• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PERAN PEMERINTAH DALAM PELAKSANAAN AMAR MA RUF NAHI MUNGKAR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PERAN PEMERINTAH DALAM PELAKSANAAN AMAR MA RUF NAHI MUNGKAR"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PERAN PEMERINTAH DALAM PELAKSANAAN

AMAR MA’RUF NAHI MUNGKAR

2.1 Pengertian Pemerintahan

Dalam praktik sejarah politik umat Islam, sejak zaman Rasulullah hingga Khulafa Rasyidin jelas tampak bahwa Islam dipraktikkan di dalam ketatanegaraan sebagai Negara kesatuan, dimana kekuasaan terletak pada pemerintah pusat, gubernur-gubernur dan panglima-panglima diangkat serta diberhentikan oleh Khalifah. Baik di masa pemerintahan masih “imarah khashah” di zaman Nabi dan Khalifah Abu Bakar, maupun sesudah menjadi “imarah ‘ammah” yang dimulai oleh Khalifah Umar, Negara Islam masih tetap merupakan Negara kestuan (Ahmad 2005, 182-183).

Kemudian timbul tiga kerajaan Islam yang tampaknya terpisah satu sama lain, yaitu Daulah Abbasiyah di Baghdad, Daulah Uluwiyah di Mesir dan Daulah Umawiyah di Andalusia. Meskipun ketiga pemerintahan itu terpisah, akan tetapi kaum muslimin sebagai umat dimana saja dia berada, bahasa apa saja yang ia pakai dan ke dalam kebangsaan apapun dia termasuk, dia tetap mempunyai hak-hak yang sama sebagai kaum muslimin yang lain. Oleh karena itu, walaupun dunia Islam pada waktu itu terpacah menjadi tiga pemerintahan akan tetapi kaum muslimin menganggap atau seharusnya menganggap ketiga-tiganya ada di dalam wilayah darul Islam (Djazuli 2000, 111).

Model negara kesatuan Islam yang dipraktikkan oleh masyarakat muslim di zaman sekarang tidak lagi dalam bentuk negara yang wilayahnya berskala internasional seperti pada masa dinasti-dinasti Islam masa lalu, melainkan dalam bentuk negara bangsa (nation state). Kini, umat Islam mempraktikkan negara kesatuan Islam dalam bentuk negara bangsa (nation state) sebagai respons terhadap konteks negara-negara yang berkembang di masa sekarang (Ibnu Syarif dan Khamami Zada 2008, 198).

(2)

Jika dilihat dalam kajian fikih siyasah, maka persoalan tentang kepemerintahan ini akan masuk dalam pembahasan siyasah dusturiyah, karena siyasah dusturiyah membahas tentang hubungan antara pemimpin di satu pihak dan rakyatnya di pihak lain serta kelembagaan-kelembagaan yang ada di dalam masyarakatnya Djazuli 2000, 47). Secara etimologi, pemerintahan berasal dari kata dasar pemerintah berarti melakukan pekerjaan menyeluruh. Penambahan awalan “pe” menjadi pemerintah berarti badan yang melakukan kekuasaan memerintah. Penambahan akhiran "an" menjadi pemerintahan berarti perbuatan, cara, hal atau urusan daripada badan yang memerintah tersebut (Sirajuddin 2007, 114).

Pemerintahan memang tidak identik dengan negara, karena negara bersifat statis, sedangkan pemerintahan bersifat dinamis. Namun antara negara dengan pemerintahan tidak dapat dipisah karena pemerintahlah yang berfungsi melaksanakan urusan-urusan kenegaraan. Suatu pemerintahan menentukan corak sistem yang dianut oleh negara, apakah teokrasi, nomokrasi dan sebagainya. Corak pemerintahan melahirkan bentuk sebuah negara. Bentuk negara menjadi penting bila pemerintah suatu negara menjadi mesin kekuasaan yang dijalankan oleh seorang pemimpin (Sirajuddin 2007, 114).

Di dalam literatur kenegaraan Islam dikenal dengan istilah imamah, khilafah dan imarat. Sehubungan dengan hal ini Abdul Muin Salim mengatakan bahwa :

Pemerintahan sebagai salah satu struktur dasar sistem politik merupakan lembaga yang menyelenggarakan mekanisme politik atau roda pemerintahan yang dipimpin oleh seorang pejabat yang disebut wali atau amir atau dengan istilah lainnya yang dikenal dalam perpustakaan politik dan ketatanegaraan Islam (Salim 2002, 294).

Dalam sistem kenegaraan Islam, pentingnya eksistensi suatu pemerintahan dianggap sama dengan wajibnya eksistensi negara itu sendiri. Menurut pendapat Abdul Kadir 'Audah sebagaimana yang dikutip oleh A. Hasjmy mengatakan bahwa :

(3)

Apabila Allah telah mewajibkan agar kita berhakim kepada ajaran yang telah diturunkan kepada Rasul-Nya dan memerintah dengannya, maka menjadi kewajiban kaum muslimin untuk mendirikan suatu pemerintahan yang akan menegakkan perintah-perintah Allah di tengah-tengah mereka, dan tiap pribadi beribadat dengan menjalankan hukum, sesuai dengan ajaran Allah, sebagaimana mereka telah beribadah dengan puasa dan shalat. Atas dasar ini, apabila mendirikan negara berdasarkan syariat Islam hukumnya wajib, maka wajib pula hukumnya mendirikan pemerintahan Islam. Fungsi pemerintahan Islam, yaitu menegakkan perintah Allah. Dengan kata lain menegakkan Islam sendiri, di mana al-Qur'an telah menugaskan kepada pemerintahan Islam supaya memusnahkan syirik dan menguatkan Islam, mendirikan sembahyang dan mengambil zakat, menyuruh ma'ruf dan melarang yang munkar, mengurus kepentingan-kepentingan manusia dalam batas hukum-hukum Allah (Hasjmy 2003, 83-84).

