• Tidak ada hasil yang ditemukan

HISTOLOGI GONAD IKAN LELE JANTAN Clarias sp. PADA PERLAKUAN EKSTRAK PURWOCENG Pimpinella alpina PANJI IRAWAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HISTOLOGI GONAD IKAN LELE JANTAN Clarias sp. PADA PERLAKUAN EKSTRAK PURWOCENG Pimpinella alpina PANJI IRAWAN"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

HISTOLOGI GONAD IKAN LELE JANTAN

Clarias

sp. PADA

PERLAKUAN EKSTRAK PURWOCENG

Pimpinella alpina

Molk. MELALUI PAKAN

PANJI IRAWAN

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:

HISTOLOGI GONAD IKAN LELE JANTAN Clarias sp. PADA PERLAKUAN EKSTRAK PURWOCENG Pimpinella alpina Molk. MELALUI PAKAN

adalah benar merupakan hasil karya yang belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, September 2012

PANJI IRAWAN C14062325

(3)

ABSTRAK

PANJI IRAWAN. Histologi gonad ikan lele jantan Clarias sp. pada perlakuan ekstrak purwoceng Pimpinella alpina Molk. melalui pakan. Dibimbing oleh

MUHAMMAD ZAIRIN JUNIOR dan DINAR TRI SOELISTYOWATI. Ikan lele Clarias sp. merupakan salah satu komoditas perikanan yang memiliki permintaan pasar yang cukup tinggi, tetapi ketersediaan benih tidak mencukupi. Peningkatan produksi benih dapat dilakukan dengan meningkatkan kualitas induk. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas sperma dari induk jantan. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh dosis pemberian ekstrak purwoceng Pimpinella alpina Molk. melalui pakan terhadap perkembangan spermatogenesis ikan lele Clarias sp. berdasarkan gambaran histologi gonad. Penelitian dilakukan dengan menggunakan ikan lele kisaran bobot 200-300 g/ekor. Dosis purwoceng yang digunakan adalah 2,5 g/kg; 5 g/kg; 7,5 g/kg pakan dan kontrol (tanpa perlakuan). Pemeliharaan ikan dilakukan dalam bak semen berukuran 2 x 1,5 x 1 m3 dan diisi air hingga volume air sekitar 2 m3. Setelah 30 hari masa pemeliharaan, ikan diambil dan dibedah untuk diambil gonadnya. Kemudian dilakukan proses preparasi histologi pada gonad tersebut. Lalu preparat diamati di bawah mikroskop untuk mengetahui perkembangan tubulus seminiferus dan derajat spermatogenesisnya menurut kriteria Johnsen. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa ekstrak purwoceng yang diberikan dengan dosis 5 g/kg pakan berpengaruh nyata terhadap perkembangan tubulus seminiferus (p<0,05), sedangkan berdasarkan derajat spermatogenesis menurut kriteria Johnsen menunjukkan perbedaan di mana pada perlakuan ekstrak purwoceng lebih tinggi (9) dibandingkan kontrol (8).

Kata Kunci : ikan lele, purwoceng, spermatogenesis, histologi, tubulus seminiferus, kriteria Johnsen

(4)

ABSTRACT

PANJI IRAWAN. Catfish male gonad histology with the treatment of purwoceng

Pimpinella alpina Molk. extract through the feed. Supervised by MUHAMMAD ZAIRIN JUNIOR and DINAR TRI SOELISTYOWATI.

Catfish Clarias sp. is one of fishery commodities that have high market demand but insufficient in fry availability. Increasing in fry production can be done by improving the quality of the broodstock. One of the ways is by improving the quality and quantity of the male broodstock sperm. This study aimed to evaluate the dose effect of the purwoceng Pimpinella alpina Molk extract through the spermatogenesis growth of catfish Clarias sp. based on gonad histology. The research was conducted by using catfish weight range 200-300 g/fish. Purwoceng dose was 2.5 g/kg feed, 5 g/kg feed, 7.5 g/kg feed, and control (no treatment). The fish were reared in the concrete tanks at size 2 x 1.5 x 1 m3 and filled with about 2 m3 of water. After 30 days treatment periods, the fish were taken and then dissected to take the gonad to begin the process of gonad histology preparation. The result of the preparations were examined under the microscope to determine the development of the seminiferous tubules and the degree of spermatogenesis based on Johnsen criteria. The results showed that the purwoceng extracts with the dose at 5 g/kg feed significantly affect the growth of the seminiferous tubules (p<0.05), whereas according to Johnsen criteria and based on the degree of spermatogenesis, the purwoceng extract had a higher value (9) than the control (8).

Keywords: catfish, purwoceng, spermatogenesis, histology, seminiferous tubules, Johnsen criteria

(5)

HISTOLOGI GONAD IKAN LELE JANTAN

Clarias

sp. PADA

PERLAKUAN EKSTRAK PURWOCENG

Pimpinella alpina

Molk. MELALUI PAKAN

PANJI IRAWAN

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Program Studi Teknologi & Manajemen Perikanan Budidaya

Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

(6)

Judul Skripsi : Histologi gonad ikan lele jantan Clarias sp. pada perlakuan ekstrak purwoceng Pimpinella alpina Molk. melalui pakan

Nama Mahasiswa : Panji Irawan Nomor Pokok : C14062325

Disetujui,

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Ir. Muhammad Zairin Junior, M.Sc. Dr. Ir. Dinar Tri Soelistyowati, DEA. NIP. 19590218 198601 1 001 NIP. 19611016 198403 2 001

