15
BAB II
TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG SHALAT QASHAR DALAM PERJALANAN
A. Ketentuan Umum Tentang Shalat Qashar
1. Pengertian Shalat Qashar
Shalat menurut etimologi berasal dari bahasa Arab ( ) yang berarti do’a. Mohammad Hammam Nasiruddin memberikan definisi shalat menurut bahasa adalah do’a. Sedangkan Syaikh Mohammad Syarbini memberikan definisi “lafadz shalat jamaknya adalah shalawat”, adapun menurut bahasa mempunyai arti do’a.1
Menurut terminologi shalat adalah ibadah yang diwujudkan dengan perbuatan-perbuatan dan tertentu disertai ucapan-ucapan tertentu dimulai dengan takbiratul ikhram dan diakhiri dengan ucapan salam dengan syarat-syarat tertentu.2
Ar-Rofi’i mendefinisikan shalat dalam kitabnya At-Taqrib : shalat menurut syara’ adalah perkataan dan perbuatan yang tertentu diawali dengan
takbir dan diakhiri dengan salam.
Qashar menurut bahasa adalah memendekkan, dan memendekkan atas segala sesuatu yaitu kebalikan dari memanjangkan.
1 Mohammad Hammam Nasiruddin, Fatkhul Qorib, Menara Kudus, hlm. 192
2 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid V, Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1997, hlm. 1536
16
Ibnu Arabi mendefinisikan qashar secara bahasa ada dua yaitu :
1. yang artinya pendek yaitu kebalikan dari
panjang, dan
2. yang artinya secara bahasa yaitu
mengurangi.
Sedangkan shalat qashar menurut syara’ adalah meringkas antara dua shalat, yaitu shalat yang empat rokaat dijadikan dua rokaat dengan membaca al-Fatikhah dan surat.3
2. Dasar Hukum Shalat Qashar
Dalil dilakukan shalat qashar adalah surat an-Nisa’ ayat 101 :
Arinya : ”Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalat, jika kamu takut diserang orang-orang kafir (Q.S an-Nisa’ : 101)4
Dan berdasarkan Hadis Nabi SAW.
3 Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Bairut: Dar Kitab Islamiyah, 595 H, hlm. 357 4Departeman Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara
17
5
Artinya ;”Dan dari Umar bahwa ia berkata: Shalat qashar dua rokaat, shalat Idul Adha dua rokaat, shalat Idul Fitri dua rokaat, dan
shalat jum’at dua rokaat, itu (semuanya) adalah tamam bukan
qashar menurut keterangan dari Nabi Muhammad SAW”.
3. Syarat-Syarat Shalat Qashar
Para Fuqaha’ telah menetapkan bahwa syarat-syarat shalat qashar adalah sebagai berikut :
a. Hendaknya perjalanan yang ditempuh adalah perjalanan jauh dan telah melewati jarak yang diperbolehkan mengqashar shalat.
Para ulama’ berbeda pendapat mengenai jarak yang diperbolehkan mengqashar shalat.
Menurut jumhur ulama’ dua marhalah, menurut Imam Hanafi tiga marhalah, sedangkan menurut madzhab Zhairi tiga mil, (1 marhalah = 24 mil,1 mil = 1,6 km) 1 marhalah6 Karena berdasarkan Hadits ‘Aisyah ra. :
5 Imam Alamah Muhammad, Nailul Authar, Jilid II, Beirut: Dar Kutub Arabi, t. th. hlm.
475
6 Alawi Abbas al-Maliki dan Hasan Sulaiman an-Nuri Ibannatul Ahkam, terj. Bahrun
Abu Bakar, Penjelasan Hukum-Hukum Syari’at Islam, Bandung, Sinar Baru Algensindo, 1994, hlm. 688
18
7
Artinya : “Rasulallah SAW apabila keluar (bepergian) sejauh perjalanan tiga mil atau tiga farsakh, maka beliau shalat dua rokaat”.
Jumhur ulama’ membantah batasan yang ditentukan oleh Hadits ini karena menurut jumhur ulama’ batasan yang disebutkan dalam hadis ini masih diragukan, karenanya tidak dapat dijadikan sebagai hujjah. b. Perjalanan yang ditempuh adalah perjalanan yang diperbolehkan dan
bukan perjalanan yang dilarang.
Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat para ulama’ dimana menurut Imam Malik, Syafi’i dan Ahmad menyatakan bahwa orang yang melakukan perjalanan untuk maksiat tidak boleh melakukan shalat qashar. Ketentuan rukhsah tidak berhubungan dengan maksiat.8 Dalam hal bolehnya makan bangkai misalnya, Allah menyatakan bahwa itu boleh bila tidak dengan dosa dan tidak melampaui batas.
Artinya: “Maka barangsiapa yang terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa. ( Q.S. al-Maidah: 3)9
7 Imam Muslim, Shahih Muslim, Beirut: Dar Kutub Ilmiyah, t.th. hlm. 11
8 Achmad al-Khudhori Sholeh, Fiqih Kontektual, Jakarta: Remaja Rosda Karya, 1998,
hlm. 121
19
Orang yang berbuat dosa dan melampaui batas terhadap hukum-hukum Allah, berarti musuh-Nya. Ia tidak berhak atas rahmat dan tidak ada keringanan baginya, bahkan ia dibenci oleh seluruh alam.
Imam madzhab melarang qashar bagi orang-orang yang berbuat maksiat, karena saat itu Allah murka karena perbuatannya. Dengan mengerjakan shalat secara sempurna diharapkan itu akan meredam kemurkaan-Nya.
Sebagian ulama’ menyatakan ketentuan rukhsah hanya berhubungan dengan perbuatan yang baik, sama sekali bukan untuk orang yang cacat karena maksiat. Ulama’ yang melarang qashar dalam perjalanan maksiat dalam hal ini golongan Syafi’iyah tujuannya untuk mengingatkan kejelekan-kejelekan tersebut agar seseorang mau bertobat. Sebaliknya, ulama’ yang memperbolehkan qashar yaitu ulama’ Hanafiyah karena melihat keluasan dan kemurahan yang diberikan Allah.10
Berbeda dengan pendapat Imam Hanafi yang menyatakan diperbolehkannya qashar untuk perbuatan-perbuatan maksiat, karena perjalanan tersebut menurut Imam Hanafi sama seperti perjalanan untuk berniaga dan sebagainya.11
10 Ahmad al-Khudhori Sholeh, op.cit., hlm. 122 11 Wahbah al-Zuhayli, Al-Fiqh al- Islami, Beirut: Dar al- Fikr, t. th., hlm. 328
20
Imam Hanafi memperbolehkan qashar bagi perjalanan maksiat karena ia berpendapat bahwa apabila ia berlama-lama dihadapan Allah dikhawatirkan justru akan menambah kemurkaan Allah karena perbuatan maksiat tersebut.
c. Tidak boleh berniat akan menetap selama lima belas hari
Jumhur ulama’ mengatakan: apabila musafir berniat tinggal selama empat hari disuatu tempat, maka setelah itu hukum safar (bepergian) telah habis, dan ia harus menyempurnakan shalatnya.
Madzhab Hanafi mengatakan bahwa iqamah yang dapat memutuskan hukum safar ialah iqamah atau tinggal selama lima belas hari di suatu tempat.12
Kalangan madzhab Syafi’i memberi batasan maksimal bagi qashar yaitu delapan belas hari, setelah itu orang yang bersangkutan harus menyempurnakan shalatnya.13
Hadits-hadits yang menerangkan iqamah (tinggal) Rasulallah SAW di Mekkah pada tahun penaklukan kota Makkah masih simpang siur, sebagaimana Hadits berikut:
14
12 Abu Bakar Mas’ud, Kitab Badai’ Shanai’,Beirut: Dar Kutub Ilmiyah, t. th., hlm. 97 13 Alawi Abbas, op. cit.,hlm. 689
21
Artinya:”Dari Ibnu Abbas r.a berkata : “Nabi tinggal selama 19 hari (dengan mengqashar)”.(H.R Bukhari).
Dan hadits Nabi SAW
15
Artinya:”Dari jabir bin Abdillah berkata nabi SAWtinggal dalam perang tabuk selama 20 hari (dengan mengqashar shalatnya) (HR Abu Daud)!