Menurut A. Hasjmy ada tiga dasar untuk menyelenggarakan pemerintahan, yaitu, keadilan pemerintah, ketaatan rakyat, musyawarah antara pemerintah dengan rakyat. Rakyat tidaklah dapat berjalan sendiri tanpa adanya pemerintah, masyarakat akan selalu membutuhkan pemerintah. Pemerintah sebagai kekuasaan tertinggi dalam negara, karena tugas penting yang diemban oleh pemerintah itu adalah menjamin tegaknya sebuah Negara yang mengatur seluruh aspek kehidupan masyarakat atau rakyatnya. Pemerintah dengan rakyat apabila hendak mencapai tujuan bersama harus saling kooperatif. Suatu negara akan menjadi makmur (baldatun toyyibun wa robbun ghafur) tergantung dengan kebijaksanaan dari pemerintah yang nota benenya adalah pemimpin (Hasjmy 2003, 85).

Dari penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa dalam siyasah Islam tujuan utama dari pemerintahan adalah memperhatikan dan mengurus persoalan-persoalan duniawi, misalnya menghimpun sumber-sumber dana yang syah dan menyalurkan kepada yang berhak, mencegah timbulya kezaliman atau kerusuhan dan lain sebagainya. Persoalan-persoalan duniawi tersebut mempunyai satu muara yaitu pemerintahannya harus mampu membawa masyarakatnya untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki untuk akhirat kelak.

(4)

2.2 Wilayatul Qadha

2.2.1 Pengertian wilayatul qadha

Makna al-Qadha’ secara bahasa al-Qadha’ (ءاضقلا) berasal dari kata ىضق-ىضقي-ءاضق jamaknya ةيضقأ. Kata al-Qadha’ merupakan kata musytarak, memiliki banyak makna. AI-Quran mencantumkan kata al-Qadha’ dalam banyak ayat yang semuanya menggunakan makna bahasa, di antaranya: menetapkan, menentukan, memerintahkan sesuatu sebagai kepastian, memerintahkan dan memutuskan sesuatu, menyelesaikan, mengakhiri (Ash-Shiddieqi, 1997: 45). Makna al-Qadha’ secara syar’i, sekalipun secara bahasa kata al-Qadha’ memiliki banyak makna, secara tradisi ia akhirnya lebih difokuskan pada makna yang berkaitan dengan praktik dan putusan peradilan. Syariat pun memutlakkan istilah al-Qadha’ dalam masalah praktik dan putusan peradilan. Dalam Fath Qadir, Qadha’ diartikan sebagai al-Ilzam (pengharusan). Dalam Bahr al-Muhith diartikan sebagai penyelesaian perselisihan dan pemutusan persengketaan; sedangkan dalam Bada’i ash-Shana’i diartikan sebagai penetapan hukum di antara manusia dengan haq (benar) (Djalil, 2012: 109).

Menurut istilah ahli fiqh Al Qadha adalah perkataan yang harus dituruti yang diucapkan oleh seseorang yang mempunyai wilayah umum, atau menerangkan hukum agama atas dasar mengharuskan orang mengikutinya. Sedangkan menurut mazhab Hanafi mendefiniskan Qadha dengan suatu putusan yang mengikat yang bersumber dari pemerintah guna menyelesaikan dan memutuskan persengketaan. Ulama Mazhab Maliki mendifiniskan qadha pemberitaan tentang hukum syara’ melalui cara yang mengikat dan pasti. Ulama Mazhab Syafi’I dan Hambali mendefiniskan qadha dengan penyelesaikan sengketa antara dua pihak atau lebih berdasarkan hukum Allah (Aziz, 1999: 1943).

Al-Qadha’ (peradilan) merupakan perkara yang disyariatkan di dalam al-Quran dan as-Sunnah. Allah SWT memerintahkan untuk memutuskan hukum atau menghukumi manusia dengan apa yang telah Allah turunkan.

(5)

Rasul SAW secara langsung mengadili dan menghukumi perkara yang muncul di tengah-tengah masyarakat dengan hukum-hukum Allah. Rasul juga memberikan keputusan dalam beberapa masalah pernikahan, masalah harta, muamalah, dan uqubat umumnya; juga dalam masalah hisbah seperti ketika beliau mendapati pedagang di pasar yang mencampur gandum basah dengan gandum kering; dalam masalah mazhalim mengenai penetapan harga; dalam perselisihan antara Zubair bin Awwam dan seorang Anshar dalam masalah pengairan, dan sebagainya. Ketika kekuasaan negara Islam semakin luas, Rasulullah SAW mengangkat beberapa sahabat sebagai qadhi (hakim) yang beliau tempatkan di beberapa daerah, seperti Mu’adz bin Jabal di daerah Janad dan Ali bin Abi Thalib di daerah Yaman. Qadhi pada masa Rasul SAW, antara lain: Umar bin al-Khathab, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Masud, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asy’ari, dan Mu’adz bin Jabal (Djalil, 2012: 110).

2.2.2 Hukum pengangkatan dan jenis qadhi

Mayoritas ulama berpendapat, al-Qadha’ hukumnya fardhu kifayah. Pelaksanaan tugas al-Qadha’ ini pada dasarnya adalah tanggung jawab Imam/Khalifah. Rasul SAW dan Khulafaur Rasyidin sendiri menangani al-Qadha’ secara langsung. Namun, ketika wilayah negara semakin luas, tentu khalifah tidak mungkin menanganinya sendiri, di samping karena tugas Khalifah sangat kompleks. Dalam situasi tersebut, kewajiban itu tidak akan sempurna kecuali Khalifah mengangkat para qadhi di seluruh daerah sebagai bahagian dari pemerintahan Negara (Madzkur, 1999: 56).

