• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Implementasi kebijakan

Implementasi ialah memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijakan, yakni kejadian-kejadian yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijakan publik yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengaministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat ayau kejadian-kejadian.” (Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabaitier, 1979)

Pembuat kebijakan merekomendasikan sebuah kebijakan untuk dilaksanakan bukanlah jaminan bahwa kebijakan tersebut berhasil. Ada banyak variable yang mempengaruhi kebijakan tersebut untuk berhasil atau tidaknya. Implementasi melibatkan usaha dari si pembuat kebijakan untuk memengaruhi apa yang oleh Lipsky disebut “street level bureaucrats” untuk memberikan pelayanan atau mengatur perilaku kelompok sasaran. Pada kebijakan mikro, kebijakan hanya akan melibatkan instansi itu sendiri sebagai implementor. Misalnya kebijakan Kepala Dinas untuk mengubah sanksi bagi yang terlambat apel. Sebaliknya pada kebijakan makro, misalnya penuntasan pengangguran tenaga kerja di pedesaan, maka usaha-usaha implementasi akan melibatkan beberapa pihak, seperti beberapa insitusi pada birokrasi kabupaten, kecamatan, pemerintahan desa.

Dalam menganalisis implementasi seperti teori yang dikemukakan oleh George C. Edwards III, dimana implementasi dapat dimulai dari kondisi abstrak dan beberapa syarat guna mengukur keberhasilan kebijakan. Menurutnya, ada 4 variabel dalam mengukur keberhasilan sebuah kebijakan, yaitu komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi. Keempat variable tersebut harus dilaksanakan secara teratur karena antara satu dengan yang lainnya memiliki hubungan yang erat. Implementasi kebijakan adalah suatu proses dinamik yang mana meliputi interaksi banyak faktor sehingga dapat diketahui pengaruhnya terhadap implementasi.

(2)

9 Gambar 2.1 Model implementasi kebijakan

Sumber : Edwards III, 1980:148

Keberhasilan implementasi suatu kebijakan publik dapat diukur dari proses pencapaian hasil akhir outcomes, yaitu tercapai atau tidaknya tujuan yang ingin diraih. Teori Merilce S. Grindle (1980) keberhasilan implementasi dipengaruhi oleh dua variable besar, yakni isi kebijakan content of policy dan lingkungan implementasi

context of implementation. Pengukuran keberhasilan implementasi kebijakan dapat

dilihat dari 2 hal yakni: (1) dilihat dari prosesnya, dengan mempertanyakan apalah pelaksanaan kebijakan sesuai dengan yang ditentukan design dengan merujuk pada aksi kebijakannya. (2) apakah tujuan kebijakan tercapai dengan diukur dua faktor yakni dampak yang dirasakan masyarakat dan tingkat perubahan yang terjadi.

Variable isi kebijakan ini mencakup: (1) sejauh mana kepentingan kelompok sasaran atau target groups termuat dalam isi kebijakan; (2) jenis manfaat yang diterima oleh target group, sebagai contoh masyarakat di wilayah slum areas lebih suka menerima program air bersih atau perlistrikan daripada menerima program kredit motor; (3) sejauh mana perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan. Suatu program yang bertujuan mengubah sikap dan perilaku kelompok sasaran relative lebih sulit diimplementasikan daripada program yang sekedar memberikan bantuan kredit atau bantuan beras kepada kelompok masyarakat miskin; (4) apakah letak sebuah program sudah tepat; (5) apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementornya

(3)

10

dengan rinci; dan (6) apakah sebuah program didukung oleh sumberdaya yang memadai.

Sedangkan variable lingkungan kebijakan mencakup: (1) seberapa besar kekuasaan, kepentingan dan strategi yang dimiliki oleh para aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan; (2) karakteristik institusi dan rejim yang sedang berkuasa; (3) tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran.

Model implementasi kebijakan menurut Van Meter dan Van Horn, menetapkan beberapa variable yang diyakini dapat mempengaruhi implementasi dan kinerja kebijakan. Beberapa variable tersebut adalah sebagai berikut :

1. Standar dan sasaran kebijakan, pada dasarnya adalah apa yang hendka dicapai oleh program atau kebijakan, baik yang berwujud maupun tidak jangka pendek, menengah atau panjang. Kejelasan dan sasaran kebijakan harus dapat dilihat secara spesifik sehingga diakhir program dapat diketahui keberhasilan atau kegagalan dari kebijakan atau program yang dijalankan.

