• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Konsep Perencanaan Pembangunan Wilayah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Konsep Perencanaan Pembangunan Wilayah"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Konsep Perencanaan Pembangunan Wilayah

Perencanaan merupakan kegiatan yang sering dilakukan oleh berbagai pihak, baik perorangan maupun suatu organisasi. Perencanaan adalah suatu aktifitas yang dibatasi oleh lingkup waktu sehingga diartikan sebagai suatu kegiatan terkoordinasi untuk mencapai suatu tujuan tertentu di dalam waktu tertentu. Untuk memahami kegiatan yang dilakukan dalam perencanaan, sangat bervariasi tergantung dari kompleksitas masalah dan tujuan yang ingin dicapai.

Konsep perencanaan secara sederhana menurut Tarigan (2005) adalah menetapkan suatu tujuan dan memilih langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut. Selanjutnya secara lebih lengkap Tarigan (2005) memberikan pengertian bahwa perencanaan berarti mengetahui dan menganalisis kondisi saat ini, meramalkan perkembangan berbagai faktor yang tidak dapat di kontrol (noncontrolable) namun relevan, memperkirakan faktor-faktor pembatas, menetapkan tujuan dan sasaran yang diperkirakan dapat dicapai, serta mencari langkah-langkah untuk mencapai tujuan tersebut. Sedangkan menurut Kay and Alder (1999) dalam Rustiadi et al. (2006) perencanaan adalah suatu proses menentukan apa yang ingin dicapai di masa yang akan datang serta menetapkan tahapan-tahapan yang dibutuhkan untuk mencapainya. Dengan demikian proses perencanaan dilakukan dengan menguji berbagai arah pencapaian serta mengkaji berbagai ketidakpastian yang ada, mengukur kemampuan (kapasitas) kita untuk mencapainya kemudian memilih arah-arah terbaik dan memilih langkah-langkah untuk mencapainya.

Pembangunan secara filosofis dapat diartikan sebagai upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik sedangkan UNDP mendefinisikan pembangunan dan khususnya pembangunan manusia sebagai suatu proses memperluas pilihan-pilihan bagi penduduk (a process of enlarging people’s choices). Todaro (2000), mendefinisikan pembangunan sebagai proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat dan institusi- institusi nasional sebagai akselerasi pertumbuhan ekonomi, pengurangan

(2)

ketimpangan pendapatan serta pengentasan kemiskinan. Pembangunan juga dapat diartikan mengadakan, membuat atau mengatur sesuatu yang belum ada (Rustiadi et al.,2006).

Wilayah menurut Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Konsep wilayah yang paling klasik (Hagget, Cliff dan Frey, 1977 dalam Rustiadi et al., 2006) mengenai tipologi wilayah, mengklasifikasikan konsep wiayah ke dalam tiga kategori, yaitu: (1) wilayah homogen (uniform/homogenous region); (2) wilayah nodal (nodal region); dan (3) wilayah perencanaan (planning region atau programming region).

Wilayah homogen adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan pada kenyataan bahwa faktor-faktor dominan pada wilayah tersebut bersifat homogen, sedangkan faktor-faktor yang tidak dominan dapat beragam (heterogen). Pada dasarnya terdapat beberapa faktor penyebab homogenitas wilayah. Secara umum terdiri atas faktor alamiah dan faktor artifisial. Faktor alamiah yang dapat menyebabkan homogenitas wilayah adalah kelas kemampuan lahan, iklim dan berbagai faktor lainnya. Sedangkan homogenitas yang bersifat artifisial adalah homogenitas yang didasarkan pada pengklasifikasian berdasarkan aspek tertentu yang dibuat oleh manusia. Contoh wilayah homogen artifisial adalah wilayah homogen atas dasar kemiskinan (peta kemiskinan).

Wilayah homogen pada umumnya sangat dipengaruhi oleh potensi sumber daya alam dan permasalahan spesifik yang seragam, maka menurut Rustiadi et al. (2006) wilayah homogen sangat bermanfaat dalam penentuan sektor basis perekonomian wilayah sesuai dengan potensi/daya dukung utama yang ada (comparative advantage) dan dalam pengembangan pola kebijakan yang tepat sesuai dengan permasalahan masing-masing wilayah.

Perencanaan pembangunan wilayah adalah konsep perencanaan yang utuh dan menyatu dengan pembangunan wilayah. Secara luas perencanaan pembangunan wilayah diartikan sebagai suatu upaya merumuskan dan mengaplikasikan kerangka teori ke dalam kebijakan ekonomi dan program

(3)

pembangunan yang di dalamnya mempertimbangkan aspek wilayah dengan mengintegrasikan aspek sosial dan lingkungan menuju tercapainya kesejahteraan yang optimal (Nugroho dan Dahuri, 2004).

Menurut Nasution (1997) terdapat empat pilar penting pengembangan wilayah yang berkaitan dengan aspek wilayah dan implementasi dalam kebijakan ekonomi yaitu:

1. Sumberdaya alam, pada umumnya sumberdaya alam dan manusia menyebar tidak merata pada suatu wilayah serta mempunyai sifat yang spesifik yaitu berlokasi tetap atau sangat sukar berubah. Sedangkan sumberdaya alam dengan segala sifat dan bentuknya harus dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk memelihara kelestarian lingkungan. Dengan demikian evaluasi sumber daya alam, baik mengenai kuantitas maupun kualitas serta penyebarannya merupakan hal yang sangat penting.

2. Analisa lokasi, dalam hal menentukan lokasi yang optimum untuk suatu kegiatan produksi perlu dikaji dan dianalisa perbedaan aspek yang bersifat alamiah dan buatan manusia diantara bagian-bagian suatu wilayah, karena akan dapat menyebabkan adanya perbedaan peluang bagi kegiatan-kegiatan wilayah untuk berkembang secara baik. Selanjutnya perbedaan tersebut akan dapat mendorong terciptanya aktivitas sosial ekonomi masyarakat.

