• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan Pemikiran Nurcholish Madjid Mengenai Sekularisasi Perkembangan pemikiran Nurcholish Madjid mengenai sekularisasi

berkaitan dengan perkembangan pembaruan pemikiran Islam yang digagasnya. Hal tersebut dapat ditinjau melalui berbagai tulisan dan kajian para intelektual terhadap pemikiran Nurcholish Madjid juga tulisan-tulisan Nurcholish sendiri. Oleh karena itu, peneliti menyusun garis waktu (timeline) tulisan-tulisan Nurcholish yang tersebar dalam berbagai media massa dan juga tulisan yang telah dibukukan. Walaupun tidak lengkap sepenuhnya, karena terdapat tulisan-tulisan Nurcholish yang tidak dapat diketahui waktu penulisannya, akan tetapi tulisan-tulisan tersebut dikumpulkan dari berbagai

122

buku, artikel, surat kabar dan jurnal sejak tahun 1970 hingga saat-saat terakhir Nurcholish menulis kolom Harian Suara Merdeka tahun 2004 sebelum beliau wafat pada tahun 2005.

Pemikiran mengenai sekularisasi pertama kali dikemukakan Nurcholis Madjid dalam pertemuan “Halal bi halal” organisasi pemuda Islam tanggal 3 Januari 1970, mengenai “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”. Sejak saat itu, berbagai respon berupa pujian dan kritik diterima Nurcholish berkaitan dengan gagasan sekularisasi yang kemukakannya. Salah satunya H. M. Rasjidi (dalam Syamsuddin, 2004: 66) yang memaparkan kritiknya terhadap tiga buah ceramah dan tulisan Nurcholish Madjid setelah pidato tersebut, dalam bukunya Koreksi terhadap Drs. Nurcholis Madjid tentang Sekulerisme pada tahun 1970. Kemudian diskursus mengenai pemikiran sekularisasi, ditunjang dengan menyebarnya tulisan-tulisan Nurcholish di berbagai media massa, terutama majalah Tempo, harian Pos Bangsa, majalah Tribun, Mimbar, majalah Panji Masyarakat.

Menjawab berbagai kritik yang ditujukan pada gagasan sekularisasi, maka pada tahun 1972 Nurcholish menulis 2 artikel yaitu, “Beberapa Catatan Sekitar Masalah Pembaruan Pemikiran Dalam Islam” dan “Sekali Lagi Tentang Sekularisasi”. Dalam artikel berjudul “Beberapa Catatan Sekitar Masalah Pembaruan Pemikiran Dalam Islam”, Nurcholish menjustifikasi gagasan sekularisasi dari sisi etimologis. Menurut Nurcholish, dari sisi bahasa, sekular artinya zaman sekarang ini. Oleh sebab itu, manusia adalah makhluk sekular. Nurcholish menegaskan, hal ini bukan saja benar secara istilah,

123

melainkan juga secara kenyataan. Dalam artikel “Sekali Lagi Tentang Sekularisasi”, Nurcholish menjelaskan sekularisasi dengan konsep Tauhid, manusia sebagai khalifah Tuhan, perbedaan Hari Dunia dan Hari Agama dan makna yang terkandung dalam ar-Rahman dan ar-Rahim.

Salah satu kajian mengenai pemikiran Nurcholis dilakukan oleh cendekiawan asal Malaysia, yaitu Muhammad Kamal Hassan (Barton, 1999: 28-32), dalam bukunya Muslim Intellectual Responses to ‘New Order’ Modernization in Indonesia pada tahun 1980. Hassan bahkan membedakan pemikiran Nurcholish Madjid sebelum tahun 1970 yang dinilai mencerminkan pandangan Muslim idealis, dengan pemikiran Nurcholish Madjid setelah mengemukakan pidato tersebut.

