• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Siang itu sekitar pukul 11.00 di saat anak-anak seusianya sibuk belajar dan bermain di sekolah, Sarminto (13) warga Dukuh Bono, Desa Jiwan, Kecamatan Karang nongko Klaten sedang menuntun sepeda onthel bermuatan tiga buah jerigen plastik kapasitas masing-masing 20 liter. Ia menuju sumur pantek untuk mengambil air bersih. Setiap hari ia bertugas mengambil air bersih dua kali. Air ini dimanfaatkan untuk minum dan memasak. Tugas ini dilakukan untuk membantu orang tuanya seorang buruh. Sedangkan Sarminto masih memiliki dua adik yang membutuhkan pendidikan SD.

“Saya tidak sekolah, karena orang tua tidak mampu,” kata Sarminto, ketika ditanya mengapa tidak sekolah. Ia mengaku lulus SD tahun lalu dan tidak melanjutkan sekolah karena orang tua tidak mampu. Sejak tamat dari SD Jiwan Ia beralih pada kesibukan rutinitas membantu orang tua.1

Sarminto adalah sosok bocah yang seharusnya di masa ini bisa menikmati bangku belajar dan bangku bermain di sekolah. Tetapi karena orang tuanya yang tidak mampu membiayai dirinya ke SLTP maka saat ini ia berada di rumah membantu orang tuanya.

Selain kasus Sarminto yang tidak mampu membiayai studi lanjut, ada kasus lain yang kian meningkat terutama di daerah Klaten yaitu kasus DO (drop out) dari sekolah, hal ini diakibatkan rendahnya tingkat ekonomi keluarga serta tingginya biaya pendidikan. Data dari GNOTA ( Gerakan Nasional Orang Tua Asuh) Klaten di tahun 1995 ada 30.000 anak membutuhkan donor supaya tidak DO. Akibat krisis yang berkepanjangan di penghujung tahun 2004 data ini semakin berkembang menjadi 90.000 anak.2 Sampel yang demikian kita jumpai hanya di Klaten, coba kita bayangkan kalau angka yang di Klaten ini kita jumlahkan dengan angka-angka yang ada di seluruh pelosok negeri maka sekian juta anak membutuhkan uluran tangan kita. Demikianlah dampak langsung yang bisa dirasakan oleh anak-anak akibat kemiskinan itu.

1

Sit-C, ‘Sarminto, Tak Mampu Lanjutkan Sekolah’ dalam Kedaulatan Rakyat, 1 Desember 2004, p. 9 2

(2)

Banyak seminar dan diskusi dilakukan, program intervensi dirancang dan dana dialokasikan untuk menangani masyarakat miskin. Usaha-usaha ini sebenarnya merupakan perwujudan kepedulian. Tak dapat dipungkiri banyak para ilmuwan sosial dan politik bersuara lantang tentang perlunya usaha serius untuk mengatasi kemiskinan sturktural. Karena dirasakan akibat dari penindasan struktural maka memungkinkan orang miskin semakin tidak memiliki akses sosial-ekonomi guna meningkatkan taraf kehidupannya.

Salah satu program yang digemborkan untuk mengentaskan kemiskinan adalah pendidikan. Pendidikan dipercaya sebagai wahana untuk memperluas akses dan mobilitas sosial dalam masyarakat. Pendidikan banyak dipahami sebagai wahana untuk menyalurkan ilmu pengetahuan, alat pembentukan watak, alat mengasah otak, serta media untuk meningkatkan ketrampilan kerja. Pendidikan lebih diyakini sebagai suatu media atau wahana untuk menanamkan nilai-nilai moral dan ajaran keagamaan, alat pembentukan kesadaran bangsa, alat meningkatkan taraf ekonomi, alat mengurangi kemiskinan, alat mengangkat status sosial dan media untuk menguak rahasia alam semesta. Pendidikan juga bisa dipahami sebagai usaha untuk menciptakan keadilan sosial, wahana memanusiakan manusia, serta wahana untuk pembebasan manusia.3

Pada saat semangat peningkatan peran pendidikan bagi kaum lemah mulai membumbung dan ramai didiskusikan, ternyata malah kian marak isu dana bocor dalam bidang pendidikan. Kasus korupsi tidak hanya terjadi di kalangan elit politis, namun juga elit pendidikan. Bocornya uang banyak terjadi di managemen pendidikan. Banyak sekolah memeras peserta didik dengan keharusan membayar uang seragam. Pembelian buku wajib yang ditentukan dan difasilitasi oleh sekolah dengan dalih mempermudah pembelajaran. Padahal pihak sekolah tersebut bekerja sama dengan penerbit buku dan mendapat banyak keuntungan dari sini. Berbagai diskon dan hadiah dari penerbit menjadi trend di sekolah-sekolah yang bekerja sama dengan penerbit buku. Malah ada kota yang mana pengadaan buku pelajaran diatur oleh Bupati dan Wali kota setempat.4