3. Analisa ekonomi wilayah, dalam kaitannya dengan pertumbuhan sangat dipengaruhi oleh motivasi-motivasi ekonomi, sebagai contoh usaha mengantisipasi permintaan (demand) dan penawaran (supply) serta memperhitungkan kekuatan-kekuatan pasar agar tercipta keseimbangan (equilibrum) diantara faktor-faktor tersebut. Dengan demikian dapat diperhitungkan dan dipertimbangkan pemusatan suatu kegiatan pada suatu wilayah.

4. Analisa sosial, tingkat kultur penduduk suatu wilayah seperti budaya, adat istiadat, persepsi, tingkat kemampuan dalam mengadopsi ilmu pengetahuan dan teknologi baru serta kelembagaan yang berlaku di masyarakat sangat mempengaruhi pertumbuhan dan pengembangan suatu wilayah.

(4)

Pembangunan pertanian melalui ‘pendekatan komoditas’ yaitu pendekatan yang dilakukan untuk meningkatkan produksi dan produktivitas komoditas yang memiliki keunggulan komparatif bagi suatu wilayah diharapkan dapat menumbuhkan ekonomi wilayah tersebut.

Sejalan dengan terjadinya pergeseran paradigma dalam pembangunan ekonomi, maka ukuran keberhasilan pembangunan ekonomi juga mengalami pergeseran, tidak hanya dari aspek pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) atau kenaikan pendapatan per kapita penduduknya namun lebih jauh lagi ke arah perkembangan masyarakat. Menurut Arsyad (1999) pembangunan ekonomi didefinisikan sebagai proses yang menyebabkan kenaikan pendapatan riil per kapita penduduk suatu negara dalam jangka panjang, yang disertai oleh perbaikan sistem kelembagaan. Jadi pembangunan ekonomi harus dipandang sebagai suatu proses dimana saling keterkaitan dan saling mempengaruhi antara faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pembangunan ekonomi tersebut dapat diidentifikasi dan dianalisis dengan seksama.

Oleh karena itu, sebelum melakukan kegiatan pembangunan ekonomi pada suatu daerah perlu dilakukan perencanaan yang matang. Arsyad (1999) berpendapat terdapat tiga implikasi pokok dari perencanaan pembangunan ekonomi daerah yaitu 1) perlunya pemahaman tentang hubungan antara daerah dengan lingkungannya (horisontal dan vertikal) dimana daerah tersebut merupakan bagian darinya, 2) perlu memahami bahwa sesuatu yang tampaknya baik secara nasional (makro) belum tentu baik untuk daerah, dan sebaliknya yang baik bagi daerah belum tentu baik secara nasional, dan 3) tersedianya perangkat kelembagaan untuk pembangunan daerah seperti administrasi dan proses pengambilan keputusan. Perencanaan yang efektif harus bisa membedakan apa yang seyogyanya dilakukan dan apa yang dapat dilakukan.

Sedangkan menurut Jhingan (2004) perkembangan ekonomi dapat dipergunakan untuk menggambarkan faktor-faktor penentu yang mendasari pertumbuhan ekonomi seperti perubahan dalam teknik produksi, sikap masyarakat dan lembaga-lembaga dimana perubahan tersebut dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi.

(5)

Gambaran Umum Sektor Perkebunan

Perkebunan merupakan salah satu sub sektor yang berperan penting dalam perekonomian Indonesia. Komoditas perkebunan merupakan komoditas yang memiliki keunggulan komparatif dan diperdagangkan secara internasional (internationally traded goods) sehingga berperan penting sebagai penghasil devisa.

Negara-negara beriklim tropis merupakan negara pengekspor komoditas perkebunan sebagai bahan baku bagi industri-industri negara maju. Pertumbuhan ekspor dan impor komoditas utama perkebunan menunjukkan adanya fluktuasi, yang merupakan salah satu ciri perdagangan komoditas perkebunan. Setiap komoditas utama perkebunan mempunyai pasar yang dijadikan rujukan (reference) bagi pelaku pasar. London merupakan pasar rujukan perdagangan teh, kopi dan kakao. Singapura merupakan pasar rujukan bagi komoditas karet, sedangkan Rotterdam menjadi pasar rujukan bagi komoditas minyak sawit.

Hasil perkebunan yang selama ini menjadi komoditas ekspor adalah karet, kelapa sawit, lada, teh, kopi, tembakau, kakao dan jambu mete. Sebagian besar tanaman perkebunan tersebut merupakan usaha perkebunan rakyat, sedangkan sisanya diusahakan perkebunan besar baik perkebunan besar negara (PBN) maupun perkebunan swasta (PBS). Perkebunan rakyat menguasai 81% dari luas areal perkebunan yang ada di Indonesia dengan melibatkan 11 juta rumah tangga petani pekebun dengan produksi mencapai 60% dari seluruh produksi perkebunan (Soetrisno, 1999).

Direktorat Jendral Perkebunan (1994) mencatat bahwa secara tradisional, subsektor ini menjadi salah satu andalan perekonomian nasional dalam meningkatkan pendapatan petani, pertumbuhan produk domestik bruto, penyerapan tenaga kerja, peningkatan penerimaan ekspor, pemenuhan kebutuhan bahan baku industri dalam negeri, pemanfaatan sumber daya alam dan lain-lain. Sejalan dengan peranan sub sektor perkebunan di atas, pemerintah dan pelaku ekonomi di sub sektor perkebunan terus berupaya mengembangkan sub sektor perkebunan melalui pola pengembangan, seperti pola Unit Pelaksana Proyek (UPP), Pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR) dan Pola Perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN). Hasil yang dicapai dalam tigapuluh tahun terakhir adalah luas

(6)

areal, produksi, dan ekspor komoditas perkebunan mengalami peningkatan, terutama lima komoditas utama yaitu teh, kopi, kakao, karet dan kelapa sawit.

