• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunung Api

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunung Api"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

2014

Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN

Pengembangan Model Pemanfaatan

Pengembangan Model Pemanfaatan

Pengembangan Model Pemanfaatan

Pengembangan Model Pemanfaatan

Penginderaan Jauh Untuk Pemetaan

Penginderaan Jauh Untuk Pemetaan

Penginderaan Jauh Untuk Pemetaan

Penginderaan Jauh Untuk Pemetaan

Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi

Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi

Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi

Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi

Gunung

Gunung

Gunung

(2)

Pengembangan Model Pemanfaatan

Pengembangan Model Pemanfaatan

Pengembangan Model Pemanfaatan

Pengembangan Model Pemanfaatan

Penginderaan Jauh Untuk Pemetaan Cepat

Penginderaan Jauh Untuk Pemetaan Cepat

Penginderaan Jauh Untuk Pemetaan Cepat

Penginderaan Jauh Untuk Pemetaan Cepat

Daerah Terkena Bencana Erupsi

Daerah Terkena Bencana Erupsi

Daerah Terkena Bencana Erupsi

Daerah Terkena Bencana Erupsi

Gunungapi

Gunungapi

Gunungapi

Gunungapi

PROGRAM PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PENERBANGAN DAN ANTARIKSA

BIDANG LINGKUNGAN DAN MITIGASI BENCANA

PUSAT PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL

(LAPAN)

(3)

ii Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh

Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi GunungapiUntuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi

Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh

Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi)

Disusun oleh:

PUSAT PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH DEPUTI BIDANG PENGINDERAAN JAUH

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL (LAPAN)

Tim Penyusun: Pengarah :

Dr. M. Rokhis Khomarudin, S.Si., M.Si.

Kepala Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh

Parwati, S.Si., M.Sc.

Kepala Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh

Peneliti:

Ir. Hidayat, M.T., Suwarsono, S.Si., M.Si. Dr. Ir. Wiweka, M.T., Jalu Tejo Nugroho, S.Si., M.Si..

Editor, Penyunting, Desain, dan Layout: Muhammad Priyatna, S.Si., MTI.

(4)

Pengembangan Model Pemanfaatan Pengi Pengembangan Model Pemanfaatan Pengi Pengembangan Model Pemanfaatan Pengi

Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh nderaan Jauh nderaan Jauh nderaan Jauh Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi iii

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb. dan salam sejahtera bagi kita semua. Berkat Rahmat Allah S.W.T, maka laporan akhir tahun 2014 penelitian kami yang berjudul “Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi)“ dapat diselesaikan dengan baik.

Harapan dari berbagai hasil kegiatan terkait dengan penelitian dan kajian pemanfaatan penginderaan jauh untuk mendukung wahana memantau kondisi sumberdaya alam dan lingkungan dengan menggunakan data penginderaan jauh di wilayah Indonesia yang telah dan akan terus dilaksanakan di Satuan Kerja Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, LAPAN pada tahun berikutnya dapat terus terdokumentasi dengan baik dan dapat dimanfaatkan kepada semua kalangan/pengguna.

Kami mengharapkan banyak masukan dari para narasumber untuk perbaikan laporan penelitian ini, sehingga tujuan dan sasaran penelitian dapat tercapai sesuai dengan tugas dan fungsi Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN dalam menyelenggarakan penelitian dan pengembangan model pemanfaatan penginderaan jauh.

Pada kesempatan ini saya menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada semua pihak, khususnya para peneliti dari Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, Deputi Penginderaan Jauh, dan para penelaah, yang telah berupaya keras untuk menyusun dan menerbitkan laporan akhir ini.

Jakarta, Desember 2014

(5)

iv Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh

Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi GunungapiUntuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi

RINGKASAN (EXECUTIVE SUMMARY)

Penelitian ini telah memberikan hasil pengembangan model pemanfaatan penginderaan jauh untuk pemetaan cepat daerah terkena bencana, khususnya erupsi gunungapi, terutama sekali dalam hal pemanfaatan data inderaja Landsat-8 LDCM yang baru saja diluncurkan di awal tahun ini.

Kesimpulan yang dapat dirumuskan berdasarkan hasil kajian adalah metode change detection dengan variabel nilai reflektansi, indeks dan suhu kecerahan dapat dipergunakan sebagai dasar untuk deteksi daerah terkena erupsi gunungapi. Data citra Landsat-8 Band 5 (0.845 – 0.885 µm) merupakan band yang paling sensitif untuk deteksi semua tipe tutupan lahan (hutan, semak belukar, lahan pertanian, dan juga lahan terbuka). Perubahan nilai reflektansi dari semua tipe tutupan lahan (hutan, semak/belukar, lahan pertanian dan lahan terbuka) menjadi deposit vulkanik (lava, lava debris, tephra, dan abu vulkanik) diindikasikan oleh penurunan nilai reflektansi yang cukup besar pada band 5. Selain itu, variabel NDVI juga memberikan hasil paling baik untuk deteksi dan pemisahan daerah yang terkena erupsi gunungapi. Lebih lanjut, daerah yang tertutup oleh material produk erupsi gunungapi memiliki suhu relatif lebih tinggi dibandingkan daerah sekitarnya dan pola suhu yang spesifik. Lava memiliki suhu relatif lebih tinggi dibandingkan lahar dan jatuhan abu vulkanik. Sedangkan lahar sendiri memiliki suhu yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan jatuhan abu vulkanik.

Rancangan untuk penyusunan guideline metode pemanfaatan data penginderaan jauh (jenis Landsat-8) untuk deteksi daerah terkena erupsi gunungapi meliputi; 1) Input Data; 2) Proses; dan 3) Output (Informasi); dan 4) Perhitungan tingkat akurasi. Input data adalah data proses Landsat-8 periode sebelum dan pada saat/setelah erupsi. Parameter yang digunakan adalah nilai reflektansi, indeks dan suhu kecerahan. Metode yang dapat diterapkan adalah metode Change Detection dengan mengimplementasikan teknik pengambangan (thresholding). Kesimpulan lainnya adalah bahwa model deteksi cepat daerah terkena bencana dapat dijalankan dengan bantuan perangkat lunak ERDAS Imagine, ENVI, maupun Arc GIS. Piranti lunak tersebut memiliki fitur untuk pengolahan citra secara cepat dan otomatis (fully maupun semi-fully). ERDAS Imagine memiliki fitur Spatial Modeller, Arc GIS memiliki fitur Modeller, sedangkan ENVI memiliki fitur IDL.

(6)

Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi

v DAFTAR ISI

Hal

HALAMAN JUDUL ii

KATA PENGANTAR iii

RINGKASAN iv

DAFTAR ISI v

BAB I. RANCANGAN PENELITIAN 1

Ringkasan Research Desain 1

Latar Belakang 1

Permasalahan 2

Tujuan dan Sasaran 3

Hasil Kegiatan 3

Metodologi 3

BAB II. STATE OF THE ART 8

BAB III. KAJIAN DATA LANDSAT-8 9

Karakteristik Teknis Satelit 9

Karaktreristik Spektral dan Spasial 10

Ketersediaan Data 11

Pengolahan Data Landsat-8 11

BAB IV. Deskripsi Gunung Api 14

Gunung Kelud 14

Gunung SInabung 31

BAB V. HASIL PENELITIAN (LANDSAT REFLEKTANSI) 41

Ringkasan Hasil 41

Data 41

Metode 41

Tahapan Pengolahan Data 42

Hasil 44

Kesimpulan 52

BAB VI. HASIL PENELITIAN (SUHU KECERAHAN) 55

Ringkasan Hasil 55

Data 55

Metode 56

Tahapan Pengolahan Data 56

Hasil 57

BAB VII. KAJIAN PERANGKAT LUNAK 61

Ketersediaan Perangkat Lunak 61

Kapasitas Perangkat Lunak 63

BAB VIII. REKOMENDASI PENYUSUNAN GUIDELINE 69

BAB IX. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 71

(7)

1 Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena

Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena

Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi GunungapiBencana Erupsi GunungapiBencana Erupsi GunungapiBencana Erupsi Gunungapi 1

BAB I RANCANGAN PENELITIAN

(RESEARCH DESIGN)

