• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Narkoba Narkotika Psikotropika

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Narkoba Narkotika Psikotropika"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Narkoba

Narkoba adalah zat kimia yang dapat mengubah keadaan psikologi seperti perasaan, pikiran, suasana hati serta perilaku jika masuk ke dalam tubuh manusia baik dengan cara dimakan, diminum, dihirup, suntik, intravena, dan lain sebagainya (Kurniawan 2008). Narkoba dibagi dalam 3 jenis :

1. Narkotika 2. Psikotropika 3. Zat adiktif lainnya Narkotika

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, atau ketagihan yang sangat berat (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2009).

Jenis narkotika di bagi atas 3 golongan :

a. Narkotika golongan I : adalah narkotika yang paling berbahaya, daya adiktif sangat tinggi menyebabkan ketergantungan. Tidak dapat digunakan untuk kepentingan apapun, kecuali untuk penelitian atau ilmu pengetahuan. Contoh : ganja, morphine, putauw adalah heroin tidak murni berupa bubuk.

b. Narkotika golongan II : adalah narkotika yang memilki daya adiktif kuat, tetapi bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Contoh: petidin dan turunannya, benzetidin, betametadol.

c. Narkotika golongan III : adalah narkotika yang memiliki daya adiktif ringan, tetapi dapat bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Contoh: codein dan turunannya (Martono 2006).

Psikotropika

Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis, bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktifitas mental dan prilaku, digunakan untuk mengobati gangguan jiwa (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1997).

(2)

Jenis psikotropika dibagi atas 4 golongan :

a. Golongan I : adalah psikotropika dengan daya adiktif yang sangat kuat untuk menyebabkan ketergantungan, belum diketahui manfaatnya untuk pengobatan, dan sedang diteliti khasiatnya seperti esktasi (menthylendioxy menthaphetamine dalam bentuk tablet atau kapsul), sabu-sabu (berbentuk kristal berisi zat menthaphetamin).

b. Golongan II : adalah psikotropika dengan daya aktif yang kuat untuk menyebabkan sindroma ketergantungan serta berguna untuk pengobatan dan penelitian. Contoh : ampetamin dan metapetamin.

c. Golongan III : adalah psikotropika dengan daya adiktif yang sedang berguna untuk pengobatan dan penelitian. Contoh: lumubal, fleenitrazepam.

d. Golongan IV : adalah psikotropika dengan daya adiktif ringan berguna untuk pengobatan dan penelitian. Contoh: nitra zepam, diazepam (Martono 2006).

Rehabilitasi

Berdasarkan SK Menteri Kesehatan RI No. 996 tahun 2002, rehabilitasi adalah upaya kesehatan yang dilakukan secara utuh dan terpadu melalui pendekatan medis, psikologis, sosial, dan religi agar pengguna narkoba yang menderita sindroma ketergantungan dapat mencapai kemampuan fungsional seoptimal mungkin. Sarana pelayanan rehabilitasi merupakan tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan pelayanan rehabilitasi penyalahgunaan dan ketergantungan narkoba berupa kegiatan pemulihan dan pengembangan secara terpadu baik fisik, mental, sosial, dan agama. Program rehabilitasi yang digunakan yaitu therapeutic community.

Therapeutic community (TC) merupakan lingkunga yang bebas dari obat-obatan, dimana individu dengan masalah ketergantungan hidup bersama dengan satu cara yang terstruktur dan terorgaanisasi dalam rangka membuat perubahan dan memungkinkan kehidupan yang terbebas dari obat-obatan di masyarakat luar nantinya. TC merupakan program rumahan yang memiliki perencanaan tinggal selama 15 sampai 24 bulan (Holbrook et al. 2002). TC memfokuskan pada resosialisasi dari individu dan penggunaan seluruh komunitas dari program residen. TC merupakan treatment yang terstruktur dan menjadi konfrontasional

(3)

dengan aktivitas yang dirancang untuk membantu residen menguji kepercayaan diri, konsep diri serta, pola perilaku yang salah.

