• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. penyembuhan musik itu sendiri dengan kondisi dan situasi; fisik /tubuh, emosi,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. penyembuhan musik itu sendiri dengan kondisi dan situasi; fisik /tubuh, emosi,"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

2.1.1 Pengertian Terapi Musik

Terapi musik adalah suatu proses yang menggabungkan antara aspek penyembuhan musik itu sendiri dengan kondisi dan situasi; fisik /tubuh, emosi, mental, spiritual, kognitif dan kebutuhan sosial seseorang. Terapi musik adalah metode penyembuhan dengan musik melalui energi yang dihasilkan dari musik itu sendiri (Natalina, 2013).

Terapi musik adalah proses yang dapat mempengaruhi kondisi seseorang baik fisik maupun mental. Musik memberikan rangsangan pertumbuhan fungsi-fungsi otak seperti fungsi-fungsi belajar, ingatan, berbicara, mendengar dan fungsi-fungsi kesadaran (Satiadarma, 2004).

2.1.2 Jenis Terapi Musik

Menurut Natalina (2013), Terapi musik terdiri dari dua jenis yaitu: 1. Aktif-Kreatif

Terapi musik diterapkan dengan melibatkan klien secara langsung untuk ikut aktif dalam sebuah sesi terapi melalui cara: menciptakan lagu (composing) yaitu klien diajak untuk menciptakan lagu sederhana ataupun membuat lirik atau terapis yang akan melengkapi secara harmoni; improvisasi yaitu klien membuat musik secara spontan dengan menyanyi ataupun bermain musik pada saat itu juga atau membuat improvisasi dari musik yang diberikan oleh terapis. Improvisasi dapat juga sebagai ungkapan perasaan klien akan suasana hatinya, situasi yang

(2)

dihadapi maupun perasaan terhadap seseorang; dan re-creating musik yaitu klien menyanyi dan akan melatih pernafasan, pengucapan kata-kata yang teratur, artikulasi dan juga melatih lafal bicara dengan jelas. Lirik lagu yang sesuai juga dapat menjadi bahan diskusi yang mengungkapakan perasaan klien.

2. Pasif-Reseptif

Pada sesi reseptif : klien akan mendapatkan terapi dengan mendengarkan musik. Terapi ini akan menekankan pada physical, emotional intellectual, aesthetic or spiritual dari musik itu sendiri sehingga klien akan merasakan ketenangan atau relaksasi. Musik yang digunakan dapat bermacam jenis dan gaya tergantung dengan kondisi yang dihadapi klien.

2.1.3 Metode Terapi Musik

Penggunaan metode terapi musik secara aktif-kreatif lebih efektif dalam proses penyembuhan. Memberi dampak yang besar pada pasien karena terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi motorik, emosional, kognitif, sosial dan pembentukan kepribadian.

a. Motorik, terapi musik aktif menggerakkan tubuh pasien, mulai dari yang sederhana seperti menganggukkan kepala, bertepuk tangan sampai menggerakkan seluruh tubuh atau menari mengikuti irama musik. Hal ini terjadi proses perengangan otot motorik klien yang mengaktifkan syaraf. b. Emosional, terapi musik mempengaruhi perasaan klien yang berakibat

pada perubahan hormon.

c. Kognitif, agar bisa mengerti suatu lagu diperlukan pemahaman akan lagu tersebut. Hal ini bisa dilihat dari lirik lagu dan irama lagu. Secara tidak

(3)

langsung akan dituntut memahami lagu secara menyeluruh sehingga dapat mengungkapkan perasaannya melalui lagu tersebut.

d. Sosial, terjadi hubungan saling percaya antara terapis dank lien melalui komunikasi langsung maupun komunikasi lewat lagu (Natalina, 2013). 2.1.4 Manfaat Terapi Musik

Terapi musik merupakan pengobatan secara holistik yang langsung menuju pada simptom penyakit. Terapi ini akan berhasil jika ada kerjasama antara klien dengan terapisnya. Proses penyembuhan sepenuhnya tergantung pada kondisi klien, apakah seseorang benar-benar siap menerima proses secara keseluruhan.