Al-Qadhi an-Nabhani menjelaskan, lembaga al-Qadha inilah yang menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang terjadi di antara anggota masyarakat atau mencegah sesuatu yang boleh membahayakan hak-hak jamaah/umum; atau menyelesaikan persengketaan antara masyarakat dengan pemerintahan negara. Penjelasan tersebut sekaligus menjelaskan tiga kelompok perkara dan macam lembaga al-Qadha’:

(6)

a. Perselisihan di antara manusia dalam perkara muamalah dan ‘uqubat. Perkara ini ditangani oleh qadhi, kadang disebut Qudhat al-Khushumat.

b. Perkara yang dapat membahayakan hak jamaah/umum disebut Hisbah. Perkara ini ditangani oleh Qadhi al-Hisbah atau al-Muhtasib. c. Sengketa masyarakat dengan negara dan aparaturnya, atau kezaliman

yang dilakukan oleh atau akibat dari kebijakan negara dan aparaturnya. Inilah yang disebut mazhalim dan ditangani oleh Qadhi al-Mazhalim (Madzkur, 1999: 57).

Khalifah boleh mengangkat seorang qadhi dengan wilayah kerja mencakup seluruh wilayah Khilafah sekaligus membawahi seluruh qadhi yang ada. Pejabat ini disebut Qadhi al-Qudhat. Qadhi Abu Yusuf adalah orang pertama yang mendapat sebutan ini. Jabatan qadhi (al-qudhat) sudah ada sejak masa Rasul SAW dan terus ada sepanjang sejarah Islam. Adapun untuk perkara hisbah, Rasul SAW menangani sendiri perkara ini seperti saat menyiasat pasar dan menjumpai gandum basah yang dicampur dengan yang kering, lalu beliau memerintahkan agar yang basah ditaruh di atas, di samping yang kering (Madzkur, 1999: 58).

Pada masa Umar bin al-Khathab, ia juga langsung menanganinya, seperti saat menyiasat pasar, Umar menemukan susu yang dicampur air lalu ia tumpahkan untuk mendidik para pedagang, atau ketika ia memisahkan laki-laki dan wanita yang berdesak-desakan di tempat pengambilan air. Saat yang sama Umar juga mengangkat pejabat khusus untuk mewakilinya menjalankan tugas hisbah dan disebut wilayah as-Suq baru pada masa Mahdi diangkat qadhi khusus untuk menangani hisbah dan disebut al-Muhtasib dan sejak saat itu terus terpelihara sebagai bagian al-Qadha’. Keberadaan al-Muhtasib ini bersandar pada as-Sunnah berupa perbuatan Rasul SAW tersebut (Madzkur, 1999: 59).

(7)

2.2.3 Syarat-syarat pengangkatan qadhi

Syarat-syarat seseorang dapat diangkat menjadi seorang qadhi adalah sebagai berikut:

a. Ia harus seorang pria.

b. Mempunyai kemampuan akal. c. Merdeka.

d. Beragama Islam.

e. Mempunyai kredibilitas individual.

f. Sempurna pendengaran dan penglihatannya.

g. Mempunyai kemampuan dalam ilmu pengetahuan (Ash-Shiddieqi, 1997: 54).

2.2.4 Ilmu-ilmu yang harus dikuasai oleh seorang calon qadhi

Adapun ilmu-ilmu yang harus dikuasai oleh seorang calon qadhi ialah sebagai berikut:

a. Menguasai ilmu tentang Kitab Allah.

b. Menguasai ilmu tentang Sunnah Rasulullah. c. Menguasai tentang takwil kalangan ulama salaf. d. Menguasai ilmu tentang qiyas (Madzkur, 1999: 63). 2.2.5 Wewenang tugas seorang qadhi

Wewenang tugas seorang qadhi dibagi menjadi umum dan khusus. Wewenang khususnya adalah hanya berwenang mengurusi tugas khususnya itu. Sedangkan wewenang yang umum terdiri dari sepuluh tugas, yaitu:

a. Menyelesaikan persengketaan dan permusuhan.

b. Meminta suatu hak orang yang ditahan oleh orang lain.

c. Menjadi wali atas orang yang dilarang mengadakan transaksi. d. Menangani harta wakaf.

e. Melaksanakan wasiat.

f. Menikahkan wanita janda dengan orang yang setingkat statusnya. g. Melaksankan hukum hadd.

(8)

i. Memeriksa saksi-saksi.

j. Menyejajarkan anatara pihak yang lemah dengan pihak yang kuat (Ash-Shiddieqi, 1997: 67).

2.3 Wilayatul Hisbah

2.3.1 Pengertian wilayatul hisbah

Wilayat al-Hisbah terdiri dari dua kata, yaitu Wilayat dan Hisbah. Secara harfiah Wilayat berarti kekuasaan atau kewenangan, sedangkan al-Hisbah berarti Imbalan, pengujian, melakukan perbuatan baik dengan penuh perhutungan (Aziz, 1999: 1939). Menurut al-Mawardi Wilayat al-Hisbah adalah wewenang untuk menjalankan amar ma’ruf, ketika yang ma’ruf itu mulai ditinggalkan orang dan mencegah yang munkar, ketika perkara ini mulai dikerjakan orang (Al-Mawardi 2006, 34). Abu Ishaq Imam Ibrahim bin Ali bin Yusuf bin Abdullah al-Fairuzzabadi asy-Syirozi, dan ibnu al-Ukhuwah, tokoh fikih Madzhab Maliki menambahkan dalam definisi tersebut kalimat serta memperbaiki keadaan masyarakat (Aziz, 1999: 1939).