Kritik yang ditujukan kepada gagasan sekularisasi yang dikemukakan Nurcholish hingga sekarang mendapatkan perhatian yang besar, sehingga direspon oleh para intektual muslim yang sejalan pemikirannya dengan Nurcholish Madjid, seperti M. Dawam Rahardjo. Seperti dalam kata pengantar buku Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan karya Nurcholish Madjid, Dawam Rahardjo (2008: xi-xii) mengemukakan bahwa “Dengan konsep sekularisasi itu... dia memperoleh rumusan pendekatan pemikiran untuk memecahkan masalah ideologis sekitar hubungan Islam-Pancasila... dalam partisipasi politik pada masa awal Orde Baru”.

Penjelasan yang lebih substantif dalam artikel “Sekularisasi Ditinjau Kembali”, yang dirujuk dari buku 70 tahun Prof. Dr. H.M. Rasjidi yang diterbitkan tahun 1985, merupakan pernyataan Nurcholish mengenai

124

pemaknaan sekularisasi secara sosiologis. Dalam penjelasan tersebut dikemukakan kembali landasan pemikiran beliau mengenai sekularisasi. Sekularisasi, seperti halnya yang dijelaskan dalam ceramah-ceramahnya tahun 1970-1973, merupakan konsekuensi dari tauhid dan berbeda dengan sekularisme (Madjid, 2008: 299-300).

Penjelasan Nurcholish Madjid dalam artikel tersebut berkaitan dengan banyaknya kontroversi mengenai penggunaan konsep sekularisasi. Nurcholish menekankan bahwa istilah sekularisasi yang digunakan beliau bersifat sosiologis, bukan filosofis. Penjelasannya yaitu:

…sekularisasi memang dapat diartikan sebagai proses sosial politik menuju sekularisme, dengan implikasi paling kuat ide pemisahan (total) agama dari negara. Tapi, ini bukanlah satu-satunya arti istilah sekularisasi. Arti lain istilah itu ialah yang bersifat sosiologis, bukan filosofis, seperti yang digunakan Talcott Parsons dan Robert N. Bellah (Madjid, 2008: 299).

Berhubungan dengan kontroversi yang semakin besar, terutama berkaitan dengan kritik H.M. Rasjidi, maka sejak itu Nurcholish tidak banyak menggunakan istilah sekularisasi dalam tulisan-tulisan dan ceramahnya. Alasan hal tersebut dikemukakan Nurcholish, bahwa “Kesulitan timbul dari kenyataan bahwa masa Enlightenment Eropa telah melahirkan filsafat sekularisme sebagai suatu ideology yang secara khusus bersemangat anti-agama, karenanya, cukup sulit untuk menentukan kapan proses sekularisasi, dalam makna sosiologisnya, berhenti dan berubah menjadi proses penerapan sekularisme filosofis itu.” (Madjid, 2008: 302).

Pada akhir penjelasan artikel (Madjid, 2008: 302), Nurcholish mengemukakan kesimpulan sebagai berikut:

125

Kesimpulannya, terdapat perbedaan cukup prinsipal antara pengertian “sekularisasi” secara sosiologis dan secara filosofis. Dan karena sedemikian kontroversialnya istilah “sekuler”, “sekularisasi”, dan “sekularisme” itu, adalah bijaksana untuk tidak menggunakan istilah-istilah tersebut, dan lebih baik menggantikannya dengan istilah-istilah-istilah-istilah teknis lain yang lebih tepat dan netral.

