampai ia akhirnya bertemu (liqa, namun tanpa menjadi satu) dengan Kebenaran, dengan izin dan ridla dari Sang Kebenaran itu sendiri (Madjid, 1994: 83-85).

(18)

99

Menurut Thoha Hamim dalam Moenawar Chalil’s Reformist Thought, ciri umum gerakan pembaruan, antara lain, kembali kepada ajaran Quran, sunnah, dan tradisi salaf; menolak praktik-praktik taklid (ittiba’); berpikir rasional yang menafsir sumber-sumber ajaran Islam secara aktual; dan memerangi bidah dan khurafat (Nu'ad, Ismatillah A., dalam http://www.facebook.com/note.php?note_id =57180105309&ref=mf, 05/08/09). K.H. Hasyim Asy’ari sebagai tokoh yang sangat berpengaruh bagi ayahnya Nurcholish Madjid, merupakan pendiri Nahdlatul Ulama (NU) yang dianggap sebagai salah satu organisasi Islam yang berperan dalam pendidikan Islam dan gerakan modernisme.

Secara tidak langsung, peranan K.H. Hasyim Asy’ari yang sangat dihormati ayahnya, berpengaruh kepada pemahaman Nurcholish Madjid, khususnya tentang pemurnian ajaran agama Islam. Hal tersebut seperti yang dijelaskan Barton (1999: 162), “Sekularisasi dan desakralisasi yang diajukan Nurcholish Madjid adalah suatu kebutuhan untuk membersihkan Islam dari pertumbuhan tradisi manusia yang sudah ketinggalan karena dengan upaya menyelenggarakan rasionalitas Islam”. Selain karena pengaruh pendidikan ayahnya yang menghormati tokoh-tokoh pembaruan Islam, seperti K.H. Hasyim Asy’ari, rasa hormat Nurcholish terhadap Mohammad Natsir yang berperan dalam partai Masyumi, memperlihatkan ketertarikannya terhadap aktualisasi peranan Islam dalam politik. Bahkan secara historis, yang mempengaruhi pemikiran Nurcholish jauh sebelum itu juga dibentuk ketika pembelajaran di pesantren Gontor.

(19)

100

Pengaruh pendidikan pesantren Gontor terhadap pembaruan juga terlihat dari tulisannya, seperti misalnya dalam kerja kerjanya yang disampaikan 3 Januari 1970. Dalam kertas kerja tersebut dibahas mengenai kebebasan berpikir bahwa “Salah satu balai pendidikan Islam yang liberal yaitu Balai Pendidikan “Darussalam” di Gontor Ponorogo (Jawa Timur), memiliki moto “Berpikiran Bebas” setelah “Berbudi Tinggi”, “Berbadan Sehat dan Berpengetahuan luas”. Di antara kebebasan perseorangan, kebebasan berpikir, dan menyatakan pendapatlah yang paling berharga.” (2008: 231). Hal tersebut juga yang diperhatikan Barton sebagai latar belakang historis pemikiran Nurcholish, bahwa:

Jika lebih jauh ditelusuri bagaimana lingkungan memainkan peranan penting dalam memelihara serta membentuk kecenderungan rasionalitas ini pada pembaruan, sumbangan masa-masa belajar Nurcholish Madjid di Gontor, tentunya dapat menggambarkan hal tersebut.

…kecenderungan Nurcholish Madjid untuk menyuarakan pandangan sosio-politik konservatif generasinya dan terutama para pembimbingnya, sebab untuk beberapa tahun lamanya Nurcholish Madjid memang berada di lingkungan mereka dan ia mampu menyerap mereka melalui pengertian yang berangsur-angsur (Barton, 1999: 165-166).

Liddle (1997: 17) memaparkan juga bahwa pada tahun 1940-an dan 1950-an, ketika Nurcholish tumbuh dewasa di Jombang, pikiran-pikiran modernis berpengaruh ke seluruh Indonesia, terutama di kota-kota dan diajarkan di Gontor. Seperti juga suasana pembelajaran di IAIN Jakarta yang digambarkan Budhy Munawar Rachman, “…di IAIN tumbuh suasana intelektual yang kreatif, dengan kapasitas belajar mahasiswanya yang tinggi. Suasana ini sudah berlangsung sejak pertengahan 1970-an, yang di kalangan alumnus IAIN yang concern terhadap pembaruan, sering menyebutnya sebagai “awal masa pembaruan Islam di Ciputat”.” (dalam jurnal Ulumul Qur’an (Jurnal Ilmu dan Kebudayaan) 1995, No.

(20)

101

3 vol.VI p.7). Dengan penjelasan tersebut, dapat diperoleh gambaran bahwa faktor lingkungan dalam tinjauan historis kehidupan Nurcholish melandasi perspektif Nurcholish tentang pembaruan dan aktualisasinya.

Pengetahuan dan pengalaman Nurcholish meninjau kondisi keagamaan umat Islam saat itu mendorongnya untuk mengemukakan gagasan “Perubahan Pemikiran Islam”. Terutama dengan disampaikannya pidato berjudul “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat” pada silaturahim antara para aktivis, anggota dan keluarga empat organisasi, yaitu Persami, HMI, GPI, dan PII, yang diselenggarakan oleh PII Cabang Jakarta pada 3 Januari 1970. Gagasan tersebut dikemukakan berkaitan dengan latar belakang pemahamannya mengenai pesan-pesan pokok ajaran Islam dalam Al-Qur’an. Kemudian sejak tahun 1971 hingga 1974, gagasan Nurcholish Madjid menjadi wacana yang sering dibahas dalam berbagai diskursus mahasiswa dan cendekiawan Islam di Indonesia, terutama kritik terhadap konsep “sekularisasi” yang dikemukakannya dalam pidato tersebut.