Ringkasan Research Design

Dalam konteks dukungan mitigasi bencana, teknologi sistem pengolahan data inderaja sangat diperlukan dalam menghasilkan informasi daerah terkena bencana secara efektif dan efisien. Model pemanfaatan data penginderaan jauh untuk pemetaan cepat daerah bencana erupsi gunungapi perlu dikembangkan dengan membangun sistem pengolahan yang tepat. Penelitian ini bertujuan untuk; 1) menginventarisasi dan mengindentifikasi metode deteksi cepat daerah yang terkena bencana erupsi gunungapi menggunakan metode change detection maupun ekstraksi parameter fisis daerah bencana; 2) menyusun model yang dapat digunakan untuk pemetaan cepat daerah bencana baik yang menggunakan metode change detection maupun ekstraksi parameter fisis daerah bencana, dan ; 3) menyusun guide line pemanfaatan data penginderaan jauh untuk pemantauan bencana erupsi gunungapi. Metodologi penelitian ini dibagi menjadi 7 (tujuh) tahapan besar, yaitu tahap kajian literatur, inventarisasi data, pengolahan data untuk penyusunan model, verifikasi dan validasi, penyusunan pedoman, pelaporan, seta publikasi dan seminar/workshop. Selain bermanfaat dalam memperkaya khasanah IPTEK penginderaan jauh, sistem ini dapat dioperasionalisasikan untuk produksi informasi daerah terkena dampak bencana erupsi gunungapi di dalam kegiatan berikutnya. Informasi daerah terkena dampak bencana erupsi gunungapi tersebut sangat bermanfaat bagi pengguna, khususnya dalam rangka mendukung upaya mitigasi bencana erupsi gunungapi. Para pengguna dapat berasal dari kalangan instansi pemerintah (termasuk: BNPB, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Pekerjaan Umum), Pemerintah Daerah, swasta, Lembaga Swadaya Masyarakat (NGO), akademisi, maupun masyarakat umum.

Latar Belakang

Indonesia memiliki sekitar 129 gunungapi aktif yang berpotensi mengalami erupsi dan menimbulkan bencana. Bencana yang berasal dari erupsi gunungapi dapat berasal dari semburan lava pijar, jatuhan piroklastik, dan juga dari aliran lahar dingin. Kejadian besar bencana erupsi gunungapi di akhir tahun 2013, yaitu erupsi Gunungapi Sinabung telah menimbulkan dampak bencana yang nyata. Akibatnya, telah menelan korban jiwa manusia, kerusakan permukiman, lahan pertanian, serta rusaknya infrastruktur. Tak terkecuali, dampak kesehatan yang terjadi seperti ISPA yang diakibatkan oleh abu vulkanik yang

(8)

Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi 2

terhirup oleh saluran pernapasan. Tak kurang kerugian secara ekonomis dapat mencapai angka milyaran rupiah.

Mengingat dampak-dampak yang ditimbulkan oleh erupsi gunungapi tersebut maka diperlukan suatu upaya mitigasi bencana. Sebagai negara yang sering terjadi bencana, usaha-usaha pemerintah dan pemerintah untuk mengatasi bencana perlu dilakukan baik dari sisi teknologi, peraturan perundangan maupun sisi pendekatan sosial budaya. Di tingkat nasional, upaya penanggulangan bencana dikoordinasikan oleh BNPB. Dalam upaya penanggulangan bencana tersebut dibutuhkan peran serta instansi terkait sehingga terwujud suatu pendekatan penanggulangan yang integral, terpadu, dan komprehensif.

Dalam upaya penanggulangan bencana, ilmu dan teknologi memainkan peranan penting yang tidak bisa dilepaskan. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) merupakan salah satu lembaga pemerintah yang juga ikut aktif berperan dalam upaya penanggulangan bencana dengan kemampuan, sarana, dan prasarana yang dimilikinya. Melalui PerKa No. 2 Tahun 2011 dalam struktur organisasinya terdapat Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana di bawah Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh. Bidang ini mempunyai tugas melaksanakan penelitian, pengembangan dan pemanfaatan penginderaan jauh untuk pemantauan lingkungan dan mitigasi bencana, serta melaksanakan penyiapan bahan kerjasama teknis di bidangnya. Bidang ini memanfaatkan teknologi penginderaan jauh (remote sensing) dalam upaya menjalankan tugasnya. Selain teknologi remote sensing LAPAN juga telah mengembangkan teknologi penerbangan dan satelit dalam upaya penanggulangan bencana.

Sudah banyak yang dilakukan untuk kegiatan penanggulangan bencana berbasis data penginderaan jauh, namun hal yang sangat penting saat ini belum dilakukan adalah pemetaan cepat daerah yang terkena bencana, khususnya yang diakibatkan oleh erupsi gunungapi. Data penginderaan jauh dapat dimanfaatkan untuk kegiatan tersebut karena data ini memiliki historis yang baik dan memiliki resolusi spasial yang memadai. Untuk itu, maka penelitian-penelitian untuk mengembangkan model pemetaan cepat sangat diperlukan.

Permasalahan

Model pemanfaatan penginderaan jauh yang dilakukan oleh LAPAN untuk pemetaan cepat daerah terkena bencana (rapid mapping), khususnya bencana erupsi gunungapi sebagai respon cepat (quick response) masih belum dilakukan secara sistematis, standar, dan otomatis. Untuk itu perlu dilakukan penelitian untuk menjawab permasalahan-permasalahan tersebut, yang apabila dirumuskan adalah : model deteksi cepat daerah

(9)

3 Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh

Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi GunungapiUntuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi

terkena bencana erupsi gunungapi berbasis teknologi inderaja manakah yang paling tepat untuk dipergunakan?

Tujuan dan Sasaran Tujuan kegiatan ini adalah:

1) Menginventarisasi dan mengindentifikasi metode deteksi cepat daerah yang terkena bencana erupsi gunungapi menggunakan metode change detection maupun ekstraksi parameter fisis daerah bencana.

2) Menyusun model yang dapat digunakan untuk pemetaan cepat daerah bencana baik yang menggunakan metode change detection maupun ekstraksi parameter fisis daerah bencana.

3) Menyusun guide line pemanfaatan data penginderaan jauh untuk pemantauan bencana erupsi gunungapi.

Sasaran kegiatan ini adalah sebagai berikut:

1) Tersedianya review literatur terkait dengan metode deteksi cepat daerah yang terkena bencana erupsi gunungapi.

2) Tersedianya rekomendasi model yang dapat digunakan dalam deteksi cepat daerah terkena bencana erupsi gunungapi.

3) Tersedianya Guide line pemanfaatan data penginderaan jauh untuk pemantauan bencana erupsi gunungapi.

Hasil Kegiatan (Output)

Hasil kegiatan yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

 Dokumen hasil review literatur terkait dengan metode deteksi cepat daerah yang terkena bencana erupsi gunungapi.

 Dokumen teknis hasil kajian model pemanfaatan data penginderaan jauh untuk deteksi cepat daerah terkena bencana erupsi gunungapi serta rekomendasi model yang paling sesuai untuk diaplikasikan.

 Guide line pemanfaatan data penginderaan jauh untuk pemantauan bencana erupsi gunungapi.

 Paper ilmiah

Metodologi

Secara garis besar metodologi penelitian ini dibagi menjadi 7 (tujuh) tahapan besar, yaitu tahap kajian literatur, inventarisasi data, pengolahan data untuk penyusunan model,

(10)

Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi 4

verifikasi dan validasi, penyusunan pedoman, pelaporan, seta publikasi dan seminar/workshop.

1) Tahap Kajian Literatur

Tahap ini dilakukan untuk menginventarisasi dan mengindentifikasi metode deteksi cepat daerah yang terkena bencana erupsi gunungapi baik yang menggunakan metode metode ekstraksi parameter fisis daerah bencana serta change detection serta model lainnya yang memungkinkan melalui kajian literatur. Pada tahap ini akan diketahui state

of the art dari perkembangan iptek pemanfaatan data penginderaan jauh untuk aplikasi

di bidang kegunungapian, khususnya untuk pemetaan cepat daerah terkena bencana.