Berdasarkan penjelasan tersebut, bukan berarti peneliti tidak dapat mengkaji perkembangan pemikiran beliau mengenai sekularisasi pada tahun-tahun selanjutnya. Karena secara tersirat, pemikiran Nurcholis Madjid mengenai sekularisasi masih dapat digambarkan dalam tulisan-tulisan dan ceramah beliau. Salah satunya yaitu pada tulisan dialog Nurcholish Madjid dengan jama’ah shalat Jumat di Yayasan Paramadina pada tanggal 24 Maret 2000, mengenai “Beriman kepada Allah, tetapi Musyrik”. Nurcholish menekankan penghayatan makna lafadz Lâ Ilâha Illallâh (Tiada Tuhan selain Allah) untuk menghilangkan ketergantungan terhadap hal-hal yang musyrik (menyekutukan Allah) dengan sekularisasi. Secara lebih jelas beliau menjelaskan:

…Kenapa kita sekarang dengan rileks memasang gambar Garuda itu di kantor-kantor kita, padahal itu ‘kan kendaraannya Dewa Wisnu? Apakah kita tidak takut musyrik? Tidak, karena garuda itu sudah kita “bunuh” begitu rupa, sehingaa fungsinya sekarang tinggal dekorasi atau ornamen. Sebagai orang Islam kita memang harus begitu.

Contoh lain adalah lambangnya kampus ITB di Bandung, yaitu Patung Ganesha. Itu lebih gawat lagi, karena Ganesha itu Dewa Ilmu. Apakah para mahasiswa ITB ngalap barkah dari patung Ganesha itu? Jelas tidak. Mereka memakai jaket dengan gambar Ganesha sebagai dewa sudah “dibunuh” atau sudah terkena Lâ Ilâha Illallâh itu. Nah, proses ini penting. Dan itu sebetulnya yang secara sosiologis disebut sekularisasi, devaluasi, atau kadang-kadang juga disebut demitologisasi (Madjid, 2002: 6).

Perbedaan mengenai tipologi pemikiran Nurcholish Madjid juga menjadi diskursus yang menarik di antara para cendekiawan yang mengkaji

126

pemikirannya. Berbeda dengan Gerg Barton yangsecara mutlak sebagai seorang neo-modernis, Azyumardi Azra justru berpendapat bahwa pemikiran Nurcholish Madjid telah mengalami perubahan setelah beliau mendapatkan gelar doktoralnya. Azra berpandangan bahwa arah pemikiran Nurcholish Madjid tidak lagi berada pada tipologi neo-modernis, justru karena agendanya yang lebih mengedepankan ide-ide yang berasal dari tradisi Islam klasik, Azra menggolongkannya pada tipologi neo-tradisionalis.

Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A. dalam bukunya Menuju Masyarakat Madani: Gagasan, Fakta, dan Tantangan, mengemukakan bahwa terdapat pergeseran atau perkembangan dalam pemikiran Nurcholish Madjid, yaitu mengenai pemikiran (substansinya), concern intelektual, dan agendanya. Pada awal dikemukakannya gagasan Nurcholish Madjid mengenai pembaruan Islam tahun 1970-an hingga studi Nurcholish ke University of Chicago, Azra menyepakati tipologi yang diberikan Barton sebagai seorang neo-modernis.

Azra memberikan alasannya bahwa Neo-Modernisme Nurcholish Madjid pada masa tersebut terlihat dari basis-basis pemikirannya yaitu tradisi Islam klasik, dan pada concern intelektualnya yaitu respons Islam terhadap tantangan modernisme dan modernitas (1999b: 155). Perubahan dalam pemikiran Nurcholish setelah pulang dari studinya di University of Chicago pada tahun 1985, terlihat pada substansi pemikirannya. Azra (1999b: 156) menjelaskan, perubahan dari segi substansi pemikiran terlihat dari hasil pemikirannya yang lebih mengutamakan tradisi Islam klasik, daripada wacana modernisme.

127

Perubahan pada substansi pemikirannya tersebut mempengaruhi concern intelektual Nurcholish Madjid, yang lebih banyak didasarkan pada pembangunan suatu “peradaban Islam” yang landasannya berasal dari tradisi Islam klasik. Peradaban Islam yang dimaksud merupakan peradaban yang dapat dibangun tidak hanya pada masa modern, tetapi juga pada masa postmodern. Selain itu, agenda Nurcholish Madjid juga berubah menjadi “membangun integritas umat”. Pemikiran Nurcholish yang pada awalnya bermaksud mengajak umat Islam Indonesia untuk berpartisipasi dalam modernisasi atau pembangunan bangsa, berubah menjadi untuk membangun integritas umat dalam konteks peradaban yang dikemukakannya (Azra, 199b: 156-157).

