• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Presiden Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Presiden Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

“Menjadi pemerintahan kelas dunia tahun 2025” adalah visi reformasi birokrasi yang dicanangkan di Indonesia sebagaimana ditetapkan pada Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010 – 2025. Reformasi birokrasi ini dilaksanakan sebagai upaya terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik. Kepercayaan publik pada pemerintah sempat luntur pada era 1998 antara lain disebabkan karena maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme di badan pemerintahan. Dikemukakan Mardiasmo, dkk. (2008: 4) bahwa Indonesia mengalami sebuah fenomena di mana kebutuhan akan tata kelola pemerintahan yang baik meningkat setelah periode 1998 yaitu saat terjadi krisis keuangan Asia. Lebih lanjut dijelaskan bahwa pemerintah pusat mengeluarkan komitmen untuk bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme yang diikuti dengan komitmen untuk perwujudan demokrasi serta desentralisasi pada tahun 1999 dan sepenuhnya dilaksanakan tahun 2001. Peningkatan pelayanan terhadap masyarakat dan peningkatan kinerja pemerintah yang dibingkai dalam reformasi birokrasi menjadi upaya pemerintah dalam mencapai tata kelola pemerintahan yang baik dan mendapatkan kembali kepercayaan masyarakat.

Sasaran reformasi birokrasi di Indonesia sebagaimana dituliskan dalam PP 81 Tahun 2010 antara lain meningkatnya kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi dengan menggunakan dua indikator pengukuran yaitu, indeks efektivitas

(2)

akuntabilitas pemerintah adalah audit dari badan independen yang diakui di Indonesia, yaitu Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI). Hasil audit BPK RI dengan temuan dan opininya dapat dibaca dan diakses oleh masyarakat sehingga transparan dan memudahkan bagi masyarakat yang peduli pada akuntabilitas pemerintah. Sebagaimana diungkapkan Wei (2000: 18), bahwa keterbukaan dapat membawa pemerintahan pada tata kelola yang baik dan mengurangi korupsi.

Salah satu temuan BPK yang dituangkan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Sistem Pengendalian Internal Tahun 2007 adalah penatausahaan dan pengamanan Aset Bekas Milik Asing/Tionghoa (ABMA/T), dahulu disebut Aset Bekas Milik Asing/Cina (ABMA/C), yang dianggap tidak memadai. Pengelolaan aset di Indonesia pada saat itu memang masih memerlukan banyak perbaikan signifikan dan masih berorientasi pada padigma lama. ABMA/T merupakan bagian kecil dari aset yang dikuasai Negara. Aset ini tadinya dimiliki organisasi terlarang Cina/Tionghoa saat perang kemerdekaan yang kemudian disita oleh Penguasa Perang Pusat di kala itu. Walaupun saat ini penguasaannya ada pada pemerintah namun dalam penggunaannya aset-aset ini banyak yang belum diinventarisasi dan belum diselesaikan penetapan status kepemilikannya.

Sebagaimana dicantumkan dalam Pemantauan Tindak Lanjut Atas Hasil pemeriksaan LKPP yang dikeluarkan oleh BPK RI, pemerintah melalui Kementerian Keuangan selaku pengelola aset Negara telah melakukan upaya-upaya dalam menindaklanjuti sehingga hal ini tidak menjadi temuan berulang pada tahun berikutnya. Dent (2007: 226), mengemukakan bahwa banyak pihak

(3)

berwenang gagal untuk menyimpan catatan komprehensif mengenai kepemilikan. Informasi detail yang memadai di seluruh portofolio adalah prioritas pertama untuk melakukan pendekatan aktif untuk pengelolaan aset. Hal ini kemudian harus didukung oleh cara yang efisien untuk mengakses informasi tersebut.