Terapi musik memiliki beberapa manfaat, yaitu:

1. Musik pada kesehatan, yaitu : menurunkan tekanan darah melalui ritmik musik yang stabil memberi irama teratur pada sistem kerja jantung, menstimulasi kerja otak, mendengarkan musik dengan harmoni yang baik akan menstimulasikan otak untuk melakukan proses analisa terhadap lagu itu, meningkatkan imunitas tubuh, suasana yang ditimbulkan oleh musik akan mempengaruhi sistem kerja hormon manusia. Jika mendengar musik yang baik atau positif maka hormon yang meningkatkan imunitas tubuh juga akan berproduksi, memberi keseimbangan pada detak jantung dan denyut nadi. 2. Musik meningkatkan kecerdasan, yaitu daya ingat yaitu menyanyi dengan

menghafalkan lirik lagu, akan melatih daya ingat, konsentrasi pada saat terlibat dalam bermusik (menyanyi, bermain instrument) akan menyebabkan otak bekerja secara terfokus, emosional, musik mampu memberi pengaruh

(4)

secara emosional terhadap makhluk hidup, musik meningkatkan kerja otot, mengaktifkan motorik kasar dan halus, musik meningkatkan produktifitas, kreatifitas dan imajinasi, musik menyeabkan tubuh menghasilkan hormon beta-endorfin. Ketika mendengar suara kita sendiri yang indah maka homon ‘kebahagiaan’ (beta-endorfin) akan berproduksi, musik membentuk sikap seseorang seperti meningkatkan suasana hati. Karakter seseorang dapat terbentuk melalui musik, rangkaian nada yang indah akan membangkitkan perasaan bahagia atau semangat positif, musik mengembangkan kemampuan berkomunikasi dan sosialisasi, bermusik akan menciptakan sosialisasi karena dalam bermusik dibutuhkan komunikasi (Natalina, 2013).

Terapi musik juga dapat membantu semua bentuk pertumbuhan klien baik secara mental maupun fisik, membantu membangun kemampuan sosial, dapat menciptakan harga diri yang besar, menjadi kreatif dalam bidang artistik dapat memberikan efek mendalam untuk meningkatkan ekspresi diri sendiri, menstimulasikan gerakan dan mengembangkan kemampuan koordinasi fisik serta pengendaliannya, dan dapat membantu kesejahteraan emosional dan kesehatan (Sheppard, 2007).

Musik digunakan untuk menjaga atau meningkatkan tingkat keadaan fisik, mental, spiritual serta fungsi sosial atau emosional klien. Dengan menggunakan pendekatan yang terencana dan sistematis terhadap penggunaan musik dan akitivitas musik, penanganan dengan terapi musik untuk jiwa, tubuh dan roh memungkinkan terjadinya seperti: Pengurangan kegelisahan dan stress, pengendalian rasa sakit dan ketidaknyamanan dengan tanpa obat, perubahan

(5)

positif dalam perasaan dan keadaan emosional, partisipasi aktif dan positif klien dalam perawatan, mengembangkan keterampilan menangani masalah dan berelaksasi, memenuhi kebutuhan fisik dan spiritual yang kompleks dari mereka yang sekarat, relaksasi bagi seluruh keluarga, meningkatkan makna watu yang digunakan bersama secara positif dan kreatif (Young & Koopsen, 2007).

Warna dan musik memancarkan frekuensi energi murni. Menggunakan unsur energi ini untuk penyembuhan serta penumbuhan kesadaran spiritual. Selain itu, warna dan musik dapat juga untuk menyingkirkan penghalang dalam diri seseorang, agar energi alam leluasa melakukanpenyembuhan (Bassano, 2009). 2.1.5 Penerapan Terapi Musik

Menurut Natalina (2013), Dalam melakukan terapi musik dilakukan langkah-langkah, yaitu : pengkajian – melakukan observasi (pendataan klien) : dari usia klien, jenis kelamin, latar belakang kondisi kesehatan klien, rancangan terapi : menentukan jenis musik yang sesuai, membangun komunikasi antara terapis dan klien, membangun kesadaran diri dan pemberdayaan, implementasi dan tahap terakhir mengevaluasi klien.

Bicara tentang terapi musik, akses mendengarkan musik dapat melalui : radio, kaset, video, televisi, pertunjukkan langsung, konser, kelompok komunitas (Djohan, 2006).

2.1.6 Respon Fisiologis Terhadap Musik

Jenis musik yang dimainkan (seperti musik yang menenangkan) dapat menentukan perubahan fisiologis. Musik yang menenangkan dapat mengubah persepsi seseorang tentang waktu dan dapat menghasilkan respon hipometabolis

(6)

yang mirip dengan respon relaksasi yang mengubah sistem autonimik, kekebalan, endokrin (Young & Koopsen, 2007).