Tahapan dalam Program TC a. Primary

Dalam pusat treatment diajukan sebagai metoe de Leon dalam Armna (2008). Selama periode kurang lebih 6-12 bulan residen akan tinggal bersama dengan teman sebayanya. Di dalam lingkungan yang memiliki struktur hirarkis dan dalam suasana penerimaan dan kenyamanan, mereka akan belajar untuk mengekspresikan diri dan merubah perilaku mereka dengan bantuan encounter groups dan metode therapeutic. Melalui metode ini dipercayai residen akan mencapai tahapan baru dalam identitas diri dan mendapatkan self insight yang lebih baik.

b. Re-entry

Setengah tahun berikutnya, residen akan berpindah secara bertahap dari pusat treatment dan kembali ke rumahnya masing-masing. Pendekatan pada tahap ini lebih kepada perseorangan dan residen secara perlahan namun pasti melanjutkan kembali hubungan dengan dunia luar. Setelah lulus dari program residen akan mencapai tahapan baru dalam identitias sosial, bersamaan dengan insight yang lebih baik dalam tempatnya di lingkungan.

Kecanduan obat dan alkohol adalah penyakit kompleks. Menurut National National Institute on Drug Abuse (NIDA), kecanduan narkoba adalah penyakit otak kronis. Hal ini dianggap penyakit otak karena penelitian telah menunjukkan bahwa obat dan alkohol secara fisik mengubah struktur otak dan kerja otak. Secara khusus, obat-obatan dan alkohol mengubah bidang otak yang dapat mengakibatkan gangguan penilaian, kurangnya kontrol diri, ketidakmampuan untuk mengatur emosi, dan kurangnya motivasi, memori atau fungsi belajar. Kecanduan menyebabkan perubahan fisik maupun yang psikologis. Perubahan fisik sering dapat menyebabkan ketidakseimbangan biokimia berat (atau memperburuk kerentanan yang sudah ada), kekurangan gizi, dan masalah pencernaan. Obat-obatan dan alkohol hanya sementara mengubah mood seseorang atau keadaan emosional. Setelah efek hilang, pengguna sering mencari lagi dosis jangka pendek (Miller 2010).

Selain itu, ketidakseimbangan biokimia, kecenderungan genetik (yaitu, kebutuhan gizi, metabolisme), alergi makanan, pilihan diet yang buruk, tekanan

(4)

psikologis atau mental, terkena racun dan tekanan sosial dapat membuat seseorang lebih rentan terhadap kecanduan atau membuat lebih sulit bagi seseorang untuk tetap bersih dan sadar. Akibat dari obat-obatan antara lain (Miller 2010):

1. Bahan kimia otak yang disebut neurotransmitter rusak.

2. Hipoglikemia atau gula darah rendah, yang menyebabkan berbagai gejala seperti kecemasan, kelelahan, depresi dan serangan panik, serta fungsi adrenal menurun.

3. Masalah pencernaan seperti pertumbuhan jamur berlebih, Leaky Gut Syndrome, dan malabsorpsi zat gizi.

4. Alergi makanan atau sensitif terhadap makanan seperti jagung, gandum, gula, dan produk susu.

5. Kekurangan zat gizi, asam amino, vitamin, dan mineral.

Program pemulihan yang dilakukan secara tradisional membantu banyak orang di seluruh dunia. Program holistik yang berakar pada gizi dilaporkan sukses besar. Kathleen Des Maisons, Ph.D. dan presiden Pemulihan Radiant di Burlingame, California, melaporkan tingkat keberhasilan 92 persen pecandu alkohol dengan program gizi. Joan Mathews Larson, direktur pusat pemulihan kesehatan, melaporkan tingkat pemulihan 70 persen seseorang ketergantungan obat dengan malnutrisi. Selain aspek-aspek psikologis dari kecanduan, program gizi fokus pada aspek fisik dari kecanduan. Mereka bekerja untuk memperbaiki ketidakseimbangan biokimia, memperbaiki kekurangan gizi, dan mengelola masalah pencernaan, memperbaiki dan menstabilkan tingkat energi, suasana hati, dan kejernihan mental, yang menyebabkan keberhasilan pemulihan (Atkinson 2009 dalam Miller 2010).

Makanan yang tepat dan gizi yang penting dalam program pemulihan ketergantungan untuk menjaga tubuh dan otak kuat dan berfungsi dengan baik. Masalah biokimia dan kesehatan dapat dikurangi dengan mengubah kebiasaan makan dan pilihan makanan (Miller 2010).

Penyelenggaraan Makanan

Penyelenggaraan makanan adalah rangkaian kegiatan mulai dari perencanaan menu sampai dengan pendistribusian makanan kepada konsumen dalam rangka pencapaian status kesehatan yang optimal melalui pemberian makanan yang tepat dan termasuk kegiatan pencatatan, pelaporan, dan evaluasi (Depkes 2003).

