• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PENDEKATAN TEORITIS"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

PENDEKATAN TEORITIS

2.1. Tinjauan Pustaka

2.1.1. Konsep Migrasi dan Faktor-faktor yang Menyebabkan Migrasi di Indonesia

Migrasi merupakan salah satu istilah yang biasa dipakai dalam menyatakan perpindahan penduduk dari suatu daerah ke daerah lainnya. Migrasi adalah suatu bentuk gerak penduduk geografis, spasial atau teritorial antara unit-unit geografis yang melibatkan perubahan tempat tinggal yaitu dari daerah asal ke tempat tujuan (Rusli, 1995). Menurut Rusli (1995) migrasi merupakan dimensi gerak penduduk permanen sedangkan dimensi gerak penduduk non-permanen terdiri dari sirkulasi dan komutasi.

Zelinsky (1971) dalam Rusli (1995) menyatakan bahwa, istilah circulator secara umum bermakna berbagai macam gerak penduduk yang biasanya berciri jangka pendek, repetitif, atau siklikal dimana punya kesamaan dalam hal tak nampak niat yang jelas untuk mengubah tempat tinggal yang permanen. Menurut Rusli (1995) sirkulasi merupakan gerak berselang antara tempat tinggal dengan tempat tujuan baik untuk bekerja maupun untuk tujuan lain pada periode waktu tertentu dimana para sirkulator menginap ditempat tujuan sedangkan komutasi adalah gerak berulang hampir setiap hari antara tempat tinggal dengan tempat tujuan atau dengan kata lain komuter pada dasarnya tidak punya rencana untuk menginap didaerah tujuan.

(2)

Menurut Rusli (1995) secara umum terdapat dua jenis migrasi yaitu migrasi internal dan migrasi internasional. Migrasi internasional adalah migrasi yang terjadi antar negara dan seorang dikatakan melakukan emigrasi jika migrasi internasional dipandang dari negara asal atau negara pengirim. Sementara imigrasi bilamana migrasi tersebut dilihat dari negara penerima atau negara tujuan. Migrasi internal adalah migrasi yang terjadi dalam batas-batas wilayah suatu negara. Menurut Kartini (1995) dalam Pardede (2008) yang mengutip pendapat Safa dan Du Toit (1975), menyatakan bahwa migrasi tidak semata-mata sebagai proses perpindahan manusia dari suatu tempat ke tempat lainnya, tetapi proses migrasi mencakup bagaimana penyesuaian warga yang melakukan migrasi terhadap lingkungan sosial yang baru.

Proses migrasi pada umumnya terjadi karena adanya faktor pendorong dari desa asal (push factor) dan faktor penarik dari kota tujuan (pull factor). Selain itu, Lee (1969) berpendapat bahwa dalam tiap tindakan migrasi baik yang jarak dekat maupun jarak jauh senantiasa terlibat faktor-faktor yang berhubungan dengan daerah asal, daerah tujuan, pribadi dan rintangan-rintangan antara.1 Faktor pendorong adalah faktor yang berasal dari daerah asal yang menjadi pertimbangan migran dalam melakukan migrasi. Melihat alasan-alasan yang dikemukakan responden maka dapat diketahui bahwa faktor pendorong yang melatarbelakangi migran keluar dari daerah asal terutama didorong oleh alasan ekonomi, yaitu untuk meningkatkan taraf hidupnya melalui pendapatan yang lebih baik.

Faktor penarik dalam penelitian ini adalah daya tarik kota bagi migran. Migran merasa tidak dapat berkembang jika tetap tinggal di kampung karena

1 Lee (1969) dalam Rusli, Said.1995.Pengantar Ilmu Kependudukan-cet 7(revisi).Jakarta:PT

(3)

terbatasnya lapangan pekerjaan. Bayangan mengenai kota yang menawarkan lebih banyak kesempatan dalam memperoleh pekerjaan serta jenis pekerjaan yang lebih banyak telah menarik migran untuk bermigrasi ke kota. Jika dibandingkan antara faktor penarik dengan faktor pendorong, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa migran yang bermigrasi sebagian besar memiliki alasan untuk mencari pekerjaan.

Penyebab utama perpindahan penduduk yang kebanyakan bersifat ekonomi juga didukung pula oleh pendapat Keyfitz dan Nitisastro (1955). Sebagian besar penduduk di desa menggantungkan hidup mereka pada sektor pertanian. Padahal, penduduk desa dari tahun ke tahun akan terus bertambah sehingga jumlah orang yang menggantungkan hidupnya pada lahan-lahan pertanian juga akan terus meningkat. Hal tersebut tidak diimbangi dengan jumlah lahan pertanian yang tersedia. Dengan demikian penduduk desa akan semakin sulit memperoleh pekerjaan dan kalaupun ada pekerjaan biasanya upah yang didapat sangat rendah. Hal tersebut juga didukung oleh Tangnga (1988) dimana hasil penelitian yang dilakukannya menemukan bahwa faktor dominan yang mendorong meningkatnya arus migrasi di Kotamadya Ujung Pandang antara lain kecilnya peluang untuk mendapatkan pekerjaan di daerah asal dan kecilnya pendapatan yang diperoleh oleh pendatang di daerah asal.

Pendatang yang berasal dari desa juga mengemukakan alasan lain yang melatarbelakangi keputusan mereka untuk melakukan migrasi yaitu banyaknya pekerjaan di kota dibandingkan di desa. Selain itu adanya anggapan bahwa di kota lebih mudah mendapatkan pekerjaan juga menarik minat para pendatang untuk datang ke kota.

(4)

2.1.2. Konsep Urbanisasi dan Tingkat Urbanisasi yang Terjadi di Indonesia

Saat ini masih banyak orang memiliki persepsi yang salah mengenai konsep urbanisasi. Banyak orang mengetahui bahwa urbanisasi adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota. Menurut Rusli (1995) urbanisasi merupakan proses meningkatnya proporsi penduduk yang bermukim di daerah perkotaan yang disebabkan migrasi desa-kota, pertambahan alami penduduk perkotaan sendiri, dan adanya daerah pedesaan yang berubah menjadi daerah perkotaan. Menurut Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, pertambahan alami penduduk adalah pertambahan penduduk yang disebabkan oleh selisih antara kelahiran dengan kematian dari suatu penduduk dalam jangka waktu tertentu.

