• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Pembentukan angkatan bersenjata di sebuah negara ditujukan untuk melindungi dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Pembentukan angkatan bersenjata di sebuah negara ditujukan untuk melindungi dan"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Masalah

Pembentukan angkatan bersenjata di sebuah negara ditujukan untuk melindungi dan mempertahankan kedaulatan negara tersebut. Namun pada kenyataannya, terdapat beberapa perluasan peran yang melekat pada angkatan bersenjata. Perluasan ini sangat terkait dengan ideografis dan perkembangan suatu negara. Secara umum dapat dikatakan bahwa pengaruh militer dengan multi fungsinya dalam pemerintahan lebih disebabkan sejarah perjuangan bangsa dan negara yang bersangkutan.

Di negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia Kerterlibatan militer dalam politik sudah menjadi sebuah gejala umum. disamping melakukan fungsi pertahanan, militer juga melakukan fungsi sosial politik, Keterlibatan militer dalam fungsi sosial politik berkaitan dengan kenyataan bahwa negara-negara dunia ketiga umumnya baru mendapatkan kemerdekaan atau dalam upaya membina diri sehingga belum memiliki sistem politik yang stabil dan pemerintahan yang mantap. Disamping itu, pencapaian kemerdekaan yang dilakukan dengan kekerasan senjata dalam melawan penjajah melibatkan unsur militer didalamnya. Dengan demikian, akibat belum stabilnya pemerintahan dan adanya andil militer dalam mencapai kemerdekaan, memungkinkan militer untuk masuk dalam wilayah politik,

yang sesungguhnya bukan wilayah militer tetapi wilayah sipil. 1

Namun fenomena campur tangan militer dalam politik ini tidak terjadi di negara-negara yang secara politik, ekonomi, dan sosial yang telah maju dibandingkan dengan negara-negara berkembang. Di negara-negara maju, militer berada dibawah supremasi sipil.       

1 

(2)

Sistem plitik yang telah mapan, pendapatan perkapita yang cukup tinggi, tingkat industrialisasi yang tinggi, ditambah dengan kesadaran politik dan hukum rakyat yang sangat tinggi, telah mengurangi kemungkinan terjadinya intervensi militer.

Dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara, hubungan sipil-militer yang harmonis merupakan hal yang sangat penting bagi suatu bangsa karena berpengaruh terhadap ketahanan nasionalnya, bahkan menjadi prasyarat utama yang menentukan maju mundurnya suatu negara. Militer memerlukan dukungan pemerintah dalam hal alokasi anggaran yang dibutuhkan untuk membangun kekuatan angkatan perang dalam rangka mengatasi ancaman yang akan timbul. Begitu juga sipil membutuhkan militer sebagai perlindungan terhadap keamanan. Dalam konteks Indonesia, sejak proklamasi kemerdekaan, konstelasi politik dan maraknya peraturan politik tidak terlepas dari pengaruh keterlibatan

kelompok militer.2

Di Indonesia Keterlibatan militer dalam politik sedikit berbeda dengan negara-negara berkembang lainnya, dimana militer Indonesia tidak masuk kedunia politik melalui perebutan kekuasaan atau kudeta militer seperti yang lazim terjadi dinegara-negara amerika latin dan beberapa negara Asia, namun keterlibatan militer kedalam dunia politik sangat terkait dengan sejarah terbentuknya militer itu sendiri, pada awalnya militer Indonesia tidak terbentuk secara instan, melainkan membentuk dirinya sendiri melalui perjuangan kemerdekaan melawan penjajahan Belanda ataupun Jepang. Perannya dalam mendapatkan kemerdekaan ini membuat militer melakukan kegiatan kesemestaan, tidak hanya bertempur secara fisik akan tetapi juga terlibat dalam penyusunan strategi pendirian bangsa Indonesia. Penggalan sejarah kemerdekaan ini kemudian menjadikan militer tidak hanya sebagai instrumen pertahanan

      

2 Arif, Yulianto. Hubungan Sipil-Militer di Indonesia Pasca Orde Baru: Ditengah Pusaran Demokrasi. Jakarta: Grafindo,

(3)

bangsa dari gangguan kekuatan luar, akan tetapi juga menjadi bagian penting dalam

pengambilan keputusan politik Indonesia.3

Namun selain dari itu, alasan lain yang menguatkan dwifungsi ABRI diantaranya adalah: pertama, argumentasi historis bahwa ABRI lahir dari rakyat, besar bersama rakyat dan berjuang bersama rakyat. mereka dibentuk tidak dalam kontrol pemerintah, ABRI terbentuk dari para pemuda yang berjuang untuk rakyat dan melakukan koordinasi sesuai dengan tujuan bersama, yaitu menyingkirkan penjajah. Kedua, yang dikemukakan untuk membenarkan dwifungsi ABRI adalah mengenai kegagalan pemerintahan sipil dalam mengemudikan roda pemerintahan Negara.

