• Tidak ada hasil yang ditemukan

Responsi Kasus Hsp

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Responsi Kasus Hsp"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

RESPONSI KASUS

HENOCH SCHONLEIN PURPURA (HSP)

Oleh:

Liveina (1002005140)

Stephanie Patricia (1002005153)

Pembimbing

dr. Kadek Ayu Lestari, Sp.A

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA DI BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN ANAK BRSU TABANAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA JULI 2014

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan karunia-Nyalah maka tinjauan pustaka dan laporan kasus yang berjudul “Henoch Schonlein Purpura (HSP)” ini dapat selesai tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari penulisan tinjauan pustaka dan laporan kasus ini adalah sebagai salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik madya di bagian/SMF Ilmu Kesehatan anak FK UNUD/BRSU Tabanan.

Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan tugas ini banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis bermaksud mengucapkan rasa terima kasih kepada:

1. dr. KadekAyu Lestari, Sp.A selaku dosen pembimbing dalam pembuatan tinjauan pustaka dan laporan kasus ini.

2. Para dokter dan rekan-rekan dokter muda lainnya yang telah membantu dalam penyusunan tinjauan pustaka dan laporan kasus ini beserta semua pihak yang telah membantu yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu.

Penulis menyadari bahwa tinjauan pustaka ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan sehingga dapat dihasilkan tinjauan pustaka dan laporan kasus yang lebih baik di kemudian hari.

Denpasar, Juli 2014

(3)

DAFTAR ISI

HALAMAN DEPAN ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi dan Epidemiologi ... 3

2.2 Etiopatogenesis ... 4 2.3 Manifestasi Klinis ... 5 2.3.1 Kulit ... 6 2.3.2 Gastrointestinal ... 6 2.3.3 Persendian ... 7 2.3.4 Renal ... 7 2.4 Pemeriksaan Penunjang ... 7 2.5 Diagnosis ... 10 2.6 Diagnosis Banding ... 10 2.7 Penatalaksanaan ... 11 2.8 Prognosis ... 12

BAB III LAPORAN KASUS 3.1 Identitas Pasien... 14

3.2 Heteroanamnesis ... 14

3.3 Pemeriksaan Fisik ... 17

3.4 Pemeriksaan Penunjang ... 18

3.5 Diagnosis ... 19

3.6 Terapi dan Monitoring Terapi ... 19

3.7 Follow up saat MRS ... 20

BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik ... 24

4.2 Pemeriksaan Penunjang ... 25

(4)

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan ... 28 5.2 Saran ... 29 DAFTAR PUSTAKA

(5)

BAB I PENDAHULUAN

Henoch Schonlein Purpura (HSP) pertama kali dideskripsikan pada tahun 1801 oleh Heberden yang menemukan nyeri perut, mual, melena, arthralgia, purpura, dan hematuria pada anak 5 tahun. Selanjutnya, Schonlein mendeskripsikan asosiasi arthralgia dan lesi purpura di kulit pada seorang anak, dan menyebutnya “peliosis rheumatic”. Pada tahun 1837, Henoch melaporkan 4 orang anak yang mengeluhkan nyeri perut dan mengalami lesi pada ginjal, disertai manifestasi pada kulit dan sendi. Sejak saat itu, penyakit tersebut disebut HSP.1

Penyebab penyakit ini masih belum diketahui secara pasti, namun diyakini paparan terhadap berbagai antigen seperti agen infeksi, vaksinasi, dan obat-obatan dapat memicu reaksi imunologi. Manifestasi klinis yang dominan pada penyakit ini adalah palpable purpura dan petechiae, arthritis, nyeri perut, dan nefritis. Pada kebanyakan pasien pediatric penyakit ini merupakan penyakit self-limited, namun perdarahan intestinal yang parah atau intususepsi dapat menjadi komplikasi akut yang berbahaya. Prognosis HSP tergantung pada seberapa parah keterlibatan ginjal yang terjadi. Gejala pada ginjal yang ditimbulkan, dapat berupa hematuria intermiten dan proteinuria hingga sindrom nefrotik-nefritik yang parah.2

The European League against Rheumatism (EULAR) and the Pediatric Rheumatology European Society (PRES) mempublikasi klasifikasi baru untuk mendiagnosis vasculitides pada tahun 2008.3 Kriteria konsensus untuk mendiagnosis HSP adalah adanya purpura atau petechiae predominan pada anggota gerak bagian bawah dan setidaknya salah satu dari gejala sebagai berikut, nyeri perut yang menyebar, biopsi yang menunjukan predominan deposisi IgA, arthritis akut/arthralgia, dan keterlibatan ginjal berupa hematuria dan/atau proteiuria. Kriteria ini memiliki sensitivitas 100% dan spesifisitas 87% untuk mendiagnosis HSP.1

Seorang pasien perempuan, berusia 6 tahun, dilaporkan mengalami purpura yang predominan pada kaki yang sebelumnya disertai riwayat demam dan infeksi saluran pernafasan akut. Makalah ini dibuat untuk mempelajari HSP, baik

(6)

dari segi diagnosis klinis hingga tata laksana penyakit ini sehingga dapat memberikan wawasan bagi pembaca dan penulis.

(7)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Epidemiologi

Henoch-Schönlein purpura (HSP) adalah vaskulitis pada pembuuh darah kecil yang dimediasi oleh deposisi kompleks imun immunoglobulin A (IgA). Beberapa literatur menyebutkan HSP merupakan vaskulitis yang paling sering terjadi pada anak-anak, disebutkan insidennya bervariasi dari 6,1 sampai 6,5 per 100.000.4 Karakteristik dari penyakit ini meliputi vaskulitis pada kulit, sendi saluran cerna, dan ginjal.1

HSP lebih sering ditemukan pada anak-anak berusia 5-15 tahun, jarang ditemukan pada orang dewasa dan bayi. Onset usia menjadi faktor penting untuk menentukan derajat penyakit dan prognosisnya.5 Gejala klinis sering kali atipikal pada usia yang ekstrem. Derajat penyakit menjadi lebih berat pada dewasa, sedangkan pada anak usia di bawah 2 tahun jarang ditemukan nefritis atau komplikasi pada abdomen. Sebuah studi di Bistrol menyebutkan bahwa insiden HSP lebih rendah secara signifikan pada anak-anak kulit hitam dibandingkan anak-anak kulit putih dan anak-anak Asia.6 Sedangkan berdasarkan jenis kelamin, rasionya antara laki-laki dan perempuan adalah 2:1.6

HSP lebih sering didiagnosis pada musim dingin, gugur, dan semi dibandingkan dengan musim panas. Hal ini mendukung pandangan yang menyatakan bahwa infeksi memiliki peran dalam pathogenesis penyakit ini.7 Sebuah penelitian kohort di Itali disebutkan bahwa sebanyak dua per tiga dari pasien HSP mengalami infeksi pemicu terjadinya penyakit ini. 63 dari 150 mengalami infeksi saluran nafas akut dan 37 dari 150 anak mengalami infeksi lainnya atau demam.7 Banyak organisme yang dikatakan menjadi faktor presipitasi HSP, namun Streptococcus hemolytic Grup A B menjadi organisme yang paling banyak ditemukan.8

Organisme lain yang dapat diidentifikasi meliputi hepatitis A dan B, cytomegalovirus, HIV, adenovirus, Mycoplasma, Herpes simplex, Helicobacter pylori, Toxacara canis, Human parvovirus B19, varicella, and scarlet fever.

