• Tidak ada hasil yang ditemukan

PREVALENSI NEMATODA USUS GOLONGAN SOIL TRANSMITTED HELMINTHES (STH) PADA PETERNAK DI LINGKUNGAN GATEP KELURAHAN AMPENAN SELATAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PREVALENSI NEMATODA USUS GOLONGAN SOIL TRANSMITTED HELMINTHES (STH) PADA PETERNAK DI LINGKUNGAN GATEP KELURAHAN AMPENAN SELATAN"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

_____________________________________

http://www.lpsdimataram.com Volume 8, No. 5, Agugstus 2014

PREVALENSI NEMATODA USUS GOLONGAN SOIL TRANSMITTED HELMINTHES (STH) PADA PETERNAK DI LINGKUNGAN GATEP

KELURAHAN AMPENAN SELATAN Oleh :

Ersandhi Resnhaleksmana

Dosen pada Jurusan Analis Kesehatan Mataram

Abstrak : Pada umumnya cacing yang banyak dijumpai adalah cacing yang penularannya melalui tanah atau Soil Transmitted Helminthes (STH). Cara infeksi penyakit cacing pada manusia dipengaruhi oleh prilaku dan lingkungan sekitar. Penularan cacing ini dapat menginfeksi siapa saja, baik anak-anak maupun orang dewasa yang masih sering kontak dengan tanah sehingga resiko untuk terkontaminasi cacing ini sangat tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi Nematoda Usus Golongan Soil Transmitted Helminthes (STH) pada Peternak di Lingkungan Gatep Kelurahan Ampenan Selatan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasional deskriptif (survey deskriptif), yaitu penelitian yang menggambarkan tentang suatu keadaan secara objektif tanpa mengetahui hubungan sebab akibat. Dalam penelitian survey deskriptif, peneliti diarahkan untuk mendeskripsikan atau menguraikan suatu keadaan di dalam suatu komunitas atau masyarakat. Dari hasil pemeriksaan telur cacing Nematoda usus golongan Soil Transmitted Helminthes (STH) pada Peternak di lingkungan Gatep Kelurahan Ampenan Selatan diperoleh prevalensi 90,00%, yang terdiri dari infeksi Ascaris lumbricoides 80,00%; infeksi Trichuristrichiura 6,67%; dan infeksi cacing Tambang 3,33%.

Kata kunci : Prevalensi, Nematoda Usus , Soil Transmitted Helminthes (STH), Peternak

PENDAHULUAN

Untuk mewujudkan Misi Indonesia Sehat maka ditetapkan empat misi pembangunan kesehatan, antara lain memelihara dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu, merata dan terjangkau. Oleh karena itu, perlu dilaksanakannya upaya pencegahan penyakit, penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan (Anonim, 2010).

Salah satu penyakit yang insidennya masih tinggi adalah infeksi cacingan. Hasil survei Departemen Kesehatan Republik Indonesia di beberapa provinsi di Indonesia menunjukkan prevalensi kecacingan untuk semua umur di Indonesia berkisar antara 40%-60%. Tingginya prevalensi ini disebabkan oleh iklim tropis dan kelembaban udara tinggi di Indonesia, yang merupakan lingkungan yang baik untuk perkembangan cacing, serta kondisi higiene dan sanitasi yang buruk (Depkes RI, 2006).

Infeksi cacingan yang sering adalah “Soil Transmitted Helminthes (STH)” yang merupakan infeksi cacing usus yang ditularkan melalui tanah

atau dikenal sebagai penyakit cacingan. Spesies cacing STH antara lain Ascaris lumbricoides (cacing gelang), Trichuris trichiura (cacing cambuk), Ancylostoma duodenale dan Necator americanus (cacing tambang) (Gandahusada, 2006).