Sampai saat ini, komoditas utama perkebunan telah menyebar keseluruh penjuru tanah air. Sentra-sentra setiap komoditas diantaranya adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sumatra Utara (teh), Lampung, Sumatra Selatan, Bengkulu, Aceh, Sumatera Utara, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Utara.

Menurut Drajat (2003) perkebunan di Indonesia masih menghadapi masalah produktivitas per luas areal tanam, terutama bentuk usaha perkebunan rakyat. Tingkat produktivitas yang dicapai perkebunan di Indonesia masih berada di bawah potensi produktivitas masing-masing jenis komoditas. Sebagai informasi, potensi produktivitas kopi, kakao, karet dan minyak sawit masing-masing adalah 1,2 ton/ha/tahun, 1,5 ton/ha/tahun,1,6 ton/ha/tahun dan 7-8 ton/ha/tahun.

Fenomena di atas sekaligus mengindikasi bahwa kenaikan produksi perkebunan rakyat berasal dari perluasan areal, bukan kenaikan produktivitas. Kondisi ini terjadi antara lain karena petani belum sepenuhnya menerapkan teknologi maju, tingginya harga dan kurang tersedianya sarana produksi terutama pupuk dan bibit unggul. Petani masih mengusahakan sendiri dalam pemeliharaan kebun, pengolahan dan pemasaran hasil dan lemahnya insentif produksi bagi petani karena harga hasil produksinya murah. Sedangkan pada perkebunan besar, faktor utama penyebab belum tingginya produktivitas adalah manajemen produksi perkebunan besar belum sepenuhnya berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi hasil penelitian dan masih mengandalkan kelimpahan sumber daya alam dan manusia.

Sektor Basis

Pendekatan yang sering digunakan untuk lebih mengenal potensi aktivitas ekonomi suatu wilayah adalah analisis basis ekonomi yang merupakan rujukan dalam menentukan keunggulan kompratif dan sekaligus sektor basis. Salah satu metode untuk mengetahui potensi ekonomi suatu wilayah dapat dikatagorikan basis dan bukan basis adalah analisis Location Quotient (LQ), yang merupakan perbandingan relatif antara kemampuan sektor yang sama pada daerah yang lebih luas dalam suatu wilayah.

(7)

Asumsi dalam LQ adalah terdapat sedikit variasi dalam pola pengeluaran secara geografi dan produktivitas tenaga kerja seragam serta masing-masing industri menghasilkan produk atau jasa yang seragam. Berbagai dasar ukuran dalam pemakaian LQ harus disesuaikan dengan kepentingan penelitian dan sumber data yang tersedia (Blakely 1994 dan Rodinelli 1995 dalam Rustiadi et al. 2006). LQ juga menunjukkan efisiensi relatif wilayah, serta terfokus pada subtitusi impor yang potensial atau produk dengan potensi ekspansi ekspor. Hal ini akan memberikan suatu gambaran tentang industri mana yang terkonsentrasi dan industri mana yang tersebar (Shukla 2000 dalam Rustiadi et al. 2006).

Menurut Rustiadi et al. (2006) kemampuan memacu pertumbuhan suatu wilayah sangat tergantung dari keunggulan atau daya saing sektor-sektor ekonomi di wilayahnya. Nilai strategis setiap sektor dalam memacu menjadi pendorong utama (primer mover) pertumbuhan ekonomi wilayah berbeda-beda. Aktivitas eknomi suatu wilayah dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu sektor basis dimana kelebihan dan kekurangan yang terjadi dalam proses pemenuhan kebutuhan tersebut menyebabkan terjadinya mekanisme ekspor dan impor antar wilayah. Artinya industri basis ini akan menghasilkan barang dan jasa, baik untuk pasar domestik daerah maupun pasar luar wilayah/daerah. Sedangkan sektor non basis adalah sektor dengan kegiatan ekonomi yang hanya melayani pasar di daerahnya sendiri dan kapasitas ekspor ekonomi daerah belum berkembang.

Arus pendapatan yang dihasilkan dari aktivitas ekonomi industri basis akan meningkatkan investasi, kesempatan kerja, pendapatan dan konsumsi, pada gilirannya akan menaikkan pendapatan dan kesempatan kerja serta menaikkan permintaan hasil industri non basis. Hal ini berarti kegiatan industri basis mempunyai peranan penggerak pertama (primer mover role), dimana setiap perubahan kenaikan atau penurunan mempunyai efek pengganda (multiplier effect) terhadap perekonomian wilayah (Rustiadi et al., 2006).

Menurut Hendayana (2003), penentuan komoditas unggulan merupakan langkah awal menuju pembangunan pertanian yang berpijak pada konsep efisiensi untuk meraih keunggulan komparatif dan kompetitif dalam menghadapi globalisasi perdagangan. Langkah menuju efisiensi dapat ditempuh dengan mengembangkan komoditas yang memiliki keunggulan komparatif, baik ditinjau

(8)

dari segi penawaran maupun permintaan. Dari sisi penawaran komoditas unggulan dicirikan oleh superioritas dalam pertumbuhannya pada kondisi biofisik, teknologi dan kondisi sosial ekonomi petani di suatu wilayah.

Komoditas Unggulan

Komoditas unggulan adalah komoditas andalan yang memiliki posisi strategis, baik berdasarkan pertimbangan teknis (kondisi tanah dan iklim) maupun sosial ekonomi dan kelembagaan (penguasaan teknologi, kemampuan sumberdaya manusia, infrastruktur dan kondisi sosial budaya setempat), untuk dikembangkan disuatu wilayah (BPTP, 2003).