2. Kinerja kebijakan merupakan penilaian terhadap pencapaian standar dan sasaran kebijakan yang telah ditetapkan.

3. Sumber daya menunjuk kepada seberapa besar dukungan finansial dan sumber daya manusia untuk melaksanakan program atau kebijakan.

4. Komunikasi antar badan pelaksana, menunjuk kepada mekanisme prosedur yang dicanangkan untuk mencapai sasaran dan tujuan program. Komunikasi ini harus ditetapkan sebagai acuan, misalnya : seberapa sering rapat rutin akan diadakan, tempat dan waktu.

5. Karakteristik badan pelaksana, menunjuk seberapa besar daya dukung struktur organisasi, nilai-nilai yang berkembang, hubungan dan komunikasi yang terjadi di internal birokrasi.

6. Lingkungan social, ekonomi dan politik, menunjuk bahwa lingkungan dalam ranah implementasi dapat mempengaruhi kesuksesan implementasi kebijakan itu sendiri.

7. Sikap pelaksana, menunjuk bahwa sikap pelaksana menjadi variable penting dalam implementasi kebijakan. Seberapa demokratis, antusias dan responsive

(4)

11

terhadap kelompok sasaran dan lingkungan beberapa yang dapat ditunjuk sebagai bagian dari sikap pelakasana ini.

2.1.2 Variabel Penentu Implementasi Kebijakan

Mengacu pada teori George C. Edwards III keberhasilan implementasi kebijakan ditentukan oleh banyak variable atau faktor, dan masing-masing variable tersebut saling berhubungan satu sama lain. Implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variable, yakni: (1) komunikasi, (2) sumberdaya, (3) disposisi, dan (4) struktur birokrasi.

1. Komunikasi

Everett M. Rogers mendefinisikan komunikasi sebagai suatu proses dimana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi yang pada gilirannya menumbuhkan saling pengertian (Rogers dan Kincaid, dalam Cangara, 2004:19). Sehingga dalam makna komunikasi politik diartikan sebagai komunikasi yang melibatkan pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik, atau berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan dan kebijakan pemerintah.

Komunikasi adalah hal yang sangat penting dalam proses implementasi kebijakan, karena tanpa adanya komunikasi yang baik antar agen pelaksana maupun komunikasi dari agen pelaksana kepada kelompok sasaran kebijakan maka akan sangat sulit kebijakan tersebut untuk diimplementasikan (Winarno, 2008).

Keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar implementor mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran sehingga akan mengurangi distorsi implementasi. Apabila tujuan dan sasaran suatu kebijakan tidak jelas atau bahkan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran, maka kemungkinan akan terjadi resistensi dari kelompok sasaran.

Implementasi akan berjalan efektif apabila ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan kebijakan dipahami oleh aktor-aktor yang bertanggungjawab dalam pencapaian tujuan kebijakan. Kejelasan ukuran dan tujuan kebijakan dengan demikian perlu dikomunikasikan secara tepat dengan para pelaksana. Konsistensi atau keseragaman

(5)

12

dari ukuran dasar dan tujuan perlu dikomunikasikan sehingga para implementor mengetahui secara tepat ukuran maupun tujuan kebijakan itu.

Komunikasi dalam organisasi merupakan suatu proses yang amat kompleks dan rumit. Seseorang bisa menahannya hanya untuk kepentingan tertentu, atau menyebarluaskannya. Di samping itu sumber informasi yang berbeda juga akan melahirkan interpretasi yang berbeda pula. Agar implementasi berjalan efektif, siapa yang bertanggungjawab melaksanakan sebuah keputusan harus mengetahui apakah mereka dapat melakukannya.

Sesungguhnya implementasi kebijakan harus diterima oleh semua personel dan harus mengerti secara jelas dan akurat mengenahi maksud dan tujuan kebijakan. Jika para aktor pembuat kebijakan telah melihat ketidakjelasan spesifikasi kebijakan sebenarnya mereka tidak mengerti apa sesunguhnya yang akan diarahkan. Para implemetor kebijakan bingung dengan apa yang akan mereka lakukan sehingga jika dipaksakan tidak akan mendapatkan hasil yang optimal. Tidak cukupnya komunikasi kepada para implementor secara serius mempengaruhi implementasi kebijakan (Mulyono, 2009).

