• Tidak ada hasil yang ditemukan

3 METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "3 METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini berlokasi di semua desa dan kelurahan pesisir yang ada di Kota Ambon, yang berjumlah 27 desa atau 90% dari seluruh desa yang berjumlah 30 desa, dan 5 kelurahan atau 25% dari seluruh kelurahan yang berjumlah 20 kelurahan. Peta sebaran lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 3. Adanya 30 desa di Kota Ambon merupakan sesuatu yang unik, karena pada umumnya kota-kota Indonesia hanya ada kelurahan dan tidak ada desa. Hal ini disebabkan adanya perluasan wilayah administrasi Kota Ambon tahun 1973 dari luas kota yang hanya + 4 km2 (pusat kota sekarang) menjadi 377 km2. Perluasan ini mencakup desa-desa, termasuk desa adat, yang sebelumnya berada dalam wilayah administrasi Kabupaten Maluku Tengah. Para pemuka masyarakat, terutama para tokoh adat desa-desa tersebut berkeberatan untuk desa adat nya berubah menjadi kelurahan. Sebab desa adat di Ambon dan Maluku pada umumnya melekat berbagai kewenangan baik itu dalam bidang pemerintahan maupun petuanan serta sosial budaya. Desa adat di Ambon disebut negeri, yaitu sebuah wilayah otonom yang dikepalai oleh seorang raja atau upu latu sebagai primus inter pares (Huliselan 2009 dalam Soumokil 2011). Raja atau upulatu ini diangkat berdasarkan garis keturunan, yang didalam menjalankan pemerintahan negeri sehari-hari dibantu oleh staf pemerintah negeri yang terdiri atas para kepala soa (kepala klan/marga) yang tergabung dalam suatu badan desa yang disebut saniri (Soumokil 2011). Dalam catatan sejarah sosial budaya, negeri mendapat legitimasi keberadaannya pada abad 17 di jaman penjajahan Belanda, dan diatur oleh staatsblad 19a tahun 1824 yang merupakan penyempurnaan dari staatsblad tahun 1818 (Pariela 1996). Karena itulah eksisitensi desa atau negeri masih tetap dipertahankan di Kota Ambon, dan mendapat legalisasi dengan Peraturan Daerah Kota Ambon nomor : 3 tahun 2008 tentang Negeri di Kota Ambon.

Kegiatan pengumpulan data dilakukan selama 10 (sepuluh) bulan sejak bulan Juli 2009 hingga April 2010, dan pemutakhiran data (updating) pada bulan Juni 2011. Kegiatan pengumpulan data lapang dapat dilihat dokumentasinya pada foto-foto yang terdapat pada Lampiran 1.

(2)

Gambar 3 Peta Lokasi Penelitian

3.2. Metodologi Penelitian Status Desa Pesisir 3.2.1 Jenis dan cara pengumpulan data

Status desa perikanan ditentukan oleh 3 variabel utama, yaitu usaha perikanan, sarana pendukung usaha perikanan dan sosial budaya yang tersedia atau dimiliki desa tersebut. Selanjutnya, untuk setiap varibel utama dicari faktor-faktor potensial yang mempengaruhi nilai setiap variabel utama dengan merujuk pada sejumlah penelitian terdahulu, seperti Ritohardoyo (2011), Setiawan, et. al (2007), Mamuaya, et. al (2007), dan Bangun (2004). Faktor-faktor tersebut kemudian diseleksi dengan mempertimbangkan kontribusibusinya terhadap kinerja perikanan. Faktor-faktor kemudian disebut sebagai indikator dalam penilaian status desa untuk pengembangan industri perikanan. Dalam penelitian ini, indikator tersebut menjadi jenis data yang dikumpulkan dan dianalisis, seperti dijelaskan di bawah ini.

Ada 17 jenis data yang dikumpulkan sebagai indikator untuk ketiga variabel status desa, yaitu data tentang usaha perikanan, sarana pendukung usaha perikanan dan sosial budaya yang tersedia atau dimiliki desa tersebut. Selain diperoleh dari

(3)

pengamatan langsung di lapangan, ketiga jenis data tersebut juga diperoleh dari berbagai sumber (sebagai data sekunder). Data untuk variabel usaha perikanan (UP) yang mencakup keberadaan unit usaha penangkapan (UP1), unit usaha budidaya (UP2); unit usaha pengolahan (UP3); (4) unit usaha pemasaran (UP4); (5) teknologi produksi (UP5); dan metode operasi (UP6). Data untuk variabel sarana pendukung usaha perikanan mencakup keberadaan pabrik es (SP1), koperasi (SP2) dan (3) bank dan lembaga keuangan lain (SP3). Data untuk variabel sosial budaya masyarakat (SB) mencakup spesifikasi mata pencaharian penduduk di bidang perikanan (SB1), kualitas sumber daya manusia di desa (SB2), kualitas tenaga kerja usaha perikanan (SB3), asal tenaga kerja usaha perikanan (SB4), tempat penjualan alat produksi/pengolahan (SB5), tradisi dalam menjalankan usaha perikanan (SB6), pembauran etnis dalam masyarakat (SB7), dan pengawasan sosial (SB8).

Data tersebut diperoleh dari 67 orang responden yang tersebar di 32 desa, 847 unit usaha perikanan, dan 4 instansi pemerintahan yang mengurusi sektor kelautan dan perikanan di Kota Ambon. Responden unit usaha adalah individu nelayan dari semua desa pesisir Kota Ambon, sedangkan responden non-nelayan dan instansi pemerintahan tersebut dipilih secara purposive mengingat penelitian ini memerlukan informasi minimum tentang keberadaan indikator-indikator yang membangun setiap variabel desa tersebut. Responden non-nelayan adalah tokoh-tokoh masyarakat dan aparat desa yang dianggap berpengalaman dan mengetahui kondisi dan potensi desanya secara baik. Oleh karena itu, responden bukan-nelayan yang terpilih dari setiap desa/kelurahan adalah raja/kepala desa/lurah, sekretaris desa/negeri, kepala urusan pemerintahan, kepala kewang, dan tokoh masyarakat lain. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara dengan responden terpilih yang merujuk pada kuesioner.

Data sekunder dikumpulkan melalui penelusuran literatur desa dan laporan studi terkait dengan desa pesisir, seperti buku profil desa, buku profil potensi perikanan, pemerintah desa, kecamatan dalam angka, dan sumber lainnya.

3.2.2 Analisis data

3.2.2.1 Penilaian variabel status desa

(4)

1) Ketiga variabel status desa pesisir, yaitu variabel usaha perikanan (UP), variabel sarana pendukung usaha perikanan (SP), dan variabel sosial budaya dibangun (SB) dengan beberapa indikator. Setiap indikator diberi skor dengan skala ordinal 1 atau 2 atau 3. Setiap skala tersebut memiliki kriteria tertentu yang menunjukkan peningkatan dari skala 1 ke skala 3, yaitu tingkat rendah, tingkat sedang, dan tingkat tinggi (lihat Lampiran 1). Nilai skor untuk setiap variabel adalah rata-rata dari nilai setiap indikator. Sebagai contoh, nilai skor untuk variabel usaha perikanan (S UP) adalah jumlah skor semua indikator (TS) untuk variabel UP dibagi dengan jumlah indikator yang digunakan.

= = nj i ij j S TS 1 j j j n TS S =

dimana: Sij = skor indikator ke-i untuk variabel ke-j; i= 1, 2, ...nj; nj = jumlah indikator untuk variabel ke-j; TSj = total skor indikator untuk variabel ke-j; Sj= rata-rata skor indikator untuk variabel ke-j.

2) Setiap variabel tersebut memiliki bobot (weight) yang berbeda berdasarkan derajat kontribusi terhadap pengembangan usaha perikanan. Penelitian ini menempatkan UP sebagai elemen pokok status desa pesisir dengan bobot yang tertinggi, yaitu 50%. Selanjutnya, variabel SP dan SB berturut-turut sebagai elemen berikutnya dengan derajat kepentingan kedua (30%) dan ketiga (20%). Penentuan bobot berdasarkan derajat kepentingan status desa pesisir ini juga telah dikonfirmasi oleh para pakar (Sondita, Monintja, dan Nikijuluw) dalam suatu forum diskusi yang dilaksanakan untuk maksud tersebut. Selanjutnya, nilai standar skor (SSj) dihitung dengan menggandakan nilai skor untuk setiap variabel standar dihitung dengan skor variabel (Sj) dengan bobotnya (rj):

SSj = rj x Sj

dimana SSj = standar skor untuk variabel ke-j

rj = bobot untuk aspek ke-j, yaitu 50 % untuk aspek usaha perikanan, 30 % untuk aspek sarana pendukung, dan 20 % untuk aspek sosial budaya j = 1, 2, ...m, berturut-turut adalah aspek usaha perikanan, aspek sarana

(5)

3.2.2.2 Penentuan status desa

Status suatu desa pesisir dihitung dengan cara menjumlahkan standar skor semua variabel untuk tiap desa menjadi total standar skor tiap desa, yaitu:

TSS = SS UP + SS SP + SS SB. Dimana,

TSS = total standar skor,

SS UP = stantar skor usaha perikanan, SS SP = standar skor sarana penunjang, SS SB = standar skor sosial budaya.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka formula/model untuk menghitung Total Standar Skor (TSS), sebagai berikut :

= = m j j SS TSS 1

TSS = total standar skor

Dalam penelitian ini ada tiga kategori status desa, mengacu kepada pola yang digunakan oleh BPS, yaitu:

a) Desa Mina Mula dengan kriteria TSS < 50% dari total standar skor maksimum seluruh variabel, yaitu kurang dari 50% x nilai maksimum TSS, yaitu kurang dari 1,50.

b) Desa Mina Mandiri dengan kriteria 50% ≤ TSS < 79% dari total standar skor maksimum seluruh variabel, yaitu mulai dari 1,50 hingga 2,39

c) Desa Mina Politan TSS ≥ 80% dari total standar skor maksimal seluruh variabel, yaitu mulai dari 2,40 hingga 3.

3.3 Metodologi Penelitian Kelayakan Usaha Perikanan 3.3.1 Jenis data yang dikumpulkan

Data primer dan data sekunder yang dikumpulkan terkait penelitian kelayakan usaha perikanan di desa pesisir Kota Ambon dapat mencakup :

• Jenis usaha perikanan (armada penangkapan) di setiap desa pesisir • Skala pengusahaan

• Jenis bahan baku dan produk

• Jumlah pembiayan dan sumber pemodalan • Siklus usaha

(6)

• Jangkauan pasar • Harga jual

• Biaya operasional • Dan lain-lain

3.3.2 Metode pengumpulan data

Data primer untuk analisis kelayakan usaha ini dikumpulkan dari kalangan nelayan atau pelaku perikanan lainnya yang mempunyai armada penangkapan ikan. Jumlah responden dalam pengumpulan data kelayakan usaha ini adalah seluruh pemilik armada berjumlah 826 orang (97,5%) dan pengguna armada bukan pemilik sejumlah 21 orang (2,5%).