Menurut Ali (1998), komoditas unggulan adalah komoditas yang mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif, teknologi yang sudah dikuasai dan memberikan nilai tambah bagi pelaku agribisnis yang diusahakan oleh petani dalam suatu kawasan yang tersentralistik, terpadu, vertikal, dan horisontal. Unggul secara komparatif, berupa keunggulan yang didukung oleh potensi sumberdaya alam (letak geografis, iklim, dan lahan) sehingga memberikan hasil yang tinggi dibandingkan dengan daerah lain, serta peluang pasar lokal, nasional maupun peluang ekspor. Unggul secara kompetitif, berupa keunggulan yang diperoleh karena produk tersebut diupayakan dan dikembangkan sehingga menghasilkan produksi yang tinggi, memiliki peluang pasar yang baik serta menjadi ciri khas suatu daerah.

Pada lingkup nasional kriteria komoditas unggulan diarahkan untuk ketahanan pangan dan merubah keungggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif. Komoditas unggulan nasional diharapkan memenuhi beberapa kriteria (Ali, 1998) yaitu;

(1) mempunyai tingkat agroekologi yang tinggi; (2) mempunyai pasar yang jelas;

(3) mempunyai kemampuan yang tinggi dalam menciptakan nilai tambah; (4) mempunyai kemampuan dalam meningkatkan ketahanan pangan masyarakat berpendapatan rendah;

(5) mempunyai dukungan kebijakan pemerintah dalam bidang-bidang teknologi, prasarana, sarana, kelembagaan, permodalan dan infrastruktur lain dalam arti luas;

(9)

(6) merupakan komoditas yang telah diusahakan masyarakat setempat; dan (7) mempunyai kelayakan untuk diusahakan baik secara finansial maupun

ekonomi.

Pada lingkup kabupaten/kota, kriteria penetapan komoditas unggulan mengacu kriteria komoditas unggulan nasional dan diarahkan pada komoditas yang dapat ditingkatkan nilai tambahnya dalam agroindustri. Komoditas unggulan kabupaten diharapkan memenuhi beberapa kriteria yaitu;

(1) mengacu kriteria komoditas unggulan nasional; (2) memiliki ekonomi yang tinggi di kabupaten;

(3) mencukupi kebutuhan sendiri dan mampu mensuplai daerah lain atau ekspor;

(4) memiliki pasar yang prospektif, merupakan komoditas yang berdaya saing tinggi;

(5) memiliki potensi untuk ditingkatkan nilai tambahnya dalam agroindustri; (6) merupakan komoditas bernilai ekonomi tinggi; dan

(7) dapat dibudidayakan secara meluas di wilayah kabupaten.

Pewilayahan Komoditas Pertanian

Pewilayahan komoditas pertanian sesuai dengan daya dukung lahan dimaksudkan agar produktivitas lahan yang diusahakan mencapai optimal. Dalam mendukung kegiatan agribisnis, pengertian produktivitas lahan ditujukan untuk suatu tipe penggunaan lahan ("Land Utilization Types" = LUTs"), baik secara campuran ("multiple land utilization types") maupun individual ("compound land utilization types") mampu berproduksi optimal. Dari aspek ekonomi, komoditas yang dihasilkan harus mempunyai peluang pasar, baik sebagai komoditas domestik maupun ekspor. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka komoditas harus dikembangkan pada lahan yang paling sesuai, sehingga akan mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif.

Pada umumnya setiap tanaman dan/atau kelompok tanaman mempunyai persyaratan tumbuh/hidup yang spesifik untuk dapat berproduksi secara optimal (Djaenudin et al., 2000). Dalam kaitannya dengan hal tersebut, maka suatu wilayah kemungkinan hanya sesuai untuk komoditas tertentu, tetapi tidak untuk yang lain. Dengan kata lain, tidak selalu setiap jenis komoditas dapat diusahakan

(10)

di setiap wilayah apabila persyaratan tumbuhnya dari segi lahan tidak terpenuhi. Perbedaan karakteristik lahan yang mencakup iklim terutama suhu udara dan curah hujan, tanah (sifat fisik, morfologi, kimia tanah), topografi (elevasi, lereng), dan sifat fisik lingkungan lainnya dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan untuk seleksi awal dalam menyusun zonasi pengembangan komoditas pertanian.

Pendekatan pewilayahan komoditas pertanian akan dapat mengatasi penggunaan lahan yang kurang atau tidak produktif menuju kepada penggunaan lahan dengan jenis komoditas unggulan yang lebih produktif. Untuk menghindari terjadinya benturan kepentingan dalam hal penggunaan lahan, maka konversi tata guna lahan harus dilakukan mengacu kepada rencana tata ruang baik di tingkat propinsi ataupun kabupaten. Areal yang dipilih harus tercakup pada wilayah yang peruntukkan sebagai kawasan budi daya pertanian sesuai dengan kriteria sektoral dengan mempertimbangkan kesesuaian lahan dan/atau daya dukung lahan (Subagyo et al., 2000).

Komoditas perkebunan merupakan komoditas pertanian penting di Indonesia yang dapat dikembangkan mengingat Indonesia mempunyai potensi lahan perkebunan yang luas khususnya diluar Jawa dan didukung oleh kondisi iklim tropis dan tanah yang sesuai dengan syarat tumbuh tanaman pohon (tree crops). Untuk mewujudkan peranan komoditas perkebunan sebagai basis pertumbuhan ekonomi diperlukan sistem yang mantap mulai dari produksi sampai konsumsi. Untuk itu penyusunan tata ruang pertanian khususnya sub sektor perkebunan melalui pendekatan pewilayahan komoditas dengan mempertimbangkan daya dukung dan/atau kesesuaian lahan akan dapat menjamin produktivitas lahan yang berkelanjutan tanpa merusak lingkungan.

Pendekatan kewilayahan dalam pembangunan daerah yang utuh dan terpadu akan mampu mewujudkan efisiensi dan efektivitas fungsi perencanaan pembangunan daerah. Memanfaatkan seoptimal mungkin potensi wilayah, sumber daya, dan aspirasi masyarakat setempat merupakan modal utama dalam melaksanakan pembangunan daerah. Apabila pemilihan lahan dan sektor atau komoditas unggulan yang akan dikembangkan dapat dilakukan secara benar dan sesuai dengan tujuan program, maka pusat pertumbuhan yang akan menjadi andalan daerah dapat diwujudkan (Haeruman, 2000).

