LAPORAN PENDAHULUAN BURST (FRAKTUR TULANG BELAKANG)
DI RUANG PERAWATAN KENANGA (ORTHOPEDI) BLUD RSUD ULIN BANJARMASIN
Disusun untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan stage
Keperawatan Medikal Bedah
Di RSUD ULIN
Disusun Oleh
ERWIN RAMADHANI PRATAMA PUTRA S.KEP
14.NS.027
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SARI MULIA
LAPORAN PENDAHULUAN FRAKTUR TULANG BELAKANG
A. Anatomi – Fisiologi
Vertebra merupakan tulang tak beraturan yang membentuk punggung dan mudah digerakan. Fungsinya yaitu menahan kepala dan anggota tubuh yang lain, melindungi organ-organ vital, sebagai tempat melekatnya tulang iga dan tulang panggul, serta menentukan sikap tubuh.
Kolumna vertebralis dibentuk oleh 33 vertebrae (cervical 7, thorakal 12, lumbal 5, sacral 5 dan coccygeus 4).
Setiap vertebra terdiri dari: 1. Corpus/body
2. Pedikel
3. Prosessus artikularis superior dan inferior 4. Prosessus transversus
5. Prosessus spinosus
Diantara vertebra ditemui diskus intervertebralis (Jaringan fibrokartillagenous), yang berfungsi sebagai shock absorber. Dikus ini terdiri dan bagian:
a. Luar: jaringan fibrokartillago yang disebut anulus fibrosus. b. Dalam: cair yang disebut nukleus pulposus.
Pada setiap vertebra ada 4 jaringan ikat sekitarnya:
Lig longitudinale anterior (membatasi gerakan ektensi). Lig longitudinale posterior (membatasi gerakan fleksi). Lig kapsulare, antara proc sup dan inferior.
Lig intertransversale.
Lig flava (yellow hg) diantara 2 laminae. Lig supra dan interspinosus.
Di dalam susunan tulang tersebut terangkai pula rangkaian syaraf-syaraf, yang bila terjadi cedera di tulang belakang maka akan mempengaruhi syaraf-syaraf tersebut (Mansjoer, Arif, et al. 2000).
B. Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai dengan jenis dan luasnya. Faktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya. Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan putir, mendadak bahkan kontraksi otot ekstrem. Meskipun tulang patah, jaringan sekitarnya juga akan terpengaruh, mengakibatkan edema jaringan lunak, perdarahan ke otot dan sendi, dislokasi sendi, rupture tendo, kerusakan saraf dan kerusakan pembuluh darah. (Brunner and Suddarth, 2001).
Fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang. Gejala – gejala fraktur tergantung pada sisi, beratnya dan jumlah kerusakan pada struktur lain, biasanya terjadi pada orang dewasa laki-laki yang disebabkan oleh kecelakaan, jatuh, dan perilaku kekerasan. (Marilyn, E. Doengoes, 1999).
Cidera tulang belakang adalah cidera mengenai cervicalis, vertebralis dan lumbalis akibat trauma ; jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas, kecelakakan olah raga dsb yang dapat menyebabkan fraktur atau pergeseran satu atau lebih tulang vertebra sehingga mengakibatkan defisit neurologi ( Sjamsuhidayat, 1997).
C. Etiologi
1. Kecelakaan lalu lintas
2. Kompresi atau tekanan pada tulang belakang akibat jatuh dari ketinggian
3. Kecelakaan sebab olah raga (penunggang kuda, pemain sepak bola, penyelam, dll) 4. Luka jejas, tajam, tembak pada daerah vertebra
5. Gangguan spinal bawaan atau cacat sejak kecil atau kondisi patologis yang menimbulkan penyakit tulang atau melemahnya tulang. (Harsono, 2000).
D. Patofisologi
Tulang belakang yang mengalami gangguan trauma (kecelakaan mobil, jatuh dari ketinggian, cedera olahraga, dll) atau penyakit (Transverse Myelitis, Polio, Spina Bifida, Friedreich dari ataxia, dll) dapat menyebabkan kerusakan pada medulla spinalis, tetapi lesi traumatic pada medulla spinalis tidak selalu terjadi karena fraktur dan dislokasi. Efek trauma yang tidak langsung bersangkutan tetapi dapat menimbulkan lesi pada medulla spinalis disebut “whiplash”/trauma indirek. Whiplash adalah gerakan dorsapleksi dan anterofleksi berlebihan dari tulang belakang secara cepat dan mendadak.