Watts (1992) dalam Nasution (2002) menyebut urbanisasi sebagai “worldwide phenomenon” merupakan realitas yang tidak dapat dihindari. Bahkan dalam batas tertentu, urbanisasi memberikan insentif bagi kemajuan perekonomian kota, dalam wujud supply tenaga kerja yang dibutuhkan bagi berbagai sektor ekonomi yang ada (Nasution, 2002). Urbanisasi berperan penting dalam meningkatkan angka pengangguran terbuka di perkotaan, yaitu 5,8 persen pada tahun 1992, meningkat menjadi 10,5 persen pada tahun 1999 (BPS, 2000). Hal ini selaras dengan temuan McGee (1971) dalam Nasution (2002) yang mengungkapkan bahwa dikebanyakan kota-kota negara dunia ketiga, yang pesat perkembangan ekonominya, sering tidak diimbangi oleh kesempatan kerja. Akibatnya selain memicu peningkatan pengangguran, luapan angkatan kerja tersebut lalu tertampung disektor informal dengan produktifitas yang bersifat subsisten (Nasution, 2002).

(5)

Setiap tahunnya penduduk di daerah perkotaan selalu mengalami peningkatan jumlah penduduk yang disebabkan oleh pertambahan penduduk secara alami dan sebagian besar karena meningkatnya migrasi dari desa ke kota. Berdasarkan hasil sensus penduduk 1990 menunjukkan bahwa 30,9 persen penduduk Indonesia bertempat tinggal di daerah perkotaan dimana angka ini terus mengalami peningkatan dari 14,8 persen pada tahun 1961, 17,4 persen pada tahun 1971, dan 22,3 persen pada tahun 1980 (Rusli, 1995).

Sensus Penduduk 1980 memperlihatkan angka urbanisasi di Indonesia sebesar 22,3 persen. Angka ini meningkat menjadi 30,9 persen di tahun 1990 (Chotib, 2000). Berdasarkan sensus penduduk yang telah dilakukan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) diperoleh data tingkat urbanisasi penduduk Indonesia pada tahun 1990 sebesar 30,9 persen dan meningkat menjadi 42,0 persen pada tahun 2000 (BPS, 2007). Selama kurun waktu sepuluh tahun ini angka pertumbuhan penduduk perkotaan diketahui sebesar 5,4 persen per tahun, yang berarti jauh lebih tinggi daripada angka pertumbuhan penduduk secara nasional, yaitu 1,97 persen per tahun (Chotib, 2000).

Hal tersebut tidak berlangsung secara merata disetiap kota di Indonesia. Sebagai contoh adalah Kota Depok dimana pada tahun 1982 jumlah penduduk kota ini sebanyak 240.000 jiwa, dan pada tahun 2002 meningkat menjadi 1.313.495 jiwa, dengan kepadatan rata-rata 5.818 jiwa per kilometer persegi dan pertumbuhan penduduk 3,70 persen per tahun (Astuti, 2006). Berdasarkan hasil perhitungan sensus penduduk yang dilakukan oleh BPS di Kota Jakarta pada tahun 1961, 1971 dan 1980, penduduk DKI Jakarta pada waktu yang sama berkembang berturut-turut dari 2,97 juta, 4,58 juta dan kemudian menjadi 6,5 juta

(6)

jiwa. Dengan perkataan lain, penduduk Jakarta telah meningkat sebesar 4,46 persen dimana peningkatan setiap tahunnya sebesar 3,93 persen. Hasil sensus penduduk pada tahun 2000 yang dilakukan oleh BPS menunjukkan bahwa jumlah migran yang datang ke wilayah DKI Jakarta berjumlah 8.347.083 jiwa atau sebesar (42,43%).

Tahun 2001 pertambahan penduduk DKI Jakarta sebanyak 135.186 jiwa, tahun 2002 sebanyak 231.528 jiwa, tahun 2003 sebanyak 204.830, tahun 2004 sebanyak 190.356 jiwa dan pada tahun 2005 sebanyak 180.767 jiwa (Setiawan, 2006). Menurut Nafi (2006) laju penambahan penduduk DKI Jakarta selama lima tahun terakhir rata-rata 188 ribu orang yang datang. Saat ini secara definitif jumlah penduduk DKI Jakarta yang terregistrasi sebanyak 7,5 juta jiwa. Namun hasil sensus pada 2004 menyebutkan berjumlah 8,6 juta jiwa pada saat malam hari. Pada siang hari jumlah penduduk DKI Jakarta ada sekitar 12 juta jiwa (Nafi, 2006). Perbedaan jumlah penduduk yang ditunjukkan tersebut lantaran banyak yang bekerja dari luar Jakarta.

Salah satu penyebab meningkatnya proporsi penduduk perkotaan adalah adanya daerah pedesaan yang berubah menjadi daerah perkotaan. Surabaya merupakan salah satu kota di Indonesia yang mengalami hal tersebut. Pada tahun 1906 kota ini dengan cepat mengalami perkembangan yang sangat pesat (Basundoro, 2004). Dalam beberapa segi terutama dalam sektor industri Surabaya telah mengalami kemajuan yang luar biasa. Masa-masa rekonstruksi setelah kota-kota dilanda peperangan hebat telah menjadikan kota-kota-kota-kota besar di Indonesia berkembang menjadi tempat tujuan bagi masyarakat desa yang ingin mengadu nasib di kota. Proses urbanisasi merupakan salah satu akibat dari

(7)

kemajuan-kemajuan pesat di kota, dimana bagi kaum pendatang tersedia lapangan kerja yang luas.