Infeksi oleh cacing dapat disebabkan oleh beberapa faktor, seperti sanitasi lingkungan dan kebersihan pribadi yang kurang, mengkonsumsi makanan yang diduga terkontaminasi oleh telur cacing, tingkat pengetahuan dan tingkat ekonomi yang masih rendah. Sedangkan penularannya dapat melalui beberapa cara antara lain melalui perantara vektor, larva menembus kulit dan memakan telur infektif melalui perantara jari-jari tangan yang terpapar telur cacing khususnya telur Nematoda usus seperti Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura dan Ancylostoma sp dan Necatoramericanus (cacing tambang) (Anonim, 2008; Onggowaluyo, 2002).

Suatu Infeksi kecacingan dapat berkembang seiring dengan kondisi wilayah yang kurang bersih

(2)

_____________________________________________

Volume 8, No. 5, Agustus 2014 http://www.lpsdimataram.com dan pola hidup masyarakat yang kurang higienis.

Seperti pada lingkungan yang pekerjaan masyarakatnya masih sering kontak dengan tanah. Misalnya pada daerah dengan tanah yang subur dan masyarakat yang bermata pencaharian sebagai petani, buruh tani, peternak dan penyabit rumput.

Wilayah kelurahan Ampenan Selatan terdiri dari 4 Lingkungan, dimana mata pencaharian penduduknya bermacam-macam. Menurut data dari Puskesmas Tanjung Karang, prevalensi kecacingan pada wilayah Ampenan Selatan dan sekitarnya sebesar 24-35% dan kejadian terbesar terjadi pada anak usia sekolah (Puskesmas Tanjung Karang, 2011). Pada wilayah Lingkungan Gatep ini, jenis mata pencaharian penduduk sebagai nelayan, buruh, petani, peternak, dan PNS (Anonim, 2011).

Sebagai peternak, pekerjaan sehari-hari penduduk adalah menyabit rumput di sawah-sawah, pinggir jalan ataupun di lapangan dan membersihkan ternak. Menyabit rumput dan membersihkan ternak maupun kandang ternak merupakan pekerjaan rutin yang dilakukan setiap hari. Pekerjaan tersebut selalu kontak dengan tanah dan biasanya penduduk dalam bekerja tidak menggunakan Alat Pelindung Diri (APD), sementara tanah merupakan media yang sangat baik bagi pertumbuhan telur cacing.

Keadaan yang pekerjaan masyarakatnya masih sering kontak dengan tanah, mempengaruhi dan mendukung penyebaran kecacingan bagi penduduk dan bagi masyarakat sekitarnya yang bertempat tinggal di daerah tersebut (Onggowaloyo, 2002).

METODE PENELITIAN

Rancangan penelitian yang digunakan adalah secara Observasional Deskriptif (survey deskriptif), yaitu penelitian yang menggambarkan tentang suatu keadaan secara objektif tanpa mengetahui hubungan sebab akibat. Dalam penelitian survey deskriptif, penelitian diarahkan untuk mendeskripsikan atau menguraikan suatu keadaan di dalam suatu komunitas atau masyarakat (Notoatmodjo, 2005). Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah semua orang yang bekerja sebagai Peternak yang mencari rumput di

Lingkungan Gatep Kelurahan Ampenan Selatan, sedangkan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah orang yang bekerja sebagai peternak Sapi, Kambing, dan Kuda yang ada di Lingkungan Gatep Kelurahan Ampenan Selatan. Adapun besar sampel yang digunakan dalam penelitian ini minimal 30 sampel yang merupakan batas sampel besar (Agung, 2004).

Pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah secara purposive sampling dimana sampel yang diambil ditentukan dengan pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri (Notoatmodjo, 2005) dengan criteria sebagai berikut :

1. Bersedia untuk diambil faecesnya

2. Peternak yang berada di Lingkungan Gatep, yang beternak Sapi, Kuda, atau Kambing dan menyabit rumput untuk makanan ternak tersebut.