Usia responden terbesar berkisar 21 – 50 tahun, berkisar 65%, yang terinci pada Tabel 6 di bawah ini.

Tabel 6 Usia Responden

Kecamatan

Usia Responden (tahun) Total

Responden 21-30 31-40 41-50 51-60 61 up Nusaniwe 11,7% 32,5% 27,5% 22,5% 5,8% 120 Leitimur Selatan 22,4% 31,1% 28,0% 15,4% 3,1% 286 Teluk Ambon 19,5% 27,1% 33,2% 14,0% 6,2% 292 Sirimau 0,0% 12,0% 44,0% 28,0% 16,0% 25 Baguala 6,5% 24,2% 31,5% 22,6% 15,2% 124 Kota Ambon 16,9% 28,3% 30,7% 17,4% 6,7% 847

Tingkat pendidikan responden, sebagian besar hanya tamat SD dan SMP (sebesar 63,1%), dan sisanya berpendidikan SMA (dan sederajat) dan sarjana serta pasca sarjana (S2). Secara terinci dapat dilihat tingkat pendidikan responden pada Tabel 7 di bawah ini.

Tabel 7 Tingkat Pendidikan Responden

Kecamatan Tingkat Pendidikan S D S M P SMA Sarjana S2 Nusaniwe 39,2% 27,5% 31,6% 0,0% 1,7% Leitimur Selatan 22,4% 33,9% 40,6% 2,4% 0,2% Teluk Ambon 31,5% 45,2% 23,3% 0,0% 0,0% S i r i m a u 36,0% 32,0% 32,0% 0,0% 0,0% B a g u a l a 18,5% 24,2% 51,6% 0,0% 5,6% Kota Ambon 27,7% 35,4% 34,7% 0,9% 1,3%

(7)

Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui studi kasus dan literatur, pendapat pakar, dan kombinasi ketiganya. Studi kasus dan lieratur diperoleh melalui dari laporan kegiatan terkait di lokasi, hasil penelitian, dan buku tentang analisis finansial usaha. Pendapat pakar dapat bermanfaat dalam penentuan komponen kritis analisis seperti suku bunga, teoritis siklus usaha, dan lainnya.

3.3.3 Metode analisis kelayakan usaha

3.3.3.1 Pendekatan analisis menggunakan konsep BCR

Analisis ini dilakukan untuk mengetahui kelayakan usaha perikanan (armada penangkapan) pada desa pesisir yang telah diidentifikasi status usaha industri dan potensi pengembangannya. Analisis kelayakan usaha ini menggunakan konsep Benefit Cost Ratio (BCR). Menurut Kapp (1990), BCR dapat menentukan jenis usaha perikanan yang layak dan tidak layak dikembangkan, mengelompokkan usaha yang sejenis, dan usaha perikanan yang saling membutuhkan. BCR merupakan paramater untuk mengetahui tingkat perbandingan antara NPV yang bernilai positif dengan NPV yang bernilai negatif pada kondisi suku bunga berbeda pada periode yang berbeda (Arrow et al 1996). Analisis BCR dalam penelitian ini merupakan pengembangan dari Benefit Cost Ratio (BCR) yang konvensional. Perbedaan konsep BCR ini dan BCR konvensional, ialah aktivitas usaha selama umur proyek (tergantung usaha perikanan) dalam beberapa tahap periode, dengan suku bunga tiap periode yang berbeda sesuai yang berlaku pada priode tersebut, sedangkan BCR konvensional mengasumsi tingkat bunga sama sepanjang waktu.

Elemen pengukuran yang dibutuhkan dalam analisis BCR ini mengacu kepada kebutuhan analisis finansial dari pengoperasian armada atau usaha perikanan sehingga dapat diketahui rasio benefit cost-nya. Adapun elemen tersebut diantaranya : 1) Pendapatan (benefit) dalam pengoperasian armada

2) Biaya (cost) dalam pengoperasian armada 3) Umur proyek (umur ekonomis)

4) Suku bunga yang berlaku pada setiap periode selama umur proyek 5) Bagi hasil dan data pendukung lainnya

(8)

3.3.3.2 Analisis benefit-cost

Dalam penelitian ini, Benefit-Cost Analysis (BCA) dilakukan terhadap setiap usaha perikanan (armada penangkapan) yang terdapat di setiap desa pesisir Kota Ambon. Usaha perikanan (armada penangkapan) dapat dikatakan layak dikembangkan, bila mempunyai nilai BCR > 1 (satu). Perhitungan nilai BCR menggunakan rumus : BCR =

= = < + > − n 1 t t n 0 t t 0 Ct) -(Bt it) (1 Bt) -(Ct 0 Ct) -(Bt it) (1 Ct) -(Bt

Keterangan : Bt = Pendapatan (benefit) pada tahun ke-t Ct = Biaya (cost) pada tahun ke-t

it = suku bunga yang berlaku pada tahun ke-t t = 1, 2,3 ..., n

n = umur ekonomis

Setelah semua armada/usaha perikanan tersebut dianalisis, maka ditetapkan rangking BCR-nya. Suatu armada/usaha perikanan dengan nilai BCR yang tinggi akan menjadi keunggulan suatu desa pesisir. Nilai BCR tersebut juga memberi gambaran tentang jenis armada (usaha perikanan) yang paling menguntungkan untuk dikembangkan di masa yang akan datang.

3.4 Metodologi Pengklusteran Desa Perikanan

Pengklusteran desa perikanan, terutama perikanan tangkap dalam penelitian ini, adalah pengelompokan desa-desa pesisir berdasarkan pada status desa pesisir (dibahas pada bagian 3.2), tingkat kelayakan usaha perikanan tangkap tiap desa (dibahas pada bagian 3.3), kedekatan usaha perikanan tangkap dengan jalur pemasaran dan distribusi, dan proporsi tingkat kepemilikan usaha perikanan tangkap. Pengklusteran dalam penelitian ini termasuk dalam tipe geographical cluster, yaitu suatu lokasi atau kawasan tertentu yang memiliki sumber daya, terutama sumber daya alam, yang dimanfaatkan oleh sejumlah unit usaha yang sejenis atau saling terkait atau saling melengkapi dan menghasilkan produk atau jasa yang sama ataupun berbeda, dan memanfaatkan infrastruktur yang sama (Isbasiu 2007; Propis et al 2009). Pengklusteran desa dalam penelitian ini dimaksud untuk memudahkan pembuat kebijakan setempat (dalam hal ini Pemerintah Kota Ambon) dalam memilih

(9)

program intervensi maupun insentif yang tepat untuk mendorong pengembangan setiap desa (Feser and Isserman 2005), dalam hal ini pengembangan perikanan tangkap setiap desa.

3.4.1 Jenis data yang dikumpulkan

Penentuan desa yang dikelompokan pada suatu kluster, didasarkan pada empat indikator utama, yaitu status desa pesisir, tingkat kelayakan usaha perikanan, kedekatan jalus bisnis perikanan, dan proporsi kepemilikan usaha perikanan tangkap. Karena itu, data yang dikumpulkan untuk kepentingan penentuan kluster desa pesisir ini, adalah data-data selain data untuk penentuan status desa dan analisis BCR, yang telah dibahas pada bagian-bagian sebelumnya. Data-data yang dikumpulkan pada bagian ini ialah data tentang kedekatan jalur bisnis perikanan, dan kepemilikan usaha perikanan. Dengan demikian data yang dibutuhkan terkait dengan kedua indikator ini (kedekatan jalur bisnis dan proporsi kepemilikan usaha perikanan tangkap), adalah : 1) Jumlah dan penyebaran armada penangkapan di desa pesisir; dan

2) Jarak tiap desa dengan sentra jaringan bisnis perikanan, yaitu sentra-sentra pemasaran (pasar lokal, pasar industri) dan jaringan distribusi hasil perikanan tangkap (darat, laut, dan udara).

3.4.2 Metode pengumpulan data

Pengumpulan data untuk kepentingan pengklusteran desa, terhadap berbagai indikator kluster desa yang dikemukakan sebelumnya, khususnya indikator kedekatan jalur bisnis dan proporsi kepemilikan usaha perikanan tangkap, berupa data primer dan data sekunder. Untuk indikator kedekatan jalur bisnis, digunakan data primer yang diperoleh wawancara dan pengamatan lapang dan sekunder yang diperoleh dari Dinas Pekerjaan Umum Kota Ambon. Data untuk indikator proporsi kepemilikan usaha perikanan tiap desa menggunakan data sekunder, yang diperoleh dari Dinas Perikanan & Kelautan Kota Ambon.

3.4.3 Analisis kluster desa

Analisis kluster desa ini menggunakan prinsip kluster Anderson (2004) yaitu tentang kluster pengembangan ekonomi berdasarkan kelayakan usaha setiap unit aktivitas ekonomi. Analisis desa kluster merupakan kegiatan memilih, mengelompokkan, atau mengklusterkan kegiatan perikanan desa pesisir yang

(10)

berdasarkan kesamaan atau kemiripan potensi pengembangan perikanan tangkapnya. Pada tahap ini, pengklusteran/pengelompokan desa berdasarkan pada:

1) Nilai benefit cost ratio (BCR) dari setiap usaha perikanan (armada penangkapan) di setiap desa

2) Status desa pesisir yang telah diidentifikasi pada bagian sebelumnya

3) Kedekatan atau kesamaan karakteristik lokasi di wilayah pesisir Kota Ambon. 4) Proporsi kepemilikan usaha perikanan masing-masing desa.

Pengelompokan desa berdasarkan kesamaan status, tingkat kedekatan dengan jalur bisnis, dan nilai BCR dari usaha perikanan (armada penangkapan) yang ada, serta proporsi kepemilikan usaha perikanan, memungkinkan terdapatnya beberapa kluster desa dengan karakterikstik tersendiri. Setiap usaha perikanan (armada penangkapan) akan mempunyai nilai BCR tersendiri, berada di desa pesisir dengan status tertentu dan karakteristik tertentu. Hal ini menjadi alasan mendasar untuk dapat dilakukannya pengklusteran desa.