2.1.3. Definisi Permukiman Liar dan Pertumbuhannya di Daerah Perkotaan

Distribusi penduduk berhubungan atau terkait dengan pola permukiman dan persebaran penduduk di suatu negara atau daerah-daerah lain seperti kota dan pedesaan. Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia memiliki kriteria yang dapat menentukan suatu daerah termasuk kota atau bukan yang pada umumnya dipengaruhi oleh banyaknya penduduk, kepadatan penduduk, dan persentasi angkatan kerja yang bekerja dibidang non pertanian. Proporsi atau persentase penduduk yang bermukim di daerah perkotaan suatu wilayah atau negara merupakan ukuran untuk mengetahui tingkat urbanisasi (Rusli, 1995).

Pesatnya pertumbuhan kota cenderung menimbulkan permasalahan perumahan baru di kawasan sekitarnya seperti munculnya permukiman liar. Mengingat bahwa perumahan merupakan bagian dari kebutuhan dasar (basic

need), yang harus dipenuhi oleh setiap orang untuk mempertahankan

eksistensinya. Menurut Basundoro (2004) permukiman liar adalah suatu tempat atau wilayah tertentu yang dijadikan tempat hunian oleh sekelompok orang secara ilegal. Permukiman liar adalah suatu wilayah hunian yang telah berkembang tanpa meminta ijin kepada otoritas yang terkait untuk membangun; merupakam permukiman yang tidak sah atau semi-legal status, infrastruktur dan jasa pada umumnya tidak cukup (Suyogo, 2009). Permukiman liar berbeda dengan permukiman kumuh. Permukiman kumuh belum tentu permukiman liar karena

(8)

ada di beberapa daerah dimana permukiman kumuh yang ada di wilayah tersebut berdiri secara legal.

Menurut Suyogo (2009), terdapat tiga karakteristik yang bisa membantu kita memahami permukiman liar

1. Physical ( Phisik )

Kurangnya pemaksimaksimalan fasilitas dan infrastruktur. Seperti halnya rumah yang didirikan semipermanen atau hanya sekedar gubuk, kurang layak atau tidak memiliki fasilitas kamar kecil, tidak memiliki RT dan RW yang jelas.

2. Social ( Sosial )

Kebanyakan penghuni liar mempunyai pendapatan tergolong lebih rendah, diantaranya bekerja sebagai tenaga kerja upah atau dalam perusahaan sektor informal. Kebanyakan mendapat gaji atau upah minimum atau dapat juga pendapatan tinggi karena bekerja sambilan. Penghuni liar sebagian besar orang pindah. Tetapi banyak juga penghuni liar dari generasi ke generasi secara turun - temurun.

3. Legal ( undang – undang)

Penghuni liar adalah ketiadaan kepemilikan lahan padahal diatasnya mereka sudah membangun rumah. Ini bisa jadi merupakan tanah pemerintah lowong atau daratan publik, parcels tanah pinggiran seperti pinggiran rel kereta api atau tanah kesultanan (sultan ground).

Permukiman liar di perkotaan menjadi masalah tersendiri bagi kota atau wilayah yang bersangkutan. Keberadaan permukiman liar dianggap mengganggu pemandangan kota yang berisi gedung-gedung megah. Keberadaan permukiman liar juga memberikan masalah tersendiri terhadap proses registrasi penduduk di

(9)

wilayah tempat permukiman liar tersebut berada. Keberadaan mereka secara ilegal diwilayah tempat tinggal mereka menyulitkan mereka untuk memperoleh KTP yang nantinya akan berpengaruh terhadap proses regristrasi penduduk diwilayah setempat. Registrasi penduduk adalah proses yang pelaporan dan pencatatan kelahiran, kematian, dan migrasi (Rusli, 2005).

Kepadatan penduduk di desa-desa yang terus mengalami peningkatan dapat menyebabkan banyak penduduk desa-desa yang bersangkutan mencari nafkah ke kota. Hal tersebut lebih dikarenakan semakin besarnya persaingan dalam memperoleh pekerjaan di desa dimana jumlah pekerjaan yang tersedia di desa sangat terbatas. Dengan demikian banyak penduduk desa memutuskan melakukan migrasi ke kota dimana pekerjaan yang tersedia lebih banyak. Akan tetapi dengan latar belakang pendidikan yang dimiliki oleh pendatang yang sebagian besar hanyalah lulusan Sekolah Rakyat (SR) menjadikan mereka sulit mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan harapannya. Pada akhirnya para pendatang hanya mampu bekerja pada sektor-sektor informal seperti buruh, tukang becak, pemulung. Dengan pekerjaan sektor informal yang digeluti oleh para pendatang tentunya upah yang diperoleh tidak sebanding dengan mereka yang bekerja disektor formal. Hal tersebut didukung dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Sandyatma (2004) dimana penulis melakukan penelitian terhadap tiga keluarga pendatang yang tinggal di permukiman liar sekitar tempat pembuangan sampah di Kelurahan Depok Kecamatan Pancoran Mas Kota Depok. Dalam penelitiannya disebutkan bahwa mereka tidak dapat memperoleh pekerjaan disektor formal karena mereka terganjal dengan tingkat pendidikan yang mereka miliki. Mereka tidak dapat bersaing dengan pendatang lain yang memiliki

(10)

pendidikan lebih baik dari mereka. Pada akhirnya mereka memutuskan untuk menjadi pemulung disekitar tempat mereka tinggal.

Permasalahan lain yang harus dihadapi oleh pendatang adalah tempat untuk mereka tinggal selama di kota. Di kota besar seperti Jakarta semakin hari semakin sulit untuk memperoleh tempat tinggal. Hal tersebut dikarenakan semakin berkurangnya lahan-lahan permukiman penduduk serta semakin banyaknya penduduk kota yang tentunya juga membutuhkan semakin banyak lahan untuk bermukim. Kalaupun masih ada lahan yang dapat digunakan sebagai tempat tinggal, harga yang ditawarkan untuk mendapatkan lahan tersebut sangatlah mahal dan tidak dapat dijangkau oleh mereka yang bekerja pada sektor informal dengan upah rendah.