Dengan metabolisme yang baik, tubuh akan mampu membangun sistem kekebalan tubuh yang baik, dan dengan sistem kekebalan yang baik tubuh menjadi kuat atau lebih tangguh terhadap kemungkinan serangan penyakit. Musik dapat meningkatkan serotinin dan pertumbuhan hormon yang sama baiknya dengan menurunkan hormon ACTH (Ardenal Corticotropin Hormon). Pemberian intervensi terapi musik membuat seseorang menjadi rileks, menimbulkan rasa aman, sejahtera, melepaskan rasa gembira dan sedih, menurunkan rasa sakit dan juga menurunkan tingkat stress. Hal ini terjadi karena adanya penurunan ACTH yang merupakan hormon stress (Satiadarma, 2007).

2.2 Konsep Stress Hospitalisasi 2.2.1 Defenisi Stress Hospitalisasi

Stress adalah reaksi tubuh terhadap situasi yang menimbulkan tekanan, perubahan, ketegangan emosi. Segala masalah atau tuntutan penyesuaian diri, dan karena itu sesuatu yang mengganggu keseimbangan (Sunaryo, 2004).

Stress hospitalisasi adalah reaksi yang harus dihadapi dengan lingkungan yang asing, pemberi asuhan tidak dikenal, dan kehilangan kemandirian (Wong, 2003).

2.2.2 Penyebab Stress Hospitalisasi

Stress yang terjadi pada anak menurut Wong (2008) merupakan akibat perubahan dari keadaan sehat biasa dan rutinitas lingkungan dan anak memiliki

(7)

sejumlah keterbatasan mekanisme koping untuk menyelesaikan masalah ataupun kejadian-kejadian yang bersifat menekan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi stress adalah kurang kendali akan peningkatan fisik persepsi ancaman dan dapat mempengaruhi keterampilan koping anak-anak, efek cahaya, suara dan bau yang berlebihan mengganggu stimulasi sensorik, dan ketergantungan diskusi dengan kelompok usianya. Stress yang dialami anak adalah terjadi suatu perpisahan antara orang tua dan teman sebaya, kehilangan kontol, ketergantungan, perubahan peran keluarga, cedera dan nyeri tubuh, dan rasa takut terhadap sakit itu sendiri (Wong, 2003).

Menurut Wong (2008), faktor resiko yang meningkatkan kerentanan anak terhadap stress hospitalisasi adalah temperamen sulit, ketidaksesuaian anak dengan orang tua, jenis kelamin laki-laki, kecerdasan dibawah rata-rata.

2.2.3 Tanda dan Gejala Stress

Menurut Foster (1989), tanda dan gejala stress anak usia sekolah terdiri dari:

1. Fisik, yang ditandai dengan : peningkatan denyut nadi atau HR, Peningkatan tekanan darah, kesulitan bernafas, sesak nafas, sakit kepala, migran, kelelahan, sulit tidur, masalah pencernaan yaitu diare, mual muntah, maag, radang usus besar, sakit perut, gelisah, keluhan somatik, penyakit ringan, keluhan psikomatik, Frekuensi buang air kecil, BB meningkat atau menurun atau lebih 4,5 kg.

2. Emosional, yang ditandai dengan : gampang marah, reaksi berlebihan terhadap situasi tertentu yang relative kecil, luapan kemarahan, cepat marah,

(8)

permusuhan, kurang minat, menarik diri, apatis, tidak bisa bangun di pagi hari, cenderung menangis, menyalahkan orang lain, sikap mencurigakan, khawatir, depresi, sinis, sikap negatif, menutup diri dan ketidakpuasan.

3. Intelektual, yang ditandai dengan : menolak pendapat orang lain, daya hayal tinggi (khawatir akan penyakitnya), konsentrasi menurun terutama pada pekerjaan yang rumit, penurunan kreatifitas, berpikir lambat, reaksi lambat, sulit dalam pembelajaran, sikap yang tidak peduli, malas.

2.2.4 Respon Fisiologis Terhadap Stres

Menurut Slota (2006), Ketika tubuh manusia berhadapan dengan stimulus stress, sistem saraf otonomik diaktifkan, pengeluaran hormon yang mengontrol mekanisme pertahanan fisiologis. Berikut adalah tanda dari aktivasi sistem saraf, yaitu :

1. Takikardi, takipnea, dan peningkatan tekanan darah

2. Penyampitan (vasokontriksi) perifer dengan extremitas dingin 3. Dilatasi pupil

4. Kewaspadaan meningkat 5. Hambatan sistem pencernaan 6. Hambatan sistem imun 7. Hiperkalemi pada anak

(9)

2.3 Rawat Inap

2.3.1 Defenisi Rawat Inap

Rawat inap adalah suatu proses karena suatu alasan yang terencana atau darurat, yang mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit. Menjalani terapi dan perawatan sampai akhirnya akan dipulangkan kembali ke rumah (Wong, 2008).