Peraturan terkait penyelesaian status hak ABMA/T telah disusun dan dilaksanakan, inventarisasi ABMA/T juga terus dilakukan, tim penyelesaian pun telah dibentuk, dan sistem informasi ABMA/T telah disusun. Namun demikian, hingga saat ini masih terdapat aset yang belum ditetapkan status haknya karena banyaknya dinamika di lapangan. Penyelesaian ABMA/T ini dapat dikatakan sebagai permasalahan yang sensitif karena menyangkut penetapan status aset yang mayoritas selama ini telah ditempati dan dimanfaatkan oleh pihak ketiga. Sejalan dengan hasil penelitian Mangioni (2010: 93), yang antara lain menyebutkan bahwa penyelesaian status atas aset publik kadang dilihat sebagai ancaman terhadap kepemilikan tanah dan hak milik pribadi. Selain itu, kompensasi atas aset dinilai kurang memadai bagi pihak masyarakat yang memiliki properti.

Untuk menunjang keberlangsungan kegiatan yang selama ini telah dijalankan, pihak-pihak yang selama ini menempati dan memanfaatkan ABMA/T tentu berupaya memilikinya secara sah. O’Sullivan (2009: 346), menyebutkan bahwa biaya perpindahan lokasi adalah substansial, karena selain menyangkut biaya fisik seperti mencari lokasi baru yang cocok, perabotan, dan sebagainya, juga mencakup biaya lain terkait lingkungan yang sudah familiar sehingga merubah pola pengeluaran dan merubah kondisi sosial. Apabila memungkinkan, pembayaran kompensasi kepada Negara dapat dilakukan untuk peralihan hak atas

(4)

aset. Besarnya kompensasi dihitung dari nilai aset. Nilai aset diestimasi dengan proses penilaian.

Penerapan teknik dan metode penilaian dengan tepat dan baik sangat diperlukan dalam menghasilkan estimasi nilai pasar, yang dalam hal ini menjadi dasar penghitungan kompensasi dari pihak ketiga pada negara atas kepemilikan aset. Undervalue atas aset ini akan menyebabkan potensi kerugian negara, sedangkan overvalue mengarah pada ketidaksediaan pihak ketiga dalam membayar kompensasi, mengingat prinsip substitusi dalam penilaian, yaitu seseorang tidak akan bersedia untuk membayar suatu barang yang memiliki utilitas sama dengan barang lain dengan harga yang lebih tinggi. Kepentingan pemerintah dalam menertibkan ABMA/T dan kebutuhan pihak ketiga untuk memiliki tanah dan bangunan sebagai kantor diharapkan dapat bersinergi untuk penyelesaian ABMA/T menuju tata kelola pemerintah yang baik. Penyelesaian ini juga sekaligus dapat memberi kontribusi pada penerimaan Negara melalui pembayaran kompensasi pihak ketiga atas peralihan hak.

Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK) 2014 menyebutkan bahwa jumlah ABMA/C adalah sebanyak 1.010 aset dengan temuan baru sebanyak 5 aset. Dari jumlah tersebut, sebanyak 59 aset tersebar di 19 kabupaten dan kota wilayah kerja Tim Asistensi Daerah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Kabupaten Kebumen memiliki 10 aset dengan peta penyelesaian sebanyak 6 aset ditempati pihak ketiga dan sisanya digunakan oleh pemerintah. Dari 6 aset tersebut belum satupun dikompensasikan. Salah satu aset yang sudah siap untuk proses kompensasi adalah Gedung Eks Baperki. Dikatakan siap dalam artian telah

(5)

memenuhi syarat untuk dikompensasikan sebagaimana diatur dalam PMK 31/PMK.06/2015. Syarat dimaksud antara lain, pihak ketiga telah mengajukan permohonan peralihan hak atas aset disertai dengan bukti bahwa telah menempati/ menghuni/menggunakan aset secara terus menerus paling singkat 5 tahun. Permohonan tersebut dilengkapi dengan surat pernyataan bahwa pihak ketiga bukan merupakan reinkarnasi/penerus/onderbouw dari organisasi/perkumpulan/ yayasan terlarang/eksklusif rasial dari instansi yang berwenang dan pernyataan kesediaan membayar kompensasi ke kas Negara.

