1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia menuntut perubahan terhadap aturan rezim kesehatan yang berkaitan dengan mekanisme berbagi virus influenza di jaringan kerjasama GISN (Global Influenza Network Surveillence) di tahun 2007. GISN merupakan jaringan kerjasama internasional yang memonitor sirkulasi virus influenza yang
menjangkiti manusia di seluruh dunia.1 Tuntutan ini dimulai dengan penolakan
Indonesia untuk menaati aturan WHO (World Health Organization) yang mewajibkan negara yang terkena penyebaran virus untuk menyetor sampel virus H5N1 (atau lebih dikenal dengan nama flu burung) ke laboratorium-laboratorium yang telah ditunjuk dalam GISN, sesuai dengan IHR (International Health Regulation).
Tindakan Indonesia ini selanjutnya mendapatkan dukungan dari
negara-negara lain2, yang akhirnya memicu distrust terhadap WHO dan mengganggu
stabilitas rezim kesehatan ini. Sepanjang tahun 2007 telah terjadi perdebatan, negosiasi bilateral, dan sidang multilateral yang membahas mengenai masalah ini, antara WHO yang berusaha mengembalikan kepercayaan negara-negara anggotanya, dan usaha Indonesia untuk mengubah aturan GISN yang telah eksis selama lebih dari 50 tahun.
1
WHO Global Influenza Surveillance Network (GISN). Diakses pada 19 Agustus 2013 Surveillance and Vaccine Development. http://www.influenzacentre.org/centre_GISN.html.
2
23 negara yang mengawali untuk mendukung resolusi perubahan yang diajukan Indonesia di sidang WHA ke 60 (World Health Assembly), kemudian mendapatkan dukungan tambahan dari Kenya, Thailand, Brazil dan China.
2 Isu kesehatan telah menjadi sebuah isu global, yang sebagian tidak cukup ditangani lagi oleh aktor-aktor tradisional seperti negara. Ancaman kesehatan global seperti wabah yang mendunia melewati batas-batas negara seperti SARS, H5N1 atau Flu Burung, yang diakibatkan semakin mudahnya transportasi, kegiatan turisme lintas negara, dan kemungkinan aksi terorisme, sehingga penyebaran wabah global menjadi lebih luas dan lebih cepat. Dunia harus siap dalam menghadapinya, untuk itu diperlukan sebuah jaringan kerjasama antar lembaga, untuk pertukaran informasi mengenai wabah yang dianggap sebagai
ancaman.3
UN (United Nations) memberikan mandat kepada WHO (World Health Organization) yang berdiri pada 7 April 1948 dan berkantor pusat di Jenewa Swiss, sebagai organisasi internasional khusus yang menangani persoalan mengenai kesehatan. Sehingga WHO adalah rezim dalam bidang kesehatan global yang mengatur norma dan peraturan dalam jaringan kerjasama kesehatan global
sesuai IHR (International Health Regulations)4.
Di akhir tahun 2006 Indonesia memutuskan untuk menghentikan pengiriman sampel virus H5N1, yang lebih dikenal sebagai virus flu burung. Bagi WHO, tindakan Indonesia ini merupakan pelanggaran terhadap IHR yang mewajibkan negara berkaitan untuk menyerahkan sampel biologis sebagai bagian
3
World Health Organization. The world health report 2007: a safer future: global public health
security in the 21st century. (WHO Library Cataloguing in Publication Data, 2007). 6-9
4
International Health Regulations (2005). Diakses pada tanggal 19 Agustus 2013. http://whqlibdoc.who.int/publications/2008/9789241580410_eng.pdf
3 dari informasi kesehatan yang dibutuhkan WHO dan dunia dalam menghadapi
kemungkinan terjadinya wabah global.5
Sampel virus dari Indonesia yang dimodifikasi menjadi seed virus (bahan untuk membuat vaksin) dalam GISN telah dipatenkan dan menjadi milik GISN dan WHO sepenuhnya, tanpa sepengetahuan maupun ijin dari negara pengirim
sampel virus.6 Indonesia berargumen bahwa mekanisme pengiriman virus ini
tidak memihak kepada negara berkembang, karena pihak yang memiliki teknologi mempunyai hak yang sangat besar, dan tidak memperdulikan hak negara yang menyetorkan virus itu. Kondisi ini yang menyebabkan Menteri Kesehatan Indonesia Siti Fadilah Supari memerintahkan untuk menghentikan pengiriman sampel virus kepada GISN, dan mengusung agenda mekanisme sharing virus baru yang lebih transparan, adil, dan setara.
