• Tidak ada hasil yang ditemukan

MATERI PENDEKATAN KONSELING SINGKAT BERFOKUS SOLUSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MATERI PENDEKATAN KONSELING SINGKAT BERFOKUS SOLUSI"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

1

MATERI PENDEKATAN KONSELING SINGKAT BERFOKUS SOLUSI 1. Latar Belakang

Konseling singkat berfokus solusi (SFBC), dipelopori oleh Insoo Kim Berg dan Steve DeShazer. Keduanya adalah direktur eksekutif dan peneliti senior di lembaga nirlaba yang disebut Brief Family Therapy Center (BFTC) di Milwaukee, Wisconsin, Amerika Serikat pada akhir tahun 1980-an. SFBC berbeda dengan terapi-terapi konvensional dengan menjauhkan diri dari masa lalu menuju baik masa sekarang maupun masa depan. SFBC merupakan salah satu pendekatan konseling Posmodern dengan mengedepankan keberdayaan konseli untuk mencari jalan keluar atau solusi sehingga konseli akan memilih sendiri tujuan yang hendak ia capai (Corey, 2013; Capuzzi dan Gross, 2011).

Secara umum ada perbedaan yang mendasar antara pendekatan beriorientasi pemecahan masalah (solusi) dan pendekatan konvensional (psikoanalisis, gestalt, REBT, dan sebagainya). Seperti yang bisa dilihat dalam gambar 1.

Pendekatan Konseling Berfokus Solusi Pendekatan Konvensional  Penyebab masalah belum tentu

disesuaikan dengan pemecahannya (belum tentu match antara penyakit-obatnya)

 Penyebab masalah harus diketahui secara mendalam dan disesuaikan dengan pemecahannya/ solusinya

 Kurang memfokuskan pada permasalahannya namun lebih membahas solusi masalah tersebut

 Fokus pada pembahasan mencari akar sesuai sudut pandang teoritik daripada membahas solusi

 Bersifat subjektif (menekankan pada sisi personal)

 Obyektif dan lebih melihat dari sisi klinikal-medis (diselidiki secara mendasar masalah psikologisnya)  Terapis/ konselor-konseli sebagai

partner untuk berkolaborasi bersama (clients as expert in their life)

 Umumnya konselor/ terapis dipandang sebagai orang yang ahli dalam mengatasi masalah konseli (focus on counselors as expert) Gambar 1. Perbedaan Pendekatan SFBC dan Konvensional

(2)

2

Dalam perkembangannya, SFBC dipengaruhi model-model pemberian bantuan yang telah berkembang saat itu, diantaranya brief therapy yang dikembangkan Milton Erickson (Gladding, 2009), model perilaku, model kognitif-perilaku, dan sistem family therapy (Seligman, 2006). Secara filosofis, pendekatan SFBC didasari oleh suatu pandangan bahwa sejatinya kebenaran dan realitas bukanlah sesuatu yang bersifat absolut namun realitas dan kebenaran itu dapat dikonstruksikan.

Seperti halnya pendekatan atau teori konseling yang lain, keberadaan pendekatan SFBC juga didasarkan pada landasan-landasan filosofis tertentu yang pada akhirnya menjadi paradigma dalam mengembangkan model dan teori SFBC yang ada pada saat ini. Secara filosofis, pendekatan SFBC didasari oleh suatu pandangan bahwa sejatinya kebenaran dan realitas bukanlah sesuatu yang bersifat absolut namun realitas dan kebenaran itu dapat dikonstruksikan.

Pada dasarnya semua pengetahuan bersifat relatif karena ia selalu ditentukan oleh konstruk, budaya, bahasa atau teori yang kita terapkan kepada suatu fenomena tertentu. Dengan demikian, realitas dan kebenaran yang kita bangun (realitas yang kita konstruksikan) adalah hasil dari budaya dan bahasa kita. Apa yang dikemukakan tersebut merupakan beberapa pandangan yang dilontarkan oleh para penganut konstruktivisme sosial yang mengembangkan paradigmanya berdasarkan pandangan filosofis posmodern. Dalam perspektif terapeutik, konstruktivisme sosial merupakan sebuah perspektif terapeutik dengan suatu pandangan posmodern yang menekankan pada realitas konseli tanpa memperdebatkan apakah hal tersebut akurat atau rasional (Weishaar, 1993 dalam Corey, 2013).