Penilaian menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari penyelesaian ABMA/T yang akan dikompensasikan atau dialihkan haknya pada pihak ketiga. Urgensi penyelesaian ABMA/T untuk akuntabilitas dan tata kelola aset yang baik dengan fakta bahwa penyelesaian aset yang akan dialihkan haknya pada pihak ketiga masih belum seperti yang diharapkan, menjadi latar belakang penelitian ini dilakukan.

Mahfud (2013), menyebutkan bahwa di kota Makassar, tanah yang dulunya dikuasai asing saat ini banyak dikuasai secara fisik oleh pemerintah daerah maupun masyarakat namun belum disertifikatkan. Hal ini disebabkan karena penguasaan yuridis aset tersebut ada pada Menteri Keuangan selaku pengelola barang milik Negara. Tidak memadainya inventarisasi dan ketidakjelasan status hak aset bekas milik asing inilah yang menjadi temuan BPK.

Nur, dkk. (2013) menyebutkan bahwa kendala penyertifikatan aset bekas milik asing salah satunya adalah kendala peraturan perundang-undangan. Saat ini, tata cara penyelesaian status hak atas ABMA/T telah diatur dengan Peraturan

(6)

Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 31/PMK.06/2015 tentang Penyelesaian Aset Bekas Milik Asing/Tionghoa. Namun demikian peraturan ini belum banyak diketahui oleh pihak ketiga yang selama ini menempati, merawat, dan memanfaatkan ABMA/T sehingga menimbulkan banyak pertanyaan ketika pihak ketiga ingin memiliki aset secara sah. Catatan atas Laporan Keuangan pada Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2014 menyebutkan bahwa sampai dengan saat ini terdapat 1.010 ABMA/T yang telah terinventarisir, namun pada tahun 2014 baru diselesaikan sebanyak 51 aset dengan komposisi 50 aset ditetapkan statusnya menjadi BMN atau BMD dan 1 aset dikompensasikan dengan pihak ketiga.

Gedung Eks Baperki yang merupakan aset negara namun sejak tahun 1973 ditempati oleh pihak ketiga. Hal ini menjadikan aset tersebut tidak free and clear dan berpengaruh terhadap optimalisasi pemanfaatannya.

1.2 Rumusan Masalah

Manajemen ABMA/T belum optimal, ditandai dengan adanya temuan BPK pada tahun 2007. Sistem dan prosedur peralihan hak ABMA/T berupa Gedung Eks Baperki belum banyak diketahui dan belum dipahami oleh pihak ketiga yang menempatinya. Upaya penyelesaian status hak yang telah dilakukan pihak ketiga melalui kelurahan dan BPN mengalami jalan buntu karena tidak dilakukan sesuai aturan yang mengatur mengenai ABMA/T.

(7)

1. Bagaimana sistem dan prosedur peralihan hak atas Gedung Eks Baperki yang beralamatkan di Jalan A. Yani Nomor 33 Kabupaten Kebumen Provinsi Jawa Tengah terkait statusnya yang termasuk dalam daftar ABMA/T?

2. Bagaimana mengestimasi nilai aset gedung tersebut?

3. Bagaimana penghitungan kompensasi pihak ketiga pada Negara atas peralihan hak Gedung Eks Baperki tersebut?

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini diuraikan sebagai berikut.

1. Mengkaji sistem dan prosedur pelepasan penguasaan ABMA/T dari Negara kepada pihak ketiga dengan cara pembayaran kompensasi kepada kas Negara.