Dalam kaitan pengklusteran desa berdasarkan nilai BCR, suatu desa pesisir bisa jadi mempunyai beberapa usaha perikanan (armada penangkapan) dengan BCR tinggi yang berbeda dengan desa lainnya. Jenis-jenis usaha perikanan/armada penangkapan terpilih (BCR tinggi) akan mencerminkan potensi pengembangan desa. Desa dengan nilai BCR usaha perikanan (armada penangkapan) yang tinggi cenderung berada pada kluster teratas, sedangkan dengan nilai BCR sedang dan rendah berada pada kluster di bawahnya. Acuan tentang nilai kelayakan usaha/BCR ini mengacu kepada KP3K (2006) dan Deprin (2005) yang dimodifikasi, yaitu :

• BCR tinggi bernilai > 2,00 diberi bobot 3,

• BCR sedang bernilai 1,50 – 2,00 diberi bobot 2, dan • BCR rendah bernilai < 1,50 diberi bobot 1.

Begitu juga desa dengan status yang sama akan masuk dalam kluster yang sama untuk pengembangan desa. Dari segi status desa, maka :

• Desa Mina Politan mendapat klasifikasi A diberi bobot 3 • Desa Mina Mandiri mendapat klasifikasi B diberi bobot 2 • Desa Mina Mula mendapat klasifikasi C diberi bobot 1

Indikator kedekatan jalur bisnis, yang menggambarkan atau memberi indikasi mempunyai peluang pengembangan usaha yang potensial. Desa yang relatif dekat dengan pusat-pusat pasar maupun jalur distribusi mempunyai peluang yang lebih

(11)

potensial untuk berkembangnya usaha perikanan tangkap dibandingkan dengan desa yang jauh dari pusat pasar dan jalur distribusi. Dengan demikian desa yang semakin dekat dengan pasar dan jalur distribusi, berada pada kluster yang teratas, demikian juga desa yang relatif jauh berada pada kluster di bawahnya. Karena itu, kedekatan sebuah desa dengan pusat pasar dan jalur distribusi, dikelompokan atas :

Jarak Klasifikasi Bobot

0 – 10 km Dekat = A 3

> 10 – 20 km Sedang = B 2

> 20 km Jauh = C 1

Indikator proporsi kepemilikan usaha perikanan tiap desa atas kepemilikan usaha perikanan tanggkap di Kota Ambon, menunjukan bahwa desa dimaksud menonjol usaha perikanan tangkap nya dibanding dengan desa lainnya. Proporsi kepemilikan usaha perikanan yang tinggi menempatkan desa tersebut berada pada kluster yang tinggi, demikian sebaliknya. Penentuan proporsi kepemilikan usaha perikanan ini menggunakan analisis peta kendali p. Proporsi kepemilikan dikelompokan atas 3 klasifikasi, yaitu :

Proporsi Klasifikasi Bobot

> 0,083 Tinggi = A 3

0,031 – < 0,083 Sedang = B 2

< 0,031 Rendah = C 1

Tahap selanjutnya ialah mengklusterkan desa pesisir, dengan pengelompokan desa yang memiliki kemiripan status, nilai BCR, jarak dengan pusart pasar dan jalur distribusi, dan proporsi kepemilikan usaha perikanan dalam satu kluster. Caranya ialah menjumlahkan bobot yang diperoleh tiap desa pesisir terkait penilaian kriteria/elemen kelayakan usaha (BCR tertinggi), status desa, kedekatan dengan jalur bisnis, dan tingkat kepemilikan usaha perikanan tangkap di desa. Adapun ketentuan dalam penentuan kluster desa berdasarkan total bobot tersebut adalah :

1) Total bobot tertinggi adalah 12, jika keempat elemen semuanya berbobot 3, dan terendah adalah 4, jika keempat elemen semuanya hanya berbobot 1. Hal ini disebabkan ada empat kriteria/elemen yang dinilai mempunyai kisaran bobot 1 – 3. Dengan demikian, terdapat 9 kluster yang secara berurutan total bobot dari yang tertinggi, yaitu:

(12)

- Kluster 2 (K2) : desa yang memperoleh total bobot 11 - Kluster 3 (K3) : desa yang memperoleh total bobot 10 - Kluster 4 (K4) : desa yang memperoleh total bobot 9 - Kluster 5 (K5) : desa yang memperoleh total bobot 8 - Kluster 6 (K6) : desa yang memperoleh total bobot 7 - Kluster 7 (K7) : desa yang memperoleh total bobot 6 - Kluster 8 (K8) : desa yang memperoleh total bobot 5 - Kluster 9 (K9) : desa yang memperoleh total bobot 4

2) Bila dalam hal dalam proses klusterisasi nanti, ternyata kluster tidak mencukupi 9, maka kluster baru dapat dibuat (ketentuan pengklusteran desa pada poin a tidak dipakai lagi). Jumlah dan urutan kluster baru akan dibuat berdasarkan total bobot tertinggi dan terendah yang dicapai dalam penelitian ini.

3.5 Metode Penentuan Faktor Determinan Tiap Kluster

3.5.1 Jenis data yang dikumpulkan

Data primer dan data sekunder yang dikumpulkan dalam penelitian faktor determinan tiap kluster desa dapat mencakup :

1) Data teknis usaha perikanan (armada, alat tangkap, alat bantu penangkapan, perbekalan, dan ABK)

2) Data desa (penduduk, sarana dan prasarana perikanan, potensi desa, dan lain-lain) 3) Data sosial budaya (tingkat kesejahteraan, lapangan kerja, tata nilai budaya,

pendidikan, dan lain-lain)

4) Data ekologi desa (jenis SDI potensial, karakteristik dan topografi wilayah, tingkat pencemaran, dan lain-lain)

5) Data finansial usaha perikanan (pendapatan usaha perikanan, biaya operasional, sistem bagi hasil, persaingan, market capital dan lain-lain)

6) Data kebijakan atau peraturan perikanan

3.5.2 Metode pengumpulan data

Metode pengumpulan data terkait faktor determinan pengembangan perikanan tangkap terdiri dari pemilihan kelompok sampling, identifikasi responden, dan pengumpulan data responden. Sampling dilakukan terhadap stakeholder yang terkait dengan kegiatan perikanan tangkap di Kota Ambon, seperti perwakilan nelayan, pedagang/pengolah ikan, masyarakat pesisir, pengelola pelabuhan perikanan, Dinas

(13)

KP, PEMDA, dan pengusaha perikanan. Hal-hal yang diperhatikan dalam pemilihan kelompok sampling ini adalah :

• Kelompok sampling terlibat/mempunyai kaitan dengan kegiatan perikanan tangkap di Kota Ambon baik langsung maupun tidak langsung.

• Populasi kelompok sampling yang berhubungan dengan kegiatan perikanan tangkap.

• Jenis kegiatan perikanan tangkap yang berhubungan dengan kelompok di lokasi. • Interakasi langsung kelompok sampling dengan nelayan.

Jumlah responden mengacu kepada kebutuhan estimasi matriks likelihood dalam analisis Structural Equation Modelling (SEM) (Ferdinand 2002) sebagai metode yang digunakan dalam analisis faktor determinan yaitu sekitar 150 orang. Responden tersebut tersebut dipilih secara proporsional berasal dari perwakilan semua kelompok sampling terpilih.

Pengumpulan data responden terkait faktor determinan pengembangan perikanan tangkap ini dilakukan dengan teknik wawancara terbuka dan contingent value method (CVM). Teknik wawancara terbuka dilakukan untuk mengumpulkan data-data yang mudah dicerna oleh responden berkaitan dengan usaha perikanan tangkap yang dikelola atau kdiketahuinya. CVM dilakukan untuk mengumpulkan data yang penting terutama berkaitan dengan indikator kebijakan pengembangan perikanan di setiap, kluster namun maksudnya sulit dicerna responden. CVM dilakukan dengan menciptakan kondisi pasar hipotesis dan penawaran menyatu, sehingga respden seakan-akan merasakan apa yang digambarkan responden.

3.5.3 Analisis structural equation modelling (SEM)

Analisis ini dilakukan untuk mengidentifikasi faktor-faktor determinan yang kontekstual dan menentukan besaran BCR, dimana faktor-faktor kontekstual tersebut sekaligus merupakan salah satu aspek dalam mengidentifikasi indikator kebijakan. Artinya, faktor-faktor kontekstual yang tertuang ke dalam model, merupakan berbagai aspek yang diduga mempengaruhi besaran BCR. Dengan kata lain, yang dimasukan ke dalam model ialah faktor-faktor yang diduga (secara teoritik maupun empirik) menjadi pendorong tingginya BCR di tiap desa.

Pengembangan analisis SEM ini dilakukan dengan mengidentifikasi dan memodelkan pola interaksi baik diantara stakeholders maupun komponen terkait yang dapat mempengaruhi BCR dari kegiatan perikanan di pesisir Kota Ambon

(14)

terutama pada sistem kluster kegiatan perikanan. Hasil analisis SEM akan memberikan arahan tentang hal-hal yang perlu diperbaiki dan dipertahankan, perlu dikurangi, dan perlu/dapat diabaikan untuk dalam mendukung pengembangan usaha perikanan berbasis desa kluster.

Pengembangan analisis model menggunakan aplikasi Structural Equation Modelling (SEM) dilakukan dalam lima tahapan yang berturut-turut adalah: (1) pembuatan model teoritis, (2) kemudian penyusunan path diagram, (3) perumusan measurement model dan structural equation, (4) penetapan matriks input dan estimasi model, dan (5) evaluasi kriteria goodness-of-fit. Pembuatan model teroritis dimaksudkan untuk mendapatkan justifikasi terhadap konsep-konsep interaksi diantara komponen dan stakholders terkait dalam model sehingga dapat dipertanggungjawabkan dan mendapat dukungan ilmiah. Landasan utama untuk menyusun model teoritis ini adalah informasi substantif yang diperoleh dari studi pendahuluan, pustaka/literatur, dan hasil-hasil penelitian yang relevan terkait BCR usaha ekonomi. Secara umum, faktor-faktor yang dianggap dapat mempengaruhi BCR usaha perikanan dapat mencakup hal-hal teknis usaha perikanan tersebut, dukungan potensi dan ekologi desa, dan kondisi sosial budaya masyaraka pesisir. Terkait dengan ini, maka persamaan untuk analisis faktor determinan yang kontekstual bagi pengembangan BCR penelitian ini adalah :

BCR(Y1,Y2,Y3,Y4) = f(X11,X12,X13,X21,X22,X23,X31,X32,X33,X41,X42,X43)

Keterangan :

X11, X12, X13 = dimensi variabel teknis, masing-masing jenis armada, jenis alat tangkap, teknologi & metode operasi

X21, X22, X23 = dimensi variabel desa, masing-masing topografi & demografi desa, potensi SDA desa, sarana dan prasarana desa

X31, X32, X33 = dimensi variabel sosial budaya, masing-masing kehidupan sosial (gotong royong, makan ikan), tata nilai, dan mobilitas penduduk

X41, X42, X43 = dimensi variabel ekologi, masing-masing pemukiman, pencemaran, ekosistem terumbu karang

Y1, Y2, Y3, Y4 = dimensi pengembangan BCR, masing-masing modal kerja, pengembalian investasi, keuntungan, dan kontinyuitas usaha.

