• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam kertas kerja Nurcholish Madjid berjudul “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”, dapat diperoleh penjelasan awal mengenai gagasan sekularisasi. Nurcholish Madjid mengemukakan bahwa proses pembaruan pemikiran Islam memerlukan proses

111

liberalisasi. Proses itu secara garis besar terbagi ke dalam tiga proses yang saling berkaitan, yaitu 1) sekularisasi, 2) kebebasan berpikir, dan 3) sikap terbuka. Oleh karena itu, sekularisasi yang dimaksudkan Nurcholish merupakan suatu proses yang saling berkaitan dengan kebebasan berpikir dan sikap terbuka sebagai agenda yang harus dilakukan dalam pembaruan pemikiran Islam. Seperti yang dikemukakan Nurcholish:

…kita hendak menarik pengertian bahwa pembaruan harus dimulai dengan dua tindakan yang saling erat hubungannya, yaitu melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional, dan mencari nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan. …Untuk itu diperlukan suatu proses liberalisasi. Proses itu dikenakan terhadap “ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan Islam” yang ada sekarang ini. Proses ini menyangkut proses-proses lainnya… (2008: 228-229).

Sekularisasi yang dimaksudkan Nurcholish Madjid berbeda dengan sekularisme. Pada umumnya, sekularisme didefinisikan sebagai paham atau pandangan yang berpendirian bahwa moralitas tidak perlu didasarkan pada ajaran agama. Sedangkan pengertian sekularisasi sangat berkaitan dengan sekularisme, yaitu 1) hal-hal yang membawa ke arah kehidupan yang tidak didasarkan pada ajaran agama, dan 2) pengambilalihan bangunan atau barang milik negara dan digunakan untuk keperluan lain (dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, 2002). Oleh karena itu, seseorang pandangan dan sikapnya memisahkan antara kehidupan agama/ kerohanian dengan kehidupan duniawi/ kebendaan, dianggap sebagai orang yang sekuler. Pada proses sekularisasi yang dikemukakan Nurcholish, ditekankan bahwa proses tersebut tidak sama dengan sekularisme.

112

Sekularisasi yang dikemukakan Nurcholish dipahami sebagai suatu proses daripada sebuah sistem kepercayaan. Proses sekularisasi melibatkan transformasi kepercayaan-kepercayaan dan praktik lainnya ke dalam dua arah. Arah transformasi yang pertama ialah ke bawah dengan melakukan desakralisasi atau menduniawikan segala hal yang tidak suci tapi selama ini dianggap suci. Arah kedua adalah ke atas dengan mensakralkan segala hal yang benar-benar transenden, kekal dan suci (Barton, 1999: 108).

Nurcholish Madjid mengemukakan pemahaman mengenai sekularisasi sebagai berikut:

Sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme, sebab secularism is the name of function very much like a new religion. Dalam hal ini, yang dimaksudkan ialah setiap bentuk liberating development. Proses pembebasan ini diperlukan karena umat Islam, akibat perjalanan sejarahnya sendiri, tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai yang disangkanya Islami itu, mana yang transendental dan mana yang temporal. Malahan, hierarki nilai itu sendiri terbalik, transendental semuanya, bernilai ukhrawi, tanpa kecuali (2008: 229).

Pembebasan menurut Nurcholish yang disebut liberating development disebabkan karena pandangan terhadap kondisi umat Islam di Indonesia saat itu, yang masih belum bisa membedakan nilai-nilai yang benar-benar berasal dari ajaran Islam dan yang bukan merupakan nilai pokok ajaran Islam. Selain itu, terdapat juga beberapa masyarakat Islam yang justru terlalu bersifat ukhrawi/ keakhiratan, sehingga mengganggap hal yang transendental mempengaruhi seluruh kehidupannya tanpa menghiraukan kehidupan duniawinya. Lebih lanjut mengenai definisi sekularisasi yang membedakannya dengan sekularisme dipaparkan sebagai berikut:

113

Jadi, sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme dan mengubah kaum Muslim menjadi sekularis, tetapi dimaksudkan untuk menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi, dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk meng-ukhrawi-kannya. Dengan demikian, kesediaan mental untuk selalu menguji dan menguji kembali kebenaran suatu nilai di hadapan kenyataan-kenyataan material, moral, ataupun historis, menjadi sifat kaum Muslim (2008:229-230).