Imam Baihaqi mengatakan “Riwayat yang paling shahih ialah mengatakan sembilan belas hari”.
Imam Haramain dan Imam Baihaqi menggabungkan semua riwayat tersebut. Mereka berpendapat bahwa orang yang mengatakan sembilan belas hari itu karena menghitung hari masuk dan hari keluar. Orang yang mengatakan tujuh belas hari karena membuang hari-hari masuk dan keluar, sedangkan orang yang mengatakan delapan belas hari karena membuang salah satu dari kedua hari tersebut.
Riwayat yang mengatakan dua puluh hari, sanadnya shahih tetapi syadz (menyendiri) karena bertentangan dengan jama’ah. Riwayat yang mengatakan sembilan belas hari lebih kuat, sebab perawinya
14 Imam Zainuddin Ahmad, Muhtashar Shahih Bukhari, Beirut: Dar Kutub Ilmiyah, t.
th., hlm. 133
22
banyak. Sesungguhnya Rasulallah SAW mengqashar shalatnya selama beliau tidak tinggal di Makkah, karena setiap hari beliau ragu antara tinggal dan berangkat. Rasulallah SAW terus menerus mengqashar shalatnya, karena pada prinsipnya beliau masih berada dalam safar yang tidak terhapus kecuali bila berniat tinggal.16
Menurut golongan Dhahiri, qashar bisa dikerjakan untuk setiap bepergian dekat dan jauh, sebab perbedaan pendapat fuqaha ialah adanya perlawanan pada maksud kata bepergian. Sebab seharusnya adanya pengaruh bepergian pada qashar dikarenakan adanya kesukaran dalam bepergian, sama halnya dengan pengaruh bepergian pada puasa.17
Kalau demikian keadaannya, maka qashar hanya bisa dilakukan ketika terjadi kesukaran-kesukaran (masyaqat)
Para ulama’ berbeda pendapat mengenai iqamah atau tinggal yang dapat menghilangkan hukum safar. Menurut jumhur ulama’, niat tinggal selama empat hari, sedangkan menurut Imam Hanafi tiada yang memutuskan hukum safar kecuali niat tinggal selama lima belas hari.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pentasri’an tidak membatasi, baik dalam kitabullah ataupun dalam sunah, mengenai
16 Ibid., hlm. 691
23
masa tinggal yang dapat memutuskan hukum safar secara nash. Karena masalah ini membuka lebar-lebar pintu untuk berijtihad.
d. Hendaklah berniat qashar pada shalat yang dilaksanakannya, apabila tidak maka harus dilakukan dengan sempurna.
Dalam hal niat qashar tersebut terjadi perbedaan pendapat para ulama’, madzhab Maliki mengatakan bahwa niat qashar itu cukup pada permulaan shalat qashar yang dikerjakan dalam perjalanannya, dan tidak harus membaharuinya pada tiap-tiap shalat.
Hanafi dan Syi’ah Imamiyah mengatakan niat qashar itu bukan merupakan syarat dalam wajib qashar, apabila seseorang berniat qashar maka ia wajib shalat sempurna, sebab hukum tidak berubah karena niat dan karena ia telah berniat safar dari permulaan.
e. Tidak boleh bermakmum pada orang mukim.
Apabila dilakukannya juga maka harus mengerjakan shalat dengan sempurna, demikian menurut empat madzhab, namun Syi’ah Imamiyah mengatakan orang yang shalat sempurna boleh bermakmum pada orang yang shalat qashar dan sebaliknya dengan catatan masing-masing melaksanakan kewajibannya sendiri-sendiri.