Permasalahan harga lahan yang terus meningkat tersebut tidak menyurutkan niat para pendatang untuk tetap tinggal dan mengadu nasib di kota. Tentunya mereka masih tetap membutuhkan tempat tinggal yang dapat mereka gunakan sebagai tempat berlindung dari panas dan hujan. Oleh karena itu dengan kemampuan terbatas yang mereka miliki maka mereka memutuskan untuk memanfaatkan lahan-lahan kosong yang masih tersisa di kota tidak jarang lahan tersebut adalah lahan milik negara. Mereka mulai menempati lahan-lahan tersebut dan menjadikannya permukiman. Ada yang menyewa rumah semipermanen dan ada pula yang mendirikan rumah-rumah dengan menggunakan peralatan seadanya seperti triplek dan seng bekas yang mereka temukan. Semakin banyak pendatang yang bernasib sama dengan mereka dan memiliki inisiatif untuk melakukan hal

serupa maka dapat kita lihat sekarang ini semakin banyak permukiman liar yang ada di kota-kota besar di Indonesia.

(11)

2.1.4. Konsep Masyarakat Miskin

Menurut KBI Gemari (2003) penduduk miskin DKI Jakarta secara absolut jumlahnya semakin meningkat. Peningkatan jumlah penduduk miskin karena adanya berbagai faktor seperti krisis ekonomi dan urbanisasi. Dari hasil survey BPS DKI Jakarta menyatakan bahwa jumlah rumah tangga miskin ada 101.674 rumah tangga atau sebanyak 340.687 anggota rumah tangga (KBI Gemari, 2003). Apabila dibandingkan dengan jumlah rumah tangga di DKI Jakarta yang berjumlah 2.025.699 rumah tangga berarti rumah tangga miskin DKI Jakarta ada 5,02 persen atau dengan perkataan lain bila dibandingkan dengan jumlah penduduk ada 16,82 persen penduduk DKI Jakarta yang tergolong miskin (KBI Gemari, 2003). Tempat tinggal rumah tangga miskin pada umumnya bermasalah dan tidak layak huni. Mereka tinggal di bantaran aliran sungai, pinggiran jalan kereta api serta daerah kumuh lainnya. Pada umumnya mereka berada di lima wilayah kota dari 43 kecamatan, walaupun tidak seluruh dari 265 kelurahan dihuni oleh rumah tangga miskin (KBI Gemari, 2003).

Menurut BPS (2007), ada 14 kriteria untuk menentukan keluarga/rumah tangga miskin. Rumah tangga yang memenuhi minimal sembilan variabel, maka dikategorikan sebagai rumah tangga miskin. Kriteria rumah tangga miskin yang dimaksud yaitu:

1. Luas bangunan tempat tinggal kurang dari 8 meter persegi per orang. 2. Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan.

3. Jenis dinding tempat tinggal dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester.

(12)

4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah tangga lain.

5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.

6. Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan.

7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah.

8. Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu. 9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun.

10.Hanya sanggup makan hanya satu/dua kali dalam sehari.

11.Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik. 12.Sumber penghasilan kepala keluarga adalah petani dengan luas lahan 500

meter persegi, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, dan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp. 600.000,00 per bulan.

13.Pendidikan tertinggi kepala keluarga: tidak bersekolah/tidak tamat SD/hanya SD.

14.Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai minimal Rp. 500.000,00 seperti sepeda motor kredit/non-kredit, emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.

(13)

2.1.5. Fasilitas Kesehatan Bagi Masyarakat Miskin 2.1.5.1. Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas)

Beberapa tahun terakhir telah terjadi banyak perubahan mendasar dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan baik dalam hal pemberdayaan masyarakat, desentralisasi, upaya kesehatan, maupun lingkungan strategis kesehatan, termasuk pengaruh globalisasi. Salah satu kebijakan penting yang perlu menjadi acuan adalah Jamkesmas. Menurut Hambuako (2009) Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) adalah program bantuan sosial untuk pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin dan tidak mampu yang diselenggarakan secara nasional, agar terjadi subsidi silang dalam rangka mewujudkan pelayanan kesehatan yang menyeluruh bagi masyarakat miskin. Pelaksanaan kebijakan Jamkesmas dituangkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 125/Menkes/SK/II/2008 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Hambuako, 2009).

Penamaan program Jamkesmas mengalami berbagai bentuk perubahan (Hambuako, 2009). Awalnya, sebelum program ini menjadi regulasi yang diamanatkan dalam Undang–Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, berbagai upaya memobilisasi dana masyarakat dengan menggunakan prinsip asuransi telah dilakukan antara lain dengan program Dana Upaya Kesehatan Masyarakat (DUKM). Konsep yang ditawarkan adalah secara perlahan pembiayaan kesehatan harus ditanggung masyarakat sementara pemerintah akan lebih berfungsi sebagai regulator. Program DUKM secara operasional dijabarkan dalam bentuk Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM).

(14)

Penjaminan akses untuk penduduk miskin terhadap pelayanan kesehatan dilakukan oleh pemerintah sejak tahun 1998 saat melaksanakan berbagai upaya pemeliharaan kesehatan penduduk miskin. Bermula dengan pengembangan Program Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPS-BK) Tahun 1998–2001, Program Dampak Pengurangan Subsidi Energi (PDPSE) tahun 2001 dan Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS–BBM) Tahun 2002–2004.

Tahun 2005 pemerintah meluncurkan program jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin dan tidak mampu yang dikenal dengan nama program Asuransi Kesehatan Masyakat Miskin (Askeskin). Program ini merupakan bantuan sosial yang diselenggarakan dalam skema asuransi kesehatan sosial yang diselenggarakan oleh PT Askes (Persero). Setelah dilakukan evaluasi dan dalam rangka efisiensi dan efektivitas, maka pada tahun 2008 dilakukan perubahan dalam sistem penyelenggaraannya. Perubahan pengelolaan program tersebut adalah dengan pemisahan fungsi pengelola dengan fungsi pembayaran, yang didukung dengan penempatan tenaga verifikator disetiap rumah sakit. Nama program tersebut juga berubah menjadi Jaminan Pelayanan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas).