Pembaruan pemikiran Islam di Indonesia sering dihubungkan dengan tipologi pemikiran para pengusungnya. Terutama Nurcholish Madjid yang dianggap sebagai pembaharu yang pertama kali mengusung gagasan pembaruan pemikiran, menurut Barton termasuk dalam tipologi neo-Modernisme. Hal tersebut karena Nurcholish Madjid lahir dan dibesarkan dalam keluarga yang memegang ajaran Islam klasik, kemudian mendapatkan pendidikan dalam lingkungan yang mengedepankan modernisme, sehingga pemikirannya merupakan dialektika dari ajaran Islam klasik dan pemikiran modernisme. Begitu

(21)

102

pula dengan pembaruan pemikiran Islam yang diusungnya, walaupun mengedepankan gagasan modernisme dalam pemikiran Islam, akan tetapi landasannya berasal dari ajaran Islam klasik.

Peranan majalah Tempo sebagai salah satu media massa sering memberitakan pemikiran-pemikiran Nurcholish Madjid, mempermudah beliau dalam menyebarkan gagasan-gagasan pembaruan pemikiran Islam. Hal tersebut menjadi perhatian M. Deden Ridwan untuk mengkaji keterkaitan antara Tempo dan gerakan Neo-Modernisme Islam Indonesia. Sebagai pers yang memiliki visi intelektual, Tempo memiliki “visi pembaruan” sehingga memberi perhatian yang lebih besar kepada visi Nurcholish yang komitmen pada persoalan dinamika sejarah peradaban manusia dan persoalan budaya bangsanya (Ridwan, M. Deden; dalam Ulumul Qur’an (Jurnal Ilmu dan Kebudayaan), 1995: Vol.VI p.60).

Dalam pandangan Nurcholis Madjid, bahwa pembaruan harus dimulai dari dua hal yang saling erat hubungannya, yaitu melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional, dan mencari nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan. Ide pembaruan dalam pemikiran Islam hanya dapat mungkin diterangkan, jika seseorang dapat secara historis-kritis mengamati perkembangan pemikiran Islam dalam hubungannya dengan konteks sosial-budaya yang mengitarinya. Tanpa mengaitkan dengan konteks tidak pernah ada pembaruan. (Pattimahu, M.Asrul, dalam http://rullyasrul83.wordpress.com/2009/07/29/9/, 05/08/09).

Barton (1999:3) mengemukakan besarnya pengaruh pembaruan pemikiran Islam di Indonesia yang dimulai Nurcholish Madjid, bahwa “…fakta membuktikan bahwa sepanjang tahun 1970-an, 1980-an dan berlanjut hingga kini,

(22)

103

Indonesia telah menyaksikan sebuah kebangkitan Islam yang amat progresif dan begitu memiliki masa depan”. Nurcholish Madjid membentuk Yayasan Paramadina dan kemudian mendirikan Universitas Paramadina pada tahun 1985. Dengan didirikannya yayasan tersebut, pembaruan pemikiran Islam yang dimulai Nurcholish Madjid semakin berkembang sehingga menjadi diskursus pada cendekiawan muslim di Indonesia hingga sekarang.

C. Sekularisasi

1. Dasar Pemikiran

Dasar pemikiran Nurcholish Madjid tentang sekularisasi berkaitan dengan berbagai penafsiran atas tulisan-tulisan Nurcholish Madjid. Peneliti mengkaji tulisan-tulisan Nurcholish sejak tahun 1970 ketika gagasan tersebut pertama kali dikemukakan, hingga tahun 2005 menjelang wafatnya beliau tanggal 29 Agustus 2005. Dengan kajian tersebut dan merujuk dari penelitian-penelitian lain yang relevan, peneliti menafsirkan dasar pemikiran sekularisasi Nurcholish Madjid, sebagai berikut:

a. Dasar Tauhid/ Teologis

Perspektif pemikiran Nurcholish mengenai dasar tauhid proses sekularisasi digambarkan oleh beliau dalam kertas kerja pembaruan pemikiran Islam. Nurcholis mengemukakan prinsip tauhid sebagai alasan pentingnya proses sekularisasi, bahwa:

Sebenarnya pandangan yang wajar dan menurut apa adanya kepada dunia dan masalahnya secara otomatis harus dipunyai seorang muslim sebagai konsekuensi logis dari tauhid. Pemutlakan transendensi semata-mata kepada Tuhan, sebenarnya harus melahirkan desakralisasi pandangan selain

(23)

104

Tuhan, yaitu dunia dan masalah-masalah serta nilai-nilai yang bersangkutan dengannya. Sebab, sakralisasi kepada sesuatu selain Tuhan itulah pada hakikatnya, yang dinamakan syirik lawan tauhid. Maka sekularisasi itu sekarang memperoleh maknanya yang kongkret; yaitu desakralisasi terhadap sesuatu selain hal-hal yang benar-benar bersifat Ilahiah transendental, yaitu dunia ini (Madjid, 2008: 230).

Proses sekularisasi melibatkan transformasi kepercayaan-kepercayaan dan praktik lainnya ke dalam dua arah. Arah transformasi pertama ialah ke bawah dengan cara melakukan desakralisasi atau menduniawikan segala hal yang tidak suci tapi selama ini dianggap suci. Arah kedua adalah ke atas dengan mensakralkan segala hal yang benar-benar transenden, kekal dan suci (Barton, 1999: 108).

Pemahaman mengenai sekularisasi berkaitan dengan sudut pandang Nurcholish mengenai tauhid. Fathoni menjelaskan konsepsi Nurcholish mengenai tauhid, bahwa “Konsep tauhid berasal dari kata “wahid” yang berarti “satu” atau “esa”, dan secara harfiah berarti menyatukan atau mengesakan. Dalam teologi dialektis Islam (ilmu kalam), tauhid dimaksudkan sebagai paham me-Maha-Esa-kan Tuhan atau paham Ketuhanan Yang Maha Esa (2009: 113).