(5)

Penyelenggaraan makanan institusi merupakan suatu proses menyelenggarakan makanan bagi kelompok individu yang biasanya diselenggarakan di perusahaan dan industri, sekolah, universitas, asrama, rumah sakit, panti jompo, institusi khusus (lembaga permasyarakatan, asrama atlet, dan asrama haji), child care centre, dan akademi militer. Penyelenggaraan makanan institusi dilaksanakan dalam jumlah besar dengan jumlah 50 porsi atau lebih. Pendapat lain menyatakan bahwa penyelenggaraan makanan institusi atau massal minimal 1000 porsi sekali penyelenggaraan (Mukrie et al. 1990).

Pelaksanaan penyelenggaraan makanan meliputi perencanaan anggaran belanja makanan, perencanaan menu, perencanaan kebutuhan bahan makanan, penyediaan, penerimaan, penyimpanan, dan penyaluran bahan makanan, persiapan, pengolahan, penyaluran makanan hingga pencatatan, dan pelaporan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Manajemen penyelenggaraan makanan sendiri sebenarnya berfungsi sebagai sistem dengan tujuan untuk menghasilkan makanan yang berkualitas baik (Mukrie et al. 1990).

Fungsi-fungsi manajemen dalam gizi institusi mencakup perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan. Fungsi perencanaan meliputi perencanaan ruangan, perencanaan peralatan, perencanaan menu, dan perencanaan anggaran. Fungsi pengorganisasian meliputi struktur organisasi, kepegawaian, serta pengarahan dan koordinasi. Fungsi pelaksanaan meliputi pembelanjaan, penerimaan, penyimpanan, pengolahan, penyajian/ pendistribusian serta higiene dan sanitasi pangan. Fungsi pengawasan meliputi pengawasan makanan, pegawai, dan biaya. Apabila manajemen pengelolaan gizi institusi baik maka pangan yang tersedia bagi seseorang atau sekelompok orang dapat tercukupi (Uripi 2003).

Menu berasal dari bahasa Perancis yang artinya detail atau rincian hidangan untuk setiap waktu makan. Perencanaan menu adalah serangkaian kegiatan menyusun berbagai hidangan dengan variasi dan komposisi yang serasi dan seimbang (DBGM 1991).

Menurut Mukrie et al. (1990), perencanaan menu adalah serangakaian kegiatan menyusun berbagai hidangan dalam variasi yang serasi untuk manajemen penyelenggaraan makanan di institusi. Perencanaan menu yang baik mempunyai beberapa fungsi, yaitu:

(6)

b. Dapat disusun hidangan yang mengandung zat-zat gizi esensial yang dibutuhkan tubuh.

c. Variasi dan kombinasi hidangan dapat diatur. d. Menu dapat disusun dengan biaya yang tersedia.

e. Waktu dan tenaga yang tersedia dapat digunakan sehemat mungkin. Langkah-langkah dalam perencanaan menu yang harus diperhatikan adalah menentukan menu standar atau menu pilihan; menetapkan siklus menu yang akan direncanakan, siklus 5 hari, 7 hari, 10 hari atau lebih; menentukan waktu siklus yang digunakan; menetapkan jenis bahan makanan yang akan digunakan dalam satu siklus menu dan menentukan frekuensi pemakaian tiap jenis bahan makanan; menyusun menu dan memeriksa kembali menu yang telah disusun.

Faktor-faktor yang mempengaruhi perencanaan menu diantaranya yaitu kecukupan gizi, macam, dan peraturan institusi, kebiasaan makan, jenis dan jumlah orang yang dilayani, peralatan dan perlengkapan yang tersedia, jenis dan jumlah pegawai, jenis pelayanan yang diberikan, musim/iklim dan keadaan pasar, sertra dana yang tersedia. Menu yang direncanakan harus sesuai dengan kebiasaan individu dan golongan. Kebiasaan makan seseorang ditentukan oleh faktor kejiwaan, faktor sosial budaya, agama dan kepuasan, latar belakang pendidikan, dan pengalaman, lingkungan hidup sehari-hari, serta tempat asal dan demografinya.