Aksi penolakan yang dilakukan oleh Indonesia dan tuntutan mekanisme baru, mendapatkan dukungan terutama dari negara-negara berkembang dalam Deklarasi Jakarta, sebagai hasil dari High Level Technical Meeting (HLTM) dan High Level Meeting (HLM) yang diinisiasi oleh Indonesia di Jakarta pada Maret tahun 2007. Sekitar 21 negara menghadiri pertemuan pertama yang membahas dan merancang dokumen yang merekomendasikan perubahan mekanisme berbagi
virus flu burung dengan saling menguntungkan satu sama lain.7 Aksi penolakan
ini menyebabkan ketidakpercayaan terhadap WHO dan mekanisme sampel virus
5
IOM (Institute of Medicine). Infectious Disease Movement in a Borderless World. (Washington. DC: The National Academic Press, 2010) , 214.
6
David P. Filder. Influenza Virus Samples, International Law, and Global Health Diplomacy. Emerg Infect Dis. January; 14(1) (2008), 88-94. Di akses pada 19 Agustus 2013 doi:
10.3201/eid1401.070700
7
Endang Sedyaningsih. et al,. Towards Mutual Trust Transparency and Equity in Virus Sharing
4 melalui GISN. Legitimasi WHO sebagai rezim kesehatan global melemah dengan adanya ketidakpercayaan oleh negara-negara berkembang yang diinisiasi oleh Indonesia.
Semua masalah-masalah yang mempengaruhi keberlangsungan suatu rezim, pada dasarnya merupakan perilaku personal maupun sekelompok manusia yang terlibat. Pola perilaku tersebut seperti ketidakpatuhan (dalam kasus ini penolakan Indonesia untuk mematuhi aturan rezim kesehatan) dengan sendirinya akan membuat rezim tersebut menjadi hancur, karena perilaku-perilaku yang demikian berarti telah melanggar kompromi dan konvensi yang telah disepakati
sebelumnya.8 Dilema dihadapi oleh Indonesia, diantara melanjutkan konvensi
yang ada tetapi merugikan kepentingan nasionalnya, atau melakukan perjanjian ulang (renegosiasi), untuk menuntut perubahan dalam aturan GISN dan WHO. Tindakan Indonesia berarti negosiasi ulang atau renegosiasi terhadap WHO dan pihak-pihak lain yang mempunyai kepentingan dengan masalah ini.
Batasan pembahasan rentang waktu dalam tulisan ini, berawal dari kejadian-kejadian yang menyebabkan Indonesia melakukan penolakan berbagi sampel virus kepada WHO di akhir 2006, yang dilanjutkan dengan serangkaian negosiasi tingkat bilateral oleh perwakilan tinggi dari WHO dengan Indonesia, hingga pertemuan multilateral yang khusus membahas permasalahan ini seperti Pertemuan HLM dan HLTM, Maret 2007 di Jakarta, Sidang WHA (World Health Assembly) April 2007, dan yang terakhir Sidang IGM (Inter-Governmental
8
Oran Young. Regime Dynamics: The Rise and Fall of International Regimes. International
5 Meeting) di bulan November 2007, kedua pertemuan multilateral ini berlangsung di Jenewa, Swiss.
Proses renegosiasi mengenai aturan berbagi sampel virus terhadap GISN dan WHO merupakan dinamika terhadap jalannya sebuah rezim kesehatan. Tindakan Indonesia bisa di nilai sebagai pelanggaran terhadap konvensi yang di sepakati sebelumnya atau di lain pihak bisa juga dinilai sebagai usaha Indonesia untuk memperjuangkan kepentingan nasional dan hak-haknya. Kasus renegosiasi ini merupakan contoh kasus yang menarik untuk dikaji mengenai posisi kedaulatan negara di dalam suatu rezim, dilema antara kerjasama dengan distrust.
B. Rumusan Masalah
Meninjau adanya proses renegosiasi yang terjadi sepanjang tahun 2007, maka pertanyaan riset yang diajukan adalah:
Apa masalah dan kepentingan yang mendorong Indonesia
melakukan renegosiasi terhadap mekanisme GISN ?