Nurcholish Madjid menjelaskan bahwa ajaran tauhid merupakan landasan dari proses sekularisasi. Dalam tulisannya berjudul “Sekali lagi tentang Sekularisasi”, dijelaskan bahwa dasar tauhid tersebut terdapat dalam kalimat syahadat yang mengandung dua pengertian, yaitu peniadaan (negation) dan pengukuhan (affirmation). Perkataan “tidak ada Tuhan” adalah peniadaan, dan perkataan “melainkan Allah atau Tuhan itu sendiri” adalah pengukuhan.

(24)

105

Pernyataan “tidak ada Tuhan” berarti, meniadakan penyembahan terhadap berbagai tuhan selain Tuhan yang Maha Esa, yaitu Allah. Prinsip negasi tersebut melandasi proses sekularisasi yang pada dasarnya juga proses desakralisasi terhadap segala sesuatu yang tidak suci atau profan. Nurcholish menegaskan bahwa pengertian negasi tersebut, “Yang dimaksudkan ialah membebaskan manusia dari berbagai jenis kepercayaan kepada tuhan-tuhan yang selama ini dianut, kemudian mengukuhkan kepercayaan kepada Tuhan yang sebenarnya” (Madjid, 2008: 252).

Dengan pernyataan tersebut di atas, terlihat juga bahwa pengertian afirmasi yaitu “kecuali Allah”, melandasi proses sekularisasi sebagai proses sakralisasi segala sesuatu yang benar-benar transendental. Oleh karena itu, Nurcholish Madjid mengemukakan bahwa proses sekularisasi dilandasi oleh prinsip tauhid dalam Islam. Konsistensi pemikiran sekularisasi Nurcholish juga terlihat dalam tulisan lainnya yang dipublikasi di harian Suara Merdeka pada tahun 2003, bahwa:

Maka kalau manusia dibiarkan untuk menyembah apa saja, maka dorongan tersebut akan berubah menjadi malapetaka yang luar biasa dahsyatnya, seperti terjadinya tiranisme pemujaan kepada manusia. Itu sebabnya, agama mengajarkan bebaskan diri manusia dari kepercayaan-kepercayaan palsu, baru setelah itu percaya kepada Tuhan yang sebenarnya: La ilaaha illa Allah (Tidak ada tuhan, kecuali Allah).

Ajaran ini muncul bukan karena manusia tidak percaya kepada Tuhan, tetapi justru karena terlalu banyak percaya kepada "tuhan" -artinya "tuhannya" manusia itu terlalu banyak… (dalam http://www.suaramerdeka.com/harian/0309/20/nas7.htm, 08/08/09).

(25)

106 b. Dasar Filologis

Nurcholish Madjid mengemukakan gagasan proses sekularisasi dengan merujuk kepada pemikiran Harvey Cox mengenai perbedaan sekularisasi dan sekularisme. Seperti yang dikutip oleh Nurcholish Madjid dari Harvey Cox yaitu: “…di mana pun ia timbul, ia harus dibedakan dari sekularisme. Sekularisasi menunjukkan adanya proses sejarah, hampir pasti tak mungkin diputar kembali, yang di dalamnya masyarakat dan kebudayaan dibebaskan dari kungkungan atau asuhan pengawasan keagamaan dan pandangan-dunia metafisis yang tertutup.” (Madjid, 2008: 245).

Pengertian sekularisasi digunakan pada istilah sosiologi sebagaimana pendapat Talcott Parsons, Harvey Cox dan Robert N. Bellah yang lebih merujuk pada pengertian pembebasan masyarakat dari belenggu takhayul dalam beberapa aspek kehidupan. Jadi, sekularisasi tidak berarti penghapusan orientasi keagamaan dalam norma-norma dan nilai-nilai kemasyarakatan, akan tetapi seperti pendapat Bellah adalah devaluasi radikal. Oleh karena itu, Nurcholish Madjid juga mengajukan konsep-konsep seperti sekularisasi, desakralisasi dan rasionalisasi (Pattimahu, M.Asrul, dalam http://rullyasrul83.wordpress.com/2009/07/29/9/,05/08/09).

Dengan mengutip pandapat Talcott Parson, Nurcholis Madjid menunjukkan bahwa sekularisasi sebagai suatu proses sosiologis, lebih banyak mengisyaratkan pengertian pembebasan masyarakat dari belenggu takhayul dalam beberapa aspek kehidupannya, dan tidak berarti penghapusan orientasi keagamaan dalam norma dan nilai kemasyarakatan (Pattimahu, M.Asrul,

(26)

107

dalam http://rullyasrul83.wordpress.com/2009/07/29/9/,05/08/09). Menurut Barton (1999: 122), pengertian sekularisasi yang digunakan Nurcholish Madjid merujuk kepada pemikiran Harvey Cox, sebagai istilah kontemporer yang menunjukkan “dunia ini” atau hal-hal yang bersifat duniawi.

Menurut William Liddle (1997: 14-15), konsep sekularisasi Nurcholish meminjam dari Robert Bellah, yang kertas kerjanya berjudul Tradisi Islam dan Masalah Modernisasi, yang dibaca Nurcholish dalam perjalanan ke Amerika Serikat dan Timur Tengah pada tahun 1968. Konsep Bellah memfokuskan Islam masa dahulu, yang dipandang lebih modern (dalam pengertian ilmu sosial Barat) daripada periode-periode berikutnya. Bellah (Liddle, 1997: 15) memperkenalkan empat ‘elemen struktural’ Islam terdahulu yang membuatnya modern dalam pengertian berikut:

Pertama, konsepsi satu Tuhan yang transcendental dan monoteistik… Kedua, imbauan kembali kepada pengetahuan sendiri sebagai manusia bebas dan kebebasan memilih/ menilai… Ketiga, penurunan nilai secara radikal, di mana seseorang boleh secara radikal, di mana seseorang boleh dan sah mengatakan sekularisasi, dari semua struktur sosial di hadapan pusat hubungan manusia-Tuhan… Dan akhirnya, ada konsepsi baru dari tata politik yang berdasarkan partisipasi semua orang yang menyetujui adanya wahyu Tuhan dan kemudian mengangkat mereka sendiri sebagai komunitas baru, yaitu – umat.