Berkaitan dengan pendapat Azyumardi Azra mengenai pergeseran pemikiran, peneliti juga menafsirkan adanya perubahan dalam substansi pemikiran Nurcholish seperti yang dikemukakan pada penjelasan di atas. Substansi pemikiran Nurcholish Smenjadi semakin mendalam berkaitan dengan agenda pembaruan yang lebih besar, yaitu membangun peradaban. Seperti yang dijelaskan Nurcholish Madjid dalam bukunya yang berjudul Tradisi Islam, Peran dan Funngsinya dalam Pembangunan di Indonesia.

Selain bermaksud untuk membangun peradaban Islam dengan tradisi intelektual yang berdasarkan tradisi Islam klasik, Nurcholish pun bermaksud untuk mengajak umat Islam bersatu dalam membangun peradaban Islam. Sehingga, dalam tulisan-tulisan beliau banyak dikemukakan kajian mengenai berbagai kelompok Islam dan potensinya untuk tetap bersatu. Hal tersebut

128

masih tetap dihubungkan dengan prinsip modernitas, walaupun lebih banyak berpedoman kepada ajaran-ajaran pokok dalam Islam. Seperti yang dikemukakan Nurcholish Madjid pada tahun 2003 dalam harian Suara Merdeka:

Islam tak disebarkan lewat kekerasan. Sistem itulah yang oleh Robert N. Bellah disebut sebagai sangat modern, mungkin terlalu modern untuk zamannya sehingga tidak bertahan cukup lama, namun tetap menjadi model masyarakat nasional yang adil, terbuka, egaliter, dan partisipatoris. Menurut Bellah, masyarakat serupa itu belum pernah terbayangkan keteladanan bagi umat manusia saat ini dan sepanjang masa…

Setiap keyakinan memiliki energi atau menjadi sumber energi. Islam tidak merupakan perkecualian. Ajaran "islam" adalah ajaran berserah diri kepada Tuhan sesuai dengan hakikat kesucian primordial manusia yang dengan sikap itu manusia memperoleh kedamaian (salam). (dalam http://www.suaramerdeka.com/harian/0309/13/nas4.htm, 08/08/09).

Konsistensi pemikiran Nurcholish Madjid berada pada gagasan mengenai pembaruan pemikiran atau ijtihad, sebagai suatu keharusan dalam setiap perjalanan sejarah umat Islam. Proses sekularisasi juga masih dikemukakan berada pada pengertian yang sama dengan yang dikemukakan sejak tahun 1970. Sekularisasi merupakan proses yang disebutkan sebagai syarat untuk mengembalikan umat Islam Indonesia kepada ajaran Islam yang benar. Hal tersebut agar umat Islam dapat belajar dari dinamika zaman.

Konsistensi pemikiran mengenai sekularisasi terlihat dari penafsiran peneliti terhadap tulisan-tulisan Nurcholish Madjid. Seperti contohnya dalam tulisan beliau berjudul “Perspektif Pembaruan Pemikiran dalam Islam” pada tahun 1972, Nurcholish Madjid mengajukan prasyarat agar umat Islam dapat bertahan dalam perubahan sosial karena pembangunan dan modernisasi. Prasyarat tersebut terdiri dari liberalisasi (pembebasan dari nilai tradisional yang bersifat menghambat), sekularisasi (pembebasan masalah-masalah dan urusan-urusan duniawi dari belenggu-belenggu keagamaan yang tidak pada tempatnya), serta bentuk sikap pembebasan lainnya.

Dokumen terkait