2) Tahap Inventarisasi Data

Data yang dipergunakan adalah citra inderaja optis, terutama citra Landsat, SPOT, MODIS, NPP. Selain itu juga diupayakan untuk menggunakan citra SAR sebagai data komplemen. Mengingat metode yang akan disusun adalah lebih pada change detection, maka citra dipilih paling tidak 2 (dua) tanggal perekaman, yaitu yang mewakili periode sebelum kejadian bencana dan pada saat atau setelah kejadian bencana.

3) Tahap Penyusunan Model

Hasil kajian literatur akan diperoleh model-model pemanfaatan data penginderaan jauh untuk aplikasi di bidang kegunungapian, khususnya untuk pemetaan cepat daerah terkena bencana yang nantinya akan dipilih yang paling memungkinkan dan diujicobakan untuk kasus wilayah gunungapi terpilih.

4) Tahap Verifikasi dan Validasi untuk Uji Akurasi Model

 Model-model metode deteksi cepat yang telah diujicobakan kemudian diuji akurasinya untuk mengetahui model manakah yang memberikan tingkat akurasi paling tinggi. Sebagai data referensi untuk uji akurasi dipergunakan citra dengan resolusi lebih tinggi dan didukung oleh data observasi lapangan.

 Selanjutnya, dilakukan penyusunan model yang dipilih dari metode yang paling sesuai, yaitu yang memberikan tingkat akurasi paling tinggi dan dapat diaplikasikan secara efektif dan efisien.

(11)

5 Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh

Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi GunungapiUntuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi

5) Tahap Penyusunan Pedoman (Guideline)

 Penyusunan guideline pemanfaatan data penginderaan jauh untuk deteksi daerah terkena bencana erupsi gunungapi dilakukan untuk menghadirkan dokumen yang sistematis sebagai patokan dalam menjalankan sistem rapid mapping.

6) Tahap Pelaporan

Laporan kegiatan disusun secara lengkap, sistematis, singkat, padat, jelas, dan terinci mengenai berbagai hal yang telah dilakukan sesuai dengan tahapan riset mulai dari penyusunan model, penyusunan SOP, hasil-hasil seminar hingga prestasi publikasi ilmiah yang telah akan dilakukan.

7) Tahap Publikasi dan Seminar Ilmiah / Workshop

Hasil kajian model-model pemanfaatan data penginderaan jauh untuk aplikasi di bidang kegunungapian, khususnya untuk pemetaan cepat daerah terkena bencana beserta dokumen guideline yang telah tersusun kemudian diseminarkan. Hasil-hasil seminar diharapkan dapat diperoleh masukan-masukan dari kalangan peneliti, akademisi, maupun praktisi demi perbaikan hasil penelitian. Hasil penelitian yang dianggap sudah final kemudian disusun dalam format karya tulis ilmiah untuk publikasinya.

Selengkapnya, Gambar 1-1 memperlihatkan diagram alur kegiatan penelitian pengembangan model pemanfaatan penginderaan jauh untuk pemetaan cepat daerah terkena bencana.

(12)

Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi 6

Gambar 1-1. Diagram alur kegiatan penelitian pengembangan model pemanfaatan penginderaan jauh untuk pemetaan cepat daerah terkena bencana erupsi gunungapi.

DATA Sebelum Bencana

DATA

Pada Saat/Setelah Bencana

PREPROCESSING PREPROCESSING

EKSTRAKSI PARAMETER FISIS EKSTRAKSI PARAMETER FISIS

CHANGE DETECTION (∆X)

MODEL ∆X1 MODEL ∆X2 MODEL ∆X3 MODEL ∆X4 MODEL ∆X5 MODEL ∆Xn

UJI AKURASI MODEL SELEKSI MODEL

RANCANG BANGUN SISTEM RAPID MAPPING

INPUT PROSES OUTPUT

DATA ALAT SDM

PROTOTYPE

UJI COBA PROTOTYPE

SEMINAR/WORKSHOP

SISTEM RAPID MAPPING

PERBAIKAN PROTOTYPE

GUIDELINE PUBLIKASI (JURNAL)

YA

TIDAK

SURVEI LAPANGAN DATA RESOLUSI TINGGI

ANCILLARY DATA

(13)

7 Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh

Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi GunungapiUntuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi

Ringkasan hasil kegiatan yang diharapkan tercapai dan pengguna yang akan memanfaatkan hasil penelitian/ perekayasan

Hasil Kegiatan Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi adalah terdefinisikannya sistematisasi rapid mapping di semua komponen masukan, proses dan keluarannya. Bentuk hasil penelitian ini adalah model pemetaan cepat daerah terkena bencana erupsi gunungapi yang tepat dan dapat dioperasionalkan untuk produksi informasi daerah terkena dampak bencana erupsi gunungapi di dalam kegiatan berikutnya. Informasi daerah terkena dampak bencana erupsi gunungapi tersebut sangat bermanfaat bagi pengguna, khususnya dalam rangka mendukung upaya mitigasi bencana erupsi gunungapi. Para pengguna dapat berasal dari kalangan instansi pemerintah (termasuk: BNPB, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Pekerjaan Umum), Pemerintah Daerah, swasta, Lembaga Swadaya Masyarakat (NGO), akademisi, maupun masyarakat umum.

(14)

Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi 8

BAB II

STATE of THE ART

PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH DI BIDANG KEGUNUNGAPIAN

Kegiatan pemanfaatan data penginderaan jauh di bidang kegunungapian yang dilakukan oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) telah dirintis sejak awal tahun 2000-an. Hingga saat ini pemanfaatan data penginderaan jauh masih terus dilakukan khususnya untuk upaya-upaya respon tanggap darurat bencana oleh Bidang Pemantauan Sumberdaya Alam dan Lingkungan yang saat ini telah berganti nama menjadi Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana.

Beberapa peneliti di LAPAN telah mempublikasikan karya tulis terkait pemanfaatan data penginderaan jauh untuk aplikasi di bidang kegunungapian (Wikanti et al., 2004; Suwarsono et al., 2005; Yulianto et al., 2012; Parwati et al., 2013). Penelitian-penelitian tersebut memuat tema-tema yang satu sama lainnya terpisah sehingga masih belum terangkai ke dalam satu bentuk yang integral dan dapat dioperasionalisasikan untuk tujuan penanggulangan bencana. Di sisi lain, karena keterbatasan dari sisi waktu, kegiatan respon tanggap darurat yang dilakukan lebih ke arah pemberian informasi secara visual yang lebih bersifat kualitatif dan belum menerapkan secara penuh model-model standar yang dapat menjadi acuan bagi pemanfaatannya secara lebih luas. Uraian singkat beberapa penelitian terdahulu selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 3.

Penelitian ini berfokus pada pemanfaatan data Landsat-8 sebagai generasi terbaru dari seri Landsat untuk deteksi cepat daerah terkena bencana erupsi gunungapi di Indonesia. Penelitian dengan menggunakan jenis data ini untuk aplikasi deteksi daerah terkena bencana erupsi gunungapi di Indonesia belum pernah dilakukan sebelumnya, sehingga menjadi tantangan tersendiri untuk melakukan riset dengan topik ini, dengan harapan akan ditemukan sesuatu yang baru yang bermanfaat baik dari sisi pengembangan sains inderaja maupun dari sisi pemanfaatan praktisnya.

(15)

9 Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh

Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi GunungapiUntuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi

BAB III KAJIAN DATA LANDSAT-8

3.1. Karakteristik Teknis Satelit

Satelit Landsat 8 atau LDCM (Landsat Data Continuity Mission) merupakan generasi terbaru dari seri Satelit Landsat. Satelit ini tercipta atas kerjasama beberapa institusi Amerika Serikat, yaitu: the National Aeronautics and Space Administration (NASA), United States of Geological Survey (USGS)-Department of the Interior (DOI), Orbital Science Corp., Ball Aerospace & Technology Corp., dan NASA Goddard Space Flight Center.

Satelit Landsat 8 diluncurkan pada tanggal 11 Februari 2013 dengan menggunakan wahana roket Atlas-V di Vandenberg Air Force Base, California. Berat spacecraft (satelit) 2.071 kilogram, dimensi panjang 3 meter dengan diameter 2,4 meter. Kebutuhan power berasal dari sebuah antena matahari (solar array) berdimensi 9 x 0,4 meter dan satu buah baterai Nickel-Hydrogen (NiH2) 125 Ampere-Hour (Ahr). Transfer data secara Direct

Downlink dengan Solid State Recorders (SSR) dengan data rate 384 Mbps pada frekuensi

X-band serta 260,92 Mbps pada frekuensi S-band. Satelit ini didesain untuk minimum berumur 5 tahun.