Setelah perencanaan kebutuhan bahan makanan telah dilaksanakan maka akan dilakukan pembelian bahan tersebut. Pembelian bahan makanan adalah rangkaian kegiatan dalam penyediaan macam dan jumlah serta spesifikasi bahan makanan tertentu dalam kurun waktu tertentu, sesuai dengan ketentuan yang berlaku di institusi. Proses ini dapat dilakukan dengan beberapa prosedur yaitu pembelian langsung ke pasar, pelelangan, pembelian musyawarah, pembelian yang akan datang, serta pembelian tanpa tanda tangan. Semua pesanan, penerimaan, dan pengeluaran uang dari bahan makanan harus dicatat dengan cermat dan kontinyu (Mukrie et al 1990).

Perencanaan kebutuhan makanan adalah kegiatan untuk menetapkan jumlah, macam/jenis dan kualitas bahan makanan yang dibutuhkan untuk kurun waktu yang panjang atau kurun wuktu pendek. Kebutuhan bahan makanan direncanakan setelah menu dibuat. Taksiran kebutuhan bahan makanan dihitung berdasarkan menu, standar porsi, jumlah konsumen, jumlah hari serta

(7)

pemakaian bahan makanan per hari atau per putaran menu. Taksiran kebutuhan bahan makanan diusahakan sedekat mungkin dengan kebutuhan nyata, tidak berlebih atau kurang (DBGM 1990).

Pembelian bahan makanan yang efisien membutuhkan prosedur penerimaan bahan makanan yang baik sebagai pelengkap keseluruhan sistem agar dapat berjalan dengan lancar. Penerimaan bahan makanan didasarkan atas order/pesanan bahan makanan yang menyediakan macam, jumlah dan kualitas bahan makanan (DBGM 1990)

Menurut Fadyati (1988), petugas yang bertanggung jawab di bagian pembelian harus mempertimbangkan beberapa hal. Antara lain. Jumlah bahan makanan yang diperlukan untuk tiap porsi, cara-cara yang digunakan dalam membeli bahan makanan, daya tahan bahan makanan, bahan makanan substitusi jika tidak terdapat di pasaran, fasilitas ruang penyimpanan, harga yang tidak tetap dan bervariasi, seta baik dan aman dikonsumsi. Petugas bagian pembelian juga harus mengetahui kualitas bahan makanan yang dibeli yaitu meliputi warna, ukuran, bentuk, tingkat keempukan, rasa, tekstur, dan tingkat kematangannya sehingga dengan memperoleh bahan makanan yang berkualitas baik maka akan diperoleh hasil yang prima pula.

Penerimaan bahan makanan merupakan suatu kegiatan meliputi pemeriksaan, meneliti, mencatat, dan melaporkan macam, kualitas, dan kuantitas bahan makanan yang diterima sesuai dengan pesanan serta spesifikasi yang telah ditetapkan (Depkes RI 2003).Terdapat tiga prinsip utama dalam penerimaan bahan makanan yaitu jumlah bahan yang diterima harus sesuai dengan yang tercantum pada faktur pembelian, mutu bahan makanan yang diterima sesuai dengan spesifikasi bahan makanan yang diminta, dan harga bahan makanan harus sesuai dengan kesepakatan awal (Yulianto & Santoso 1995).

Penyimpanan bahan makanan adalah proses kegiatan yang menyangkut pemasukan bahan makanan, penyimpanan bahan makanan, serta penyaluran bahan makanan sesuai dengan peralatan untuk persiapan pemasakan bahan makanan. Bagi institusi besar, penyimpanan dapat bertindak sebagai stok bahan makanan atau persediaan bahan makanan dan sistem penyimpanannya dipusatkan. Metode penyimpanan bahan makanan yang baik harus memperhatikan prinsip First in First Out (FIFO) yang artinya bahan makanan terdahulu diletakkan terdepan atau teratas. Setiap bahan makanan yang diterima

(8)

diberi tanggal penerimaan untuk mempermudah penerapan FIFO (Yulianto & Santoso 1995).

Tujuan penyimpanan bahan makanan diantaranya yaitu:

1. Memelihara dan mempertahankan kondisi dan mutu bahan makanan yang disimpan.

2. Melindungi bahan makanan yang disimpan dari kerusakan, kebusukan, dan gangguan lingkungan lainnya.

3. Melayani kebutuhan jenis dan jumlah bahan makanan dengan mutu dan waktu yang tepat.

4. Menyediakan persediaan bahan makanan dalam jenis, jumlah, dan mutu yang memadai (Depkes RI 1993).

Pengolahan bahan makanan memiliki dua tahapan pengerjaan yaitu persiapan dan pemasakan. Persiapan meliputi pengerjaan bahan makanan sejak diterima sampai siap untuk dimasak (menyiangi, membersihkan, mencuci, memotong, merendam, mengiris, menggiling, menumbuk, merajang, mengaduk, mengayak, membentuk, dst). Tujuan dari persiapan adalah menyiapkan bahan makanan serta bumbu-bumbu untuk mempermudah proses pengolahan (Mukrie et al 1990).