Ketiga, mengenai paham Negara integralistik atau Negara kekeluargaan yang menjelaskan bahwa setiap Negara adalah miniatur dari sebuah keluarga inti dimana setiap anggota keluarga mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Maka, mustahil memisahkan kedudukan ayah-ibu dan anak. Sehingga antara sipil dan militer hidup berdampingan tanpa perbedaan. Jika ada persinggungan antar keduanya merupakan hal yang sangat wajar.

alasan lain yang menyebabkan ABRI ingin berperan di arena politik yakni alasan ekonomi. Menurut Coen Husain Pontoh inilah alasan utama dwifungsi ABRI dalam politik, penguasan ekonomi. Terutama motivasi tersebut dapat membantu dalam pendanaan operasi militer. Jadi dari alasan tersebut bisa dikatakan logis ketika militer dijadikan sebagian dari rakyat, namun permasalahannya tidak terlepas dari militer sendiri bahwa mereka sangat anti demokrasi sehingga dalam bergaul dengan masyarakat sipil sifatnya sangat kaku. Dalam arena politik, konsep demokrasi yang mengedepankan kepentingan umum dan

mengedepankan hak asasi manusia tidak terdapat dalam pendidikan militer.4

       3

Soebijono, Dwifungsi ABRI:Perkembangan dan Peranannya Dalam Kehidupan Politik Indonesia, (Jakarta: Gadjah Mada University Press,1992), Hlm .7.

(4)

Pada awalnya militer di Indonesia lahir dan berkembangan sebagai militer yang revolusioner dengan konsep ABRI manunggal dengan rakyat, hal ini ditujukan bahwa doktrin Dwifungsi ABRI dapat setara dengan ideologi yang harus disadari oleh baik kalangan sipil maupun militer. Berdasarkan kelahiran doktrin itulah dua fungsi militer dalam sistem politik Indonesia dilaksanakan. Berdasarkan tataran empiris, konsepsi doktrin itu telah mengalami pergeseran terutama pada tingkat operasional. Dwifungsi yang tadinya menyangkut tugas pembelaan negara berubah menjadi multifungsi militer dalam orientasinya terhadap struktur dan fungsi sistem politik Indonesia.

Periode Rezim pemerintahan Orde Lama merupakan fondasi bagi perjuangan militer dalam panggung pertahanan dan politik. Pada periode awalnya ketika sistem pemerintahan parlementer mereka termarginalkan oleh elit pemerintahan sipil begitu pula dengan kepala negara, Soekarno. Akibatnya pada akhir periode ini terjadi pergeseran dari marginalisasi militer dalam politik memasuki era baru yaitu berkuasanya militer dalam sistem politik Indonesia. Penguatan kepentingan ini terjadi dengan tumbangnya politisi sipil terutama kehidupan partai politik dan keterpurukan ekonomi. Disamping itu juga bergesernya aliansi kepentingan presiden dengan parpol terutama PKI ke arah aliansi dengan militer terutama setelah jatuhnya PKI akibat Kudetanya yang gagal.

Periode ke dua adalah ketika rezim pemerintahan Orde Baru muncul pada tahun 1966. Periode inilah yang menjadi periode keemasan multifungsi ABRI dengan doktrin Dwifungsi ABRI tersebut. Hampir semua kelembagaan trias politica terkendali dan diduduki oleh militer. Peran aliansi diantara presiden Soeharto dengan militer sangat mendominasi sistem politik Indonesia ini selama kurun waktu 32 tahun.

Kehadiran Orde Baru ditopang eksistensi kalangan militer Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), khususnya Angkatan Darat (AD) dengan tokoh utamanya Soeharto yang melenggang ke tangga puncak kekuasaan setelah dirinya mengklaim Presiden

(5)

Soekarno telah memberikan mandat pemulihan keamanan, yang dikenal dengan Supersemar (Surat Perintah 11 Maret). Desain politik Orde Baru merupakan desain politik yang didalamnya memberikan peluang amat dominan bagi militer untuk intervensi ke segala sektor kehidupan, terutama sektor birokrasi dan politik. Militer masuk ke wilayah politik praktis secara terang-terangan lewat Golongan Karya (Golkar). sejarah Golkar dimulai dengan penugasan anggota-anggota ABRI, khususnya Angkatan Darat dalam lembaga pemerintahan

dan lembaga perwakilan.5

Pada masa Orde baru Dwifungsi hadir dalam dua wajah yaitu Dwifungsi teritorial dan struktural. Dwifungsi teritorial terwujud dalam bentuk struktur birokrasi sipil dan militer yang hirarkis dan pararel dari pemerintah pusat, propinsi, kabupaten/ kota, kecamatan sampai kelurahan/ desa. Mendagri adalah pengendali hirarki birokrasi sipil yang bertanggungjawab kepada presiden. Pararel dengan hirarki birokrasi sipil adalah hirarki militer dari Dephankam/Mabes TNI, Kodam, Korem, Kodim, Koramil dan Babinsa. Menhankam dan Panglima TNI adalah pengendali utama hirarkhi militer yang bertanggungjawab pada presiden. Militer juga terlibat dalam pengendalian pemerintahan di tingkat kabupaten dengan tampil dalam Muspida yang terdiri dari Bupati, Dandim, Kapolres, Kajari, dan Kepala Pengadilan. Di kecamatan juga ada Muspika yang memberi ruang bagi Danramil dan Kapolsek untuk ikut mengontrol pemerintah dan rakyat.