Pada penelitian ini yang ingin dilihat pada proses komunikasi tersebut ialah komunikasi Pemerintahan Kota Salatiga dengan Dinas Perdagangan sehingga menciptakan sebuah inovasi E-retribusi pelayanan pasar, komunikasi Dinas Perdagangan Bidang Pasar dengan UPT A dan Bank Jateng, komunikasi berupa Launching E-retribusi, komunikasi berupa sosialisasi kepada Pedagang pasar Blauran I Kota Salatiga dan lain-lain.

2. Sumberdaya

Sekalipun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi apabila implementor kekurangan sumberdaya untuk melaksanakannya, implementasi kebijakan tidak akan berjalan efektif. Sumberdaya yang dimaksud dapat berwujud sumberdaya manusia, yakni kompetensi implementor dan sumberdaya finansial. Sumberdaya menjadi faktor penting didalam implementasi kebijakan agar terlaksana dengan efektif.

(6)

13

Tidak menjadi masalah bagaimana jelas dan konsisten implementasi program dan bagaimana akuratnya komunikasi dikirim. Jika personel yang bertanggungjawab untuk melaksanakan program kekurangan sumberdaya dalam melakukan tugasnya. Komponen sumberdaya ini meliputi jumlah staf, keahlian dari para pelaksana, informasi yang relevan dan cukup untuk mengimplementasikan kebijakan dan pemenuhan sumber-sumber terkait dalam pelaksanaan program, adanya kewenangan yang menjamin bahwa program dapat diarahkan kepada sebagaimana yamg diharapkan, serta adanya fasilitas-fasilitas pendukung yang dapat dipakai untuk melakukan kegiatan program seperti dana dan sarana prasarana. Sumberdaya manusia yang tidak memadahi (jumlah dan kemampuan) berakibat tidak dapat dilaksanakannya program secara sempurna karena mereka tidak bisa melakukan pengawasan dengan baik. Jika jumlah staf pelaksana kebijakan terbatas maka hal yang harus dilakukan meningkatkan skill/kemampuan para pelaksana untuk melakukan program. Untuk itu perlu adanya manajemen SDM yang baik agar dapat meningkatkan kinerja program. Informasi merupakan sumberdaya penting bagi pelaksanaan kebijakan. Ada dua bentuk informasi yaitu informasi mengenahi bagaimana cara menyelesaikan kebijakan/program serta bagi pelaksana harus mengetahui tindakan apa yang harus dilakukan dan informasi tentang data pendukung kepatuhan kepada peraturan pemerintah dan undang-undang. Kenyataan dilapangan bahwa tingkat pusat tidak tahu kebutuhan yang diperlukan para pelaksana dilapangan. Kekurangan informasi/pengetahuan bagaimana melaksanakan kebijakan memiliki konsekuensi langsung seperti pelaksana tidak bertanggungjawab, atau pelaksana tidak ada di tempat kerja sehingga menimbulkan inefisien. Implementasi kebijakan membutuhkan kepatuhan organisasi dan individu terhadap peraturan pemerintah yang ada (Mulyono, 2009).

Sumberdaya lain yang juga penting adalah kewenangan untuk menentukan bagaimana program dilakukan, kewenangan untuk membelanjakan/mengatur keuangan, baik penyediaan uang, pengadaan staf, maupun pengadaan supervisor. Fasilitas yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan/program harus terpenuhi seperti kantor, peralatan, serta dana yang mencukupi. Tanpa fasilitas ini mustahil program dapat berjalan.

(7)

14

Pada penelitian ini yang menjadi sumberdaya pada pelaksanaan program E-retribusi adalah infrastuktur E-E-retribusi berupa sistem dan jumlah kartu yang ada pada Bank Jateng, alat Mpos pada UPT A, data pedagang yang pada Dinas Perdagangan Bidang Pasar dan lain-lain. Serta sumberdaya berupa tenaga lapangan seperti UPT A, tenaga pelakasana dari Dinas Perdagangan Bidang Pasar, tenaga pengelola sistem yang ada pada Bank Jateng dan tentunya penerima dari program E-retribusi ini yaitu Pedagang Pasar Blauran I.