3. Jumlah sampel sesuai yang didapat pada saat penelitian.

Metode pemeriksaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pemeriksaan Faeces dengan Metode flotasi. Data yang diperoleh dianalisa secara deskriptif dengan melihat ada atau tidaknya nematoda usus pada peternak. Hasil yang diperoleh dibuat dalam bentuk persentase, kemudian data tersebut disajikan dalam bentuk tabel. Hasilnya digunakan untuk menarik kesimpulan.

1. Cara Perhitungan Data Prevalensi Kecacingan a. Prevalensi Kecacingan =

Jumlah specimen positif telur cacing x 100% Jumlah specimen yang diperiksa

b. Prevalensi A. lumbricoides=

Jumlah specimen positif telur cacing

( . )

Jumlah specimen yang diperiksa x 100%

c. Prevalensi T. trichiura =

Jumlah specimen positif telur cacing ( ). * ℎ , )

Jumlah specimen yang diperiksa x 100%

d. Prevalensi cacing Tambang = Jumlah specimen positif telur cacing Tambang

(3)

_____________________________________

http://www.lpsdimataram.com Volume 8, No. 5, Agugstus 2014

HASIL DAN PEMBAHASAN a. Hasil Penelitian

Lingkungan Gatep terletak di Kelurahan Ampenan Selatan, Kecamatan Ampenan, Kota Mataram, dengan batas-batas wilayah :

- Sebelah Utara : Lingkungan Karang Panas - Sebelah Selatan : Lingkungan Tanjung Karang - Sebelah Timur : Lingkungan Taman Kapitan - Sebelah Barat : Pesisir/Pantai

Lingkungan Gatep memiliki jumlah penduduk ±2.604 jiwa. Penduduk di Lingkungan Gatep ini bekerja sebagai nelayan, buruh, petani, peternak, dan PNS (Anonim, 2011). Keadaan lokasi sekitar kandang tempat pengambilan sampel kurang bersih dan lembab serta kondisi geografis yang beriliklim tropis dengan suhu mencapai 25-32oC yang merupakan kondisi ideal bagi perkembangan telur cacing terutama cacing usus golongan Soil transmitted Helminthes (STH). Ini sesuai dengan Gandahusada yang menyatakan perkembangan suhu optimum bentuk infektif cacing yang ditularkan melalui tanah berkisar antara 25-30oC (Ulfa H, 2009).

Hasil Pemeriksaan terhadap 30 sampel faeces pada peternak di Lingkungan Gatep Kelurahan Ampenan Selatan, selama bulan Mei sampai dengan bulan Juni 2011 diperoleh hasil positif infeksi telur cacing Nematoda usus, dengan persentase hasil sebagai berikut :

Tabel 1. Persentase hasil pemeriksaan Nematoda Usus Golongan Soil Transmitted Helminthes (STH) pada Peternak di Lingkungan Gatep Kelurahan Ampenan Selatan.

No. Hasil Pemeriksaan Jumlah Sampel Jumlah Penderita (%) 1 Positif - Ascaris umbricoides 24 80,00 - Trichuris trichiura 2 6,67 - Cacing tambang 1 3,33 2 Negatif 3 10,00 Total 30 100,00

Pada tabel1 dapat dilihat persentase hasil pemeriksaan telur cacing terhadap 30 sampel

faeces peternak di Lingkungan Gatep yang beraktifitas di kandang ternak untuk mengurus ternak maupun sebagai penyabit rumput untuk makanan ternak. Dari pemeriksaan terhadap 30 sampel faeces peternak yang beraktifitas di kandang ternak maupun sebagai penyabit rumput, menunjukkan bahwa prevalensi kecacingan sebesar 90,00 % dengan infeksi Ascaris lumbricoides adalah infeksi yang tertinggi pada peternak yaitu sebanyak 24 orang (80,00%). Diikuti oleh infeksi Trichuris trichiura sebanyak 2 orang (6,67%) dan yang terinfeksi oleh telur cacing tambang yaitu sebanyak 1 orang (3,33%). Sedangkan sebanyak 3 orang (10,00%) tidak ditemukan infeksi telur cacing Soil Transmited Helminthes (STH) seperti diatas atau negatif.