Pemasakan bahan makanan merupakan salah satu kegiatan untuk mengubah (memasak) bahan makanan mentah menjadi makanan yang siap dimakan, berkualitas, dan aman untuk dikonsumsi. Tujuan dari proses pemasakan adalah meningkatkan daya cerna makanan, mempertahankan kandungan gizi, mempertahankan bahkan menambah rasa dan membuat makanan tersebut aman untuk dimakan (Mukrie et al 1990).

Pendistribusian makanan merupakan serangkaian kegiatan untuk menyalurkan makanan sesuai dengan jumlah porsi dan jenis makanan konsumen yang dilayani baik makanan biasa maupun makanan khusus (Depkes 2003). Cara pendistribusian dibagi menjadi dua yaitu, sentralisasi dan desentralisasi. Pada sistem sentralisasi makanan langsung dibagikan menggunakan tempat (plato) dan membutuhkan kesiapan peralatan, tenaga, dan tempat yang baik. Cara yang kedua adalah desentralisasi yaitu membagi makanan dalam jumlah besar kemudian dikirim ke unit-unit, setelah sampai di unit-unit, makanan dibagikan menjadi porsi-porsi kecil (Mukrie et al. 1990).

(9)

Kebutuhan Gizi

Tubuh manusia terdiri dari berbagai sel dan jaringan hidup yang memerlukan sejumlah zat gizi untuk dapat menjalankan fungsinya secara optimal. Zat gizi adalah komponen kimia (unsur dan senyawa) yang terkandung dalam makanan yang bermanfaat bagi kesehatan tubuh. Secara sederhana gizi diartikan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan makanan dan kesehatan tubuh.

Kebutuhan zat gizi adalah sejumlah zat gizi minimal yang harus dipenuhi dari konsumsi makanan. Kekurangan/kelebihan konsumsi zat gizi dari kebutuhan, terutama bila berlangsung lama dalam jangka waktu yang berkesinambungan dapat membahayakan kesehatan, bahkan pada tahap selanjutnya dapat menimbulkan kematian (Hardinsyah & Martianto 1992).

Kebutuhan gizi antar individu bervariasi, ditentukan atau dipengaruhi oleh jenis kelamin, umur, ukuran tubuh (berat badan dan tinggi badan), keadaan fisiologis (hamil atau menyusui), aktivitas fisik, serta metabolisme tubuh. Secara sederhana, penentuan kebutuhan gizi perorangan dapat dilakukan dengan menggunakan tabel Angka Kebutuhan dan Kecukupan Gizi (AKG) perorangan yang dianjurkan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) (Hardinsyah et al. 2002).

Kebutuhan zat gizi perorangan yang dianjurkan selalu didasarkan pada standar berat badan untuk masing-masing kelompok umur, jenis kelamin, dan tambahan untuk ibu hamil dan menyusui. Standar berat badan ini didasarkan pada berat badan yang mewakili sebagian besar penduduk yang sehat pada kelompok usia tersebut. Penggunaan AKG terutama dalam hal energi dan protein yang sensitif dengan penambahan berat badan, untuk perencanaan konsumsi pangan berbeda dengan penilaian konsumsi pangan. Untuk perencanaan konsumsi pangan, AKG yang tercantum dalam tabel digunakan apa adanya, karena tujuan perencanaan konsumsi pangan adalah untuk mencapai berat badan ideal. Namun, untuk penilaian konsumsi pangan digunakan berat badan aktual. Penyesuaian kebutuhan energi dan protein yang tercantum dalam AKG karena adanya perbedaan berat badan aktual dengan berat ideal yang tercantum tabel digunakan rumus (Hardinsyah et al. 2002) :

Kebutuhan i i berat badan aktual sehat kg

berat badan dalam daftar K K

Menurut Almatsier (2008) penilaian angka kebutuhan gizi dilakukan berdasarkan umur, jenis kelamin, dan aktivitas fisik. Komponen utama yang