(8)

Beberapa obat-obatan juga dikatakan memicu HSP meskipun belum ada penelitian yang dapat membuktikan hal ini.6

2.2 Etiopatogenensis

HSP disebutkan sebagai sebuah penyakit yang dimediasi kompleks IgA meskipun hingga saat ini pathogenesis penyakit masih belum jelas.9 IgA adalah immunoglobulin utama yang secara langsung melawan antigen virus dan bakteri pada sistem imun area mukosa. Kompleks IgA dibentuk dan terdeposisi pada kulit, usus, dan glomeruli ginjal, memicu respons inflamasi daerah lokal.

Peningkatan konsentrasi serum IgA dapat ditemukan pada lebih dari setengah pasien dengan HSP.8 Tingginya serum IgA ini sendiri tidak menjadi faktor predisposisi pasien menderita HSP. Terdapat dua subklas IgA, yaitu IgA1 dan IgA2, di mana hanya IgA1 yang terlibat dalam pathogenesis HSP. Hal ini berhubungan dengan multiple O-linked glycosylation, penyimpangan glikosisasi yang ditunjukkan pada HSP.9 Penelitian lebih penting dilakukan untuk mengetahui apakah penyimpangan glikosilasi IgA merupakan penyebab atau akibat dari HSP.10 Glikosilasi IgA yang menyimpang tidak dibersihkan oleh hati dengan baik sehingga rentan terjadi agregat kompleks makromolekul. Hal ini mengakibatkan akumulasi pada sirkulasi dan terdeposisi pada dinding pembuluh darah kecil dan mencetuskan lesi inflamasi melalui jalur alternatif dan lectin komplemen dan aktivasi sel langusng.9 Vaskulitis leukositoklastik kemudian terbentuk dan mengakibatkan nekrosis pembuluh darah kecil. Hal ini mengakibatkan ekstravasasi darah dan cairan ke jaringan sekitar, yang bermanifestasi sebagai gejala spesifik terhadap organ yang terlibat.

Semua pasien HSP memiliki kompleks imun IgA1 yang bersirkulasi, namun hanya pasien dengan manifestasi nefritis yang memiliki imun kompleks bermassa molekul besar yang mengandung IgA1 dan IgG. Kompleks tersebut diekskresikan pada urin pada sebagian pasien sehingga berpotensi menjadi marker spesifik terhadap penyakit ini.

Tumor necrosis factor-α (TNF-α) adalah sebuah sitokin yang diproduksi oleh makrofag dan T cells saat respon imun berlangsung. Sitokin ini mungkin

(9)

berkaitan dengan vaskulitis yang terjadi pada HSP. Penelitian Besbas et al, menunjukkan bahwa pada fase akut HSP ditemukan level TNF-α yang tinggi pada jaringan dan plasma. TNF-α memicu reaksi antigen pada sel endothelial yang menyebabkan meningkatnya afinitas ikatan IgA dan menghasilkan inflamasi vaskuler. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk menentukan antigen spesifik. Level endothelin secara signifikan lebih tinggi pada fase akut HSP, namun masih diperlukan penelitian lebih lanjut signifikansi dari peningkatan endothelin tersebut.9,10

2.3 Manifestasi Klinis

Ruam di kulit menjadi penanda awal pasien dengan HSP. Keterlibatan organ lain dapat muncul bersamaan dengan ruam, atau bermanifestasi setelah beberapa hari atau beberapa minggu. Banyak kasus HSP didahului infeksi saluran pernafasan akut, oleh karena itu HSP dapat didahului beberapa gejala sistemik seperti demam dan malaise. Sebuah studi menyebutkan nyeri perut atau arthritis muncul setelah 1-14 hari ruam muncul. Namun, penelitian Calvino et al menyatakan bahwa 30-43% mengalami gejala pada sendi dan perut 1-14 hari sebelum ruam muncul. Hal ini dapat mengaburkan diagnosis sehingga terjadi tindakan-tindakan yang tidak perlu seperti laparotomy atu orchidectomy pada pasien yang mengalami nyeri perut atau nyeri skrotal.

Gejala-gejala ekstrarenal dilaporkan merupakan self-limited disease yang akan membaik dalam 2 minggu pada 83% pasien, dan hampir seluruh pasien membaik dalam 6-8 minggu. Kekambuhan seringkali terjadi, meskipun biasanya lebih ringan dan durasinya lebih singkat dari kejadian primernya. Biasanya kekambuhan berhenti terjadi setelah 4 bulan.

Dalam sebuah systematic review dari 12 studi, 91% pasien yang mengalami gejala pada ginjal mengalami kekambuhan dalam 6 minggu setelah gejala pada ginjal pertama kali muncul, sedangkan 97% pasien dalam 6 bulan. Nefritis cenderung ringan dan self-limited, namun beberapa anak menjadi penyakit ginjal yang persisten dan dapat berkembang menjadi end-stage renal disease. Prognosis HSP baik pada pasien tanpa penyakit ginjal, namun perdarahan

(10)

saluran cerna atau intussusepsi dapat menyebabkan komplikasi akut. Pada HSP dengan keterlibatan ginjal prognosisnya tidak dapat diprediksi, morbiditas jangka panjang pada ginjal dapat bermanifestasi bahkan hingga bertahun-tahun setelah pemulihan.

2.3.1 Kulit

Ruam khas HSP adalah palpable purpura yang distribusinya simetris pada ekstensor, tungkai bawah dan bokong. Beberapa kasus melibatkan lengan, wajah dan telinga tetapi biasanya hanya sekitar batang tubuh. Purpura HSP dapat berupa petechiae, ekimosis besar, dan dapat didahului dengan urtikaria atau eritematosa, makulopapular lesi. Lesi bulosa yang parah jarang terjadi pada anak-anak, hanya sekitar 2% dari pasien.