b. Pembahasan

Hasil Pemeriksaan Laboratorium menunjukkan bahwa dari 30 sampel faeces peternak di Lingkungan Gatep Kelurahan Ampenan Selatan didapatkan prevalensi sebesar 90,00 %, dengan rincian hasil pemeriksaan antara lain terdapat 80,00 % infeksi Ascaris lumbricoides; 6,67 % infeksi Trichuristrichiura; dan 3,33 % infeksi cacing tambang. Tingginya angka kecacingan kemungkinan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti : sanitasi lingkungan yang kurang baik, keadaan sosial ekonomi yang masih rendah, tingkat pengetahuan yang kurang, kebersihan pribadi yang kurang, mengkonsumsi makanan yang diduga terkontaminasi oleh telur cacing dan kondisi iklim di daerah tersebut (Evi Y, 2007).

Hal ini sesuai dengan penelitian mengenai pengaruh tingkat higiene dan sanitasi terhadap infeksi cacing usus golongan Soil Transmitted Helminthes (STH) di SDN 28 Cakranegara, diperoleh hasil penelitian ada pengaruh tingkat pengetahuan higiene dan sanitasi terhadap infeksi cacing usus golongan Soil Transmitted Helminthes (STH). Hal ini menunjukan bahwa faktor Higiene dan Sanitasi juga mempengaruhi adanya infeksi telur cacing pada masyarakat. Infeksi telur nematoda usus golongan Soil Transmitted Helminthes (STH), dapat terjadi pada masyarakat yang kegiatan sehari-harinya masih sering kontak dengan tanah seperti petani, pembuat batu-bata,

(4)

_____________________________________________

Volume 8, No. 5, Agustus 2014 http://www.lpsdimataram.com penambang pasir, pemulung, peternak dan

penyabit rumput. Pada peternak dan penyabit rumput aktivitas yang dilakukan berhubungan dengan tanah, sehingga infeksi nematoda usus dapat terjadi pada peternak dan penyabit rumput tersebut. Seperti pada peternak di lingkungan Gatep yang sebagian besar bekerja sebagai peternak dan penyabit rumput, dari hasil pemeriksaan yang telah dilakukan menunjukkan terjadinya infeksi kecacingan yang tinggi. Hal ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan mengenai infeksi Soil Transmitted Helminthes (STH) pada Pekerja Genteng di Desa Kedawung, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah yang didapatkan infeksi sebesar 22,5 %. Hal ini menunjukkan bahwa pekerjaan kontak dengan tanah dapat menyebabkan infeksi kecacingan.

Kandang ternak di lingkungan Gatep Kelurahan Ampenan Selatan merupakan salah satu kandang terbesar untuk wilayah Ampenan Selatan. Kandang ini berbatasan langsung dengan sungai yang berada di sebelah selatan dan sawah yang berada di sebelah utara serta terdapat rumah penduduk yang berada di sekitar kandang. Keadaan kandang yang lembab dan kotor membuat infeksi kecacingan dapat berkembang. Penyebaran telur cacing yang keluar bersama faeces penderita, tidak hanya berkaitan dengan cuaca seperti hujan, suhu, dan kelembaban udara tetapi juga berkaitan dengan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang sanitasi (Entjang, 2003). Keadaan sekitar lingkungan tempat tinggal peternak yang kurang bersih. Masih terlihat banyak kotoran dan sampah yang dibuang sembarangan. Di sebelah selatan kandang juga terdapat tumpukan sampah yang yang dibuang oleh masyarakat sekitar. Di sekitar kandang juga terdapat lumpur/air yang bercampur dengan kotoran ternak baik sapi maupun kuda. Lumpur tersebut kadang mengeluarkan bau. Keadaan lingkungan sekitar kandang juga sangat lembab dan tidak rapi. Banyak sampah yang berserakan disekitar kandang. Kesadaran masyarakat akan hygiene dan sanitasi masih kurang, hal ini dikarenakan tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat mengenai pentingnya higiene dan sanitasi tersebut masih sangat kurang. Masyarakat sekitar kandang juga masih melakukan defekasi atau pembuangan kotoran di sungai. Hal