(11)

Evaluasi Kesesuaian Lahan

Untuk dapat melakukan perencanaan Penggunaan lahan untuk pertanian salah satu hal pokok yang diperlukan adalah tersedianya informasi faktor fisik lingkungan yang meliputi sifat dan potensi lahan. Evaluasi lahan merupakan salah satu mata rantai yang harus dilaksanakan dalam suatu perencanaan penggunaan lahan.

Evaluasi lahan (Land Evaluation atau Land Assessment) merupakan proses penilaian potensi suatu lahan untuk penggunaan-penggunaan tertentu. Tujuan evaluasi lahan adalah menentukan nilai (kelas) suatu lahan untuk tujuan tertentu. Menurut FAO (1976), dalam evaluasi lahan juga perlu memperhatikan aspek ekonomi, sosial serta lingkungan .

Ada dua pendekatan yang dapat ditempuh dalam melakukan evaluasi lahan, yaitu pendekatan dua tahapan (two stage approach) dan pendekatan paralel (parallel approach). Pendekatan dua tahap adalah proses evaluasi dilakukan secara bertahap, pertama evaluasi secara fisik dan kedua evaluasi secara ekonomi. Pendekatan ini biasanya untuk inventarisasi sumberdaya lahan secara makro dan studi potensi produksi (FAO, 1976). Dalam pendekatan paralel kegiatan evaluasi lahan secara fisik dan ekonomi dilakukan bersamaan (paralel) atau dengan kata lain analisis ekonomi sosial dari jenis penggunaan lahan dilakukan secara serempak bersamaan dengan pengujian faktor-faktor fisik. Pendekatan ini umumnya menguntungkan untuk suatu acuan yang spesifik dalam kaitannya dengan proyek pengembangan lahan pada tingkat semi detil dan detil dan diharapkan hasil yang lebih pasti dalam waktu singkat.

Evaluasi kesesuaian lahan merupakan bagian dari proses perencanaan tata guna tanah yang membandingkan persyaratan yang diminta untuk penggunaan lahan yang akan diterapkan dengan sifat-sifat atau kualitas lahan yang dimiliki oleh lahan yang digunakan. Inti prosedur evaluasi lahan adalah mula-mula menentukan jenis penggunaan (jenis tanaman) yang akan ditetapkan, kemudian menentukan persyaratan dan pembatas pertumbuhannya dan akhirnya membandingkan persyaratan penggunaan lahan (pertumbuhan tanaman) tersebut dengan kualitas lahan secara fisik. Klasifikasi kelas kesesuaian lahan yang biasa digunakan adalah klasifikasi menurut metode FAO (1976). Metode ini digunakan

(12)

untuk mengklasifikasikan kelas kesesuaian lahan berdasarkan data kuantitatif dan kualitatif, tergantung data yang tersedia (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2001)

Kesesuaian lahan ádalah tingkat kecocokan suatu bidang lahan untuk penggunaan tertentu. Kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai untuk kondisi saat ini atau setelah diadakan perbaikan (improvement). Lebih spesifik lagi kesesuaian lahan tersebut ditinjau dari sifat-sifat fisik lingkungannya, yang terdiri dari iklim, tanah, topografi, hidrologi dan/atau drainase sesuai untuk status usaha tani atau komoditas tertentu yang produktif (Djaenudin et al., 2003)

Pengertian kesesuaian lahan (land suitability) berbeda dengan kemampuan lahan (land capability). Kemampuan lahan lebih menekankan kepada kapasitas berbagai penggunaan secara umum yang dapat diusahakan di suatu wilayah. Jadi semakin banyak jenis tanaman yang dapat dikembangkan atau diusahakan di suatu wilayah maka kemampuan lahan tersebut semakin tinggi. Sedangkan kesesuaian lahan adalah kecocokan dari sebidang lahan untuk tipe penggunaan tertentu (land utilization type) sehingga harus mempertimbangkan aspek manajemennya.

Dalam menilai kesesuaian lahan ada beberapa cara, antara lain dengan perkalian parameter, penjumlahan, atau menggunakan hukum minimum yaitu mencocokan (matching) antara kualitas lahan dan karakteristik lahan sebagai parameter dengan kriteria kelas kesesuaian lahan yang telah disusun berdasarkan persyaratan penggunaan atau persyaratan tumbuh tanaman atau komoditas lain yang dievaluasi. Struktur klasifikasi kesesuaian lahan menurut kerangka FAO (1976) dapat dibedakan menurut tingkatannya sebagai berikut : Ordo, keadaan kesesuaian lahan secara global. Pada tingkat ordo kesesuaian lahan dibedakan antara lahan yang tergolong sesuai (S) dan lahan yang tergolong tidak sesuai (N). Kelas, adalah keadaan tingkat kesesuaian dalam tingkat ordo, dimana pada tingkat kelas lahan yang tergolong ordo sesuai (S) dibedakan ke dalam tiga kelas, yaitu sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2), dan sesuai marginal (S3). Sedangkan lahan yang tergolong ordo tidak sesuai (N) tidak dibedakan ke dalam kelas-kelas. Subkelas, adalah tingkat dalam kelas kesesuaian lahan. Kelas kesesuaian lahan dibedakan menjadi subkelas berdasarkan kualitas dan karakteristik lahan yang menjadi faktor pembatas terberat. Faktor pembatas ini sebaiknya dibatasi jumlahnya, maksimum dua pembatas. Tergantung peranan faktor pembatas pada

(13)

masing-masing subkelas, kemungkinan kelas kesesuaian lahan yang dihasilkan ini bisa diperbaiki dan ditingkatkan kelasnya sesuai masukan yang diperlukan. Unit, adalah tingkat dalam subkelas kesesuaian lahan yang didasarkan pada sifat tambahan yang berpengaruh dalam pengelolaannya. Semua unit yang berada dalam satu subkelas mempunyai tingkatan yang sama dalam kelas. Unit yang satu berbeda dari unit yang lainnya dalam sifat-sifat atau aspek tambahan dari pengelolaan yang diperlukan dan sering merupakan pembedaan tingkat detil dari faktor pembatasnya. Dengan diketahuinya pembatas tingkat unit tersebut memudahkan penafsiran secara detil dalam perencanaan usaha tani.