2.3.2 Gastrointestinal

Kejadian keterlibatan gastrointestinal dilaporkan umumnya antara 50-75% dari kasus dengan presentasi yang paling umum adalah nyeri perut kolik. Gejala lain termasuk muntah dan perdarahan gastrointestinal bermanifestasi sebagai darah samar pada tinja atau tampak secara makroskopik. Perdarahan gastrointestinal masif jarang ditemukan, hanya dilaporkan pada sekitar 2% dari pasien. Gejala tersebut merupakan hasil dari edema dan perdarahan dinding usus akibat vaskulitis. Intususepsi juga merupakan komplikasi yang jarang terjadi namun penting untuk ditegakkan segera karena keterlambatan manajemen dapat mengakibatkan usus iskemik. Enteropati, pankreatitis, dan hidrops kandung empedu dapat juga terjadi. Harus diingat bahwa edema sekunder akibat hipoalbuminemia mungkin terjadi karena sindrom nefrotik atau kehilangan protein pada enteropati atau kombinasi keduanya.

2.3.3 Persendian

Arthritis atau athralgia terjadi pada 15-25% kasus namun hingga 82% pasien mengalami gejala pada persendian selama penyakit berlangsung. Arthritis biasanya mengenai persendian besar pada anggota gerak bagian bawah termasuk lutut, pergelangan kaki, tumit, dan panggul. Namun tidak menutup kemungkinan anggota gerak atas juga terlibat. Pada sebuah review retrospektif 100 pasien, 72%

(11)

pasien mengalami gejala pada sendi tumit dan pergelangan kaki, 50% pasien mengalami gejala pada lutut, 26% pasien mengalami gejala pada tangan dan pergelangan tangan, dan 10% pada sendi siku. Gejala yang terjadi meliputi nyeri sendi, bengkak dan penurunan range of movement. Meskipun keterlibatan sendi tampak memperberat penyakit, namun hal ini tidak menyebabkan kerusakan permanen.

2.3.4 Renal

Keterlibatan ginjal pada HSP dilaporkan terjadi pada 12-92% kasus. Penyakit ginjal bermanifestasi sebagai hematuria, proteinuria, sindrom nefrotik/nefritis, renal impairment, dan hipertensi. Kondisi ini berkembang dalam 4 minggu pada 75-80% kasus dan dalam 3 bulan pada 97-100% kasus. Pada kasus yang tidak khas, insiden peyakit ginjal yang berat meliputi nefritis akut, sindrom nefrotik, atau renal impairment 5-7%. Hipertensi dapat terjadi pada kasus yang melibatkan ginjal. Apabila penyakit ginjal tidak membaik saat HSP membaik, diperlukan investigasi lebih lanjut.

2.4 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang pada kasus HSP ditujukan untuk menyingkirkan diagnosis banding dan mendeteksi komplikasi penyakit HSP. Pemeriksaan penunjang yang umum dilakukan antara lain:1,11

- Pemeriksaan kadar IgA dalam serum

Pemeriksaan kadar IgA dalam serum bukan merupakan pemeriksaan spesifik untuk HSP, namun adanya peningkatan kadar IgA dapat mengarahkan diagnosis penyakit HSP dibanding tipe vaskulitis lain. Kadar IgA serum yang meningkat dapat ditemui pada 25 – 50% kasus HSP, namun besarnya peningkatan tidak sebanding dengan beratnya gejala HSP.

- Pemeriksaan darah lengkap

Pada HSP umumnya didapatkan kadar trombosit yang meningkat. Kadar hemoglobin yang rendah mungkin ditemui jika terjadi perdarahan saluran cerna atau hematuria berat akibat komplikasi HSP. Leukositosis dijumpai pada kasus kasus HSP yang didasari oleh adanya infeksi bakteri.

(12)

- Urinalisis

Urinalisis dilakukan untuk mendeteksi adanya hematuria ataupun proteinuria yang menjadi salah satu kriteria diagnosis untuk HSP.

- Pemeriksaan gangguan fungsi pembekuan darah

Pemeriksaan seperti PPT (Plasma Prothrombin Time), APTT (Activated Partial Thromboplastin Time),dan CT (clotting time) dapat dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan purpura akibat gangguan pembekuan darah. Pada HSP umumnya ditemui fungsi pembekuan darah yang normal.

- Pemeriksaan laju endap darah

Laju endap darah merupakan pertanda non spesifik dari adanya proses inflamasi. Pada 60% kasus HSP dapat ditemui laju endap darah yang meningkat.

- Pemeriksaan kadar serum kreatinin (SC) dan kadar urea dalam darah (Blood Urea Nitrogen / BUN)

Kadar BUN-SC akan meningkat pada beberapa kasus HSP dengan penurunan fungsi filtrasi glomerulus akibat adanya kerusakan pembuluh darah ginjal.

- Pemeriksaan faktor XIII dalam plasma

Pemeriksaan ini dapat dilakukan pada kasus yang atipiikal. Aktivitas faktor XIII dalam plasma dilaporkan menurun pada 70% pasien HSP, terutama pada pasien yang memiliki gejala gastrointestinal yang berat. Kaneko et al (2004) mengatakan bahwa faktor XIII dapat menjadi salah satu marker yang dapat membantu menegakkan diagnosis HSP, bahkan sebelum onset purpura muncul. Namun studi lebih lanjut mengenai faktor XIII masih diperlukan. - Pemeriksaan antineutrofil cytoplasmic antibodies (ANCA)

Pada HSP, tidak ada peningkatan ANCA. Hal ini dapat membedakan HSP dengan vasculitides tipe ANCA positif.

- Pemeriksaan darah samar

Hasil positif dari Occult faecal blood test mungkin menunjukkan adanya perdarahan saluran cerna terkait HSP.

(13)

Pemeriksaan imaging tidak diperlukan untuk diagnosis HSP, namun mungkin perlu dilakukan pada kasus kasus HSP dengan kecurigaan komplikasi pada organ lain seperti ginjal, saluran cerna dan otak. Pemeriksaan ultrasound (USG) berguna sebagai skrining bila ditemui gejala nyeri perut yang hebat. USG dapat mendeteksi adanya intususepsi atau perforasi usus. USG ginjal juga dapat melihat adanya kelainan ginjal yang biasa ditemui pada kasus HNP yang berat. Endoskopi digunakan untuk mengevaluasi perdarahan saluran cerna dan neuroimaging digunakan bila ada kecurigaan keterlibatan serebral.1,11

Biopsi kulit, mukosa lambung atau ginjal dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis HSP. Temuan tipikal dari hasil biopsi jaringan tersebut berupa deposit IgA yang menyebar, dan sering disertai dengan adanya IgG atau C3 dalam mesangium dengan infiltrat selular. 1,11

2.5 Diagnosis

Diagnosis HSP dapat ditegakkan melalui gejala klinis berdasarkan kriteria dari konsensus European League against Rheumatism (EULAR) dan the Pediatric Rheumatology European Society (PRES) tahun 2008 dengan sensitivitas sebesar 100% dan spesifisitas sebesar 87% untuk diagnosis HSP. Kriteria diagnosis HSP yaitu adanya purpura atau petekie yang predominan pada tungkai bawah diikuti dengan salah satu dari tanda berikut: adanya nyeri perut yang menyebar, arthritis / arthralgia akut, deposisi predominan IgA pada hasil biopsi, dan keterlibatan ginjal seperti hematuria dan/atau proteinuria.1

2.6 Diagnosis Banding

Anak – anak dibawah 17 tahun dengan palpable purpura dan keterlibatan multisistem (gastrointestinal, ginjal dan sendi) tanpa adanya trombositopenia mengarahkan diagnosis ke HSP. Diagnosis banding untuk HSP antara lain: 1,12 - Immunologic trombocytopenia purpura (ITP). Trombositopenia yang ditemui

pada ITP merupakan pembeda utama ITP dengan HSP dimana kadar trombosit pada HSP normal atau meningkat.

