• Tidak ada hasil yang ditemukan

SIFAT FISIK DAN KIMIA DAGING DOMBA LOKAL ASAL UNIT PENDIDIKAN DAN PENELITIAN PETERNAKAN JONGGOL (UP3J) PADA GENOTIPE CALPASTATIN YANG BERBEDA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SIFAT FISIK DAN KIMIA DAGING DOMBA LOKAL ASAL UNIT PENDIDIKAN DAN PENELITIAN PETERNAKAN JONGGOL (UP3J) PADA GENOTIPE CALPASTATIN YANG BERBEDA"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

SIFAT FISIK DAN KIMIA DAGING DOMBA LOKAL ASAL UNIT PENDIDIKAN DAN PENELITIAN PETERNAKAN JONGGOL

(UP3J) PADA GENOTIPE CALPASTATIN YANG BERBEDA

P SKRIPSI P DARI SAPUTRA

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

(2)

RINGKASAN

Dari Saputra. D14061290. 2012. Sifat Fisik dan Kimia Daging Domba Lokal Asal

Unit Pendidikan dan Penelitian Jonggol (UP3J) pada Genotipe Calpastatin yang Berbeda. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas

Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Ir. Sri Rahyu, M.Si.

Pembimbing Anggota : Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.

Karkas merupakan produk utama usaha peternakan ternak potong. Karkas dipotong menurut potongan komersialnya. Selain karkas, masih ada juga bagian non karkas yang dapat dimakan. Pada umumnya, pengukuran kualitas karkas dari suatu ternak dilakukan setelah ternak tersebut dipotong. Namun kemajuan dalam bidang biologi molekuler memungkinkan upaya tersebut dapat dilakukan sebelum ternak dipotong yaitu dengan identifikasi DNA, dengan cara mencari keragaman gen yang mengontrol sifat ekonomis. Calpastatin merupakan sebuah gen yang berfungsi untuk menghambat degradasi protein sel-sel otot. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat fisik dan kimia daging domba jonggol pada genotipe calpastatin yang berbeda.

Penelitian ini dilakukan selama delapan bulan dari bulan Maret sampai Oktober 2010 di Laboratorium Lapangan IPT Ruminansia Kecil dan Laboratorium IPT Ruminansia Besar, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini menggunakan ternak domba ekor tipis jantan yang berasal dari Jonggol sebanyak sembilan ekor dengan bobot rata-rata 21,41±2,35 kg saat dipotong. Perlakuan terdiri atas dua macam genotipe calpastatin, yaitu genotipe MM dan MN dengan ulangan lima dan empat kali. Peubah yang diamati adalah daya mengikat air, pH, susut masak, keempukan, kadar air, kadar protein, kadar lemak, kadar abu, dan kadar karbohidrat. Data dianalisis dengan uji Tukey.

Hasil penelitian menunjukkan genotipe MM dan MN tidak berbeda pada hasil uji sifat fisik dan kimia daging domba. Rataan nilai hasil uji pH adalah 5,4575±0,149, daya mengikat air 38,5±3,755, keempukan 2,926±0,6625, dan susut masak 45,795±3,68. Rataan nilai hasil uji kadar air adalah 75,705±4,069, protein 20,81±4,36, lemak 1,03±0,853, abu 0,9575±0,162, dan karbohidrat 1,697±0,931. Kata-kata kunci: Gen calpastatin, Domba lokal, Sifat fisik dan kimia daging domba.

(3)

ABSTRACT

Physical and Chemical Properties of Local Sheep Meat from Education and Research Unit of Jonggol (UP3J) in Different

Genotype Calpastatin

Saputra, D., S. Rahayu, and C. Sumantri

Carcass is the main product in sheep fattening business. Carcass were cut into commercial pieces. Generally, carcass’s quality determine after the animal slaughtered. However, advances in molecular biology allow these methods can be done before the animal slaughter, such as identification of DNA, by looking for genes diversity that control of economic value. Calpastatin is the spesific inhibitor of µ- and m-calpain. Calpastatin activities related with the rate of postmortem proteolysis and tenderness. The increase of calpastatin activities has an effect to increase muscle mass and decrease meat tenderness. Calpastatin used as an indicator for selection of livestock that have a high carcass quality. The aims of this research is identify physical and chemical properties of representative sheep meat on a different calpastatin genotypes. Biceps femoris in leg (commercial pieces) used as sample. Samples were taken by separating the fat, meat, and bones. Tukey’s test used as experimental design with two genotypes (MM and MN). Result showed MM and MN’s genotype didn’t have differences on physical and chemical properties of sheep meat.

Keywords: Calpastatin gene, Local sheep, Physical and chemical properties of sheep meat.

(4)

SIFAT FISIK DAN KIMIA DAGING DOMBA LOKAL ASAL UNIT PENDIDIKAN DAN PENELITIAN PETERNAKAN JONGGOL

(UP3J) PADA GENOTIPE CALPASTATIN YANG BERBEDA

DARI SAPUTRA D14061290

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk Memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

(5)

Judul Skripsi : Sifat Fisik dan Kimia Daging Domba Lokal Asal Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan Jonggol (UP3J) pada Genotipe Calpastatin yang Berbeda

Nama : Dari Saputra

NIM : D14061290

Menyetujui,

Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,

(Ir. Sri Rahayu, M.Si) (Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc) NIP: 19570611 198703 2 001 NIP: 19591212 198603 1 004

Mengetahui: Ketua Departemen,

Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan

(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc) NIP: 19591212 198603 1 004

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sawit Permai, Siak Sri Indrapura - Riau pada tanggal 28 Februari 1988 dari pasangan Suhari dan Julaeha. Penulis merupakan anak kedua dari 3 bersaudara.

Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar pada tahun 2000, Sekolah Menengah Pertama selesai pada tahun 2003, dan Sekolah Menengah Atas selesai pada tahun 2006. Selanjutnya penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD). Di tahun 2007 penulis diterima di Fakultas Peternakan, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan (IPTP).

Selama masa perkuliahan, penulis aktif dalam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) voli. Penulis juga pernah menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Produksi Peternakan (HIMAPROTER), anggota di divisi infokom, dan panitia di beberapa acara olahraga yang diselenggarakan oleh Institut Pertanian Bogor.

(7)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah. Segala puja, puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas limpahan nikmat dan karunia-Nya yang tak terhitung dan tak ternilai jumlahnya. Shalawat serta salam semoga tetap terlimpah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, para sahabat, tabi’in, ulama, dan juga kepada kita semua sebagai pengikutnya yang taat hingga akhir zaman nanti.

Skripsi dengan judul “Sifat Fisik dan Kimia Daging Domba Lokal Asal

Unit Pendidikan dan Penelitian Jonggol (UP3J) pada Genotipe Calpastatin yang Berbeda” ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan sifat fisik dan kimia daging domba pada gen calpastatin yang berbeda. Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi bagi kalangan akademisi dan praktisi untuk meningkatkan kemampuan dan produktifitas sesuai dengan bidangnya masing-masing.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini, masih banyak terdapat kekurangan dan ketidaksempurnaan di dalamnya. Semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi semua pihak, terutama bagi dunia pendidikan dan peternakan.

Bogor, Februari 2012

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN ... i

ABSTRACT ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

RIWAYAT HIDUP ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix DAFTAR GAMBAR ... x DAFTAR LAMPIRAN ... xi PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Tujuan ... 1 TINJAUAN PUSTAKA ... 2

Klasifikasi Ternak Domba ... 2

Domba Lokal ... 3

Ubi Jalar ... 4

Daging ... 4

Karkas ... 5

Potongan Komersil Karkas ... 6

Sifat Fisik daging ... 7

Daya Mengikat air (DMA) Daging ... 7

Keempukan daging ... 8

Susut Masak Daging ... 9

Nilai pH Daging ... 10

Sifat Kimia Daging ... 10

Kadar Air ... 11

Protein ... 11

Lemak ... 12

Abu ... 12

Karbohidrat ... 12

Keragaman Gen Calpastatin ... 13

Hubungan Antara Sistem Calpain-Calpastatin dengan Sifat Pertumbuhan ... 14

METODE ... 15

Lokasi dan Waktu ... 15

(9)

Prosedur ... 16

Rancangan Percobaan dan Analisis Data ... 23

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25

Keadaan Umum Penelitian ... 25

Sifat Fisik Daging ... 26

Sifat Kimia Daging ... 29

KESIMPULAN DAN SARAN ... 33

Kesimpulan ... 33

Saran ... 33

UCAPAN TERIMA KASIH ... 34

DAFTAR PUSTAKA ... 35

LAMPIRAN ... 39

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Komposisi Kimia Daging dari berbagai Spesies Ternak………... 10 2. Kandungan Nutrisi Rumput Brachiaria Humidicola, Umbi Ubi

Jalar, dan Konsentrat………. 26

3. Rataan Hasil Sifat Fisik Domba Penelitian………... 27 4. Rataan Hasil Sifat Kimia Domba Penelitian ………... 30

(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Potongan Komersil Karkas Domba ... 6

2. Alat Pompa Tekanan ... 19

3. Warner Blatzer ... 20

4. pH Meter ... 20

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Hasil Uji Tukey Kualitas Fisik Daging dengan Minitab 14 ... 40 2. Hasil Uji Tukey Kualitas Kimia Daging dengan Minitab 14 ... 41

(13)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Peningkatan populasi penduduk, tingkat kesejahteraan, dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya protein hewani menyebabkan meningkatnya permintaan sumber protein hewani yang berupa daging. Jumlah konsumsi daging domba pada tahun 2008 mencapai 51.894 ton dari jumlah konsumsi protein hewani lainnya dan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Kebutuhan daging yang cukup besar tersebut belum dapat dipenuhi dari produksi daging domba dalam negeri, meskipun jumlah populasi ternak domba sebesar 10,91 juta ekor dan dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan (Dirjennak, 2010). Oleh karena itu diperlukan suatu usaha untuk meningkatkan produktivitas ternak menjadi lebih baik dengan cara perbaikan mutu genetik domba lokal yang ada di Indonesia, salah satunya yaitu domba ekor tipis. Keunggulan dari domba ekor tipis adalah bersifat prolifik, beranak sepanjang tahun dan mudah beradaptasi dengan baik di lingkungan setempat, namun domba ekor tipis ini mempunyai kelemahan, yaitu produksi karkas yang dihasilkan masih rendah.