6
C. Landasan Konseptual
Rezim Internasional
Rezim sebagai set of governing arrangements yang termasuk di dalamnya jaringan kerjasama peraturan, norma dan prosedur yang efeknya membentuk dan
mengontrol perilaku aktor-aktor yang terkait.9 Setidaknya rezim harus mempunyai
empat variabel, yaitu prinsip-prinsip, norma, aturan dan prosedur pengambilan
keputusan yang mempengaruhi perilaku aktor tersebut.10
Ada tiga pemikiran atau perspektif yang mewarnai diskusi mengenai rezim; Neoliberalisme dengan analisisnya berbasis pada susunan kepentingan (interest); Realisme yang memandang hubungan kekuatan (power) sebagai kunci variabel dalam rezim; dan Kognitivisme yang lebih menekankan pada tingkah laku aktor yang ditentukan oleh persepsi atas pengetahuan norma sosial
(knowledge).11 Tiga perspektif ini masing-masing berbeda mengenai pandangan
mereka tentang awal mula, cara kerja, dan stabilitas atas Rezim Internasional.
Perspektif Neoliberal menekankan peran rezim internasional untuk membantu negara-negara untuk mencapai kepentingan bersama yang saling menguntungkan. Perspektif ini mempunyai pandangan yang optimis terhadap kerjasama di situasi anarki, dimana setiap negara mementingkan dirinya sendiri. Adanya rezim internasional membuat kerjasama menjadi lebih mudah dicapai,
9
Robert O. Keohane and Joseph S. Nye, Power and Interdependence (Boston: Little, Brown, 1977), 19
10
Stephen. D. Krasner. International Regime. (New York: Cornell University Press, 1983), 186
11
Oran R. Young dan Gail Osherenko. Polar Politics: Creating International Environmental
7 dan mengurangi resiko seperti ketidakpastian, dan kemungkinan kecurangan yang dilakukan salah satu pihak, ini terjadi dengan syarat jaringan dan transparansi semakin meningkat. Neoliberal juga berpandangan negara akan berpikir dua kali jika berniat melanggar peraturan atau norma dalam rezim, karena akan kesulitan melakukan kerjasama di masa yang akan datang, disebabkan oleh reputasinya
yang tidak baik dalam mematuhi kerjasama.12
Menurut perspektif neoliberalisme, rezim internasional yang membuat transparansi itu ada dan kemungkinan terjadinya kecurangan bisa ditekan, tetapi Indonesia meragukan adanya transparansi dalam mekanisme pembagian sampel virus influenza. Sehingga argumentasi perspektif ini mendapat pertentangan. Bagi WHO, distrust yang dilakukan oleh Indonesia membahayakan sistem GISN yang berlangsung sejak 50 tahun yang lalu. Harga politik pembangunan rezim 50 tahun akan dibayar dengan mahal, jika GISN jatuh.
Perspektif Realisme mempunyai persamaan dan perbedaan dengan perspektif neoliberalisme. Persamaan kedua perspektif ini adalah pemikiran rasionalisme, yaitu memandang negara sebagai aktor yang mementingkan dirinya sendiri. Tujuan aktor adalah memaksimalkan keuntungan yang bisa diraih, sementara perbedaannya perspektif realisme lebih pesimis dalam memandang
kerjasama yang terwujud dalam Rezim internasional.13 Ketakutan akan dicurangi
dan egoisme setiap aktor, menjadi ancaman ketidakstabilan rezim. Terlebih dalam
12
Andreas Husenclever dan Peter Mayer. Integrating Theories of International Regimes. Review of International Studies, Vol. 26, No. 1 (2000). 3. diakses pada 19 Agustus 2013.
http://www.jstor.org/stable/20097653
13
8 Teori Stabilitas Hegemoni, yang meragukan rezim bisa dipertahankan tanpa kehadiran seorang hegemon atau pemimpin yang kuat, karena hegemon ini berperan sebagai penyuplai public goods yang ditransferkan diantara
anggota-anggota rezim.14
Penolakan Indonesia untuk berbagi sampel bisa diartikan sebagai ketakutan aktor negara akan adanya kecurangan dalam kerjasama di rezim kesehatan, sementara penolakan atas dasar kedaulatan negara, bisa diartikan sebagai egoisme sebuah negara. Indonesia memandang ada distribusi public goods (dalam kasus ini sampel virus, sebagai bentuk informasi kesehatan mengenai perkembangan wabah global) yang berjalan tidak adil dan tidak transparan dan hanya menguntungkan negara-negara maju yang mempunyai kelebihan teknologi, juga mempunyai akses mulus ke dalam laboratorium-laboratorium khusus dan
canggih yang ditunjuk oleh WHO.15
Berbeda dengan dua perspektif lainnya, kognitivisme memandang rezim sebagai fenomena sosiologis, perspektif ini memandang dalam kajian yang lebih makro. Berbeda sekali dengan rasionalis (neoliberalisme dan realisme) yang membasiskan diri pada aktor (mikro). Menurut kognitivisme, ketidakpastian yang dihadapi oleh para pengambil kebijakan terhadap banyak isu saat ini, dan keterbatasan untuk memahami persoalan yang kompleks, menjadikan para
14
Charles P. Kindleberger. Dominance and Leadership in the International Economy,” 25(2) International Studies Quarterly (1981): 242.