(14)

- Erupsi Obat, Urtikaria dan Eritema Multiformis. Manifestasi kulit pada penyakit tersebut dapat menyerupai lesi pada HSP. Namun pada HSP, predileksi lesi khas predominan pada tungkai bawah dan harus disertai salah satu dari kriteria diagnosis lainnya. Bila diagnosis masih diragukan, diagnosis HSP harus dikonfirmasi dengan biopsi kulit atau ginjal.

- Systemic Lupus Erythematosus (SLE). Inflamasi vaskuler sekunder akibat SLE dapat menyerupai HSP. Pemeriksaan antibodi DNA double stranded dan antinuklear dapat menyingkirkan diagnosis SLE.

- Cutaneous Leucocytoclastic angiitis. Pada penyakit ini, tidak terjadi vaskulitis sistemik dan jarang mengenai saluran cerna. Pada hasil biopsi juga tidak tampak deposisi IgA.

- Granulomatosis Wegener, dibedakan dengan HSP dari pemeriksaan ANCA dimana pada granulomatosis wegener ditemukan ANCA positif.

- Nefropati IgA. Adanya purpura yang teraba pada HSP dapat menyingkirkan diagnosis nefropati IgA.

- Chron’s Disease. Pada Chron’s disease terjadi inflamasi pada usus dengan gejala nyeri perut yang dapat menyerupai nyeri perut pada HSP. Namun pada Chron’s disease ini tidak terdapat palpable purpura.

2.7 Penatalaksanaan

HSP dapat membaik dengan sendirinya (self-limiting) pada 94% pasien. Terapi yang diberikan merupakan terapi simtomatis. Tirah baring dan terapi analgesik diberikan pada pasien dengan nyeri sendi akut dan nyeri perut. Acetaminophen dapat menjadi pilihan pengobatan. Pemberian aspirin sebaiknya dihindari. Non steroidal anti inflammatory (NSAID) sebaiknya dihindari terutama pada pasien dengan keterlibatan ginjal dan saluran cerna. Cairan intravena dapat diberikan pada pasien dengan nyeri abdomen hebat dan muntah. 1,12

Kortikosteroid oral diindikasikan pada pasien dengan rash yang berat, edema, nyeri abdomen hebat tanpa mual muntah, dan keterlibatan ginjal, skrotum serta testis. Prednison atau methylprednisolone dapat diberikan dengan dosis awal 1-2 mg/kgBB per hari selama satu hingga dua minggu. Selanjutnya, dosis

(15)

diturunkan secara bertahap menjadi 0,5 mg/kgBB/hari untuk satu minggu selanjutnya. Steroid intravena dapat diberikan apabila pasien tidak toleran terhadap steroid oral.12

Menurut beberapa studi, terapi steroid dapat meringankan gejala gastrointestinal, mengurangi rekurensi HSP, dan mengurangi progresivitas kerusakan ginjal. Steroid juga dapat mencegah komplikasi seperti perdarahan gastrointestinal atau intususepsi. Ronkainen et al (2006) melakukan sebuat randomized controlled trial (RCT) dan prednison daikatakan mampu mengurangi gejala dan durasi nyeri perut serta gejala sendi dan mempercepat perbaikan nefritis ringan pada pasien HSP.

Plasmapharesis atau terapi imunoglobulin intravena dosis tinggi direkomendasikan untuk pasien dengan perburukan fungsi ginjal. Pasien dengan keterlibatan ginjal yang parah sebaiknya dirujuk ke ahli nefrologi dan dilakukan biopsi ginjal. Beberapa studi juga mengatakan bahwa dapson atau colchicine dapat memberikan manfaat untuk pasien HSP kronis. 12

Pasien HSP dengan perdarahan gastrointestinal dan komplikasi pulmonal jarang ditemui. Namun bila terjadi hal demikian, intervensi seperti pembedahan mungkin dilakukan jika ada indikasi. Steroid intravena pada kasus HSP dengan perdarahan saluran cerna hanya merupakan terapi suportif jangka pendek untuk mengurangi gejala, namun tidak memperbaiki perdarahan saluran cerna yang terjadi.11

Selain terapi simtomatis, pemberian faktor XIII secara intravena dapat dilakukan sebagai terapi adjunctive pada pasien HSP. Faktor XIII berkorelasi dengan keparahan gejala gastrointestinal pada pasien serta kadarnya ditemukan rendah pada pasien HSP. Beberapa studi seperti yang dilakukan oleh Fukui (1989) megatakan bahwa administrasi faktor XIII memberikan perbaikan nyata pada gejala HSP dalam 3 hari. Studi lain oleh Davin (2011) melaporkan adanya perbaikan drastis pada gejala berat dari sistem gastrointestinal, pulmonal dan srebral setelah dilakukannya plasma exchange. 1,12

(16)

2.8 Prognosis

Sebagian besar kasus HSP dapat membaik dengan sendirinya, prognosis umumnya baik dengan five-year survival rates sebesar 95%. Satu dari tiga pasien mengalami relaps dengan durasi yang lebih singkat dan gejala yang lebih ringan, umumnya dalam waktu 4 bulan dan megenai organ yang sama. Prognosis pasien berdasarkan pada usia saat onset penyakit, keterlibatan organ ginjal, keterlibatan organ kulit, ketidakseimbangan imunoglobulin, dan keterlibatan neurologis. 12 Beberapa faktor prognosis buruk pada pasien HSP antara lain: 12

 Usia lebih dari 8 tahun

 Sering relaps

 Kadar serum kreatinin yang lebih tinggi pada onset penyakit

 Proteinuria lebih dari 1 gram per hari

 Adanya hematuria dan anemia saat diagnosis

 Hipertensi

Membranoproliferaive glomerulonephritis

 Adanya demam

 Adanya purpura diatas garis pinggang

 Adanya peningkatan laju sedimentasi

 Peningkatan konsentrasi IgA dengan penurunan konsentrasi IgM saat diagnosis

(17)

BAB III LAPORAN KASUS 3.1 Identitas Pasien

Nama : NPRS

Tanggal Lahir : 13 April 2008

Umur : 6 tahun 2 bulan 24 hari Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Br. Dinas Tengah Kangin Kerambitan MRS : 7 Juli 2014 (pukul 13.00 WITA) Tanggal Pemeriksaan : 10 Juli 2014 (pukul 14.00 WITA)

3.2 Heteroanamnesis (Ibu Kandung Pasien) Keluhan Utama : Demam

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke poliklinik anak BRSU Tabanan diantar oleh orangtua. Pasien dikeluhkan demam sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit (MRS) yaitu hari Rabu tanggal 2 Juli 2014. Demam dikatakan menetap sepanjang hari, sempat turun jika diberikan obat penurun panas. Demam terukur mencapai 38°C. Demam disertai dengan keluhan batuk pilek serta mual dan muntah.