Diketahui,

Ketua Departemen Budidaya Perairan

Dr. Ir. Sukenda, M.Sc. NIP. 19671013 199302 1 001

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Penelitian yang dilaksanakan selama bulan Maret hingga bulan Mei 2011 di Kolam Babakan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor ini berjudul “Histologi Gonad Ikan Lele Jantan Clarias sp. pada Perlakuan Ekstrak Purwoceng Pimpinella alpina Molk. Melalui Pakan”.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Prof. Dr. Muhammad Zairin Junior, M.Sc. selaku dosen Pembimbing I dan Dr. Ir. Dinar Tri Soelistyowati, DEA. selaku dosen Pembimbing II serta Dr. Ir. Agus Oman Sudrajat, M. Sc. selaku dosen Pembimbing Akademik yang dengan penuh kesabaran telah memberikan bimbingan, arahan serta dukungan selama penulis menempuh studi. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Ir. Dadang Shafruddin, M.Si. selaku dosen penguji tamu serta kepada Dr. Alimuddin selaku Komisi Pendidikan Departemen pada sidang ujian akhir/skripsi penulis. Selain itu, penulis juga menyampaikan terima kasih kepada kedua orang tua dan adik yang senantiasa memberikan doa, dukungan, kasih sayang dan semangat. Selanjutnya penulis menyampaikan terima kasih kepada para teknisi kolam Babakan (Kang Entis, Pak Wawan, Kang Irus) serta Pak Ranta yang sangat membantu dalam proses preparasi histologi yang dilakukan. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada para laboran, teknisi, staf administrasi Departemen Budidaya Perairan yang telah banyak memberikan bantuan, dan sahabat-sahabat BDP 43, 42, 45 serta pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini.

Bogor, September 2012

(8)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor tanggal 24 Nopember 1987 dari pasangan keluarga bapak Sadiya dan ibu Siti Dariyah. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara.

Pendidikan formal yang pernah dilalui oleh penulis adalah SDN Lawanggintung 3 Bogor (1993-1999), SLTPN 3 Bogor (1999-2002) dan

SMUN 4 Bogor (2002-2005). Pada tahun 2006, penulis berhasil lulus dalam seleksi masuk perguruan tinggi IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan kemudian memilih mayor Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama masa perkuliahan, penulis pernah magang mandiri di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara, Jawa Tengah (2008) dan praktek kerja lapang di PKSPL IPB Balai Sea Farming Kepulauan Seribu (2009). Penulis juga pernah menjadi asisten mata kuliah Dasar-Dasar Genetika Ikan dan Fisiologi Reproduksi Organisme Akuatik. Selain itu penulis juga aktif menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Akuakultur (HIMAKUA) periode 2007/2008 sebagai anggota divisi Olahraga dan Seni serta 2008/2009 sebagai anggota divisi Kewirausahaan. Kegiatan kemahasiswaan lain yang pernah diikuti oleh penulis adalah Program Mahasiswa Wirausaha 2010 yang didanai oleh Dikti. Sebagai tugas akhir, penulis menulis skripsi yang berjudul “Histologi Gonad Ikan Lele

Jantan Clarias sp. pada Perlakuan Ekstrak Purwoceng Pimpinella alpina

(9)

i

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR GAMBAR ... ii

DAFTAR LAMPIRAN ... iii

I. PENDAHULUAN ... 1

II. BAHAN DAN METODE ... 3

2.1. Materi Uji ... 3 2.2. Rancangan Percobaan ... 3 2.3. Prosedur Penelitian... 4 2.3.1. Persiapan Wadah ... 4 2.3.2. Penebaran ... 5 2.3.3. Pemeliharaan ... 5

2.3.4. Penyiapan Ekstrak Purwoceng ... 5

2.3.5. Perlakuan Ekstrak Purwoceng Melalui Pakan ... 5

2.4. Parameter Penelitian... 6

2.4.1. Diameter Tubulus Seminiferus ... 6

2.4.2. Derajat Spermatogenesis ... 6

2.4.3. Analisis Data ... 7

III. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 8

3.1 Hasil ... 8

3.1.1. Diameter Tubulus Seminiferus ... 8

3.1.2. Derajat Spermatogenesis (Kriteria Johnsen) ... 9

3.2 Pembahasan ... 10

IV. KESIMPULAN DAN SARAN ... 14

4.1. Kesimpulan ... 14

4.2. Saran ... 14

DAFTAR PUSTAKA ... 15

(10)

ii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Histogram diameter tubulus seminiferus ikan lele pada hari ke-30 paska perlakuan ekstrak purwoceng melalui pakan ... 8 2. Histogram derajat spermatogenesis menurut kriteria Johnsen ... 9 3. Histologi gonad ikan lele jantan pada perlakuan ekstrak purwoceng

melalui pakan: a) kontrol, b) dosis 2,5 g/kg, c) dosis 5 g/kg, d) dosis 7,5 g/kg ... 10

(11)

iii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Rekapitulasi ketersediaan produksi benih ikan lele tahun 2007-2011 (satuan ekor) ... 17 2. Hasil perhitungan statistik diameter tubulus seminiferus ikan lele

(Clarias sp.) ... 18 3. Hasil perhitungan statistik derajat spermatogenesis menurut kriteria

Johnsen ... 19 4. Diagram alir pembuatan blok parafin ... 20 5. Diagram alir proses pemberian warna pada sediaan jaringan dengan

pewarna hematoksilin dan eosin ... 21 6. Gambar tingkatan kriteria Johnsen pada perlakuan dengan dosis

(12)

I. PENDAHULUAN

Ikan lele (Clarias sp.) merupakan salah satu komoditas perikanan yang memiliki potensi untuk dikembangkan. Permintaan akan ikan lele di pasar meningkat setiap tahunnya. Secara nasional, produksi ikan lele cukup tinggi. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memprediksi produksi ikan lele tahun 2012 menjadi 400.000 ton, naik dibanding tahun sebelumnya yang sebesar 346.000 ton. Menurut Ketut Sugema, Dirjen Perikanan Budidaya KKP, konsumsi ikan lele masih didominasi wilayah Jawa sebanyak 250 ton per hari. Kebutuhan ikan lele per hari di ibukota yang mencapai 80 ton, baru terpenuhi sekitar 62,5% saja atau sekitar 50 ton. Selain Jakarta konsumsi ikan lele terbanyak berada di Yogyakarta (Handoyo, 2012).