15
9 pengambil kebijakan tergantung pada pemberi atau sumber pengetahuan tentang
isu yang sedang dihadapi, dan selanjutnya mempengaruhi tindakan mereka.16
Renegosiasi yang dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan rezim ini melibatkan banyak pihak yang mempunyai basis perspektif yang berbeda. Misalnya Indonesia yang dalam kasus ini menuntut perubahan aturan rezim, mempunyai pandangan yang lebih condong ke realisme. Sementara WHO yang ingin mempertahankan status quo, mempunyai pandangan neoliberalisme. Kedua perspektif ini berguna untuk melihat posisi dan kepentingan aktor-aktor dalam renegosiasi.
Posisi dan Kepentingan
Posisi dan kepentingan merupakan komponen dasar yang dipunyai oleh pihak-pihak yang bernegosiasi, yang selanjutnya akan dirundingkan dalam meja perundingan. Setiap negosiasi akan menampilkan posisi tersendiri yang disebut posisi tawar-menawar. Masing-masing pihak mengambil posisi atau pendiriannya, memperdebatkannya lalu saling memberikan konsesi untuk mencapai suatu
kesepakatan atau bisa disebut dengan kompromi.17 Sebuah posisi dinyatakan
secara jelas oleh pihak yang bernegosiasi kepada lawan negosiasinya atas keinginannya yang ingin diwujudkan. Contoh yang paling sederhana sebuah posisi dalam negosiasi adalah posisi tawar menawar harga antara penjual dengan
16
Peter M. Haas. International Organization. Introduction: Epistemic Communities and
International Policy Coordination. Vol. 46, No. 1, Knowledge, Power, and International Policy
Coordination (Winter, 1992), 1-35.
17
10 pembeli, pihak penjual menginginkan posisi harga yang lebih mahal, sementara pihak lain menginginkan posisi harga yang lebih murah.
Persoalan dasar sebuah negosiasi ternyata tidak mutlak terletak pada posisi-posisi pihak yang yang berkonflik, tetapi konflik yang ada ditentukan oleh kebutuhan, keinginan, kepedulian dan kekhawatiran. Kepentingan tersembunyi secara implisit di dalam rumitnya posisi. Kepentingan ini merupakan sebuah penggerak dalam menentukan sikap atau posisi yang diperlihatkan. Menemukan kepentingan yang saling cocok akan memudahkan semua pihak untuk
mendapatkan sebuah kesepakatan.18
Kepentingan yang kuat adalah kebutuhan manusia yang mencakup : Rasa aman; Ekonomi yang cukup; Rasa memiliki; Pengakuan; Kemampuan untuk mengontrol hidupnya sendiri. Gejolak kebutuhan dasar seorang individu atau manusia pada dasarnya sama dengan sekelompok orang bahkan negara. Sebuah negosiasi tidak akan mengalami kemajuan yang berarti jika salah satu pihak
merasa kepentingan utamanya tidak diperhatikan, bahkan terancam.19
Post-Agreement Negotiation
Rezim bersifat dinamis, tidak ada sistem yang bisa bertahan tanpa mampu beradaptasi terhadap perubahan. Jika rezim digunakan aktor internasional untuk menyelesaikan masalah bersama, maka Post-Agreement Negotiation adalah proses yang menjaga rezim tetap vital, berjalan dan beradaptasi pada perubahan pengetahuan, masalah, kepentingan, norma dan ekspektasi aktor-aktor yang
18
Roger Fisher dan Bruce Patton, Getting to Yes 47-49.