(15)

Rancangan path diagram faktor-faktor kontekstual yang diharpakan menjadikan indikator kebijakan disajikan pada Gambar 4. Path diagram dibuat menggunakan program AMOS Professional 4.0. Pada Gambar 4, keempat variabel umum yang mempengaruhi BCR tersebut menjadi konstruk penelitian. Selanjutnya, variabel yang lebih detail akan ditentukan berdasarkan hasil analisis sebelumnya (hasil analisis kelayakan usaha perikanan tangkap di desa-desa pesisir Kota Ambon dan hasil analisis status industri dan potensi desa pesisir) yang dikaitkan dengan konsep teoritis yang ada. Variabel tersebut kemudian disebut sebagai dimensi konstruk (penciri dari konstruk). Detail tersebut dijadikan sebagai dimensi konstruk. Jumlah dari dimensi konstruk tersebut tergantung dari dugaan keeratan hubungannya (tingkat pengaruh-mempengaruhi) dengan konstruk penelitian berdasarkan hasil analisis sebelumnya. Dimensi konstruk inilah yang kemudian diambil datanya menggunakan kuesioner SEM.

Setelah penyusunan path diagram, tahap selanjutnya adalah membuat persamaan matematis yang menggambarkan interaksi-interaksi komponen pengembangan perikanan tangkap di desa pesisir Kota Ambon. Persamaan tersebut terdiri dari persamaan pengukuran (measurement model) dan persamaan struktur (structural equation). Persamaan pengukuran (measurement model) merupakan persamaan yang mencerminkan interaksi diantara komponen pengembangan yang menjadi konstruk dan dimensi konstruk, sedangkan persamaan struktur (structural equation) mencerminkan interaksi diantara komponen yang keduanya menjadi konstruk (antar konstruk).

Persamaan matematis tersebut digunakan untuk operasi AMOS, dan data SEM yang dikumpulkan dari responden diolah dengan program SPSS, Microsoft Excel, MS Access, atau program lain yang sesuai. Matriks input yang dapat digunakan dalam analisis SEM terdiri dari matriks kovarian dan matriks korelasi. Matriks kovarian merupakan matriks yang berisi varian dan kovarian dari sekumpulan komponen yang berinteraksi, sedangkan matriks korelasi merupakan matriks yang berisi keofisien korelasi dari sekumpulan komponen yang berinteraksi. Dalam beberapa penelitian, matriks kovarian lebih sering digunakan karena keunggulannya dalam menyajikan perbandingan yang valid antara populasi atau sampel yang berbeda, sedangkan dalam penelitian ini, kedua matriks tersebut digunakan.

(16)

Gambar 4 Rancangan path diagram faktor-faktor kontekstual pengembangan BCR (indikator kebijakan).

Teknik estimasi yang digunakan dalam analisis model interaksi stakeholders ini dapat dipilih sesuai dengan ukuran sampel. Teknik estimasi ini bisa berubah bisa kondisi lapangan menginginkan ukuran sampel harus diubah, misal ukuran populasi yang di luar perkiraan, lingkup dan kompleksitas penelitian yang lebih luas. Adapun teknik estimasi yang dapat digunakan sesuai dengan ukuran sampelnya adalah :

• Matriks likelihood estimation, bila ukuran sampel 100 – 200 dan asumsi normalitas dipenuhi.

• Generalized least square estimation, bila ukuran sampel 200 – 500 dan asumsi normalitas dipenuhi.

• Asymptotically distribution free estimation, bila ukuran sampel lebih dari 2500 dan asumsi normalitas kurang dipenuhi.

Oleh karena dalam penelitian ini ukuran sampel/responden 150 orang, maka teknik estimasi yang digunakan matriks likelihood estimation.

Tahapan selanjutnya adalah kegiatan mengevaluasi kesesuaian model interaksi pemangku kepentingan (stakeholders) yang dibuat menggunakan berbagai kriteria goodness-of-fit. Secara garis besar, tahapan ini dibagi dalam tiga jenis kegiatan yaitu evaluasi data yang digunakan apakah memenuhi asumsi-asumsi SEM atau tidak, uji kesesuaian dan uji statistik, dan analisis pengaruh (effect analysis).

GBCA Variabel Desa Variabel Sosial Budaya Variabel Teknis Variabel Ekologi Desa X11 d11 1 1 X12 d12 1 X2l d2l 1 1 X22 d22 1 X3m d3m 1 1 X32 d32 1 X42 d42 1 1 X41 d41 1 X1k d1k 1 X21 d21 1 X31 d31 1 X4n d4n 1 Y1 e1 1 1 Y2 1 e2 Y3 1 e3 Y4 1 e4 Z1 Z2 1 Z3 1 Z4 Z5 1 1 1

(17)

Evaluasi asumsi SEM meliputi evaluasi ukuran sampel, normalitas, outliers (pencilan), dan lain-lain. Sedangkan uji kesesuaian dan uji statistik meliputi X2 -Chi-square statistic, adjusted goodness of fit index (AGPI), CMIN/DF, comparative fot index (CFI), goodness of fit index (GPI), the root mean square error of approximation (RMSEA), dan Tucker Lewis index (TLI). Tingkat penerimaan model yang dibangun berkaitan dengan indeks-indeks evaluasi tersebut disajikan pada Tabel 8. Penjelasan rinci dari indeks evaluasi tersebut adalah :

• X2-Chi-square statistic. Uji ini digunakan untuk mengukur overall fit atau kesesuaian model yang dibangun dengan data yang ada.

• Adjusted goodness of fit index (AGPI). AGPI analog dengan R2 dalam regresi berganda, dengan tingkat penerimaan yang direkomendasikan sama atau lebih besar dari 0,9.

• Comparative fot index (CFI). CFI merupakan index yang menunjukkan tingkat fitnya model yang dibangun. Berbeda dengan indeks lainnya, index ini tidak tergantung pada ukuran sampel.

• CMIN/DF. CMIN/DF merupakan pembagian X2 dengan degree of freedom. Indeks ini menunjukkan tingkat fitnya model.

• Goodness of fit index (GFI). GFI digunakan untuk menghitung proporsi tertimbang varian dalam matriks kovarian sampel yang dijelakan oleh matriks kovarian populasi yang terestimasi. GPI mempunyai nilai antara 0 (poor fit) – 1 (perfect fit).

• The root mean square error of approximation (RMSEA). RMSEA adalah indeks yang digunakan untuk mengkompensasi Chi-square statistic dalam sampel yang besar. Model yang dibangun dapat diterima bila mempunyai nilai RMSEA lebih kecil atau sama dengan 0,08.

• Tucker Lewis index (TLI). TLI merupakan alternatif incremental fit index yang membandingkan sebuah model yang diuji terhadap sebuah baseline model.

(18)

Tabel 8 Goodness-of-fit Index ( kriteria uji kesesuaian dan uji statistik)

Goodness of fit Index Cut-off Value

X2-Chi-squarey Sekecil mungkin

Significance Probability 0.05 AGFI 0.90 CFII 0.95 CMIN/DF 2.00 GFI 0.90 RMSEA 0.08 TLI 0.95 Sumber : Ferdinand (2002)

Effect analysis diterapkan terhadap faktor determinan kontekstual yang memenuhi kriteria lulus uji kesesuaian dan uji statistik (ditetapkan menjadi indikator kebijakan yang valid). Effect analysis berguna untuk menginterpretasikan koefisien pengaruh antar konstruk dalam menjelaskan interaksi komponen (interaksi faktor dalam mempengaruhi BCR) yang dapat dikurangi, diabaikan, dipertahankan, dan dikembangkan untuk mendukung kegiatan perikanan tangkap desa pesisir. Interaksi tersebut dapat menyangkut dampak kegiatan perikanan terhadap ekonomi daerah, pengaruh perikanan industri terhadap perikanan rakyat, pengaruh keberpihakan pemerintah, peran aktivitas produksi dan pasar, kesesuaian kegiatan perikanan dengan orientasi pembangunan, dan lainnya. Interaksi faktor/variabel dengan pengaruh signifikan akan menjadi perhatian dalam pengembangan kebijakan dan instrumental input terkait pengembangan usaha perikanan tangkap yang prosfektif dan berbasis desa kluster di Kota Ambon.

3.6 Metode Penelitian Prioritas Kebijakan Makro Pengembangan Perikanan Tangkap

3.6.1 Jenis data yang dikumpulkan

Data yang dikumpulkan dalam penelitian prioritas kebijakan makro ini diharapkan berlaku umum (lintas kluster) bagi pengembangan perikanan tangkap Kota Ambon. Data tersebut dapat mencakup :

1) Data profil usaha perikanan yang mewakili tiap kluster desa 2) Data potensi sumberdaya ikan di Ambon

3) Data tentang implementasi kebijakan dan perangkat hukum yang berlaku di Kota Ambon

(19)

4) Data terkait teknologi penangkapan atau lainnya di bidang perikanan yang berkembang

5) Data dukungan/kondisi infrastruktur yang di lokasi bagi bidang perikanan

6) Data kondisi pasar/permintaan produk perikanan termasuk persaingan dengan pelaku luar atau dengan produks substitusi

7) Data alternatif kebijakan yang ditawarkan, dan lain-lain

Data tersebut dapat berupa data fisik atau penilaian responden yang kompeten di lokasi penelitian.

3.6.2 Metode pengumpulan data

Metode pengumpulan data primer penentuan prioritas kebijakan lintas kluster (makro) di Kota Ambon terdiri dari pemilihan kelompok sampling, identifikasi responden, dan pengumpulan data responden. Sampling dilakukan terhadap kelompok stakeholders yang berkepentingan dengan kegiatan perikanan tangkap di Kota Ambon, seperti Dinas Kelautan & Perikanan, PEMDA, pengusaha perikanan, nelayan, pedagang/pengolah ikan, masyarakat pesisir, dan pengelola pelabuhan perikanan. Oleh karena dibutuhkan bagi perumusan prioritas kebijakan, maka perwakilan kelompok stakeholders yang menjadi responden ditetapkan secara purposive, yaitu dipilih dari kalangan pejabat, pemilik, tokoh, atau ketua kelompok stakeholders yang mengetahui betul peran dan kondisi kelompoknya terkait pengembangan perikanan tangkap berbasis desa kluster. Hal ini supaya informasi yang diberikan sesuai kondisi nyata, kebutuhan, kepentingan atau harapan dari kelompok stakeholders yang diwakili. Orang-orang yang mempunyai jabatan atau peran strategis di kelompoknya tentu dapat memberikan jawaban dimaksud. Jumlah responden untuk analisis kebijakan ini mengacu kepada ketentuan metode analisis yang digunakan (Analitycal Hierarchy Process/AHP) yaitu sekitar 20 orang (Saaty 1993). Sedangkan komposisi jumlah responden dari setiap kelompok stakeholders tersebut ditetapkan secara proporsional dengan mempertimbangkan populasi, tingkat peran, dan keeratan hubungan dengan kegiatan perikanan di Kota Ambon.