Peningkatan mutu genetik domba ekor tipis dapat dilakukan dengan cara seleksi. Kemajuan dalam bidang biologi molekuler memungkinkan upaya seleksi dapat dilakukan pada tingkat DNA, yaitu dengan cara mencari keragaman gen yang mengontrol sifat ekonomis, salah satunya gen calpastatin. Calpastatin merupakan sebuah gen yang berfungsi untuk menghambat degradasi protein sel-sel otot. Peningkatan aktivitas calpastatin menyebabkan terjadinya pertambahan massa otot dan penurunan keempukan daging. Keragaman gen calpastatin diduga terkait dengan sifat pertumbuhan domba lokal.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi sifat fisik dan kimia daging domba lokal asal Unit Pendidikan dan Penelitian Jonggol (UP3J) pada genotipe calpastatin yang berbeda.

(14)

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Ternak Domba

Domba domestikasi termasuk golongan hewan-hewan bertulang belakang, menurut Blakely dan Bade (1998) klasifikasi domba adalah sebagai berikut:

Sub Kingdom : Vertebrata

Klass : Mammalia Ordo : Ungulata Sub-ordo : Artiodactyla Section : Pecora Familia : Bovidae Sub-familia : Caprinae Genus : Ovis Species : Ovis aries

Domba merupakanhewan yang hampir tidak memiliki insting untuk mempertahankan diri, serta begitu besar ketergantungannya pada manusia. Tidak seperti hewan-hewan yang lain, domba mempunyai kecenderungan untuk cepat menyerah terhadap tekanan yang dialaminya. Domba menghasilkan dua produk utama yaitu daging dan wool. Cara seleksi untuk domba bervariasi, tergantung pada tujuan pemanfaatan domba itu. Pada kelas-kelas untuk tujuan dipotong, domba jantan dewasa (jantan kastrasi sebelum mencapai masa kelamin) adalah yang paling umum diperbandingkan, meski yang betinapun dapat pula diperbandingkan (Blakely dan Bade, 1991).

Gigi merupakan bagian tubuh ternak yang berada di rongga mulut yang berguna untuk mengunyah makanan. Ternak juga sama halnya dengan manusia, yaitu mempunyai gigi yang membantu dalam proses pencernaan pakan. Pada ternak domba ada hal yang unik, yaitu gigi mengalami perubahan secara terus-menerus dengan suatu karakteristik tertentu. Gigi pada domba dapat digunakan untuk menduga umur domba jika tidak ada catatan produksi ataupun data kelahiran dari ternak domba yang ingin diketahui umurnya (Frandson, 1992).

Frandson (1992) menyatakan bahwa pendugaan umur pada domba dapat dilakukan dengan memperhatikan perubahan pada gigi seri domba. Perubahan gigi seri domba yaitu sebagai berikut: (1) jika pada domba telah tumbuh sepasang gigi

(15)

seri sentral, domba berumur 1 hari – 1 minggu; (2) sepasang gigi seri susu lateral, domba berumur 1 – 2 minggu; (3) sepasang gigi seri susu intermedial, domba berumur 2 – 3 minggu; (4) sepasang gigi seri susu sudut, domba berumur 3 – 4 minggu; (5) sepasang gigi seri susu sentral digantikan oleh sepasang gigi seri permanen, domba berumur 1 – 1,5 tahun; (6) sepasang gigi seri susu lateral digantikan sepasang gigi seri permanen lateral, domba berumur 1,5 – 2,5 tahun; (7) sepasang gigi seri susu intermedial digantikan sepasang gigi seri permanen intermedial, domba berumur 2,5 – 3,5 tahun; (8) sepasang gigi seri sudut digantikan sepasang gigi seri permanen sudut, domba berumur 3,5 – 4 tahun.

Domba Lokal

Menurut Subandriyo dan Djajanegara (1996) domba lokal terdiri atas dua bangsa yaitu domba ekor tipis dan domba ekor gemuk. Asal-usul domba ini tidak diketahui dengan pasti. Namun diduga berasal dari India dan domba ekor gemuk berasal dari Asia Barat.

Domba lokal Jonggol merupakan domba ekor tipis silangan dengan domba Garut secara acak. Domba Jonggol telah dipelihara dengan sistem manajemen penggembalaan sejak tahun 1980 di Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan Jonggol (UP3J) Fapet - IPB dan terseleksi secara alami untuk lingkungan panas dan kering. Domba Jonggol jantan dewasa mempunyai bobot tubuh sebesar 34,9 kg, sedangkan bobot tubuh domba betina sebesar 26,1 kg (Sumantri et al., 2007). Bobot tubuh domba Jonggol lebih tinggi bila dibandingkan sejumlah domba lokal lainnya, misalnya bila dibandingkan dengan bobot tubuh dewasa jantan dan betina dari domba Donggala (24,0 dan 25,3 kg), Kisar (25,8 dan 18,9 kg), dan Rote (27,9 dan 20,3 kg), tetapi hampir sama dengan bobot dewasa domba jantan dan betina dari Sumbawa (33,8 dan 26,9 kg).

Domba ekor tipis mempunyai karakteristik reproduksi yang spesifik, yang dipengaruhi oleh gen Prolifikasi dan dapat beranak sepanjang tahun (Subandriyo dan Djajanegara, 1996). Bobot karkas domba ekor tipis adalah 41,11 – 44% (Adiwinarti, 1999). Domba ekor tipis ini memiliki tubuh yang kecil, untuk domba jantan dewasa 15 - 20 kg. Domba ekor tipis memiliki warna dominan putih dan terdapat belang hitam di sekeliling mata, hidung, dan terkadang di seluruh tubuhnya. Bagian ekornya tidak menunjukkan adanya deposisi lemak. Domba jantan memiliki tanduk yang

(16)

melengkung, sedangkan domba betina biasanya tidak bertanduk. Domba ekor tipis mempunyai telinga ukuran sedang dan wool yang kasar (Mason, 1980). Menurut Permana (2003), domba ekor tipis memiliki resistensi yang tinggi terhadap cacing Haemoncus contortus.

Ubi Jalar

Tanaman ubi jalar (Ipomoea batatas L) diduga berasal dari benua Amerika, tetapi para ahli botani dan pertanian memperkirakan daerah asal tanaman ubi jalar adalah Selandia Baru, Polinesia, dan Amerika bagian tengah. Ubi jalar mulai menyebar ke seluruh dunia, terutama ke negara-negara beriklim tropis pada abad ke-16. Orang-orang Spanyol menyebarkan ubi jalar ke kawasan Asia, terutama Filipina, Jepang, dan Indonesia. Cina merupakan penghasil ubi jalar terbesar mencapai 90% (rata-rata 114,7 juta ton) dari yang dihasilkan dunia (FAO, 2004).

Menurut Yufdy et al., (2006) varietas ubi jalar cukup banyak, namun baru 142 jenis yang sudah diidentifikasi oleh para peneliti. Varietas yang digolongkan sebagai varietas unggul harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : a) berdaya hasil tinggi, di atas 30 ton/hektar, b) berumur pendek (genjah) antara 3 - 4 bulan, c) rasa ubi enak dan manis, d) tahan terhadap hama penggerek ubi (Cylas sp) dan penyakit kudis oleh cendawan Elsinoe sp, e) kadar karoten tinggi di atas 10 mg/100 g, dan f) keadaan serat ubi relatif rendah. Beberapa varietas unggul yang telah dilepaskan ke lapangan memiliki umur yang berbeda, demikian juga dengan ketahanan terhadap hama boleng (kumbang Cylas formicarius).

Secara fisik,kulit ubi jalar lebih tipis dibandingkan kulit ubi kayu dan merupakan umbi dari bagian batang tanaman. Warna kulit ubi jalar bervariasi dan tidak selalu sama dengan warna umbi. Warna daging umbinya bermacam-macam, dapat berwarna putih, kuning, jingga kemerahan, atau keabuan.Demikian pula bentuk umbinya seringkali tidak seragam (Syarief dan Irawati, 1988).

Daging

Daging menurut SNI-01-3947-1995 merupakan urat daging yang melekat pada kerangka kecuali urat daging dari bibir, hidung dan telinga, yang berasal dari hewan sehat pada saat dipotong (Dewan Standarisasi Nasional, 1995). Menurut Lawrie (2003) daging didefinisikan sebagai semua jaringan tubuh hewan dan produk

(17)

olahannya yang baik untuk dimakan dan tidak menganggu kesehatan bagi yang mengonsumsinya.

Daging sebagai jaringan hewan yang dapat digunakan sebagai makanan, sering juga diperluas dengan memasukkan organ-organ seperti hati dan ginjal, otot, dan jaringan lain yang dapat dimakan disamping urat daging (Aberle et al., 2001) dan (Lawrie, 2003). Soeparno (1998) menyatakan bahwa otot hewan berubah menjadi daging setelah pemotongan karena fungsi fisiologisnya telah berhenti. Otot merupakan komponen utama penyusun daging. Daging juga tersusun dari jaringan ikat, epithelial, jaringan-jaringan syaraf, pembuluh darah, dan lemak.