Rawat inap merupakan pengalaman bagi individu karena faktor penyebab stress yang dialami dan menimbulkan perasaan yang tidak nyaman dan aman, seperti: lingkungan asing sendiri, berpisah dengan orang terdekat, kehilangan kebebasan dan kemandirian, pengalaman yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan dan perilaku petugas rumah sakit (Wong, 2003).

2.3.2 Dampak Rawat Inap

Perawatan di rumah sakit merupakan masalah besar dan menimbulkan ketakutan, kecemasan, bagi anak. Dampak rawat inap yang dialami bagi anak dan orangtua akan menimbulkan stress dan tidak merasa aman. Efek dan jumlah stress tergantung pada persepsi anak dan orangtua terhadap diagnosa penyakit dan pengobatan (Wong, 2008).

Anak-anak dapat bereaksi terhadap stress rawat inap sebelum mereka masuk, selama dirawat, dan setelah pemulangan mereka ke rumah. Anak akan cenderung lebih manja, akan meminta perhatian lebih dari orang tua. Stress yang umumnya terjadi berhubungan dengan rawat inap adalah takut dengan lingkungan rumah sakit, kegiatan rumah sakit, tindakan perawat yang menyakitkan dan takut akan kematian. Konsep sakit yang dimiliki anak bahkan lebih penting

(10)

dibandingkan usia dan kematangan intelektual dalam memperkirakan tingkat kecemasan sebelum dirawat. Reaksi rawat inap pada anak bersifat individual dan tergantung pada tahapan usia perkembangan anak. Emosional pada anak sering ditunjukkan dengan ekspresi menagis, marah dan berduka sebagai bentuk yang wajar dalam mengatasi stress akibat rawat inap (Wong, 2003).

Anak sering menganggap sakit adalah hukuman untuk perilaku buruk, hal ini terjadi karena anak masih mempunyai keterbatasan koping. Anak juga mempunyai kesulitan dalam pemahaman mengapa mereka sakit, tidak bisa bermain dengan teman sebayanya, mengapa mereka terluka dan nyeri sehingga mereka harus ke rumah sakit dan harus mengalami rawat inap. Reaksi anak tentang hukuman yang diterimanya dapat bersifat kooperatif, menyebabkan anak menjadi marah. Sehingga anak kehilangan kontrol sehubungan terganggunya fungsi motorik yang mengakibatkan berkurangnya percaya diri pada anak, sehingga tugas perkembangan yang sudah dicapai akan terhambat (Wong, 2008). 2.3.3 Reaksi Anak Usia Sekolah Terhadap Sakit dan Rawat Inap

Anak usia sekolah membayangkan rawat inap di rumah sakit adalah perpisahan dengan orang tua, merasa tidak nyaman, aktivitas dan kemandiriannya terbatas dan terhenti. Anak akan bertanya mengapa berada di rumah sakit, bingung, dan bermacam pertanyaan yang akan ditanya dikarenakan anak tidak mengetahui yang sedang terjadi. Reaksi rawat inap pada anak bersifat individual dan sangat bergantung pada tahapan usia perkembangan anak. Pengalaman sebelumnya di rumah sakit, sistem pendukung yang tersedia dan kemampuan koping yang dimiliki anak (Wong,2008).

(11)

Wong (2008) mengatakan reaksi anak terhadap sakit dan rawat inap dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu : perkembangan anak terhadap sakit berbeda-beda sesuai tingkat perkembangan anak. Berkaitan dengan umur anak, semakin muda anak maka akan semakin sukar baginya untuk menyesuaikan diri mereka tentang pengalaman di rumah sakit; pengalaman rawat inap di rumah sakit sebelumnya, apabila anak pernah mengalami yang tidak menyenangkan saat di rawat inap, akan menyebabkan anak takut dan trauma, dan sebaliknya apabila saat dirawat inap anak mendapatkan perawatan yang baik dan menyenangkan maka anak akan lebih kooperatif pada perawat dan dokter, dukungan keluarga: anak akan mencari dukungan dari orang tua, dan saudara kandungnya untuk melepaskan tekanan akibat penyakit yang dideritanya; dan perkembangan koping dalam menangani stresor pada anak baik dalam menerima keadaan bahwa anak harus dirawat inap, maka akan lebih kooperatif anak tersebut dalam menjalani perawatan di rumah sakit.