Pada dasarnya semua pengetahuan bersifat relatif karena ia selalu ditentukan oleh konstruk, budaya, bahasa atau teori yang kita terapkan kepada suatu fenomena tertentu. Dengan demikian, realitas dan kebenaran yang kita bangun (realitas yang kita konstruksikan) adalah hasil dari budaya dan bahasa

(3)

3

kita. Apa yang dikemukakan tersebut merupakan beberapa pandangan yang dilontarkan oleh para penganut konstruktivisme sosial yang mengembangkan paradigmanya berdasarkan pandangan filosofis postmodern. Dalam perspektif terapeutik, konstruktivisme sosial merupakan sebuah perspektif terapeutik dengan suatu pandangan posmodern yang menekankan pada realitas konseli tanpa memperdebatkan apakah hal tersebut akurat atau rasional (Weishaar, 1993 dalam Corey, 2013). Artinya bahwa pandangan postmoderen melihat bahwa pengetahuan hanya sebuah konstruksi sosial saja.

Bagi orang-orang konstruksionisme sosial, realitas didasarkan pada penggunaan bahasa dan umumnya merupakan fungsi situasi di mana orang-orang itu sendiri tinggal. Contohnya ketika seseorang-orang merasa depresi, maka seketika itu dia mendefinisikan atau ia adopsi bahwa dirinya sedang depresi. Ketika sebuah definisi tentang diri telah diadopsi, akan sulit bagi individu tersebut untuk mengenali adanya perilaku yang berlawanan dengan definisi tersebut; contoh, sulit bagi seseorang yang menderita depresi untuk menyadari dan menghargai adanya masa-masa di dalam hidupnya di mana suasana hati/moodnya merasa baik atau senang (Corey, 2013).

Dalam pemikiran postmoderen, bahasa dan penggunaannya menciptakan makna dalam cerita-cerita yang disampaikan oleh individu. Dengan demikian akan terdapat banyak sekali makna-makna cerita sebanyak orang-orang menceritakan kisah tersebut dan masing-masing cerita tersebut adalah benar bagi orang yang menceritakannya. Pemikiran postmodern tersebut memberikan dampak terhadap perkembangan teori konseling dan psikoterapi serta mempengaruhi praktik konseling dan psikoterapi kontemporer

2. Konsep Dasar

(4)

4

Pada dasarnya, Konseling Singkat Berfokus Solusi (SFBC) didasarkan pada pandangan yang positif dan optimistik tentang hakikat manusia (Corey, 2013; Gladding, 2009). Manusia adalah makhluk yang sehat dan kompeten. SFBC merupakan model konseling yang nonpatologis yang menekankan pentingnya kompetensi manusia daripada kekurangmampuan, dan kekuatan daripada kelemahannya. Disamping itu, Manusia mampu membangun solusi yang dapat meningkatkan kehidupannya. Manusia memiliki kemampuan menyelesaikan tantangan dalam hidupnya. Bagaimanapun pengaruh lingkungan terhadap manusia, konselor meyakini bahwa saat dalam layanan konseling, konseli mampu mengonstruksi (membangun) solusi terhadap masalah yang dihadapinya. Karena itu, konseli juga mampu mengonstruksi solusi terhadap masalah-masalah yang dihadapinya.

Menurut de Shazer (dalam Corey, 2013) bahwa mengumpulkan informasi terkait masalah konseli bukanlah sesuatu yang penting, namun yang lebih utama adalah segera berkolaborasi bersama konseli untuk memfokuskan pada pencarian solusi-solusi yang sesuai dengan kemampuan diri konseli. Dalam SFBC, konseli memilih tujuan-tujuan yang mereka ingin capai dalam terapi, dan diberikan sedikit perhatian terhadap diagnosis, pembicaraan tentang sejarah, atau eksplorasi masalah (Bertolino & O’Hanlon, 2002; Gingerich & Elisengart, 2000; O’Hanlon & Weiner-Davis, 1989 dalam Corey, 2013)