Dwifungsi skruktural hadir dalam bentuk kekaryaan TNI/Polri atau keterlibatan mereka dalam jabatan sipil. Hampir semua jabatan sipil yang strategis dimasuki militer baikdi wilayah eksekutif (dari gubernur sampai dengan lurah/ kepala desa) maupun legislatif (MPR, DPR sampai DPRD II). Sebagai contoh dari Dwi Fungsi ABRI adalah pada jabatan Wakil Gubernur Timor-timur adalah Kolonel Infantri Suryo Prabowo, Bupati covalima Kolonel Infantri Herman Sediono. Dalam birokrasi sipil terdapat pula Ditjen Depdagri, Ditsospol dan       

5 

(6)

Kantor Sospol sebagai aparat intelejen sipil dan aparat ideologis untuk melakukan indoktrinasi kepada masyarakat dan regulasi terhadap aktivitas politik dan sosial. Dwifungsi ABRI tidak hanya merambah bidang politik dan kemasyarakatan, tapi juga sampai bidang ekonomi. Salah satu bentuk konkretnya berupa "premanisme". Dwifungsi menjadi ancaman serius bagi demokratisasi keamanan dan bahkan stabilitas sosial-politik. Kerangka analisis ini bertolak belakang dengan ideologisasi Dwifungsi ABRI yang justru mengandaikan ABRI sebagai stabilisator dan dinamisator. Meski pada masa Orde Baru stabilitas nasional relatif mapan, tapi bersifat semu karena diikuti dengan matinya demokrasi, merajalelanya kekerasan, dan kuatnya supremasi militer, sementara elemen-elemen sipil dalam posisi

lemah.6

I.2. Perumusan masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah yang akan menjadi pokok bahasan dalam tulisan ini adalah: “Bagaimana sejarah awal militer Indonesia bisa mendapatkan kesempatan untuk terlibat dalam politik Indonesia”.

I.3. Batasan masalah

Mengingat dalam suatu penelitian perlu adanya eksplorasi khusus agar penelitian yang dilakukan tidak mengambang dari materi, maka perlu adanya pembatasan masalah dalam penelitian. untuk itu peneliti akan membatasi masalah penelitiannya pada masa Demokrasi liberal dan Demokrasi terpimpin dari tahun 1950 sampai tahun 1966, karena masa ini merupakan tonggak sejarah penting keterlibatan militer dalam dunia politik, mulai dari masa demokrasi terpimpin (1950-1959), dimana pada masa ini militer memainkan peranannya dalam memadamkan gerakan-gerakan separatisme lokal sampai keluarnya doktrin dwifungsi ABRI pada tahun 1958 dan pada masa demokrasi liberal (1959-1966)

       6 

(7)

terjadi gerakan 30/S PKI dan keluarnya Supersemar dan lahirnya rezim Orde baru yang merupakan masa keemasan militer dalam kancah dunia politik.

I.4. Tujuan penelitian

Adapun tujuan penelitian ialah pernyataan mengenai apa yang hendak kita capai7.

Beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, adalah:

1. Mendeskripsikan sejarah terbentuknya militer beserta kelembagaannya. 2. Mendeskripsikan keterlibatan militer dalam politik Indonesia.

3. Menganalisis sejarah awal militer Indonesia bisa mendapatkan kesempatan untuk terlibat dalam politik Indonesia.

I.5. Manfaat penelitian

1. Bagi masyarakat/praktisi, penelitian diharapkan mampu menambah pengetahuan ataupun informasi tentang bagaimana sejarah awal militer Indonesia bisa mendapatkan kesempatan untuk terlibat dalam politik Indonesia.

2. Bagi Ilmu pengetahuan, penelitian ini diharapkan bisa dijadikan sebagai bahan kajian dan sumbangan pemikiran terutama tentang keterlibatan militer dalam politik Indonesia

3. Bagi penulis, untuk mengembangkan kemampuan berfikir serta kemampuan penulis untuk menulis karya ilmiah dan juga dapat menambah pengetahuan penulis mengenai masalah yang diteliti.

I.6. Kerangka teori

Teori adalah rangkaian asumsi, konsep, kontruksi, defenisi, dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep. Dalam suatu penelitian ilmiah, masalah yang akan diteliti biasanya bertolak       

7

(8)

dari teori-teori yang sudah ada, kemudian penelitian sebaiknya dilakukan tahap demi tahap secara ilmiah agar nantinya dapat menghasilkan suatu kesimpulan yang ilmiah. Salah satu unsur yang paling penting peranannya dalam observasi adalah menyusun kerangka teori. Sebelum melakukan penelitian lebih lanjut, seorang peneliti perlu menyusun kerangka teori sebagai landasan berfikir untuk menggambarkan dari sudut mana peneliti akan menyoroti

masalah yang telah di pilih8. Kerangka teori yang menjadi landasan berfikir penulis dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

I.6.1 Batasan Militer

Militer dapat diartikan sebagai kelompok yang memegang senjata dan merupakan organisasi kekerasan fisik yang sah untuk mengamankan negara dari ancaman luar negri maupun dalam negri. Dalam hal ini, militer berfungsi sebagai alat negara yang menjunjung tinggi supremasi sipil.