Trauma whiplash terjadi pada tulang belakang bagian servikalis bawah maupun torakalis bawah misal; pada waktu duduk dikendaraan yang sedang berjalan cepat kemudian berhenti secara mendadak, atau pada waktu terjun dari jarak tinggi, menyelam yang dapat mengakibatkan paraplegia.
Trauma tidak langsung dari tulang belakang berupa hiperekstensi, hiperfleksi, tekanan vertical (terutama pada T.12sampai L.2), rotasi. Kerusakan yang dialami medulla spinalis dapat bersifat sementara atau menetap.Akibat trauma terhadap tulang belakang, medula spinalis dapat tidak berfungsi untuk sementara (komosio medulla spinalis), tetapi dapat sembuh kembali dalam beberapa hari. Gejala yang ditimbulkan adalah berupa oedema, perdarahan peri vaskuler dan infark disekitar pembuluh darah. Pada kerusakan medulla spinalis yang menetap, secara makroskopis kelainannya dapat terlihat dan terjadi lesi, contusio, laserasio dan pembengkakan daerah tertentu di medulla spinalis.
Laserasi medulla spinalis merupakan lesi berat akibat trauma tulang belakang secara langsung karena tertutup atau peluru yang dapat mematahkan /menggeserkan ruas tulang belakang (fraktur dan dislokasi). Lesi transversa medulla spinalis tergantung pada segmen yang terkena (segmen transversa, hemitransversa, kuadran transversa). Hematomielia
adalah perdarahan dlam medulla spinalis yang berbentuk lonjong dan bertempat disubstansia grisea.trauma ini bersifat “whiplash “ yaitu jatuh dari jarak tinggi dengan sifat badan berdiri, jatuh terduduk, terdampar eksplosi atau fraktur dislokasio.kompresi medulla spinalis terjadi karena dislokasi, medulla spinalis dapat terjepit oleh penyempitan kanalis vertebralis.
Suatu segmen medulla spinalis dapat tertekan oleh hematoma ekstra meduler traumatic dan dapat juga tertekan oleh kepingan tulang yang patah yang terselip diantara duramater dan kolumna vertebralis.gejala yang didapat sama dengan sindroma kompresi medulla spinalis akibat tumor, kista dan abses didalam kanalis vertebralis.
Akibat hiperekstensi dislokasio, fraktur dan whislap radiks saraf spinalis dapat tertarik dan mengalami jejas/reksis.pada trauma whislap, radiks colmna 5-7 dapat mengalami hal demikian, dan gejala yang terjadi adalah nyeri radikuler spontan yang bersifat hiperpatia, gambaran tersbut disebut hematorasis atau neuralgia radikularis traumatik yang reversible. Jika radiks terputus akibat trauma tulang belakang, maka gejala defisit sensorik dan motorik yang terlihat adalah radikuler dengan terputusnya arteri radikuler terutama radiks T.8 atau T.9 yang akan menimbulkan defisit sensorik motorik pada dermatoma dan miotoma yang bersangkutan dan sindroma sistema aaanastomosis anterial anterior spinal.
E. PATWAY
F. Manifestasi Klinis
Gambaran klinik tergantung pada lokasi dan besarnya kerusakan yang terjadi.kerusakan, gambaran berupa hilangnya fungsi motorik maupun sensorik kaudal dari tempat kerusakan disertai shock spinal.Sshock spinal terjadi pada kerusakan mendadak sumsum tulang belakang karena hilangnya rangsang yang berasal dari pusat. Peristiwa ini umumnya berlangsung selama 1-6 minggu, kadang lebih lama. Tandanya adalah kelumpuhan flasid, anastesia, refleksi, hilangnya fersfirasi, gangguan fungsi rectum dan kandung kemih, triafismus, bradikardia dan hipotensi. Setelah shock spinal pulih kembali,
akan terdapat hiperrefleksi terlihat pula pada tanda gangguan fungsi otonom, berupa kulit kering karena tidak berkeringat dan hipotensi ortostatik serta gangguan fungsi kandung kemih dan gangguan defekasi (Price &Wilson (1995).
Sindrom sumsum belakang bagian depan menunjukkan kelumpuhan otot lurik dibawah tempat kerusakan disertai hilangnya rasa nyeri dan suhu pada kedua sisinya, sedangkan rasa raba dan posisi tidak terganggu (Price &Wilson (1995).