(10)

menentukan kebutuhan energi adalah Angka Metabolisme Basal (AMB). AMBdipengaruhi oleh umur, gender, berat badan, dan tinggi badan. Penentuan AMB dan kebutuhan energi masing-masing dilakukan dengan rumus sebagai berikut:

1. M , erat badan Tinggi badan - , Umur 2. Kebutuhan Energi = AMB x faktor aktivitas

Konsumsi Pangan

Konsumsi pangan adalah informasi mengenai jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang pada suatu waktu tertentu (Hardinsyah &Martianto 1992). Suhardjo (1989) menyatakan bahwa kualitas gizi seseorang akan lebih baik jika mengkonsumsi pangan yang beragam. Namun, hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor seperti keadaan ekonomi, sosial dan budaya, kesehatan serta perilaku dalam menyusun menu sehari-hari.

Konsumsi pangan seseorang dipengaruhi oleh pengetahuan mengenai gizi dan makanan yang dimilikinya. Pengetahuan adalah informasi yang dimiliki atau diketahui oleh sesorang yang didapatkan dari pengamatan indrawi. Pengetahuan gizi akan mampu mengatasi keterbatasan konsumsi makanan yang diakibatkan oleh kemiskinan atau keterbatasan akses keluarga terhadap pangan. Dengan pengetahuan gizi yang baik, pengolahan dan pemanfaatan pangan yang tersedia dapat lebih optimal untuk memenuhi kebutuhan gizi (Harper et al. 1986).

Pendapatan seseorang tidak mutlak mempengaruhi konsumsi pangan karena pendapatan akan ditransformasikan menjadi pengeluaran yang terdiri dari pengeluaran pangan dan non pangan. Pada konsep tradisional, konsumsi pangan akan semakin baik dengan meningkatnya pendapatan. Hal ini tidak terjadi jika pengeluaran non pangan seperti pendidikan dan pembelian barang-barang lebih besar daripada pengeluaran pangan. Pengeluaran pangan yang meningkat belum tentu meningkatkan pembelian makanan dengan gizi yang lebih bermutu (Berg 1986).

Pemilihan orang dewasa muda terhadap makanan pada umumnya tidak memperhatikan faktor kesehatan. Orang dewasa muda lebih memilih makanan yang rasanya sesuai dengan selera dan harganya sesuai dengan daya beli. Namun, tidak demikian halnya dengan usia dewasa madya akhir dan lanjut usia awal yang lebih memperhatikan faktor kesehatan dan memilih makanan yang sehat bagi dirinya (Santrock 2002).

(11)

Survey konsumsi pangan dimaksudkan untuk mengetahui dan menelusuri konsumsi pangan baik dilihat dari jenis-jenis pangan, sumber-sumbernya maupun jumlah yang dikonsumsinya, termasuk bagaimana kebiasaan makanannya serta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi pangan tersebut. Data survey pangan dapat menunjukkan cukup tidaknya konsumsi individu, keluarga, dan kelompok tertentu suatu masyarakat atau penduduk bila dibandingkan dengan apa yang seharusnya dibutuhkan (Suhardjo et al. 1988).

Penilaian konsumsi pangan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara kuantitatif dan kualitatif. Secara kuantitatif, dihitung jumlah pangan yang dikonsumsi, sedangkan secara kualitatif, penilaian melihat frekuensi makan, frekuensi konsumsi pangan menurut jenis pangan, dan kebiasaan makan (food habit). Pada cara kuantitaif, terdapat lima metode yang sering digunakan untuk pengukuran konsumsi makanan individu yaitu metode recall 24 jam, metode estimated food records, metode penimbangan makanan, metode dietary history, dan metode frekuensi makanan (Supariasa et al. 2001).

Weighing method

Prinsip metode ini adalah mengukur secara langsung berat setiap jenis pangan yang dikonsumsi (Suhardjo 1989). Metode penimbangan langsung ini dilakukan dengan pengamatan, penimbangan dilakukan sendiri oleh tenaga pengambil data. Metode ini merupakan metode yang paling akurat, karena dilakukan penimbangan secara cermat dan tepat terhadap makanan yang dikonsumsi. Disamping kelebihan tersebut ada beberapa kekurangannya, yaitu mahal, memakan banyak waktu, kadang-kadang responden segan atau malu atau tidak memperkenankan bila makanannya harus dipindah-pindahkan dari tempatnya untuk ditimbang, serta mungkin responden mengubah-ubah pola konsumsi pangan dari kebiasaannya sehari-hari dengan kehadiran peneliti Kusharto & Sa‟diyyah 200 .