2.2 Pandangan tentang Kepribadian

Dalam pelaksanaan bantuan terhadap konseli, SFBC tidak menggunakan teori kepribadian dan psikopatologi yang berkembang saat ini. Konselor SFBC berkeyakinan bahwa kita tidak bisa memahami secara pasti tentang penyebab masalah individu. Oleh karena itu, konselor perlu tahu apa yang membuat orang memasuki masa depan yang lebih baik

(5)

5

dan lebih sehat, yaitu tujuan yang lebih baik dan lebih sehat. Individu tidak bisa mengubah masa lalu tetapi ia dapat mengubah tujuannya. Sebagai ganti teori kepribadian dan psikopatologi, masalah dan masa lalu, SFBC berfokus pada saat sekarang yang dipandu oleh tujuan positif yang spesifik yang dibangun berdasarkan bahasa konseli yang berada di bawah kendalinya (Prochaska & Norcross, 2007)

2.3 Asumsi Tingkah Laku Bermasalah

Secara teoritik SFBC memandang masalah konseli bisa dilihat bahwa individu menjadi bermasalah karena ketidakmampuannya untuk mencari dan mengefektifkan dalam melakukan pemecahan yang telah dilakukannya. Dengan kata lain SFBC tidak ada memberikan konsep khusus tentang masalah yang dialami oleh konseli dan sejatinya konselor tidak bisa memahami secara pasti tentang penyebab masalah individu.

Menurut Flanagan & Flanagan (2004:374) dalam pandangan postmodern masalah psikis dideskripsikan sebagai berikut:

1. Bahwa tidak ada diagnosis khusus atau kriteria khusus seperti pada penggunaan panduan diagnostik misalnya dengan DSM (Diagnostic and Statistic Manual for Mental Disorder) terhadap masalah psikis yang diderita oleh konseli khusus.

2. “Mendiagnosis konseli” dianggap sebagai prosedur yang tidak membantu (unhelpful procedure). Hal ini disebabakan karena terapis akan sibuk dan membuang banyak waktu dengan mencari masalah konseli serta akan memandang bahwa masalah konseli yang begitu luasnya diberikan kategori-kategori seakan-akan individu memang telah menderita masalah psikis yang berat. Misalnya individu (konseli) yang datang pada konselor menceritakan masalahnya, selanjutnya dengan hasil diagnosis konselor (misalnya dengan menggunakan DSM IV TR) ia dikategorikan sebagai orang yang depresi. Dengan demikian

(6)

6

konseli telah “diberikan label” bahwa dirinya adalah penderita depresi, karena apa yang konseli ungkapkan, sikapkan, perilakukan sesuai dengan apa yang tercantum dalam DSM. Dalam kondisi ini konselor/terapis lebih banyak mendiagnosis masalah konseli daripada memfokuskan pada solusi apa yang segera dikonstruk oleh konseli 3. Simptom-simptom masalah (misalnya: kecemasan, depresi) bukan

wujud yang terpisah dari diri individu melainkan sebagai bagian dari pengalaman individu dlm menjalani keseluruhan kisah hidupnya. Dengan kata lain bahwa ketika individu memiliki gejala-gejala masalah yang terkait dengan psikisnya, maka masalah-masalah tersebut hakikatnya adalah bagian dari hidupnya yang memang memiliki peluang untuk muncul pada diri individu ketika ia menjalani kehidupannya. Hal ini menandakan bahwa sejatinya setiap individu mempunyai masalah-masalah tersebut (kecemasan, depresi, dsb) walaupun intensitas dan frekuensinya berbeda-beda. Dengan demikian individu tidak secara tiba-tiba atau mendadak memiliki masalah (misalnya kecemasan, depresi), namun justru individu dalam menjalani hidupnya “berdampingan” dengan masalah dan merupakan suatu kewajaran bahwa setiap manusia yang hidup memiliki masalah

3. Tujuan Konseling

Pendekatan SFBC mencerminkan beberapa ide dasar tentang perubahan, interaksi, dan pencapaian tujuan-tujuan. Konselor SFBC yakin bahwa setiap orang memiliki kemampuan untuk menentukan tujuan-tujuan pribadi yang bermakna dan bahwa tiap orang memiliki kekuatan yang dibutuhkan untuk memecahkan permasalahan mereka. Tujuan tersebut bersifat unik bagi masing-masing klien dan tujuan tersebut dibuat oleh klien sendiri untuk menciptakan masa depan yang lebih bermakna (Prochaska & Norcross, 2007). Kurangnya kejelasan menganai preferensi, tujuan, dan hasil yang diinginkan