Sistem Informasi Geografis

Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah sebuah sistem baik manual maupun komputerisasi yang meliputi seperangkat prosedur yang berkaitan dengan penyimpanan, pengolahan, penyajian data dan informasi geografi. Sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komputer, SIG lebih umum diasosiasikan pada sistem komputerisasi yang dapat menyediakan berbagai kemampuan dalam menangani data dan informasi geografi, seperti pemasukan data, pengolahan data, manipulasi dan analisis data serta penyajian hasilnya. Data dan informasi geografi adalah informasi mengenai permukaan bumi yang menjelaskan suatu objek mengenai posisinya dihubungkan dengan sistem koordinat (proyeksi) yang ada, Informasi dapat dipandang sebagai data yang telah mengalami pengolahan, biasanya ditambah dengan ilmu pengetahuan agar dapat lebih dimanfaatkan langsung oleh pengguna (Pratondo, 2001)

Pengertian lain Sistem Informasi Geografis (SIG) menurut Puntodewo et al. (2003), merupakan suatu komponen yang tediri dari perangkat keras, perangkat lunak, data geografis dan sumber daya manusia yang bekerja bersama secara efektif untuk menangkap, menyimpan, memperbaiki, memperbaharui, mengelola, memanipulasi, mengintegrasi, menganalisa dan menampilkan data dalam suatu informasi berbasis geografis.

Aronoff (1989) mengemukakan bahwa SIG dirancang untuk menyimpan dan menganalisis objek-objek dan fenomena dimana lokasi geografis merupakan karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalisis. SIG merupakan sistem komputer yang memiliki empat kemampuan dalam menganalisis data yang

(14)

bereferensi geografis yaitu masukan, keluaran, menajemen data (penyimpanan dan pemanggilan data) serta analisis dan manipulasi data. Selanjutnya Barus dan Wiradisastra (2002) menjelaskan bahwa SIG memiliki kemampuan menangani data spasial yang besar karena dalam sejarahnya berkembang dari berbagai disiplin ilmu, yang diawali oleh kelompok survei dan pemetaan, ilmu komputer dan geografi kuantitatif.

Wadsworth dan Treweek (1999), berpendapat bahwa SIG pada umumnya digunakan untuk menggambarkan bentuk permukaan bumi secara horizontal dan juga mampu menghadirkan gambaran secara vertikal. Selain digunakan untuk mempelajari suatu fenomena yang berada pada kisaran milimeter (misalnya kompetisi antar tanaman rumput) hingga kilometer, SIG juga mempunyai peranan dalam : 1) memberikan gambaran tentang distribusi jenis atau fenomena tertentu; 2) menginventarisasi sumberdaya alam yang ada dan mempelajari perubahannya; dan 3) menganalisis, memprediksi, membuat pemodelan, dan sumber informasi penting untuk pengambilan keputusan.

Peranan SIG semakin besar dalam kajian sumberdaya ekologi termasuk perencanaan penggunaan lahan (Lioubimtseva dan Defouney, 1999). Secara umum SIG sangat bermanfaat baik untuk pemetaan, evaluasi sumberdaya lahan, pemodelan atau aplikasi model. Sedangkan peran SIG secara lebih spesifik adalah sebagai berikut:

1. menyediakan struktur data untuk penyimpanan dan pengolahan data yang lebih efisien termasuk untuk luasan yang besar.

2. memungkinkan pengumpulan atau pemisahan data dengan skala yang berbeda

3. mendukung analisis statistik spasial dan distribusi ekologi

4. menyediakan masukan data/parameter dalam pemodelan atau aplikasi model 5. meningkatkan kemampuan ekstraksi informasi dari penginderaan jauh.

Menurut Robinson et al. (1995), beberapa ahli menjelaskan tahapan-tahapan kelengkapan dalam SIG menjadi tiga tahapan-tahapan. Tahap pertama kelengkapan SIG adalah inventarisasi data. Data yang menjadi masukan dalam SIG dapat berupa peta tematik digital maupun rekaman digital dari sistem satelit Landsat yang sudah memberikan kenampakan tentang informasi yang dibutuhkan

(15)

Tahap kedua kelengkapan SIG adalah penambahan operaional analisis pada tahap pertama. Pada tahapan ini bentuk data diberikan kedalam data dengan menggunakan data statistik dan perlengkapan untuk analisis keruangan. Berbagai layer dari data yang dihasilkan pada tahap pertama dianalisis secara bersama-sama untuk menetapkan lokasi atau bentuk yang memiliki atribut yang sama atau serupa, nalisis ini bisa dilakukan setelah overlay. Overlay peta merupakan proses yang paling banyak dilakukan dalam SIG. Selanjutnya kalkulasi peta dapat dilakukan. Kalkulasi peta merupakan sekumpulan operasi untuk memanipulasi data spasial baik berupa peta tunggal maupun beberapa peta sekaligus. Operasi ini dapat berupa penjumlahan, pengurangan maupun perkalian antar peta, namun dapat pula melalui pengkaitan dengan suatu basis data atribut tertentu (Danoedoro, 1996).

Tahap akhir kelengkapan SIG adalah pengambilan keputusan. Pada tahap ini digunakan model-model untuk mendapatkan evaluasi secara real time untuk kemudian hasil yang didapatkan dari pemodelan dibandingkan dengan kondisi di lapangan. Keluaran utama dari SIG adalah informasi spasial baru.

Prahasta (2001), menguraikan SIG atas beberapa subsistem yang saling terkait, yaitu:

1. Data input, yang bertanggung jawab dalam mengkonversi atau mentransformasikan fomat-format data ke dalam format yang digunakan oleh SIG.