Kelebihan metode penimbangan adalah data lebih teliti karena benar-benar merupakan penimbangan langsung. Kekurangannya adalah waktu dan biaya cuku mahal, responden dapat mengubah kebiasaan mereka apabila dilakukan dalam waktu yang cukup lama, tenaga penimbang harus terampil dan harus ada kerjasama yang baik antara responden dan peneliti (Supariasa et al. 2001).

(12)

Recall Method

Metode mengingat-ingat (recall method) merupakan salah satu metode penilaian konsumsi pangan pada tingkat individu. Metode ini dapat menaksir asupan gizi individu (Gibson 2005). Pada metode ini dicatat mengenai jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi pada waktu yang lalu (biasanya recall 24 jam). Pengukuran konsumsi pangan diawali dengan menanyakan jumlah pangan dalam URT (Ukuran Rumah Tangga), setelah itu baru dikonversikan dalam satuan berat Kusharto & Sa‟diyyah 200 .

Kelebihan metode recall ini antara lain mudah, cepat, murah dan dapat digunakan untuk menanyakan responden yang buta huruf. Kelemahannya yaitu mengandalkan daya ingat dari responden dan recall 1 x 24 jam belum dapat menggambarkan rata-rata konsumsi siswa dalam 1 hari (Supariasa et al. 2001). Menurut Owen et al. (1993), metode recall ini membutuhkan enumerator yang terlatih dalam mengumpulkan informasi konsumsi makanan dalam satu hari.

Food Record (Catatan Pangan)

Food record sering juga disebut dengan food diary atau buku harian pangan. Cara ini menuntut motivasi dan pengertian kedua belah pihak, di samping itu juga membutuhkan waktu yang lebih lama. Responden diminta mencatat semua makanan dan minuman yang dikonsumsi selama paling sedikit 3 hari dalam seminggu, 2 hari biasa dan 1 hari libur. Catatan harus rinci, termasuk cara makanan dipersiapkan dan dimasak, jika terdiri dari berbagai bahan pangan, misalkan untuk gado-gado atau capcai, jenis dan jumlah bahan mentahnya perlu ditulis disamping resep pembuatannya dan jumlah orang yang menyantap masakan tersebut. Ukuran porsi makanan sebaiknya dicatat dengan mengacu pada ukuran rumah tangga (URT). Makanan yang telah terukur ini kemudian disalin dalam „gram‟. Zat gi i yang terkandung dicari pada DK M dan jika merupakan makanan kemasan, kandungan gizi dilihat pada label. Kesalahan yang banyak terjadi yaitu responden tidak mampu mengkuantifikasi dengan tepat. Kekeliruan ini dapat diatasi dengan cara meminta responden untuk menimbang sendiri makanan dan minuman yang telah dikonsumsi pada waktu tertentu (Arisman 2010).

Kelebihan metode food record adalah murah, cepat dan dapat menjangkau sampel dalam jumlah besar, dapat mengetahui sampel dalam jumlah besar, hasil cukup akurat. Kelemahannya yaitu membebani responden, tidak cocok untuk responden yang buta huruf, memerlukan kejujuran dan

(13)

kemampuan responden dalam mengkuantifikasi jumlah konsumsi (Supariasa et al.). Selain itu, menurut Owen et al. (1993), kualitas pengumpulan data menggunakan food record dapat ditingkatkan dengan melakukan review secara individu tentang record yang telah dilakukan. Review juga harus dilakukan oleh enumerator yang terlatih untuk mengklarifikasi data-data yang telah ditulis responden dan untuk mengetahui data-data yang lupa ditulis oleh responden.

Status Gizi

Status gizi merupakan keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi, penyerapan, dan penggunaan pangan di dalam tubuh (Riyadi 2006). Status gizi optimal dapat tercapai jika tubuh memperoleh cukup zat-zat yang digunakan secara efisien sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja, dan kesehatan umum secara maksimal. Baik gizi kurang maupun gizi lebih dapat menghambat optimalisasi pencapaian hal tersebut (Almatsier 2004).