3. Disposisi

Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor, seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis. Apabila implementor memiliki disposisi yang baik, maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika implementor memiliki sikap atau perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses implementasi kebijakan juga menjadi tidak efektif. Salah satu faktor yang mempengaruhi efektifitas implementasi kebijakan adalah sikap implementor. Jika implemetor setuju dengan bagian-bagian isi dari kebijakan maka mereka akan melaksanakan dengan senang hati tetapi jika pandangan mereka berbeda dengan pembuat kebijakan maka proses implementasi akan mengalami banyak masalah. Ada tiga bentuk sikap/respon implementor terhadap kebijakan ; kesadaran pelaksana, petunjuk/arahan pelaksana untuk merespon program kearah penerimaan atau penolakan, dan intensitas dari respon tersebut.

Para pelaksana mungkin memahami maksud dan sasaran program namun seringkali mengalami kegagalan dalam melaksanakan program secara tepat karena mereka menolak tujuan yang ada didalamnya sehingga secara sembunyi mengalihkan dan menghindari implementasi program. Disamping itu dukungan para pejabat pelaksana sangat dibutuhkan dalam mencapai sasaran program. Dukungan dari pimpinan sangat mempengaruhi pelaksanaan program dapat mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Wujud dari dukungan pimpinan ini adalah Menempatkan kebijakan menjadi prioritas program, penempatan pelaksana dengan orang-orang yang mendukung program, memperhatikan keseimbangan daerah, agama, suku, jenis kelamin dan karakteristik demografi yang lain. Disamping itu penyediaan dana yang cukup guna memberikan

(8)

15

insentif bagi para pelaksana program agar mereka mendukung dan bekerja secara total dalam melaksanakan kebijakan/program(Mulyono, 2009).

Pada penelitian ini bagian disposisi akan dilihat mengenai watak, dukungan dan karakteristik dari Pimpinan/tenaga pelaksana terhadap tenaga teknis. watak, dukungan dan karakteristik dari Pimpinan/tenaga pelaksana terhadap tenaga pengelola sistem. watak, dukungan dan karakteristik tenaga teknis terhadap tenaga pengelola sistem dan lain-lain.

4. Struktur birokrasi

Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu dari aspek struktur yang penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur operasi yang standar (standard operating procedures atau SOP). SOP menjadi pedoman bagi setiap implementor dalam bertindak. Struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan pengawsan dan menimbulkan red-tape, yakni prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks. Pada akhirnya seperti ini menyebabkan aktivitas organisasi tidak fleksibel. Pada penelitian ini juga akan dilihat bagaimana SOP mengatur tugas, wewenang dan tanggungjawab setiap implementor.

Membahas badan pelaksana suatu kebijakan, tidak dapat dilepaskan dari struktur birokrasi. Struktur birokrasi adalah karakteristik, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi berulang-ulang dalam badan-badan eksekutif yang mempunyai hubungan baik potensial maupun nyata dengan apa yang mereka miliki dalam menjalankan kebijakan. ( George III Edward :implemeting public policy, 1980)

Model implementasi dari Edward ini dapat digunakan sebagai alat mencitra implementasi program pada berbagai tempat dan waktu. Artinya empat variable yang tersedia dalam model dapat digunakan untuk mencitra fenomena implementasi kebijakan publik.

Aplikasi model ini dalam kajian implementasi kebijakan publik adalah sebagai berikut :

(9)

16

Komunikasi a. Siapakah implementor dan kelompok sasaran dari program kebijakan

b. Bagaimana metode sosialisasi program/kebijakan yang dijalankan?

 Metode yang digunakan  Intensitas komunikasi Sumber daya a. Kemampuan implementor

 Tingkat pendidikan

 Tingkat pemahaman terhadap tujuan dan sasaran serta aplikasi detail program

 Kemampuan menyampaikan program dan mengarahkan

b. Ketersediaan dana

 Berapa dana yang dialokasikan

 Prediksi kekuatan dana dan besaran biaya untuk implementasi program/kebijakan Disposisi Karakter pelaksana

 Tingkat komitmen dan kejujuran: dapat diukur dengan tingkat konsistensi antara pelaksana kegiatan dengan guideline yang telah ditetapkan. Semakin sesuai dengan guideline semakin tinggi komitmennya  Tingkat demokratis, dapat diukur dengan intensitas pelaksana melakukan proses sharing dengan kelompok sasaran, mencari solusi dari masalah yang dihadapi dan melakukan diskresi yang berbeda dengan guideline guna mencapai tujuan dan sasaran program.