Dalam pemeliharaannya, ikan ini termasuk ke dalam jenis ikan yang mudah untuk dipelihara karena mampu beradaptasi dengan baik pada lingkungan yang memiliki kualitas air yang buruk seperti kadar oksigen terlarut yang rendah. Ikan lele dapat memijah sepanjang musim di mana ketersediaan induk yang berkualitas tinggi sangat mempengaruhi produksi benih yang dihasilkan. Dari data produksi benih yang didapatkan yaitu terjadi peningkatan produksi benih lele selama periode tahun 2008-2009 yaitu sebesar 1,95%. Pada tahun 2008 diproduksi benih sebanyak 6.782.595.000 ekor dan tahun 2009 sebanyak 6.914.739.000 ekor, tetapi pada tahun 2010-2011 terjadi penurunan produksi benih lele yaitu masing–masing pada tahun 2010 sebesar 6.651.787.060 ekor dan tahun 2011 sebesar 5.388.892.373 ekor (Lampiran 1). Berdasarkan data tersebut, dibutuhkan peningkatan produksi benih ikan lele untuk mengimbangi permintaan pasar yang ada. Peningkatan produksi ini sangat dipengaruhi oleh kualitas dari induk yang dipijahkan.

Untuk meningkatkan kualitas induk dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satu di antaranya adalah dengan meningkatkan kecepatan proses pematangan gonad induk. Pada ikan jantan, kualitas sperma yang dihasilkan mempengaruhi derajat pembuahan maupun viabilitas embrio yang dihasilkan menjadi calon benih. Kualitas dan kuantitas sperma dapat ditingkatkan melalui

(13)

2 penambahan bahan perangsang untuk memicu kematangan gonad lebih cepat dan berkualitas tinggi.

Purwoceng (Pimpinella alpina Molk.) merupakan salah satu bahan yang dapat digunakan untuk meningkatkan jumlah spermatozoa karena dapat meningkatkan kadar LH, FSH dan testosteron (Juniarto, 2004). Hal ini sesuai dengan penelitian dari Taufiqurrahman dan Wibowo (2005) yang menunjukkan bahwa pada dosis 25 mg dan 50 mg ekstrak purwoceng yang diimplankan langsung ke dalam mulut tikus jantan dewasa dapat meningkatkan kadar testosteron dan LH dengan lama pemberian 30 hari.

Berdasarkan kandungan purwoceng tersebut, diharapkan dengan penambahan purwoceng pada pakan dapat meningkatkan jumlah sperma dari induk ikan lele yang diberikan pakan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh dosis pemberian ekstrak purwoceng (Pimpinella alpina

Molk.) melalui pakan terhadap perkembangan spermatogenesis ikan lele (Clarias

(14)

II. BAHAN DAN METODE

2.1. Materi Uji

Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret hingga bulan Mei 2011 di Kolam Babakan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Ikan lele yang digunakan merupakan ikan lele jantan yang memiliki kisaran bobot 200-300 g. Sedangkan bahan perlakuan yang digunakan merupakan tanaman purwoceng yang didapatkan dari Kebun Percobaan Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik di desa Gunung Putri, Cipanas, Bogor. Bagian tanaman yang digunakan untuk perlakuan merupakan bagian daun. Dosis purwoceng yang diberikan dalam perlakuan adalah 2,5 g/kg; 5 g/kg; 7,5 g/ kg pakan versus Kontrol (tanpa perlakuan).

2.2. Rancangan Percobaan

Penelitian dilakukan menggunakan rancangan acak lengkap dengan tiga perlakuan serta satu kontrol dan setiap perlakuan menggunakan tiga ulangan, yaitu :

1) Perlakuan tanpa dosis Purwoceng.

2) Perlakuan dengan dosis Purwoceng 2,5 g/kg pakan. 3) Perlakuan dengan dosis Purwoceng 5,0 g/kg pakan. 4) Perlakuan dengan dosis Purwoceng 7,5 g/kg pakan.

Model percobaan yang digunakan dalam penelitian ini mengikuti rumus Steel dan Torrie (1991) yaitu :

Keterangan:

Yij = Data hasil pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j.

µ = Nilai tengah dari pengamatan. σi = Pengaruh aditif dari perlakuan ke-i.

εij = Pengaruh galat hasil percobaan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j.

(15)

4 Model ini digunakan pada pengukuran diameter tubulus seminiferus. Sedangkan untuk derajat spermatogenesis dilakukan pengukuran secara kualitatif menggunakan kriteria Johnsen. Adapun menurut Syahrum (1997), kriteria Johnsen tersebut yaitu:

1) Nilai 10 : Kriteria spermatogenesis lengkap dan teratur dengan spermatozoa yang banyak dan epitel seminiferus normal. Lumen tubulus seminiferus terbuka.

2) Nilai 9 : Spermatozoa banyak, tetapi epitel seminiferus tidak teratur. Tampak bagian epitel seminiferus yang lepas (sloughing). Lumen tubulus seminiferus tertutup.

3) Nilai 8 : Jumlah spermatozoa dalam tubulus seminiferus kurang dari sepuluh.

4) Nilai 7 : Tidak tampak spermatozoa dalam tubulus seminiferus, tetapi masih banyak spermatid.

5) Nilai 6 : Tidak ada spermatozoa dan jumlah spermatid dalam tubulus seminiferus kurang dari sepuluh.

6) Nilai 5 : Tidak ada spermatozoa dan spermatid dalam tubulus seminiferus tetapi masih banyak spermatid.

7) Nilai 4 : Tidak ada spermatozoa dalam tubulus seminiferus dan jumlah spermatosit kurang dari lima.