Menurut Soeparno (2005), daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan ganguan kesehatan bagi yang memakannya. Daging adalah komponen utama karkas. Karkas tersusun dari lemak jaringan adipose, tulang, tulang rawan, jaringan ikat dan tendon. Komponen-komponen tersebut menentukan ciri-ciri kualitas dan kuantitas daging. Daging domba memiliki serat yang lebih halus dibandingkan dengan daging lainnya, jaringannya sangat padat, berwarna merah muda, konsistensinya cukup tinggi, dan lemaknya terdapat dibawah kulit yaitu antara otot dan kulit.

Karkas

Karkas adalah bagian dari tubuh ternak setelah dipisahkan dari darah, saluran pencernaan, saluran urin, jantung, limpa, hati, dan jaringan-jaringan lemak yang melekat pada bagian-bagian tersebut ( Lawrie, 1995). Soeparno (1994) karkas adalah berat semua bagian tubuh dari ternak setelah pemotongan dikurangi dari carpus dan tarsus sampai kebawah kulit.

Karkas domba dapat dibedakan berdasarkan berat, umur domba, jenis kelamin dan tingkat perlemakan. Tingkat keempukan dari daging domba dapat dipengaruhi oleh waktu pelayuan daging, pembekuan dan metode pemasakan (Gatenby, 1991). Persentase karkas dipengaruhi oleh bobot karkas, bobot dan kondisi ternak, bangsa, proporsi bagian-bagian non-karkas dan ransum serta umur, jenis kelamin dan pengebirian (Devendra dan Burns, 1994).

Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan karkas dan komponennya adalah genetik, lingkungan, makanan, dan kemampuannya beradaptasi. Makanan

(18)

merupakan faktor yang penting diperhatikan untuk memperoleh bobot karkas yang tinggi dari seekor ternak. Ternak membutuhkan makanan sejak dalam kandungan untuk tumbuh dan berkembang menjadi foetus dan dilahirkan, kemudian tumbuh menjadi dewasa. Bentuk grafik pertumbuhan ternak ditentukan oleh jumlah makanannya (Tillman et al., 1991). Bila jumlah makanan yang dikonsumsi tinggi, maka pertumbuhan akan cepat bagi ternak untuk mencapai bobot badan yang diharapkan serta bobot karkas yang maksimal sesuai dengan potensi genetiknya (Sitorus dan Subandriyo, 1982). Jumlah makanan dan mutu makanan yang baik tidak dapat mengubah tubuh ternak secara genetik bertubuh kecil, tetapi pemberian makanan dalam jumlah yang rendah tidak akan mampu memberikan pertambahan bobot badan dan pertumbuhan karkas secara optimal sesuai dengan potensi genetik yang ada pada masing-masing ternak seperti kecepatan tumbuh dan persentase karkas yang tinggi. Hal tersebut hanya mungkin dapat terealisasi apabila ternak tersebut dapat memperoleh makanan yang cukup (Rismaniah et al., 1989).

Potongan Komersil Karkas

Karkas dapat dibagi dalam bentuk potongan karkas (yield grade). Potongan komponen karkas berbeda-beda dari satu tempat ke tempat lain sesuai dengan sistem pemotongan untuk dijual dan kebiasaan masyarakat dalam memilih depot perdagingan pada karkas.

Gambar 1. Potongan Komersil Karkas domba (Salim, 1988)

Keterangan Gambar: (1) Neck (leher) (5) Shank (kaki) (2) Shoulder (bahu) (6) Breast (dada) (3) Rack (punggung-rusuk) (7) Flank (sisi bawah) (4) Loin (lemusir) (8) Leg (paha)

(19)

Besarnya bobot komponen karkas dipengaruhi oleh bangsa, jenis kelamin, laju pertumbuhan, berat potong, dan perlakuan pakan. Menurut Gaili dan Mahgoub (1983) bahwa berat Shoulder dan Neck domba jantan lebih tinggi dari pada betina sedangkan bagian karkas lainnya tidak berbeda. Makanan sangat berpengaruh terhadap komponen karkas. Salim (1988) menyatakan bahwa pada ruminansia kecil yang diberi makanan yang bernilai gizi rendah berpengaruh terhadap proporsi bagian ekor, leher, Lemusir, Pelvis, bahu, dada dan paha. Pengaruh yang paling besar bagi makanan yang bernilai gizi rendah adalah menurunkan bobot pada bagian dada, Lemusir dan Pelvis.

Ruminansia kecil lebih cenderung untuk menghasilkan perlemakan. Perletakan lemak lebih banyak dijumpai pada pangkal ekor dan tungging (rump) lalu menyebar sepanjang punggung sampai ke leher dilanjutkan ke sekeliling karkas dan berakhir pada bagian kaki. Menurut Salim (1988), kecepatan pertumbuhan urat daging pada berbagai lokasi adalah berbeda. proporsi urat daging yang tinggi ada pada potongan paha, menyusul pada potongan bahu, sedangkan potongan dada dan lemusir memiliki proporsi urat daging yang lebih kecil.

Sifat Fisik Daging

Istilah daging segar digunakan dalam konteks khusus untuk menyebutkan produk yang belum mengalami perubahan kimia dan fisik setelah penyembelihan tetapi hanya mengalami pengolahan minimal, misalnya pembekuan (freezing). Sifat daging segar sendiri sangat berguna untuk penjual, untuk ditampilkan ke pembeli atau konsumen, dan kesesuaiannya untuk pengolahan lebih lanjut. Hal yang penting adalah daya mengikat air (water-holding capacity), warna, struktur, kealotan (firmness), dan tekstur (Aberle et al., 2001).

Daya Mengikat Air (DMA) Daging

Daya ikat air oleh protein daging atau water-holding capacity atau water binding capacity (WHC dan WBC) adalah kemampuan daging untuk mengikat airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnya pemotongan daging, pemanasan, penggilingan dan tekanan (Soeparno, 1998). Kapasitas mengikat air sangat mempengaruhi penampilan daging sebelum dimasak, sifat-sifatnya selama dimasak, dan juiciness-nya pada saat dikunyah (Lawrie, 2003).

(20)

Daya mengikat air (DMA) dipengaruhi oleh pH. Selain itu daya mengikat air juga dipengaruhi oleh faktor yang mengakibatkan perbedaan daya mengikat air diantara otot, misalnya spesies, umur dan fungsi otot serta pakan, transportasi dan temperatur kelembaban, penyimpanan dan preservasi, jenis kelamin, kesehatan, perlakuan sebelum pemotongan, dan lemak intramuscular (Soeparno, 1998).

Air yang terikat didalam otot dapat dibagi menjadi tiga kompartemen air, yaitu air yang terikat secara kimiawi oleh protein otot sebesar 4-5% sebagai lapisan monomolekuler pertama; air terikat agak lemah sebagai kedua dari molekul air terhadap group hidrofilik sebesar 4%, dan lapisan kedua ini akan terikat oleh protein bila tekanan uap air meningkat. Lapisan ketiga adalah molekul-molekul air bebas diantara molekul protein berjumlah kira-kira 10%. Jumlah air terikat (lapisan pertama dan kedua) adalah bebas dari perubahan molekul yang disebabkan oleh denaturasi ptrotein daging, sedangkan lapisan ketiga akan menurun apabila protein daging mengalami denaturasi (Soeparno, 1998).

Periode pembentukan asam laktat yang menyebakan penurunan pH otot post mortem, menurunkan DMA daging dan banyak air yang berasosiasi dengan protein otot akan bebas meninggalkan serabut otot. Pada titik isoelektrik (5,0-5,1) protein myofibril, filamen myosin dan filamen aktin akan saling mendekat, sehingga ruang diantara filament-filamen ini menjadi lebih kecil. Pemecahan dan habisnya ATP (Adiphosa Triphospat) serta pembentukan ikatan diantara filamen pada saat rigor mortis menyebabkan penurunan DMA. Dua pertiga dari penurunan DMA otot adalah karena pembentukan aktomiosin dan menjadi habisnya ATP pada saat rigor, dan sepertiga lainnya disebabkan oleh penurunan pH (Soeparno, 1998).

Keempukan Daging

Tekstur dan keempukan mempunyai tingkatan utama menurut konsumen dan ternyata dicari walaupun mengorbankan flavor dan warna (Lawrie, 2003). Keempukan daging banyak ditentukan setidak-tidaknya oleh tiga komponen daging, yaitu struktur miofibrilar dan status kontraksinya, kandungan jaringan ikat dan jaringan silangnya, dan daya ikat air oleh protein daging serta juiciness daging (Soeparno, 1998).

Kesan secara keseluruhan keempukan daging meliputi tekstur dan melibatkan tiga aspek, pertama mudah atau tidaknya gigi berpenetrasi awal ke dalam daging.

(21)

Kedua, mudah atau tidaknya daging tersebut dipecah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Ketiga, jumlah residu tertinggal setelah dikunyah (Lawrie, 2003).

Jaringan ikat dalam otot mempengaruhi tekstur daging. Otot yang lebih banyak bergerak (aktif) selama ternak masih hidup misalnya otot paha, teksturnya terlihat lebih kasar, sedangkan otot yang kurang banyak bergerak teksturnya terlihat halus (Natasasmita et al., 1994).