2. Data output, sub sistem ini menampilkan atau menghasilkan keluaran atau sebagian basis data baik dalam bentuk softcopy maupun hardcopy, seperti tabel, grafik, peta dan lain-lain.

3. Data management, yang mengorganisasikan baik data spasial maupun atribut ke dalam sebuah basis data sedemikian rupa sehingga mudah dipanggil, diperbaharui (update) dan dikoreksi (edit).

4. Data manipulation dan analisis, sub sistem ini menentukan informasi-informasi yang dihasilkan oleh SIG. Selain itu juga melakukan manipulasi dan pemodelan data untuk menghasilkan informasi yang diharapkan.

Keterkaitan subsistem GIS tersebut berdasarkan uraian jenis masukan, proses dan jenis keluarannya dapat dilihat pada Gambar 1.

(16)

Gambar 1. Keterkaitan susbsistem SIG (Prahasta, 2001)

Partisipasi dalam Pembangunan Masyarakat

Secara sederhana, menurut Sumardjo dan Saharuddin (2006) partisipasi mengandung makna peranserta seseorang atau sekelompok orang atau sesuatu pihak dalam suatu kegiatan atau upaya mencapai sesuatu yang (secara sadar) diinginkan oleh pihak yang berperanserta tersebut. Unsur utama partisipasi adalah adanya kesadaran dan kesukarelaan dalam berperilaku sesuai dengan kebutuhan dan keinginan partisipan, sehingga dalam berperilaku didasari pada motivasi terutama motivasi intrinsik yang tinggi, baik dalam proses pengambilan keputusan maupun implementasinya dan dalam menikmati hasil perilaku tersebut.

Data Input Data Management & Manipulation Data Output Tabel Data lainnya Laporan Foto Udara Citra Satelit Pengukuran Lapang Data Digital Peta (Tematik, dll) Input Retrieval Data Base Processing Output Laporan Tabel Peta Inforasi Digital (Softcopy)

(17)

Filosofi pengembangan partisipasi dari kacamata proses pembangunan adalah keberpihakan pada masyarakat dalam mewujudkan aspirasi dan kreatifitas untuk memenuhi kebutuhan hidup dan mencapai kesejahteraannya. Ada tiga prasyarat partisipasi seseorang dalam suatu kegiatan dalam masyarakat, yaitu adanya kesadaran pada diri yang bersangkutan tentang adanya kesempatan dan adanya kemauan (sikap positif terhadap sasaran partisipasi), serta didukung oleh kemampuan (inisiatif untuk bertindak dengan komitmen dan menikmati hasilnya).

Implementasi partisipatif dalam pembangunan adalah penerapan prinsip pembangunan yang berpusat pada rakyat, yang secara tegas menempatkan masyarakat harus menjadi pelaku utama dalam pembangunan. Apabila suatu pembangunan masyarakat tidak mendapat partisipasi masyarakat secara meluas kecenderungan yang terjadi adalah pembangunan tersebut tidak bermanfaat bagi rakyat, melainkan hanya bermanfaat pada segolongan pihak yang punya kepentingan dalam pembangunan.

Metoda-metoda dan teknik partisipatif dalam pembangunan masyarakat yang banyak digunakan antara lain; (1) metoda partisipatif dalam identifikasi kebutuhan melalui Pendekatan Rapid Rural Appraisal (RRA) yang dianggap sebagai salah satu cara untuk mengisi kelemahan-kelemahan yang terkandung dalam aplikasi pendekatan “turis pembangunan” atau “survei konvensional” dalam mengindentifikasi potensi, permasalahan dan kebutuhan pembangunan; (2) partisipatif dalam perencanaan sosial Participatory Rural Appraisal (PRA) merupakan salah satu alternatif yang diutamakan dalam pemberdayaan masyarakat; (3) parisipatif melalui Participatory Impact Monitoring (PIM) yang memfokuskan pada monitoring dan evaluasi dampak proyek; (4) partisipatif melalui Focus Group Discussion (FGD); dan (5) partisipatif dalam pengembangan Usaha Produktif Masyarakat (SL, kemitraan).

Focus Group Discussion (FGD)

FGD adalah suatu proses pengumpulan informasi mengenai suatu permasalahan tertentu yang sangat spesifik melalui diskusi kelompok. Menurut Irwanto (1998: 1) dalam Sumardjo dan Saharuddin (2006) ada tiga kata kunci FGD, yaitu: (i) diskusi bukan wawancara; (ii) kelompok-bukan individu, dan (iii)

(18)

terfokus bukan bebas. Ibrahim (1997) dalam Sumardjo dan Saharuddin (2006) menyatakan bahwa Kelompok Diskusi Terarah (FGD) pada dasarnya adalah wawancara kelompok yang dipandu oleh seorang moderator, berdasarkan topik diskusi yang merupakan pokok permasalahan penelitian.

Berdasarkan kedua pengertian di atas, maka FGD merupakan suatu forum yang dibentuk untuk saling membagi informasi dan pengalaman diantara para peserta diskusi dalam suatu kelompok untuk membahas satu masalah khusus yang telah terdefinisikan sebelumnya. FGD yang demikian adalah forum untuk membahas masalah penelitian, suatu permasalahan yang telah disusun sedemikian rupa untuk mendapatkan jawabannya. Perbedaan kedua penulis hanya pada terminologi, yang jika dilihat secara teliti mengandung pengertian yang sama yaitu antara “diskusi” dengan “wawancara yang dipandu oleh seorang moderator”.