Kegiatan verifikasi yang dilakukan pada pelaksanaan Jamkesmas meliputi verifikasi pelayanan, keuangan dan administrasi akan dilakukan oleh verifikator independen yang direkrut oleh pemerintah melalui Dinas Kesehatan di daerah (Ariane, 2007). Dalam hal pendanaan, dana untuk program ini disalurkan langsung dari kas negara ke rekening rumah sakit melalui bank yang ditunjuk

(15)

pemerintah. Sehingga benar-benar dana yang ada diharapkan akan langsung diterima oleh penyelenggara pelayanan kesehatan.

Tujuan umum diselenggarakannya program Jamkesmas menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2007) adalah untuk meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan terhadap seluruh masyarakat miskin dan tidak mampu agar tercapai derajat kesehatan masyarakat yang optimal secara efektif dan efisien. Tujuan khusus program Jamkesmas, antara lain:

a. Meningkatnya cakupan masyarakat miskin dan tidak mampu yang mendapat pelayanan kesehatan di Puskesmas serta jaringannya dan di Rumah Sakit b. Meningkatnya kualitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin c. Terselenggaranya pengelolaan keuangan yang transparan dan akuntabel

Peserta Program Jamkesmas adalah setiap orang miskin dan tidak mampu di seluruh Indonesia yang terdaftar dan memiliki kartu dan berhak mendapatkan pelayanan kesehatan, tidak termasuk yang sudah mempunyai jaminan kesehatan lainnya. Jumlah sasaran peserta sebesar 19,1 juta Rumah Tangga Miskin (RTM) atau sekitar 76,4 juta jiwa (Hambuako, 2009). Jumlah tersebut berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2006, yang dijadikan dasar penetapan jumlah sasaran peserta secara nasional oleh Menkes. Berdasarkan Jumlah Sasaran Nasional tersebut Menkes membagi alokasi sasaran kuota Kabupaten/Kota. Bupati/Walikota wajib menetapkan peserta Jamkesmas Kabupaten/Kota dalam satuan jiwa berisi nomor, nama dan alamat peserta dalam bentuk Keputusan Bupati/Walikota.

Administrasi kepesertaan Jamkesmas meliputi: registrasi, penerbitan dan pendistribusian kartu kepada peserta (Hambuako, 2009). Untuk administrasi

(16)

kepesertaan Departemen Kesehatan menunjuk PT Askes (Persero), dengan kewajiban melakukan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Data peserta yang telah ditetapkan Pemda, kemudian dilakukan entry oleh PT Askes (Persero) untuk menjadi database kepesertaan di Kabupaten/Kota. b. Entry data setiap peserta.

c. Berdasarkan database tersebut kemudian kartu diterbitkan dan didistribusikan kepada peserta.

d. PT Askes (Persero) menyerahkan kartu peserta kepada yang berhak, mengacu kepada penetapan Bupati/Walikota dengan tanda terima yang ditanda tangani/cap jempol peserta atau anggota keluarga peserta.

e. PT Askes (Persero) melaporkan hasil pendistribusian kartu peserta kepada Bupati/Walikota, Gubernur, Departemen Kesehatan, Dinas Kesehatan Propinsi dan Kabupaten/ Kota serta rumah sakit setempat.

Kartu Jamkesmas dapat digunakan di puskesmas, rumah sakit pemerintah atau swasta yang sesuai kontrak di seluruh daerah di Indonesia. Hal tersebut merupakan kelebihan yang dimiliki kartu Jamkesmas dibandingkan kartu Gakin yang hanya dapat digunakan di wilayah DKI Jakarta.

2.1.5.2. Kartu Keluarga Miskin (Gakin)

Selain kartu Jamkesmas pemerintah kota DKI Jakarta juga mengeluarkan kartu Gakin dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan untuk masyarakat miskin. Akan tetapi kurangnya sosialisasi yang dilakukan Pemerintah Kota DKI Jakarta, membuat sebagian besar masyarakatnya belum mengetahui cara membuat kartu Gakin (keluarga miskin). Padahal, kartu Gakin sangat vital bagi keluarga

(17)

miskin untuk keperluan berobat gratis baik ke Puskesmas maupun rumah sakit (Bian, 2008). Akibatnya, tidak sedikit masyarakat yang tidak mengerti tetap dikenai biaya rumah sakit meski mereka tergolong tidak mampu.

Program Gakin adalah program jaminan pemeliharaan kesehatan untuk keluarga miskin yang merupakan program yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah DKI Jakarta (Badan Informasi Daerah, 2007). Masyarakat yang berhak menerima kartu Gakin adalah yang memenuhi kriteria seperti tingkat ekonominya rendah, keadaan rumahnya buruk, dan belum memiliki penghasilan tetap (Bian, 2008). Sayangnya, ada sebagian masyarakat yang mengaku miskin dan mendaftar sebagai keluarga miskin sehingga kartu gakin menyebar tak merata ke masyarakat.

Peserta program Gakin adalah masyarakat DKI Jakarta yang mempunyai Kartu Tanda Penduduk DKI Jakarta dan memenuhi kriteria miskin menurut kriteria miskin yang dikeluarkan oleh BPS yaitu (Yayasan Ginjal Diatrans Indonesia, 2008):

1. Luas huni < 8 M2 per kapita

2. Jenis lantai rumah terluas tanah atau papan 3. Tidak memiliki sumber air minum

4. Tidak memiliki fasilitas jamban

5. Tidak mampu mengkonsumsi makanan berprotein atau bervariasi 6. Tidak mampu membeli pakaian satu stel setahun sekali untuk setiap

anggota rumah

7. Tidak punya asset rumah tangga, seperti : tanah, motor, warung, bengkel, perhiasan berharga dan lain-lain

(18)

Dinas Kesehatan DKI mengeluarkan dua macam kategori miskin yaitu pasien miskin (gakin) dan pasien kurang mampu (SKTM) (Ariane, 2007). Apabila pasien dinyatakan miskin dan mempunyai kartu gakin atau surat pembebasan biaya dari Dinas Kesehatan DKI Jakarta maka yang bersangkutan berhak mendapatkan pembebasan biaya. Bagi pasien yang dikategorikan kurang mampu, maka yang bersangkutan akan dikenakan iur biaya (cost sharing) yang besarannya ditentukan oleh Dinas Kesehatan DKI.