(7)

7

konseli dapat mengakibatkan kerenggangan antara konselor dan konseli. Oleh karena itu, sangat penting bahwa tahap awal terapi ditujukan untuk menggali apa saja yang diinginkan konseli dan permasalahan apa saja yang konseli bersedia untuk dipelajari (Bertolino & O’Hanlon, 2002).

Seorang konselor berfokus pada perubahan-perubahan yang kecil, realistik, dan dapat dicapai oleh klien yang dapat mengarahkan konseli pada hasil positif lainnya.. Karena kesuksesan cenderung dibangun dari keberhasilan kecil, tujuan-tujuan yang sederhana dipandang sebagai awal perubahan. Tujuan yang lebih baik dapat mengatasi masalah dan mengantarkan ke masa depan yang lebih produktif. Konselor perlu mengetahui karakteristik tujuan konseling yang baik dan produktif: positif, proses, saat sekarang, praktis, spesifik, kendali konseli, bahasa konseli.

Dalam SFBT, terdapat beberapa bentuk tujuan: mengubah pandangan terhadap situasi atau suatu frame of reference (kerangka berpikir); merubah tindakan klien dalam menangani situasi problematis; dan mengarahkan kekuatan dan daya/tenaga yang dimiliki oleh klien (O’Hanlon & Weiner-Davis, 1989 dalam Corey 2013). Tujuan utama dari SFBT meliputi membantu klien untuk mengadopsi pergeseran sikap dan bahasa klien dari berbicara mengenai permasalahan menjadi berbicara tentang berbagai solusi. Klien didorong untuk melakukan pembicaraan tentang perubahan atau solusi ketimbang berbicara mengenai masalah. Ini disadarkan asumsi bahwa apa yang kita bicarakan akan cenderung menjadi sesuatu yang kita hasilkan. Berbicara mengenai permasalahan akan menghasilkan permasalahan yang berkelanjutan. Berbicara mengenau perubahan akan menghasilkan perubahan. Saat individu belajar untuk berbicara, dalam artian apa yang mampu mereka lakukan dan kekuatan-kekuatan apa saja yang mereka miliki, dan tindakan apa saja yang telah mereka lakukan yang bekerja bagi dirinya, maka ini berarti bahwa mereka telah mencapai tujuan utama dari proses terapi

(8)

8

Selain itu, dalam pendekatan SFBC, ada beberapa konsep utama yang menjadi tujuan terapeutik (Walter & Peller, 1992; Proschaska & Norcross, 2007). Adapun kriteria tersebut adalah:

1.1.Bersifat positif

Ungkapan tujuan yang terapiutik tidak berpusat pada kata-kata negatif. Ia mengandung kata “maka, sebagai gantinya” (instead). Sebagai contoh: ungkapan tujuan “Saya akan meninggalkan kebiasaan minum-minuman keras” atau “Saya akan keluar dari depresi dan ansietas”, belum cukup mencerminkan suasana positif. Suasana positif baru tergambar dengan jelas ketika ungkapan tersebut bermuatan tindakan positif yang akan dilakukan, sehingga menjadi “Sebagai ganti kebiasaan minum-minuman keras, saya berolah raga teratur lima kali dalam sepekan”, “Sebagai ganti depresi dan ansietas, saya mengikuti perkumpulan rohani setiap malam jum’at”.

1.2.Mengandung proses

Kata kunci mewakili proses bagaimana, pertanyaan bertajuk bagaimana, semisal yang terwakili oleh pertanyaan “bagaimana Anda akan melaksakan alternatif yang lebih sehat dan lebih membuahkan kebahagiaan ini?” perlu terimplisitkan juga dalam tujuan terapeutik. Dalam tujuan terapeutik itu pula perlu terkandung jawaban atas pertanyaan tersebut.