Sruktur birokrasi a. Ketersediaan SOP yang mudah dipahami b. Struktur birokrasi

(10)

17

 Seberapa jauh rentang kendali antara pucuk pimpinan dan bawahan dalam struktur organisasi pelaksana. Semakin jauh berarti semakin rumit, birokratis dan lambat untuk merespon perkembangan program.

2.2 Faktor Pengaruh Keberhasilan Implementasi

Mengacu pada model yang dikemukakan oleh Merilce S. Grindle Keberhasilan implementasi ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya atau lingkungan kebijakan. Ide dasarnya adalah bahwa setelah kebijakan ditransformasikan, barulah implementasi kebijakan dilakukan. Keberhasilannya ditentukan oleh derajat implementability dari kebijakan tersebut. (Wibawa dkk, 1994)

2.2.1 Isi Kebijakan

Isi kebijakan tersebut mencakup hal-hal berikut:

1. Sejauh mana kepentingan kelompok sasaran atau target groups termuat dalam isi kebijakan. Dalam penelitian ini sejauh mana kepentigan Dinas Perdagangan bekerjasama dengan UPT A perihal program e-retribusi ini.

2. Jenis manfaat yang diterima oleh target group, pada penelitian ini manfaat yang diterima pedagang ialah efektifitas dalam pembayaran retribusi dan Pemerintah Kota Salatiga dalam target pendapatan daerah melalui retribusi daerah khususnya retribusi pelayanan pasar.

3. Sejauh mana perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan. Suatu program yang bertujuan mengubah sikap dan perilaku kelompok sasaran relative lebih sulit diimplementasikan daripada program yang sekedar memberikan bantuan kredit atau bantuan beras kepada kelompok masyarakat miskin. Dalam implementasi kebijakan e-retribusi ini sejauh mana perubahan perilaku pedagang, bentuk adaptasi sampai perilaku menerima program ini untuk dilaksanakan dengan patuh.

4. Apakah letak sebuah program sudah tepat. Dalam implementasi program ini tepat tidak untuk menjawab permasalahan dari pembayaran secara manual.

(11)

18

5. Apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementornya dengan rinci. Pada program e-reribusi ini pelaksana program e-retribusi adalah Dinas Perdagangan, Tenaga tekni ialah UPT A, penerim program ialah pedagang Pasar Blauran I dan mitra kerjasama Dinas yakni Bank Jateng.

6. Apakah sebuah program didukung oleh sumberdaya yang memadai. Sumberdaya yang dimaksud ialah infrastruktur e-retribusi seperti alat M-pos dan sebagainya, sistem yang ada di Perbankan dan seluruh pelaku pelaksana, teknis, dan penerima program.

1.2.2 Lingkungan Implementasi

Lingkungan implementasi mencakup hal-hal berikut:

1. Seberapa besar kekuasaan, kepentingan dan strategi yang dimiliki oleh para aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan. Pada implementasi program E-retribusi di Pasar Blauran I, perlu dipertimbangkan kekuasaan, kepentingan dan strategi yang digunakan oleh para aktor yang terlibat seperti Dinas Perdagangan, UPT A dan Bank Jateng guna memperlancar pelaksanaan program E-retibusi ini. Apabila hal ini tidak dipertimbangkan dengan baik, maka kemungkinan program yang hendak dilaksanakan keberhasilannya tidak seperti yang diharapkan.

2. Karakteristik institusi dan lembaga yang sedang berkuasa. Karakteristik yang ada pada lembaga terkait menjadi pengaruh pada keberhasilan program tersebut. 3. Tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran. Dalam penelitian ini,

tingkat kepatuhan dan respon pedagang Pasar Blauran I dalam membayar E-retribusi, yang semula menggunakan cara manual atau tunai namun semenjak diberlakukan Perwali Nomor 39 Tahun 2018 menggunakan kartu elektronik atau yang disebut dengan E-retribusi yang berisi saldo.