Umur dalam kondisi tertentu tidak mempengaruhi keempukan daging yang dihasilkan. Ternak yang lebih tua namun mendapatkan ransum dengan nutrisi yang baik dan penanganan yang baik, dapat menghasilkan daging yang lebih empuk dibandingkan dengan daging yang dihasilkan dari ternak yang lebih muda namun mendapatkan nutrisi dan penanganan yang jelek. Dengan nutrisi dan penanganan yang baik, maka otot dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, sehingga jumlah kolagen per satuan luas otot akan lebih kecil dibandingkan dengan otot dari ternak yang mendapat nutrisi yang kurang baik, dengan demikian daging yang dihasilkan akan lebih empuk (Bouton et al., 1978).

Susut Masak Daging

Susut masak daging yaitu perbedaan antara bobot daging sebelum dan sesudah dimasak dan dinyatakan dalam persentase. Susut masak merupakan fungsi dari temperatur dan lama dari pemasakannya. Susut masak dapat dipengaruhi oleh pH, panjang sarkomer serabut otot, panjang potongan serabut otot, status kontraksi myofibril, ukuran dan berat sampel daging serta penampang melintang daging (Soeparno, 1998).

Menurut Soeparno (1998), faktor-faktor yang mempengaruhi susut masak ada bermacam-macam seperti susut masak bisa meningkat dengan panjang serabut otot yang lebih pendek, pemasakan yang relatif lama akan menurunkan pengaruh panjang serabut otot terhadap susut masak. Susut masak menurun secara linier dengan bertambahnya umur ternak. Perbedaan bangsa ternak juga dapat menyebabkan perbedaan susut masak. Pada umur yang sama, jenis kelamin mempunyai pengaruh yang kecil terhadap susut masak, berat potong mempengaruhi susut masak terutama bila terdapat perbedaan deposisi lemak intramuskuler. Konsumsi pakan dapat juga mempengaruhi besarnya susut masak.

(22)

Nilai pH Daging

Otot yang mengalami penurunan pH yang sangat cepat akan menjadi pucat dan permukaannya tampak sangat basah. Di sisi lain, otot yang mempunyai pH tinggi selama proses konversi otot menjadi daging dapat menjadi sangat gelap warnanya, dan sangat kering di permukaan potongan yang tampak (Aberle et al., 2001).

Penurunan pH otot postmortem banyak ditentukan oleh laju glikolisis post mortem serta cadangan glikogen otot dan pH daging ultimat, normalnya adalah 5,4-5,8. Stress sebelum pemotongan, pemberian suntikan hormon atau obat-obatan tertentu, spesies, individu ternak, macam otot, stimulasi listrik dan aktivitas enzim yang mempengaruhi glikolisis adalah faktor-faktor yang dapat menghasilkan variasi daging. Suatu kenaikan pH daging akan meningkatkan juiciness dan daya mengikat air serta menurunkan susut masak otot semi membranosus dan longissimus dorsi domba secara linier (Soeparno, 1998).

Bila ternak yang akan di potong mengalami cukup masa istirahat, maka cadangan glikogen dalam otot akan cukup tinggi (Lawrie, 1995). Dikemukakan juga bahwa glikogen yang tinggi dalam otot, akan diubah melalui proses glikolisis menjadi asam laktat. Bila asam laktat yang terbentuk cukup banyak, maka pH daging akan rendah dan mikroorganisme tidak akan tumbuh dan daging akan lebih awet.

Sifat Kimia Daging

Komposisi kimia daging bervariasi di antara spesies, bangsa, dan individu ternak. Komposisi kimia daging dipengaruhi oleh faktor genetika dan lingkungan termasuk di dalamnya faktor nutrisi. Pada Tabel 1 dapat dilihat komposisi kimia daging dari ternak sapi, ayam, domba, dan babi.

Tabel 1. Komposisi Kimia Daging dari berbagai Spesies Ternak

Spesies Air (%) Protein (%) Lemak (%) Abu (%)

Sapi 70 – 75 20 – 22 4 – 8 1

Ayam 73.7 20 – 23 4.7 1

Domba 73 20 5 – 6 1.6

Babi 68 – 70 19 - 20 9 - 11 1.4

(23)

Kadar Air

Air merupakan bahan yang penting untuk kehidupan manusia. Selain itu, air

juga merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat mempengaruhi penampilan, tekstur, dan citarasa dari makanan yang kita makan. Kadar air dalam makanan juga ikut menentukan daya terima konsumen, kesegaran, dan daya tahan dari suatu bahan pangan (Winarno, 1997). Kandungan air dalam bahan pangan akan mempengaruhi daya tahan terhadap serangan mikroba yang dinyatakan dengan water activity (Winarno, 1995).

Kadar air berbanding terbalik dengan kadar lemak. Semakin tinggi kadar lemak, maka kadar airnya semakin rendah. Apabila kadar lemak rendah, maka kadar airnya akan tinggi (Gaman dan Sherrington, 1981). Kadar air dalam pangan akan berubah-ubah sesuai dengan lingkungannya dan sangat erat kaitannya dengan daya awet bahan pangan tersebut (Lawrie, 2003).

Fennema (1985) menyatakan bahwa kadar air dalam daging domba adalah sebesar 73%. Sedangkan menurut Frandson (1992), kadar air dalam daging domba adalah 59,8%. Pada pustaka lain, Ramada (2009) menyatakan bahwa kandungan air dalam daging domba adalah 66,3%, sedangkan USDA (2007) menyatakan kandungan air dalam daging domba adalah 75,84%.

Protein

Protein merupakan suatu zat makanan yang sangat penting bagi tubuh karena

disamping berfungsi sebagai bahan bakar, protein juga berfungsi sebagai pembangun dan pengikat (Winarno, 1997). Protein adalah sumber asam amino yang mengandung C, H, O, dan N. Selain itu juga mengandung fosfor dan belerang seperti besi dan tembaga.

Protein merupakan bahan pembentuk jaringan dan juga mempertahankan jaringan tubuh yang telah ada. Protein juga dapat digunakan sebagai penghasil energi apabila kebutuhan energi tubuh belum terpenuhi oleh karohidrat dan lemak. Kekurangan protein dalam jangka panjang dapat mengganggu berbagai proses dalam tubuh dan menurunkan daya tahan tubuh yang menyebabkan penyakit (Nasoetion, 1995).

Fennema (1985) menyatakan bahwa kadar protein dalam daging domba adalah sebesar 20%. Sedangkan menurut Frandson (1992), kadar protein dalam daging

(24)

domba adalah 16,7%. Pada pustaka lain, Ramada (2009) menyatakan bahwa kandungan protein dalam daging domba adalah 17,1%, sedangkan USDA (2007) menyatakan kandungan protein dalam daging domba adalah 20,60%.

Lemak

Lemak merupakan zat gizi yang penting untuk menjaga kesehatan tubuh

manusia. Lemak merupakan sumber energi yang efisien karena menghasilkan kalori lebih tinggi dibanding protein dan karbohidrat. Selain itu, lemak juga berfungsi untuk memberi rasa gurih, pelarut vitamin A, D, E, dan K serta memperbaiki tekstur dan citarasa bahan pangan.

Lemak merupakan senyawa yang terbentuk dari asam lemak dan gliserol yang tersusun oleh unsure C, H, dan O (Nasoetion, 1995). Lemak dalam tubuh berfungsi sebagai sumber energi bagi sel, sedangkan lemak di dalam baha pangan merupakan unsure pokok yang mampu meningkatkan keempukan pangan, memperbaiki tekstur, dan citarasa dalam pangan (Aberle et al., 2001).

Fennema (1985) menyatakan bahwa kadar lemak dalam daging domba adalah sebesar 5 – 6 %. Sedangkan menurut Frandson (1992), kadar lemak dalam daging domba adalah 22,4%. Pada pustaka lain, Ramada (2009) menyatakan bahwa kandungan lemak dalam daging domba adalah 14,8%, sedangkan USDA (2007) menyatakan kandungan lemak dalam daging domba adalah 2,31%.

Abu

Kadar abu dalam daging pada umumnya terdiri atas kalsium, fosfor, sulfur,

sodium, klorin, magnesium, dan besi (Price dan Schweigert, 1971). Kadar abu dalam daging umumnya bervariasi yang dipengaruhi oleh kandungan protein dan lemak (Aberle et al., 2001). Menurut Gaman dan Sherrington (1981), kadar abu dalam daging domba adalah 0,7%. Daging olahan mengandung lebih banyak mineral yang disebabkan karena penambahan bumbu-bumbu, garam, dan pengaruh dari metode pemasakan (Soeparno, 2005). Tingginya kadar abu dapat disebabkan oleh adanya pemberian rempah-rempah, garam, bahan pencampur, dan kesalahan pada saat pengolahan (Sudarmadji et al., 1989).

Karbohidrat

Karbohidrat merupakan sumber energi utama bagi hampir seluruh penduduk dunia. Karbohidrat terdiri dari unsur-unsur C, H, dan O yang pada umumnya

(25)

mempunyai rumus kimia Cn(H2O)n. Kurang lebih 80% energi yang diperoleh tubuh

manusia berasal dari karbohidrat (Nasoetion et al., 1995).

Karbohidrat pada daging umumnya terdapat dalam bentuk glikogen dengan jumlah yang sangat kecil dan biasanya terdiri dari kompleks polisakarida serta banyak diantaranya yang berkaitan dengan protein (Price dan Schweigert, 1971).