Orbit satelit sinkron matahari (Sun-synchronous) yang memungkinkan dapat merekam seluruh daerah di permukaan bumi. Ketinggian orbit satelit 705 km, siklus orbit 233 dengan periode ulang 16 hari (setiap 16 hari akan berulang dan merekam daerah yang sama) kecuali pada lintang tinggi di sekitar kutub. Satelit ini mampu melintasi satu putaran bumi dalam waktu 98,9 menit dan memotong ekuator sekitar pukul 10 pagi waktu setempat. Sistem lintasan path/row menggunakan Worldwide Reference System-2 (WRS-2). Gambar 3-1 memperlihatkan Satelit Landsat 8 berada pada orbitnya di ketinggian 705 km dari permukaan bumi. Sedangkan Gambar 3-2 memperlihatkan instalasi sensor OLI dan TIRS pada spacecraft Landsat 8.

Gambar 3-1.

Satelit Landsat 8, generasi Landsat terbaru, berada pada orbitnya di ketinggian 705 km dari permukaan bumi.

(16)

Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi 10

Gambar 3-2.

Satelit Landsat 8, terpasang sensor OLI dan TIRS. Sensor OLI diisolasi dengan warna putih sedangkan sensor TIRS diisolasi dengan warna kuning emas.

(Sumber: NASA)

3.2. Karakteristik Spektral dan Spasial

Keunggulan yang dimiliki Satelit Landsat 8 dibandingkan para pendahulunya adalah muatan sensor yang dibawanya, yaitu terdiri dari sensor Operational Land Imager (OLI) dan Thermal Infrared Sensor (TIRS). Sensor OLI terdiri dari sembilan kanal spectral dengan resolusi spasial 30 m (15 m untuk kanal pankromatik) dengan lebar cakupan 185 km. Lebar julat 10pectral sensor OLI merupakan penyempurnaan dari sensor ETM+ pada Satelit Landsat 7, yaitu disempurnakan untuk menghindari fitur penyerapan atmosfer.

Dibandingkan dengan pendahulunya, Landsat 7 ETM+, perubahan paling besar terdapat pada sensor OLI kanal 5 (0.845 – 0.885 µm). Perubahan ini ditujukan untuk mengecualikan fitur penyerapan air pada panjang gelombang 0.825 µm di tengah dari kanal inframerah dekat ETM+ kanal 4 (0.775 – 0.900 µm). Julat spektral pada kanal 8 sensor OLI juga lebih sempit dibandingkan dengan ETM+

. Ini ditujukan untuk menciptakan kontras yang lebih besar antara daerah yang bervegetasi dengan lahan terbuka. Pada sensor OLI juga ditambahkan dua kanal, yaitu kanal biru (kanal 1: 0.433 – 0.453 µm) dan kanal SWIR (kanal 9: 1.360 – 1.390 µm). Tambahan kanal 1 untuk pengamatan warna laut (ocean color) di wilayah pesisir dan kanal 9 untuk mendeteksi awan cirrus.

Sensor Thermal Sensor Inframerah (TIRS) dipergunakan untuk mengukur suhu permukaan tanah di dua band termal (band 10 dan 11). Sensor TIRS ditambahkan ke dalam misi Satelit Landsat 8 untuk mendeteksi panjang gelombang panjang cahaya (inframerah thermal) yang dipancarkan oleh bumi yang intensitasnya tergantung pada suhu permukaan. Sensor TIRS yang dipasang pada Landsat 8 menggunakan Quantum Well Infrared Photodetectors (QWIPs) yang sensitif terhadap dua kanal panjang gelombang inframerah, yang membantu dalam memisahkan suhu dari permukaan bumi dan dari atmosfer.

(17)

11 Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh

Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi GunungapiUntuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi

Tabel 3-1. Karakteristik spektral sensor OLI dan TIRS pada Satelit Landsat 8

Sensor No Kanal Nama Spektrum Julat Spektral Resolusi spasial OLI 1 Visible 0.433 – 0.453 30 m 2 Visible 0.450 – 0.515 30 m 3 Visible 0.525 – 0.600 30 m 4 Visible 0.630 – 0.680 30 m 5 NIR 0.845 – 0.885 30 m 6 SWIR 1 1.560 – 1.660 30 m 7 SWIR 2 2.100 – 2.300 30 m 8 Panchromatic (PAN) 0.500 – 0.680 15 m 9 Cirrus 1.360 – 1.390 15 m TIRS 10 TIRS 1 10.6 – 11.19 100 m 11 TIRS 2 11.5 – 12.51 100 m Sumber : USGS 3.3. Ketersediaan Data

Data citra Landsat 8 baik OLI maupun TIRS dapat diperoleh dari Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). Sejak pertengahan tahun 2013, LAPAN mengoperasikan stasiun bumi (Ground Station) yang mampu mengakuisisi data Landsat 8. Sifat data adalah free of charge (dapat diperoleh secara gratis). Permintaan data dapat dilakukan secara langsung dengan mengajukan permohonan tertulis yang ditujukan kepada: Kepala Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh LAPAN, alamat : Jl. LAPAN No.70, Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur. Selain melalui LAPAN, data dapat juga diakses melalui alamat website USGS berikut: http://www.glovis.usgs.gov maupun http://www.earthexplorer.usgs.gov. Untuk memperoleh data pada kedua alamat web tersebut perlu melakukan registrasi terlebih dahulu dengan tanpa biaya.

3.4. Pengolahan Data Landsat-8

Standar produk Landsat-8 produk yang disediakan oleh USGS EROS Center terdiri dari data Digital Number terkuantisasi dan terkalibrasi skala Numbers Digital (DN) yang mewakili data citra multispektral yang diakuisi oleh kedua sensor baik Operasional Land Imager (OLI) dan Thermal Infrared Sensor (TIRS).

Produk ini dibuat dalam format 16-bit unsigned integer dan dapat diskalakan dalam reflektansi Top Of Atmosphere (TOA) dan/atau radian menggunakan menggunakan koefisien rescaling radiometrik yang disediakan dalam file metadata produk (file MTL). File

(18)

Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi 12

MTL juga berisi konstanta termal yang diperlukan untuk mengkonversi data TIRS ke suhu kecerahan (brightness temperature).

3.4.1. Konversi DN ke Radiance

Data OLI dan TIRS dapat dikonversi ke TOA spectral radiance menggunakan faktor skala yang disediakan di dalam file metadata, dengan persamaan sebagai berikut:

Lλ = MLQcal + AL ... (3-1)

Dimana :

Lλ : TOA spectral radiance (Watts/( m2 * srad * µm))

ML : Band-specific multiplicative rescaling factor yang diperoleh dari file

metadata (RADIANCE_MULT_BAND_x, dimana x adalah nomor band)

AL : Band-specific additive rescaling factor yang diperoleh dari file

metadata (RADIANCE_ADD_BAND_x, dimana x adalah nomor band)

Qcal : Quantized and calibrated standard product pixel values (DN)

3.4.2. Konversi DN ke Radiance

Data OLI dapat juga dikonversi ke TOA planetary reflectance menggunakan faktor skala yang disediakan di dalam file metadata (MTL file), dengan persamaan sebagai berikut:

ρλ' = MρQcal + Aρ ... (3-2)

Dimana :

ρλ' : TOA planetary reflectance, tanpa koreksi solar angle. Catatan bahwa ρλ' tidak memuat koreksi sun angle.

Mρ : Band-specific multiplicative rescaling factor yang diperoleh dari file

metadata (REFLECTANCE_MULT_BAND_x, dimana x adalah nomor band)

Aρ : Band-specific additive rescaling factor yang diperoleh dari file

metadata (REFLECTANCE_ADD_BAND_x, dimana x adalah nomor band)

Qcal : Quantized and calibrated standard product pixel values (DN)

TOA reflectance dengan koreksi sun-angle, dihitung dengan persamaan sebagai berikut:

(19)

13 Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh

Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi GunungapiUntuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi

ρλ = ρλ' = ρλ' cos(θSZ) sin(θSE) ... (3-3) Dimana :

ρλ : TOA planetary reflectance.