Masalah kekurangan dan kelebihan gizi merupakan masalah yang penting untuk diperhatikan. Malnutrisi tidak hanya meningkatkan resiko terkena penyakit namun juga mempengaruhi produktivitas kerja (Supariasa et al. 2001). Riyadi (2006) juga menyatakan bahwa kekurangan gizi dapat berakibat menurunnya ketahanan fisik dan akhirnya menurunkan produktivitas kerja.

Soekirman (2000) menyatakan bahwa status gizi dapat ditentukan dengan beberapa ukuran-ukuran gizi tertentu atau kombinasinya. Beberapa cara pengukuran status gizi antara lain yaitu pengukuran antropometri, klinik, dan laboratorik. Pengukuran yang paling sering dilakukan adalah pengukuran antropometrik karena metodenya relatif paling sederhana dibanding pengukuran klinik dan laboratorik.

Metode antropometri menggunakan pengukuran terhadap dua dimensi yaitu dimensi pertumbuhan dan komposisi tubuh. Pengukuran tersebut bervariasi menurut umur dan derajat gizi, sehingga bermanfaat terutama pada keadaan terjadinya ketidakseimbangan energi dan protein secara kronis. Antropometri juga dapat digunakan untuk mendeteksi malnutrisi derajat sedang dan berat. Keuntungan lain dari pengukuran antropometri adalah memberikan informasi tentang riwayat gizi masa lampau, hal ini tidak diperoleh (dengan tingkat kepercayaan yang sama) dengan menggunakan teknik penilaian lainnya (Riyadi 2003). Pengukuran dengan metode ini dapat dilakukan dengan relatif cepat,

(14)

mudah, dan menggunakan alat pengukur yang reliabel, sehingga teknik dan peralatannya dapat dikalibrasi dan distandarisasi (Gibson 2005).

Metode antropometri terdiri dari berbagai indeks yang dapat digunakan untuk menilai status gizi yaitu berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), berat badan menurut tinggi badan (BB/TB), lingkar lengan atas menurut umur, dan resiko lingkar pinggang dengan pinggul. Diantara keempat indeks tersebut, indeks massa tubuh (IMT) adalah indeks yang paling mudah diukur dan diinterpretasikan (Supariasa et al. 2001).

Indeks massa tubuh (IMT) merupakan sebuah instrumen sederhana yang dapat digunakan untuk menilai status gizi. Pemakaian IMT khususnya untuk melihat kekurangan dan kelebihan berat badan. Namun, IMT tidak dapat diterapkan pada keadaan khusus (Supariasa et al. 2001). Perhitungan IMT adalah sebagai berikut:

MT berat badan kg (tinggi badan (m))2

Nilai IMT yang didapatkan dari perhitungan kemudian disesuaikan dengan klasifikasi yang ada seperti di bawah ini (Supariasa et al. 2001).

Tabel 1 Klasifikasi status gizi berdasarkan IMT.

Klasifikasi Status Gizi IMT

Kurus <18.50

Kurus tingkat berat <16.00

Kurus tingkat sedang 16.00-16.99

Kurus tingkat ringan 17.00-18.49

Normal 18.50-22.99 Lebih 23.00-30.00 Overweight ≥ 2 .00 At Risk 23.00-27.50 Obese ≥ 2 .60 Obese kelas I 27.60-30.99 Obese kelas II ≥40.00 Sumber: WHO (2005)

Referensi

Dokumen terkait

Merujuk pada hasil temuan penelitian tentang peran guru PAI pada pelaksanaan kegiatan belajar mengajar dalam mewujudkan pembelajaran Interaktif Inspiratif Menyenangkan

melakukan penyederhanaan, dan tematik-integratif, menambah jam pelajaran dan bertujuan untuk mendorong peserta didik atau siswa, mampu lebih baik dalam melakukan observasi,

Dalam hal ini, suatu proses dikatakan tetap terkontrol (in control) bila seluruh data observasi masih berada dalam batas-batas yang diperbolehkan (Control Limit

Bunga yang dijual berasal dari petani bunga potong yang berada di daerah Bandung.Pasokan bunga potong berasal dari Bogor, Cianjur dan Sukabumi.Usaha toko bunga

Pada penelitian ini, desain penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah cross-sectional dengan tujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara tingkat

kepada masyarakat yang termasuk dalam kriteria jenis retribusi jasa usaha, sehingga ketentuan retribusi sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 7

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 184 ayat ( 1 ) Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang –

Dengan demikian, tujuan penelitian ini yaitu untuk mendeskripsikan gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh Kepala Sekolah di MAN 2 Jember,