Keragaman Gen Calpastatin

Jumlah kromosom sel diploid pada ternak domba adalah 54 (Noor, 2008). Gen calpastatin terletak pada kromosom domba nomor 5 (Hediger et al., 1991), sedangkan pada ternak sapi (Bos taurus) terletak pada kromosom nomor 7 (Kappes et al., 1997). Gen calpastatin adalah gen yang berfungsi sebagai penghambat (inhibitor) dalam sistem calpain. Gen calpastatin berfungsi untuk menghambat degradasi protein sel-sel otot. Peningkatan aktifitas dari gen calpastatin menyebabkan pertambahan massa otot (hypertrophy) dan penurunan keempukan daging (Raynaud et al., 2005).

Gen calpastatin dengan simbol CAST terletak diantara dua penciri apit mikrosatelit MCM527 dan BMS1247 pada posisi lokus 5q15 – q21 antara 96,057-96,136 Mb. Hasil analisis Quantitative Traits Loci (QTL) menunjukkan bahwa gen calpastatin berasosiasi kuat dengan sifat pertumbuhan pada domba silang balik antara DET dengan domba Merino (Margawati, 2005).

Palmer et al. (1998) melaporkan bahwa terdapat keragaman gen calpastatin domba Dorset pada bagian ekson 1C, intron 1 dan ekson 1D (no.akses GenBank AF016006 dan AF016007). Hasil pemotongan produk PCR dengan enzim restriksi MspI dan NcoI menghasilkan dua alel, yaitu alel M dan N. Enzim restriksi MspI menghasilkan produk 336 dan 286 bp sedangkan NcoI menghasilkan potonganproduk 374 dan 248 bp. Beberapa penelitian serupa juga telah dilakukan pada ternak sapi. Lonergan et al. (1995) menemukan keragaman DNA gen bovine calpastatin pada lokus BamHI dan EcoRI. Chung et al. (1999) menemukan keragaman gen calpastatin dengan metode PCR-SSCP. Primer yang didesain dari domain I cDNA bovine calpastatin (nomor akses GenBank : L14450), berhasil mengamplifikasi lokus CAST1 sepanjang 500 pb dan menghasilkan dua alel, yaitu alel A dan B. Keragaman gen calpastatin tersebut terkait erat dengan sifat

(26)

pertumbuhan sapi Angus jantan. Sapi Angus dengan genotipe BB mempunyai bobot badan lebih tinggi dari pada sapi dengan genotipe AB dan AA.

Hubungan Antara Sistem Calpain-Calpastatin dengan Sifat Pertumbuhan

Pertumbuhan adalah peningkatan ukuran tubuh dan perubahan komposisi tubuh seiring dengan semakin bertambahnya umur anak domba. Sifat pertumbuhan pada anak domba dipengaruhi oleh banyak faktor. Beberapa diantaranya adalah tingkat pemberian pakan, genotip, jenis kelamin, kesehatan dan manajemen pemeliharaan (Gatenby, 1991). Pada tingkat sel pertumbuhan hewan ternak dapat didefinisikan sebagai hyperplasia yaitu pertambahan jumlah sel melalui proses mitosis, dan hypertropi yaitu bertambahnya ukuran atau volume sel-sel otot (Hossner, 2005). Menurut Chung et al. (1999), kejadian hypertropi ini erat kaitannya dengan sistem calpain-calpastatin yang terdapat dalam jaringan tubuh.

Calpain merupakan sebuah enzim proteolytic terkait dengan ion kalsium (Ca2+), yang ada dalam dua bentuk, yaitu μ-calpain dan m-calpain. μ-calpain merupakan calpain yang memerlukan ion Ca2+ dalam konsentrasi rendah, sedangkan m-calpain merupakan calpain yang memerlukan ion Ca2+ dalam konsentrasi tinggi. Calpain berfungsi untuk mendegradasi protein sel-sel otot (myofibril) di dalam jaringan otot (Goll et al., 1992). Selanjutnya dinyatakan oleh Killefer dan Koohmaraie (1993) bahwa aktivitas calpain dalam jaringan otot postmortem dapat menyebabkan struktur protein sel otot menjadi lemah. Hal ini berakibat pada kualitas daging yang menjadi lebih empuk. Selain μ-calpain dan m-calpain, dalam sistem calpain juga terdapat calpastatin. Calpastatin ini merupakan inhibitor spesifik terhadap fungsi μ-calpain dan m-calpain. Morgan et al. (1993) melaporkan bahwa ketika aktivitas degradasi protein pada jaringan otot hewan hidup menurun, maka aktivitas calpastatin meningkat.

Aktivitas calpastatin yang tinggi dapat ditemukan pada domba yang mempunyai fenotipe callipyge. Kejadian hipertropi ini disebabkan oleh kandungan DNA otot yang tinggi, sehingga dapat meningkatkan kapasitas sintesis protein otot. Kejadian hipertropi terjadi setelah hewan dilahirkan, sehingga tidak menyebabkan kesulitan beranak (dystocia). Selain itu hipertropi pada domba callipyge juga disebabkan oleh menurunnya degradasi protein otot sebagai akibat dari meningkatnya aktivitas calpastatin (Koohmaraie et al., 1995).

(27)

METODE Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapangan IPT Ruminansia Kecil, Laboratorium IPT Ruminansia Besar, dan Laboratorium Ilmu dan Nutrisi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret sampai Oktober 2010.

Materi Ternak

Ternak yang digunakan adalah domba lokal jantan umur satu setengah tahun. Ternak sebanyak sembilan ekor dengan berat badan pada awal pemeliharaan sebesar 20,08 ± 2,30 kg dan pada akhir pemeliharaan sebesar 21,41 ± 2,35 kg. Domba berasal dari Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan Jonggol (UP3J). Proses pemeliharaan dilakukan selama tujuh bulan.

Data Genotipe

Data genotipe gen calpastatin MM dan MN yang digunakan merupakan data yang sudah diperoleh pada penelitian sebelumnya dengan menggunakan ternak yang sama dari Laboratorium Genetik Bagian Pemuliaan dan Genetika Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pakan

Pakan yang diberikan selama pemeliharaan yaitu rumput Brachiaria humidicola, kulit ubi jalar, dan konsentrat.

Obat-obatan

Untuk mencegah dan mengobati penyakit pada ternak selama pemeliharaan diberikan obat cacing Apridazol dan juga vitamin B kompleks.

Kandang dan Peralatan

Kandang yang digunakan pada penelitian ini adalah kandang individu dengan ukuran 125 x 50 x 150 cm dan setiap kandang terdiri dari dua ekor domba. Kandang dilengkapi dengan tempat pakan untuk rumput dan tempat air minum dari ember

(28)

plastik. Peralatan yang digunakan selama penelitian antara lain timbangan pegas dengan kapasitas 50 kg untuk menimbang bobot badan domba, karung bekas sebagai penopang domba pada saat ditimbang, timbangan digital, pisau, chiller, gergaji mesin pemotong karkas, bandsaw, dan scalpel.

Prosedur Pemeliharaan

Pemeliharaan dilakukan selama tujuh bulan pada bulan Maret sampai September 2010 di Laboratorium Lapangan IPT Ruminansia Kecil. Pakan yang diberikan yaitu rumput Brachiaria humidicola sebanyak 2 kg/ekor/hari pada pagi dan sore hari, serta kulit ubi jalar sebanyak 150 gram/ekor/hari yang diberikan pada siang hari selama empat bulan pertama. Pada tiga bulan terakhir, pakan yang diberikan adalah rumput Brachiaria humidicola sebanyak 2 kg/ekor/hari pada pagi dan sore hari, serta konsentrat sebanyak 150 gram/ekor/hari yang diberikan pada siang hari. Pakan yang diberikan sekitar 10% dari bobot badan domba. Rumput Brachiaria humidicola ditempatkan dalam tempat pakan yang telah tersedia pada kandang, sedangkan kulit ubi jalar dan konsentrat diberikan dalam wadah kecil agar tidak tercecer yang sebelumnya telah ditimbang menggunakan timbangan. Air minum diberikan ad libitum di dalam ember plastik. Selain itu, diberikan juga obat cacing Apridazol dan juga vitamin B kompleks. Obat cacing yang berbentuk cair diberikan melalui mulut domba dengan menggunakan suntikan, sedangkan vitamin B kompleks diberikan dengan cara dicampur kedalam air minum.

Pada minggu kedua periode pemeliharaan dilakukan pencukuran bulu dan pemandian domba. Selain memberantas kutu domba, pencukuran bulu mampu mengurangi stress panas dan memperbaiki penampilan domba agar tidak terkesan kumal. Sedangkan tujuan domba dimandikan adalah agar domba tampak bersih dan bulu-bulunya tidak digunakan sebagai sarang kuman dan penyakit. Memandikan domba sebaiknya menggunakan air bersih agar kotoran domba terangkat saat bulu-bulunya disikat. Pada minggu keempat di bulan ke enam periode pemeliharaan dilakukan pencukuran bulu dan pemandian domba untuk kedua kalinya.

Pemotongan Ternak

Domba yang dipotong sebelumnya telah ditimbang terlebih dahulu untuk mengetahui bobot potongnya. Sebelum ternak dipotong terlebih dahulu dipuasakan

(29)

selama 18 jam, namun air minum tersedia ad libitum. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi isi saluran pencernaan dan untuk menghindari pencemaran pada karkas oleh isi saluran pencernaan serta untuk mendapatkan bobot tubuh kosong. Pemotongan dilakukan dengan memotong bagian leher dekat tulang rahang bawah sehingga semua pembuluh darah, oesophagus dan trakea terpotong untuk mendapatkan pengeluaran darah yang sempurna. Darah ditampung dan ditimbang sebagai darah tertampung. Ujung oesophagus diikat untuk mencegah cairan rumen mengalir keluar dan mencemari karkas.