8) Nilai 3 : Sel kelamin dalam tubulus seminiferus hanya terdiri atas spermatogonia.

9) Nilai 2 : Dalam tubulus seminiferus tidak terdapat sel kelamin, hanya sel sertoli.

10)Nilai 1 : Dalam tubulus seminiferus tidak terdapat sel.

2.3. Prosedur Penelitian 2.3.1. Persiapan Wadah

Pada tahap ini digunakan wadah berupa bak semen berukuran 2 x 1,5 x 1 m3. Jumlah bak yang digunakan sebanyak 8 bak dan masing-masing bak diberi penutup berupa jaring untuk mencegah ikan melompat. Sebelum digunakan, bak dikeringkan, dibersihkan dan kemudian dibilas dengan air. Setelah itu, bak

(16)

5 dikeringkan kembali sebelum diisi air. Bak yang telah kering kemudian diisi air hingga volume air sekitar 2 m3 dan diberikan aerasi.

2.3.2. Penebaran

Setiap bak yang telah terisi air, masing-masing ditebar sebanyak 10 ekor lele jantan yang memiliki kisaran bobot 200- g/ekor. Ikan yang digunakan diperoleh dari pengumpul dan petani pembesaran ikan lele di daerah Kabupaten Bogor. Penebaran ikan pada kolam perlakuan dilakukan setelah ikan dipelihara selama seminggu untuk pengadaptasian dengan lingkungan pemeliharaan.

2.3.3. Pemeliharaan

Pemeliharaan ikan lele dilakukan selama 30 hari masa penelitian dengan diberikan pakan setiap harinya sebanyak 3 kali dengan pelet komersial yang telah diberikan ekstrak purwoceng sesuai dosis. Feeding rate yang digunakan setiap kali pemberian pakan adalah 3 %. Selama pemeliharaan, dilakukan pergantian air sebanyak 20-30 % volume air setiap 2 minggu sekali.

2.3.4. Penyiapan Ekstrak Purwoceng

Hal yang pertama kali dilakukan dalam pembuatan ekstrak purwoceng adalah penjemuran purwoceng di bawah sinar matahari langsung. Penjemuran dilakukan selama seminggu. Setelah purwoceng kering, tanaman tersebut diblender hingga menjadi bubuk. Kemudian, bubuk purwoceng tersebut dilarutkan ke dalam alkohol 70 % hingga 100 ml. Langkah yang terakhir adalah penyaringan larutan dengan kertas saring Whatman No. 41 dan dipindahkan ke dalam botol sprayer.

2.3.5. Perlakuan Ekstrak Purwoceng Melalui Pakan

Pemberian ekstrak purwoceng melalui pakan dilakukan dengan menyemprotkan larutan ekstrak purwoceng dalam botol sprayer pada pakan sesuai dosis yang diperlukan. Setiap 100 ml larutan ekstrak purwoceng disemprotkan pada 1 kg pakan secara merata dan selanjutnya pakan dibiarkan kering udara. Pakan perlakuan diberikan selama 30 hari masa penelitian.

(17)

6

2.4. Parameter Penelitian

Parameter dalam penelitian ini meliputi parameter kuantitatif (diameter tubulus seminiferus) dan parameter kualitatif (derajat spermatogenesis). Data parameter tersebut kemudian digunakan untuk mengevaluasi pengaruh perlakuan ekstrak purwoceng terhadap gonad berdasarkan gambaran histologinya. Adapun proses histologi yang dilakukan dapat dilihat pada Lampiran 4 dan 5.

2.4.1. Diameter Tubulus Seminiferus

Parameter ini meliputi diameter tubulus seminiferus yang diukur menggunakan mikrometer objek. Untuk menentukan nilai parameter tersebut, dibuat satu titik pada preparat histologi pada perbesaran 100 kali. Kemudian diamati empat diameter tubulus seminiferus di sekitar titik tersebut. Pengukuran diameter tubulus seminiferus dilakukan dengan mengukur diameter terpanjang dan diameter terpendek lalu dibagi dua untuk mendapatkan hasilnya. Setelah itu, mikrometer objek dikalibrasikan terlebih dahulu dengan mikrometer slide standar internasional. Selanjutnya, hasil pengamatan dikalikan dengan hasil dari mikrometer objek yang telah dikalibrasikan. Langkah terakhir, diambil rata-rata dari keempat diameter tubulus seminiferus tersebut.

2.4.2. Derajat Spermatogenesis

Derajat spermatogenesis dari tubulus seminiferus diklasifikasikan berdasarkan kriteria Johnsen. Pengamatan dilakukan dengan cara dibuat sebuah titik pada preparat histologi dan diambil empat tubulus di sekitar titik tersebut di bawah mikroskop dengan perbesaran 100 kali. Penentuan titik sama dengan titik pada pengamatan diameter tubulus seminiferus sebelumnya pada preparat yang sama. Selanjutnya, diamati setiap tubulus tersebut kelengkapan fase spematogenesisnya sesuai dengan kriteria Johnsen. Fase-fase yang diamati pada tubulus seminiferus adalah fase spermatogonia, spermatosit primer, spermatosit sekunder, spermatid dan spermatozoa. Setelah itu, diambil rata-rata derajat spermatogenesis dari keempat tubulus seminiferus tersebut.

(18)

7

2.4.3. Analisis Data

Data yang diperoleh melalui metode kuantitatif dianalisis dengan uji F pada selang kepercayaan 95 % dengan digunakannya program MS. Excel 2007 dan SPSS 16.0. Analisis ini dilakukan untuk penentuan pengaruh perlakuan terhadap parameter yang diamati. Apabila berpengaruh nyata diuji lanjut dengan menggunakan uji Tukey untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan. Sedangkan untuk data yang diperoleh melalui metode kualitatif dianalisis secara deskriptif berdasarkan derajat spermatogenesisnya menurut kriteria Johnsen.