1.3.Merangkum gagasan tentang kurun waktu kini

Perubahan terjadi kini, bukan kemarin, bukan pula esok. Pertanyaan sederhana yang bisa membantu adalah, “Setelah Anda meninggalkan hal yang lama hari ini, dan kemudian Anda tetap berada pada jalur yang tepat, hal apa yang akan Anda lakukan dengan cara yang berbeda? Apa pula yang akan Anda katakan dengan cara beda kepada diri Anda sendiri, hari ini juga, bukan esok?”

(9)

9 1.4.Bersifat praktis

Sifat praktis itu terwakili oleh jawaban yang memadai atas pertanyaan “Sejauh mana tujuan Anda bisa dicapai?”. Kata kunci di sini adalah dapat dicapai, dapat dilaksanakan. Konseli-konseli yang hanya menginginkan pasangan mereka, karyawan mereka, orang tua mereka, atau guru mereka berubah, tidak memiliki solusi yang dapat dilaksakan, dan mereka hanya kan berada dalam kehidupan yang dimuati lebih banyak problem.

1.5.Berusaha untuk merumuskan tujuan sespesifik mungkin

Hal tersebut terwakili oleh jawaban yang memadai atas pertanyaan “sespesifik apa Anda akan melakukan pekerjaan Anda?”. Tujuan yang bersifat umum, global, abstrak atau ambigu, semisal yang terwakili oleh ungkapan “Menggunakan waktu lebih banyak bersama keluargaku”, tidak spesifik “aku akan menggunakan waktu 15 menit untuk berjalan-jalan dengan ayahku setiap sore”, atau “Aku akan secara sukarela melatih regu sepakbola anakku”.

1.6.Adanya kendali di tangan konseli

Hal ini terwakili oleh jawaban yang memadai atas pertanyaan “Apa yang akan Anda lakukan ketika alternatif baru terwujud?”. Kata kunci disini adalah Anda. Artinya kata Anda karena memiliki kemampuan, tanggung jawab, dan kendali untuk mewujudkan hal-hal yang lebih baik.

1.7. Menggunakan bahasa konseli

Gunakan kata-kata konseli untuk membentuk tujuan, bukan bahasa teoritis konselor. “Aku akan bercakap-cakap sebagai sesama orang dewasa dengan ayahku lewat telepon seminggu sekali” (bahasa konseli), adalah lebih efektif daripada “Aku akan menyelesaikan konflik oedipalku dengan ayahku” (bahasa teoritis konselor)

(10)

10 4. Prosedur Konseling

Pada penerapan konseling singkat berfokus solusi, de Shazer & Yolan (2007) mengemukakan bahwa ada beberapa prinsip-prinsip utama yang mendasari pengaplikasian pendekatan ini dalam proses konseling. Hal tersebut meliputi seperti pada kotak 1 dibawah ini.

Berdasarkan apa yang telah dipaparkan dalam kotak 2 menunjukkan bahwa dalam aplikasinya pendekatan SFBC telah memiliki rambu-rambu tertentu agar proses konseling memiliki daya efektifitas dan efisien terutama terkait proses pemecahan masalah. Meski demikian pendekatan ini tetap menekankan pembinaan hubungan yang kolaboratif pada awal sesi sehingga diharapkan antara konselor dan konseli bersama-sama merancang alternatif pemecahan masalah secara cepat.

Bertolino dan O’Hanlon (2002) menekankan pentingnya menciptakan hubungan-hubungan terapeutik yang kolaboratif dan melihat hal tersebut sebagai hal dibutuhkan agar terapi dapat berlangsung dengan sukses. Dengan mengakui bahwa terapis memiliki keahlian dalam menciptakan suatu konteks bagi perubahan, mereka menekankan bahwa para klien merupakan ahli di dalam kehidupan mereka sendiri dan seringkali memiliki pemahaman yang baik tentang apa saja yang bekerja dan tindakan apa saja yang tidak bekerja untuk dirinya di masa lalu, dan tindakan-tindakan apa saja yang dapat bekerja untuk dirinya di masa depan. Jika klien terlibat dalam proses terapi mulai dari awal sampai akhir,

PRINSIP-PRINSIP DASAR DALAM PENERAPAN SFBC  Jika upaya (apa yg dilakukan konseli) tidak efektif, maka jangan

sekali2 untuk tetap dipaksakan utk dilakukan.