Kepala dilepaskan dari tubuh pada sendi occipito atlantis, kemudian ditimbang sebagai bobot kepala. Kaki depan dan kaki belakang dilepaskan pada sendi carpo metacarpal dan sendi tarso metatarsal. Keempat kaki tersebut ditimbang sebagai bobot kaki. Untuk melepaskan kulit, hewan digantung pada kaki belakang di tendon Achilles. Kulit disayat dari anus sampai di bagian leher, kemudian dari arah kaki belakang dan kaki depan menuju sayatan tersebut. Kulit setelah dilepaskan, kemudian digantung sebagai bobot kulit. Untuk mengeluarkan organ tubuh dari rongga perut dan rongga dada, dilakukan penyayatan pada dinding abdomen sampai dada. Sebelumnya, rektum dibebaskan dan diikat untuk mencegah feses keluar, mengotori karkas dan mengurangi penyusutan.

Semua organ tubuh, terdiri atas hati dan empedu, limpa, ginjal, jantung, paru-paru dan trakea, dikeluarkan dan dibebaskan dari lemak dan ditimbang dan dicatat bobotnya. Alat pencernaan dengan isinya dibersihkan dari lemak perut dan oesophagus dengan isi dan usus dengan isi, ditimbang bobotnya. Setelah dibersihkan dan dikeringkan, maka bobot perut dan oesophagus kosong serta bobot usus kosong dapat diperoleh. Bobot isi saluran pencernaan diperoleh dari bobot perut dan oesophagus dengan isi serta bobot usus dengan isi dikurangi dengan bobot perut dan oesophagus kosong serta bobot usus kosong. Kemudian, perut dan oesophagus kosong diurai menjadi oesophagus, rumen, retikulum, omasum dan abomasum lalu ditimbang bobotnya. Karkas segar ditimbang bobotnya sebagai bobot karkas segar, kemudian dibungkus dalam kantong plastik yang diikat erat dan diberi label agar tidak tertukar, lalu disimpan dalam chiller pada suhu 4°C untuk diuraikan keesokan harinya.

(30)

Penguraian Karkas

Karkas yang telah disimpan dalam chiller, dikeluarkan dan ditimbang bobotnya, kemudian dicatat sebagai bobot karkas dingin. Karkas dibelah sepanjang tulang belakang dari leher (Ossa vertebrae cervicalis) sampai sakral (Ossa vertebrae sacralis). Masing-masing separuh karkas ditimbang sebagai bobot karkas sebelah kiri dan kanan.

Karkas yang akan diurai adalah karkas sebelah kanan dan dipotong menjadi delapan potongan sesuai dengan potongan komersial domba, yaitu neck, shoulder, rack, loin, leg, shank, breast, dan flank. Bobot masing-masing potongan ditimbang bobotnya. Masing-masing dari potongan komersial tersebut kemudian diurai menjadi daging, tulang, lemak subkutan, dan lemak intermuskular, kemudian ditimbang bobotnya. Setelah itu diambil otot bagian biceps femoris pada bagian leg untuk dilakukan pengujian sifat fisik dan kimia daging.

Peubah yang Diamati

Peubah yang diamati dalam penelitian ada 9 peubah, yaitu 4 peubah dari sifat fisik dan 5 peubah dari sifat kimia. Sampel daging yang digunakan dalam penelitian adalah otot Biceps femoris, salah satu otot yang berada di potongan komersial leg (paha).

1. Sifat Fisik

a. Daya Mengikat Air (DMA)

Daya Mengikat Air (DMA) dianalisis berdasarkan persentase air yang keluar (mgH2O), yaitu dengan cara mengambil sampel sebanyak 0,3 gram, kemudian

sampel di bebani atau dipress dengan carper press elama 5 menit dengan tekanan sebesar 35 kg/cm2. Area pada kertas saring yang tertutup sampel daging yang telah pipih dan area basah disekelilingnya ditandai. Luas area basah dapat diperoleh dengan mengurangkan area yang tertutup daging dari total area yang terbentuk pada kertas saring. Luas area basah yang dalam inchi dikonfersikan ke dalam centimeter (1 inchi = 2,54 cm). Kandungan air yang keluar dari daging setelah penekanan dapat dihitung dengan rumus :

0,0948 8,0 ) 2 (cm Basah Area Luas O 2 mgH

(31)

Persentase air yang yang keluar dari sampel daging dapat digunakan sebagai pendekatan kemampuan daging dalam mengikat air (DMA). Persentase air yang terlepas dapat dihitung dengan rumus :

100 mg 300 terlepas yang air Berat x keluar yang air Persentase

Semakin tinggi nilai mgH2O yang keluar dari daging, maka daya mengikat

airnya semakin rendah.

Gambar 2. (a). Carper Press, (b). Plat Besi, (c). Alat Beban, (d). Alat Pompa Tekanan, (e). Kertas Saring yang telah di press

a b c

d

(32)

b. Keempukan Daging

Keempukan daging diperoleh dengan cara merebus daging dalam panci dan daging ditusuk dengan termometer agar terlihat suhu dalam daging. Daging direbus sampai suhu dalam daging mencapai 81°C. Setelah suhu dalam daging mencapai 81°C, daging didinginkan. Setelah daging dingin kemudian di score dengan alat score meter. Satuan dari score meter adalah kg/cm2.

a b c

Gambar 3 : a. Warner Blatzer (score meter), b. Selongsong Warner Blatzer, c. Daging yang telah di Corning

c. Pengukuran pH Daging

Daging diukur dengan menggunakan pH-meter. Sebelum digunakan untuk mengukur pH daging, pH-meter dikalibrasi dengan larutan buffer dengan nilai pH 4 dan 7. Setelah itu daging diukur dengan cara ditusuk dengan plat dari pH-meter, kemudian nilai pH daging akan tertera pada layar pH-meter.

(33)

d. Susut Masak

Susut masak daging diperoleh dengan cara menimbang daging sebelum direbus dan menusukkan termometer agar suhu dalam daging dapat terlihat. Setelah itu daging direbus sampai suhu dalam daging 81°C. Setelah suhu dalam daging mencapai 81°C, daging kemudian diangkat dan didinginkan. Setelah dingin daging kemudian ditimbang. Berat daging sebelum direbus dikurangi berat daging setelah direbus adalah susut masak yang dicari.

2. Sifat Kimia (Proksimat) a. Kadar Air

Terlebih dahulu botol timbang dikeringkan kira-kira 1 jam dalam oven pada suhu 105 °C. Kemudian didinginkan dalam eksikator, lalu ditimbang sebagai (x).

Kadar air diperoleh dengan menimbang dengan teliti kira-kira 5 gram (y), dimasukkan ke dalam botol timbang. Kemudian botol timbang dan sampel yang berada di dalamnya dimasukkan dalam oven selama 4 – 6 jam pada suhu 105°C. Kemudian didinginkan dalam eksikator, lalu ditimbang. Pekerjaan ini diulangi selama 3 kali sampai beratnya konstan (z). Penentuan kadar air dapat ditentukan dengan rumus:

%

100

y

)

-y

(x

x

z

Air

Kadar

Dengan demikian kadar bahan kering bahan dapat juga diketahui dengan rumus:

Bahan Kering (BK) = (100 – Kadar Air)% b. Kadar Abu

Terlebih dahulu cawan porselin dikeringkan dalam oven dengan suhu 105 °C selama beberapa jam. Kemudian didinginkan dengan memasukkan cawan tersebut ke dalam eksikator dan ditimbang sebagai (x).

Kadar abu dapat diperoleh dengan menimbang sampel sebanyak 5 gram (y) dan dimasukkan ke dalam cawan porselen. Sampel kemudian dipijarkan di atas nyala api pembakar bunsen sampai tidak berasap lagi. Kemudian dimasukkan ke dalam tanur listrik dengan suhu 400 – 600 °C. Setelah abu menjadi buih seluruhnya, sampel

(34)

kemudian diangkat dan didinginkan dengan cara memasukkannya ke dalam eksikator. Setelah 1 jam sampel ditimbang kembali dengan berat (z). Penentuan kadar abu dapat diketahui dengan rumus:

% 100 y ) ( x x z Abu Kadar c. Kadar Protein

Kadar protein kasar dapat dihitung dengan metode Makro Kjeldahl yang secara garis besar terbagi menjadi tiga tahap, yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi. Jumlah protein didapat sebagai jumlah nitrogen dalam bahan yang tertittrasi dikalikan dengan faktor konversi protein (6,25).

Kadar protein kasar dapat diketahui dengan menimbang 0,3 gram sampel (x), kemudian dimasukkan dalam labu destruksi. Kemudian ditambahkan 3 sendok kecil katalis campuran selen serta 20 ml H2SO4 pekat secara homogen. Campuran tersebut

kemudian dipanaskan dengan alat destruksi mula-mula pada posisi ”low” selama 10 menit, kemudian pada posisi ”med” selama 5 menit, dan pada posisi ”high” sampai larutan menjadi jernih dan berwarna hijau kekuningan. Proses ini berlangsung dalam ruang asam.

Labu destruksi kemudian didinginkan dan larutan tersebut dimasukkan ke dalam labu penyuling dan diencerkan dengan 300 ml air yang tidak mengandung N. Kemudian ditambahkan beberapa butir batu didih dan larutan dijadikan basa dengan menambahkan kira-kira 100 ml NaOH 33%, kemudian labu penyuling dipasang dengan cepat di atas alat penyuling. Proses penyulingan ini diteruskan sampai semua R tertangkap oleh H2SO4 yang ada di dalam erlenmeyer atau sampai 2/3 dari cairan

dalam labu penying telah menyerap.