Militer juga dapat didefinisikan sebagai sebuah organisasi yang diberi wewenang oleh Negara untuk menggunakan kekuatan termasuk menggunakan senjata, dalam mempertahankan bangsanya ataupun untuk menyerang Negara lain. Militer biasanya terdiri atas para prajurit atau serdadu. Kata lain yang sangat erat dengan militer adalah militerisme, yang artinya kurang lebih perilaku tegas, kaku, agresif dan otoriter, walaupun pelakunya bisa saja seorang pemimpin sipil. Karena lingkungan tugasnya terutama di medan perang, militer memang dilatih dan dituntut untuk bersikap tegas dan disiplin. Dalam kehidupan militer dituntut adanya hirarki yang jelas dan para atasan harus mampu bertindak tegas dan berani

karena yang dipimpin adalah pasukan bersenjata.9

       8

 Hadari Nawawi, Metodologi Penelitian Sosial, Yogyakarta, Gajah Mada University Press, 1987, hlm.40 

9 

(9)

Dalam studi hubungan sipil-militer, para peneliti dan pengamat militer sering berbeda pendapat mengenai siapa pihak militer itu. Amos Pelmutter membatasi konsep militer hanya kepada semua perwira yang duduk dalam jabatan yang menuntut kecakapan politik, aspirasi dan orientasi yang bersifat politik tidak memandang kapangkatan, apakah perwira tinggi,

menengah atau pertama10. Kemudian Cohan menyebutkan bahwa pihak militer dapat berupa

personal militer, lembaga militer, atau hanya perwira senior.11

Para pengamat hubungan sipil-militer dalam negeri seperti Letjen TNI (Purn)

Sayidiman Suryahardiprojo12 mendefenisikan militer berkaitan dengan kekuatan bersenjata

yaitu TNI sebagai organisasi kekuatan bersenjata yang bertugas menjaga kedaulatan negara. Sedangkan Hardito membatasi pihak militer ditekankan pada perwira professional.

Dari definisi-definisi yang dikemukakan diatas, dapat dikatan bahwa pengertian militer secara universal adalah institusi bukan sipil yang mempunyai tugas dalam bidang pertahanan dan keamanan, dalam hal ini militer merupakan suatu lembaga, bukan individu yang menduduki posisi dalam organisasi militer.

I.6.2 Orientasi militer

Tipe-tipe orientasi militer berbeda di setiap negara, tergantung bagaimana pihak militer dalam pemerintahan, selain itu juga tergantung sistem politik yang dianut negara tersebut. Setiap negara mempunyai karakteristik sendiri terhadap tipe-tipe orientasi militernya, menurut Amos Perlmutter ada tiga jenis orientasi militer yang timbul di negara       

10 

Amos Perlmutter, Militer dan Politik, Jakarta : PT. Grafindo Persada, 2000, hal.25 11

Elliot A. Cohan. “Civil Millitary Relation in Contemporary World”, Dikutip oleh Susilo Bambang Yudhoyono, Pengaruh

Internasional dalam Hubungan Sipil Militer, sebuah makalah yang disajikan dalam Seminar Nasional Mencari Format Baru

Hubungan Sipil Militer, Jakarta: FISIP UI, 1999 12 

Sayidiman Suryohadiprojo, Hubungan-Sipil Militer di Indonesia: Suatu Pembahasan, sebuah makalah yang disajikan dalam Seminar Nasional Mencari Format Baru Hubungan Sipil-Militer, Jakarta: FISIP UI, 1999

(10)

modren, masing-masing bertindak sebagai reaksi terhadap jenis kekuasaan sipil yang di

lembagakan, yakni: 13

1. Militer profesional

Militer profesional adalah militer yang memegang teguh fungsi pertahanan-kemanan, mempunyai keahlian dalam menggunakan senjata, setia pada negara bukan pada pemerintah atau komandan, punya jiwa korsa yang kuat, dan punya etika militer yang kuat. Etika ini mementingkan ketertiban, hirarkhi dan pembagian tugas serta pengakuan atas nation-state sebagai bentuk tertinggi organisasi politik. Negara yang kuat jika ada kekuatan militer yang kuat, tetapi kekuatan militer ini adalah perangkat negara. Dalam tubuh militer tidak perlu ada demokrasi, misalnya dalam bentuk perdebatan terbuka antara komandan dan prajurit.