Pengumpulan data responden untuk penentuan prioritas kebijakan makro ini juga dilakukan dengan teknik wawancara terbuka dan contingent value method (CVM). Teknik CVM diharapkan dapat memberikanan penjelasan lengkap dan lebih jelas kepada responden yang dirasa belum memahami terhadap pertanyaan yang diajukan untuk mengumpulkan data yang penting terutama berkaitan dengan

(20)

indikator kebijakan pengembangan perikanan di setiap, kluster namun maksudnya sulit dicerna responden. CVM dilakukan dengan menciptakan kondisi pasar hipotesis dan penawaran menyatu, sehingga respden seakan-akan merasakan apa yang digambarkan responden.

3.6.3 Analisis hierarki

Analisis penentuan prioritas kebijakan pengembangan perikanan tangkap ini dilakukan menggunakan Analitycal Hierarchy Process (AHP). Kebijakan pengembangan tersebut bersifat makro atau lintas kluster dengan mengakomodir hasil-hasil analisis sebelumnya. Kebijakan pengembangan ini akan menjadi langkah implementatif dari model yang dikembangkan pada bagian sebelumnya dan juga harapan atau persepsi pemangku kepentingan. Supaya kebijakan tersebut sesuai dan bermanfaat luas nantinya dalam mendukung pengembangan usaha perikanan tangkap berbasis desa kluster, maka analisis ini dilakukan secara bertingkat menggunakan data yang berasal dari semua stakeholders/komponen berkepentingan di lokasi.

Mengacu kepada konsep Analytical Hierachy Process (AHP) dan Wilson et al. (2002), maka berbagai komponen yang berinteraksi/terkait dengan kegiatan perikanan tangkap di Kota Ambon akan dikelompokkan ke dalam beberapa level, misalnya level goal (tujuan), level 2 (kriteria), level 3 (sub kriteria), dan level 4 (alternatif strategi). Hal ini dimaksudkan supaya prioritas kebijakan yang dipilih merupakan kebijakan terbaik yang mengakomodir semua kepentingan stakeholders dan komponen pengelolaan.

Supaya analisis ini dapat mengetahui dampak pengembangan usaha perikanan tangkap secara kluster terutama terhadap ekonomi daerah dan masyarakat, maka pada kriteria level 2 dikembangkan berdasarkan skala usaha usaha, yaitu skala perikanan rakyat dan skala perikanan industri. Dalam analisis AHP, dampak tersebut akan ditunjukkan oleh tingkat kestabilan/sensitivitas dari kebijakan pengembangan terpilih terhadap perubahan orientasi pengelolaan pada perikanan rakyat ke perikanan industri atau sebaliknya.

Adapun tahapan AHP dalam analisis kebijakan pengembangan perikanan tangkap mengacu kepada Maarif (2004) yaitu :

• Pendefinisian sistem

Semua komponen yang terkait dengan sistem pengembangan kebijakan perikanan tangkap yang tepat dengan berbasis desa kluster (clustered villages) ditetapkan

(21)

dan didefinisikan. Lingkup komponen yang didefinisikan mencakup tujuan pengembangan, kriteria pengembangan (berdasarkan kluster desa pesisir), sub kriteria (beberapa syarat penting dalam pengembangan), dan alternatif kebijakan pengembangan (hasil analisis Porter Diamond).

• Penyusunan struktur hierarki

Semua interaksi komponen yang telah didefinisikan secara sistemik akan disusun secara bertingkat dalam bentuk struktur hierarki AHP. Struktur hierarki ini disusun mulai dari tingkat paling atas berupa tujuan (level 1), dilanjutkan dengan kriteria (level 2), sub kriteria (level 3) dan alternatif strategi pada tingkatan paling bawah hierarki (level 4). Penyusunan hieraki yang terintegrasi dengan data dilakukan menggunakan Program Expert Choice 9.5. Rancangan awal struktur hierarki perumusan kebijakan pengembangan pada penelitian ini disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5 Rancangan struktur hierarki penentuan prioritas kebijakan

• Penetapan skala banding dan pembobotan

Untuk menganalisis kepentingan setiap jenis kluster desa bagi pengembangan perikanan tangkap berdasarkan desa kluster (setiap kompenen di level 2), maka perlu ditetapkan skala banding satu sama lain di antara komponen penyusun hierarki tersebut. Skala banding ini juga digunakan untuk menganalisis kepentingan setiap sub kriteria pengembangan untuk setiap jenis kluster desa. Dalam kaitan dengan pilihan kebijakan yang tepat, maka skala banding selanjutnya juga digunakan untuk memilih alternatif kebijakan pengembangan

(22)

terbaik yang dapat mengakomodir kepentingan stakeholders dan komponen terkait serta pemenuhan semua sub kriteria pengembangan (level 3) .

Skala banding tersebut direalisasikan dalam bentuk pemberian bobot terhadap setiap pasangan komponen yang diperbandingkan dalam hierarki. Skala banding dan bobot yang diberikan dalam analisis AHP penelitian ini mengacu Tabel 9. Lebar dan jumlah skala yang dibuat disesuaikan dengan kemampuan untuk membedakan dari setiap komponen yang disesuaikan dengan kondisi yang ada di lapang. Pembobotan diberikan berdasarkan taraf relatif pentingnya suatu komponen dibandingkan dengan komponen lainnya di level yang sama. Dalam pembobotan, diusahakan agar setiap komponen mempunyai skala banding yang sama sehingga antara komponen satu dengan komponen lainnya dapat diperbandingkan. Skala banding tersebut diberikan antara nilai 9 – 1/9.

Tabel 9 Ketentuan skala banding berpasangan

Intensitas

pentingnya Definisi Penjelasan

1 3 5 7 9 2,4,6,8 Kebalikan

Kedua komponen pentingnya sifat

Komponen yang satu sedikit lebih penting dibandingkan komponen yang lainnya.

Komponen yang satu esensial atau sangat penting dibanding komponen yang lainnya.

Suatu komponen jelas lebih penting dari komponen lainnya.

Satu komponen mutlak lebih penting ketimbang komponen yang lain.

Nilai-nilai antara dua pertimbangan dua yang berdekatan.

Jika suatu aktivitas mendapat satu angka dibandingkan dengan aktivitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya bila di bandingkan dengan j.

Dua komponen menyumbangkan sama besar pada sifat itu.

Pengalaman dan pertimbangan sedikit menyokong satu komponen atas lainnya.

Pengalaman dan pertimbangan dengan kuat menyokong satu komponen atas komponen lainnya.

Suatu komponen dengan kuat di sokong, dan dominannya telah terlihat dalam praktek. Bukti yang menyokong komponen yang satu atas yang lain memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan. Kompromi diperlukan antara pertimbangan.

Sumber : Saaty (1993)

• Proses input data dan evaluasi

Input data merupakan kegiatan mengintegrasikan data hasil banding berpasangan di antara komponen dalam hierarki (jawaban responden) ke dalam Program

(23)

Expert Choice 9.5. Data yang diinput tersebut sebelumnya dipersiapkan menggunakan program Microsoft Excell.

Evaluasi merupakan kegiatan menganalisis data hasil banding berpasangan di antara komponen dalam hierarki sehingga didapat nilai yang mencerminkan kepentingan setiap komponen penyusun hierarki. Oleh karena alternatif kebijakan berada pada level yang paling bawah, maka kebijakan pengembangan yang terpilih telah melewati pertimbangan semua level heraki dan dapat mengakomodir kepentingan stakeholders dan komponen terkait serta pemenuhan semua subkriteria pengembangan yang menjadi syarat atau limit factor dalam pengembangan.

• Pengujian konsistensi dan sensitivitas

Kegiatan ini bertujuan untuk menguji konsistensi dan sentivitas dari hasil analisis yang telah dilakukan. Bila dari hasil analisis diperoleh rasio inconsistency 0,1 atau lebih berarti data yang digunakan tidak konsistensi dan harus dilakukan pengambilan data ulang (Tabel 10).

Tabel 10 Kriteria uji konsistensi dan uji sentivitas AHP

No. Jenis Pengujian Kriteria

1 Rasio inconsistency < 0,1

2 Sensitivity test Diharapkan tidak terlalu sensitif Sumber : Saaty (1993)

Bila hasil analisis terlalu sensitif berarti kebijakan pengembangan yang dipilih terlalu labil terhadap perubahan potensi dan kluster desa yang ada. Hal ini tentu kurang disukai.

• Interpretasi hasil

Interpretasi merupakan kegiatan menggunakan hasil analisis AHP untuk menjelaskan prioritas kebijakan pengembangan perikanan tangkap yang berbasis desa kluster. Hasil analisis AHP yang berkaitan dengan sensitivitas dapat memberikan arahan antisipasi dari penerapan prioritas kebijakan tersebut terhadap trend perubahan usaha atau industri perikanan berbasis desa kluster di Kota Ambon.-

(24)

4.1 Keberadaan Variabel Status Desa

Keberadaan usaha perikanan, sarana penunjang usaha perikanan, dan aspek sosial budaya setiap desa pesisir, berdasarkan metodologi yang dipaparkan dalam bab 3 sebagai dasar untuk penentuan status desa pesisir di Kota Ambon, akan disajikan pada bagian ini. Secara umum, usaha perikanan masyarakat desa-desa pesisir di Kota Ambon masih konvensional, yaitu hanya bertumpu pada usaha penangkapan semata, usaha budidaya maupun pengolahan relatif tidak ada, atau hanya di beberapa desa pesisir saja. Demikian halnya dengan sarana penunjang usaha perikanan, sangat minim, dan hanya terdapat pada beberapa desa saja, itupun hanya di desa-desa pesisir yang berdekatan dengan sentra ekonomi Kota Ambon. Namun, dari sisi sosial budaya, secara umum, sangat mendukung atau kondusif atau memenuhi syarat untuk berkembangnya usaha perikanan. Deskripsi keberadaan berbagai variabel status desa pesisir secara rinci per kecamatan, disajikan dibawah ini.