 Jika upaya (apa yang dilakukan konseli) efektif/berhasil tetaplah untuk menjaga konsistensinya (jika perlu dapat dilakukan berulang-ulang)

 Jika upaya (apa yg dilakukan konseli) tidak bekerja dengan semestinya/tidak efektif, maka berhenti untuk melakukannya lagi.  Menjaga proses konseling agar sesederhana mungkin

(11)

11

kemungkinan terapi akan sukses jauh lebih besar. Singkatnya, hubungan kolaboratif dan kooperatif cenderung lebih efektif dibanding hubungan yang bersifat hirarki dalam terapi.

Secara umum prosedur atau tahapan pelaksanaan SFBC menurut Corey (2013) adalah sebagai berikut:

1.1. Pada tahap ini konselor melakukan aktivitas sebagai berikut: (a) penciptaan kondisi fasilitatif dan kolaboratif, (b) pembicaraan topik netral, dan (c) penjelasan proses konseling

1.2. Konseli diberikan kesempatan untuk memaparkan masalah-masalah mereka yang dimungkinkan adanya solusi. Konselor mendengarkan dengan penuh perhatian dan cermat jawaban-jawaban konseli terhadap pertanyaan dari terapis, ”Bagaimana saya dapat membantu Anda?” 1.3. Konselor berkolaborasi dengan konseli dalam membangun tujuan-tujuan

yang dibentuk secara spesifik dengan baik secepat mungkin. Pertanyaannya adalah, ”apa yang akan menjadi berbeda dalam hidupmu ketika masalah-masalahmu terselesaikan?”

1.4. Konselor menanyakan konseli tentang saat dimana masalah-masalah sudah tidak ada atau saat masalah-masalah terasa agak ringan. Konseli dibantu untuk mengeksplor pengecualian-pengecualian ini, dengan penekanan yang khusus pada apa yang mereka lakukan untuk membuat keadaan/ peristiwa-peristiwa tersebut terjadi.

1.5. Di akhir setiap percakapan membangun-solusi (solution-building), konselor memberikan konseli umpan balik simpulan, memberikan dorongan-dorongan, dan menyarankan apa yang konseli dapat amati atau lakukan sebelum sesi berikutnya yang lebih jauh untuk meyelesaikan masalah mereka.

Secara umum proses konseling yang dilakukan oleh konselor pada sesi pertama menurut Sklare (2014) seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.

(12)

12

Gambar 2. Skema Tahapan Konseling SFBC Sesi 1 Merumuskan Tujuan

Tujuan Negatif

Absen terhadap sesuatu Menginginkan sesuatu Gali lebih jauh Tujuan Positif “apa yang dapat kamu lakukan yang

menunjukkan bahwa kamu...” “aku tidak ingin untuk...”

“Jadi apa yang dapat kamu lakukan sebagai ganti...”

“Aku ingin orang lain utk berhenti...” “Apa perbedaan2 yg di luar?” “Apa yg kamu lakkukan jika mereka

tidak berubah?”

“Perubahan2 dari orang lain apa yg dapat dilakukan agar berguna untukmu”

Pertanyaan Keajaiban

Apa lagi perbedaan/ kejadian setelah terjadi keajaiban

Pertanyaan Pengecualian

“ceritakan pada saya kapan beberapa keajaiban (apa yang telah kamu sampaikan tadi) terjadi meskipun sejenak”

Pertanyaan Berskala (scalling)

Adakah yang lain yang ingin saya butuhkan untuk diketahui

Pesan 1. Pujian/penghargaan thd kesuksesan

2. Jembatan utk mengaitkan antara tujuan & tugas 3. Tugas : tindakan umum (observasi klien thd hal-hal yg

(13)

13 Contoh Pertanyaan Pengecualian:

Konseli: “..Pak saya terus-menerus merasa sedih dan tidak nyaman semenjak saya berkonflik dengan sahabat dekat saya..”