Liberalisme sebagai paham yang kontroversial, terutama jika dihubungkan dengan ajaran agama, menjadi usulan Nurcholish dalam melakukan pembaruan pemikiran Islam. Bahkan, konsep sekularisasi dimaksudkan sebagai salah satu proses dalam liberalisasi ajaran-ajaran agama tersebut. Liberalisme merupakan suatu paham, sedangkan liberalisasi merupakan proses yang mendukung faham tersebut. Istilah “liberalisme” berasal dari bahasa Latin, liber, yang artinya bebas atau merdeka. Dalam wilayah agama, liberalisme berarti kebebasan menganut, meyakini, dan mengamalkan apa saja, sesuai kecenderungan, kehendak, dan selera masing-masing. Bahkan lebih jauh dari itu, liberalisme mereduksi agama menjadi urusan privat (Arif, 2008: 76-77).

Dalam kaitannya dengan liberalisasi, sekularisasi yang dimaksudkan Nurcholish juga merupakan salah satu proses pembebasan. Akan tetapi, dengan dasar tauhid yang dikemukakannya, sekularisasi yang dimaksudkan bukan untuk menghilangkan agama demi kebebasan pribadi. Sekularisasi dimaksudkan sebagai proses yang membedakan urusan duniawi/ kebendaan dengan urusan akhirat/ rohani. Nurcholish (2008: 230) menggambarkan dalam kertas kerjanya bahwa “Lebih lanjut, sekularisasi dimaksudkan untuk lebih memantapkan tugas duniawi manusia sebagai “khalifah Allah di bumi.”

114

Nurcholish Madjid mengemukakan pengertian sekularisasi dalam pandangan sosiologis, berbeda dengan sekularisme. Syamsuddin Arif (2008: 85) mengemukakan bahwa “secularization thesis” merupakan teori yang digagas oleh August Comte, kemudian diikuti oleh Emile Durkheim, Maz Weber, Karl Marx, Freud, dan Thomas Luckmann. Paham sekularisme tidak hanya merupakan suatu teori yang berkembang dalam kaum intelektual Barat, tetapi juga berkembang dalam dunia Islam. Bahkan dalam beberapa negara seperti Turki dan Mesir, seperti yang dikemukakan Syamsuddin Arif (2008: 91), paham ini dianggap sebagai suatu prasyarat transformasi masyarakat dari tradisional menjadi modern. Sehingga paham tersebut diyakini dan direalisasikan dalam berbagai segi kehidupan negara-negara tersebut, salah satunya dalam Undang-undang. Sebagai upaya membedakan paham sekularisme dengan sekularisasi yang digagas Nurcholish Madjid, maka peneliti memaparkannya dalam penjelasan sebagai berikut.

a. Aspek Teoritis

Beberapa tulisan dan ceramah disampaikan Nurcholish setelah pidato berjudul “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”, dimaksudkan untuk memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai sekularisasi. Hal tersebut terutama karena banyaknya reaksi-reaksi yang negatif tentang penggunaan istilah tersebut dalam Islam. Dalam tulisannya berjudul “Masalah Pembaruan Pemikiran Islam”, Nurcholish menjelaskan istilah sekularisasi dari segi bahasa dan istilahnya.

115

Nurcholish Madjid mengemukakan, kata-kata “sekuler” dan “sekularisasi” berasal dari bahasa Barat (Inggris, Belanda, dan lain-lain). Sedangkan asal kata-kata itu sebenarnya berasal dari bahasa Latin, yaitu saeculum, yang artinya “zaman sekarang ini”. Kata saeculum tersebut merupakan salah satu dari dua kata Latin, yaitu “dunia”. Kata lainnya ialah mundus. Perbedaannya, mundus merupakan kata waktu sedangkan saeculum merupakan kata ruang. Antonim dari saeculum ialah eternum yang berarti “abadi”, yang digunakan untuk menunjukkan alam yang kekal abadi sesudah dunia ini (akhirat). Hal tersebut seperti halnya perbedaan hal-hal duniawi dan hal-hal ukhrawi (2008: 241).