Sementara Ibnu Taimiyah, ahli fiqh Madzhab Hambali menanbahkan dalan definisi tersebut kalimat yang bukan termasuk wewenang penguasa peradilan biasa, dan Wilayat al-Madzalim Pernyataan ini mengindikasikan Wilayat al-Hisbah merupakan jabatan keagamaan yang mencakup, menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat munkar, dimana kewenangan ini merupakan kewajiban untuk menegakkan atau melaksanakan bagi orang tertentu yang diyakini bahwa ia mampu untuk me-laksanakan hal tersebut. Artinya definisi Wilayat al-Hisbah tersebut hanya menggambarkan Wilayat al-Hisbah sebagai tugas pribadi muslim, belum menggabarkan pengertian Wilayat al-Hisbah sebagai bagian dari kekuasaan peradilan (Ridha 1996, 53).

Literatur tentang Wilayat al-Hisbah sangat banyak dan tersebar dalam berbagai kitab Fiqh. Para Ulama awal Islam telah meletakkan landasan teoritis dan menjelaskan dengan rinci tugas, wewenang, bentuk dan perangkat Institusi Hisbah sebagai manual pelaksanaan lembaga ini. Kajian tentang Wilayat al- Hisbah biasanya dimasukkan dalam bab al-qadha’

(9)

(peradilan). Namun ada juga ulama seperti Imam al-Mawardi yang membahasnya dalam bab tersendiri secara detail dalam kitabnya al-Ahkam al-Sulthaniyyah. Bahkan Ibnu Taimiyyah karena menganggap begitu pentingnya institusi ini menyusun sebuah risalah khusus landasan teori dan operasional Wilayat al-Hisbah dalam kitab al-Hisbah fi al-Islam (Asy-Syaukani 2004, 937).

Dalam sejarah Islam, hirarki struktural Wilayat al-Hisbah berada di bawah lembaga peradilan. Wilayat al-Hisbah bersama dengan Wilayatul Qadha dan Wilayatul Madzalim berada dibawah Qadhi al-Qudhah (Hakim Agung). Ketiga institusi tersebut mempunyai peran yang sama yaitu sebagai lembaga peradilan yang memutuskan sengketa dan memberikan hukuman, tetapi ketiganya mempunyai perbedaan dalam hal cakupan tugas serta wewenang. Wilayatul qadha adalah lembaga peradilan umum seperti dikenal sekarang, wilayatul madzalim adalah lembaga peradilan yang dibentuk untuk menangani kasus kesewenang-wenangan dan kezaliman pejabat pemerintah, sedangkan Wilayat al-Hisbah adalah lembaga yang bertugas mengawasi pelaksanaan syari’at Islam dan amar ma’ruf nahi munkar secara umum (Hasjmy 2003, 85).

Pembentukan institusi ini sebenarnya adalah sangat positif dan perlu dukungan pada semua pihak. Terutama ketika budaya amar ma’ruf nahi munkar semakin hilang di kalangan masyarakat. Kunci kesuksesan Wilayat al-Hisbah nantinya akan terlihat ketika masyarakat dengan kesadaran keagamaan yang tinggi terwujud, yaitu masyarakat dengan standar moral yang tinggi, keunggulan akhlak dan menaati perkara-perkara yang sudah diwajibkan atau dilarang oleh syari'at. Tetapi, ketika maksiat kembali merajalela, perbuatan amoral merebak, masyarakat berlaku curang, menipu, dan memakan riba dalam berdagang, maka jelas, Wilayat al-Hisbah tidak berperan dengan sempurna. Wilayat al-Hisbah juga aparat pemerintah lainnya telah gagal menumbuhkan kesadaran melaksanakan syari’at (Salim 2002, 294).

(10)

Dalam perkembangannya Wilayat al-Hisbah adalah lembaga resmi negara yang diberi wewenang untuk menyelesaikan masalah-masalah atau pelanggaran ringan yang menurut sifatnya tidak memerlukan proses peradilan untuk menyelesaikannya. Menurut Al Mawardi Kewenangan Wilayat al-Hisbah ini tertuju kepada tiga hal yaitu sebagai berikut:

a. Dakwaan yang terkait dengan kecurangan dan pengurangan takaran atau timbangan.

b. Dakwaan yang terkait dengan penipuan dalam komoditi dan harga seperti pengurangan takaran dan timbangan di pasar, menjual bahan makanan yang sudah kadaluarsa.

c. Dakwaan yang terkait dengan penundaan pembayaran hutang padahal pihak yang berhutang mampu membayarnya (Al-Mawardi 2006, 134).

Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa kekuasaan Wilayat al Hisbah ini hanya terbatas pada pengawasan terhadap penunaian kebaikan dan melarang orang dari kemunkaran. Menyuruh kepada kebaikan terbagi kepada tiga bagian yakni

a. Menyuruh kepada kebaikan yang terkait dengan hak-hak Allah misalnya menyuruh orang untuk melaksanakan sholat Jum’at jika di tempat tersebut sudah cukup orang untuk melaksanakannya dan menghukum mereka jika terjadi ketidakberesan pada penyelenggaraan sholat Jumat tersebut.

b. Terkait dengan hak-hak manusia, misalnya penanganan hak yang tertunda dan penundaan pembayaran hutang. Muhtasib berhak menyuruh orang yang mempunyai hutang untuk segera melunasinya.

c. Terkait dengan hak bersama antara hak-hak Allah dan hak-hak manusia, misalnya menyuruh para wali menikahkan gadis-gadis yatim dengan orang laik-laki yang se-kufu’, atau mewajibkan wanita-wanita yang dicerai untuk menjalankan iddahnya. Para

(11)

Muhtasib berhak menjatuhkan ta’zir kepada wanita-wanita itu apabila ia tidak mau menjalankan iddahnya.