Cedera sumsum belakang sentral jarang ditemukan.keadaan ini pada umumnnya terjadi akibat cedera didaerah servikal dan disebabkan oleh hiperekstensi mendadak sehinnga sumsum belakang terdesak dari dorsal oleh ligamentum flavum yang terlipat.cedera tersebut dapat terjadi pada orang yang memikul barang berat diatas kepala, kemudian terjadi gangguan keseimbangan yang mendadak sehingga beban jatuh dsan tulang belakang sekonyong-konyong dihiper ekstensi. Gambaran klinik berupa tetraparese parsial. Gangguan pada ekstremitas atas lebih ringan daripada ekstremitas atas sedangkan daerah perianal tidak terganggu (Aston. J.N, 1998).
Kerusakan tulang belakang setinggi vertebra lumbal 1&2 mengakibatkan anaestesia perianal, gangguan fungsi defekasi, miksi, impotensi serta hilangnya refleks anal dan refleks bulbokafernosa (Aston. J.N, 1998).
G. Fase Penyembuhan Tulang 1. Tahap pembentukan hematom
Dalam 24 jam pertama mulai terbentuk bekuan darah dan fibrin yang masuk kearea fraktur. Suplai darah meningkat, terbentuklah hematom yang berkembang menjadi jaringan granulasi sampai hari kelima.
2. Tahap proliferasi
Dalam waktu sekitar 5 hari , hematom akan mengalami organisasi. Terbentuk benang-benang fibrin dalam jendalan darah, membentuk jaringan untuk revaskularisasi dan invasi fibroblast dan osteoblast yang akan menhasilkan kolagen dan proteoglikan sebagai matriks kolagen pada patahan tulang. Terbentuk jaringan ikat fibrus dan tulang rawan.
3. Tahap pembentukan kalus
Pertumbuhan jaringan berlanjut dan lingkaran tulang rawan tumbuh mencapai sisi lain sampai celah terhubungkan. Fragmen patahan tulang digabungkan dengan jaringan fibrus, tulang rawan dan tulang serat imatur. Perlu waktu 3-4 minggu agar frakmen tulang tergabung dalam tulang rawan atau jaringan fibrus
4. Osifikasi
Pembentukan kalus mulai mengalami penulangan dalam 2-3 minggu patah tulang melalaui proses penulangan endokondrial. Mineral terus menerus ditimbun sampai tulang benar-benar bersatu. Proses ini memerlukan waktu 3-4 bulan.
5. Konsolidasi (6-8 bulan) dan Remodeling (6-12 bulan)
Tahap akhir dari perbaikan patah tulang. Dengan aktifitas osteoblas dan osteoclas, kalus mengalami pembentukan tulang sesuai aslinya.
H. Pemeriksaan Penunjang
1. Sinar x spinal : menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur atau dislok) 2. CT scan : untuk menentukan tempat luka/jejas
3. MRI : untuk mengidentifikasi kerusakan syaraf spinal 4. Foto rongent thorak : mengetahui keadaan paru
5. AGD : menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi (Tucker,Susan Martin . 1998)
I. Penatalaksanaan Medis
1. Penanganan Cedera Akut Tanpa Gangguan Neorologis
Penderita dengan diagnose cervical sprain derajat I dan II yang sering karena “wishplash Injury” yang dengan foto AP tidak tampak kelainan sebaiknya dilakukan pemasangan culiur brace untuk 6 minggu. Selanjutnya sesudah 3-6 minggu post trauma dibuat foto untuk melihat adanya chronik instability.
Kriteria radiologis untuk melihat adanya instability adalah: a. Dislokasi feset >50%
b. Loss of paralelisine dan feset.
c. Vertebral body angle > 11 derajat path fleksi.
d. ADI (atlanto dental interval) melebar 3,5-5 mm (dewasa- anak)
e. Pelebaran body mas CI terhadap corpus cervical II (axis) > 7 mm pada foto AP Pada dasarnya bila terdapat dislokasi sebaiknya dikerjakan emergensi closed reduction dengan atau tanpa anestesi. Sebaiknya tanpa anestesi karena masih ada kontrol dan otot leher. Harus diingat bahwa reposisi pada cervical adalah mengembalikan keposisi anatomis secepat mungkin untuk mencegah kerusakan spinal cord.
2. Penanganan Cedera dengan Gangguan Neorologis
Patah tulang belakang dengan gangguan neorologis komplit, tindakan pembedahan terutama ditujukan untuk memudahkan perawatan dengan tujuan supaya dapat segera diimobilisasikan. Pembedahan dikerjakan jika keadaan umum penderita sudah baik lebih kurang 24-48 jam. Tindakan pembedahan setelah 6-8 jam akan memperjelek defisit neorologis karena dalam 24 jam pertama pengaruh hemodinamik pada spinal masih sangat tidak stabil. Prognosa pasca bedah tergantung komplit atau tidaknya transeksi medula spinalis.