Nurcholish Madjid mengemukakan bahwa penggunaan istilah sekularisasi digunakan untuk menunjukkan dunia tempat manusia hidup sekarang ini sebelum dunia lain yang lebih kekal, yaitu akhirat. Menurut Nurcholish, dari segi bahasa an sich, pemakaian istilah sekuler tidak mengandung keberatan apa pun, karena benar manusia adalah makhluk duniawi. Manusia hidup dalam dunia sekarang ini, maka disebut sebagai makhluk duniawi, maka ketika kata “duniawi” diganti dengan kata “sekuler”, manusia merupakan makhluk sekuler.

Penjelasan mengenai pengertian secara istilah tersebut merupakan pembuka untuk deskripsi Nurcholish mengenai pentingnya manusia menghargai kehidupan yang telah diberikan Allah di dunia ini. Seperti yang dikutipnya dalam Al-Qur’an surat Al-Mu’minun ayat 14, bahwa alam ini baik

116

sebagai ciptaan dari sebaik-baik Pencipta. Proses penduniawian tersebut merupakan pengertian pertama sekularisasi.

Selanjutnya dijelaskan Nurcholish dalam tulisan yang disebutkan di atas, bahwa secara ringkas pengertian sekularisasi ialah pengakuan wewenang ilmu pengetahuan dan penerapannya dalam membina kehidupan duniawi. Hal yang dimaksudkan Nurcholish ialah agar umat Islam menghindari sikap dimana “…hierarki nilai itu sendiri sering terbalik, transendental semuanya, bernilai ukhrawi, tanpa kecuali” (2008: 229).

Dengan penafsiran terhadap tulisan-tulisan Nurcholish, dapat dipahami bahwa sekularisasi yang dimaksud ialah untuk membuat kehidupan duniawi dan ukhrawi menjadi seimbang. Perspektif tersebut dilandasi oleh pengamatan beliau terhadap beberapa kelompok umat Islam yang memiliki kekeliruan dalam memandang kehidupan duniawi. Sehingga, kegiatan-kegiatan ibadah dianggap lebih penting dari kehidupan yang bersifat duniawi. Salah satu interpretasi tersebut diperoleh dari pandangan beliau dalam buku Kontektualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah sebagai berikut:

Islam mengajarkan kebahagiaan dan kesengsaraan jasmani dan rohani atau duniawi dan ukhrawi, namun tetap membedakan keduanya. Dalam Islam, seseorang dianjurkan mengejar kebahagiaan di akhirat, namun diingatkan agar jangan melupakan nasibnya dalam hidup di dunia ini (Lihat QS. al-Qashash/28:77). Itu berarti memperoleh kebahagiaan akhirat belum tentu dan tidak dengan sendirinya memperoleh kebahagiaan di dunia. Sebaliknya, orang yang mengalami kebahagiaan duniawi belum tentu akan mendapatkan kebahagiaan di akhirat. Maka manusia didorong mengejar kedua bentuk kebahagiaan itu, serta berusaha menghindar dari penderitaan azab lahir dan batin (QS.al-Baqarah/2:200) (Madjid, dkk, 1994: 20).

117

Tujuan tersebut yang membedakan sekularisasi dengan sekularisme. Nurcholish mengemukakan bahwa sekularisme adalah paham keduniawian. Paham itu mengatakan bahwa kehidupan duniawi ini adalah mutlak dan terakhir, sehingga tidak meyakini adanya kehidupan sesudahnya, yaitu di akhirat. Oleh karena itu, sekularisme bertentangan dengan agama, khususnya Islam. Sebab Islam mengajarkan adanya “Hari Kemudian” (akhirat), dan orang Islam wajib meyakininya.