2.3.2 Dasar hukum lembaga hisbah

Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa amar ma’ruf nahi munkar yang merupakan tugas Wilayat al-Hisbah merupakan tuugas besar dan amat luas, karena untuk amar ma’ruf nahi munkar inilah syariat Islam diturunkan oleh Allah SWT. Bahkan Imam al-Kurthubi, seorang ahli tafsir, mengatakan bahwa kewajiban amar ma’ruf nahi munkar juga disyariatkan umat-umat terdahulu (Yahudi dan Nasrani) hal ini disimpulkannya dari kandungan surat Ali Imran ayat 104 :































Artinya : Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung.

Kemudian dilanjutkan dengan firman Allah SWT dalam surat al-A’raf ayat 157 :

























































































Artinya : (Yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, Nabi yang Ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan

(12)

bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka Itulah orang-orang yang beruntung.

Namun demikian, menurut kesepakatan ulama fiqh bentuk kewajiban amar ma’ruf nahi munkar itu merupakan kewajiban kolektif bagi umat Islam (wajib kifayah). Maksudnya apabila tugas amar ma’ruf nahi munkar itu dilaksanakan oleh seseorang atau sebagian orang maka kewajiban itu gugur dari orang yang tidak melaksanakanya. Oleh itu, amar ma’ruf nahi munkar adalah satu cara hidup dalam masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai murni dan budaya ilmu. Masyarakat yang cerdas dan faham akan bangkit untuk memperbetulkan kesilapan dan melawan segala kejahatan. Masyarakat seperti ini akan menyokong setiap usaha untuk menegakkan keadilan dan kebenaran dan bersuara untuk menentang setiap tindakan yang dapat merusakkan bangsa dan Negara (Salim 2002, 300).

Islam menjadikan syariat sebagai sebuah wadah untuk membentuk tatanan moral dengan menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber segala bentuk prilaku hidup. Muhammad Quraish Shihab mengatakan bahwa Al-Qur’an mengintrodaksikan diri sebagai pemberi petunjuk kepada jalan yang lebih lurus. Petunjuk-petunjuk tersebut bertujuan memberikan kesejahteraan dan kebahagian bagi manusia, baik secara pribadi maupun kelompok. Pemaparan ini mengisyaratkan bahwa Islam menjadikan syariat sebagai dasar kehidupan umat tidak lain bertujuan untuk membentuk akhlak (moral) yang baik. Sebab al-Qur’an merupakan petunjuk pada jalan yang lurus, dan jalan itu adalah syariat. Sebagaimana pengertian syariat itu sendiri secara lughawi "jalan menuju tempat pengairan (Shihab, 2005: 172).

2.3.3 Syarat-syarat al-muhtasib

Sebagaimana penjelasan di atas bahwa setiap muslim berhak melakukan amar ma’ruf nahi munkar (al-Hisbah) akan tetapi terdapat perbedaan yang sangat signifikan dengan petugas al-Hisbah (al-Muhtasib).

(13)

Hal ini telah dijelaskan di dalam al-Ahkam ash-Sultaniyyah, diantaranya yaitu:

a. Kewajiban al-Hisbah bagi al-Muhtasib adalah fardlu ‘ain, sedang untuk orang lain fardlu kifayah.

b. Sesungguhnya al-Muhtasib harus mencari kemunkaran-kemunkaran yang terlihat untuk ia dilarang, dan memeriksa kebaikan yang ditinggalkan untuk diperintahkan.

c. Sesungguhnya al-Muhtasib berhak mengangkat staff untk melarang kemunkaran, agar dengan pengangkatan staff pelaksanaan tugasnya jadi lebih efektif.

d. Sesungguhnya al-Muhtasib berhak mendapat gaji dari baitul mal (kas Negara) karena tugas al-Hisbah dijalankannya (Al-Mawardi 2006, 140).

Jika permasalahannya demikian, maka syarat-syarat yang harus dimiliki al-Muhtasib agar berjalan dengan baik ialah harus orang yang merdeka, adil, mampu berpendapat, tajam dalam berfikir, kuat agamanya, dan mempunyai pengetahuan tentang kemunkaran-kemunkaran yang terlihat (Al-Mawardi 2006, 141). Pendapat berbeda dilakukan oleh Ibnu Taimiyyah, bahwa al-Muhtasib adalah seorang muslim, merdeka, laki-laki, dengan tingkat integritas, wawasan, pandangan dan status sosial yang tinggi. Dari sekian kualitas al-Muhtasib, ilmu pengetahuan, kelembutan, dan kesabaran dianggap sebagai kualitas-kualitas yang terpenting.

2.3.4 Penetapan wilayat al-hisbah dalam sistem pemerintahan Islam Wilayat al-Hisbah sebagai salah satu wilayah qadha dalam system pemerintahan Islam, memiliki perbedaan dalam mendefinisikan dan menggambarkannya antara konsep-konsep dengan realitas dalam konteks sejarah. Abu Ya’la Muhammad Ibn Husein Farakhi dalam Ahkam al-Sulthaniyah menyatakan bahwa Wilayat al-Hisbah adalah menyuruh berbuat baik dengan melarang berbuat munkar. Definisi ini terlalu umum untuk menggambarkan Wilayat al-Hisbah itu sendiri dengan alasan bahwa

(14)

pemerintahan Islam pun selalu berupaya untuk menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat munkar. Sementara dalam konteks sejarah, Wilayat al-Hisbah merupakan salah satu lembaga dari lembaga peradilan yang kewenangannya terpusat pada tempat-tempat transaksi sebagaimana terlihat dalam sejarah Daulah Umayyah dan Abbasiyah bahkan pada masa Nabi SAW (Sirajuddin 2007, 114).