Masyarakat sebagai peserta Gakin sebelum mendapatkan kartu Gakin maka harus mengikuti prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur pengurusan kartu Gakin, antara lain (Yayasan Ginjal Diatrans Indonesia, 2008):

1. Peserta Gakin memiliki Kartu Tanda Penduduk DKI Jakarta.

2. Peserta Gakin mengajukan Surat Keterangan Miskin (SKM) pada RT / RW. 3. Peserta Gakin ke Kelurahan dan Kecamatan dengan membawa SKM untuk

dilegalisir.

4. Peserta Gakin datang ke Puskesmas setempat dengan membawa SKM yang telah dilegalisir. Pihak Puskesmas akan memverifikasi dengan melakukan survey ke rumah pasien. Setelah survey dilakukan, akan ditentukan apabila pasien berhak untuk mendapatkan surat Gakin.

5. Setelah mendapat Hasil Laporan Verifikasi yang menyatakan pasien berhak mendapatkan surat Gakin, selanjutnya semua berkas diserahkan ke Koordinator Gakin untuk dibuatkan Surat Keterangan.

6. Pasien datang ke Dinas Kesehatan DKI Jakarta (Jl. Kesehatan No. 10 Jakarta Pusat) dengan membawa seluruh berkas (KTP, KK, SKM, SKTM Lurah/Camat, Rujukan Puskesmas, Laporan Hasil Verfikasi, Surat

(19)

Keterangan), untuk memperoleh Surat persetujuan untuk memperoleh perawatan dan pengobatan serta tindakan lainnya (SJP).

7. Pasien menyerahkan Surat persetujuan untuk memperoleh perawatan dan pengobatan serta tindakan lainnya (SJP) ke Koordinator JPK Gakin rumah sakit bersangkutan.

8. Untuk selanjutnya pasien diharuskan memperpanjang SJP tersebut setiap bulannya dengan mengurus sendiri ke Dinas Kesehatan DKI Jakarta dengan di lengkapi seluruh berkas (KTP,KK,SKM,RT/RW,SKTM Lurah/Camat, Rujukan Puskesmas, Laporan Hasil Verifikasi).

2.1.5.3. Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM)

Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) adalah surat yang dikeluarkan oleh pihak Kelurahan bagi Keluarga Miskin (Gakin) (Admin, 2007). SKTM ini berguna bagi Gakin untuk mendapatkan perawatan dan pengobatan gratis di rumah sakit yang ada. SKTM digunakan untuk meringankan biaya rumah sakit. Surat keterangan itu bisa menggantikan asuransi kesehatan bagi warga miskin (Askeskin) (Baskoro, 2007). Masyarakat miskin atau tidak mampu yang belum mempunyai Kartu Jamkesmas atau kartu Askeskin dan telah terdaftar sebagai penduduk miskin di kelurahan setempat, dapat menggunakan SKTM pada saat sakit (hanya berlaku sekali pada saat sakit) (Admin, 2007). Menurut Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Sosial Kota Depok Muhammad Ridwan dalam Baskoro (2007), menegaskan bahwa pengurusan SKTM ini tidak dipungut biaya alias gratis. Cara memperoleh SKTM:

(20)

a. Minta surat keterangan tidak mampu dari RT, RW, disahkan oleh Kelurahan dan Kecamatan.

b. Setelah lengkap dibawa ke Dinkesos dengan dilampiri foto copy Kartu C1.

2.1.6. Sistem Pencatatan Penduduk di Indonesia

Sistem pencatatan atau sistem registrasi di Indonesia dibedakan menjadi tiga, yaitu registrasi vital (catatan peristiwa-peristiwa penting seperti kelahiran, kematian dan perkawinan); registrasi penduduk dan statistik migrasi internasional (Lucas et al. 1984).

2.1.6.1. Registrasi Vital

Statistik vital merupakan sumber utama untuk mengetahui perubahan penduduk karena statistik ini dikumpulkan secara kontinu dalam berbagai buku registrasi yang biasanya meliputi kematian, kelahiran dan perkawinan (Lucas et

al. 1984). Menurut Rusli (1995) sistem registrasi kejadian-kejadian vital bertalian

dengan registrasi seperti kelahiran, kematian, kematian janin, abortus, perkawinan dan perceraian.

Negara yang memelihara sistem registrasi kejadian-kejadian vital biasanya mewajibkan para warganya untuk segera atau dalam jangka waktu tertentu melaporkan kejadian-kejadian vital seperti kelahiran dan kematian (Rusli, 1995). Akan tetapi, banyak negara berkembang tidak dapat menyelenggarakan suatu sistem registrasi dengan baik dikarenakan biaya yang harus dikeluarkan sangat besar (Lucas et al. 1984).

(21)

Menurut Rusli (1995) secara resmi telah dikeluarkan sertifikat yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan dengan dilengkapi bukti-bukti seperti umur, status perkawinan, dan sebagainya. Informasi didaftar isian formulir registrasi kelahiran antaranya berkisar pada nama dan jenis kelamin anak, tempat dan tanggal lahir, lahir hidup atau lahir mati; berbagai karakteristik orang tua seperti nama, umur, tempat lahir dan pekerjaan orang tua, dan nama-nama dan umur-umur dari anak-anak yang dilahirkan sebelumnya oleh ibu dari anak yang bersangkutan. Daftar isian registrasi kematian biasanya mencatat informasi dari yang mengalami kematian meliputi: umur, jenis kelamin, status perkawinan, pekerjaan, tanggal dan tempat lahir, dan sebab kematian.