J. Komplikasi (Mansjoer, Arif, et al. 2000).
1. Syok hipovolemik akibat perdarahan dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak sehingga terjadi kehilangan darah dalam jumlah besar akibat trauma.
2. Mal union, gerakan ujung patahan akibat imobilisasi yang jelek menyebabkan mal union, sebab-sebab lainnya adalah infeksi dari jaringan lunak yang terjepit diantara fragmen tulang, akhirnya ujung patahan dapat saling beradaptasi dan membentuk sendi palsu dengan sedikit gerakan (non union).
3. Non union adalah jika tulang tidak menyambung dalam waktu 20 minggu. Hal ini diakibatkan oleh reduksi yang kurang memadai.
4. Delayed union adalah penyembuhan fraktur yang terus berlangsung dalam waktu lama dari proses penyembuhan fraktur.
5. Tromboemboli, infeksi, kaogulopati intravaskuler diseminata (KID). Infeksi terjadi karena adanya kontaminasi kuman pada fraktur terbuka atau pada saat pembedahan dan mungkin pula disebabkan oleh pemasangan alat seperti plate, paku pada fraktur.
6. Emboli lemak Saat fraktur, globula lemak masuk ke dalam darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler. Globula lemak akan bergabung dengan trombosit dan membentuk emboli yang kemudian menyumbat pembuluh darah kecil, yang memasok ke otak, paru, ginjal, dan organ lain.
7. Sindrom Kompartemen
Masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Berakibat kehilangan fungsi ekstermitas permanen jika tidak ditangani segera.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA FRAKTUR TULANG BELAKANG
A. Anamnesa
1. Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.
2. Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor presipitasi nyeri.
Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti
kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik (Ignatavicius, Donna D, 1995).
6. Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat (Ignatavicius, Donna D, 1995).
7. Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak.(Ignatavicius, Donna D,1995).
8. Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
9. Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak.
10. Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur (Doengos. Marilynn E, 2002).
11. Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
12. Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap (Ignatavicius, Donna D, 1995).
13. Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image) (Ignatavicius, Donna D, 1995).
14. Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur (Ignatavicius, Donna D, 1995).
15. Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya (Ignatavicius, Donna D, 1995).
B. Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat
melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam.
1. Gambaran Umum
Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti:
a. Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada keadaan klien.
b. Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.
c. Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk.
2. Secara sistemik dari kepala sampai kelamin a. Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.
b. Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
c. Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada. d. Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
e. Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak terjadi perdarahan)
f. Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan. g. Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung. h. Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
i. Thoraks
j. Paru Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama. Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya. Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
k. Jantung Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung. Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba. Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur. l. Abdomen
Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia. Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan. Auskultasi
Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit. Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
m. Genetalia
C. PERENCANAAN
DIAGNOSA KEPERAWATAN TUJUAN (NOC) INTERVENSI (NIC) Hambatan mobilitas fisik b.d
ganggun musculoskeletal
Menunjukkan tingkat mobilitas, ditandai dengan indikator berikut (ketergantungan(tidak
berpartisipasi), membutuhkan bantuan orang lain dan alat, membutuhkan bantuan orang lain, mandiri dengan pertolongan alat bantu, atau mandiri penuh)