θSE : Local sun elevation angle. Sun elevation angle di pusat scene citra

dalam derajat in degrees disediakan di file metadata (SUN_ELEVATION).

θSZ : Local solar zenith angle; θSZ = 90° - θSE

Untuk perhitungan reflektansi yang lebih akurat, per pixel solar angle dapat digunakan sebagai pengganti dari Sun elevation angle di pusat scene citra, tapi data sudut zenith matahari per pixel saat ini tidak disediakan dengan produk Landsat-8.

3.4.3. Konversi ke Brightness Temperature

Data TIRS dapat juga dikonversi dari spectral radiance ke Brightness Temperature dengan menggunakan konstanta termal yang disediakan di dalam file metadata (MTL file), dengan persamaan sebagai berikut:

T = K2 ln( K1 +1) Lλ ... (3-4) Dimana :

T : brightness temperature pada satelit (K)

Lλ TOA spectral radiance (Watts/( m2 * srad * µm))

K1 : Band-specific thermal conversion constant yang diperoleh dari file

metadata (K1_CONSTANT_BAND_x, dimana x adalah nomor band, 10 or 11)

K2 : Band-specific thermal conversion constant yang diperoleh dari file

metadata (K2_CONSTANT_BAND_x, dimana x adalah nomor band, 10 or 11)

(20)

Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi 14

BAB IV DESKRIPSI GUNUNGAPI

(DAERAH PENELITIAN)

Uraian deskripsi daerah penelitian (G. Kelud dan G. Sinabung) meliputi deskripsi umum, geologi, sejarah letusan, geofisika, deformasi, geokimia, mitigasi bencana, serta kawasan rawan bencana. Uraian ini bersumber dari Data Dasar Gunungapi yang diambil dari alamat situs Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (http://www.vsi.esdm.go.id/index.php/gunungapi/data-dasar-gunungapi).

3.5. Gunungapi Kelud

4.1.1. Deskripsi Umum

Secara administrasi, wilayah G. Kelud berada di tiga kabupaten, yaitu Kab. Kediri, Kab. Blitar dan Kab. Malang Provinsi Jawa Timur. Kota Kediri merupakan kota terdekat. Koordinat puncak berada pada posisi 7°56’00’’ LS / 112°18’30’’ BT. Ketinggian puncak 1.731 m dpl dan ketinggian kawah 1113,9 m (Hadikusumo, 1960). Tipe gunungapi strato. Pos pengamatan berada di Desa Margomulyo, Kecamatan Wates, Kediri yang terletak pada koordinat 8°55’40,14’’ LS / 112°14’45,48’’ BT dan ketinggian 675 m dpl. Gambar 4-1 menunjukkan lokasi G.Kelud.

Gambar 4-1. Lokasi G. Kelud

4.1.2. Geologi

G. Kelud (1731 m) merupakan produk dari proses tumbukan antara lempeng Indo-Australia yang menunjam ke bawah lempeng Asia tepatnya di sebelah selatan Jawa. Sebagai

(21)

15 Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh

Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi GunungapiUntuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi

gunungapi muda yang tumbuh pada zaman Kwarter Muda (Holosen), G.Kelud merupakan salah satu gunungapi dalam deretan gunungapi yang tumbuh dan berkembang di dalam Sub Zona Blitar dari Zona Solo, yang dimulai dari daerah bagian selatan Jawa bagian tengah (G.Lawu) hingga Jawa bagian timur (G.Raung), yang dibatasi gawir sesar Pegunungan Selatan. Perkembangan gunungapi muda ini sangat terbatas, hal ini nampak dari kerucut gunungapi yang rendah, puncak tidak teratur, tajam dan terjal.

Keadaan puncak – puncak tersebut disebabkan oleh sifat letusannya yang sangat merusak (eksplosif) yang disertai dengan pertumbuhan sumbat- sumbat lava seperti puncak Sumbing, Gajahmungkur dan puncak Kelud.

Secara morfologi, G.Kelud dapat dibedakan menjadi 5 satuan morfologi (A.Djumarma,1991) yaitu : Satuan morfologi Puncak dan Kawah ; Satuan Morfologi Tubuh Gunungapi; Satuan Morfologi Kerucut Samping; Satuan Morfologi Kaki dan Dataran serta Satuan Morfologi Pegunungan sekitar.

Satuan Morfologi Puncak dan kawah mempunyai ketinggian diatas 1000 m dpl tersusun oleh aliran lava, kubah lava, dan batuan piriklastik; bentuk morfologi tidak teratur, bukit –bukit kecil dengan tebing curam dengan kemiringan lereng lebih besar dari 40°, serta pola aliran yang ada pada satuan morfologi ini adalah pola aliran radial.

Satuan Morfologi Tubuh Gunungapi terletak pada ketinggian antara 600 – 1000 m dpl, tersusun atas batuan piroklastik aliran, jatuhan dan endapan lahar. Kemiringan lereng antara (5 – 20)°, serta pola aliran yang berkembang adalah pola radial – paralel.

Satuan Morfologi Kerucut Samping yang terdiri dari bukit Umbuk (1014 m) di sebelah barat daya, bukit Pisang (865 m) di sebelah selatan dan bukit Kramasan (944 m) disebelah tenggara lereng G.Kelud. Satuan ini tersusun oleh aliran lava, piroklastik aliran dan kubah lava. Satuan morfologi ini mempunyai kemiringan lereng lebih besar dari 20°.

Satuan Morfologi Kaki dan Dataran mempunyai ketinggian kurang dari 600 m dpl, kemiringan lereng kurang dari 5° dan pola alirannya parallel – braided, litologi penyusunnya terdiri dari endapan lahar dan piroklastik jatuhan.

4.1.3. Sejarah Letusan

Sejarah aktivitas G.Kelud yang tercatat sejak tahun 1000 hingga 2014. Tanggal 10 September 2007, pukul 19.00-24.00 WIB tercatat Gempa Vulkanik Dalam (VA) 15 kali kejadian dengan pusat gempa berada pada kedalaman 0,5 – 5 km. Tanggal 11 September 2007, pukul 00.00-12.00 WIB tercatat Gempa Vulkanik Dalam (VA) 1 (satu) kali, Low frequensi 1 (satu) kali, Gempa Tremor 1 (satu) kali dengan amplituda maksimum 1 – 5 mm.

(22)

Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi 16

Pada tanggal 11 September 2007 ; pukul 23:00 status G. Kelud dinaikan dari Normal ke Waspada. Aktivitas kegempaan yang terus meningkat, data deformasi EDM dan Tiltmeter menunjukkan inflasi dan data kimia juga menunjukkan adanya kenaikan suhu danau kawah yang signifikan (Rosadi dkk, 2007), maka pada tanggal 29 September 2007 status aktivitas dinaikkan menjadi Siaga (Level III). Tanggal 16 Oktober 2007, pukul 10:00 WIB hingga 17:00 WIB terekam 306 kejadian gempa Vulkanik Dangkal (VB) yang merupakan proses terjadinya rekahan batuan secara progresif oleh fluida (magma, gas atau uap) menuju permukaan, maka pada tanggal 16 Oktober 2007 status dinaikkan menjadi Awas (Level IV), ketika terekam sekitar 500 gempa Vulkanik Dangkal (VB). Setelah peningkatan aktivitas yang cukup signifikan pada tanggal 16 Oktober 2007, aktivitas kegempaan G. Kelud cenderung menurun. Tanggal 24 Oktober 2007 kembali terekam gempa Vulkanik Dalam (VA) dan Vulkanik Dangkal (VB) dalam jumlah yang signifikan. Keadaan ini berlangsung sampai tanggal 31 Oktober 2007. Puncak krisis terjadi pada tanggal 3 Nopember 2007, Keesokan harinya, pada tanggal 4 Nopember 2007, teramati munculnya kubah lava di tengah danau kawah, yang menandakan fase letusan G. Kelud telah terjadi dan bersifat efusif. Sifat letusan efusif ini berbeda dengan karakter letusan sebelumnya, pada tahun 1901, 1919, 1951, 1966 dan 1990 yang bersifat eksplosif.