2. Mengestimasi nilai Gedung Eks Baperki dengan pendekatan penilaian yang relevan.

3. Menghitung kompensasi yang dibayarkan oleh pihak ketiga pada Negara atas peralihan hak ABMA/T sesuai aturan yang berlaku.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat ditawarkan dalam penelitian mendatang antara lain: 1. memberikan penjabaran mengenai latar belakang dan dasar hukum

penyelesaian ABMA/T bagi masyarakat khususnya pihak yang menempati dan memanfaatkan aset;

(8)

2. memberikan informasi estimasi nilai Gedung Eks Baperki yang termasuk dalam kategori ABMA/T yang dapat menjadi rekomendasi baik bagi pemerintah dan pihak ketiga;

3. memberikan informasi atas cara perhitungan dan besarnya kompensasi yang nantinya dibayarkan apabila ABMA/T dilepaskan untuk pihak ketiga; 4. meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa penyelesaian ABMA/T dapat

dilakukan dengan kerja sama dan sinergi pemerintah maupun masyarakat yang mengetahui atau menempati ABMA/T untuk tercapainya kepastian hukum atas aset dan tercapainya tata kelola pemerintahan yang baik;

5. penyelesaian ABMA/T ini dapat merealisasikan potensi penerimaan Negara berupa kompensasi dan pajak atas properti;

6. memberikan kesempatan pada peneliti selanjutnya terkait penyelesaian maupun penilaian ABMA/T.

1.6 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan mengacu pada Buku Panduan Tesis dan Antiplagiarisme yang dikeluarkan oleh Magister Ekonomika Pembangunan tahun 2014. Namun demikian, penyesuaian terhadap beberapa subbab telah dilakukan untuk menyesuaikan dengan jenis dan desain penelitian. Tesis ini terdiri dari 5 bab, dimulai dengan pendahuluan, kemudian bab kedua adalah landasan teori, dilanjutkan bab ketiga metode penelitian, bab keempat analisis, dan bab terakhir simpulan dan saran. Bab I, yaitu Pendahuluan, terdiri dari 6 subbab, antara lain latar belakang, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian,

(9)

dari tiga subbab antara lain, landasan teori, keaslian penelitian, dan kerangka penelitian. Bab III, Metode Penelitian, terdiri dari 4 subbab, yaitu desain penelitian, metode pengumpulan data, definisi operasional, dan metode analisis data. Bab IV, Analisis, terdiri dari 2 subbab yaitu deskripsi data, dan pembahasan. Bab V yakni Simpulan dan Saran terdiri dari 4 subbab antara lain, simpulan, implikasi, keterbatasan, dan saran.

Referensi

Dokumen terkait

Persyaratan dan metode untuk menentukan f ya dijabarkan sebagai berikut: a Untuk komponen struktur tekan yang menerima beban aksial dan komponen struktur lentur dengan nilai 

Tingkat radiasi terbanyak yang didapatkan pada 35 jenis laptop pada penelitian ini adalah 0,01-0,10 µT.Keluhan kesehatan terbanyak yang di dapatkan pada

Kereaktifan dari zat warna reaktif panas Drimarene sistim reaktif trikloropirimidin ter- sebut dapat dilihat melalui kinetika laju reaksi pada mekanisme proses pencelupan-nya

Dari sisi belanja, realisasi belanja yang dilakukan pemerintah Kabupaten Tanah Laut pada tahun 2010 adalah sebesar 548.606 milyar rupiah yang terdiri dari:

(2013) bahwa semakin banyak zat pektin maka akan semakin tinggi tingkat kejenuhan, sehingga konsentrasi Cu yang terdapat pada perlakuan tidak menunjukkan penurunan

Tim Penanganan Pengaduan Masyarakat pada Pelayanan Terpadu Satu Pintu sebagaimana dimaksud pada diktum KESATU berada dibawah dan bertanggungjawab kepada Kepala BPTSP Provinsi

Begitu juga dengan sifat-sifat yang telah disepakati atau kesesuaian produk untuk aplikasi tertentu tidak dapat disimpulkan dari data yang ada dalam Lembaran Data Keselamatan

Terhadap berbagai upaya yang bisa dilakukan dalam mewujudkan pelokalan kebijakan HAM di daerah sebagaimana telah disebutkan di atas, maka terhadap perlindungan, pemajuan,