3

Francis Wahono, Kapitalisme Pendidikan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001, p. 5 4

NAR, ‘Sekolah Cenderung Tidak Diberdayakan-Dalam Pengadaan Buku Pelajaran’ dalam Kompas, 13 April 2005, p. 9

(3)

Saat ini pendidikan telah dikomersialisasikan. Dengan kata lain pendidikan telah menjadi komoditi bagi mereka yang telah memiliki uang dan mampu membayar pendidikan. Bagi mereka yang mampu tentunya akan menikmati pelayanan dan mutu pendidikan yang sesuai dengan keinginan. Sementara bagi mereka yang tidak mampu untuk membayar pendidikan tentunya tidak akan mendapat akses pelayanan pendidikan. Pendidikan saat ini malah mengancam manusia itu sendiri.5

Di tengah berbagai permasalahan pendidikan yang carut marut ini beberapa institusi pendidikan Kristen di lingkungan Jawa Tengah nampaknya malah berlomba-lomba menaikkan biaya pendidikan dengan motifasi demi profesionalitas pelayanan pendidikan. Dari anggaran yang tinggi ini nampaknya sekolah Kristen tidak memberi kesempatan bagi yang miskin untuk dapat menikmati pendidikan pada lembaga pendidikan Kristen. Jadi seolah-olah sekolah Kristen yang merupakan wajah dari sarana pelayanan Kristen yang terbuka untuk semua kalangan tidak mau tahu dengan kondisi lingkungan di mana ia tinggal. Malah ada salah satu sekolah Kristen di Yogyakarta siswa-siswanya mendemo kepala sekolahnya karena diduga terlibat korupsi, sehingga kepala sekolah tersebut diberhentikan.6 Beberapa sekolah Kristen yang ada di Semarang sekarang menaikkan biaya pendidikan karena sekolah ini butuh prasarana kenyamanan belajar. Ruang ber-AC menjadi tuntutan utama untuk meningkatkan konsentrasi siswa-siswinya dalam menyerap pelajaran.7 Bukan keramahan lingkungan yang dibangun tetapi ketergantungan mempergunakan teknologi yang ditumbuh kembangkan.

Lembaga sekolah Kristen di atas nampaknya sudah tidak lagi memperhatikan inspirasi Kristennya. Tugas dan panggilan untuk mewujudkan nilai Kerajaan Allah hanya sebatas wacana teori. Inspirasi Kristiani hanya menjadi logo tanpa penghayatan yang mendalam. Lembaga pendidikan Kristen yang dicontohkan tadi seharusnya secara tegas menentukan keberpihakan sosial tetapi malah mendukung struktur-struktur yang tidak adil dalam masyarakat atau tidak memanfaatkan perannya untuk mengkritik atau juga menempatkan kajian dan usulan tentang model-model masyarakat yang baru. Lembaga pendidikan Kristen ini nampaknya semakin berpartisipasi mendukung nilai anti Kerajaan Allah atau realitas kejahatan. Lembaga pendidikan kekristenan yang

5

Francis Wahono, Kapitalisme Pendidikan, p. 11 6

Cerita dari guru dan alumni salah satu SMU Kristen di Yogyakarta. 1 Desember 2004. 7

(4)

demikian nampaknya sudah kehilangan kekritisannya terhadap praktek yang membelenggu, menindas dan menyembunyikan ketidakbenaran.

Eksistensi yang demikian tidaklah cocok dengan ideal Injil, dan lebih menjauhkan diri dari dunia “lapisan bawah” di mana tuntutan Kerajaan Allah dapat paling jelas dipahami. Berpihak pada orang bawah dan tertindas hanya sebagai slogan, program dan wacana, pada kenyataan nampaknya lebih dominan menjauhkan diri dengan orang miskin karena orang miskin dianggap tidak tidak menguntungkan.

1.2 Pokok Masalah

Dari pergumulan yang ada sangatlah berguna kita menengok sejenak karya pendidikan yang pernah dilakukan seorang tokoh perintis pendidikan dan kemudian kita bisa merefleksikan pola pendidikannya itu dalam wajah pendidikan sekolah Kristen. Sosok pendidik itu adalah Romo F. van Lith yang berkarya di Jawa Tengah selama 30 tahun (1896-1926).

Ia sangat peduli dengan orang-orang yang lemah dan tertindas. Bergaul dengan orang-orang lemah dan melakukan penyadaran bahwa pendidikan adalah kebutuhan yang sangat pokok bagi orang Jawa demi menuju masyarakat yang merdeka. Karena hanya dengan pendidikan akan menghasilkan manusia yang kritis dan mau berdiskusi. Selanjutnya hanya dengan pendidikanlah maka akan dihasilkan manusia yang sadar, percaya diri dan mau berkompetisi. Di dalam pengajarannya ini ia berharap dapat mendidik pemimpin yang baru. Pemimpin-pemimpin ini tidak hanya diasah kecerdasannya, tetapi juga para calon pemimpin yang diasah mental dan keimanannya.