Letusan terkini (Februari 2014) dianggap lebih dahsyat daripada tahun 1990.[13] meskipun hanya berlangsung tidak lebih daripada dua hari dan memakan 4 korban jiwa akibat peristiwa ikutan, bukan akibat langsung letusan. Peningkatan aktivitas sudah dideteksi di akhir tahun 2013. Namun demikian, situasi kembali tenang. Baru kemudian diumumkan peningkatan status dari Normal menjadi Waspada sejak tanggal 2 Februari 2014.

Pada 10 Februari 2014, Gunung Kelud dinaikkan statusnya menjadi Siaga dan kemudian pada tanggal 13 Februari pukul 21.15 diumumkan status bahaya tertinggi, Awas (Level IV), sehingga radius 10 km dari puncak harus dikosongkan dari manusia. Hanya dalam waktu kurang dari dua jam, pada pukul 22.50 telah terjadi letusan pertama tipe ledakan (eksplosif). Erupsi tipe eksplosif seperti pada tahun 1990 ini (pada tahun 2007 tipenya efusif, yaitu berupa aliran magma) menyebabkan hujan kerikil yang cukup lebat dirasakan warga di wilayah Kecamatan Ngancar, Kediri, Jawa Timur, lokasi tempat gunung berapi yang terkenal aktif ini berada, bahkan hingga kota Pare, Kediri. Wilayah Kecamatan Wates dijadikan tempat tujuan pengungsian warga yang tinggal dalam radius sampai 10 kilometer dari kubah lava, sesuai rekomendasi dari Pusat Vulkanologi, Mitigasi, dan Bencana Geologi (PVMBG). Suara ledakan dilaporkan terdengar hingga kota Solo dan Yogyakarta (berjarak 200 km dari pusat letusan), bahkan Purbalingga (lebih kurang 300 km), Jawa Tengah.

(23)

17 Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh

Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi GunungapiUntuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi

Ada tiga macam ciri letusan yaitu :

a. Letusan semi magmatik merupakan letusan freatik yang terjadi akibat penguapan air danau kawah yang merembes melalui rekahan pada dasar kawah yang secara serentak kemudian dihembuskan ke atas permukaan. Jenis letusan ini umumnya mengawali aktivitas gunung Kelud terutama memicu terjadinya letusan magmatik. b. Letusan magmatik merupakan letusan yang menghasilkan rempah- rempah gunungapi

baru berupa lava, jatuhan piroklastik, dan aliran piroklastik. Letusan magmatik yang terjadi umumnya bersifat eksplosif yang dipengaruhi penambahan kandungan gas vulkanik disertai meningkatnya energi letusan terutama energi panas.

c. Erupsi efusif, magma mengalir ke permukaan, dapat membentuk kubah lava atau mengalir ke lereng.

4.1.4. Geofisika Seismik

Pada kondisi aktif normal, di G. Kelud rata-rata tercatat sekitar 2 gempabumi vulkanik tiap bulan. Pada tanggal 10 September 2007, terekam 13 gempabumi vulkanik dalam, sedangkan 11 September 2007 terekam 3 gempabumi vulkanik dalam. Pada tanggal 11 September 2007 ; Sebaran hiposenter gempa-gempa vulkanik G. Kelud adalah sebagai berikut:

Gambar 4-2.

Sebaran hiposenter gempabumi vulkanik G.Kelud pada status Waspada.

(24)

Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi 18

Gambar 4-3.

Sebaran hiposenter gempabumi vulkanik G.Kelud pada status Siaga.

Gambar 4-4.

Sebaran hiposenter gempabumi vulkanik G.Kelud pada status Awas.

Gambar 4-5.

Sebaran hiposenter gempabumi vulkanik G.Kelud hingga tanggal 29 Oktober 2007.

Pada tanggal 26, 27, 28 dan 29 September 2007, terjadi lagi serangkaian gempabumi Vulkanik-Dalam, maka status G. Kelud dinaikan dari Waspada ke Siaga. Tanggal 16 Oktober

(25)

19 Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh

Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi GunungapiUntuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi

2007, pukul 10:00 WIB mulai terekam gempabumi Vulkanik-Dangkal, hingga pukul 17:00 WIB terekam 306 gempa Vulkanik Dangkal. gambar berikut adalah sebaran hiposenter gempabumi Vulkanik-Dangkal yang terekam pada 16 -17 Oktober 2007.

Masa krisis kegempaan dimulai pada 1 Nopember 2007, dan sejak 2 Nopember 2007 pukul 11:07 WIB, alat seismograf merekam gempa tremor vulkanik menerus yang merupakan aktivitas dangkal dari proses bergeraknya magma ke permukaan. Tremor vulkanik mencapai puncaknya dengan energi maksimum yang ditengarai dengan magnituda “over scale” pada pukul 16:00 hingga berlangsung sekitar 40 menit pada tanggal 3 Nopember 2007.

Gaya Berat

Studi pendahuluan penyelidikan medan gravitasi di G. Kelud pernah dilakukan pada tahun 1987, diperoleh harga rapat massa (r) Bouguer 2,6 gr/cm3 (Wimpy dkk, 1987). Pada Agustus 1999 dilakukan pemetaan gayaberat yang lebih rinci oleh BPPTK Yogyakarta dengan cakupan area sekitar (20x20) km2 . Dari selisih hasil pengukuran gayaberat mikro/mikrograviti dengan survei sebelum letusan, yaitu data BPPTK-UGM tahun 2000, pada beberapa titik ukur ditunjukan pada tabel 1 dan 2. Survei pengukuran April 2008 telah melakukan sekitar 27 titik pengukuran gayaberat dan GPS. Namun data-data yang sudah diolah menunjukan hanya 6 titik ukur saja yang kira-kira mewakili titik-titik ukur berlokasi sama antara survei gayaberat tahun 2000 dan 2008.

Anomali data gayaberat sebesar ~ 20 µgal (± 20 µgal) pada titik ukur sejauh ± 2 km dari kubah lava adalah sangat kecil kemungkinannya bila hanya diakibatkan oleh massa kubah lava baru yang muncul ke permukaan. Perhitungan kasar efek gayaberat akibat magma yang terletak di bawah kawah puncak untuk titik ukur berjarak 2 km dari kubah lava adalah ~ 18 µgal (diasumsikan tidak ada variasi level muka air tanah). Dari hasil pemodelan 3-D mikrograviti G. Kelud kemungkinan suplai magma sampai kedalaman 5 atau 10 km.

Dari selisih hasil pengukuran gayaberat mikro/mikrograviti dengan survei sebelum letusan, yaitu data BPPTK-UGM tahun 2000, pada beberapa titik ukur ditunjukan pada tabel 1 dan 2. Survei pengukuran April 2008 telah melakukan sekitar 27 titik pengukuran gayaberat dan GPS. Namun data-data yang sudah diolah menunjukan hanya 6 titik ukur saja yang kira-kira mewakili titik-titik ukur berlokasi sama antara survei gayaberat tahun 2000 dan 2008.

Anomali data gayaberat sebesar ~ 20 µgal (± 20 µgal) pada titik ukur sejauh ± 2 km dari kubah lava adalah sangat kecil kemungkinannya bila hanya diakibatkan oleh massa kubah lava baru yang muncul ke permukaan. Perhitungan kasar efek gayaberat akibat magma yang terletak di bawah kawah puncak untuk titik ukur berjarak 2 km dari kubah lava adalah ~

(26)

Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi 20

18 µgal (diasumsikan tidak ada variasi level muka air tanah). Dari hasil pemodelan 3-D mikrograviti G. Kelud kemungkinan suplai magma sampai kedalaman 5 atau 10 km.

Gambar 4-6.

Pemodelan 3-D variasi mikrograviti G.Kelud berdasarkan data tahun 2000 dan 2008.

Gambar 4-7.

Peta anomali Bouguer G.Kelud dan sekitarnya. Titik (0,0): Pos PGA G.Kelud. Jarak pada sumbu X dan Y x 10-1 km. Garis melintang biru: error input data (belum terkoreksi).