Konselor : Baik, dari apa yang kamu sampaikan tadi bisakah kamu sampaikan saat-saat dimana kamu merasa bahagia dengan sahabatmu atau kapan terakhir kamu merasa damai tanpa konflik ketika bersama sahabatmu?..”(konselor ingin melihat kemungkinan solusi ketika konseli sedang dalam kondisi yang berlawanan dengan apa yang disampaikan)

Konseli: “..Iya pak waktu kami mendiskusikan hobi, karena saya dan dia sama hobinya maka pasti asyik jika mengobrolkan hal ini..”. Konselor: “..Wah bagus..nampaknya hal ini menjadikan kalian menjalin

keakrapan ya..ehmm bisakah kamu gambarkan secara detail bagaimana kondisinya pada waktu itu? (konselor bersama klien berupaya mencari solusi berdasarkan pengalaman yang menyenangkan pada kondisi yang lain, sehingga dapat dijadikan kemungkinan alternatif solusi efektif)

5. Teknik Konseling

Dalam aplikasinya, pendekatan SFBC memiliki beberapa teknik intervensi khusus. Teknik ini dirancang dan dikembang dalam rangka membantu konseli untuk secara sadar membuat solusi atas permasalahan yang ia hadapi. Beberapa teknik dari SFBC (Corey, 2013; Capuzzi dan Gross, 2011) adalah:

1.1. Pertanyaan Pengecualian (Exception Question)

Konselor SFBC menanyakan pertanyaan-pertanyaan exception untuk mengarahkan konseli pada waktu ketika masalah tersebut tidak ada. Exceptions merupakan pengalaman-pengalaman masa lalu dalam hidup konseli ketika pantas untuk mempunyai harapan masalah tersebut terjadi, tetapi bagaimanapun juga tetap tidak terjadi (de Shazer, 1985 dalam Corey 2013). Eksplorasi ini mengingatkan konseli bahwa masalah-masalah tidak semua-kuat dan tidak selamanya ada; hal itu juga memberikan suatu tempat dari kesempatan untuk menimbulkan sumber daya, menggunakan kekuatan-kekuatan, dan menempatkan solusi-solusi yang mungkin.

1.2. Pertanyaan Keajaiban (Miracle Question)

Meminta konseli untuk mempertimbangkan bahwa suatu keajaiban membuka suatu tempat untuk kemungkinan-kemungkinan di masa depan. Konseli didorong untuk membiarkan dirinya sendiri bermimpi tentang suatu cara/

(14)

14 Contoh Pertanyaan Berskala:

Seorang konseli yang mengemukakan perasaan-perasaan panik atau kegelisahan kepada konselor dapat dilihat tingkat kegelisahannya dengan mengaplikasikan teknik ini misalnya:

“Pada skala nol sampai 10, dimana nol adalah bagaimana perasaan Anda ketika pertama kali datang ke terapi dan 10 adalah perasaan Anda ketika terjadi keajaiban dan masalah Anda hilang, bagaimana Anda menilai kegelisahan Anda saat ini?”

Contoh Pertanyaan Keajaiban:

”Jika suatu keajaiban terjadi dan masalah Anda terpecahkan semalam, bagaimana Anda tahu bahwa hal tersebut telah terpecahkan, dan apa yang menjadi berbeda?” Konseli kemudian didorong untuk melakukan ”apa yang menjadi berbeda” kendati permasalahan dirasakan.

jalan untuk mengidentifikasi jenis-jenis perubahan yang paling mereka inginkan. Pertanyaan ini memiliki fokus masa depan dimana konseli dapat mulai untuk mempertimbangkan kehidupan yang berbeda yang tidak didominasi oleh masalah-masalah masa lalu dan sekarang ke arah pemuasan hidup yang lebih dimasa mendatang.

1.3. Pertanyaan berskala (Scaling Question)

Scaling questions memungkinkan konseli untuk lebih memperhatikan apa yang mereka telah lakukan dan bagaimana mereka dapat mengambil langkah yang akan mengarahkan pada perubahan-perubahan yang mereka inginkan. Konselor selalu menggunakan scaling questions ketika perubahan dalam pengalaman seseorang tidak dapat diamati dengan mudah, seperti perasaan, suasana hati (mood), atau komunikasi.