ini dikarenakan masyarakat sekitar kandang banyak yang belum memiliki jamban. Kebiasaan masyarakat juga masih sering mengkonsumsi air yang belum dimasak (air mentah). Kegiatan masyarakat sekitar kandang setiap pagi adalah membersihkan kandang dari kotoran ternak dan memberi makan ternak. Makanan ternak diperoleh dengan menyabit rumput pada pagi dan sore hari. Pada saat menyabit rumput masyarakat sering tidak menggunakan alas kaki, dan setelah bekerja sering para peternak mencuci tangan tanpa menggunakan sabun. Sedangkan pada saat membersihkan kandang masyarakat juga sering tidak menggunakan alas kaki dan sarung tangan (APD), sehingga dari pola hidup masyarakat yang seperti ini infeksi cacing golongan Soil Transmitted Helminthes (STH) dapat menginfeksi masyarakat yang bekerja sebagai peternak tersebut. Dari hasil penelitian telur nematoda usus pada sampel faeces pada peternak di Lingkungan Gatep, persentase infeksi tertinggi ditemukan adalah Ascaris lumbricoides sebanyak 80,00% disebabkan karena masyarakat yang hidup di daerah seperti keadaan demikian lebih sering terinfeksi telur cacing daripada masyarakat yang hidup di daerah perkotaan (Gandahusada, 2006). Hal yang menyebabkan keadaan ini terutama keadaan sanitasi lingkungan yang kurang baik serta tingkat pendidikan yang masih rendah dan kurangnya kepedulian terhadap kebersihan pribadi dan lingkungan. Dengan tanah yang berkelembaban tinggi dan suhu yang berkisar antara 25-30o C merupakan keadaan yang baik untuk perkembangan telur Ascaris lumbricoides dan memerlukan media tanah untuk membentuk telur menjadi bentuk infektif (Garcia, 1996), sedangkan telur Trichuristrichiura tersebar luas di daerah yang beriklim tropis yang lembab dan panas, namun dapat juga ditemukan di seluruh dunia (Kosmopolit). Penyebaran cacing ini adalah terkontaminasinya tanah dengan tinja yang mengandung telur cacing Trichuristrichiura. Telur tumbuh dalam tanah liat, lembab dengan suhu optimal ±30o C. infeksi cacing Trichuristrichiura terjadi bila telur yang infektif masuk melalui mulut bersama makanan atau minuman yang tercemar atau melalui tangan yang kotor. Hasil pemeriksaan pada peternak menunjukkan infeksi sebesar 6,67%,

(5)

_____________________________________

http://www.lpsdimataram.com Volume 8, No. 5, Agugstus 2014

infeksi ini lebih rendah dibandingkan dengan infeksi Ascaris lumbricoides karena infeksi Trichuristrichiura banyak terdapat di daerah curah hujan tinggi, iklim sub-tropis dan di tempat yang banyak populasi tanah (Irianto,2009).

Infeksi cacing tambang pada peternak adalah 3,33% dan hanya terdapat pada 1 orang. Infeksi ini termasuk paling rendah dibandingkan dengan infeksi cacing yang lain karena pada umumnya cacing tambang hidup pada tanah berpasir pada daerah pertambangan. Infeksi yang disebabkan oleh cacing Ascaris lumbricoides dan Trichuristrichiura biasanya ringan tidak menimbulkan gejala klinis yang jelas. Pada Ascaris lumbricoides infeksi akan mencapai berat disebabkan oleh cacing dewasa dan larva. Sedangkan pada Trichuristrichiura disertai dengan infeksi cacing lainnya atau protozoa (FKUI, 2008).