Pengaruh tulisan Bellah tersebut dihubungkan dengan tulisan Nurcholish Madjid, menurut Liddle berkaitan dengan visinya tentang masyarakat Islam yang sebenarnya dan kekurangan dari Islam Indonesia. Contoh yang dikemukakannya yaitu tulisan Nurcholish mengenai: “Dengan sekularisasi bukan berarti pelaksanaan sekularisme… Apa yang dibutuhkan

(27)

108

adalah setiap macam dari pengembangan yang membebaskan…” (Liddle, 1997: 15-16).

Konsep sekularisasi digunakan juga sebelum Nurcholish mengemukakannya di Indonesia, di negara-negara Islam lainnya, seperti di Turki dan Mesir. Arif Syamsuddin (2008: 91-95) mengemukakan bahwa sekularisasi sebagai suatu proses, paradigma, ideologi dan dogma terjadi di dunia Islam di luar Indonesia. Seperti misalnya, penyebaran sekularisasi yang dikemukakan Thaha Husein (1889-1976) di Mesir, yang tidak hanya mengusulkan sekularisasi dalam politik, tapi juga dalam bidang pendidikan dan pengajaran. Walaupun berbagai kajian menjustifikasi Nurcholish Madjid mengambil ide dari teori-teori sosiologi Barat dan beberapa tokoh sekuler Islam sebelumnya, tetapi berdasarkan kajian dari latar belakang historis serta kajian teksnya, pemikiran Nurcholish Madjid banyak dilandasi oleh pemahamannya mengenai tradisi Islam klasik yang dihadapkan kepada tantangan modernisasi.

c. Dasar Historis

Gagasan mengenai sekularisasi sebagai suatu proses pembaruan dalam pemikiran Islam dilihat dari konteks sejarahnya, berkaitan dengan pandangan Nurcholish mengenai gerakan-gerakan pembaruan sebelumnya. Nurcholish merasa perlu munculnya gerakan pembaruan yang “liberal” sehingga dapat memecahkan masalah umat Islam di Indonesia yang dianggap jumud (kaku) dalam tradisi (Madjid, 2008: 235).

(28)

109

Di atas pentas sejarah, baik Indonesia maupun dunia, telah tampil gerakan-gerakan pembaruan. Di Indonesia, kita mengenal organisasi-organisasi dengan aspirasi-aspirasi pembaruan, seperti Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan Persis. Tetapi sejarah mencatat pula, dan harus kita akui dengan jujur, bahwa mereka itu sekarang telah berhenti sebagai pembaru-pembaru. Mengapa? Sebab mereka, pada akhirnya, telah menjadi beku sendiri, karena mereka agaknya tidak sanggup menangkap semangat dari ide pembaruan itu sendiri, yaitu dinamika dan progresivitas.

Dengan penjelasan yang dikemukakan di atas, dapat terlihat bahwa landasan pemikiran Nurcholish berkaitan dengan pemahamannya mengenai dinamika sejarah dan konsep ijtihad dalam Islam. Nurcholish ingin meyakinkan bahwa dalam perjalanan sejarahnya, proses sekularisasi sangat relevan dengan Islam, karena akan mengembalikan kejayaan Islam seperti pada masa Islam klasik terdahulu. Berarti hal tersebut berkaitan dengan pandangan Nurcholish tentang kondisi Islam klasik yang mampu menampilkan peradaban Islam yang tinggi. Konsistensi pemikiran Nurcholish mengenai hal tersebut terlihat dengan pemaparan Nurcholish di kolom harian Suara Merdeka mengenai masyarakat di kota Madinah yang dibangun Nabi Muhammad SAW, yaitu:

Dalam khazanah Islam, tatanan masyarakat seperti itu sering merujuk ke evolusi sosiologis dan pranata kemasyarakatan kota Madinah… Rasulullah, Nabi Muhammad SAW, mendirikan Al-Madinah yang secara kebahasaan juga berasal dari kata kerja dana-yadinu, yaitu masyarakat yang setiap pribadi para warganya tunduk dan patuh kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Dan tunduk patuh kepada Allah itu, secara sosial dan dalam kehidupan sesama manusia, adalah tunduk patuh kepada hukum-hukum Allah dalam pengertian seluas-luasnya. (dalam http://www.suaramerdeka.com/harian/0310/04/nas4.Htm, 08/08/09).

Pernyataan tersebut di atas memperlihatkan bahwa tinjauan historis Nurcholish Madjid mengenai kehidupan ideal masyarakat Islam pada Masa Islam klasik menjadi suatu hal yang diharapkan terwujud kembali pada masa

(29)

110

kontemporer. Berkaitan dengan hal tersebut, Nurcholish tetap menekankan perlunya kepatuhan terhadap hukum-hukum Allah. Dalam kaitannya dengan konsekuensi sekularisasi berarti umat Islam akan dapat terbebas dari kekeliruan sakralisasi, sehingga umat Islam dapat patuh sepenuhnya terhadap Allah.