24
a. Perjalanan tersebut jaraknya tidak mencapai sehari semalam dengan membawa barang yang berat-berat, serta ada kesempatan untuk beristirahat, makan, mandi, shalat dan sebagainya.
b. Melarikan diri (misalnya isteri yang meninggalkan suami tanpa izin dan sebagainya).
c. Mempunyai hutang, serta mampu membayarnya pada waktu yang telah ditentukan tanpa izin dari yang menghutangkan.
d. Berlibur (berdarmawisata) ke negeri lain menurut kaul yang benar. Batas shalat qashar berakhir apabila :
a. Sampai (kembali) ke kampungnya meskipun sekedar melewatinya saja.
b. Tiba disalah satu kampung lain dan ia berniat bermukim di kampung itu.
c. Bermalam selama 4 hari penuh atau ia memperkirakan bahwa keperluannya tidak akan berhasil setiap waktu (misalnya seseorang menagih hutang sementara yang berhutang menjawab sebentar lagi, sebentar lagi) maka ia boleh mengqashar hingga delapan belas hari penuh (sebagaimana Rasulallah SAW dan para sahabatnya setelah menguasai kota Mekah pernah bermalam disana selama delapan
25
belas hari karena menunggu saat menyerbu kaum Hawazin dan mereka shalat seraya terus qashar dan jamak).18
B. Safar Sebagai Rukhshah Shalat
1. Safar dalam perspektif fiqh
Safar menurut etimologi adalah perjalanan (keterbukaan), menurut terminologi safar adalah suatu perjalanan dengan jarak dan tujuan tertentu yang memberi pengaruh terhadap ketentuan suatu hukum.19
Yang dimaksud safar disini bukanlah safar menurut istilah umum, tetapi menurut makna khusus yang dijelaskan dan dibatasi oleh syari’at, safar tidak menghilangkan atau mengurangi kecakapan bertindak seseorang, tetapi mempunyai pengaruh terhadap ketentuan hukum suatu ibadah dari yang berat
(azimah) kepada yang ringan20
Syari’at mempunyai hakikat dan pengertian tersendiri untuk safar, orang yang berbicara tentang agama dan syari’at tidak boleh hanya bersandar pada pengetahuan dan pemahaman belaka, sebab agama Allah tidak bisa dijangkau oleh akal, orang tersebut harus kembali pada sumber agama, syari’at, pengetahuan dan nalar. Adapun sumber-sumber tersebut adalah sebagai berikut: Syari’at membatasi safar yang mewajibkan qashar dan iftar
18 Zainuddin Bin Abdul Aziz, Terj. Fathul Mu,in, Bandung: Sinar Baru Aigensindo, t.
th. hlm. 47
19 Abdul Aziz Dahlan, op. cit., hlm. 1529 20 Ibid
26
dengan jarak saja atau dengan membatasinya dengan waktu dan juga sekaligus dengan jarak dan waktu.21
2. Pandangan Para Ulama Tentang Safar Sebagai Rukhshah
Para ahli fiqih mengemukakan adanya perbedaan mengenai sifat perjalanan yang mempengaruhi ketentuan suatu hukum.
Menurut Imam Ahmad bin Hambali perjalanan yang mempengaruhi ketentuan hukum ialah perjalanan yang bersifat taqarrub (pendekatan diri pada Allah) baik yang diwajibkan ataupun yang disunahkan, Imam Hambali menggunakan praktek Rasulallah SAW sebagai argumentasi, yakni Rasulallah SAW tidak mengqashar shalat, kecuali dalam perjalanan yang bersifat ibadah. Rasulallah SAW tidak mengqashar shalat dalam perjalanan yang bersifat mubah .22
Menurut pendapat lain, yang dikemukakan oleh Imam Malik dan Asy-Syafi’i, qashar shalat dibenarkan karena safar ibahah, bukan safar maksiat, karena perjalanan yang bersifat maksiat tidak memberi pengaruh apa-apa terhadap ketentuan suatu hukum.23 Menurut mereka, secara logika, adanya keringanan (rukhshah) hukum bagi yang sedang bepergian adalah pemberian Allah SWT kepada hamba-Nya.24
21 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Ja’fari, Lentera,1996, hlm. 225-226 22 Abdul Aziz Dahlan, loc. cit.