2.1.6.2. Registrasi Penduduk

Sistem registrasi kejadian-kejadian vital dibedakan dari sistem registrasi penduduk (Rusli, 1995). Menurut Rusli (1995) sistem registrasi penduduk merupakan suatu sistem registrasi yang dipelihara penguasa setempat dimana biasanya dicatat setiap kelahiran, kematian, adopsi, perkawinan, perceraian, perubahan pekerjaan, perubahan nama dan perubahan tempat tinggal. Menurut PBB dalam Lucas. et al (1984), catatan penduduk yang baik seharusnya dilakukan secara kontinu mencatat ciri-ciri setiap individu maupun keterangan tentang semua peristiwa penting yang dialaminya.

Menurut Rusli (1995), di Indonesia sejarah registrasi penduduk dapat dikatakan mulai dalam masa “pemerintahan antara” Raffles yang memerintahkan di tiap desa harus diadakan suatu registrasi. Sayang rencana Raffles tersebut tidak dapat berjalan dengan baik. Bahkan setelah pemerintahan kolonial Belanda

(22)

berkuasa kembali, sistem registrasi tersebut semakin lama semakin tidak dapat dipercaya. Sampai kini, di Indonesia seperti halnya dikebanyakan negara-negara berkembang lain, di samping sistem registrasi penduduk belum dilaksanakan secara menyeluruh, data dari registrasi penduduk (jumlah kelahiran, kematian dan migrasi) sering tidak lengkap dan kurang dapat dipercaya (Rusli, 1995).

2.1.6.3. Statistik Migrasi Internasional

Menurut Lucas. et al (1984), statistik ini bersumber pada catatan tentang para pendatang di perbatasan internasional. Seorang pendatang yang melewati perbatasan biasanya harus menunjukkan paspor, dan mengisi berbagai formulir pada waktu datang maupun pergi. Namun demikian, tidak semua perpindahan internasional dapat dicatat.

2.2.Kerangka Pemikiran

Pemerintah memberikan perhatian lebih pada penyelenggaraan pembangunan kesehatan pada beberapa tahun terakhir. Salah satu cara yang dilakukan adalah meningkatkan pelayanan kesehatan dengan memberikan atau menyediakan fasilitas kesehatan bersubsidi atau bahkan gratis. Program-program kesehatan gratis atau bersubsidi yang disediakan pemerintah antara lain Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Kartu Keluarga Miskin (Gakin) dan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM).

Penelitian ini ingin melihat sampai sejauh mana program tersebut berjalan sesuai dengan tujuan awalnya. Selain itu ingin dilihat pula pendistribusian fasilitas tersebut, yang ditujukan bagi masyarakat miskin, sudah merata atau belum

(23)

termasuk bagi masyarakat migran yang tinggal di permukiman liar. Untuk mengetahui semua itu maka peneliti akan melihat pula akses para migran di permukiman liar tersebut terhadap fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi yang telah disediakan oleh pemerintah.

Jika ingin mengetahui akses migran di permukiman liar terhadap fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi maka perlu diketahui juga pengetahuan yang dimiliki oleh individu mengenai fasilitas kesehatan itu sendiri. Dengan demikian akan diketahui apakah terdapat keterkaitan antara pengetahuan tentang fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi yang dimiliki masyarakat migran di permukiman liar terhadap aksesnya pada fasilitas kesehatan yang disediakan oleh pemerintah tersebut.

Pemanfaatan fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi yang dilakukan oleh masyarakat migran di permukiman liar dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial ekonomi dan kependudukan. Faktor-faktor tersebut antara lain tingkat pendidikan, tingkat pendapatan dan status kependudukan yang dimiliki migran tersebut di wilayah DKI Jakarta. Selain faktor sosial ekonomi dan kependudukan, akses masyarakat migran di permukiman liar juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya antara lain kurangnya informasi yang dimiliki responden mengenai bantuan kesehatan dari pemerintah dalam bentuk kartu pelayanan kesehatan. Kurangnya informasi yang dimiliki responden karena tidak adanya sosialisasi mengenai bantuan kesehatan tersebut. Selain informasi yang kurang, responden juga merasa belum membutuhkan kartu pelayanan kesehatan seperti Jamkesmas, Gakin atau SKTM. Saat responden merasa membutuhkan bantuan biaya untuk pengobatan maka saat itu juga responden merasa membutuhkan kartu pelayanan kesehatan.

(24)

Keterangan:

: Mempengaruhi

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

2.3. Hipotesis

1. Kurangnya pengetahuan masyarakat migran di permukiman liar mengenai fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi diduga akan mempengaruhi akses masyarakat migran di permukiman liar terhadap pemanfaatan fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi.

2. Tingkat pendidikan diduga akan mempengaruhi akses masyarakat migran di permukiman liar terhadap pemanfaatan fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi. Faktor-faktor Lainnya • Kurangnya Sosialisasi Mengenai Kartu Kesehatan • Kebutuhan Terhadap Kartu Kesehatan Pengetahuan

Faktor-faktor Sosial Ekonomi dan Kependudukan

• Pendidikan

• Pendapatan

• Status Kependudukan

Akses Masyarakat Migran di Permukiman Liar Terhadap Fasilitas Kesehatan Gratis atau

Bersubsidi

• Jamkesmas

• Gakin

(25)

3. Pendapatan diduga akan menjadi faktor penghambat utama migran di permukiman liar dalam memanfaatkan fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi.

4. Status kependudukan diduga akan mempengaruhi akses masyarakat migran di permukiman liar terhadap pemanfaatan fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi.

5. Kurangnya sosialisasi yang dilakukan kepada migran di permukiman liar mengenai kartu kesehatan gratis atau bersubsidi diduga akan mempengaruhi akses masyarakat migran di permukiman liar terhadap pemanfaatan fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi.