Stresor yang dihadapi anak usia sekolah yang dirawat inap adalah lingkungan yang baru dan asing, pengalaman yang menyakitkan dengan tindakan keperawatan, terapi, berpisah dengan orang tua dalam arti sementara. Anak usia sekolah membayangkan dirawat inap merupakan hukuman, terpisah, merasa tidak nyaman dan keterbatasan aktivitas. Anak menjadi ingin tahu dan bingung, anak selalu bertanya kenapa orang itu, mengapa berada di rumah sakit, bermacam pertanyaan anak yang akan ditanyakan karena anak tidak mengetahui apa yang sedang terjadi (Schulte, 2001).

(12)

2.4 Anak Usia Sekolah

2.4.1 Defenisi Anak Usia Sekolah

Anak usia sekolah adalah anak yang berumur 6 sampai 12 tahun yang masih duduk di sekolah dasar dari kelas 1 sampai kelas 6 dan perkembangan sesuai usianya (Wong, 2008).

Usia sekolah merupakan usia dimana anak mulai berkenalan dengan musik dilingkungan sosialnya secara luas. Usia sekolah merupakan usia yang baik untuk belajar bermain musik. Musik merupakan bentuk rangsangan yang menyenangkan untuk anak (Satiadarma, 2004).

2.4.2 Tugas Perkembangan Anak Usia Sekolah 1. Perkembangan Biologis

Selama masa kanak-kanak pertengahan, pertumbuhan tinggi dan berat badan terjadi lebih lambat tetapi pasti jika dibandingkan dengan masa sebelumnya. Antara usia 6-12 tahun, anak-anak akan mengalami pertumbuhan sekitar 5 cm per tahun untuk mencapai tinggi badan 30-60 cm dan berat badannya akan bertambah hampir dua kali lipat, bertambah 2-3 kg per tahun. Tinggi rata-rata anak usia 6 tahun adalah sekitar 116 cm dan berat badannya sekitar 21 kg; tinggi rata-rata anak usia 12 tahun adalah sekitar 150 cm dan berat badannya mendekati 40 kg. Pada periode ini, anak laki-laki cenderung sedikit lebih tinggi dan kadang-kadang sedikit lebih berat dari anak perempuan (Wong, 2008).

2. Perkembangan Psikososial

Masa kanak-kanak pertengahan adalah periode perkembangan psikoseksual yang dideskripsikan oleh Freud sebagai periode laten, yaitu waktu

(13)

tenang antara fase Odipus pada masa kanak-kanak awal dan erotisisme masa remaja. Selama waktu ini, anak-anak membina hubungan dengan teman sebaya sesama jenis setelah pengabdian pada tahun-tahun sebelumnya dan didahului ketertarikan pada lawan jenis yang menyertai pubertas (Wong, 2008).

Menurut Erikson perkembangan psikososial ada 2 tahap yaitu tahap industri atau pencapaian dan tahap inferioritas atau perasaan kurang berharga. Dimana tahap industri, anak usia sekolah ingin mengembangkan keterampilan dan berpartisipasi dalam pekerjaan yang berarti dan berguna secara sosial. Dengan tumbuhnya rasa kemandirian, anak usia sekolah ingin terlibat dalam tugas yang dapat dilakukan sampai selesai. Sedangkan pada tahap inferioritas, anak usia sekolah tidak dipersiapkan untuk memikul tanggung jawab yang terkait dengan perkembangan rasa pencapaian, perasaan kurang berharga dapat timbul dari anak itu sendiri dan dari lingkungan sosial nya (Wong, 2008).

3. Perkembangan Kognitif

Tahap operasional konkret menurut J.Piaget adalah anak mampu menggunakan proses berpikir untuk mengalami peristiwa dan tindakan. Pemikiran egosentris yang kaku pada tahun-tahun prasekolah digantikan dengan proses pikiran yang memungkinkan anak melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain. Selama tahap ini anak mengembangkan pemahaman mengenai hubungan antara sesuatu hal dan ide. Anak mengalami kemajuan dari pembuat penilaian berdasarkan apa yang mereka lihat (pemikiran perseptual) sampai membuat penilaian berdasarkan alasan mereka (konseptual) (Wong, 2008).