23 Ibid. hlm. 356
27
Sedang pendapat lain membolehkan qashar didalam safar ibahah, ibadah ataupun maksiat (semua jenis safar) dapat mempengaruhi ketentuan hukum, ia berpegang kepada teks umum dari ayat yang artinya “ Apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalat (mu)...(QS.4. 101),25 pendirian ini disampaikan oleh Imam Hanafi dan pengikutnya ats-Tsauri dan Abu Tsaur.26
Masalah yang tidak dapat diragukan lagi, ialah bahwasanya Allah SWT. Telah mensyari’atkan hukum-hukum safar, sedang Allah SWT. Mengetahui bahwa alat-alat safar berlain lain menurut peredaran masa. Dan Allah SWT. Tidak mensyaratkan qashar dengan suatu macam safar atau dengan sesuatu kendaraan, dan tidak pula mensyaratkan kesukaraan. Allah SWT. Hanya menyebutkan safar saja, yaitu:”berjalan dari tempat kediaman menuju ke tempat yang lain’’. Yang cepat kita pahamkan dari ayat al-Qur’an, ialah: “segala rupa safar jauh atau dekat dapat karenanya diqasharkan dan di jama’, serta dibolehkan berbuka puasa”.27
Sebagai penyebab silang pendapat ini, karena adanya pertentangan antara lahiriyah kata-kata yang bisa ditangkap akal dengan dalil perbuatan Rasulallah SAW.
25 Departemen Agama RI. op. cit., hal. 37 26 Ibnu Rusyd, loc. cit.
27 TM. Hasbi Asy Shiddieqy, Pedoman Shalat, Semarang : Pustaka Riski Putra, cet. IV,
28
Kalangan fuqaha’ yang berpedoman pada perbuatan Rasulallah SAW. tidak membolehkan qashar kecuali bagi orang yang safar karena ibadah, sebab Rasulallah SAW. tidak pernah mengqashar shalat kecuali jika dalam ibadah, sedangkan kalangan fuqaha’ yang membedakan antara safar ibadah dan safar maksiat adalah bermaksud memberi pelajaran, karena permasalahan asalnya adalah apakah rukhshah itu bisa diberikan kepada kelakuan maksiat?
Namun dalam mengantisipasi permasalahan illat rukhshah safar para ahli usul fiqh belum ada kata sepakat, ada sementara ulama’ yang menetapkan
masafah (jarak) sebagai illat rukhshah safar, ada yang mengatakan musafah
dengan masaqat sebagai illat rukhshah safar, bahkan ada yang safar sebagai satu-satunya illat rukhshah safar.
Umat Islam harus memperhatikan agar dapat melaksanakan ibadah dengan baik dan sempurna, dalam sebuah Hadits disebutkan
28
28 Lihat Shahih al-Jami’ as-Shoghir, Juz I, Dar al-Ikhya al Kutub, al Arabiyah,
Indonesia, hlm. 76
29
Artinya :”Sesungguhnya Allah itu senang apabila hukum rukhshah-Nya dilaksanakan, sebagaimana Dia juga benci jika maksiat-Nya dikerjakan”.
Firman Allah dalam al-Qur’an surat al-Baqarah:185
Artinya:”Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu”. (QS.al-Baqarah: 185) 29
Dan adanya keterangan lain dalam kaidah yang diterapkan berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunah yang berbunyi :
Artinya : Keterpaksaan dapat memperbolehkan memperoleh hal-hal yang dilarang.30
Bahwa agama membolehkan kita berbuka atau mengqashar shalat dalam perjalanan, kebolehan kita dalam berbuka atau mengqashar shalat dalam safar menyatakan bahwa agama tidak bermaksud akan menyusahkan kita.
Agama itu tidak menyuruh kita melakukan pekerjaan yang tidak sanggup kita lakukan, keterangan ini menegaskan bahwa apabila kita mengerjakan azimah mengakibatkan kesukaran, dituntut kita menggunakan hukum rukhshah,
29 Departemen Agama. op. cit., hlm. 45
30 Prof. Dr. Abdul Wahhab khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushulul Fiqh),
30
Ada dua macam hukum rukhshah:
a. Rukhshah dalam arti digugurkan hukum yang berat atau sukar yang telah
dikenakan atas umat terdahulu, dan
b. Aqad istihsan yang menyalahi qiyas, seperti: akad salam. Makna istihsan
ialah: tidak diberikan kepada sesuatu hukum yang diberikan kepada yang seumpamanya. 31
31 TM. Hasbi asy Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam,Semarang: Pustaka Rizki Putra,