Keunikan dari model Grindle terletak pada pemahamannya yang komprehensif akan konteks kebijakan, khususnya yang menyangkut dengan implementor, penerima implementasi, dan arena konflik yang mungkin terjadi di antara para aktor implementasi, serta kondisi kondisi sumber daya implementasi yang diperlukan.

(12)

19 2.3 Penelitian Terdahulu

Penelitian yang dilakukan oleh Wahyu Utami pada tahun 2018 dengan judul Implementasi Kebijakan E-Retribusi Pasar di Pasar Singosaren Surakarta. Menggunakan metode penelitian kualitatif, hasil penelitian menyatakan bahwa implementasi kebijakan e-retribusi pasar di pasar Singosaren dilakukan melalui 3 tahapan: pengorganisasian, interpretasi, dan aplikasi. Dalam tahap pengorganisasian, telah dilakukan kegiatan penentuan implementor dan sarana prasarana penunjang kebijakan. Dalam tahap interpretasi, telah dilakukan sosialisasi kepada paguyuban pedagang dan pedagang pasar. Dalam tahap aplikasi telah dilakukan beberapa aktivitas; pembuatan rekening, pembayaran pada mesin tapping, top up kartu, dan monitoring. Faktor yang mendukung maupun mengahambat: 1) Komunikasi terjalin dengan baik antarimplementor maupun implementor-kelompok sasaran. 2) Sumberdaya yang mendukung: anggaran dan sumber daya manusia; sumberdaya yang menghambat: kartu e-retribusi yang tidak terdeteksi pada mesin karena proses balik nama kepemilikan kios dan mesin tapping yang sering error. 3) Sikap pelaksana menghambat pelaksanaan karena kurang tegas terhadap pedagang yang menunggak membayar retribusi pasar. 4) Struktur birokrasi menjadi pendukung karena telah ada SOP sebagai pedoman pelaksanaan tugas. Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan peneliti ialah, penelitian di Pasar Singosaren menggunakan kajian ilmu kebijakan publik dan pada implementasi kebijakan publik ada tahapan/aktivitas yang berupa pengorganisasian, interpretasi dan aplikasi. Namun tidak dikaji lebih dalam mengenai faktor keberhasilan implementasi yang mencakup isi kebijakan dan lingkungan kebijakan.

Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Raden Ajeng Kusandradewi Permatasari dan Mardiyanto Wachid pada tahun 2013 dengan judul Implementasi Kebijakan Objek Retribusi Sebagai Upaya Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (Studi Pada Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Kota Blitar). Jenis penelitian yang dipakai adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif, hasil penelitian menyatakan bahwa implementasi kebijakan objek retribusi di Kota Blitar bisa dikatakan berhasil. Akan tetapi pelaksanaan tersebut masih belum mampu menghasilkan penerimaan retribusi yang optimal. Pada penelitian ini dikaji menurut keilmuan adminstrasi publik sehingga membahas mengenai konsep dasar izin usaha, kebijakan izin usaha, retribusi daerah berdasarkan objek dan golongan retribusi serta kriteria retribusi daerah. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis ialah tidak dianalisis secara mendalam mengenai

(13)

20

teori sosial yang digunakan untuk menganalisis masyarakat (kedinasan dan lain-lain) sebagai pelaksana kebijakan.