Untuk menekan angka kecacingan hendaknya selalu menjaga kesehatan dan kebersihan diri sendiri pada saat bekerja terutama para peternak dengan menggunakan alas kaki pada saat bekerja di kandang dan pada saat menyabit rumput serta mencuci tangan dengan air yang mengalir dan menggunakan sabun dan menjaga sanitasi lingkungan agar terhindar dari infeksi kecacingan. PENUTUP

a. Simpulan

1. Ditemukan telur Nematoda usus golongan Soil Transmited Helminthes (STH) pada faeces peternak di Lingkungan Gatep Kelurahan Ampenan Selatan.

2. Prevalensi Nematoda usus golongan Soil Transmitted Helminthes (STH) pada peternak di Lingkungan Gatep Kelurahan Ampenan Selatan adalah sebesar 90,00 %, dengan rincian sebagai berikut : Ascaris lumbricoides 80,00 %, Trichuristrichiura 6,67 %, dan cacing tambang 3,33 %.

b. Saran

1. Bagi masyarakat

Terutama pada Peternak yang berada di Lingkungan Gatep Kelurahan Ampenan Selatan agar menggunakan APD pada saat bekerja di kandang ternak dan pada saat menyabit rumput serta mencuci tangan

dengan air yang bersih dan memakai sabun setelah bekerja. Dapat menjaga sanitasi lingkungan, agar terhindar dari infeksi telur Nematoda usus golongan Soil Transmitted Helminthes (STH).

2. Bagi Pemerintah

Khususnya bagi Dinas Kesehatan Kota Mataram agar dapat secara rutin dan berkala melakukan penyuluhan kesehatan dan sosialisasi masalah kesehatan dan kebersihan terutama tentang pentingnya hygiene dan sanitasi lingkungan dalam pemberantasan penyakit kecacingan.

DAFTAR PUSTAKA

Agung, IGN. 2004. Dalam KTI Dyah Ariani, 2010. Statistika. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Anonim. 2010. Cacing Nematoda Usus. www.google.com. Diakses 13 Februari 2011.

Brotowidjoyo, Mukayat D.1987. Parasit dan Parasitisme. Media Sarana Press. Jakarta.

Brown W Harold, 1983. Dasar Parasitologi Klinis. PT Gramedia. Jakarta.

Depkes, RI.2006. Pedoman Pengendalian Kecacingan. Depkes RI. Jakarta.

Elmer R. Noble.1989. Parasitologi Biologi Parasit Hewan. UGM Press.Yogyakarta.

Entjang, I. 2003. Mikrobiologi dan Parasitologi untuk Akademi Keperawatan dan Sekolah Menengah Tenaga Kesehatan yang Sederajat. Citra Aditya Bakti. Bandung.

FKUI. 2008. Parasitologi Kedokteran Edisi IV. FKUI. Jakarta.

Gandahusada, Srisasi. 2006. Parasitologi Kedokteran Edisi 3. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

(6)

_____________________________________________

Volume 8, No. 5, Agustus 2014 http://www.lpsdimataram.com Garcia L.S., &David A.B., 1996. Diagnostik

Parasitologi Kedokteran. EGC. Jakarta. Hardjowigeno, Sarwono. 2003. Ilmu Tanah. CV

Akademika Pressido. Jakarta

Irianto, Kus. 2009. Parasitologi, Berbagai Penyakit Yang Mempengaruhi Kesehatan manusia. Yrama Widya. Bandung

Jawetz, dkk. 2005. Mikrobiologi Kedokteran. Salemba Medika. Jakarta.

Levine, Norman D. 1994. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. UGM Press.Yogyakarta.