Seorang ilmuan politik Amerika, Samuel P. Huntington berpandangan bahwa perubahan korps perwira militer dari bentuk “penakluk” (warrior) menjadi kelompok profesional ditandai dengan bergesernya nilai dari “tentara pencari keuntungan” menjadi “tentara karena panggilan suci” contohnya pengabdian kepada Negara. Huntington memberikan elaborasi tentang tumbuhnya profesionalisme militer, menurutnya memiliki tiga

ciri sebagai berikut : 14

1. Keahlian, Suatu kekuatan militer memerlukan pengetahuan yang mendukung untuk mampu mengorganisir, merencanakan, dan mengarahkan aktivitasnya baik dalam keadaan perang maupun damai.

2. Tanggung jawab sosial yang khusus, Seorang perwira militer disamping memiliki nilai-nilai moral yang tinggi yang terpisah dari insentif ekonomi juga mempunyai       

13

Amos Perlmutter, Ibid, hal.141 14

(11)

tanggung jawab pokok kepada negara. Berbeda dengan masa sebelumnya, saat itu seorang perwira seolah-olah “milik pribadi” komandannya dan harus setia kepadanya. Pada masa profesionalisme seorang perwira berhak mengoreksi komandannya jika sang komandan bertentangan dengan kepentingan negara (national interest).

3. Karakter koorporasi (corporate character) yang melahirkan rasa esprit de corps yang kuat, Berbeda dengan kelompok profesional yang lain, korps perwira militer merupakan suatu “birokrasi profesional” yang anggota-anggotanya mengabdi pada birokrasi negara, tapi sebagai suatu satuan dalam birokrasi negara korps perwira merupakan unit sosial yang otonom, yang memiliki kemandirian dalam birokrasi, lembaga pendidikan, jurnal, asosiasi, kebiasaan, dan tradisi.

Ketiga ciri tadi melahirkan yang Huntington sebut dengan “The Military Mind” yang menjadi dasar bagi hubungan militer dan negara. Inti The Military Mind adalah suatu ideologi yang berisi pengakuan militer profesional terhadap supremasi pemerintahan sipil. Huntington menganggap intervensi militer dalam politik sebagai tanda adanya pembusukan politik (political decay). Bagi Huntington, yang menekankan pembangunan politik melalui lembaga-lembaga politik, intervensi militer paling banyak dapat diterima jika merupakan suatu periode transisi dalam usaha menciptakan lembaga-lembaga politik yang kuat.

Selain itu Amos Perlmutter mengetengahkan bahwa disamping kondisi-kondisi yang telah dikemukakan oleh Huntington, ideologi, profesionalisme keterampilan, dan semangat koorporasi terdapat pula kondisi lain yang ikut mendukug kelanjutan tentara profesional, kondisi pertama adalah semakin kuatnya negara sekuler, yakni negara yang yang bebas dari dominasi agama , kelas, dan kasta sehingga rekruitmen perwira militer tidak mengalami stagnasi karena persaingan primordial. Sehubungan dengan kondisi pertama maka kondisi kedua adalah mutlak perlunya mobilitas sosial bagi perwira militer berdasarkan kemampuan

(12)

dan keterampilan tanpa disangkut pautkan dengan latar belakang primordialnya. Permutter melihat bahwa model tentara profesional lebih mungkin dicapai pada negara yang berkebudayaan homogen dan sekuler ketimbang negara yang majemuk dan tradisional.

2. Militer praetorian

Militer pretorian adalah militer yang lebih suka berpolitik atau menjalankan aktivitas ekonomi, ketimbang mengurusi pertahanan. Militer aktif yang jadi menteri, parlemen, kepala daerah, atau menjalankan bisnis adalah militer pretorian, alias militer yang tidak punya etika profesional. Sebagai contoh, seorang kolonel aktif yang jadi bupati akan mempunyai tanggungjawab ganda, yang satu ke publik dan yang lain ke jenderal yang lebih tinggi. Sehingga untuk memberhentikan bupati bermasalah, harus memperoleh izin dari panglima TNI. Seorang tentara tetap boleh menjadi pejabat politik, tetapi ia harus lepas identitas militernya sampai di titik nol atau sampai tidak lagi berhubungan dengan komando dan organisasi militer.

Samuel P. Huntington mengemukakan Militer pretorian yaitu militer melakukan politisasi di seluruh kekuatan-kekuatan sosial yang melingkupinya, bahkan akhir dari ujung politisasi yang dilakukannya menciptakan atau membangun masyarkat praetorianisme, sehingga lembaga-lembaga politik menjadi tidak efektif baik dalam mensikapi perubahan ataupun dalam upaya-upaya merumuskan kebijakan serta pada tindakan-tindakan politik. Pada aspek sistem politik, partai-partai politik yang terdapat tidak memiliki prosedural dan otoritas dalam pemecahan konflik-konflik, yang biasanya selalu memunculkan pragmentasi kekuasaan. Pragmentasi ini oleh Huntington dibagi ke dalam tiga jenis pragmentasi rezim pretorian yakni pretorian oligarkis, radikal dan bersifat massa.