Sudut pandang Nurcholish Madjid mengenai perlunya umat Islam menyeimbangkan kehidupan duniawi dan ukhrawi juga terlihat dari pandangannya mengenai Nabi Muhammad SAW. Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa ajaran Islam juga manusiawi. Penjelasan dalam tulisan Nurcholish bahwa penghormatan terhadap Nabi Muhammad SAW juga tidak boleh sampai mengkultuskan beliau, sehingga menghormati lebih dari seorang manusia di antara makhluk Allah. Oleh karena itu, tugas umat Islam menurut Nurcholish yaitu:

Jadi sikap yang sangat proposional orang-orang Muslim terhadap Nabi itu merupakan salah satu wujud pelaksanaan misi Nabi sendiri, yaitu mengajarkan tawhid, Ketuhanan Yang Maha Esa. Tawhid membebaskan manusia dari mitologi, takhayul, dan berbagai kepercayaan palsu lainnya. Karena membebaskan manusia dari belenggu dan kekang hasil cipta khayalnya sendiri, maka bagi manusia tawhid menjadi pangkal kebahagiaan sejati, dasar nilai kemanusiaan yang hakiki (Madjid, 1995: 63).

2. Pemikiran Mengenai Sekularisasi

Dalam kertas kerja Nurcholish Madjid berjudul “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”, dapat diperoleh penjelasan awal mengenai gagasan sekularisasi. Nurcholish Madjid mengemukakan bahwa proses pembaruan pemikiran Islam memerlukan proses

(30)

111

liberalisasi. Proses itu secara garis besar terbagi ke dalam tiga proses yang saling berkaitan, yaitu 1) sekularisasi, 2) kebebasan berpikir, dan 3) sikap terbuka. Oleh karena itu, sekularisasi yang dimaksudkan Nurcholish merupakan suatu proses yang saling berkaitan dengan kebebasan berpikir dan sikap terbuka sebagai agenda yang harus dilakukan dalam pembaruan pemikiran Islam. Seperti yang dikemukakan Nurcholish:

…kita hendak menarik pengertian bahwa pembaruan harus dimulai dengan dua tindakan yang saling erat hubungannya, yaitu melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional, dan mencari nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan. …Untuk itu diperlukan suatu proses liberalisasi. Proses itu dikenakan terhadap “ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan Islam” yang ada sekarang ini. Proses ini menyangkut proses-proses lainnya… (2008: 228-229).

Sekularisasi yang dimaksudkan Nurcholish Madjid berbeda dengan sekularisme. Pada umumnya, sekularisme didefinisikan sebagai paham atau pandangan yang berpendirian bahwa moralitas tidak perlu didasarkan pada ajaran agama. Sedangkan pengertian sekularisasi sangat berkaitan dengan sekularisme, yaitu 1) hal-hal yang membawa ke arah kehidupan yang tidak didasarkan pada ajaran agama, dan 2) pengambilalihan bangunan atau barang milik negara dan digunakan untuk keperluan lain (dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, 2002). Oleh karena itu, seseorang pandangan dan sikapnya memisahkan antara kehidupan agama/ kerohanian dengan kehidupan duniawi/ kebendaan, dianggap sebagai orang yang sekuler. Pada proses sekularisasi yang dikemukakan Nurcholish, ditekankan bahwa proses tersebut tidak sama dengan sekularisme.

(31)

112

Sekularisasi yang dikemukakan Nurcholish dipahami sebagai suatu proses daripada sebuah sistem kepercayaan. Proses sekularisasi melibatkan transformasi kepercayaan-kepercayaan dan praktik lainnya ke dalam dua arah. Arah transformasi yang pertama ialah ke bawah dengan melakukan desakralisasi atau menduniawikan segala hal yang tidak suci tapi selama ini dianggap suci. Arah kedua adalah ke atas dengan mensakralkan segala hal yang benar-benar transenden, kekal dan suci (Barton, 1999: 108).

Nurcholish Madjid mengemukakan pemahaman mengenai sekularisasi sebagai berikut:

Sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme, sebab secularism is the name of function very much like a new religion. Dalam hal ini, yang dimaksudkan ialah setiap bentuk liberating development. Proses pembebasan ini diperlukan karena umat Islam, akibat perjalanan sejarahnya sendiri, tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai yang disangkanya Islami itu, mana yang transendental dan mana yang temporal. Malahan, hierarki nilai itu sendiri terbalik, transendental semuanya, bernilai ukhrawi, tanpa kecuali (2008: 229).

Pembebasan menurut Nurcholish yang disebut liberating development disebabkan karena pandangan terhadap kondisi umat Islam di Indonesia saat itu, yang masih belum bisa membedakan nilai-nilai yang benar-benar berasal dari ajaran Islam dan yang bukan merupakan nilai pokok ajaran Islam. Selain itu, terdapat juga beberapa masyarakat Islam yang justru terlalu bersifat ukhrawi/ keakhiratan, sehingga mengganggap hal yang transendental mempengaruhi seluruh kehidupannya tanpa menghiraukan kehidupan duniawinya. Lebih lanjut mengenai definisi sekularisasi yang membedakannya dengan sekularisme dipaparkan sebagai berikut:

(32)

113

Jadi, sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme dan mengubah kaum Muslim menjadi sekularis, tetapi dimaksudkan untuk menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi, dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk meng-ukhrawi-kannya. Dengan demikian, kesediaan mental untuk selalu menguji dan menguji kembali kebenaran suatu nilai di hadapan kenyataan-kenyataan material, moral, ataupun historis, menjadi sifat kaum Muslim (2008:229-230).

Liberalisme sebagai paham yang kontroversial, terutama jika dihubungkan dengan ajaran agama, menjadi usulan Nurcholish dalam melakukan pembaruan pemikiran Islam. Bahkan, konsep sekularisasi dimaksudkan sebagai salah satu proses dalam liberalisasi ajaran-ajaran agama tersebut. Liberalisme merupakan suatu paham, sedangkan liberalisasi merupakan proses yang mendukung faham tersebut. Istilah “liberalisme” berasal dari bahasa Latin, liber, yang artinya bebas atau merdeka. Dalam wilayah agama, liberalisme berarti kebebasan menganut, meyakini, dan mengamalkan apa saja, sesuai kecenderungan, kehendak, dan selera masing-masing. Bahkan lebih jauh dari itu, liberalisme mereduksi agama menjadi urusan privat (Arif, 2008: 76-77).