(19)

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Hasil

3.1.1. Diameter Tubulus Seminiferus

Hasil pengukuran diameter tubulus seminiferus pada gonad ikan lele jantan setelah dipelihara selama 30 hari disajikan pada Gambar 1. Rata-rata diameter tubulus seminiferus pada perlakuan ekstrak purwoceng (Pimpinella alpina Molk.) berkisar antara 25-33 m versus 23 m (kontrol).

Gambar 1. Histogram diameter tubulus seminiferus ikan lele pada hari ke-30 pasca perlakuan ekstrak purwoceng melalui pakan.

Pada perlakuan dengan dosis purwoceng 5 g/kg pakan menunjukkan rata-rata diameter tubulus seminiferus tertinggi (33,67±3,41 m). Sedangkan nilai rata-rata diameter tubulus seminiferus terendah adalah perlakuan kontrol (23,17± 3,32 m). Berdasarkan hasil analisis ragam diketahui bahwa perlakuan penambahan ekstrak purwoceng melalui pakan dengan dosis 5 g/kg pakan menunjukkan perkembangan diameter tubulus seminiferus yang lebih baik bila dibandingkan dengan perlakuan lainnya serta kontrol (p<0,05; Lampiran 2).

23,17 26,12 33,67 25,79 0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00 35,00 40,00 Kontrol 2,5 5 7,5 D iam e te r m ) Dosis Purwoceng (g/kg) a a a b

(20)

9

3.1.2. Derajat Spermatogenesis (Kriteria Johnsen)

Hasil pengamatan terhadap derajat spermatogenesis berdasarkan kriteria Johnsen pada gonad ikan lele jantan setelah dipelihara selama 30 hari dapat dilihat pada Gambar 2. Rata-rata derajat spermatogensis pada perlakuan dosis purwoceng (Pimpinella alpina Molk.) mencapai 9 versus 8 (kontrol).

Gambar 2. Histogram derajat spermatogenesis menurut kriteria Johnsen. Pada Gambar 2 menunjukkan rata-rata derajat spermatogenesis testis tertinggi terdapat pada perlakuan 2,5 g/kg pakan yaitu sebesar 9,22±0,30, dan yang terendah adalah pada perlakuan kontrol (8,00±0,33). Oleh karena data tidak tersebar normal (non parametrik) maka tidak dilakukan uji statistik (Lampiran 3).

Berdasarkan pengamatan derajat spermatogenesis menurut kriteria Johnsen melalui gambaran histologinya disajikan pada Gambar 3. Derajat spermatogenesis menurut kriteria Johnsen sesuai dengan gambaran histologinya pada perlakuan kontrol; 2,5 g/kg; 5 g/kg dan 7,5 g/kg dosis purwoceng (Pimpinella alpina Molk.) berturut-turut adalah 7,5±1; 9,25±0,96; 8,75±0,96; dan 9±0,82. Hasil gambaran histologi merupakan hasil preparasi histologi yang diamati di bawah mikroskop pada perbesaran 100 kali. Adapun proses histologi tersebut terlampir pada Lampiran 4 dan 5. 8,00 9,22 9,00 8,92 0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 12,00 Kontrol 2,5 5 7,5 D e rajat Sp e rm ato ge n e si s (J o h n sen ) Dosis Purwoceng (g/kg)

(21)

10

a) b)

c) d)

Gambar 3. Histologi gonad ikan lele jantan pada perlakuan ekstrak purwoceng melalui pakan: a) kontrol, b) dosis 2,5 g/kg, c) dosis 5 g/kg, d) dosis 7,5 g/kg pada perbesaran 100 kali.

Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa nilai derajat spermatogenesis menurut kriteria Johnsen terendah terdapat pada perlakuan kontrol yaitu 7,5±1 (Gambar 3a), sedangkan tertinggi terdapat pada perlakuan dosis purwoceng 2,5 g/kg yaitu 9,25±0,96 (Gambar 3b). Hal itu ditunjukkan dengan kelengkapan fase spermatogesis dari dosis 2,5 g/kg yang lebih baik daripada kontrol dan perlakuan lainnya. Adapun contoh gambar yang memperlihatkan derajat spermatogenesis pada perlakuan dengan dosis 2,5 g/kg dapat dilihat pada Lampiran 6. Sedangkan untuk diameter tubulus seminiferus yang terendah terdapat pada perlakuan kontrol yaitu 20±7,41 m dan tertinggi pada perlakuan dengan dosis purwoceng 5 g/kg pakan yaitu 32,35±14,9 m.

3.2. Pembahasan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diperoleh data mengenai perkembangan diameter tubulus seminiferus, derajat spermatogenesis menurut kriteria Johnsen dan gambaran histologi dari perlakuan dengan penambahan

(22)

11 ekstrak purwoceng melalui pakan. Hasil pada Gambar 1 menunjukkan bahwa terjadi perkembangan diameter tubulus seminiferus pada perlakuan yang diberikan bila dibandingkan dengan kontrol. Nilai perkembangan diameter tubulus seminiferus tertinggi terdapat pada perlakuan 5 g/kg yaitu sebesar 33,67±3,41 m. Hal ini menjelaskan bahwa pada perlakuan 5 g/kg pakan diduga terjadi peningkatan proses spermatogenesis bila dibandingkan dengan kontrol. Adanya peningkatan proses spermatogenesis menimbulkan peningkatan diameter tubulus seminiferus, karena pada testis yang produksi spermanya rendah atau tidak berproduksi sama sekali, didapatkan penurunan diameter tubulus seminiferus (Gulkesen et al., 2002 dalam Purwoko, 2005). Berdasarkan hasil analisis ragam yang telah dilakukan diketahui bahwa perlakuan penambahan ekstrak purwoceng pada pakan pada dosis 5 g/kg pakan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap perkembangan diameter tubulus seminiferus (P<0,05). Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Juniarto (2004), yang mengatakan bahwa pemberian ekstrak purwoceng dan pasak bumi dapat memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap perkembangan diameter tubulus seminiferus.