Penelitian yang dilakukan Elwin Himawan Adi mahasiswa Universitas Diponegoro jurusan Ilmu Pemerintahan. Penelitian yang dilakukan tahun 2016 dengan judul Implementasi Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Pengelolaan, Pemberdayaan Dan Perlindungan Pasar Tradisional Kota Salatiga. Pendekatan yang digunakan ialah metode penelitian kualitatif dengan metode indepth interview atau wawancara secara mendalam dan observasi. Hasil penelitian menyatakan bahwa Implementasi dari kebijakan Perda No 12 Tahun 2013 Tentang Pengelolaan, Pemberdayaan dan Perlindungan Pasar Tradisional di Kota Salatiga belum berjalan sesuai dengan peraturan yang telah dibuat, dengan tujuan awal yaitu menjaga eksistensi Pasar Tradisional Kota Salatiga dari pesatnya Toko Modern. Hal ini dibuktikan dengan ketidakberhasilan pemerintah Kota Salatiga melalui Dinas dan UPTD Pasar untuk memenuhi kebutuhan kelompok sasaran dalam menerapkan aspek pengelolaan, pemberdayaan dan perlindungan pasar tradisional. Dari ke-15 Pasar Tradisional yang ada di Kota Salatiga belum semua Pasar Tradisional yang telah menerapkan ketiga aspek Perda Nomer 12 tahun 2013 yaitu Pengelolaan, Pemberdayaan dan Perlindungan Pasar Tradisional. Pemerintah Kota Salatiga melalui Dinas kurang berperan aktif dalam pengimplementasian Perda ini dari mengelola keberadaan pedagang pasar, memberikan bimbingan kepada pedagang pasar dan menyediakan fasilitas-fasilitas fisik melalui renovasi pasar tradisional maupun fasilitas pendukung Pasar Tradisional di Kota Salatiga namun dalam aspek perlindungan Pasar Tradisional dalam penyediaan lokasi yang strategis dan menguntungkan sudah dipenuhi oleh Pemerintah Kota Salatiga dengan menyediakan lokasi di tempat-tempat yang strategis. Perbedaan dengan penelitian ini ialah dikaji menggunakan teori pelayanan umum, namun mengenai faktor pengaruh keberhasilan implementasi tidak dipaparkan.

Terakhir, penelitian yang dilakukan Nirwana. 2015. Implementasi Kebijakan Retribusi Pasar Di Kabupaten Luwu. Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan unit analisis adalah Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah (DKPD) Kabupaten Luwu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terkait pelaksanaan kebijakan retribusi pasar di Kabupaten Luwu sudah menunjukkan hasil yang cukup baik, dimana kebijakan yang dilaksanakan sesuai dengan peraturan daerah yang sudah dibuat oleh pemerintah daerah tentang Retribusi Jasa

(14)

21

Umum. Hal ini dapat dilihat pada Aparat yang terlibat di dalam Pelaksanaan Pemungutan Retribusi Pasar di Kabupaten Luwu, yaitu : Dinas Pengelola Keuangan Daerah (DPKD) Kabupaten Luwu dan Pengelola Pasar yang terdiri dari empat (4) wilayah, yaitu : UPTD Pengelola Pasar Wilayah I, Wilayah II, Wilayah III, dan Wilayah IV yang saling bekerjasama dengan baik. Selain itu adanya fasilitas yang digunakan berupa karcis yang diberikan kepada para pedagang pasar yang kemudian tarif retribusi pasar dapat diterima dengan baik oleh para pedagang. Namun masih ada pedagang yang belum memiliki kesadaran akan kewajibannya untuk membayar retribusi sehingga menjadi kendala dalam pelaksanaan kebijakan itu. Target retribusi pasar terbesar ada di Pasar Belopa, Pasar Padang Sappa, dan Pasar Batusitanduk. Adapun faktor – faktor yang berpengaruh pada pelaksanaan kebijakan retribusi pasar di Kabupaten Luwu yaitu : Komunikasi, Sumber daya, Disposisi, Struktur Organisasi yang mana faktor komunikasi dan sumber daya sangat berpengaruh besar dalam pelaksanaan kebijakan retribusi pasar di Kabupaten Luwu. Perbedaan dengan penelitian ini adalah dikaji menggunakan ilmu pemerintahan, sehingga pembahasan secara mendalam mengenai Pendapatan Asli Daerah (PAD), klasifikasi pendapatan daerah, retribusi daerah dan lain-lainnya. Sedangkan penelitian yang akan dilakukan penulis ialah menganalisa penentu implementasi kebijakan (berupa komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi) dan faktor keberhasilan implementasi yang mencakup isi kebijakan dan lingkungan kebijakan.

(15)

22 2.4. Kerangka Pikir

Bagan 2.1

Kerangka Pikir Penelitian

Keterangan :

Retribusi Pelayanan Pasar adalah pungutan atas penggunaan fasilitas pasar tradisional/sederhana berupa pelataran, los yang dikelola Pemerintah Daerah, dan khusus disediakan untuk pedagang, kecuali pelayanan fasilitas pasar yang dikelola oleh BUMN, BUMD, dan pihak swasta. Pemungutan retribusi semula dilakukan secara manual, yakni dengan petugas penarik dari UPT berkeliling dari satu pedagang lain, pedagang membayar sesuai tarif yang ditentukan secara tunai, lalu petugas penarik memberikan struk sebagai tanda bukti pembayaran.