19
11 bersangkutan. Regime building merupakan proses negosiasi yang berkelanjutan, dan bukan merupakan sebuah hal yang statis. Post-Agreement Negotiation
merupakan kajian gabungan di bidang negosiasi dan bidang rezim internasional.20
Ada 6 proposisi di dalam Post Agreement Negotiation 21 :
1. Rezim yang bersifat rekursif, dua dimensi (vertikal, horisontal, dan kadang-kadang diagonal) negosiasi bertujuan untuk menyelesaikan masalah internasional, bukan negosiasi tingkat dua seperti dalam ratifikasi perjanjian
2. Rezim mengatur perilaku pihak yang terkait (negara-negara anggota dan warga negara) dengan memaksakan agenda sekaligus melakukan pembenaran norma dan mengatasi kendala yang ada.
3. Pihak-pihak yang berkepentingan akan terus berusaha untuk
menyesuaikan dalam aturan-aturan rezim atau mencari solusi dengan pendekatan mereka untuk menyelesaikan masalah daripada hanya sekedar komplain (atau tidak) terhadap rezim
4. Kesenjangan kekuatan antara pihak-pihak yang terlibat di dalam rezim, perbedaan kepentingan, biaya, akan mempengaruhi jalannya negosiasi dalam post-agreement negotiation
20
Bertram I. Spector & Wiliam I. Zartman, Regimes and Negotiation: An Introduction, dalam buku Getting it Done: Post-Agreement Negotiation and International Regime, ed. Bertram I. Spector & Wiliam I. Zartman (Washington: United States Institute of Peace, 2003) 7.
21
Wiliam I. Zartman, Negotiating the Rapids: The Dynamics of Regime Formation, dalam buku Getting it Done: Post-Agreement Negotiation and International Regime. 14-15.
12 5. Negosiasi rezim berulang kali fokus pada pertanyaan biaya absolut di dalam ketidakpastian, (apakah biaya yang saat ini kita keluarkan lebih baik daripada biaya yang bisa dikeluarkan terhadap ancaman di masa depan) daripada pertanyaan tentang ketidakpastian kerja sama dan keuntungan relatif
6. Stabilitas rezim berfungsi sebagai tingkat kepastian informasi tentang masalah transaksi, tingkat perbedaan dari kepentingan negara yang berpartisipasi dan tingkat harmoni norma saat ini dan harapan yang ada. Rezim dinegosiasikan untuk menyelesaikan masalah transaksi, untuk memenuhi kepentingan negara-negara yang berpartisipasi, agar sesuai norma-norma saat ini dan membangun harapan koheren, dan sebagainya untuk mengatasi oposisi yang muncul saat itu, bertujuan untuk menciptakan rezim yang lebih stabil. Perbedaan dalam memandang masalah, norma, dan harapan oleh pihak-pihak yang terkait dalam rezim internasional membuat stabilitas tersebut jarang terjadi, sehingga memerlukan berulang kali (rekursif) negosiasi untuk menstabilkan formula yang memenuhi kriteria rezim yang stabil.
Rezim Kesehatan Global
Rezim Kesehatan Global sendiri tidak lepas dari Kesehatan Keamanan Global yang fokus pada peningkatan kewaspadaan terhadap wabah penyakit menular secara global, baik itu disebabkan oleh alam maupun buatan manusia, dan itu juga termasuk akan senjata biologis seperti Smallpox, Anthrax, SARS, dan
13 Virus Influenza yang berbahaya. Tujuan Rezim ini untuk memberikan peringatan dini ke seluruh dunia setelah wabah terjadi dan mencegah penyebarannya ke wilayah dunia yang belum tersebar. Untuk mencapainya Rezim Kesehatan Global berinisiatif mengajak bersama berbagai organisasi termasuk agensi kesehatan global, institusi nasional penanganan wabah, beberapa laboratorium penelitian dan beberapa aktor dasar seperti pusat pemberian peringatan dan juga sistem pendistribusian vaksin.
Kesehatan Keamanan Global ini bermula dari munculnya potensi wabah global yang mengancam negara-negara maju, dengan organisasi dan aktor-aktor yang terlibat meliputi agensi nasional sampai internasional di bidang kesehatan, dengan target intervensi pada infrastruktur kesehatan publik di tingkat nasional,
dan berpijak pada prinsip dasar perlindungan diri sendiri di tiap negara.22
D. Argumen Pokok
Ada tiga argumen pokok dalam tulisan ini :
Indonesia melakukan renegosiasi untuk memperjuangkan kepentingan
nasionalnya. Indonesia menuntut kerjasama yang adil dan saling menguntungkan dalam penggunaan virus dan vaksin. Antara pemilik asal virus dengan WHO dan negara-negara industri pembuat vaksin.