Berkaitan dengan para sekularis yang menjadikan sekularisme sebagai pandangan hidupnya, Nurcholish mengutip salah satu ayat Al-Qur’an yang menggambarkan bahwa: “Mereka (orang-orang kafir itu) berkata: “Tidak ada kehidupan kecuali kehidupan dunia kita ini saja. Kita mati dan kita hidup, dan tidak ada sesuatu yang membinasakan kita, kecuali masa. Padahal mereka tidak mempunyai pengetahuan yang pasti tentang hal itu. Mereka hanya menduga-duga saja” (surat Al-Jatsiyah ayat 24). Nurcholish Madjid mengemukakan bahwa sekularisasi tanpa sekularisme yaitu proses penduniawian tanpa paham keduniawian.

Sekularisasi dalam bentuknya yang demikian menjadi keharusan bagi setiap umat beragama, khususnya umat Islam jika pada suatu saat mereka kurang memberikan perhatian yang wajar kepada aspek duniawi kehidupan ini. Dengan mengutip dari Al-Qur’an Surat Al-Qashash ayat 77, Nurcholish Madjid mengemukakan terdapat perintah Allah agar muslim berusaha memperoleh kebahagiaan di akhirat nanti, yang kemudian disusul dengan peringatan agar tidak melupakan kehidupan duniawi.

118

Proses sekularisasi membebaskan umat Islam untuk dapat menjalankan peranannya sebagai “khalifah Allah di muka bumi”. Seperti dipaparkan Nurcholish, “Fungsi sebagai khalifah Allah tentu memberikan ruang bagi adanya kebebasan manusia untuk menetapkan dan memilih sendiri cara dan tindakan-tindakan dalam rangka perbaikan-perbaikan hidupnya di atas bumi …” (2008: 230).

Selain itu, kondisi umat Islam yang menjadi fokus perhatian Nurcholish yaitu masih banyaknya tradisi-tradisi yang bukan berasal dari ajaran Islam, tetapi dilakukan oleh umat Islam. Nurcholish memaparkan pengamatannya, bahwa “Proses pembebasan ini diperlukan karena umat Islam, akibat perjalanan sejarahnya sendiri, tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai yang disangkanya Islami itu, mana yang transendental dan mana yang temporal.” (2008: 229).

Perspektif sejarah mengenai kondisi keagamaan umat Islam di Indonesia yang mempengaruhi kekeliruan dalam pemikiran Islam, dijelaskan Nurcholish dalam tulisan berjudul “Sekali lagi tentang Sekularisasi”. Dalam tulisan tersebut dipaparkan pengaruh kepercayaan animisme dan dinamisme terhadap praktik-praktik agama Hindu dan Budha di Indonesia, sehingga ketika Islam datang, tugas pembaruan terhadap kepercayaan tersebut menjadi hal utama.

Islam mengajarkan syahadat yang merupakan dasar dari tauhid. Hasil langsung dari tauhid ini adalah penolakan segala bentuk pemberhalaan, juga pemberhalaan agama ortodoks yang dibuat manusia menjadi suci (Barton:

119

1999: 108). Nurcholish menyadari bahwa pemujaan terhadap sesuatu sebagai hal yang wajar atau manusiawi, karena menjadi kebutuhan untuk mempunyai “rasa aman” menghadapi kenyataan hidup. Pandangan Nurcholish yaitu:

Kenyataan bahwa kalimat syahadat pertama-tama mengandung peniadaan objek pemujaan, atau tuhan, merupakan pengakuan tegas akan adanya kecenderungan manusia untuk memuja apa saja yang sebenarnya tidak perlu…

Satu-satunya jalan ialah melepaskan manusia dari belenggu ini: ia harus melangkahi kepercayaannya sendiri bahwa dunia ini tidak dimengerti oleh manusia sendiri. Dan itu berarti mengubah sama sekali tata kepercayaannya, yaitu bahwa manusia diberi wewenang penuh untuk memahami dunia ini. Yang tidak mungkin dimengerti hanyalah Tuhan, Pendeta dunia itu. Maka, Dia-lah yang berhak dipuja. Sedangkan selain-Nya, seisi alam raya ini, justru sebaliknya: harus dibuka rahasianya, dimengerti, dikuasai, dan digunakan (2008: 257).