Untuk melihat lebih jelas kapan Wilayat al-Hisbah ini terlepas dari kekuasaan khalifah (pemerintah), maka perlu dilihat dalam periodisasi sejarah. Taufiq Abd. al-Gani al-Rasyasyi memberikan pernyataan bahwa Rasulullah dan para khalifah al-rasyidin pada awal pemerintahan Islam langsung terjun dalam melaksanakan fungsi hisbah. Namun, ketika urusan pemerintahan semakin banyak, kewenangan ini dikhususkan pada lembaga tertentu yang pada masa berikutnya disebut Wilayat al-Hisbah (Ibnu Syarif dan Khamami Zada 2008, 198).

Pernyataan di atas dapat diterima karena secara faktual terlihat embrio lembaga ini sudah ada pada masa Nabi SAW yang ketika itu kewenangannya masih dilaksanakan oleh Nabi SAW dan setelah Futuhat Makkah tugas pengawasan pasar didelegasikan kepada Umar Ibn al-Khaththab di Madinah dan Sha’id Ibn Sha’id Ibn al-Ash untuk Makkah. Pada masa Khulafa al-Rasyidin, hisbah masih dipegang oleh khalifah di samping mengangkat petugas hisbah (muhtasib) untuk melaksanakan kewenangan hisbah tersebut, sebagaimana dilakukan oleh Umar Ibn al-Khaththab yang mengangkat Sa’id Ibn Yazid, Abdullah Ibn Uthbah, dan Ummu al-Syifa sebagai muhtasib. Begitu juga pada masa Utsman Ibn Affan dan Ali Ibn Thalib. Dengan demikian pada masa Nabi SAW dan Khulafa al- Rasyidin belum secara jelas adanya pemisahan antara Wilayat al-Hisbah dengan kekuasaan khalifah (Ahmad 2005, 182-183).

Periode selanjutnya pada masa Daulah Umayyah, Wilayat al-Hisbah sudah terpisah kekuasaannya dengan kekuasaan khalifah. Ini terlihat pada eksistensi Wilayat al-Hisbah sebagai salah satu lembaga peradilan (qadha),

(15)

walaupun pengangkatan muhtasib masih berada dalam kekuasaan khalifah, sebagaimana yang dilakukan Muawiyah Ibn Abi Sufyan yang mengangkat Qais Ibn Hamzah al-Mahdaq sebagai muhtasib. Hal ini menunjukkan bahwa Wilayat al-Hisbah sudah terpisah dari kekuasaan khalifah, hanya saja penetapan peraturan pelaksanaan hisbah masih menjadi tugas khalifah. Oleh karena itu pertanyaannya kapankah Wilayat al-Hisbah ini resmi dinyatakan sebagai suatu lembaga? Menurut Hassan Ibrahim Hassan, yang dikuatkan oleh Muhammad Salam Madzkur dalam bukunya al-Qadha fi al-Islam bahwa Wilayat al-Hisbah sebagai suatu lembaga dengan muhtasib petugasnya, yaitu pada masa khalifah al-Mahdi al-Abbasiyah (158 – 169 H / 775 – 785 M) (Ibnu Syarif dan Khamami Zada 2008, 200).

Wilayat al-Hisbah merupakan salah satu lembaga peradilan (qadha) dalam sistem pemerintahan Islam, yang memiliki kewenangan untuk amar ma’ruf nahi munkar. Embrio lembaga ini telah ditemui sejak masa Nabi SAW sebagai salah satu kewajiban agama, dan pada masa pemerintahan Bani Umayyah dan Abbasiyah lembaga ini menjelma menjadi sebuah lembaga terpisah dari kekuasaan khalifah. Wilayat al-Hisbah ini berwenang untuk memberikan hukuman terhadap pelanggar hukum. Walaupun demikian, muhtasib tidak memberikan hukuman tersebut secara langsung, tetapi melalui tahapan-tahapan seperti menasehati, mengingatkan, yang kesemuanya itu termasuk dalam kategori ta’zir (Ibnu Syarif dan Khamami Zada 2008, 201).

Namun demikian Wilayat al-Hisbah hanya bertugas mengawasi hal-hal yang tampak (zahir) dan sudah ma’ruf di kalangan masyarakat. Yaitu perkaraperkara umum yang tidak ada perselisihan ulama tentang kewajiban melaksanakannya ataupun meninggalkannya, atau sering juga disebut perkara-perkara yang sudah menjadi ‘uruf (adat) dalam keseharian masyarakat. Adapun perkara-perkara detail yang masih berupa was-was, dugaan dan memerlukan investigasi secara mendalam, pembuktian, kesaksian dan sumpah adalah bukan wewenang WH, tetapi menjadi

(16)

wewenang lembaga lainnya yaitu wilayatul qadha’ atau wilayatul mazalim (Ibnu Syarif dan Khamami Zada 2008, 202).

Sebab itulah, untuk tahap awal yang paling penting dilakukan sebenarnya adalah menumbuhkan kesadaran yang sempurna di kalangan masyarakat, baik dengan ceramah ataupun yang lebih bagus tingkah laku kongkrit para penguasa yang akan menjadi contoh rakyat. Petugas Hisbah yang menjalankan tugas amar makruf nahi munkar wajib menjadikan dirinya orang yang pertama melakukan perkara-perkara ma’ruf dan orang yang pertama meninggalkan perkara-perkara yang munkar.