(13)

Praetorian yang oligarkis adalah kaum militer bekerja sama dengan pemilik tanah yang luas dan pemimpin-pemimpin agama, dan di luar mereka hampir-hampir tidak ada organisasi yang diperbolehkan berkembang. Adapun mengenai pretorian radikal sering lahir dari pretorian yang oligarkis, pelopornya adalah perwira-perwira reformis dan nasionalistis yang berasal dari golongan menengah, yang mendambakan modernisasi dan pembangunan ekonomi. Aliansi kaum militer pretorian radikal dibangun dengan kelompok-kelompok profesi dan intelektual serta kadang dengan kaum buruh. Pretorian radikal ini yang melahirkan pemerintahan korporatis. Bentuk ketiga pretorian yang bersifat populis, umumnya didukung oleh buruh, mahasiswa dan kelompok menengah. Namun dalam bentuk ketiga, Huntington melihat suatu paradoks dimana kaum militer akan menjadi penjaga yang konservatif dari rezim populis untuk pada akhirnya menggulingkan dan merebut kekuasaannya.

3. Militer revolusioner professional

Militer revolusioner professional mempunyai pola intervensi illegal, namun tidak seperti tentara pretorian yang melalui kudeta militer atau melalui kerjasama dengan kelompok-kelompok lain sebelum dan selama proses intervensi. Intervensi tentara revolusioner merupakan suatu aktivitas kelompok militer yang illegal yang beroprasi secara sembunyi, dan dilancarkan untuk mendukung kelompok revolusioner yang sudah ada yang secara terang-terangan berusaha mengambil alih kekuasaan dengan bantuan dan dukungan kelembagaan secara besar-besaran.

Tentara revolusioner pretorian bukanlah hasil dari keahlian militer, melainkan pengabdian revolusi dan mendapatkan dukungan partai. Tentara revolusioner tidak mengenal adanya pendaftaran dan penerimaan perwira, melainkan kesadaran sendiri untuk ikut

(14)

bergabung membela kepentingan revolusi. Oleh karna itu tentara revolusi tidak ada pembatasan jumlah tentaranya.

I.6.3 Batasan Sipil

Istilah sipil dalam bahasa inggris ” civilian” yakni person not sarving with armed forces (seorang yang berkerja diluar profesi angkatan bersenjata). Cohan mendefenisikan pihak sipil dapat berupa masyarakat umum, lembaga pemerintah dan swasta, para politisi dan negarawan. Suhartono membatasi pihak sipil sebagai masyarakat politik yang diwakili partai politik. Sayidiman Suryahardiprojo memberikan batasan pengertian sipil sebagai semua

lapisan masyarakat.15

Dari berbagai pengertian diatas maka dibuat pengertian secara universal bahwa istilah sipil adalah semua orang baik individu atau institusi yang berada diluar organisasi militer. Dalam kajian pengertian sipil dibatasi pada masyarakat politik, dengan alasan bahwa orientasi analisis dalam kajian ini adalah praktek-praktek politik kedua belah pihak dalam memperebutkan kontrol efektif atas kekuasaan pemerintah. Masyarakat politik merupakan integrasi diantara masyarakat yang mempunyai tujuan untuk memeperoleh kekuasaan dalam suatu negara.

I.6.4 Pola hubungan Sipil Militer

Militer yang masuk ke dalam dunia politik didasari oleh banyak faktor pendukung. Secara kultur yang dibangun dalam dunia milter memang menjadikan setiap perwira militer memiliki keunggulan yang dapat dikatakan melebihi kualitas sipil. Indoktrinasi yang dibangun dalam dunia militer juga memberikan semangat juang yang berbeda dibandingkan kalangan sipil. Faktor-faktor pendukung itu antara lain adalah networking yang dibangun oleh       

15 

(15)

setiap perwira cukup baik. Networking itu dibangun dari berbagai momen seperti latihan militer bersama, pendidikan militer bersama, atau hubungan antar pimpinan militer di negara yang berbeda. Perwira tinggi militer yang memiliki jaringan yang kuat dapat melakukan koordinasi bahkan bantuan dukungan jaringannya di negara lain. Selain networking, faktor pendukung lainnya adalah sistem kepemimpinan yang dibangun dalam dunia militer. Setiap perwira militer sudah dilatih kepemimpinannya dalam suatu entitas terkecil sampai memimpin satu angkatan secara keseluruhan. Kultur itu membuat pengalaman seorang perwira militer benar-benar terlatih sejak dini. Selain itu, ada faktor-faktor lain yang juga sangat mempengaruhi kualitas seorang perwira militer yang siap memimpin negara antara lain pendidikan berkualitas yang dididik dengan orang-orang berkualitas bahkan dari kalangan sipil yang memenuhi kriteria terbaik seperti Guru Besar.

Masuknya militer masuk dalam dunia politik membuat kalangan sipil memikirkan untuk melakukan pengontrolan terhadap militer agar tidak terjadi kudeta yang bisa mengancam kekuasaan sipil. Oleh karena itulah dibuat sebuah pemerintahan sipil yang bisa mengontrol militer dengan sebaik-baiknya.