Testis dalam proses reproduksi mempunyai dua fungsi utama yaitu memproduksi hormon dan spermatozoa. Kedua fungsi tersebut secara anatomi berlangsung terpisah yaitu hormon testosteron dihasilkan oleh sel leydig, sedangkan sel spermatozoa dihasilkan oleh sel epithel tubulus seminiferus (Burger

et al., 1977 dalam Nyoman dan Laksmi, 2010). Proses pembentukan sel spermatozoa di dalam tubulus seminiferus disebut spermatogenesis. Terdapat beberapa tingkatan spermatogenesis pada perkembangan testis ikan lele (Clarias batrachus) yaitu spermatogonium, spermatosit primer, spermatosit sekunder, spermatid dan spermatozoa (Chinabut et al., 1991). Fase-fase inilah yang digunakan dalam penentuan derajat spermatogenesis menurut kriteria Johnsen.

Hasil pengamatan terhadap derajat spermatogenesis pada tubulus seminiferus menurut kriteria Johnsen terlihat bahwa terdapat perbedaan antara perlakuan yang diberikan dengan kontrol. Rata-rata derajat spermatogenesis testis tertinggi terdapat pada perlakuan 2,5 g/kg pakan yaitu sebesar 9,22±0,30. Sedangkan rata-rata derajat spermatogenesis testis terendah terdapat pada perlakuan kontrol yaitu sebesar 8,00±0,33. Hasil ini menunjukkan bahwa pada

(23)

12 perlakuan 2,5 g/kg pakan memiliki tingkat kematangan gonad yang lebih baik bila dibandingkan kontrol. Hal ini tidak berkorelasi dengan hasil pengukuran diameter tubulus seminiferus sebelumnya, sehingga bertentangan dengan pendapat dari Juniarto (2004) yang menyatakan bahwa pemeriksaan diameter tubulus seminiferus dan derajat spermatogenesis seharusnya mempunyai korelasi positif karena semakin tebal dinding tubulus maka derajat spermatogenesis menurut kriteria Johnsen juga semakin tinggi. Hal ini diduga disebabkan karena lamanya pemeliharaan ikan uji tidak disesuaikan dengan lamanya waktu daur spermatogenesis epitel seminiferus pada ikan lele. Menurut Sukmaningsih et al.

(2011), waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan setiap langkah perkembangan sel spermatogenik berbeda, oleh karena itu akan terjadi berbagai bentuk kombinasi sel dari berbagai jenis perkembangan sel-sel germinal di dalam tubulus seminiferus.

Selain penyesuaian lama daur spermatogenesis, perbedaan tersebut diduga juga disebabkan karena terdapat faktor lain yang mempengaruhi perkembangan gonad yaitu faktor lingkungan ataupun hormon. Hal ini merujuk pada pemeliharaan ikan uji yang dilakukan di laboratorium lapangan yang tidak dapat terkontrol maksimal seperti di dalam ruangan karena air hujan dan pencahayaan dapat mempengaruhi kondisi air dalam bak pemeliharaan. Scott (1979) dalam

Affandi dan Tang (2004) menyatakan bahwa faktor lingkungan yang dominan mempengaruhi perkembangan gonad adalah suhu dan makanan, serta cahaya dan musim. Sehingga pada perlakuan dengan dosis 5 g/kg pakan yang memiliki diameter tubulus seminiferus tertinggi (Gambar 1), derajat spermatogenesisnya lebih rendah dari pada perlakuan 2,5 g/kg pakan (Gambar 2).

Ekstrak purwoceng mempengaruhi gambaran histologi testis yaitu pada kelengkapan spermatogenesis, misalnya pada perlakuan 2,5 g/kg pakan ekstrak purwoceng menunjukkan komponen spermatogonium, spermatosit primer, spermatosit sekunder, spermatid, dan spermatozoa dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Gambar 3b). Gambar 3c memperlihatkan bahwa perlakuan 5 g/kg pakan memiliki diameter rata-rata tubulus seminiferus yang lebih besar bila dibandingkan dengan perlakuan lainnya, tetapi kelengkapan komponen spermatogenesisnya kurang lengkap. Pada gambar 3d, terlihat bahwa perlakuan

(24)

13 7,5 g/kg pakan memiliki diameter tubulus seminiferus yang lebih besar bila dibandingkan dengan kontrol dan perlakuan 2,5 g/kg pakan, namun komponen spermatogenesisnya tidak selengkap perlakuan 2,5 g/kg pakan tetapi lebih baik bila dibandingkan dengan perlakuan 5 g/kg pakan. Sedangkan pada kontrol menunjukkan kriteria Johnsen serta rata-rata diameter tubulus seminiferus yang paling rendah dibandingkan perlakuan lainnya (Gambar 3a). Sehingga dapat disimpulkan bahwa perlakuan 2,5 g/kg menunjukkan perkembangan kematangan gonad yang lebih baik bila dibandingkan dengan perlakuan lainnya, namun diameter tubulus seminiferusnya lebih rendah dari perlakuan 5 g/kg. Sedangkan perlakuan 5 g/kg menunjukkan perkembangan tubulus seminiferus yang lebih baik bila dibandingkan dengan perlakuan lainnya, namun memiliki derajat spermatogenesis yang lebih rendah dari perlakuan 2,5 g/kg.

Hasil dari pengamatan berdasarkan gambaran histologinya menunjukkan bahwa penambahan ekstrak purwoceng melalui pakan dapat mempengaruhi perkembangan derajat spermatogenesisnya bila dibandingkan dengan kontrol. Hal ini sesuai dengan pernyataan Juniarto (2004) yang mengatakan bahwa pemeriksaan histologi menunjukkan bahwa terjadi proses spermatogenesis yang lebih baik pada testis tikus yang diberi perlakuan purwoceng yang pada akhirnya meningkatkan pula jumlah spermatozoa yang dihasilkan.