4.1.5. Deformasi

Pemantauan deformasi di G. Kelud dilakukan dengan memasang 2 stasion tiltmeter di G. Sumbing dan G. Lirang. Pengiriman data dilakukan secara telemetri dengan menggunakan radio pancar dari tiap stasion ke Pos Pengamatan G. Kelud. Hasil pengukuran deformasi tiltmeter di stasion G. Lirang menunjukkan terjadi inflasi yang tajam sejak 3 Nopember 2007 pukul 17:42 WIB pada komponen tangensial maupun radial. Sejak 6 Nopember 2007 hasil pengukuran deformasi tiltmeter di stasion G. Sumbing menunjukkan komponen radial mengalami deflasi dan komponen tangensial datar.

Pengukuran GPS di G. Kelud secara episodik sejak tahun 1998 dilakukan terhadap 8 titik GPS yang diletakan disekitar tubuh gunungapi dan 1 titik kontrol yang diletakan di Pos Pengamatan Gunung Kelud. Dari 8 titik ukur yang ada, 2 diantarnya sudah hilang dan pada pengukuran April 2008 dilakukan penggantian titik ukur yang hilang dan penambahan titik

(27)

21 Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh

Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi GunungapiUntuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi

ukur GPS baru sebanyak 8 titik ukur tersebar di sekitar puncak G. Kelud. Titik pengukuran GPS seluruhnya terdiri dari 17 titik dengan radius 0,5 sampai 6 km dari pusat kegiatan saat ini (Danau Kawah G. Kelud). Dari 17 titik pengukuran, 7 diantaranya merupakan titik ukur lama yang telah dilakukan pengukuran terakhir pada Pebruari 2008.

Dari hasil pemantauan deformasi sejak tanggal 6 Nopember 2007 menunjukkan bahwa proses miringnya Danau Kawah G. Kelud melambat menuju keseimbangan. Pengukuran deformasi tubuh gunungapi merupakan metoda pemantauan yang berbasis waktu panjang. Deformasi terjadi secara perlahan sesuai dengan perkembangan distribusi tekanan di dalam gunung. Untuk mengintensifkan pengukuran deformasi, sejak tahun 1995 telah dilakukan usaha mengembangkan penggunaan metoda baru untuk pemantauan G. Kelud.

Gambar 4-8. Grafik tiltimeter Oktober-Nopember 2007. 4.1.6. Geokimia

Kimia batuan

Jenis batuan G. Kelud adalah “Calk –alkaline” dengan komposisi dari medium Kbasalt sampai dengan medium K-andesit. Sesuai dengan perioda letusannya batuan G.Kelud dapat dibagi menjadi 3 yaitu batuan Kelud 1, Kelud 2 dan Kelud 3. Batuan Kelud 1 merupakan batuan yang berasal dari letusan kawah Lirang dan Gajahmungkur yang berumur lebih tua dari 100.000; Batuan Kelud 2 merupakan batuan yang berasal dari letusan kawah Tumpak, Sumbing 1 dan Sumbing 2 yang berumur antara 100.000 – 40.000; Batuan Kelud 3 adalah batuan yang berasal dari letusan kawah Dargo, upit,Badak 1 dan 2 swerta kawah Kelud yang berumur kurang dari 40.000. Batuan Kelud 1 berkomposisi dari basalt – andesit, Kelud 2 berkomposisi basaltik andesit dan Kelud 3 berkomposisi dari basalt – basaltik andesit.

(28)

Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi 22

Hasil sayatan tipis batuan G. Kelud (kubah lava 2007) menunjukkan tekstur porfiritik dan glomeroporfiritik, vesikuler, berbutir halus hingga berukuran 2,3 mm.

Gambar 4-9. Sayatan tipis batuan Andesitis G.Kelud. Kimia Air

Air Kawah Kelud sebelum letusan letusan 2007, mempunyai tingkat keasaman yang netral sebagaimana air biasa, yaitu pH skitar 6,5. Namun demikian karena percampurannya dengan gas-gas vulkanik dari dasar kawah, air itu mengandung Silika tinggi yaitu sekitar 95 ppm dan kadar belerang 550 ppm. Ciri utama air kawah Kelud ialah kandungan bikarbonatnya cukup tinggi yaitu sekitar 530 ppm.

Letusan G. Kelud pada tanggal 03 November 2007 di awali oleh perubahan warna air danau yang mulai teramati sejak pertengahan Agustus 2007. Hasil pengukuran fluks gas CO2 yang keluar dari air danau kawah selama bulan Agustus 2007 meningkat dari 50 ton/hari hingga 333 ton/hari dan pada awal September fluks gas CO2 mencapai 500 ton/hari.

Tabel 4-1. Komposisi kimiawi air kawah G.Kelud dan air sungai di sekitarnya. Hasil survei tahun 1999 dalam ppm, DHL=Daya Hantar Listrik (mmho/cm)

(29)

23 Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh

Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi GunungapiUntuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi

Tabel 4-2. Perubahan temporal suhu, pH dan kimia air danau kawah (6 Oktober 1989 – 15 Januari 1990 dan (20 Agustus 2007 – 11 November 2007).

Tabel 4-3. Perubahan temporal rasio unsur-unsur kimia air danau kawah (6 Oktober 1989 – 15 Januari 1990 dan (20 Agustus 2007 – 11 November 2007).

(30)

Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi 24

Kimia Gas

Konsentrasi gas CO2 yang tinggi tersebut juga karena gelembung gas sampai di udara, gelembung gas akan bercampur dengan udara dan konsentrasi CO2 menjadi cukup rendah sehingga efeknya tidak terasa. Sebagai contoh selama melakukanpengambilan contoh gelembung gas (dan selama survei batimetri), petugas tidak merasakan adanya gejala keracunan gas CO2, misalnyakepala pusing atau mata berkunang-kunang. Pemantauan gas dilakukan dengan cara pengukuran fluks gas CO2 yang keluar dari permukaan danau kawah guna mengestimasi kuantitas gas CO2 yang dihasilkan oleh proses pelepasan gas magma (degassing) dalam satu hari. Pada kondisi aktif normal fluks gas CO2 berkisar di bawah 50 ton /hari, namun pada pengukuran di awal Agustus 2007 fluks gas CO2 meningkat hingga mencapai 333 ton/hari. Kemudian pada pengukuran di awal September 2007, fluks gas CO2 masih menunjukkan peningkatan hingga mencapai angka di atas 500 ton/hari. Sedangkan pengukuran pada pertengahan September 2007 menunjukkan penurunan fluks gas CO2 menjadi 344 ton/hari.

(31)

25 Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh

Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi GunungapiUntuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi

Gambar 4-10. Peta sebaran fluks CO2 G.Kelud, pengukuran tanggal 30 Juli – 2 Agustus 2007.

4.1.7. Mitigasi Bencana Gunungapi

Untuk mengantisipasi sekecil mungkin dampak negatif yang ditimbulkan oleh letusan G.Kelud, maka telah dilakukan usaha penanggulangan bahaya baik sebelum, selama berlangsung dan sesudah letusan. Kegiatan usaha penanggulangan bahaya sebelum kejadian letusan antara lain adalah : pemantauan aktivitas gunung secara menerus dan terpadu baik secara visual ataupun non visual dengan bermacam- macam metoda geofisika . Visual

Pemantauan sehari–hari G.Kelud dipusatkan di Pos Pengamatan Margomulyo, meliputi pemantauan visual dari warna, ketebalan dan tinggi asap solfatara dan cuaca di sekitar puncak. Disamping itu pula dilakukan pengamatan langsung ke kawah meliputi pengukuran suhu air dan pengamatan perubahan warna air G. Kelud serta pengamatan pergeseran gelembung-gelembung gas yang muncul yang dapat diamati pada permukaan air kawah. Selain secara visual pemantauan G. Kelud juga dilakukan dengan metoda seismisitas atau kegempaan.

Seismik

Pemantauan kegempaan G. Kelud dimulai sejak dibangunnya Pos Pengamatan permanen akhir tahun 1925, dengan dipasangnya sebuah seismograf Wiechert komponen vertikal. Pada tahun 1987 mulai diperkenalkan seismograf Kinemetics PS-2 dengan sistem telemetri radio. Sejak April 2007 telah dipasang tiga stasion tambahan. Sehingga dengan adanya 4 empat stasion seismometer

(32)

Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi 26

4.1.8. Kawasan Rawan Bencana Gunungapi

Berdasarkan potensi bahaya yang mungkin terjadi, Peta Kawasan Rawan Bencana G. Kelud dapat dibagi menjadi tiga tingkat kerawanan, yakni: Kawasan Rawan Bencana-III (KRB-III), Kawasan Rawan Bencana-II (KRB-II), dan Kawasan Rawan Bencana-I (KRB-I).