22
Andrew Lakoff, Two Regimes of Global Health, Humanity: An International Journal of Human Rights, Humanitarianism, and Development 10.1353/hum.2010.0001 (2010): 59. Di akses pada tanggal 28 November 2012 http://www.humanityjournal.org/humanity-volume-1-issue-1/two-regimes-global-health
14
Perbedaan kekuatan dan kepentingan antar pihak akan mempengaruhi
jalannya negosiasi. Kekuatan disini dimaksudkan sebagai kuasa untuk membentuk maupun mengganggu rezim. Kekuatan bisa menjadi penyumbang masalah atau sebagai solusi.
Adanya two-level game23 dalam negosiasi membuat SFS tidak hanya
bernegosiasi di tingkat internasional tetapi juga menghadapi pemangku kepentingan di tingkat domestik, seperti pihak pemerintah antara lain Presiden, anggota legislatif, Departemen-departemen yang terkait terutama Departemen Kesehatan, dan pihak non pemerintah seperti masyarakat umum dan media massa .
E. Metodologi
Langkah awal untuk melakukan analisa di topik ini adalah menetapkan unit analisa, yaitu yang perilakunya hendak kita deskripsikan, jelaskan dan ramalkan (disebut juga variabel dependen); dan unit eksplanasi, yaitu dampaknya
terhadap unit analisa yang hendak kita amati (disebut juga variabel independen).24
Penelitian ini akan berfokus pada unit analisa tingkat Internasional dengan variabel institusi-institusi kesehatan global seperti WHO dan GISN yang membentuk Rezim Kesehatan Global, dengan unit eksplanasi di tingkat negara yaitu cara Indonesia melakukan renegosiasi terhadap Rezim Kesehatan Global.
23
Lihat Robert D. Putnam. 427-460
24
Mochtar Mas’oed, Ilmu Hubungan Internasional : disiplin dan metodologi, (Jakarta : LP3ES, 1990). 39
15 Artinya penelitian ini bersifat reduksionis, karena tingkat unit eksplanasinya pada tingkat yang lebih rendah dari tingkat analisa.
Pertanyaan riset yang pertama mengenai masalah, dan kepentingan Indonesia dalam renegosiasi aturan mengenai berbagi sampel virus H5N1, akan di jawab secara deskriptif tentang kondisi Indonesia sebagai subyek dalam kajian ini dan posisi yang dimiliki oleh WHO. Sementara di pertanyaan kedua Bagaimana dinamika renegosiasi aturan tentang sampel virus H5N1, akan dijelaskan secara eksplanasi. Data yang akan di dapat berasal dari artikel-artikel di media massa cetak maupun elektronik, jurnal-jurnal internasional, sumber bacaan buku yang relevan dengan topik ini
Penelitian dapat dilakukan dengan meminta kesaksian atau keterangan dari orang lain yang telah mengalami sendiri atau menyelidiki sendiri persoalan itu,
sebagai salah satu sumber data.25 Wawancara langsung kepada Ibu Siti Fadilah
Supari (SFS) di tanggal 24 September 2013, menjadi bentuk kesaksian orang yang terlibat secara langsung di kasus renegosiasi ini. Sebagai tokoh kunci Indonesia dalam penolakan berbagi virus H5N1 dan proses renegosiasi, kesaksian langsung dari SFS adalah data sumber pertama.
F. Organisasi Kepenulisan
Untuk mempermudah dalam pemahaman kajian ini secara baik dan runtut, skripsi ini akan dibagi menjadi empat bab :
25
16
Bab 1 adalah pendahuluan yang terdiri dari: latar belakang;
rumusan masalah; landasan konseptual; gagasan utama;
metodologi; dan organisasi kepenulisan.
Di Bab 2 akan di bahas mengenai pandangan Indonesia mengenai
ketidakadilan dan ketidaktransparanan dalam sistem GISN di WHO; posisi dan kepentingan Indonesia; posisi WHO sebagai rezim kesehatan dan Amerika Serikat, sebagai lawan runding Indonesia.
Di Bab 3 akan menganalisis jalannya renegosiasi lima konsep
negosiasi Roger Fisher: tidak tawar menawar dengan posisi; memisahkan orang dengan masalahnya; kepentingan berbeda dengan posisi; pilihan-pilihan untuk kebaikan bersama; mendorong digunakannya kriteria obyektif.
Bab 4 yang merupakan bab terakhir berisi penutup, akan
mengakhiri skripsi ini dengan memberikan sejumlah kesimpulan dan masukan yang bisa diambil dari kajian kasus ini.