6. Belum adanya rasa membutuhkan terhadap kartu kesehatan gratis atau bersubsidi diduga akan mempengaruhi akses masyarakat migran di permukiman liar terhadap pemanfaatan fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi.

2.4. Definisi Konseptual

1. Permukiman liar adalah suatu wilayah hunian yang telah berkembang tanpa meminta ijin kepada otoritas yang terkait untuk membangun; merupakam permukiman yang tidak sah atau semi-legal status, infrastruktur dan jasa pada umumnya tidak cukup.

2. Pengetahuan tentang fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi merupakan segala sesuatu yang diketahui oleh responden mengenai fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi antara lain mengenai keberadaan, kegunaan dan cara memperoleh fasilitas kesehatan tersebut.

(26)

3. Fasilitas kesehatan gratis atau bersubsidi adalah bantuan kesehatan yang diselenggarakan oleh pemerintah yang ditujukan untuk masyarakat menengah kebawah dalam rangka meningkatkan kualitas sumberdaya manusia.

2.5. Definisi Operasional

1. Pendapatan adalah jumlah uang yang diterima oleh responden yang berasal dari pekerjaan pokok dan sampingan yang digunakan untuk membiayai konsumsi sehari-hari biasanya dihitung per bulan. Harta yang dimiliki responden di daerah asal tidak diikutsertakan dalam penilaian pendapatan responden. Penilaian terhadap pendapatan digolongkan menjadi tiga. Kategori tersebut ditentukan berdasarkan pendapatan rata-rata responden yang diperoleh dari hasil penelitian di lapangan (emik).

(1) Rendah jika pendapatan per bulan ≤ Rp 1.000.000,00 = skor 1

(2) Sedang jika pendapatan per bulan Rp 1.000.000,00 sampai Rp 2.500.000,00 = skor 2

(3) Tinggi jika pendapatan per bulan ≥ Rp 2.500.000,00 = skor 3

2. Pendidikan adalah tingkat pendidikan formal yang pernah diikuti oleh responden. Pendidikan digolongkan menjadi lima, yaitu:

(1) Tidak Sekolah = skor 1,

(2) Tidak Tamat SD/Sederajat = skor 2, (3) Tamat SD/sederajat = skor 3, (4) Tamat SMP/sederajat = skor 4, (5) Tamat SMA/sederajat = skor 5.

(27)

3. Status kependudukan adalah kondisi kependudukan responden di wilayah DKI Jakarta, yang akan dibedakan menjadi:

(1) Penduduk resmi adalah responden yang memiliki KTP DKI Jakarta

(2) Penduduk tidak resmi adalah responden yang tidak memiliki KTP DKI Jakarta atau tidak memiliki KTP daerah manapun

4. Akses terhadap pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi adalah suatu keadaan dimana responden mampu memanfaatkan pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi yang disediakan oleh pemerintah yang dibedakan menjadi: (1) lemah jika responden tidak memiliki ketiga kartu kesehatan gratis atau

bersubsidi = skor 1,

(2) sedang jika responden memiliki 1 atau 2 kartu kesehatan gratis atau bersubsidi = skor 2, dan

(3) kuat jika responden memiliki ketiga kartu kesehatan gratis atau bersubsidi = skor 3.

5. Kartu pelayanan kesehatan gratis atau bersubsidi adalah kartu yang dapat digunakan untuk membantu meringankan beban biaya masyarakat miskin. Kartu tersebut dikelompokkan menjadi (1) Jamkesmas, (2) Gakin dan (3) SKTM.

6. Tingkat pengetahuan adalah informasi yang dimiliki oleh responden mengenai kartu kesehatan gratis atau bersubsidi yang diberikan oleh pemerintah.

(1) Responden dikatakan memiliki pengetahuan yang baik jika responden dapat dengan tepat menjelaskan konsep dan prosedur mendapatkan ketiga kartu kesehatan gratis atau bersubsidi yang diberikan oleh pemerintah.

(28)

(2) Responden dikatakan memiliki pengetahuan yang kurang baik jika responden tidak dapat dengan tepat menjelaskan konsep dan prosedur mendapatkan ketiga kartu kesehatan gratis atau bersubsidi yang diberikan oleh pemerintah.

Gambar

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

Sehingga untuk tindakan perbaikan dan pencegahan yang dilakukan agar tidak terjadi kecelakaan kerja lagi maka pihak manajemen harus lebih meningkatkan toolbox meeting

Alvin Saputra 11623143154 Asian Medical Student's Conference 2016 Poster Ilmiah Asian Medical Student's Association (AMSA) - Phillipines 2016 Delegates Internasional

Maka penulis tertarik untuk meneliti produk TV merek Sharp yang dimiliki warga pada Perumahan Tegal Sari Indah Dukuhwaluh Purwokerto untuk mengetahui seberapa

 Jika Anda menghubungkan banyak perangkat secara bersamaan, gunakan tombol “Sumber” pada remote control atau panel kontrol untuk mengaktifkannya..

-ntasid dengan dosis tunggal 5?3 m$C yang diberikan 5 #am setelah makan se!ara efektif menetralisasi asam lambung selama hingga 2 #am -ntasida tersedia sebagai garam indi.idu

Kategori Catatan Bukan Fiksyen Genre Sejarah / Peradaban Penulis Amir Asyraf Alwi 320 halaman Kulit lembut MYR 28.00 ISBN 978-967-2437-11-6 Bahasa Melayu November 2020 Mengenai

1. SRI RUSMINAH,SKM., MMKes. SRI PATMIATI, SSTGz.. 2) Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No. SDM Dinas Kesehatan memenuhi standart sesuai Kep. Jumlah Puskesmas yang memenuhi

PENGARUH PEMBELAJARAN MELALUI KEGIATAN OBSERVASI DAN PENGGUNAAN MEDIA PUZZLE LAYERS TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP DAUR HIDUP HEWAN (PENELITIAN EKSPERIMEN PADA