2.4 Wilayatul Madzalim

2.4.1 Pengertian wilayatul madzalim

Kata Walayah al-madzalim merupakan gabungan antara dua kata, kata walayah secara literal berarti kekuasaan tertinggi, aturan, dan pemerintahan. Sedangkan kata al madzalim adalah bentuk jamak dari madzlimah yang berarti kejahatan, kesalahan, ketidaksamaan, dan kekejaman. Sedangkan secara terminologi, Wilayah al-madzalim diartikan suatu kekuasaan dalam bidang pengadilan, yang lebih tinggi dari pada kekuasaan hakim dan kekuasaan muhtasib. lembaga ini memeriksa perkara-perkara yang tidak masuk kedalam wewenang hakim biasa. lembaga ini memeriksa perkara-perkara penganiayaan yang dilakukan oleh penguasa-penguasa dan hakim-hakim ataupun anak-anak dari orang-orang yang berkuasa (Madzkur, 1999: 142).

Sebagian dari perkara-perkara yang diperikasa dalam lembaga ini adalah perkara-perkara yang diajukan oleh seorang yang teraniaya dan sebagiannya pula tidak memerlukan pengaduan dari yang bersangkuta, akan tetapi jadi wewenang lembaga ini untuk memeriksanya. Dengan kata lain, walayah al madzalim bertugas untuk mengadili para pejabat negara yang meliputi para Khalifah, Gubernur, dan aparat pemerintah lainnya yang berbuat zalim terhadap rakyatnya. Kalau dibandingkan dengan lembaga-lembaga kehakiman sekarang, al-madzalim bisa disejajarkan dengan

(17)

Pengadilan Tinggi atau Mahkama Agung yang sebagai tempat orang mengajukan banding (Sa'ad 2008, 374).

Lembaga Madzalim telah dikenal sejak zaman dahulu, kekuasaan ini terkenal dalam kalangan Persia dan bangsa Arab di zaman jahiliyah. Hal ini merupakan wujud dari orang Quraisy untuk menolak segala bentuk kedzaliman dan memberikan pembelaan terhadap orang-orang yang dizalimi. Di masa Rosulullah SAW, rasul sendirilah yang menyelesaikan segala pengaduan terhadap kedzaliman para pejabat. Pada masa Al- Khulafa Al-Rasyidin tidak mengadakan lembaga ini, karena anggota-anggota masayarakat pada masa itu masih dapat dipengaruhi oleh ajaran-ajaran agama. Pertengkaran- pertengkaran yang terjadi diantara mereka masih dapat diselesaikan oleh pengadilan biasa, akan tetapi di akhir zaman pemerintahan Ali bin Abi Tholib, beliau merasa perlu menggunakan tindakan-tindakan yang keras dan menyelidiki pengaduan-pengaduan terhadap penguasa-penguasa yang berbuat kezhaliman, namun keberadaannya belum diatur secara khusus (Aziz, 1999: 2943).

Wilayah al-madzalim menjadi lembaga khusus pada masa kekhalifahan bani umayyah, tepatnya pada masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan. Ia merupakan penguasa Islam pertama yang membentuk lembaga al madzalim (peradilan khusus). Ia menyediakan waktu khusus untuk menerima pengaduan kasus-kasus al-madzalim. Untuk itu ia didampingi oleh hakim ibnu Idris al Azdi. Jika menemui kesulitan dalam memutuskan hukum, maka Abdul Malik berkonsultasi meminta pertimbangan kepada Ibnu Idris al Azdi (Aziz, 1999: 2943).

Pada masa Bani Abbasiyah, Wilayah al-madzalim masih tetap mendapatkan perhatian yang besar dari khalifah. Dalam sebuah kisah disebutkan bahwa pada hari ahad dimana khalifah Al Makmun sedang membuka kesempatan bagi rakyatnya untuk mengadukan kedzaliman yang dilakukan oleh pejabat, datanglah seorang wanita dengan pakaian jelek. Wanita tersebut mengadukan bahwa anak sang khalifah, al Abbas telah

(18)

mendzaliminya dengan merampas tanah haknya. Kemudian khalifah memerintahkan hakim, Yahya bin Aktsam untuk menyidangkan kasus tersebut didepan sang khalifah, tetapi ditengah-tengah perdebatan, tiba-tiba wanita tersebut mengeluarkan suara lantang sampai mengalahkan suara al Abbas, sehingga para pengawal istana mencelanya. Kemudian khalifah al Makmun berkata, dakwaannya benar, kebenaran telah membuatnya berani bicara dan kebatilan telah membuat anakku membisu. Kemudian hakim mengembalikan hak wanita tersebut dan hukuman ditimpakan kepada anak sang khalifah (Aziz, 1999: 2945).

2.4.2 Dasar hukum wilayatul madzalim

Keberadaan lembaga madzhalim merupakan bagian dari pelaksanaan ajaran Islam. Hal tersebut dapat kita pahami dari kandungan ayat al-Qur’an, antara lain dalam surat al-Baqarah ayat 279 :





































Artinya : Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.

Kemudian dilanjutkan dengan firman Allah SWT dalam surat as-syura’ ayat 40-42 :



















































































Artinya : Dan Balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik. Maka pahalanya atas

(19)

(tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim dan Sesungguhnya orang-orang yang membela diri sesudah teraniaya, tidak ada satu dosapun terhadap mereka. Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. mereka itu mendapat azab yang pedih.