1.4.Rumusan Tugas Sesi Pertama (Formula First Session Task/FFST)

Rumusan Tugas Sesi Pertama adalah suatu format tugas yang diberikan oleh konselor kepada konseli untuk diselesaikan pada antara sesi pertama dan sesi kedua. Konselor dapat berkata: ”Diantara saat ini dan pertemuan kita selanjutnya, saya berharap Anda dapat mengamati, sehingga Anda dapat menjelaskan pada saya pada pertemuan yang akan datang, tentang apa yang terjadi pada (keluarga, hidup, pernikahan, hubungan) Anda yang harapkan terus terjadi” (de Shazeer, 1985, dalam Corey, 2013).

(15)

15 1.5.Umpan balik (Feedback)

Para konselor SFBC pada umumnya mengambil waktu 5 sampai 10 menit pada akhir setiap sesi untuk menyusun suatu ringkasan pesan untuk konseli. Selama waktu ini konselor memformulasikan umpan balik yang akan diberikan pada konseli. Dalam pemberian umpan balik ini memiliki tiga bagian dasar yaitu sebagai pujian, jembatan penghubung dan pemberian tugas.

1.6.Presession change question (Pertanyaan perubahan prapertemuan) Pertanyaan perubahan prapertemuan dimaksudkan untuk menemukan pengecualian/mengeksplorasi solusi yang telah diupayakan konseli sebelum pertemuan konseling. Tujuannya menciptakan harapan terhadap perubahan, menekankan peran aktif dan tanggung jawab konseli dan menunjukkan bahwa perubahan bisa terjadi di luar ruang konseling.

6. Keunggulan dan Keterbatasan a. Keunggulan

 Berfokus pada solusi.

 Treatment terfokus pada hal yang spesifik dan jelas.  Penggunaan waktu yang efektif.

 Berorientasi pada di sini dan sekarang (here and now).

 Penggunaan teknik-teknik intervensi bersifat fleksibel dan praktis b. Keterbatasan

 Dalam waktu relatif singkat konselor harus mampu melakukan penilaian untuk membantu konseli memformulasikan tujuan khusus, dan secara efektif menggunakan intervensi yang tepat hal ini dapat menimbulkan kesan prematur.

 Posisi not-knowing dapat menjadi kendala dalam seting multikultural  Konseling bertujuan tidak secara tuntas menyelesaikan masalah konseli.  Dalam penerapannya menuntut keterampilan konselor dalam penggunaan

bahasa.

 Dalam proses konseling akan terjadi hambatan ketika konseli sulit untuk diajak berimajinasi.

(16)

16

 Tidak ada seperangkat “resep pemecahan masalah” atau solusi secara tepat yang harus diikuti semuanya tergantung subyektifitas konseli

 Kurangnya pengalaman konselor memungkinkan memandang SFBC hanya sebagai teknik

 Kurangnya perhatian pada pendefinisian problem atau menyederhanakan problem

Gambar

Gambar 2. Skema Tahapan Konseling SFBC Sesi 1 Merumuskan Tujuan

Referensi

Dokumen terkait

Coal briquette business in West Sumatra are expected to have a very good prospect, because the raw materials of coal available in abundance, both in West Sumatra itself or in

Berdasarkan penelitian terhadap hasil belajar PKn siswa yang menggunakan pendekatan cooperative learning tipe Think, Pair, and share , data yang terkumpul diperoleh

Menimbang : bahwa dalam rangka mendukung tertib administrasi pengelolaan keuangan pelaksanaan pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan di Kabupaten Banyuwangi Bagian

Beberapa Faktor Sosial Ekonomi Yang Mempengaruhi Produktivitas, Biaya Produksi Dan Pendapatan Usahatani Semangka.. Departemen Sosial Ekonomi Pertanian Universitas

karya Ustad Felix Siauw menggunakan pernyataan tentang hubungan yang terdapat diantara dua term atau suatu pernyataan dalam bentuk kalimat yang memiliki arti penuh

Penelitian yang dilaporkan oleh Purbadewi (2013) mengatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan, sikap dan perilaku dengan kejadian komplikasi

Dari seluruh proses perancangan, instalasi, konfigurasi, implementasi, hingga simulasi pengujian antarmuka Kelas Virtual pada sitem operasi yang berbeda dengan

Melalui media ini konsumen dapat melihat dan mendengarkan iklan deodorant Rexona Pro Balance sehingga secara tidak langsung konsumen sudah memberikan perhatian terhadap produk (