Pemungutan retribusi secara manual ini menemui beberapa masalah yakni terdeteksi adanya penyimpangan penarikan retribusi, kurang akurasinya data pedagang sehingga menyulitkan penentuan target retribusi dan petugas penarikan retribusi terbatas yang mana jumlah

Program E-retribusi Dinas Perdagangan

Retibusi Pelayanan Pasar

Keberhasilan Implementasi Program E-retribusi di Pasar Blauran I Kota Salatiga Penentu Implementasi kebijakan: 1. Komunikasi 2. Sumber Daya 3. Disposisi 4. Struktur Birokrasi Faktor Pengaruh keberlanjutan Program E-retribusi

(16)

23

pedagang semakin banyak. Sehingga melalui inovasi dari Dinas Perdagangan tentang e-retribusi, pembayaran retribusi secara elektronik atau menggunakan kartu berisi saldo yang digunakan untuk membayar retribusi.

Satu tahun sudah pelaksanaan program e-retribusi, beberapa pedagang masih tidak mau membayar retribusi dengan alasan yang tidak jelas. Pedagang yang malas membayar ini juga memberi ajakan negative kepada pedagang lain agar tidak membayar retribusi, mereka beranggapan bahwa tidak ada tindakan tegas terhadap pedagang yang sering menunggak membayar retribusi ini. Perihal pengelolaan data pedagang, ada beberapa los atau kios yang belum jelas kepemilikannya. Sehingga, ada satu orang pedagang yang membawahi dua atau tiga los dan jarang sekali membayar retribusi. Belum ada Peraturan Walikota yang mengatur tentang peraturan balik nama, sehingga beberapa pedagang belum bisa balik nama.

Penulis menggunakan model implementasi Teori George C. Edwards III untuk mengukur penentu implementasi kebijakan yang dipengaruhi oleh empat variable, yakni: (1) komunikasi, (2) sumberdaya, (3) disposisi, dan (4) struktur birokrasi serta teori menurut Merilee S.Grindle faktor yang mempengaruhi Keberhasilan Implementasi: Isi Kebijakan dan Lingkungan Implementasi. Penelitian ini mengingat bahwa kemajuan elektronik berbasis internet diharapkan dapat membantu organisasi pemerintah untuk menyediakan pelayanan publik berupa produk dan jasa dengan harga yang lebih rendah serta meningkatkan efisiensi, begitu pula dengan e-reribusi. Oleh sebab itu, melalui hasil penelitian ini dapat diketahui bagaimana implementasi e-retribusi sehingga solusi untuk kedepannya dapat diketahui.

Referensi

Dokumen terkait

1. Dengan mengamati contoh gerak saling mendorong yang diperagakanoleh guru, siswa dapat menjelaskan prosedur gerak bertumpu padatangan dengan runtun dan percaya diri.

Kehadiran Galeri foto dengan sifat fleksibilitas ruang dengan pendekatan tata cahaya alami ini menjadi salah satu wadah kegiatan apresiasi dan edukasi Seni Fotografi di Yogyakarta

Penelitian Pengelolaan Sungai Batanghari Kabupaten Dharmasraya Berdasarkan Daya Tampung Beban Pencemaran dengan Metode QUAL2Kw ini adalah menggunakan pendekatan

Sedangkan  pohon  filogenetik  Gambar  6  merupakan  pohon  filogenetik  yang  menggambarkan  pengklasifikasian  16  organisme    berdasarkan  sistem 

Telekomunikasi (Telkom) Akses Jambi dirasakan menyulitkan calon pelanggan baru dalam proses pelayanan untuk pemasangan telepon, dan modem speedy, selain itu informasi

Dari 4 jenis penyimpanan yang dilakukan, rata-rata persentase penurunan kandungan Iodium terkecil terdapat pada garam yang disimpan dalam wadah kaca yang tidak

Nah sekarang kita akan berlatih mengembangkan ornamentasi ritmis maupun melodis musik populer dalam bentuk ansambel, yang akan ditampilkan pada kegiatan pementasan

Hasil identifikasi fauna ikan di Kawasan Mangrove Teluk Pangpang ditemukan kelimpahan dan biomassa yang tinggi pada jenis ikan bedul ( A. caninus ) sebanyak 975 ind sebesar 18.299,56