Noble, E.R.1989. Parasitologi Biologi Parasit Hewan. UGM Press.Yogyakarta

Notoatmodjo, Soekidjo.2005. Metodologi penelitian Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta

Notoatmodjo, Soekidjo.2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Rineka Cipta. Jakarta

Onggowaluyo, J.S. 2002. Parasitologi Medik I. Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta. Prasetyo, Heru.1996. Pengantar Praktikum

Helmintologi Kedokteran. Airlangga University Press. Surabaya.

Rahayu,I,D. 2002. Tinjauan Tentang Infeksi Cacing pada Petugas Kebersihan Khususnya Penyapu Jalan Di Kota Mataram. KTI. Akademi Analis Kesehatan Lingkungan. Semarang

Safar, Rosdiana. 2009. Parasitologi Kedokteran Protozologi, Helmintologi, Entomologi. Yrama Widya. Bandung.

Sandjaja, Bernardus. 2007. Parasitologi Kedokteran Helmintologi Kedokteran buku II. Prestasi Pustaka. Jaya Pura. Soedarto, Dr. 1991. Helmintologi Kedokteran.

EGC. Jakarta.

Taufik Mahar, Mochammad. 2008. Hubungan Antara Pengetahuan Dengan Kejadian Kecacingan Soil Transmitted Helminthes (STH) Pada Pekerja Genteng di Desa Kedawung Kabupaten Kebumen Jawa Tengah. KTI. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang. Thomas. 2005. Epidemiologi, Edisi 2. EGC.

Jakarta.

Tim Pengajar Dasar-Dasar Ilmu Tanah Jurusan Ilmu Tanah. 2006. Panduan Praktikum Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian Universitas Mataram

Ulfa, H. 2009. Pengaruh Tingkat Pengetahuan Higiene dan Sanitasi Terhadap Infeksi Cacing Usus Golongan Soil Transmitted Helminthes (STH) Pada Siswa di SDN No. 28 Cakranegara. KTI. Jurusan Analis Kesehatan. Mataram.

Yulianto, Evi. 2007. Hubungan Higiene Sanitasi dengan Kejadian Penyakit Cacingan Pada Siswa Sekolah Dasar Negeri Rowosari 01 Kecamatan Tembalang Kota Semarang. Skripsi. Universitas Negeri Semarang. Semarang.

Gambar

Tabel  1.  Persentase  hasil  pemeriksaan  Nematoda  Usus  Golongan  Soil  Transmitted  Helminthes  (STH)  pada  Peternak  di  Lingkungan  Gatep  Kelurahan  Ampenan  Selatan

Referensi

Dokumen terkait

[r]

NSAID merupakan terapi lini pertama untuk wanita dengan dysmenorea primer atau nyeri pelvis akibat endometriosis yang telah dikonfirmasi dengan laparoskopi, juga

Penelitian dari (Mbama, Ezepue, Alboul, & Beer, 2018), melakukan penelitian dengan variabel brand trust, perceived risk, service customisation, service speed, service

4.1.6   Rencana konstruksi (Construction plan)  

Hipotesis penelitian ialah (1) pelengkungan cabang dan taraf dosis pupuk kandang yang memberikan pengaruh pada transisi pertumbuhan vegetatif ke generatif tanaman jeruk keprok

Pada penelitian ini penulis meneliti tentang “ Pengaruh Dukungan Suami Terhadap Motivasi Istri dalam Menjalankan Program Keluarga Berencana di Kota Banjarmasin”

Dalam penelitian ini, terminologi yang digunakan adalah IRHR (Increase Ratio of Heart Rate). IRHR adalah Indeks perbandingan denyut jantung seseorang saat melakukan suatu

Di satu sisi adalah tugas semua tenaga kesehatan untuk menjaga keamanan pasien, namun perawat yang tidak mengenal nilai dan pentingnya perawatan yang sesuai bagi