Jadi yang menjadi pokok permasalahan skripsi ini: Apakah yang menjadi visi dan misi karya pendidikan Romo van Lith? Bagaimana visi dan misi itu diwujudnyatakan dalam karya pendidikannya? Apa yang bisa dipelajari dari Romo van Lith untuk pendidikan Kristen?

1.3 Judul dan Alasan Pemilihan Judul

(5)

BELAJAR DARI KARYA PENDIDIKAN ROMO F. VAN LITH

Mengapa penulis menetapkan Romo F. van Lith dari pada tokoh lain, misalnya Paulo Freire, Ivan Illich dan tokoh lainnya, karena penulis melihat bahwa Romo F. van Lith adalah salah satu tokoh perintis pendidikan yang berada di Indonesia. Walaupun karya pendidikan Romo F. van Lith jauh sebelum kemerdekaan, namun beliau telah menyuarakan nilai-nilai pendidikan yang berpihak kepada kaum yang lemah dan tertindas.

1.4 Metode Penulisan

Metode yang dipakai penulis dalam rangka penulisan skripsi ini adalah studi kepustakaan dengan menggunakan metode deskriptif-analitis maksudnya penulis akan mendeskripsikan secara jelas data, prinsip, pendapat dan gagasan-gagasan sehubungan dengan permasalahan yang ada. Penulis akan memperkaya tulisan ini dengan kajian literatur yang berkaitan dengan F. van Lith.

Dalam melakukan penelitian ini penulis mengalami kendala yang besar terkait dengan bahasa. Oleh sebab itu penulis berusaha memanfaatkan sumber kedua. Sumber kedua ini adalah para penulis yang menterjemahkan karya dan pemikiran van Lith dari bahasa Belanda dalam bahasa Indonesia. Walaupun tulisan itu tersebar dalam kepentingan tulisan masing-masing, namun penulis akan berusaha se-obyektif mungkin dalam penulisan skripsi ini.

1.5 Sistematika

Penulisan skripsi ini dibagi atas:

BAB I : PENDAHULUAN

Berisi penjelasan mengenai latar belakang, pokok permasalahan, alasan pemilihan judul, metode penulisan dan sistematika penulisan.

(6)

BAB II : MENGENAL LEBIH DEKAT ROMO F. VAN LITH DAN KARYA PENDIDIKANNYA

Dalam bab ini penulis akan menyajikan biografi Romo F. van Lith, pemikirannya, pergumulan konteks yang dia hadapi dan sistem pendidikan yang ia jalankan.

BAB III : DIALOG KRITIS UNSUR-UNSUR YANG MEMBERI

INSPIRASI

Di sini penulis akan merefleksikan butir-butir penting dari karya pendidikan van Lith yang ditemukan dalam bab II secara lebih mendalam dari persfektif iman Kristen.

BAB IV : KESIMPULAN

Dalam kesimpulan ini penulis berusaha merumuskan kembali apa yang penulis dapat dari hasil refleksi dalam pembelajaran skripsi ini.

Referensi

Dokumen terkait

H1: (1) Terdapat perbedaan produktivitas kerja antara karyawan yang diberi insentif dengan karyawan yang tidak diberi insentif (2) Terdapat perbedaan

7.4.4 Kepala LPPM menentukan tindakan perbaikan yang harus dilakukan pada periode Pelaporan Hasil Pengabdian kepada masyarakat berikutnya.. Bidang Pengabdian kepada masyarakat

Ketika orang-orang dari budaya yang berbeda mencoba untuk berkomunikasi, upaya terbaik mereka dapat digagalkan oleh kesalahpahaman dan konflik bahkan

Dengan cara yang sama untuk menghitung luas Δ ABC bila panjang dua sisi dan besar salah satu sudut yang diapit kedua sisi tersebut diketahui akan diperoleh rumus-rumus

Adapun dari data yang berhasil dihimpun menunjukan bahwa orangtua yang menyediakan fasilitas untuk anak beribadah tinggi sekali semua responden menyatakan

Ketersediaan informasi lokasi rumah sakit, fasilitas dan layanan yang tersedia di rumah sakit dan tempat kejadian dapat tersedia secara jelas dan terkini sehingga penentuan

Alhamdulillahirobbil’alamin segala puji syukur dan sembah sujud, penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat, hidayah, dan kasih sayang-Nya sehingga penyusun

L : Ya Tuhan Yesus yang telah mati di kayu salib, hanya oleh karena kasihMu kepada orang berdosa ini. P : Ajarilah kami selalu mengingat Tuhan yang mati di kayu