Tiga model kontrol sipil (Eric Nordinger, Soldiers in Politics) antara lain:16

1. Model Tradisional

Merupakan model kontrol sipil di negara monarki. Bentuk pemerintahan sipil tradisional ini sangat berpengaruh dalam sistem pemerintahan kerajaan abad ke-17 dan abad ke-18 di Eropa. Hal itu terjadi karena golongan aristokrat Eropa merupakan elit sipil dan juga elit militer. Walaupun kedua golongan elit ini berbeda, akan tetapi dalam kepentingan dan pandangannya hampir sama karena keduanya berasal dari golongan aristokrat. Golongan

       16 

(16)

bangsawan tidak bisa memanfaatkan kedudukan militer mereka untuk menentang raja karena raja masih sangat dihormati sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Tindakan menentang raja justru akan melemahkan kedudukan politik, ekonomi, dan sosial mereka yang sangat bergantung kepada raja. Dalam model ini biasanya tidak terjadi konflik antara sipil dan militer. Ketika terjadi konflik, mereka lebih memilih untuk mempertahankan statusnya sebagai sipil atau bangsawan yang memiliki previlege. Dalam model ini, militer dianggap sebagai golongan amatir. Model ini mulai runtuh di Eropa Barat setelah tahun 1800-an ketika pendidikan dan kemahiran dijadikan parameter utama dibandingkan status dan kekayaan warisan.

2. Model Liberal

Model Liberal mendasarkan pada diferensiasi tugas dan wewenang sipil dan militer. Militer hanya bertugas menjaga keamanan dan pertahanan negara. Selain itu, militer diberikan kemampuan manajemen militer yang mumpuni. Seluruh kebutuhan militer dipenuhi dengan sebaik-baiknya oleh sipil. Singkat kata, model ini berupaya melakukan

depolitisasi semaksimal mungkin terhadap militer. Semua hak militer yang diberikan untuk

sipil bukan berarti memberikan kewenangan yang seenaknya kepada sipil untuk melakukan apapun terhadap militer. Dalam hal ini, sipil dituntut untuk memiliki civilian ethic. Ada beberapa etika sipil yang harus dilakukan, antara lain sipil harus menghormati kehormatan militer, keahlian, dan otonomi, serta harus menunjukkan sikap netral. Selain itu, sipil tidak boleh melakukan intervensi ke dalam profesi militer apalagi menyusupkan ide-ide politik bahkan menggunakan militer untuk kepentingan politik tertentu. Model liberal ini sebenarnya memiliki banyak kelebihan, tetapi segalanya bisa bermasalah ketika sipil tidak konsisten dalam setiap etika yang harus dipenuhi.

(17)

3. Model Panetrasi

merupakan suatu model kontrol sipil yang melakukan penebaran ide-ide politik terhadap perwira militer yang masuk dalam partai-partai politik. Dalam hal ini, sipil dan militer adalah satu perangkat ideologi. Model ini hanya bisa diterapkan di suatu negara yang menerapkan sistem partai tunggal. Kontrol sipil terhadap militer dilakukan melalui dua struktur yaitu struktur militer itu sendiri dan struktur partai politik. Militer yang masuk dalam partai politik harus melepaskan semua aturan militernya dan masuk dalam aturan partai politik sehingga semua tunduk dalam aturan partai. Hal ini membuat tidak dominannya peran militer. Kalaupun ada dominasi militer dalam partai hanya mungkin terjadi sebatas faksi. Model panetrasi ini biasanya diterapkan di negara komunis. Apabila model ini diterapkan, ia akan sangat memperlihatkan supremasi sipil. Akan tetapi dalam keadaan tertentu, pelaksanaan yang kurang baik akan menimbulkan resiko yang cukup tinggi. Sama seperti model liberal, dalam model panetrasi ini akan berakibat buruk ketika setiap aksi kelompok sipil mengganggu wilayah otonom militer.

I.6.5 Kekuasaan

Kekuasaan dapat diartikan sebagai sebuah kewenangan yang didapatkan oleh seseorang atau kelompok guna menjalankan kewenangan tersebut sesuai dengan kewenangan yang diberikan, kewenangan tidak boleh dijalankan melebihi kewenangan yang diperoleh ataupun kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari. Kekuasaan merupakan kemampuan memengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang mempengaruhi.

Dalam pembicaraan umum, kekuasaan dapat berarti kekuasaan golongan, kekuasaan raja, kekuasaan pejabat negara. Sehingga tidak salah bila dikatakan kekuasaan adalah

(18)

kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain menurut kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan tersebut. Robert Mac Iver mengatakan bahwa Kekuasaan adalah kemampuan untuk mengendalikan tingkah laku orang lain baik secara langsung dengan jalan memberi perintah atau secara tidak langsung dengan jalan menggunakan semua alat dan cara yg tersedia. Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan, ada yg memerintah dan ada yg diperintah. Manusia berlaku sebagai subjek sekaligus objek dari kekuasaan. Kekuasaan adalah gejala

yang selalu ada dalam proses politik, Politik tanpa kekuasaan bagaikan agama tanpa moral.17

Sedangkan untuk menguraikan konsep kekuasaan politik kita perlu melihat pada kedua elemennya, yakni kekuasaan dari akar kata kuasa dan politik yang berasal dari bahasa Yunani Politeia (berarti kiat memimpin kota (polis). Sedangkan kuasa dan kekuasaan kerap dikaitkan dengan kemampuan untuk membuat gerak yang tanpa kehadiran kuasa (kekuasaan) tidak akan terjadi, misalnya, Bila seseorang, suatu organisasi, atau suatu partai politik bisa mengorganisasi sehingga berbagai badan negara yang relevan misalnya membuat aturan yang melarang atau mewajibkan suatu hal atau perkara maka mereka mempunyai kekuasaan politik.