(25)

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

Ekstrak purwoceng yang diberikan melalui pakan dengan dosis 5 g/kg berpengaruh nyata terhadap perkembangan tubulus seminiferus pada gonad ikan lele jantan bila dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Selain itu, derajat spermatogenesis menurut kriteria Johnsen secara histologi menunjukkan perbedaan di mana pada perlakuan ekstrak purwoceng lebih tinggi (9) dibandingkan kontrol (8).

4.2. Saran

Purwoceng merupakan salah satu dari fitoandrogen yang baru pertama kali diaplikasikan untuk mempercepat kematangan gonad, sehingga diperlukan pengetahuan mengenai siklus kematangan gonad jantan ikan lele untuk menyesuaikan lama penelitian dengan lamanya siklus spermatogenesis pada ikan lele. Selain itu, untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk memperhatikan faktor lingkungan dan efek dari purwoceng terhadap kesehatan ikan.

(26)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2012. Rekapitulasi Ketersediaan Induk dan Produksi Benih Lele - Air Tawar. Available at http://perbenihan-budidaya.kkp.go.id/komoditi.php? komo=33&jenis=b&th1=2007&th2=2012&jns=1. [31 Juli 2012]

Affandi, R., Tang, U.M., 2004. Biologi Reproduksi Ikan. Unri Press, Riau.

Chinabut, S., Limsuwan, C., Kitsawat, P., 1991. Histology of The Walking Catfish, Clarias batrachus. IDRC. Ottawa.

Handoyo, 2012. Bisnis Ikan Lele Menggiurkan. Available at http://kkp.go.id/ index.php/arsip/c/6990/Bisnis-Ikan-Lele-Menggiurkan/?category_id=. [25 Juli 2012]

Juniarto, A.Z., 2004. Perbedaan Pengaruh Pemberian Ekstrak Eurycoma longifolia

dan Pimpinella alpina pada Spermatogenesis Tikus Sparaque Dawly. [Tesis]. Program Pascasarjana, Universitas Diponegoro. Semarang.

Nyoman, D., Laksmi, D.I., 2010. Glutathion Meningkatan Kualitas Tubulus Seminiferus Pada Mencit yang Menerima Pelatihan Fisik Berlebih. Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana. Denpasar Bali.

Purwoko, Y., Triwahyudi, Z.E., 2010. Pengaruh Pemberian Ekstrak Eurycoma Longifolia Terhadap Diameter Tubulus Seminiferus Mencit Balb/C Jantan yang Dibuat Stres dengan Stresor Renjatan Listrik. Semarang, Januari – Juni 2010, pp. 45-50.

Steel, G.D., Torrie, J.H., 1981. Prinsip-prinsip dan Prosedur Statistika. Terjemahan PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Sukmaningsih, A.A.Sg.A., Ermayanti, I.G.A.M., Wiratmini, N.I., Sudatri, N.W., 2011. Gangguan Spermatogenesis Setelah Pemberian Monosodium Glutamat pada Mencit (Mus Musculus L.). Jurnal Biologi XV (2), 49-52. Syahrum, M. H., 1997. Biopsi Testis Sebagai Pengevaluasi Pasien Azoospermia.

Ikatan Dokter Indonesia. Yayasan Penerbitan, volume 47, pp. 232-236. Taufiqurrahman, Wibowo, S., 2005. Effect of Purwoceng (Pimpinella alpina)

Extract in Stimulating Testosterone, Luteinizing Hormone (LH) and Follicle Stimulating Hormone (FSH) in Sprague Dawley Male Rats, in: Prosiding Seminar Nasional Tumbuhan Obat Indonesia XXVIII. Bogor, 15-16 September 2005. Hlm. 45-54.

(27)
(28)

17 Lampiran 1. Rekapitulasi ketersediaan produksi benih ikan lele tahun

2007-2011 (satuan ekor) Propinsi 2007 2008 2009 2010 2011 TOTAL 0 6,782,595,000 6,914,739,000 6,651,787,060 5,388,892,373 NAD 0 1,234,000 979,000 2,400,000 253,000 SUMUT 0 3,641,000 6,534,000 0 547,275,800 SUMBAR 0 11,154,000 468,440,000 84,066,000 37,789,360 RIAU 0 902,171,000 85,398,000 782,816,000 0 JAMBI 0 2,000,000 15,531,000 0 0 SUMSEL 0 4,750,000 5,370,000 1,612,500 28,200,000 BENGKULU 0 5,775,000 13,407,000 11,451,000 0 LAMPUNG 0 108,745,000 137,805,000 88,605,000 3,245,000 BABEL 0 4,514,000 8,117,000 12,794,000 3,443,240 JAKARTA 0 15,815,000 811,000 76,544,000 580,000 JABAR 0 1,393,083,000 465,664,000 1,061,783,000 131,273,450 JATENG 0 742,253,000 1,598,150,000 758,966,000 2,178,621,800 D.I.Y. 0 459,327,000 409,489,000 511,220,000 1,106,391,690 JATIM 0 2,656,887,000 2,547,517,000 2,964,355,000 1,106,391,690 BANTEN 0 360,647,000 520,046,000 238,442,000 33,814,780 BALI 0 1,372,000 1,372,000 7,608,000 0 NTB 0 1,704,000 760,000 2,177,000 0 NTT 0 145,000 87,000 219,000 10,000 KALBAR 0 36,973,000 261,309,000 29,335,000 0 KALTENG 0 747,000 1,015,000 1,768,560 1,793 KALSEL 0 81,000 55,075,000 978,000 361,170 KALTIM 0 0 1,968,000 429,000 23,100 SULUT 0 0 0 3,629,000 476,700 SULTENG 0 11,466,000 302,400,000 847,000 202,200 SULSEL 0 4,590,000 4,626,000 6,873,000 43,385,400 SULRA 0 0 0 757,000 391,000 GORONTALO 0 0 0 135,000 13,200 PAPUA 0 53,513,000 126,000 552,000 0 SULBAR 0 8,000 0 25,000 40,000 PABAR 0 0 200,000 1,400,000 0 KEPRI 0 0 2,543,000 0 166,708,000 (Sumber: KKP, 2012)