(14)

4. Perkembangan Moral

Menurut Kohlberg, pola pikir anak mulai berubah dari egosentrisme ke pola pikir logis, mereka juga bergerak melalui tahap perkembangan kesadaran diri dan standar moral. Anak mempelajari standar-standar untuk perilaku yang dapat diterima, bertindak sesuai dengan standar tersebut dan merasa bersalah jika melanggarnya. Anak usia sekolah mampu menilai suatu tindakan berdasarkan niat dibandingkan akibat yang dihasilkannya. Peraturan dan penilaian tidak lagi bersifat mutlak dan otoriter serta lebih banyak kebutuhan dan keinginan orang lain. Mereka mampu memahami dan menerima bagaimana memperlakukan orang lain dan seperti bagaimana yang anak inginkan (Wong, 2008).

5. Perkembangan Spiritual

Perkembangan spiritual pada anak usia sekolah mempunyai batasan berfikir yang sangat konkret, tetapi pelajar yang baik dan memiliki kemauan besar untuk mengenal Tuhan. Mereka menggambarkan Tuhan adalah “sayang” dan “membantu” dan mereka sangat tertarik dengan adanya surga dan neraka. Dengan perkembangan kesadaran diri dan perhatian terhadap peraturan, anak takut masuk neraka karena kesalahan dalam perbuatannya. Anak usia sekolah ingin dan berharap dihukum apabila mereka melakukan kesalahan dan jika diberi pilihan anak lebih memilih hukuman yang sesuai dengan kejahatannya. Sering kali anak menggambarkan penyakit dan cedera adalah hukuman karena kelakuan yang buruk yang nyata maupun kelakuan buruk dalam pikiran anak. Konsep agama harus dijelaskan kepada anak dalam istilah yang konkret. Anak merasa nyaman dengan berdoa atau melakukan ritual agama lainnya, dan aktivitas ini merupakan

(15)

bagian kegiatan sehari-hari anak. Hal ini dapat membantu anak dalam melakukan koping dalam menghadapi situasi yang mengancam (Wong, 2008).

6. Perkembangan Sosial

Anak usia sekolah akan bersosialisasi dengan kelompok teman sebaya. Selain orang tua dan sekolah, kelompok teman sebaya memberi sejumlah hal yang penting kepada temannya yang lain. Anak usia sekolah memiliki budaya mereka sendiri, disertai rahasia, adat istiadat, dan kode etik yang meningkatkan rasa solidaritas kelompok dan melepaskan diri dari kelompok orang dewasa. Identifikasi dengan teman sebaya memberi pengaruh kuat bagi anak dalam memperoleh kemandirian dari orang tua. Bantuan dan dukungan kelompok memberi anak rasa aman yang cukup untuk menghindari resiko penolakan dari orang tua yang disebabkan oleh setiap kemenangan kecil dalam perkembangan kemandirian (Wong, 2008).                

Referensi

Dokumen terkait

20 Tahun 2001 menetapkan ancaman pidana penjara, pidana tambahan dan pidana denda yang tinggi, tetapi formulasi pidana denda yang tinggi tersebut tidak disertai

Pembuatan bidang terumbu baru di daerah yang rusak dengan transplantasi karang, menunjukkan peningkatan habitat ikan terumbu, ikan akan berkumpul di modul atau terumbu

Mengacu pada pandangan tersebut, ditinjau dari sudut bahasa, kompilasi adalah kegiatan pengumpulan berbagai bahan tertulis yang diambil dari berbagai buku/tulisan

mendaptakan pahala yang berlipat dari Allah SWT, kelak dikemudian hari. Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat.. Penerapan Metode The Power Of Two And Four

Hasil penelitian: nilai p=0,006 (p<0,05) yang berarti ada perbedaan bermakana pada motivasi pasien dengan mobilisasi dini pada ibu post sectio cesarea primipara dan multipara

Sumber data dalam penelitian adalah subyek dari mana data

Kunjungan rumah sebanyak dua kali yaitu pada kunjungan rumah pertama, bayi Ny ”M” setelah dilakukan penimbangan berat badan, dan pemantauan tanda- tanda vital,

Pada SNI 01-2970-2006 dapat diketahui jika kadar protein pada susu bubuk minimal adalah 23%, sehingga kadar protein yang ada pada produk susu jahe sido muncul tidak sesuai