Konsep mengenai sekularisasi juga dimaksudkan sebagai proses yang mensakralkan sesuatu yang benar-benar transenden. Sejak awal Nurcholish Madjid mengajukan tema yang sama dengan pemikirannya yang kemudian, yakni bahwa kebenaran harus dikejar melebihi dari segalanya, dan bahwa kebenaran yang mutlak hanyalah milik Tuhan. Nurcholish Madjid membawa pikiran ini dengan menghubungkan pada konsep syahadat yang merupakan kesaksian iman paling dasar, esensi Islam serta merupakan penolakan segala hal kecuali Allah (Barton: 116). Sekularisasi merupakan salah satu proses dalam pembaruan pemikiran Islam yang kemudian akan sangat berkaitan dengan kebebasan berpikir (intellectual freedom) dan sikap terbuka (idea of progress).

b. Aspek Praktis

Perhatian Nurcholish pada umumnya masalah-masalah teologis dan sosial dalam arti bahwa ia berusaha melakukan telaah ulang atas iman dan

120

praktik dan dalam hubungannya dengan masalah-masalah sosial untuk menggugah umat agar melakukan hal yang sama (Liddle, 1997: 104). Oleh karena itu, segi praktis dari pemikiran Nurcholish mengenai sekularisasi berhubungan dengan penerapannya dalam bidang sosial dan politik.

Seperti yang telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya mengenai dasar historis pemikiran sekularisasi, Nurcholish Madjid menginginkan terwujudkan masyarakat Islam yang modern seperti dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Dengan mengungkapkan proses sekularisasi sebagai salah satu proses dalam pembaruan pemikiran Islam, berarti tujuannya bermaksud menciptakan pemahaman umat Islam yang integral mengenai pokok-pokok ajarannya.

Nurcholish Madjid bermaksud agar umat Islam menyeimbangkan kehidupan dunia dan akhirat dengan mewujudkan pemahaman yang benar mengenai kehidupan duniawi dan ukhrawi. Dengan demikian, berarti umat Islam dapat dapat menjalankan tugas manusia sebagai “khalifah Allah di muka bumi”. Maka, peradaban Islam yang pernah mengalami kejayaannya di masa Islam klasik dapat terwujud kembali.

Sekularisasi memperoleh maknanya dalam desakralisasi segala sesuatu selain hal-hal yang benar-benar bersifat ilahiyah (transendental). Hal tersebut bermaksud untuk membedakan, bukan untuk memisahkan persoalan duniawi dan ukhrowi. Dengan kata lain, Nurcholish Madjid mencoba memberikan penafsiran baru mengenai peristilahan tersebut, yaitu sebagai sarana

121

Islamisasi atau pentauhidan (dalam http://khirzulmuhammad.blogspot.com/, 05/08/09).

Contoh ideal mengenai masyarakat yang diinginkan terwujud oleh Nurcholish Madjid dikemukakan dalam beberapa tulisannya. Seperti juga yang digambarkan Nurcholish mengenai masyarakat Madani (Masyarakat di kota Madinah yang dipimpin Nabi Muhammad SAW) yang dianggap :

…Ketaatan dan kepatuhan kepada perjanjian-perjanjian yang benar sesama manusia itu juga ketaatan dan kepatuhan kepada perjanjian dengan Allah SWT. Karena itu, kita tidak boleh melalaikan dan mengabaikannya, sebab perbuatan serupa itu adalah sama dengan ingkar kepada Allah.

Prinsip-prinsip masyarakat Madinah, masyarakat yang patuh dan taat kepada Allah, kepada hukum, aturan dan perjanjian. Dengan kepatuhan dan ketaatan itu, maka masyarakat manusia menjadi masyarakat yang berkeadaban, ber-madaniyyah. Sebaliknya, tanpa kepatuhan dan ketaatan yang amat mendasar itu, masyarakat akan menjadi tidak berkeadaban, menjadi biadab, tidak memiliki madaniyyah (dalam http://www.suaramerdeka.com/harian/0310/04/nas4.htm, 08/08/09).

3. Perkembangan Pemikiran Nurcholish Madjid Mengenai Sekularisasi

Dokumen terkait