Batuk dan pilek dialami sejak 3 hari sebelum MRS (4 Juli 2014), dirasakan sepanjang hari. Batuk dikatakan berdahak dengan dahak yang sulit dikeluarkan. Pilek dirasakan berupa sekret encer berwarna bening. Pasien juga sempat mengalami mual dan muntah sebanyak 3 kali pada tanggal 3 Juli 2014. Muntah berupa sari makanan yang dikonsumsi dengan volume sekitar 100 cc setiap kali muntah.

Dua hari sebelum MRS (5 Juli 2014), demam dirasakan tidak membaik, dan muncul bercak bercak kemerahan yang meninggi di sekitar lutut kanan dan kiri pasien. Bercak kemerahan dikatakan muncul dengan sendirinya, tanpa rasa gatal atau nyeri. Demam saat itu terukur 39,5°C dan pasien mendapatkan

(18)

paracetamol suppositori di UGD BRSU Tabanan. Pasien juga disarankan untuk cek darah lengkap.

Satu hari sebelum MRS (6 Juli 2014), demam tidak kunjung membaik. Bercak kemerahan yang meninggi pada kulit dirasakan semakin menyebar hingga ke seluruh tubuh terutama pada daerah punggung dan bokong. Suhu pasien terukur 39,7°C di UGD dan diberikan obat parasetamol dan dexamethason.

Pada hari Senin, 7 Juli 2014, pasien dirasakan sudah tidak demam, namun bercak kemerahan dirasakan semakin memberat dengan warna lesi bertambah merah dibanding hari sebelumnya. Pasien disarankan rawat inap untuk penanganan lebih lanjut.

Nafsu makan pasien sejak awal demam hingga MRS dirasakan berkurang. Minum pasien juga dikatakan berkurang dengan dengan total cairan masuk sekitar 1000 cc per hari. Buang air kecil normal, warna kuning jernih, dan frekuensi rata – rata 5 kali sehari dengan volume total sekitar 700 cc setiap harinya. Buang air kecil terakhir 2 jam sebelum MRS. Buang air besar dikatakan normal sekali sehari dengan konsistensi padat warna kecoklatan.

Saat MRS hari kedua dan ketiga (8-9 Juli 2014) lesi dikatakan sempat berubah menjadi merah kehitaman.

Riwayat Penyakit Dahulu dan Riwayat Pengobatan

Pasien belum pernah menderita keluhan penyakit yang sama sebelumnya. Sebelum MRS, pasien sempat berobat ke puskesmas dan UGD BRSU Tabanan karena keluhan yang dirasakan. Pasien sempat diberikan obat penurun panas yang dimilikinya di rumah saat hari pertama demam. Pasien juga sempat mendapat terapi antibiotik (cefadroxil), parasetamol suppositori, penambah daya tahan tubuh (immunos), dan dexamethason.

Riwayat Keluarga

Saudara sepupu pasien dikatakan pernah mengalami keluhan yang sama dan sempat dirawat inap karena keluhan tersebut. Adik pasien dikatakan batuk dan

(19)

pilek sejak tiga hari sebelum pasien demam. Riwayat penyakit seperti alergi, asma, dermatitis atopik pada keluarga disangkal.

Riwayat Sosial

Pasien merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Pasien tinggal bersama orangtua dan saudara kandungnya. Sirkulasi udara dan kebersihan rumah pasien dikatakan cukup bagus. Saat ini pasien duduk di kelas I SD. Ayah pasien seorang pegawai swasta dan ibu pasien seorang ibu rumah tangga.

Riwayat Persalinan

Pasien lahir normal dibantu oleh bidan di BRSU Tabanan dengan umur kehamilan ibu 38 minggu. Berat badan pasien saat lahir 3250 gram, panjang badan saat lahir 50 cm. Ibu pasien lupa lingkar kepala pasien saat lahir. Ketika lahir pasien segera menangis dan tidak ditemukan adanya kelainan.

Riwayat Imunisasi

Pasien telah mendapatkan imunisasi dasar lengkap yaitu BCG sebanyak 1 kali, polio sebanyak 4 kali, Hepatitis B sebanyak 4 kali, DPT sebanyak 3 kali dan imunisasi campak.

Riwayat Nutrisi

Pasien mendapatkan ASI eksklusif selama 2 tahun Makanan pelengkap ASI seperti bubur cair mulai diberikan saat pasien berumur 4 bulan. Nasi lembek mulai diberikan sejak usia 6 bulan dan pada usia 9 bulan pasien sudah mulai makan nasi.

Riwayat Tumbuh Kembang

Berat badan lahir : 3250 gram Panjang badan lahir : 50 cm Berat badan sekarang : 22 kg Menegakkan kepala : 3 bulan Membalik badan : 4 bulan

(20)

Duduk : 5 bulan Merangkak : 8 bulan Berdiri : 12 bulan Berbicara : 13 bulan Berjalan : 15 bulan 3.3 Pemeriksaan Fisik Status Present (10/07/2014) KU : Lemah

Kesadaran : Compos mentis

Nadi : 94 x/menit, reguler, isi cukup Respirasi : 32 x/menit

Suhu aksila : 36,8oC Berat badan : 22 kg

Status General (10/7/2014)

Kepala : Normocephali

Mata : anemis -/- , ikterus -/- THT : Telinga : sekret (-)

Hidung : sekret (-), nafas cuping hidung (-) Tenggorok : Tonsil T 1/T1 Hiperemis (-)

Faring hiperemis (-) Thorax : Simetris (+) Retraksi (-)

Cor : S1S2 tunggal reguler normal, murmur (-)

Pulmo : Vesikuler +/+, wheezing -/-, ronki -/- Abdomen : Distensi (-), bising usus (+) normal

Ekstremitas : Hangat (+), edema (-)

Kulit : Tampak lesi purpura di seluruh tubuh dengan diameter sekitar 2 mm, dominan pada bagian kaki. Papula eritema sudah tidak tampak.