4.1.1 Keberadaan variabel status desa di Kecamatan Leitimur Selatan

Kecamatan Leitimur Selatan terdiri atas 8 desa, dengan 6 desa pesisir, yaitu Desa Naku, Desa Kilang, Desa Hukurila, Desa Hutumuri, Desa Rutong, dan Desa Leahari, sedangkan 1 desa berada ditengah pegunungan, yaitu Desa Emma. Desa Leahari merupakan ibukota Kecamatan Leitimur Selatan. Kecamatan ini adalah kecamatan termuda, yang dimekarkan dari Kecamatan Sirimau dan Kecamatan Baguala, dan juga adalah kecamatan yang paling sedikit jumlah penduduknya (hanya sekitar 5% dari total penduduk Kota Ambon). Desa Hutumuri merupakan desa terluas di Kecamatan Leitimur Selatan dengan luas 15 km2. Desa Hutumuri dan Desa Rutong merupakan dua desa yang paling dekat dengan ibukota kecamatan. Secara umum, desa-desa tersebut membentang disepanjang pesisir timur Kota Ambon dan berbatasan dengan dengan Laut Banda.

Penduduk di kecamatan ini bekerja diberbagai lapangan pekerjaan, dan yang paling dominan (65,7%) bekerja sebagai petani (lihat Gambar 6). Jenis tanaman pertanian yang dikerjakan oleh penduduk adalah tanaman hortikultura. Dengan luas areal pertanian yang tidak begitu luas (kurang dari 100 ha) dan umumnya hasil pertanian penduduk di kecamatan ini hanya untuk dikonsumsi sendiri (kalaupun ada

(25)

yang dijual, jumlahnya relatif sedikit). Kemudian jika dikaitkan dengan struktur ekonomi kecamatan ini (lihat Gambar 8), dimana sektor pertanian hanya menyumbangkan 21% PDRB kecamatan ini, dan sebagian besar adalah kontribusi sub-sektor perikanan, maka dapat dikatakan bahwa sebagian besar penduduk di kecamatan ini berpenghasilan rendah.

Setelah lapangan kerja sebagai petani, urutan kedua adalah jenis pekerjaan sebagai PNS (8,43%) dan pengusaha/pemilik usaha (8,32%). Sementara itu, penduduk yang bekerja sebagai nelayan hanya 1,84%, tetapi memberi kontribusi terhadap PDRB yang cukup besar (sekitar 16% terhadap PDRB kecamatan). Dapat diartikan bahwa penghasilan nelayan relatif lebih tinggi dibanding mayoritas penduduk yang bekerja sebagai petani. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa mayoritas penduduk di kecamatan ini bekerja di sektor tradisional.

Gambar 6 Grafik pekerjaan penduduk di Kec. Leitimur Selatan

Tingkat pendidikan angkatan kerja di kecamatan ini relatif sedang, karena tingkat pendidikan angkatan kerja seimbang antara yang berpendidikan SD di bandingkan dengan yang berpendidikan SMP dan SMA/SMK, sedangkan yang berpendidikan tinggi relatif sedikit (lihat Gambar 7)

Pensiunan Pedagang Nelayan Transportasi/Sopir Buruh Harian Lepas Penata Rias/Busana/Rambut Penterjemah Dosen/Peneliti Arsitek/Akuntan/Konsultan Wartawan Pengusaha/Pemilik Usaha 3,19%8,43% 0,68% 0,57% 65,76% 0,00%0,24%1,84% 0,03%1,13%4,10% 0,19% 0,08% 0,11% 0,14% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00%0,43% 0,05% 0,08%3,29% 0,03% 0,03% 0,00% 0,03% 0,00%0,30% 0,16%0,81%8,32%

(26)

Gambar 7 Grafik tingkat pendidikan angkatan kerja di Kec. Leitimur Selatan

Struktur ekonomi kecamatan ini didominasi oleh tiga sektor, yaitu perdagangan, hotel dan restoran, disusul jasa-jasa, dan pertanian (lihat Gambar 8).

Gambar 8 Struktur ekonomi di Kecamatan Leitimur Selatan

Khusus untuk sektor pertanian, sekitar 80% di kontribusi oleh sub-sektor perikanan. Artinya, sub-sektor perikanan mempunyai kontribusi yang signifikan terhadap produk domestik regional bruto kecamatan ini. Kontribusi sub-sektor perikanan di kecamatan ini meningkat tiap tahun. Meningkatnya kontribusi sub-sektor perikanan ini terlihat pada produksi perikanan yang meningkat setiap tahun. Peningkatan produksi perikanan yang meningkat setiap tahun ini, juga karena ditunjang oleh intervensi program bantuan alat tangkap maupun armada penangkapan dari pemerintah kota/daerah.

Dibalik hasil produksi perikanan yang meningkat tersebut, ternyata tingkat pendidikan nelayan di kecamatan ini relatif rendah (lihat Gambar 9), dimana bagian

Pertanian 21% Pertambanga n dan Penggalian 0% PengolahanIndustri 1% Listrik & Air Minum 1% Bangunan 1% Perdagangan, Hotel & Restoran 36% Angkutan & Komunikasi 7% Keuangan, Per sewaan & Jasa Perusahaan 0% Jasa-jasa 32%

(27)

terbesar (54%) tingkat pendidikan nelayan hanya tamatan SD. Hal ini merupakan cerminan tingkat pendidikan angkatan kerja di kecamatan ini (lihat Gambar 7), dan juga karena sumber rekrut nelayan tidak berasal dari luar kecamatan (lihat Tabel 11).

Gambar 9 Tingkat Pendidikan Nelayan di Kec. Leitimur Selatan

Bila melihat potensi desa dan perkembangan usaha perikanan terutama di bidang perikanan tangkap, maka desa-desa peisisr tersebut sedikit berbeda satu sama lain. Sektor perikanan di kecamatan ini cukup signifikan dengan kontribusi 15,77% terhadap PDRB kecamatan. Namun tingkat kemiskinan penduduk di kecamatan ini cukup tinggi yaitu 21,3% pada tahun 2011, lebih rendah dari tahun 2008 (22,6%).

Tingginya tingkat kemiskinan di kecamatan ini, jika dikaitkan dengan mayoritas penduduk yang bekerja di sektor pertanian, mengindikasikan bahwa mata pencaharian sebagai petani yang hanya bercocok tanam tanaman hortikultura, tidak mampu mengangkat masyarakat kecamatan ini dalam mengurangi tingkat kemiskinan. Disisi lain, topografi yang bergunung terjal tidak memungkinkan untuk dikembangkan pertanian tanaman pangan secara maksimal, sementara lahan laut yang potensial terbentang luas dihadapan setiap desa pesisir. Artinya bahwa sesungguhnya laut adalah lahan usaha yang potensial bagi penduduk pesisir di kecamatan ini. Lahan laut memang telah diusahakan oleh penduduk pesisir kecamatan ini. Hal ini terlihat dari keberadaan usaha perikanan, sarana penunjang usaha perikanan, maupun aspek sosial budaya seperti tergambar pada Tabel 11.

SD 54% SMP & SMA 45% PT 1%

(28)

Tabel 11 Daftar skor capaian indikator variabel status desa di Kecamatan Leitimur Selatan

Tabel di atas memberi gambaran bahwa, selain Desa Hutumuri, di kelima desa yang lain, masyarakatnya masih konvensional dalam usaha perikanan. Karena usaha perikanan nya belum mengalami diversifikasi usaha, dan tetap bertumpu pada perikanan tangkap yang konvensional. Faktor sarana penunjang usaha perikanan juga sangat minim, selain Desa Hutumuri, di kelima desa lainnya, sarana penunjang usaha perikanan dapat dikatakan tidak ada. Sementara itu, dari segi kondisi sosial-budaya masyarakat dalam kerangka pengembangan usaha perikanan, tiga desa, yaitu Naku, Hukurila, dan Hutumuri, yang masyarakatnya relatif terbuka, sedangkan tiga desa lainnya, masyarakat masih belum begitu terbuka.

Indikator / Kriteria Desa Skor Desa

Naku Kilang Hukurila Hutumuri Rutong Leahari ASPEK USAHA PERIKANAN

Unit usaha penangkapan 2 2 2 3 2 2

Unit usaha budidaya 1 2 1 2 1 1

Unit usaha pengolahan 1 2 1 3 1 1

Unit usaha pemasaran 2 2 2 2 2 2

Teknologi produksi 3 2 3 3 2 2

Metode Operasi 3 2 3 3 2 2

Jumlah Skor 12 12 12 16 10 10 SARANA PENDUKUNG/PENUNJANG USAHA PERIKANAN

Pabrik Es 1 1 1 1 1 1

Koperasi 1 1 2 3 1 1

Bank & Lembaga Keuangan Lain 1 1 1 2 1 1

Jumlah Skor 3 3 4 6 3 3

ASPEK SOSIAL-BUDAYA

Spesifikasi Mata Pencaharian Penduduk di

Bidang Perikanan 2 3 3 3 3 2

Kualitas SDM Desa 2 1 2 1 1 2

Kualitas TK Usaha perikanan 2 1 2 1 1 2

Asal TK usaha perikanan 3 3 3 3 3 3

Tempat penjualan alat

produksi/pengolahan 2 1 2 2 2 2

Tata nilai dalam menjalankan usaha

perikanan 2 1 2 2 1 1

Pembauran etnis dalam usaha perikanan 2 1 2 2 1 1

Pengawasan sosial 3 3 1 3 1 1

(29)

4.1.2 Keberadaan variabel status desa di Kecamatan Teluk Ambon Dalam Kecamatan Teluk Ambon adalah kecamatan pesisir yang berada pesisir utara Teluk Ambon, dengan jumlah desa sebanyak tujuh desa dan satu kelurahan, dimana ke tujuh desa tersebut adalah pesisir yaitu Laha, Tawiri, Hatiwe Besar, Wayame, Rumah Tiga, Poka, dan Hunut, sedangkan satu-satunya kelurahan, yaitu Kelurahan Tihu, tidak terletak di pesisir. Jumlah penduduk di kecamatan ini hamper 20% dari jumlah penduduk Kota Ambon, dan merupakan kecamatan yang luas daratan terbesar dibanding dengan empat kecamatan lainnya. Walaupun merupakan kecamatan dengan daratan terluas, tingkat kepadatan penduduk termasuk tinggi, yaitu 332 penduduk/km2.

Penduduk di kecamatan ini, sebagian besar (27%) bekerja sebagai petani (lihat Gambar 10). Petanian di kecamatan ini adalah tanaman pangan yang merupakan salah satu pemasok sayuran di Pasar Ambon. Kontribusi sub-sektor pertanian tanaman pangan terhadap PDRB kecamatan, realtif kecil (hanya sekitar 8%). Hal ini berbeda dengan penduduk yang bekerja sebagai nelayan yang hanya 2,74%, tetapi kontribusi sub-sektor perikanan terhadap PDRB sebesar 14,3%.