Dalam bidang ilmu sosial, hasil analisis atau temuan dengan FGD dapat digunakan pada tahap pra perencanaan, perencanaan, proses penelitian, selama inplementasi program hingga evaluasi proyek. Pada tahap pra perencanaan FGD dapat digunakan untuk mencari masukan awal tentang disain proyek. Pada tahap perencanaan, FGD dapat digunakan untuk analisis taksiran, penentuan design, kelayakan program, dan sebagainya. Pada tahap implementasi membantu memberikan masukan untuk program/rencana yang sedang dijalankan, sehingga perubahan program atau tindakan (intervensi) dapat dilakukan, bahkan sekaligus bisa melakukan pencegahan (preventif) yang dapat mengurangi kendala sosial yang mungkin terjadi sebagai rekomendasi. Sedangkan pada tahap evaluatif FGD dapat digunakan untuk memperoleh umpan balik yang berguna bagi langkah-langkah selanjutnya.

Menurut Sumardjo dan Saharuddin (2006) Ada tiga alasan pokok munculnya FGD yaitu: alasan filosofis, alasan metodologis dan alasan praktis. Secara fiosofis seseorang melakukan FGD karena; (1) penelitian selalu tidak terpisah dengan aksi. Diskusi sebagai proses pertemuan antar pribadi sudah merupakan aksi. Artinya, setelah pertemuan ini, maka para peserta sudah akan mengalami perubahan. Oleh karena itu untuk mencegah akibat-akibat yang tidak diinginkan, FGD harus dapat dilakukan sedemikian rupa sehingga dampaknya bagi setiap peserta lebih bersifat positif-memberdayakan, membuat orang merasa

(19)

lebih enak (karena dapat mengeluarkan pendapat atau karena ada orang lain yang ternyata mempunyai pengalaman yang sama); (2) penelitian yang bersifat aksi membutuhkan perasaan memiliki dari masyarakat yang diteliti- sehingga pada saat peneliti memberikan rekomendasi aksi, dengan mudah masyarakat mau menerima rekomendasi tersebut. Partisipasi dalam FGD memberikan jalan bagi tumbuhnya rasa seperti itu.

Secara metodologi seseorang melakukan FGD karena; (1) adanya keyakinan bahwa masalah yang diteliti tidak dapat difahami dengan metode survai atau wawancara individu; (3) untuk memperoleh data kualitatif yang bermutu dalam waktu yang relatif singkat; dan (3) sebagai metode yang dirasa cocok bagi permasalahan yang bersifat sangat lokal dan spesifik. FGD dengan melibatkan masyarakat setempat dipandang sebagai pendekatan yang paling sesuai.

Alasan praktis penggunaan FGD adalah semua peserta memiliki kesempatan untuk dapat berbagi pengalaman, pendapat atau ide, sehingga mudah melakukan penelusuran mengapa orang berfikir dan merasakan apa yang mereka lakukan. Mengapa mereka bersikap dan bertindak seperti itu. Alasan praktis lainnya adalah: biaya murah, waktu dapat dihemat, memungkinkan dilakukan proyektibilitas, keterlibatan langsung pihak kedua, kegunaan untuk proses pengembangan, khusus menggali ide-ide baru, kepraktisan memilih lokasi dan fleksibilitas dalam memilih isu yang akan dibahas.

Moderator dalam FGD memegang peranan penting bagi kedinamisan kelompok diskusi. Karena itu seorang moderator harus memiliki kemampuan untuk menggerakkan diskusi dari segala persoalan yang akan mempengaruhi jalannya dan efektifitas diskusi. Sekurang-kurangnya terdapat empat jenis keterampilan yag harus dimiliki oleh moderator, yaitu; (1) keterampilan menyeleksi peserta, peserta FGD diseleksi dari sejumlah orang yang terkait dengan permasalahan yang sedang diteliti; (2) keterampilan substantif, yaitu keterampilan untuk memahami substansi permasalahan yang didiskusikan; (3) keterampilan proses, yaitu keterampilan yang perlu dikuasai oleh moderator untuk mengatur proses diskusi sehingga tujuan yang ingin dicapai dengan memfokuskan diskusi pada persoalan yang hendak diteliti dapat benar-benar tercapai; (4) kemampuan melakukan refleksi terhadap pernyataan peserta; (5) kemampuan

(20)

probing, yaitu kemampuan mendorong semangat agar pembicara tidak segan-segan meneruskan pembicaraannya karena materi yang disampaikan manarik untuk didengarkan; (6) kemampuan menggugah peserta untuk menyampaikan gagasannya; dan (7) keterampilan memfasilitasi proses diskusi.

Gambar

Gambar 1. Keterkaitan susbsistem SIG (Prahasta, 2001)

Referensi

Dokumen terkait

Data yang akurat dan mutakhir yang mendukung klasifikasi lahan hutan untuk berbagai penggunaan baik di dalam maupun di luar kawasan hutan, dan fokus yang lebih kuat pada

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh perbedaan suhu lingkungan dan lama thawing yang berbeda terhadap kualitas semen beku (motilitas, persen hidup

Berkas rekam medis pasien yang konsul diantarkan ke klinik yang dituju oleh perawat klinik, berkas rekam medis yang telah selesai digunakan untuk pelayanan klinik dan berkas rekam

Pada awal berdirinya masjid ini diberi nama Jami’ul Kahhirah (Kairo) karena mengambil nama tempat universitas tersebut didirikan, Belakangan, namanya diubah menjadi

Data Abortus berdasarkan umur ibu hamil di RSUD Salatiga pada bulan Januari sebanyak 11 orang (23,91%) yang terjadi pada usia < 20 tahun sebanyak 4 orang, usia 20-35 tahun

Kajian rintis terhadap modul ini menunjukkan bahawa aktiviti membina dialog dengan mengunakan kata sapaan yang tepat tidak dapat dijalankan dalam waktu 20 minit,

Adalah kondisi bisnis perusahaan yang bergerak dalam pasar dengan pertumbuhan rendah tapi pangsa pasarnya tinggi.. Perusahaan dapat mengeruk keuntungan tanpa memerlukan investasi

Studi literatur adalah analisis dari berbagai referensi yang berhubungan dan mendukung teori untuk penyelesaian penelitian “Studi Evaluasi Sistem Proteksi Relay Arus