Tujuan/Kriteria Hasil:
Pasien akan meminta bantuan untuk aktivitas mobilisasi, jika diperlukan
Terapi aktivitas, ambulasi : meningkatkan dan membantu berjalan untuk mempertahankan atau memperbaiki fungsi tubuh volunter dan autonom selama perawatan serta pemulihan dari sakit atau cedera
Perubahan posisi : memindahkan pasien atau bagian tubuh untuk memberikan kenyamanan, menurunkan risiko kerusakan kulit, mendukung integritas kulit, dan meningkatkan penyembuhan
Aktivitas Keperawatan:
1. Ajarkan dan bantu pasien dalam proses perpindahan
Rasional : Dengan mengajarkan hal itu pasien akan meningkat kesembuhannya
2. Berikan penguatan positif selama aktivitas
Rasional : Dengan penguatan positif pasien akan lebih mempunyai
dorongan untuk beraktivitas
3. Ajarkan pasien bagaimana
menggunakan postur dan mekanika tubuh yang benar saat melakukan aktivitas Rasional : Dengan mengajarkan hal itu dapat menambah pengetahuan pasien tentang perpindahan yang benar
4. Kaji kebutuhan pasien akan pendidikan kesehatan
Rasional : Dengan pengkajian itu dapat mengetahui kemampuan pasien tentang kesehatan
5. Awasi seluruh kegiatan mobilisasi dan bantu pasien, jika diperlukan Rasional : Agar tidak terjadi cedera pada pasien
6. Dukung latihan ROM aktif
Rasional : dengan latihan itu mempercepat kesembuhan pasien khususnya dalam
pergerakan sendi
7. Ubah posisi pasien yang imobilisasi minimal 2 jam, berdasarkan jadwal spesifik
Rasional : membuat pasien nyaman dengan perubahan posisi
Nyeri akut/kronis b.d agen cidera: fisik
Tingkat kenyamanan perasaan senang secara fisik & psikologis
Prilaku mengendalikan nyeri
Nyeri: efek merusak terhadap emosi dan prilaku yang diamati Tingkat nyeri: jumlah nyeri
yang dilaporkan Kriteria evaluasi:
1. Menunjukkan nyeri efek merusak dengan skala 1-5: ekstrim, berat, sedang, ringan, atau tidak ada
2. Menunjukkan teknik relaksasi secara individu yang efektif
3. Mengenali factor
penyebab dan
menggunakan tindakan untuk mencegah nyeri.
1. Pemberian analgesik 2. Sedasi sadar
Penatalaksanaan nyeri
Bantuan Analgesika yang Dikendalikan oleh Pasien Aktivitas keperawatan:
Minta pasien untuk menilai nyeri/ketidak nyamanan pada skala 0 sampai 5
Lakukan pengkajian nyeri yang komprehensif Observasi isyarat ketidak
nyamanan nonverbal
Intoleran aktivitas b.d imobilitas
klien mentoleransikan aktivitas yang biasa dilakukan dan ditunjukkan dengan daya
- Terapi Aktivitas - Pengelolaan energi Aktivitas keperawatan:
tahan penghimatan energi, dan perawatan diri,
kritria evaluasi: 1. mengedentivikasikan aktivitas/situasi yang menimbulkan kecemasan 2. mengungkap secara verbal pemahaman tentang kebutuhan oksigen,pengubatan dan perawatan yang dapat meningkatkan aktivitas 3. menampilkan aktivitas
kehehidupan sehari-hari(AKS)&beberapa bantuan
1. Kaji respon,sosial dan spritual terhadap aktivitas
2. Tentukan penyebab keletihan
3. pantau pola istirahat klien dan lamanya waktu tidur
4. Kaloborasikan dengan ahli okupasi,fisik atau rekreasi untuk merencenakan dan memantau
aktivitas,sesuai dengan kebutuhan.
Defisit perawatan diri Perawatan diri : aktivitas kehidupan sehari-hari: kemampuan untuk melakukan tugas fisik paling dasar dan aktivitas perawatan pribadi Personal hygiene : kemampuan untuk mempertahankan hygnie dirinya
Tujuan/Kriteria Hasil:
- Menerima bantuan /
perawatan total dari
pemberi perawatan
- Mengungkapkan
secara
verbal
kepuasan
tentang
kebersihan tubuh dan
Mandi
:membersihkan
tubuh berguna untuk
relaksasi, kebersihan dan
penyembuhan
Bantuan perawatan diri,
mandi/hygine : membantu
pasien untk memenuhi
hygine pribadi
Aktivitas Keperawatan
- Kaji kemampuan untuk
menggunakan alat
bantu
R: pasien dapat ber
mobilitas
- Kaji kondisi kulit saat
mandI
R: agar pasien terlihat
segar
hygine mulut.
- Mempertahankan
mobilitas
yang
diperlukan
untuk
kekamar
mandi
menyediakan
perlengkapan mandi
Ajarkan
pasien/
keluarga penggunaan
metode alternatif untuk
mandi dan hygine
mulut
R: dibantu keluarga/
perawat
utk
memandikan/ diseka
DAFTAR PUSTAKAHudak and Gallo, (1994), Critical Care Nursing, A Holistic Approach, JB Lippincott company, Philadelpia.
Marilynn E Doengoes, et all, alih bahasa Kariasa IM, (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien, EGC, Jakarta. Reksoprodjo Soelarto, (1995), Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, Binarupa Aksara, Jakarta.
Suddarth Doris Smith, (1991), The lippincott Manual of Nursing Practice, fifth edition, JB Lippincott Company, Philadelphia.