Gambar 10 Grafik jenis pekerjaan penduduk di Kecmatan Teluk Ambon

Urutan berikut lapangan pekerjaan yang ditekuni oleh penduduk di kecamatan ini, ialah sebagai pengusaha/pemilik usaha (21,04%), dan PNS (14,6%), serta jenis pekerjaan lain yang besaran nya di bawah 10%. Dengan demikian, dapat

Pensiunan Pedagang Nelayan Transportasi/Sopir Buruh Harian Lepas Penata Rias/Busana/Rambut Penterjemah Dosen/Peneliti Arsitek/Akuntan/Konsultan Wartawan Pengusaha/Pemilik Usaha 4,28%5,49% 14,60% 3,60% 27,00% 0,08%0,26%2,74% 0,69%2,67% 8,12% 0,94% 0,83% 0,12%0,50% 0,04%0,06% 0,00% 0,00%0,59% 0,03%1,35%3,14% 0,02% 0,00%0,14%0,16% 0,00%0,05%0,82% 21,04% 0,62%

(30)

disimpulkan bahwa penduduk di kecamatan sebagian besar bekerja di sektor moderen.

Sarana pendidikan yang ada di kecamatan ini cukup lengkap, mulai dari TK sampai perguruan tinggi. Bahkan pendidikan tinggi kelautan dan perikanan berada di kecamatan ini, yaitu Fakultas Perikanan & Ilmu Kelautan, dan Fakultas Teknik Perkapalan maupun lembaga riset, yaitu Lembaga Oceanografi Nasional LIPI, dan Balai Pengembangan Perikanan. Tercatat ada 58 sekolah di kecamatan ini, yang terdiri atas 9 TK, 34 SD, 8 SMP, 5 SMA, dan 2 SMK. Dengan adanya lembaga pendidikan yang demikian lengkap di kecamatan ini, juga berdampak terhadap tingkat pendidikan angkatan kerja yang cukup tinggi, yaitu 65% berpendidikan SMP sampai perguruan tinggi (lihat Gambar 11).

Gambar 11 Tingkat pendidikan angkatan kerja di Kec. T.Ambon

Hal yang kontras terlihat pada tingkat pendidikan nelayan, dimana 53% nelayan hanya berpendidikan SD. Jika dibandingkan dengan tingkat pendidikan angkatan kerja seperti dikemukakan sebelumnya, dapat dikatakan bahwa angkatan kerja terbanyak yang bekerja sebagai nelayan adalah hanya tamatan SD, dan nampaknya minat lulusan pendidikan yang lebih tinggi untuk bekerja sebagai nelayan relatif rendah. Apa yang menyebabkan demikian, diperlukan kajian/ penelitian tersendiri tentang hal ini. Namun, dugaan sementara ialah persepsi penduduk berpendidikan lebih tinggi terhadap pekerjaan sebagai nelayan pekerjaan tradisional yang penghasilan rendah.

TS + SD 35% SMP + SMA 53% PT 12%

(31)

Gambar 12 Tingkat pendidikan nelayan di Kec. Teluk Ambon

Dari segi sosial, masyarakat di kecamatan ini heterogen, baik dari segi etnis maupun agama. Lebih dari dua etnik penduduk yang mendiami kecamatan ini, demikian juga pemeluk agama. Semua pemeluk agama (Kristen, Islam, Hindu dan Budha) ada di kecamatan ini. Dengan demikian, dari segi sosial, masyarakat di kecamatan ini dapat dikatakan sebagai masyarakat yang sudah terbuka.

Struktur ekonomi di kecamatan ini, dapat dikatakan cukup modern. Hal ini terlihat pada kontribusi sektoral terhadap PDRB kecamatan ini, dimana sektor modern cukup dominan (lihat Gambar 13). Dominannya sektor angkutan dan komunikasi di kecamatan ini, karena semua moda angkutan (darat, laut dan udara) beroperasi dan berdomisili di kecamatan ini. Moda angkutan darat misalnya, terdapat sekitar 244 angkutan penumpang yang beroperasi di kecamatan ini (Kecamatan Teluk Ambon, 2010). Ini menunjukan mobilitas manusia dan barang yang masuk dan keluar kecamatan ini cukup tinggi dan lancar.

Khusus kontribusi di sektor pertanian, yang terdiri atas sub-sektor pertanian tanaman pangan, sub-sektor peternakan, dan sub-sektor perikanan, dan menduduki peringkat kedua (kontribusi 29% terhadap PDRB) dalam struktur ekonomi kecamatan ini, sub-sektor perikanan yang memberi kontribusi yang besar (sekitar 70% dari total kontribusi sektor pertanian). Artinya, sub-sektor perikanan merupakan salah satu kontributor PDRB terbesar di kecamatan ini.

SD 54% SMP & SMA 46% Perguruan Tinggi 0%

(32)

Gambar 13 Struktur ekonomi Kecamatan Teluk Ambon

Besarnya kontribusi sub-sektor perikanan terhadap PDRB kecamatan ini, yaitu 14,3% atau urutan ketiga setelah sektor angkutan & komunikasi dan sektor listrik & air minum, tidak terlepas dari usaha perikanan yang cukup maju di kecamatan ini (tabel 12). Dari tabel 12 dapat dikatakan bahwa desa-desa pesisir di kecamatan ini relatif agak maju usaha perikanannya, dibanding dengan desa-desa pesisir di Kecamatan Leitimur Selatan, yang fishing ground nya relatif lebih dekat. Selain itu, usaha perikanan di kecamatan ini sebagian desa telah terdiversifikasi, teknologi produksi maupun metode operasi yang digunakan para nelayan di kecamatan ini, juga semakin maju, dan sudah tidak tradisional lagi.

Hal lain yang cukup mendukung/menunjang usaha perikanan di kecamatan ini, ialah disemua desa pesisir ada koperasi yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung pengembangan usaha perikanan. Dari segi sosial, masyarakat di kecamatan ini relatif terbuka, karena di semua desa pesisir, didiami oleh lebih dari satu etnis. Dan semua tenaga kerja (nelayan) berasal dari desa sendiri, artinya ketersediaan tenaga kerja yang mau bekerja di usaha perikanan ada di semua desa pesisir. Dengan demikian, usaha perikanan di tiap desa memberi dampak terhadap penyerapan tenaga kerja yang ada di desa. Namun, seperti yang dikemukakan sebelumnya, minat tenaga kerja berpendidikan menengah dan terutama pendidikan tinggi untuk bekerja di sektor perikanan ini masih rendah.

Walau sebagian besar desa pesisir di kecamatan ini, termasuk cukup baik, dikaitkan dengan pengembangan usaha perikanan, namun diversifikasi usaha perikanan masih belum terlalu variatif, karena masih berkisar pada usaha penangkapan dan budidaya ikan serta pengolahan hanya pengasapan ikan.

Pertanian 29% Pertambang an dan Galian 0% Industri Pengolahan 1% Listrik & Air Minum 1% Bangunan 1% Perdaganga n, Hotel & 15% Angkutan & Komunikasi 35% Keuangan, Persewaan 4% Jasa-jasa14%

(33)

Tabel 12 Daftar skor capaian indikator variabel status desa di Kecamatan Teluk Ambon Dalam

Indikator / Kriteria Desa Skor Desa

Laha Tawiri Hative Besar Wayame Rumah Tiga Poka Hunut ASPEK USAHA PERIKANAN

Unit usaha penangkapan 3 2 2 2 2 2 2

Unit usaha budidaya 1 1 1 2 2 2 2

Unit usaha pengolahan 2 1 2 1 1 2 1

Unit usaha pemasaran 3 3 2 3 3 2 2

Teknologi produksi 3 2 3 3 3 3 3

Metode operasi 3 2 3 2 3 3 3

Jumlah Skor 15 11 13 13 14 14 13 SARANA PENDUKUNG/PENUNJANG AKTIVITAS USAHA PERIKANAN

Pabrik Es 2 1 1 1 1 1 1

Koperasi 2 2 2 3 2 2 2

Bank & Lmb Keuangan Lain 1 1 1 2 2 1 1

Jumlah Skor 5 2 4 6 5 4 4

ASPEK SOSIAL BUDAYA

Spesifikasi Mata Pencaharian

Penduduk di Bid. Perikanan 3 3 2 3 2 3 3

Kualitas SDM Desa 2 2 3 3 3 2 2

Kualitas TK Usaha perikanan 1 1 1 1 2 2 2

Asal TK usaha perikanan 3 3 3 3 3 3 3

Tempat penjualan alat produksi/

pengolahan 2 2 3 2 2 2 2

Tata nilai dalam menjalankan usaha

perikanan 3 1 2 1 2 2 2

Pembauran etnis dalam usaha

perikanan 2 2 2 3 2 3 3

Pengawasan sosial 2 3 3 1 1 3 3

Jumlah Skor 18 17 19 17 17 20 20

4.1.3 Keberadaan variabel status desa di Kecamatan Teluk Ambon Baguala Kecamatan Teluk Ambon Baguala terdiri atas 6 desa dan 1 kelurahan, yaitu Desa Waiheru, Desa Nania, Desa Negeri Lama, Desa Passo, Kelurahan Lateri, Desa Halong, Desa Latta, yang seluruhnya berada di pesisir Teluk Ambon. Desa Halong dan Desa Passo merupakan desa terluas di kecamatan ini, yaitu dengan luas masing-masing 16 km2 dan 11,38 km2. Sebaliknya Desa Latta merupakan desa terkecil,

(34)

yaitu dengan luas 0,10 km2. Desa Waeheru merupakan yang paling jauh dari ibukota kecamatan yang berkedudukan di Desa Passo, dengan jarak sekitar 5 km. Kecamatan Teluk Ambon Baguala ini dilintasi oleh dua sungai dimana sungai terpanjangnya, yaitu Sungai Way Tonahitu (6 km). Menurut Zulkarnain (2007), luas, karakeristik alam, dapat potensi desa dapat menjadi pertimbangan bagi pengembangan usaha ekonomi desa.

Dari segi kependudukan, walau jumlah penduduk kecamatan ini bukan yang terbanyak, hanya sekitar 20% dari jumlah penduduk Kota Ambon, namun tingkat kepadatan penduduk yang cukup tinggi, yaitu 1.229,79 penduduk per km2. Namun tingkat kepadatan penduduk bervariasi di tiap desa, yaitu antara 313 jiwa/km2 hingga 22.175 jiwa/km2, dengan tingkat kepadatan tertinggi di Desa Nania, yaitu 22.175 jiwa/km2, walau bukan merupakan desa yang terbanyak penduduknya, karena Desa Passo adalah desa berpenduduk terbanyak (39,5% dari total penduduk kecamatan) di kecamatan ini, tetapi kepadatan penduduk hanya 1.711 jiwa/km2.