(21)

3.4 Pemeriksaan Penunjang

1. Darah Lengkap 7 Juli 2014

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal

WBC 4,4 103/µL 4 – 10 Neu % 39,9 (rendah) % 50-70 Lym % 37,4 % 20-40 Mono % 18,90 (tinggi) % 2-8 Eos % 0,790 % 0-3 Baso % 2,980 (tinggi) % 0-1 Neu # 1,750 (rendah) 103/µL 2-6,9 Lym # 1,640 103/µL 0,6-3,4 Mono # 0,829 103/µL 0-0,9 Eos # 0,2 103/µL 0,07 Bas # 0,114 103/µL 0-0,2 RBC 4,81 106/µL 4,0-5,0 HGB 12,9 g/dL 12,0 – 16,0 HCT 38,6 % 36,0 – 46,0 MCV 79,9 (rendah) fL 80,0 – 100,0 MCH 26,2 pg 26,0 – 34,0 MCHC 32,9 g/dL 32,0 – 36,0 RDW 10,7 (rendah) % 11,5 – 14,5 PLT 175 103/µL 150 – 450 MPV 9,1 fL 7,2-11,1 2. Widal 7 Juli 2014

No. Parameter Hasil Nilai Rujukan

1. Salmonella paratyphi A-O (+) 1/80 NEGATIF 2. Salmonella paratyphi B-O (+) 1/160 NEGATIF 3. Salmonella paratyphi C-O (+) 1/160 NEGATIF 4. Salmonella typhi O (+) 1/80 NEGATIF

(22)

5. Salmonella paratyphi A-H (-) NEG NEGATIF 6. Salmonella paratyphi B-H (+) 1/80 NEGATIF 7. Salmonella paratyphi C-H (-) NEG NEGATIF 8. Salmonella typhi H (+) 1/80 NEGATIF

3. Serum 11 Juli 2014

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal

BUN 11 mg/dL 8-18

Kreatinin 0,4 mg/dL 0,6-1,1

3.5 Diagnosis

Suspek Henoch Schonlein Purpura + typhoid fever

3.6 Terapi dan Monitoring Terapi

- IVFD D5 ½ NS ~18 tpm - Dexamethason 3 x ½ cc iv - Biofos 3 x cth I p.o

- Hidrokortison zalf 1%/5 g - Cefixime 2 x 2/3 cth p.o

- Diit bubur tinggi kalori tinggi protein rendah serat

3.7 Follow up saat MRS

Tanggal Subyektif, Obyektif, Assesment

Terapi dan Planning Diagnosis 8 Juli 2014

(7.30 WITA)

Subyektif

Panas hari ke VII, tidak demam sejak MRS, bintik merah timbul sejak panas hari ke III membaik, gatal (-), makan (+), minum (+), Terapi - IVFD D5 ½ NS ~18 tpm - Dexamethason 3 x ½ cc iv - Biofos 3 x cth I p.o - Hidrokortison zalf 1%/5 g

(23)

muntah (-), batuk (+) Obyektif St.Present N : 100x/menit RR : 20x/menit Tax : 36OC St. General Mata : anemis -/- THT : dbn Thorax : Simetris (+) Cor : S1S2 normal reguler, murmur (-), Pulmo : Ves +/+, Rh -/-, Wh -/- Abdomen : Distensi (-), BU (+) normal, Ekstremitas : hangat, edema (-) Kulit: tampak makulopapula merah kehitaman di seluruh tubuh uk. 0,2 x 0,2 cm,

Assessment

Suspek Henoch Schonlein Purpura + typhoid fever

- Anbacim 3 x 500 iv - Diit bubur tinggi kalori tinggi protein rendah serat

Tanggal Subyektif, Obyektif, Assesment

Terapi dan Planning Diagnosis 10 Juli 2014

(07.30 WITA)

Subyektif

Panas hari ke IX, tidak

Terapi

(24)

demam sejak MRS, bintik merah timbul sejak panas hari ke III membaik, gatal (-), makan (+), minum (+), muntah (-) Obyektif St.Present N : 94x/menit RR : 32x/menit Tax : 36,8OC St. General Mata : anemis -/- THT : dbn Thorax : Simetris (+) Cor : S1S2 normal reguler, murmur (-), Pulmo : Ves +/+, Rh -/-, Wh -/- Abdomen : Distensi (-), BU (+) normal, Ekstremitas : hangat, edema (-)

Kulit: tampak purpura di seluruh tubuh uk. 0,2 x 0,2 cm.

Assessment

Suspek Henoch Schonlein Purpura + typhoid fever

- Dexamethason 3 x ½ cc iv

- Biofos 3 x cth I p.o - Hidrokortison zalf 1%/5 g - Cefixime 2 x 2/3 cth p.o - Diit bubur tinggi kalori tinggi protein rendah serat

11 Juli 2014

(07.30 WITA)

Subyektif

Panas hari ke X, tidak demam sejak MRS, bintik

Terapi

- IVFD D5 ½ NS ~18 tpm - Dexamethason 3 x ½ cc

(25)

merah timbul sejak panas hari ke III membaik, gatal (-), makan (+), minum (+), muntah (-) Obyektif St.Present N : 80x/menit RR : 24x/menit Tax : 35,6OC St. General Mata : anemis -/- THT : dbn Thorax : Simetris (+) Cor : S1S2 normal reguler, murmur (-), Pulmo : Ves +/+, Rh -/-, Wh -/- Abdomen : Distensi (-), BU (+) normal, Ekstremitas : hangat, edema (-)

Kulit: tampak purpura di seluruh tubuh uk. 0,2 x 0,2 cm

Assessment

Suspek Henoch Schonlein Purpura + typhoid fever

iv - Biofos 3 x cth I p.o - Hidrokortison zalf 1%/5 g - Cefixime 2 x 2/3 cth p.o - Metilprednisolon 3 x 1 tab (4mg) p.o

- Diit bubur tinggi kalori tinggi protein rendah serat

(26)

BAB IV PEMBAHASAN

4.1 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

Dari hasil anamnesis didapatkan pasien perempuan berusia 6 tahun datang ke poliklinik anak BRSU Tabanan tanggal 7 Juli 2014 dengan keluhan utama demam sejak tanggal 2 Juli 2014 disertai batuk pilek dan mual muntah. Tiga hari setelah demam, muncul bercak kemerahan yang meninggi di sekitar lutut pasien dan kemudian menyebar ke seluruh tubuh keesokan harinya dengan daerah predominan pada kaki, bokong dan punggung. Lesi dikatakan tidak gatal maupun nyeri. Riwayat penyakit yang sama serta riwayat alergi disangkal.

Dari hasil pemeriksaan fisik pada tanggal 10 Juli ditemukan keadaan umum pasien lemah dengan kesadaran compos mentis, serta tidak ada demam dengan suhu aksila 36,80C. Status generalis kepala, mata, THT, thorax, abdomen serta ekstremitas dalam batas normal, tidak ada kelainan. Pada kulit tampak lesi purpura di seluruh tubuh dengan diameter sekitar 2 mm. Lesi dominan pada bagian kaki dan makulopapul eritema sudah tidak tampak.