(29)

18 Lampiran 2. Hasil perhitungan statistik diameter tubulus seminiferus ikan lele

(Clarias sp.) a. Deskripsi Ulangan Kontrol 2,5 g/kg 5 g/kg 7,5 g/kg 1 22,63 25,15 37,53 27,83 2 26,72 26,80 32,43 22,37 3 20,15 26,40 31,05 27,17 Rata-rata 23,17±3,32 26,12±0,86 33,67±3,41 25,79±2,98 b. Anova Sumber Keragaman (SK) Jumlah Kuadrat (JK) Derajat Bebas (DB) Kuadrat Tengah (KT) F hitung P Perlakuan 183,869 3 61,290 7,595 0,010 Galat 64,560 8 8,070 Total 248,429 11

Kesimpulan: P<0,05; berarti perlakuan penambahan ekstrak purwoceng pada pakan berpengaruh nyata terhadap perkembangan diameter tubulus seminiferus

(30)

19 Lampiran 3. Hasil perhitungan statistik derajat spermatogenesis menurut kriteria

Johnsen a. Deskripsi Ulangan Kontrol 2,5 g/kg 5 g/kg 7,5 g/kg 1 8,00 9,08 8,67 9,08 2 8,33 9,25 9,08 8,08 3 7,67 9,33 9,25 9,58 Rata-rata 8,00±0,33 9,22±0,13 9,00±0,30 8,92±0,76 b. Tes Normalisasi Data

Kolmogorov-Smirnov Shapiro-Wilk Statistik DB P Statistik DB P Kriteria 0,268 12 0,017 0,902 12 0,169 Kesimpulan: Pada metode Kolmogorov-Smirnov nilai P<0,05; berarti data variabel

(31)

20 Lampiran 4. Diagram alir pembuatan blok parafin

Sample gonad ikan

uji

Fiksasi dalam larutan Bouin’s selama 24 jam

Rendam dalam akohol 70% atau larutan formalin4% selama 24 jam

Alkohol 70%, selama 24 jam Alkohol 80%, selama 2 jam Alkohol 90%, selama 2 jam Alkohol 95%, selama 2 jam Alkohol 95%, selama 2 jam Alkohol absolut I, selama 12 jam Alkohol absolut II, selama 1 jam Alkohol : Xylol (1:1), selama 30 menit

Xylol I, selama 30 menit Xylol II, selama 30 menit Xylol III, selama 30 menit Infiltrasi paraffin dalam oven 60C Xylol : parafin (1:1), selama 45 menit

Parafin I, selama 45 menit Parafin II, selama 45 menit Parafin III, selama 45 menit Dicetak dalam blok parafin pada suhu

60C

Fiksasi Jaringan

Dehidrasi

Clearing

Impregnasi

Embedding

(32)

21 Lampiran 5. Diagram alir proses pemberian warna pada sediaan jaringan dengan

pewarna hematoksilin dan eosin

Preparat jaringan

Dicelup dalam larutan xylol I, 5 menit Dicelup dalam larutan xylol II, 5 menit

Alkohol absolut I, 2-3 menit Alkohol absolut II, 2-3 menit Alkohol 95%, 2-3 menit Alkohol 90%, 2-3 menit Alkohol 80%, 2-3 menit Alkohol 70%, 2-3 menit Alkohol 50%, 2-3 menit

Bilas dengan air mengalir (aquadest), 1 menit Haemotoksilin, 2 menit

Bilas dengan air mengalir (aquadest), 5 menit Eosin, 3 menit

Alkohol 50%, 2-3 menit Alkohol 70%, 2-3 menit Alkohol 80%, 2-3 menit Alkohol 90%, 2-3 menit

Alkohol absolut I, 2-3 menit Alkohol absolut II, 2-3 menit

Xylol I, 2-3 menit Xylol II, 2-3 menit Xylol III, 2-3 menit Alkohol 95%, 2-3 menit

Dikeringkan pada suhu ruangan Dilapisi entellan neu dan ditutup cover glass

Jangan sampai ada udara

Dewaxing

Hidrasi

Pencucian

Pewarnaan

(33)

22 Lampiran 6. Gambar tingkatan kriteria Johnsen pada perlakuan dengan dosis

purwoceng 2,5 g/kg pakan Keterangan: - Sg : Spermatogonium - Sc I : Spermatosit primer - Sc II : Spermatosit sekunder - Sd : Spermatid - Sz : Spermatozoa Sc I Sc II Sg Sd Kriteria Johnsen 10  Spermatogenesis

lengkap dan teratur  Epithel tubulus baik  Spermatozoa

banyak

Kriteria Johnsen 8  Jumlah spermatozoa

kurang dari sepuluh Sz Sz Sg Sc II Sc I Sd

Gambar

Gambar 1.  Histogram  diameter  tubulus  seminiferus  ikan  lele  pada  hari  ke-30  pasca perlakuan ekstrak purwoceng melalui pakan
Gambar 2. Histogram derajat spermatogenesis menurut kriteria Johnsen.
Gambar 3.  Histologi  gonad  ikan  lele  jantan  pada  perlakuan  ekstrak  purwoceng  melalui pakan:  a) kontrol,  b) dosis 2,5 g/kg, c) dosis 5 g/kg, d) dosis  7,5 g/kg pada perbesaran 100 kali

Referensi

Dokumen terkait