Labu erlenmeyer yang berisi hasil sulingan diambil dan kelebihan H2SO4

dititar kembali dengan menggunakan larutan NaOH 0,3 N. Proses titrasi berhenti setelah terjadi perubahan warna dari biru kehijauan yang menandakan titik akhir titrasi. Volume NaOH dicatat sebagai x ml. Kemudian dibandingkan dengan titar blanko y ml.

(35)

% 100 Sampel Berat 25 , 6 14 NaOH titar ) (y x z Kasar Protein d. Kadar Lemak

Penentuan kadar lemak dapat dilakukan dengan metode sochlet. pertama-tama sebuah labu lemak dengan beberapa butir batu didih di dalamnya dikeringkan dalam oven dengan suhu 105 – 110 °C selama 1 jam. Kemudian didinginkan dalam eksikator selama 1 jam dan ditimbang sebagai x gram. Sampel ditimbang kira-kira 1 gram dan dimasukkan ke dalam selongsong yang terbuat dari kertas saring dan ditutup dengan kapas yang bebas lemak. Selongsong kemudian dimasukkan dalam alat FATEX S dan ditambahkan larutan petroleum Ether sebagai larutan pengekstrak. Suhu diatur pada alat FATEX S pada suhu 60 °C dan waktu 25 menit. Proses ekstraksi dilakukan sampai alat berbunyi, kemudian larutan petroleum ether diturunkan bersama lemak yang telah larut dan dilakukan proses evaporasi dengan mengubah suhu pada 105 °C sampai alat FATEX Z berbunyi. Proses ini dilakukan sebanyak 2 kali proses ekstraksi dan evaporasi. Selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven dengan suhu 105 °C selama 1 jam. Setelah itu didinginkan di dalam eksikator selama 1 jam dan ditimbang sebagai berat b gram.

Penentuan kadar lemak kasar adalah:

% 100 x ) (b x a Kasar Lemak e. Kadar Karbohidrat

Penentuan karbohidrat dilakukan secara by different dihitung sebagai selisih 100 dikurangi kadar air, abu, protein, dan lemak.

Rancangan Percobaan dan Analisis Data

Perlakuan pada penelitian yang dilakukan adalah perbedaan genotipe gen calpastatin. Perlakuan terdiri atas dua macam genotipe yaitu MM dan MN dengan ulangan sebanyak lima dan empat kali. Data hasil penelitian diuji dengan menggunakan uji Tukey. Gasper (1994) menyatakan model uji Tukey adalah sebagai berikut :

(36)

Keterangan :

t = nilai uji Tukey Xi = rataan taraf ke-i

Xj = rataan taraf ke-j

ni = jumlah sampel taraf ke-i

nj = jumlah sampel taraf ke-j

Si = ragam taraf ke-i

(37)

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian

Tempat yang digunakan untuk penelitian berada di Laboratorium Lapangan IPT Ruminansia Kecil, Laboratorium IPT Ruminansia Besar, dan Laboratorium Ilmu dan Nutrisi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor yang berlokasi di kecamatan Darmaga. Penelitian dilakukan di kandang penggemukan yang terdiri atas tiga blok dengan kapasitas tampung 15 ekor per blok untuk ternak besar. Kandang individu yang digunakan untuk penelitian terletak di bagian pinggir kanan kandang dari pintu utama kandang. Tipe kandang yang digunakan merupakan tipe dinding tertutup dan tipe atap gravitasi (gable type). Satu kandang individu diisi dengan dua ekor ternak karena ukuran ternak tidak terlalu besar dan untuk memudahkan dalam pemberian pakan.

(a) (b) Gambar 5 : (a) Kandang Domba Penelitian, (b) Domba Penelitian

Ternak yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari Unit Penelitian, Pendidikan, dan Pengembangan Jonggol (UP3J) dengan jenis domba ekor tipis sebanyak sembilan ekor. Pakan yang diberikan selama empat bulan pertama periode pemeliharaan adalah rumput Brachiaria humidicola dan kulit ubi jalar. Namun pertambahan bobot badan (PBB) domba hanya sedikit sekali, jadi pada 3 bulan terkahir masa pemeliharaan dilakukan pergantian pakan dari kulit ubi jalar ke konsentrat. Hal ini dimaksudkan agar pertambahan bobot badan (PBB) domba dapat maksimal karena kandungan protein dari konsentrat lebih tinggi daripada kulit ubi

(38)

jalar. Namun hasil pengukuran pertambahan bobot badan (PBB) yang dihasilkan selama tujuh bulan pemeliharaan hanya sebesar 1,33±0,05 kg (bobot awal domba adalah 20.08±2.30 kg dan bobot akhir 21.41±2.35 kg) (Satriawan, 2011). Hal ini kemungkinan disebabkan karena pakan yang diberikan hanya dapat mencukupi kebutuhan hidup pokoknya saja, sehingga cadangan energi yang seharusnya tersimpan dalam daging dan lemak menjadi tidak optimal. Faktor lain juga bisa menjadi penyebab tidak optimalnya pertambahan bobot badan (PBB) domba, yaitu tidak diberikannya pakan yang cukup oleh petugas kandang yang diberi tugas untuk member pakan ke domba penelitian. Pada Tabel 2 dapat dilihat kandungan nutrisi dari rumput Brachiaria humidicola, kulit ubi jalar, dan konsentrat.

Tabel 2. Kandungan Nutrisi Rumput Brachiaria Humidicola, Umbi Ubi Jalar dan Konsentrat

Pakan BK PK SK LK abu BETN TDN

B. humidicola1) 100 8,94 27,28 2,34 7,65 53,79 43,88

Kulit ubi jalar2) 100 1,65 24,28 0,4 - - -

Konsentrat3) 100 16 - 17 14 - 15 6 - 7 - - 60 - 65

Keterangan: 1)

Alwi, 2009 (dalam persen BK)

2) Kotecha dan Kadam, 1998 (dalam persen BK)

3)

Tillman et al., 1991 (dalam persen BK)

PK = Protein Kasar TDN = Total Digestible Nutrient

SK = Serat Kasar Ca = Calcium

LK = Lemak Kasar BETN = Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen

Gangguan kesehatan yang terjadi selama penelitian adalah penyakit cacingan. Berdasarkan pengamatan selama penelitian, penyakit cacingan ditandai dengan nafsu makan yang normal tetapi tidak diikuti dengan pertambahan bobot badan. Hal ini dimungkinkan penyebabnya adalah pemberian rumput yang masih basah dan diduga terdapat larva cacing yang ikut masuk ke dalam saluran pencernaan. Pengobatan dilakukan dengan pemberian obat cacing merk Apridazol yang berbentuk cair. Pemberian dilakukan melalui mulut domba dengan menggunakan suntikan. Selain itu, ternak juga diberikan vitamin B kompleks yang diberikan dengan cara dicampurkan ke dalam air minum.

Sifat Fisik Daging

Faktor yang ikut menentukan kelezatan dan daya terima daging yang dikonsumsi antara lain adalah pH daging, daya ikat air oleh protein daging (DMA),

(39)

keempukan, bau, dan kadar jus atau cairan daging. Dalam penelitian yang telah dilakukan, sifat fisik yang diteliti adalah daya mengikat air (DMA), keempukan, pH, dan susut masak. Hasil rataan sifat fisik domba penelitian yang telah diolah dengan uji Tukey dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Rataan Hasil Sifat Fisik Domba Penelitian

Peubah Genotipe Rata-rata

MM MN

pH 5,444 ± 0,153 5,471 ± 0,145 5,4575 ± 0,149 DMA (%) 40 ± 5,28 37 ± 2,23 38,5 ± 3,755 Keempukan (kg/cm2) 2,642 ± 0,625 3,210 ± 0,7 2,926 ± 0,6625 Susut Masak (%) 46,10 ± 3,49 45,49 ± 3,87 45,795 ± 3,68

Hasil rataan sifat fisik domba penelitian yang diperoleh dengan uji Tukey adalah tidak berbeda pada pH, DMA, keempukan, dan susut masak. Hal ini menunjukkan bahwa genotipe MM dan MN tidak menunjukkan penampakan yang berbeda. Genotipe MM adalah gen calpastatin yang bisa terpotong sempurna oleh enzim Msp1 menjadi dua fragmen dengan ukuran 336 dan 286 panjang basa (pb). Genotipe MN adalah gen calpastatin yang ditunjukkan dengan tiga fragmen yaitu 622, 336, dan 286 panjang basa (pb), sedangkan genotipe NN ditunjukkan dengan satu pita fragmen berukuran 622 panjang basa (pb) (Sumantri et al., 2008). Gen calpastatin domba lokal bersifat polimorfik pada semua populasi domba lokal, kecuali domba Rote. Tipe genotipe calpastatin pada domba Rote semuanya adalah NN atau monomorfik.

Rataan hasil uji fisik domba penelitian pada daya mengikat air tidak berbeda dengan hasil penelitian dari Sarjito (2010) 37,52±1,33(%), yaitu 38,5 ± 3,755%. Daging dengan DMA lebih tinggi mempunyai kualitas relatif lebih baik dibandingkan dengan DMA yang rendah. Tingginya DMA pada daging menyebabkan keempukan daging meningkat dan menurunkan susut masak daging, sehingga kehilangan nutrisi lebih rendah (Arnim, 1996). Daya Mengikat air sangat dipengaruhi oleh pH daging. Menurut Soeparno (2005), apabila nilai pH lebih tinggi atau lebih rendah dari titik isoelektrik daging (5,0 - 5,1) maka nilai DMA daging akan tinggi.