Dalam kaitannya dengan liberalisasi, sekularisasi yang dimaksudkan Nurcholish juga merupakan salah satu proses pembebasan. Akan tetapi, dengan dasar tauhid yang dikemukakannya, sekularisasi yang dimaksudkan bukan untuk menghilangkan agama demi kebebasan pribadi. Sekularisasi dimaksudkan sebagai proses yang membedakan urusan duniawi/ kebendaan dengan urusan akhirat/ rohani. Nurcholish (2008: 230) menggambarkan dalam kertas kerjanya bahwa “Lebih lanjut, sekularisasi dimaksudkan untuk lebih memantapkan tugas duniawi manusia sebagai “khalifah Allah di bumi.”

(33)

114

Nurcholish Madjid mengemukakan pengertian sekularisasi dalam pandangan sosiologis, berbeda dengan sekularisme. Syamsuddin Arif (2008: 85) mengemukakan bahwa “secularization thesis” merupakan teori yang digagas oleh August Comte, kemudian diikuti oleh Emile Durkheim, Maz Weber, Karl Marx, Freud, dan Thomas Luckmann. Paham sekularisme tidak hanya merupakan suatu teori yang berkembang dalam kaum intelektual Barat, tetapi juga berkembang dalam dunia Islam. Bahkan dalam beberapa negara seperti Turki dan Mesir, seperti yang dikemukakan Syamsuddin Arif (2008: 91), paham ini dianggap sebagai suatu prasyarat transformasi masyarakat dari tradisional menjadi modern. Sehingga paham tersebut diyakini dan direalisasikan dalam berbagai segi kehidupan negara-negara tersebut, salah satunya dalam Undang-undang. Sebagai upaya membedakan paham sekularisme dengan sekularisasi yang digagas Nurcholish Madjid, maka peneliti memaparkannya dalam penjelasan sebagai berikut.

a. Aspek Teoritis

Beberapa tulisan dan ceramah disampaikan Nurcholish setelah pidato berjudul “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”, dimaksudkan untuk memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai sekularisasi. Hal tersebut terutama karena banyaknya reaksi-reaksi yang negatif tentang penggunaan istilah tersebut dalam Islam. Dalam tulisannya berjudul “Masalah Pembaruan Pemikiran Islam”, Nurcholish menjelaskan istilah sekularisasi dari segi bahasa dan istilahnya.

(34)

115

Nurcholish Madjid mengemukakan, kata-kata “sekuler” dan “sekularisasi” berasal dari bahasa Barat (Inggris, Belanda, dan lain-lain). Sedangkan asal kata-kata itu sebenarnya berasal dari bahasa Latin, yaitu saeculum, yang artinya “zaman sekarang ini”. Kata saeculum tersebut merupakan salah satu dari dua kata Latin, yaitu “dunia”. Kata lainnya ialah mundus. Perbedaannya, mundus merupakan kata waktu sedangkan saeculum merupakan kata ruang. Antonim dari saeculum ialah eternum yang berarti “abadi”, yang digunakan untuk menunjukkan alam yang kekal abadi sesudah dunia ini (akhirat). Hal tersebut seperti halnya perbedaan hal-hal duniawi dan hal-hal ukhrawi (2008: 241).

Nurcholish Madjid mengemukakan bahwa penggunaan istilah sekularisasi digunakan untuk menunjukkan dunia tempat manusia hidup sekarang ini sebelum dunia lain yang lebih kekal, yaitu akhirat. Menurut Nurcholish, dari segi bahasa an sich, pemakaian istilah sekuler tidak mengandung keberatan apa pun, karena benar manusia adalah makhluk duniawi. Manusia hidup dalam dunia sekarang ini, maka disebut sebagai makhluk duniawi, maka ketika kata “duniawi” diganti dengan kata “sekuler”, manusia merupakan makhluk sekuler.

Penjelasan mengenai pengertian secara istilah tersebut merupakan pembuka untuk deskripsi Nurcholish mengenai pentingnya manusia menghargai kehidupan yang telah diberikan Allah di dunia ini. Seperti yang dikutipnya dalam Al-Qur’an surat Al-Mu’minun ayat 14, bahwa alam ini baik

(35)

116

sebagai ciptaan dari sebaik-baik Pencipta. Proses penduniawian tersebut merupakan pengertian pertama sekularisasi.

Selanjutnya dijelaskan Nurcholish dalam tulisan yang disebutkan di atas, bahwa secara ringkas pengertian sekularisasi ialah pengakuan wewenang ilmu pengetahuan dan penerapannya dalam membina kehidupan duniawi. Hal yang dimaksudkan Nurcholish ialah agar umat Islam menghindari sikap dimana “…hierarki nilai itu sendiri sering terbalik, transendental semuanya, bernilai ukhrawi, tanpa kecuali” (2008: 229).

Dengan penafsiran terhadap tulisan-tulisan Nurcholish, dapat dipahami bahwa sekularisasi yang dimaksud ialah untuk membuat kehidupan duniawi dan ukhrawi menjadi seimbang. Perspektif tersebut dilandasi oleh pengamatan beliau terhadap beberapa kelompok umat Islam yang memiliki kekeliruan dalam memandang kehidupan duniawi. Sehingga, kegiatan-kegiatan ibadah dianggap lebih penting dari kehidupan yang bersifat duniawi. Salah satu interpretasi tersebut diperoleh dari pandangan beliau dalam buku Kontektualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah sebagai berikut:

Islam mengajarkan kebahagiaan dan kesengsaraan jasmani dan rohani atau duniawi dan ukhrawi, namun tetap membedakan keduanya. Dalam Islam, seseorang dianjurkan mengejar kebahagiaan di akhirat, namun diingatkan agar jangan melupakan nasibnya dalam hidup di dunia ini (Lihat QS. al-Qashash/28:77). Itu berarti memperoleh kebahagiaan akhirat belum tentu dan tidak dengan sendirinya memperoleh kebahagiaan di dunia. Sebaliknya, orang yang mengalami kebahagiaan duniawi belum tentu akan mendapatkan kebahagiaan di akhirat. Maka manusia didorong mengejar kedua bentuk kebahagiaan itu, serta berusaha menghindar dari penderitaan azab lahir dan batin (QS.al-Baqarah/2:200) (Madjid, dkk, 1994: 20).