2.4.3 Kompetensi Walayah al-madzalim

Kompetensi absolut yang dimiliki oleh walayah al madzalim adalah memutuskan perkara-perkara yang tidak mampu diputuskan oleh hakim atau para hakim tidak mempunyai kemampuan untuk menjalankan proses peradilannya. Seperti kedzaliman dan ketidakadilan yang dilakukan oleh para kerabat khalifah, pegawai pemerintahan, dan hakim-hakim. Sehingga kekuasaan walayah al madzalim lebih luas dari kekuasaan Qadha. Melihat kompetensi absolut yang cukup berani ini, maka Abu Ya’la Muhammad bin Husain al Farro’i memberikan syarat-syarat untuk bisa menjadi petugas walayah al-madzalim adalah mempunyai status sosial yang tinggi, ketegasan, wibawa, dan kehormatan, sedikit tama’, dan wara’. Sifat-sifat ini sangat diperlukan dalam menghadapi para terdakwa yang berpengaruh dan hakim yang tegas (Ridha 1996, 198).

Selanjutnya al-Mawardi menerangkan kompetensi absolut yang dimiliki oleh walayah al madzalim, yaitu sebagai berikut :

a. Ketidakadilan penguasa.

b. Kecurangan pegawai pemerintahan.

c. Mengawasi para pegawai pemerintahan (Kuttab al Dawawin). d. Kedzaliman majikan.

e. Mencegah perampasan harta. f. Mengawasi harta-harta wakaf. g. Menjalankan fungsi hakim.

h. Menjalankan fungsi Nadhir al Hisbah.

(20)

j. Nadhir al Madzalim juga diperbolehkan untuk memeriksa orang-orang yang bersengketa dan menetapkan hukum bagi mereka, namun fungsi ini tidak boleh keluar dari aturan-aturan yang berlaku dilembaga Qadha’ (Al-Mawardi 2006, 200).

2.4.4 Kelengkapan-kelengkapan walayah al-madzalim

Untuk terselenggaranya peradilan al madzalim dengan sempurna harus dipenuhi lima hal berikut, yaitu:

a. Adanya Advokat atau pembela.

b. Para hakim yang bertugas untuk mengembalikan hak-hak kepada orang yang berhak, setelah melakukan penyelidikan terhadap pihak-pihak yang bersengketa dan setelah melakukan penelitian hukum atas kasus mereka.

c. Para ahli fikih yang bertugas untuk membantu para hakim ketika mereka menemukan kesulitan dalam bidang hukum atau tidak mengetahui hukum syar’i yang tepat bagi permasalahan yang menjadi sumber persengketaan.

d. Para katib (panitera) yang bertugas untuk mencatat dan mengkodifikasikan segala kejadian dan peristiwa dalam proses persidangan.

e. Para saksi yang bertugas menjadi saksi atas hukum yang telah ditetapkan oleh hakim dan mengkukuhkan bahwa keputusan yang telah ditetapkan tidak bertentangan dengan kebenaran dan keadilan dan menyaksikan bahwa para hakim jelas-jelas menerapkan syariat Islam (Ridha 1996, 201).

2.4.5 Tugas-tugas wilayah madzalim

Al-mawardi didalam al-ahkamu al-sulthaniyah menerangkan bahwa perkara-perkara yyang di periksa oleh lembaga ini ada 10 macam:

a. Penganiayaan para penguasa.

b. Kecurangan pegawai-pegawai yang di tugaskan untuk mengumpulkan zakat dan harta-harta kekayaan Negara yang lain.

(21)

c. Mengontrol atau mengawasi keadaan para pejabat.

d. Pengaduan yang diajukan oleh tentara yang digaji lantaran gaji mereka di kurangi ataupun dilambatkan.

e. Mengembalikan kepada rakyat harta-harta mereka yang di rampas penguasa yang zalim.

f. Meperhatikan harta-harta wakaf.

g. Melaksanakan putusan-putusan hakim yang tidak dapat di laksanakan oleh hakim sendiri lantaran orang yang dijatuhkan hukuman atasnya dalah orang-orang yang tinggi derajatnya.

h. Meneliti dan memeriksa perkara-perkara yang mengenai maslahat umum yang tidak dapat di laksanakan oleh petugas hisbah.

i. Memlihara hak-hak allah yaitu ibadah ibadah yang nyata seperti Jum’at, hari raya, haji dan jihad.

j. Menyelesaikan perkara perkara yang telah menjadi sengketa di antara pihak pihak yang bersangkutan (Al-Mawardi 2006, 203).

Referensi

Dokumen terkait

Perusahaan akan melanjutkan restrukturisasi hutang dengan Violetport dan Violetport telah menyetujui mulai tahun buku 2004 dan sampai dengan persetujuan restrukturisasi,

metode analisis kualitatif dengan menggunakan deskriptif analisis. 12 Penelitian ini menggunakan teknik analisis data kualitatif karena data yang diperoleh dari penelitian

Seperti yang ditunjukan pada Tabel 1, setiap kondisi yang menyebabkan perubahan pada struktur atau fungsi ventrikel kiri dapat menjadi faktor predisposisi seorang

Alat yang digunakan dalam terapi BCT ini sama dengan alat yang ada pada pemeriksaan Bio Resonance Scanning dan menggunakan gelombang yang sama, namun pada terapi

Meningkatkan koordinasi pelayanan dan pembinaan perangkat kabupaten Meningkatkan tatanan kerja yang teratur dan tidak tumpang tindih Meningkatnya sinergitas interaksi antar

Setelah mendiskripsikan, tahap selanjutnya adalah menganalisis data deskriptif dengan berpijak pada kerangka teoritik yang talah dijelaskan sebelumnya, guna mencari

Selain itu, berdirinya lembaga pendidikan al-Falah Tropodo 2 adalah untuk menjawab kekhawatiran orang tua tentang pendidikan anaknya di era globalisasi ini, yang penuh dengan

Untuk itu, menelusuri pandangan hidup para pembaharu pendidikan Islam, lewat Ahmad Dahlan dan Wahab Khasbullah merupakan usaha untuk menyingkap pandangan kedua