Variasi yang dekat dari kekuasaan politik adalah kewenangan (authority), kemampuan untuk membuat orang lain melakukan suatu hal dengan dasar hukum atau mandat yang diperoleh dari suatu kuasa. Seorang polisi yang bisa menghentian mobil di jalan tidak berarti dia memiliki kekuasaan tetapi dia memiliki kewenangan yang diperolehnya dari UU Lalu Lintas, sehingga bila seorang pemegang kewenangan melaksankan kewenangannya tidak sesuai dengan mandat peraturan yang ia jalankan maka dia telah menyalahgunakan wewenangnya, dan untuk itu dia bisa dituntut dan dikenakan sanksi. Sedangkan kekuasaan politik tidak berdasar dari UU tetapi harus dilakukan dalam kerangka hukum yang berlaku sehingga bisa tetap menjadi kekuasaan yang konstitusional

      

(19)

I.7. Metode penelitian I.7.1 Jenis penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif, metode penelitian deskriptif dapat diartikan sebagai sebuah proses pemecahan suatu permasalahan yang diselidiki dengan menggambarkan maupun menerangkan keadaan sebuah objek ataupun subjek penelitian seseorang, lembaga, maupun masyarakat dengan berdasarkan fakta-fakta yang tampak

sebagaimana adanya.18

I.7.2 Teknik pengumpulan data

Adapun teknik pengumpulan data dan informasi dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode library research atau studi pustaka yaitu dengan cara menghimpun buku-buku, makalah-makalah dan dokumen-dokumen dari berbagai sumber dan tempat serta hal-hal lain yang menunjang dan juga melakukan berdiskusi dengan berbagai pihak.

I.8. Sistematika penulisan

BAB I: PENDAHULUAN

BAB ini Dibagi atas 7 bagian, antara lain: Latar belakang masalah, Rumusan masalah, Tujuan dan mamfaat penelitian, Kerangka teori, Metodologi penelitian, dan Sistematika penulisan.

BAB II : GAMBARAN UMUM MILITER INDONESIA

Bab ini akan menggambarkan secara umum tentang militer Indonesia, mulai dari sejarah awal berdiri sampai kelembagaannya.

BAB III: SEJARAH KETERLIBATAN MILITER DALAM POLITIK INDONESIA

       18 

(20)

Pada BAB ini berisikan tentang analisis data yang diperoleh, dimana tujuannya adalah untuk mengetahui bagaimana awalnya militer Indonesia bisa terlibat dalam politik Indonesia.

BAB IV: PENUTUP

BAB ini merupakan bagian akhir dari penelitian, adapun isi dari bab ini diantaranya: kesimpulan dan saran yang berdasarkan atas hasil analisis data yang telah dilakukan dalam penelitian.

Referensi

Dokumen terkait

masing dalam kelompok kecil, (2) tiap sis- wa dalam tim diberi bagian materi yang ber- beda, (3) tiap siswa dalam tim membaca ba- gian materi yang ditugaskan, (4) anggota dari tim

Kinerja Ruas Jalan Utama Koridor Selatan-Utara pada Jam Sibuk. Lampiran

Coklat kemerahan (5YR4/4), liat, gumpal bersudut sedang, agak teguh, perakaran halus sedang, pori mikro sedang, pH 4.2, selaput liat jelas tipis, sedikit, batas horison berangsur

Dengan menerapkan pembelajaran ko- operatif dalam proses belajar mengajar mata pelajaran Pendidikan Agama Hindu pada materi Upakara Bhuta Yadnya siswa kelas VIII A SMP PGRI Gianyar

Pengertian karakteristik pribadi konselor dalam penelitian ini adalah sejumlah kualitas pribadi yang perlu dimiliki oleh konselor dalam melaksanakan konseling sehingga

Pihak sekolah menganggap bahwa layanan kesehatan mental bagi anak berkebutuhan khusus sangat penting diselenggarakan di sekolah dan perlu adanya suatu perencanaan

Menimbang, bahwa dalil-dalil gugatan Penggugat pada pokoknya adalah bahwa Penggugat dan Tergugat sebagai suami-istri dalam rumah tangganya sejak bulan Maret 2014 sering

Setiap hak kekayaan intelektual yang dihasilkan oleh kegiatan oerdasarkan Memorandum Saling Pengertian ini akan dimiliki bersama dan akan diatur secara terpisah ,