(36)

117

Tujuan tersebut yang membedakan sekularisasi dengan sekularisme. Nurcholish mengemukakan bahwa sekularisme adalah paham keduniawian. Paham itu mengatakan bahwa kehidupan duniawi ini adalah mutlak dan terakhir, sehingga tidak meyakini adanya kehidupan sesudahnya, yaitu di akhirat. Oleh karena itu, sekularisme bertentangan dengan agama, khususnya Islam. Sebab Islam mengajarkan adanya “Hari Kemudian” (akhirat), dan orang Islam wajib meyakininya.

Berkaitan dengan para sekularis yang menjadikan sekularisme sebagai pandangan hidupnya, Nurcholish mengutip salah satu ayat Al-Qur’an yang menggambarkan bahwa: “Mereka (orang-orang kafir itu) berkata: “Tidak ada kehidupan kecuali kehidupan dunia kita ini saja. Kita mati dan kita hidup, dan tidak ada sesuatu yang membinasakan kita, kecuali masa. Padahal mereka tidak mempunyai pengetahuan yang pasti tentang hal itu. Mereka hanya menduga-duga saja” (surat Al-Jatsiyah ayat 24). Nurcholish Madjid mengemukakan bahwa sekularisasi tanpa sekularisme yaitu proses penduniawian tanpa paham keduniawian.

Sekularisasi dalam bentuknya yang demikian menjadi keharusan bagi setiap umat beragama, khususnya umat Islam jika pada suatu saat mereka kurang memberikan perhatian yang wajar kepada aspek duniawi kehidupan ini. Dengan mengutip dari Al-Qur’an Surat Al-Qashash ayat 77, Nurcholish Madjid mengemukakan terdapat perintah Allah agar muslim berusaha memperoleh kebahagiaan di akhirat nanti, yang kemudian disusul dengan peringatan agar tidak melupakan kehidupan duniawi.

(37)

118

Proses sekularisasi membebaskan umat Islam untuk dapat menjalankan peranannya sebagai “khalifah Allah di muka bumi”. Seperti dipaparkan Nurcholish, “Fungsi sebagai khalifah Allah tentu memberikan ruang bagi adanya kebebasan manusia untuk menetapkan dan memilih sendiri cara dan tindakan-tindakan dalam rangka perbaikan-perbaikan hidupnya di atas bumi …” (2008: 230).

Selain itu, kondisi umat Islam yang menjadi fokus perhatian Nurcholish yaitu masih banyaknya tradisi-tradisi yang bukan berasal dari ajaran Islam, tetapi dilakukan oleh umat Islam. Nurcholish memaparkan pengamatannya, bahwa “Proses pembebasan ini diperlukan karena umat Islam, akibat perjalanan sejarahnya sendiri, tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai yang disangkanya Islami itu, mana yang transendental dan mana yang temporal.” (2008: 229).

Perspektif sejarah mengenai kondisi keagamaan umat Islam di Indonesia yang mempengaruhi kekeliruan dalam pemikiran Islam, dijelaskan Nurcholish dalam tulisan berjudul “Sekali lagi tentang Sekularisasi”. Dalam tulisan tersebut dipaparkan pengaruh kepercayaan animisme dan dinamisme terhadap praktik-praktik agama Hindu dan Budha di Indonesia, sehingga ketika Islam datang, tugas pembaruan terhadap kepercayaan tersebut menjadi hal utama.

Islam mengajarkan syahadat yang merupakan dasar dari tauhid. Hasil langsung dari tauhid ini adalah penolakan segala bentuk pemberhalaan, juga pemberhalaan agama ortodoks yang dibuat manusia menjadi suci (Barton:

(38)

119

1999: 108). Nurcholish menyadari bahwa pemujaan terhadap sesuatu sebagai hal yang wajar atau manusiawi, karena menjadi kebutuhan untuk mempunyai “rasa aman” menghadapi kenyataan hidup. Pandangan Nurcholish yaitu:

Kenyataan bahwa kalimat syahadat pertama-tama mengandung peniadaan objek pemujaan, atau tuhan, merupakan pengakuan tegas akan adanya kecenderungan manusia untuk memuja apa saja yang sebenarnya tidak perlu…

Satu-satunya jalan ialah melepaskan manusia dari belenggu ini: ia harus melangkahi kepercayaannya sendiri bahwa dunia ini tidak dimengerti oleh manusia sendiri. Dan itu berarti mengubah sama sekali tata kepercayaannya, yaitu bahwa manusia diberi wewenang penuh untuk memahami dunia ini. Yang tidak mungkin dimengerti hanyalah Tuhan, Pendeta dunia itu. Maka, Dia-lah yang berhak dipuja. Sedangkan selain-Nya, seisi alam raya ini, justru sebaliknya: harus dibuka rahasianya, dimengerti, dikuasai, dan digunakan (2008: 257).