Kawasan Rawan Bencana-III (KRB-III)

Kawasan Rawan Bencana-III (KRB-III), adalah kawasan yang selalu terlanda lahar letusan, awan panas, bahan lontaran batu pijar, gas beracun, dan kemungkinan aliran lava. Perluasan awan panas kemungkinan dapat terjadi apabila letusan di masa mendatang lebih besar dari letusan 1990 atau terjadi percampuran magma (magma mixing) sehingga terjadi letusan hebat yang banyak merubah morfologi G. Kelud secara drastis. KRB-III ini meliputi areal seluas 14, 36 km2 (1.436 ha).

Kawasan Rawan Bencana Terhadap Aliran Massa

Daerah yang kemungkinan besar berpotensi terlanda oleh produk erupsi akan datang, adalah lereng atas bagian barat dan baratdaya dengan jarak tidak lebih dari 5 km dari pusat letusan. Sebaliknya sebaran ke arah lain dikontrol oleh adanya morfologi di sekitar puncak, seperti G. Gajahmungkur (+1455 m), G. Kelud (+1731 m), dan G. Umbuk (+1014 m).

Kawasan Rawan Bencana Terhadap Bahan Lontaran Batu (pijar)

Berdasarkan letusan terdahulu, bahan lontaran produk G. Kelud mencapai 2 km untuk berukuran bom vulkanik, dan berjarak hingga 10 km dari pusat letusan untuk fragmen batuan berukuran kurang dari 2 cm. Daerah yang sering terlanda lontaran batu (pijar) adalah sektor barat.

Kawasan Rawan Bencana-II (KRB-II)

Kawasan Rawan Bencana-II (KRB-II), adalah kawasan yang berpotensi terlanda awan panas, lahar letusan, aliran lava, lontaran batu (pijar) dan hujan abu lebat. Kawasan ini dibedakan menjadi dua bagian, yaitu:

a. Kawasan rawan bencana terhadap aliran massa berupa awan panas, aliran lava dan lahar letusan.

b. Kawasan rawan bencana terhadap bahan lontaran dan jatuhan seperti lontaran batu (pijar), hujan abu lebat.

Perluasan awan panas kemungkinan dapat terjadi apabila letusan di masa datang lebih besar dari letusan 1990 atau terjadi percampuran magma (magma mixing) sehingga terjadi letusan hebat yang banyak merubah keadaan morfologi G. Kelud secara drastis. Luas Kawasan Rawan Bencana-II (KRB-II) ini diprediksi mencakup areal seluas 91,8 km2 (9.180 ha).

(33)

27 Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh

Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi GunungapiUntuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi Untuk Pemetaan Cepat Daerah Terkena Bencana Erupsi Gunungapi

Kawasan Rawan Bencana Terhadap Aliran Massa

Data geologi dan sejarah kegiatan masa lalu menunjukkan, bahwa produk letusan G. Kelud banyak didominasi oleh aliran piroklastik (awan panas) dan lahar panas (lahar letusan), bahkan hingga letusan magmatik terakhir (1990) masih didominasi aliran piroklastik (awan panas) dan jatuhan piroklastik yang terutama menghancurkan dan menutup lereng barat dan baratdaya G. Kelud. Sementara lahar hujan dialirkan melalui K. Bladak (sungai besar yang mengalir ke arah baratdaya).

Kawasan Rawan Bencana Terhadap Bahan Lontaran dan Hujan Abu Lebat

Material lontaran adalah semua jenis bahan letusan yang dilontarkan ke semua arah pada saat terjadi letusan berupa bom vulkanik (kerak roti) yang berasal dari magma dan pecahan batuan tua (fragmen litik). Bahan lontaran ini tidak terpengaruh oleh arah tiupan angin saat terjadi letusan, karena berukuran besar.

Berdasarkan data geologi, morfologi dan pengamatan di lapangan, daerah-daerah yang diperkirakan dapat terkena material lontaran (bom gunungapi, pecahan lava), hujan lumpur (panas) dan fragmen batuan lainnya serta hujan abu lebat diperkirakan meliputi kawasan hingga radius 5 km dari pusat erupsi.

Berdasarkan letusan terdahulu, bahan lontaran produk G. Kelud umumnya mencapai 5 km untuk ukuran >2 cm hingga ukuran bom vulkanik, dan berjarak hingga 10 km dari pusat letusan untuk fragmen batuan berukuran kurang dari 2 cm.

Hujan abu lebat adalah material letusan berbutir kecil (pasir hingga abu) yang dilontarkan secara vertikal ke atas lalu jatuh kembali ke tanah, sedangkan yang berbutir lebih halus umumnya terbawa angin lebih jauh sesuai dengan arah tiupan angin pada saat letusan.

Kawasan Rawan Bencana-I (KRB-I)

Kawasan Rawan Bencana-I (KRB-I) adalah kawasan yang berpotensi terlanda lahar dan kemungkinan terkena penyimpangan aliran lahar. Apabila letusannya membesar, maka kawasan ini berpotensi tertimpa bahan jatuhan piroklastik berupa hujan abu dan lontaran batu (pijar). Kawasan Rawan Bencana-I (KRB-I) ini dibedakan menjadi dua bagian, terdiri dari:

a. Kawasan rawan bencana terhadap aliran massa berupa lahar, dan kemungkinan penyimpangan aliran lahar, terletak di sepanjang sungai/di dekat lembah sungai atau di bagian hilir sungai yang berhulu di daerah puncak.

b. Kawasan rawan bencana terhadap jatuhan piroklastik/lontaran berupa hujan abu tanpa memperhatikan arah tiupan angin (saat terjadi letusan), dan kemungkinan terkena lontaran batu (pijar). Kawasan Rawan Bencana-I ini diberi warna kuning, meliputi areal seluas 351

Gambar

Tabel 3-1. Karakteristik spektral sensor OLI dan TIRS pada Satelit Landsat 8  Sensor  No  Kanal  Nama  Spektrum  Julat  Spektral  Resolusi spasial   OLI  1  Visible  0.433 – 0.453  30 m 2 Visible 0.450 – 0.515 30 m 3 Visible 0.525 – 0.600 30 m 4 Visible 0.
Gambar 4-1. Lokasi G. Kelud
Gambar 4-8. Grafik tiltimeter Oktober-Nopember 2007.
Gambar 4-9. Sayatan tipis batuan Andesitis G.Kelud.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Mulai dari dua orang (misalnya, dalam hubungan suami istri), beberapa orang (misalnya, dalam keluarga), banyak orang (misalnya, dalam suatu sekolah atau

: Besaran panjar ongkos perkara perdata yang dipungut dan ongkos yang dikeluarkan pada Pengadilan Negej-i Lhokseumawe sebagaimana tersebut dalam daftar lampiran keputusan

Data di atas juga didukung wawancara secara langsung dengan ibu Sri Restu selaku pengrajin batik Semarangan di kampung malon Gunungpati Semarang, beliau

Terapi individu sosialisai dalam penelitian ini terbukti efektif untuk diterapkan dalam perubahan perilaku isolasi sosial pada pasien skizofrenia selama proses penyembuhan pasien

Menurut Moeljatno hukum pidana merupakan bagian dari hukum yang mengadakan dasar dan aturan untuk menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang

Kirjastonkäyttäjien keskinäisistä, tiloissa tietokoneiden ääressä käydyistä keskusteluista kuitenkin selvisi, että viikon aikana työasemilla muun muassa tutkittiin

Institusi penyelenggara pendidikan Dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah (IPDS-JP) wajib melaksanakan penelitian yang disesuaikan dengan perkembangan ilmu dan teknologi

(3) Dalam reduplikasi bahasa Jepang dan bahasa Indonesia, ada yang mengalami perubahan bunyi ada yang tidak.(4) Dalam reduplikasi bahasa Indonesia dan bahasa