(40)

Menuurt Soeparno (2005), pH ultimat adalah pH yang tercapai setelah glikogen menjadi habis atau setelah enzim-enzim glikolitik menjadi tidak aktif pada pH rendah atau setelah glikogen tidak lagi sensitif terhadap serangan-serangan enzim glikolitik. Perubahan pH daging akan mempengaruhi daya mengikat air (DMA), kesan jus, keempukan, warna, dan susut masak daging. Forrest et al., 2001 menyatakan laju penurunan pH daging secara umum dapat dibagi menjadi tiga, yaitu: (1) Nilai pH menurun secara bertahap dari 7,0 sampai berkisar 5,6 – 5,7 dalam waktu 6 – 8 jam setelah pemotongan dan mencapai pH akhir (umumnya setelah 24 jam pemotongan) sekitar 5,3 – 5,7. Pola pH ini adalah normal. (2) Nilai pH menuurun sedikit sekali pada jam-jam pertama setelah pemotongan dan tetap (relatif tinggi), serta mencapai pH akhir sekitar 6,5 – 6,8. Sifat daging yang dihasilkan gelap (dark), keras (firm), dan kering (dry), sehingga disebut daging DFD. (3) Nilai pH menurun relatif cepat sampai berkisar 5,4 – 5,5 pada jam-jam pertama setelah pemotongan dan mencapai pH akhir sekitar 5,4 – 5,6. Sifat daging yang dihasilkan pucat (pale), lembek (soft), dan berair (exudative), sehingga disebut daging PSE. Rataan hasil uji fisik pada pH terdapat perbedaan, yaitu hasil dari Sarjito (2010) adalah 5,99±0,11 dan hasil penelitian 5,4575±0,149. Nilai pH yang diperoleh pada hasil penelitian masuk ke dalam pH normal. Sedangkan hasil dari Sarjito (2010) sedikit di atas normal.

Rataan hasil uji fisik pada keempukan berbeda dengan hasil dari penelitian Sarjito (2010), yaitu 5,44±0,28. Aberle et al., (1981) menyatakan bahwa pengaturan ransum sebelum ternak dipotong mempengaruhi secara langsung variasi sifat urat daging setelah pemotongan. Ternak-ternak yang digemukkan dalam kandang akan menghasilkan daging yang lebih empuk dibandingkan ternak yang digembalakan. Hasil penelitian Duldjaman (1989) menunjukkan bahwa domba lokal yang diberi pakan tambahan ampas tahu menghasilkan daging yang lebih empuk daripada domba yang diberi rumput. Nilai shear force otot Longisimus Dorsi domba yang diberi pakan tambahan ampas tahu adalah 2,48 sedangkan domba yang diberi pakan rumput adalah 3,83.

Kriteria keempukan menurut Suryati et al., (2008) berdasarkan panelis yang terlatih menyebutkan bahwa daging sangat empuk memiliki daya putus WB (Warner Blatzler) < 3,30 kg/cm2, daging empuk 3,30 - 5 kg/cm2, daging agak empuk 5 - 6,71

(41)

kg/cm2, daging agak a lot 6,71 - 8,42 kg/cm2, daging alot 8,42 - 10,12 kg/cm2, dan daging sangat alot > 10,12 kg/cm2. Jika melihat batasan-batasannya, maka hasil penelitian menunjukkan daging domba sangat empuk dengan nilai keempukan 2,926±0,6625. Hasil dari Sarjito (2010) adalah 5,44±0,28 dan jika melihat batasan-batasannya maka daging domba penelitian Sarjito termasuk dalam daging agak empuk.

Rataan hasil uji fisik pada susut masak adalah 45,79533 ±3,68%, sedangkan hasil dari Sarjito 2010 adalah 31,8633 ±0,28%. Nilai susut masak yang tinggi mencerminkan jumlah air yang hilang dari daging selama proses perebusan. Menurut Ranken (2000), proses pemanasan dengan suhu 50 - 60°C dapat menyebabkan kehilangan air sampai 80% dan pemanasan pada suhu yang lebih tinggi akan mengakibatkan kehilangan air yang lebih tinggi juga. Widiati et al. (2002) menambahkan bahwa pengeluaran cairan daging disebabkan terjadinya pengerutan otot Selama proses pemasakan dan pemanasan. Pengerutan otot yang terjadi selama proses pemanasan inilah yang mengakibatkan nilai putus Warner Blatzler (WB) semakin tinggi, yang berarti daging semakin alot dan semakin banyak gaya yang diperlukan untuk memutus serabut daging. Berdasarkan Widiati et al. (2002), dengan susut masak yang lebih besar seharusnya nilai putus WB hasil penelitian lebih besar dibandingkan dengan hasil dari Sarjito (2010) dengan susut masak yang lebih kecil. Hal yang dapat menyebabkan terjadinya penyimpangan hasil adalah perbedaan otot yang digunakan sebagai sampel pengujian, dimana Sarjito (2010) menggunakan otot longisimus dorsi (LD) sedangkan pada penelitian menggunakan otot biceps femoris (BF).

Sifat Kimia Daging

Sifat kimia adalah sifat yang terkandung dalam daging dan untuk mengetahuinya perlu dilakukan pengujian di laboratorium. Pengujian ini berbeda-beda tergantung kandungan apa yang ingin diketahui. Dalam penelitian dilakukan pengujian untuk mengetahui kadar air, lemak, protein, abu, dan karbohidrat. Hasil rataan sifat kimia domba penelitian yang telah diolah dengan uji Tukey dapat dilihat pada Tabel 4.

(42)

Tabel 4. Rataan Hasil Sifat Kimia Domba Penelitian

Peubah Genotipe Rata-rata

MM MN Kadar Air (%) 73,33 ± 7,36 78,08 ± 0,778 75,705 ± 4,069 Protein (%) 24,09 ± 7,55 17,53 ± 1,17 20,81 ± 4,36 Lemak (%) 1,260 ± 0.943 0,80 ± 0,763 1,03 ± 0,853 Abu (%) 1,010 ± 0,142 0,905 ± 0,182 0,9575 ± 0,162 Karbohidrat (%) 0,714 ± 0,412 2,68 ± 1,45 1,697 ± 0,931

Sumber : Lab. Ilmu dan Nutrisi Ternak

Hasil rataan sifat kimia domba penelitian yang diperoleh dengan uji Tukey adalah tidak berbeda pada kadar air, protein, lemak, abu, dan karbohidrat. Air merupakan bahan penting untuk kehidupan manusia. Selain itu, air juga merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat mempengaruhi penampilan, tekstur, dan citarasa dari makanan yang kita makan. Kadar air dalam makanan juga ikut menentukan daya terima konsumen, kesegaran, dan daya tahan dari suatu bahan pangan (Winarno, 1997). Kandungan air dalam bahan pangan akan mempengaruhi daya tahan terhadap serangan mikroba yang dinyatakan dengan water activity (Winarno, 1995). Rataan hasil uji kimia pada kadar air adalah 75,705± 4,069%, sedangkan pada hasil penelitian Astuti (2006) adalah 64,38%. Hasil yang diperoleh pada penelitian tidak berbeda dengan hasil menurut Fennema (1985), yaitu 73%.

Protein merupakan bahan pembentuk jaringan dan juga mempertahankan jaringan tubuh yang telah ada. Protein juga dapat digunakan sebagai penghasil energi apabila kebutuhan energi tubuh belum terpenuhi oleh karohidrat dan lemak. Kekurangan protein dalam jangka panjang dapat mengganggu berbagai proses dalam tubuh dan menurunkan daya tahan tubuh yang menyebabkan penyakit (Nasoetion, 1995). Rataan hasil uji kimia pada kadar protein adalah 20,81±4,36%, sedangkan hasil dari Astuti (2006) adalah 21,29. Kedua hasil tersebut tidak berbeda dengan hasil menurut Fennema (1985) yang menyatakan kadar protein daging domba adalah 20%.

Lemak merupakan zat gizi yang penting untuk menjaga kesehatan tubuh manusia. Lemak merupakan sumber energi yang efisien karena menghasilkan kalori

Gambar

Gambar 1. Potongan Komersil Karkas domba (Salim, 1988)
Gambar  2.    (a).  Carper  Press,  (b).  Plat  Besi,  (c).  Alat  Beban,  (d).  Alat  Pompa  Tekanan, (e)
Gambar 3 :   a. Warner Blatzer (score meter), b. Selongsong Warner Blatzer,   c. Daging yang telah di Corning
Tabel 4. Rataan Hasil Sifat Kimia Domba Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Jenis penelitian ini akan menggunakan kuantitatif deskriptif. Metode kuantitatif deskriptif merupakan metode penelitian yang bertujuan menggambarkan secara sistematik

Pada kedua jenis adsorben tersebut terjadi penurunan kapasitas adsorpsi diatas konsentrasi optimum, hal ini disebabkan oleh lapisan luar arang aktif telah jenuh

Kebutuhan air irigasi adalah jumlah volume air yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan evaporasi, kehilangan air, kebutuhan air untuk tanaman dengan

[r]

digunakan untuk memperkenalkan produk atau cara kerja yang dibuat melalui proses merekam gambar dan suara, menata urutan dan menyambung atau memotong gambar dan menyatukannya menjadi

Berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan peneliti tentang pemahaman perawat tentang penerapanRJPdipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya yaitu umur, pendidikan,

Flowchart Enkripsi File Audio Merupakan gambaran keseluruhan diagram alir proses enkripsi yang dimulai dari memasukan file audio yang ingin di enkripsi, setelah file

Menurut perhitungan, t hitung variabel total asset turnover sebesar 0,144, lebih kecil dari t tabel 2,0181 dengan nilai signifikansi 0,886 atau lebih besar dari nilai alphanya ( 