Konsep mengenai sekularisasi juga dimaksudkan sebagai proses yang mensakralkan sesuatu yang benar-benar transenden. Sejak awal Nurcholish Madjid mengajukan tema yang sama dengan pemikirannya yang kemudian, yakni bahwa kebenaran harus dikejar melebihi dari segalanya, dan bahwa kebenaran yang mutlak hanyalah milik Tuhan. Nurcholish Madjid membawa pikiran ini dengan menghubungkan pada konsep syahadat yang merupakan kesaksian iman paling dasar, esensi Islam serta merupakan penolakan segala hal kecuali Allah (Barton: 116). Sekularisasi merupakan salah satu proses dalam pembaruan pemikiran Islam yang kemudian akan sangat berkaitan dengan kebebasan berpikir (intellectual freedom) dan sikap terbuka (idea of progress).

b. Aspek Praktis

Perhatian Nurcholish pada umumnya masalah-masalah teologis dan sosial dalam arti bahwa ia berusaha melakukan telaah ulang atas iman dan

(39)

120

praktik dan dalam hubungannya dengan masalah-masalah sosial untuk menggugah umat agar melakukan hal yang sama (Liddle, 1997: 104). Oleh karena itu, segi praktis dari pemikiran Nurcholish mengenai sekularisasi berhubungan dengan penerapannya dalam bidang sosial dan politik.

Seperti yang telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya mengenai dasar historis pemikiran sekularisasi, Nurcholish Madjid menginginkan terwujudkan masyarakat Islam yang modern seperti dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Dengan mengungkapkan proses sekularisasi sebagai salah satu proses dalam pembaruan pemikiran Islam, berarti tujuannya bermaksud menciptakan pemahaman umat Islam yang integral mengenai pokok-pokok ajarannya.

Nurcholish Madjid bermaksud agar umat Islam menyeimbangkan kehidupan dunia dan akhirat dengan mewujudkan pemahaman yang benar mengenai kehidupan duniawi dan ukhrawi. Dengan demikian, berarti umat Islam dapat dapat menjalankan tugas manusia sebagai “khalifah Allah di muka bumi”. Maka, peradaban Islam yang pernah mengalami kejayaannya di masa Islam klasik dapat terwujud kembali.

Sekularisasi memperoleh maknanya dalam desakralisasi segala sesuatu selain hal-hal yang benar-benar bersifat ilahiyah (transendental). Hal tersebut bermaksud untuk membedakan, bukan untuk memisahkan persoalan duniawi dan ukhrowi. Dengan kata lain, Nurcholish Madjid mencoba memberikan penafsiran baru mengenai peristilahan tersebut, yaitu sebagai sarana

(40)

121

Islamisasi atau pentauhidan (dalam http://khirzulmuhammad.blogspot.com/, 05/08/09).

Contoh ideal mengenai masyarakat yang diinginkan terwujud oleh Nurcholish Madjid dikemukakan dalam beberapa tulisannya. Seperti juga yang digambarkan Nurcholish mengenai masyarakat Madani (Masyarakat di kota Madinah yang dipimpin Nabi Muhammad SAW) yang dianggap :

…Ketaatan dan kepatuhan kepada perjanjian-perjanjian yang benar sesama manusia itu juga ketaatan dan kepatuhan kepada perjanjian dengan Allah SWT. Karena itu, kita tidak boleh melalaikan dan mengabaikannya, sebab perbuatan serupa itu adalah sama dengan ingkar kepada Allah.

Prinsip-prinsip masyarakat Madinah, masyarakat yang patuh dan taat kepada Allah, kepada hukum, aturan dan perjanjian. Dengan kepatuhan dan ketaatan itu, maka masyarakat manusia menjadi masyarakat yang berkeadaban, ber-madaniyyah. Sebaliknya, tanpa kepatuhan dan ketaatan yang amat mendasar itu, masyarakat akan menjadi tidak berkeadaban, menjadi biadab, tidak memiliki madaniyyah (dalam http://www.suaramerdeka.com/harian/0310/04/nas4.htm, 08/08/09).

3. Perkembangan Pemikiran Nurcholish Madjid Mengenai Sekularisasi Perkembangan pemikiran Nurcholish Madjid mengenai sekularisasi berkaitan dengan perkembangan pembaruan pemikiran Islam yang digagasnya. Hal tersebut dapat ditinjau melalui berbagai tulisan dan kajian para intelektual terhadap pemikiran Nurcholish Madjid juga tulisan-tulisan Nurcholish sendiri. Oleh karena itu, peneliti menyusun garis waktu (timeline) tulisan-tulisan Nurcholish yang tersebar dalam berbagai media massa dan juga tulisan yang telah dibukukan. Walaupun tidak lengkap sepenuhnya, karena terdapat tulisan-tulisan Nurcholish yang tidak dapat diketahui waktu penulisannya, akan tetapi tulisan-tulisan tersebut dikumpulkan dari berbagai

Referensi

Dokumen terkait

Perubahan struktur luas kelas hutan selama sepuluh tahun, baik menjadi areal produktif (pindah kelas umur), non produktif (turun potensi menjadi tanah kosong,

Dengan tetah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1997 tentang Retribusi Daerah,

Terselenggaranya kegiatan Seminar Nasional ini berkat bantuan dari berbagai pihak, baik dosen di lingkungan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Perolehan nilai kemampuan menulis teks pengumuman bahasa Makassar ejaan latin siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Galesong Selatan secara keseluruhan adalah 18,18% yang

Demikian juga pemaknaan terhadap ajakan yang disampaikan secara tidak langsung menunjukkan sebagai imperatif ketika dikaitkan dengan wacana slogan yang lainnya atau dimaknai

• Road Map atau arah kebijakan untuk peningkatan kinerja PPATK di tahun 2018 • Temuan terkait isu-isu yang menarik perhatian masyarakat, utamanya persoalan aliran dana

Mencegah atau mengurangi timbulnya kerusakan komponen lingkungan hidup yang menimbulkan dampak turunan (lanjutan) pada komponen lingkungan lainnya. Sebagai bahan

5 = Ada kegiatan penyusunan PPAB, dilakukan oleh Pokja PPRA Dep./SMF yang ditunjuk, penyusunan berdasarkan EBM dan hasil peta medan kuman, ada koordinasi dengan