Penduduk di kecamatan ini terbanyak bekerja sebagai PNS (22,01%), yang hampir seimbang dengan yang bekerja sebagai pengusaha/pemilik usaha (19,05%). Penduduk yang bekerja sebagai petani, sebagaimana umumnya penduduk desa, hanya 12,57% atau urutan ketiga (lihat Gambar 14), padahal hasil pertanian tanaman pangan yang dihasilkan oleh petani di kecamatan ini merupakan salah satu pemasok utama di pasar Passo maupun pasar Ambon. Dengan penduduk yang bekerja sebagai petani, peternak dan nelayan di kecamatan ini, yang secara total hanya 13,87%, menunjukan bahwa mayoritas penduduk di kecamatan ini memilih bekerja di sektor moderen. Hal ini, dipengaruhi oleh kebijakan Pemerintah Kota Ambon untuk menjadikan Passo (ibukota kecamatan) sebagai kota orde kedua (RPJM Kota Ambon 2006-2011). Terlihat jelas dari total penduduk yang bekerja sebagai pengusaha/pemilik usaha, pedagang, dan karyawan swasta, sebesar 32,6%.

Urutan keempat pekerjaan penduduk ialah yang bekerja sebagai anggota TNI dan Polri (11,92%). Banyaknya penduduk yang bekerja sebagai anggota TNI dan Polri di kecamatan ini, karena terdapat asrama TNI AL dan asrama Polri.

(35)

Gambar 14 Grafik pekerjaan penduduk di Kec. Baguala

Di bidang pendidikan, kecamatan ini cukup maju, dilihat dari banyaknya sekolah maupun tingkat pendidikan rata-rata angkatan kerja (penduduk usia kerja). Jumlah sekolah di kecamatan ini sebanyak 57 sekolah, terdiri atas 10 TK, 30 SD, 9 SMP, 6 SMA, dan 2 SMK. Dengan jumlah sekolah yang demikian banyak, juga memberi akses yang lebih besar bagi masyarakat untuk menikmati pendidikan. Hal ini tercermin dari tingkat pendidikan angkatan kerja yang cukup tinggi, yaitu 78% berpendidikan SMP ke atas (lihat Gambar 15).

Gambar 15 Grafik tingkat pendidikan angkatan kerja di Kec. Baguala

Cukup tingginya pendidikan penduduk di kecamatan ini didukung oleh jumlah sekolah yang demikian banyak, yaitu berjumlah 58 sekolah, yang terdiri atas TK sebanyak 10, SD sebanyak 30, SMP sebanyak 9, SMA sebanyak 6, dan SMK 3.

Pensiunan Pedagang Nelayan Transportasi/Sopir Buruh Harian Lepas Penata Rias/Busana/Rambut Penterjemah Dosen/Peneliti Arsitek/Akuntan/Konsultan Wartawan Pengusaha/Pemilik Usaha 6,72% 22,01% 11,92% 1,56% 12,57% 0,07%1,23% 0,01%0,06% 0,51% 11,96% 0,73%1,46% 0,55%0,91% 0,03%0,07% 0,00% 0,00%1,19% 0,14%0,97% 4,42% 0,03% 0,02%0,26% 0,43% 0,01%0,95% 0,03% 19,05% 0,12%

Jenis Pekerjaan Penduduk Kec. Baguala

TS + SD 22% SMP + SMA 67% PT 11%

(36)

Tiga SMK di kecamatan ini, berbeda bidang ketrampilan/kejuruan, yaitu masing-masing kejuruan perikanan, kejuruan pertanian, dan kejuruan teknologi dan perkapalan. Dengan demikian, banyaknya sekolah dan beragamnya sekolah kejuruan di kecamatan ini, memberi akses yang luas dan variatif kepada penduduk dikecamatan ini dalam memilih pendidikan yang sesuai. Tingginya pendidikan penduduk, juga diikuti dengan tingginya pendidikan para nelayan (lihat Gambar 16).

Gambar 16 Grafik Pendidikan Nelayan di Kec. Baguala

Struktur ekonomi kecamatan ini di dominasi oleh sektor moderen, yaitu sektor jasa-jasa (27%), dan sektor perdagangan, hotel dan restoran (26%), sedangkan sektor pertanian menempati urutan ketiga kontribusinya terhadap PDRB kecamatan ini (lihat Gambar 17). Dominasi sektor moderen terhadap struktur ekonomi kecamatan ini, sebagai konsekuensi dari kebijakan Pemerintah Kota Ambon pada tahun 2006 untuk membatasi pembangunan pusat bisnis baru dipusat kota dan mendorong aktivitas perdagangan dan jasa-jasa ke Passo (ibukota kecamatan) sebagai kota orde kedua. Kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB sebesar 22%, yang merupakan akumulasi dari sub-sektor pertanian tanaman pangan, peternakan, dan perikanan. Dan sub-sektor perikanan memberi kontribusi sekitar 65% terhadap sektor pertanian ini. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa kontribusi sub-sektor perikanan terhadap PDRB kecamatan ini sebesar 14%, atau kontributor terbesar ketiga. SD ke Bawah 20% SMP & SMA 73% Perguruan Tinggi 7%

(37)

Gambar 17 Grafik PDRB Kecamatan Baguala

Di bidang perikanan, desa-desa pesisir ini cukup diandalkan sebagai kontribur bidang perikanan terutama perikanan tangkap di Kota Ambon. Namun demikian, kegiatan perikanan di desa-desa pesisir tersebut masih perlu dikembangkan karena beberapa potensi desa belum termanfaatkan secara optimal. Hal ini terlihat pada tabel 13 dimana usaha pengolahan sama sekali minim di kecamatan ini, karena hanya ada di Desa Halong dan Desa Latta, serta hanya usaha pengasapan ikan saja. Selain itu, sarana penunjang usaha perikanan sangat minim, dimana pada semua desa tidak ada pabrik es, padahal usaha penangkapan memerlukan es untuk menjaga kualitas ikan hasil tangkapan, apalagi fishing ground agak jauh di banding desa-desa pesisir di kecamatan lainnya.

Pertanian 22% Pertamban gan dan Penggalian 1% Industri Pengolahan 8% Listrik & Air Minum 2% Bangunan 1% Perdaganga n, Hotel & Restoran 26% Angkutan & Komunikasi 5% Keu, Perse waan & Jasa Perusahaan 8% Jasa-jasa 27%

(38)

Tabel 13 Daftar skor capaian indikator variabel status desa di Kecamatan Teluk Ambon Baguala

Indikator / Kriteria Desa

Skor Desa Nania Waeheru Negeri

Lama Passo Lateri Halong Latta ASPEK USAHA PERIKANAN

Unit usaha penangkapan 2 2 2 2 2 3 2

Unit usaha budidaya 2 2 2 2 2 2 2

Unit usaha pengolahan 1 1 1 1 1 2 2

Unit usaha pemasaran 3 2 2 3 2 2 2

Teknologi produksi 1 1 1 2 3 3 2

Metode operasi 1 1 1 2 2 2 2

Jumlah Skor 10 9 9 12 12 14 12 SARANA PENDUKUNG/PENUNJANG AKTIVITAS USAHA PERIKANAN

Pabrik Es 1 1 1 1 1 1 1

Koperasi 2 1 2 2 2 2 2

Bank & Lmbg Keuangan Lain 2 1 1 3 2 1 1

Jumlah Skor 5 3 4 6 5 4 4

ASPEK SOSIAL BUDAYA

Spesifikasi Mata Pencaharian Penduduk

di Bidang Perikanan 3 2 3 3 3 3 3

Kualitas SDM Desa 3 3 3 3 3 3 3

Kualitas TK Usaha perikanan 3 3 3 3 3 3 3

Asal TK usaha perikanan 3 3 3 3 3 3 3

Tempat penjualan alat produksi/

pengolahan 2 2 2 3 2 2 2

Tata nilai dalam menjalankan usaha

perikanan 1 1 1 2 2 2 1

Pembauran etnis dalam usaha perikanan 2 2 1 2 2 1 3

Pengawasan sosial 3 3 3 1 3 1 3

Jumlah Skor 20 19 19 20 21 18 21

4.1.4 Keberadaan variabel status desa di Kecamatan Sirimau

Kecamatan Sirimau ini terdiri atas 3 desa dan 11 kelurahan, dan desa/kelurahan yang termasuk wilayah desa/kelurahan pesisir ada empat, yaitu Desa Batu Merah, Kelurahan Pandan Kasturi, Desa Hative Kecil, dan Desa Galala. Desa Hative kecil merupakan desa pesisir terjauh dari ibukota kecamatan Sirimau, yaitu dengan jarak sekitar 8 km. Keempat desa/kelurahan pesisir tersebut berbatasan

Gambar

Gambar 3 Peta Lokasi Penelitian  3.2.  Metodologi Penelitian Status Desa Pesisir
Tabel 6 Usia Responden
Gambar 4  Rancangan path diagram faktor-faktor kontekstual pengembangan BCR  (indikator kebijakan)
Tabel 8  Goodness-of-fit Index ( kriteria uji kesesuaian dan uji statistik)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Prototipe alat pengaduk dodol menghasilkan mutu dodol yang baik, dengan nilai 12.26 dari hasil uji organoleptik, pada putaran pengadukan 20 rpm dan kapasitas 4 kg, serta

Penetasan adalah perubahan intracapsular (tempat yang terbatas) ke fase kehidupan (tempat luas), hal.. ini penting dalam perubahan- perubahan morfologi hewan. Penetasan

Masalah yang dibahas dalam penulisan ini adalah cara memberikan warna kepada semua simpul-simpul yang ada, sedemikian rupa sehingga 2 simpul yang berdampingan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan patin segar, asap cair hasil destilasi, air, serbuk kitosan dan beberapa bahan kimia seperti PCA

Dengan demikian, yang dimaksud penegambil dalam penelitian ini adalah orang yang memetik atau mengambil sarang burung walet yang terdapat di goa-... goa yang berada di tebing

Dari 20 tanaman yang ditelaah dari sumber data review berupa jurnal dan internet, kayu manis memiliki efek hepatoprotektor terbesar dengan dosis 10 mg/Kg BB, diikuti

RADIO VISI INTI SWARA FM/H... JEMBER

Dari kenyataan diatas penulis memandang penelitian ini sangat perlu dilakukan dengan beberapa pertimbangan: Pertama, pendidikan karakter di sekolah atau madrasah