Teori mengatakan ruam di kulit dapat menjadi penanda awal pasien dengan HSP. Ruam yang muncul dapat berupa ruam khas palpable purpura pada tungkai bawah dan bokong.12 Gejala ruam pada pasien tersebut telah memenuhi kriteria utama diagnosis HSP. Namun untuk menegakkan diagnosis HSP, diperlukan salah satu tanda berikut, antara lain: adanya nyeri perut yang menyebar, arthritis / arthralgia akut, deposisi predominan IgA pada hasil biopsi, dan keterlibatan ginjal seperti hematuria dan/atau proteinuria.1

Pada pasien ini keluhan nyeri perut maupun nyeri sendi atau bengkak pada sendi disangkal. Penurunan range of movement juga tidak ditemui pada pasien ini. Keluhan kencing berdarah atau kencing berbusa disangkal oleh pasien. Hal ini menunjukkan tidak adanya keterlibatan ginjal pada kasus ini. Kemungkinan lain adalah belum terjadinya gangguan ginjal pada pasien karena berdasarkan literatur, disebutkan bahwa manifestasi penyakit ginjal berkembang dalam 4 minggu pada 75-80% kasus dan dalam 3 bulan pada 97-100% kasus.12

(27)

Temuan lain dari anamnesis dengan pasien yaitu adanya keluhan demam pada awal onset penyakit, disertai batuk dan pilek. Hal ini mungkin menjadi salah satu faktor yang menyebabkan timbulnya vaskulitis sistemik, sesuai dengan hasil beberapa studi yang menyebutkan bahwa dua per tiga pasien HSP mengalami infeksi pemicu. Dari sebuah hasil studi kohort pada pasien anak dengan HSP didapatkan 63 dari 150 pasien mengalami infeksi saluran pernafasan akut dan sebagian kecil anak mengalami infeksi lainnya atau demam.8

Diagnosis banding SLE tidak dipilih sebagai diagnosis banding utama karena pada pasien tidak ditemui riwayat demam berkepanjangan, fatigue, malaise, malar rash dan penurunan berat badan seperti yang umum terjadi pada pasien SLE. Diagnosis banding erupsi obat, urtikaria dan eritema multiform dapat disingkirkan melihat predileksi lesi yang khas pada tungkai bawah dan bokong pasien serta riwayat alergi serta dermatitis atopik pada pasien disangkal.

Pada kasus seperti ini, bila ada kecurigaan HSP namun kriteria diagnosis dari anamnesis dan pemeriksaan fisik belum terpenuhi, dapat dilakukan biopsi jaringan kulit atau ginjal untuk menegakkan diagnosis.1,12 Namun pada pasien ini, belum dilakukan biopsi jaringan sehingga diagnosis HSP masih diragukan / suspek.

4.2 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien antara lain pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan widal serta pemeriksaan BUN serum dan kreatinin serum. Dari hasil pemeriksaan darah lengkap ditemukan kadar leukosit, erotrosit, hemoglobin serta trombosit yang normal. Kadar trombosit pasien yaitu sebesar 195.000 mg/dL. Tidak adanya trombositopenia pada pasien ini dapat menyingkirkan diagnosis banding Immunologic Trombositopenia Purpura (ITP)

Dari hasil pemeriksaan widal ditemukan salmonella paratyphi B-O dan C-O yang sedikit meningkat dengan kadar +1/160, mengindikasikan adanya infeksi kuman salmonella pada pasien. Adanya gejala demam disertai mual muntah juga mendukung adanya infeksi kuman salmonella. Infeksi tersebut dapat pula menjadi salah satu faktor pemicu timbulnya vaskulitis sistemik pada HSP.

(28)

Kadar BUN dan kreatinin serum pasien normal menunjukkan tidak adanya gangguan ginjal pada pasien saat ini, sehingga prognosis pasien dapat dikatakan cukup baik. Beberapa faktor prognosis buruk pada pasien HSP antara lain usia lebih dari 8 tahun, kadar kreatinin serum yang tinggi pada onset penyakit, adanya hematuria atau proteinuria, adanya membranoproliferative glomerulonephritis,sering relaps gejala, adanya purpura diatas garis pinggang, serta adanya demam.

4.3 Penatalaksanaan

Kebutuhan cairan pasien berdasarkan rumus Holiday Segar adalah 1540 ml, dihitung berdasarkan berat badan pasien yatu 22 kg. 10 kg pertama dikalikan 100 ml didapatkan 1000 ml. 10 kg berikutnya dikalikan 50 ml didapatkan 500 ml. 2 kg sisanya dikalikan 20 ml didapatkan 40 ml. Apabila dijumlahkan, kebutuhan cairan per harinya adalah 1540 ml. Pasien hanya mampu minum 1000 mL per hari serta nafsu makan pasien dikatakan menurun, sehingga diberikan tambahan cairan intravena berupa drip D5 ½ NS 18 tetes per menit.

Terapi lain yang diberikan pada pasien ini antara lain cefuroxime 3 x 500 mg secara intravena selama 2 hari, dilanjutkan dengan cefixime 2 x ⅔ cth per oral. Antibiotik diberikan karena dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang ditemukan kemungkinan infeksi kuman salmonella. Biofos 1 x ½ cth diberikan sebagi terapi adjuvan untuk mempertahankan imunitas pasien.

Terapi untuk HSP sendiri bersifat simtomatis. Pemberian antiinflamasi golongan kortikosteroid seperti dexamethason ditujukan untuk meringankan gejala penyakitnya seperti rash di seluruh tubuhnya. Dosis awal yang umum diberikan yaitu 2 mg/kgBB per hari selama satu hingga dua minggu. Selanjutnya, dosis diturunkan secara bertahap menjadi 0,5 mg/kgBB/hari.12 Pada pasien ini, diberikan dexamethason 3 x 0,5 mL secara intravena. Selain dexamethason intravena, pasien juga mendapat hidrokortison zalf 1%/5 g yang dioleskan pada daerah dengan lesi yang dominan. Lesi dikatakan membaik empat hari setelah

(29)

pemberian steroid. Selanjutnya pasien diberikan methylprednisolone per oral dengan dosis 3 x 4 mg.

Diet lunak berupa bubur dan rendah serat diberikan karena pasien sempat mengalami mual muntah sebelum masuk rumah sakit. Diet yang diberikan berupa diet tinggi karbohidrat dan tinggi protein untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan pasien anak.

(30)

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Pasien perempuan usia 6 tahun dengan keluhan utama demam disertai batuk pilek dan mual muntah dan muncul bercak kemerahan meninggi sejak hari ketiga demam didiagnosis dengan suspek Henoch Schonlein Purpura (HSP) dengan demam thypoid. Diagnosis demam thypoid ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan hasil pemeriksaan laboratorium. Diagnosis HSP dicurigai karena adanya lesi yang khas berupa palpable purpura dengan predileksi pada tungkai bawah, bokong dan punggung pasien. Namun masih belum ditegakkan karena tidak adanya salah satu dari tanda seperti arthralgia/arthritis, nyeri abdomen menyebar, keterlibatan ginjal berupa proteinuria dan/atau hematuria, dan deposisi IgA predominan pada hasil biopsi jaringan. Infeksi kuman salmonella dan infeksi saluran pernafasan akut yang dialami pasien diduga merupakan faktor pemicu terjadinya vaskulitis sistemik dengan manifestasi HSP.

Terapi yang diberikan pada pasien bersifat simtomatis berupa steroid sebagai antiinflamasi untuk mengurangi gejala rash yang dialami. Terapi antibiotik diberikan atas indikasi infeksi kuman salmonella. Biofos diberikan sebagai terapi adjunctive diberikan untuk memperbaiki daya tahan tubuh pasien. Prognosis pasien baik tanpa adanya keterlibatan ginjal saat ini.

5.2 Saran

Saran yang dapat diberikan mengenai penulisan karya dan laporan kasus ini adalah :

1. Pada pasien sebaiknya dilakukan pemeriksaan urinalisis untuk mendeteksi adanya hematuria atau proteinuria pada pasien. Sebaiknya pada pasien juga dilakukan biopsi kulit untuk melihat adanya deposisi IgA pada jaringan guna menegakkan diagnosis HSP.

(31)

2. Praktisi kedokteran diharapkan lebih memahami mengenai kriteria diagnosis dan perjalanan penyakit HSP agar dapat melakukan tatalaksana sesuai dengan teori yang ada.

3. Tenaga kesehatan dan masyarakat diharapkan lebih proaktif terhadap tanda dan gejala dari penyakit HSP sehingga pratktisi kedokteran mampu memberi terapi yang tepat dan cepat.

4. Bagi praktisi keilmiahan untuk lebih sering mengangkat HSP sebagai tema dalam penulisan keilmiahan, baik berupa gagasan tertulis, penelitian, maupun laporan kasus.

(32)

DAFTAR PUSTAKA

1. Jauloha O, Henoch-Schönlein purpura in children.. Acta Univ. Oul. D 2012; 1151

2. Aalberse J, Dolman K, Ramnath G, Pereira R & Davin J. Henoch-Schönlein purpura in children: an epidemiological study among Dutch paediatricians on incidence and diagnostic criteria. Ann Rheum Dis 2007;66:1648–1650.

3. Ozen S, Pistorio A, Iusan S, Bakkaloglu A, Herlin T, Brik R, Buoncompagni A, Lazar C, Bilge I, Uziel Y, Rigante D, Cantarini L, Hilario M, Silva C, Alegria M, Norambuena X, Belot A, Berkun Y, Estrella A, Olivieri A, Alpigiani M, Rumba I, Sztajnbok F, Tambic-Bukovac L, Breda L, Al-Mayouf S, Mihaylova D, Chasnyk V, Sengler C, Klein-Gitelman M, Djeddi D, Nuno L, Pruunsild C, Brunner J, Kondi A, Pagava K, Pederzoli S, Martini A & Ruperto N. EULAR/PRINTO/PRES criteria for Henoch-Schönlein purpura, childhood polyarteritis nodosa, childhood Wegener granulomatosis and childhood Takayasu arteritis. Ann Rheum Dis 2010;69: 798–806.

4. Penny K, Fleming M, Kazmierczak D & Thomas A. An epidemiological study of Henoch-Schönlein purpura. Paediatr Nurs 2010;22: 30–35.

5. Lahita RG. Influence of age on Henoch Schonlein purpura. Lancet 1997;350:1116-7.

6. Tizard EJ, Hamilton-Ayres MJJ. Henoch–Scho¨nlein purpura. Arch Dis Child Educ Pract Ed 2008;93:1–8.

7. Trapani S, Micheli A, Grisolia F, et al. Henoch-Scho¨nlein Purpura in childhood: epidemiological and clinical analysis of 150 cases over a 5 year period and review of literature. Semin Arthritis Rheum 2005;35:143–53. 8. Calvino MC, Llorca J, Garcia Porrua C, et al. Henoch-Schonlein purpura in

children from Northwestern Spain. Medicine (Baltimore) 2001;80:279–90. 9. Lau K, Suzuki H, Novak J & Wyatt R (2010) Pathogenesis of

Henoch-Schönlein purpura nephritis. Pediatr Nephrol 25: 19–26.

10. Saulsbury F. Henoch-Schönlein purpura. Curr Opin Rheumatol 2010;22: 598– 602.

(33)

11. Sinclair P. Henoch-Schönlein purpura-a review. Current Allergy & Clinical Immunology, August 2010 Vol 23, No. 3

12. Sohagia AB, Gunturu SG, Tong TR, Hertan HI. Henoch-Schönlein purpura- a case report and review of literature. Gastroenterology Research and Practice Volume 2010.

Referensi

Dokumen terkait

Setelah diperoleh data kecepatan aliran pada sisi outlet akan dilakukan perhitungan dan analisa mengenai kecepatan dari tank BMP-3F dengan bentuk nozzle yang

ﺗ ﺪﺠ تﺎﻣﻮﻠﻌﻣو فرﺎﻌﻣ ةﺬﻓﺎﻨﻟا ﻩﺬه ﻲﻓ ﻦﻋ ﺔﻌّﺳﻮﻣ ﻲﺳارﺪﻟا ﺞﻣﺎﻧﺮﺒﻟا. سرﺪﻟا جﺎﺠﺤﻟا ﺔﺑرﺎﻘﻤﻟ ﺮﺻﺎﻨﻋ : 1 - ئدﺎﺒﻤﻟاو ﻒﻳﺮﻌﺘﻟا : ﻪﻓﺪهو ﻪﺋارﺁ ﻞﻳﺪﺒﺗو ﻞّﺒﻘﺘﻤﻟا

Pemantauan dan Survei Daerah Kerja Tujuan utama pemantauan dan survei radiologik adalah: untuk memperoleh informasi ten tang kondisi radiologik di pembangkit dan daerah tertentu

A Conceptual Model for School-Based Management Operation and Quality Assurance in Nigerian Secondary Schools.. Teachers’ Professional Development and Quality Assurance

Metode pendekatan yang digunakan adalah metode pendekatan analisis dan pemograman notasi yang berorientasi objek, dimana akan membahas permasalahan di PT.Dirgantara Indonesia

Hal ini diperkuat oleh Saeroji (2013) dalam penelitian yang berjudul “Pengaruh Disiplin, Fasilitas, dan Motivasi Belajar terhadap Kecepatan Mengetik Manual (Pada

Karya Enam-Enam Makassar berpengaruh atau dapat meningkatkan laba perusahaan tetapi Jenis investasi tidak seharusnya fokus terhadap satu jenis investasi saja namun dapat

MHC II merupakan MHC yang bertindak di Intraseluler.Proses awalnya antigen masuk ke dalam sel.Otomatis pertahanan dalam sel langsung memproses benda asing itu.Yakni