• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kata Kunci Acropora formosa, Acropora nobilis, densitas zooxanthellae, pertumbuhan karang, transplantasi.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kata Kunci Acropora formosa, Acropora nobilis, densitas zooxanthellae, pertumbuhan karang, transplantasi."

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Abstrak—Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui densitas zooxanthellae dan pertumbuhan karang Acropora formosa dan Acropora nobilis di perairan PLTU Paiton, Probolinggo. Penghitungan densitas zooxanthellae dilakukan dengan mendekalsifikasi fragmen karang, mencacah jaringannya, dan menghitung pada

haemocytometer sedangkan pertumbuhan karang diketahui dengan menggunakan metode morfometri panjang secara vertikal fragmen karang dan pertumbuhan cabang yang di transplantasi selama 4 bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Acropora formosa memiliki densitas zooxanthellae dengan rata-rata 5.122.928 sel/ cm² sedangkan Acropora nobilis memiliki densitas zooxanthellae dengan rata-rata 2.157.506 sel/ cm², laju pertumbuhan karang Acropora formosa dengan rerata 1.183 ±0.33 cm/bulan dan Acropora nobilis dengan rerata 1.14 ± 0.34 cm/ bulan. Korelasi antara densitas zooxanthellae dengan laju pertumbuhan pada karang

Acropora nobilis dan Acropora formosa signifikan dan berkorelasi positif. Semakin tinggi densitas zooxanthellae

pada karang Acropora nobilis dan Acropora formosa, semakin tinggi pula laju pertumbuhannya.

Kata Kunci—Acropora formosa, Acropora nobilis, densitas zooxanthellae, pertumbuhan karang,

transplantasi.

I. PENDAHULUAN

EMBANGKIT Listrik Tenaga Uap (PLTU) Paiton merupakan pusat pembangkit listrik yang menggunakan uap sebagai penggerak utama turbin untuk menghasilkan tenaga listrik. Sistem yang diterapkan di PLTU Paiton menggunakan air sebagai cairan kerja, dan air yang digunakan tidak hanya sebagai pengembun namun juga sebagai sarana pendingin turbin. Air pendingin yang bersuhu relatif tinggi berkisar 35,5°C dan bervolume 30-40 m³/detik tersebut secara terus menerus dilepas ke perairan di sekitarnya dan berakibat kenaikan suhu perairan dan lambat laun akan mempengaruhi lingkungan akuatik di sekitar PLTU Paiton [1]. Kenaikan suhu bisa mempengaruhi komunitas di perairan tersebut karena sebagian besar ikan dan invertebrata lainnya memiliki toleransi suhu yang sempit dan salah satunya adalah hewan karang.

Karang merupakan salah satu hewan yang termasuk dalam Filum Cnidaria yang mempunyai karakter khusus berupa bagian sengat (Cnida = jelatang) pada tubuhnya.

Hewan karang bisa menghasilkan kerangka kapur melalui proses kalsifikasi, khususnya pada Kelas Anthozoa, Ordo Scleractinia. Karang yang memiliki kemampuan menghasilkan kerangka kapur termasuk dalam karang hermatipik (hermatypic coral) yang tumbuhnya terbatas pada daerah hangat dengan penyinaran yang cukup serta adanya simbion alga (zooxanthellae) di dalam jaringan tubuhnya [2].

Zooxanthellae merupakan jenis dinoflagellata yang hidup di dalam jaringan karang. Zooxanthellae mampu berfotosintesis dan memproduksi bahan organik yang digunakan oleh hewan karang sehingga mampu menyediakan 95% nutrisi bagi hewan karang [3]. Kesehatan terumbu karang banyak ditentukan oleh faktor lingkungan seperti temperatur, radiasi, kecerahan, kandungan kalsium karbonat, turbiditas, sedimentasi, salinitas, pH dan nutrien.

Kondisi perairan PLTU Paiton yang terpengaruh oleh kegiatan PLTU memberikan dampak terhadap persentase penutupan karang bercabang yang berbeda di beberapa lokasi seperti Outlet dan Intake. Oleh karena itu,

Densitas Zooxanthellae dan Pertumbuhan Karang Acropora

formosa dan Acropora nobilis di Perairan Pembangkit Listrik

Tenaga Uap (PLTU) Paiton, Probolinggo, Jawa Timur

Fitri Wulandari Effendi dan Aunurohim

Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)

Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111 Indonesia e-mail: aunurohim@bio.its.ac.id

(2)

diperlukan adanya penelitian tentang densitas zooxanthellae dan pertumbuhan karang Acropora bercabang dari jenis Acropora formosa dan Acropora nobilis di perairan PLTU Paiton untuk mengetahui pengaruhnya terhadap pertumbuhan karang.

II. METODOLOGIPENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian

Gambar 8. Lokasi transplantasi (lokasi Intake, Barat dan Timur Outlet, Mercusuar) di PJB Paiton (modifikasi dari www.googleearth.com, 2013).

Penelitian dilakukan di Perairan PLTU Paiton di beberapa lokasi yaitu Intake, Barat dan Timur Outlet, dan Mercusuar. Sedangkan pengamatan densitas zooxanthellae karang dilakukan di Laboratorium Ekologi Jurusan Biologi ITS, Surabaya.

B. Tahap Transplantasi Fragmen Karang

Transplantasi dilakukan dengan menggunakan metode blok beton. Fragmen karang yang digunakan adalah fragmen karang dengan ukuran 10-13 cm. pemotongan dilakukan dengan menggunakan gunting besi, dan dilakukan pemindahan fragmen karang dari lokasi induk ke lokasi transplantasi dengan menggunakan bak. Setelah sampai di lokasi transplantasi, dilakukan pengikatan fragmen karang pada substrat dengan menggunakan kabel ties pada balok-balok beton tiap lokasi. Fragmen karang yang telah terikat pada blok beton, diukur panjangnya untuk mengetahui ukuran awal (L0).

C. Tahap Pengukuran Pertumbuhan Fragmen Karang Panjang fragmen karang awal (T0) dihitung saat awal

peletakan (deployment) untuk selanjutnya pengukuran dilakukan tiap bulan selama 4 bulan. Pengukuran dilakukan secara in-situ dengan cara SCUBA diving. Karang diukur panjangnya dengan menggunakan kaliper atau meteran jahit lalu dicatat pada kertas anti air (newtop). Dokumentasi saat pengukuran dilakukan

dengan menggunakan underwater kamera.

Pengukuran tingkat pencapaian panjang fragmen karang transplantasi dilakukan dengan menggunakan rumus [4] :

β = Lt – Lo Keterangan :

β = Pencapaian panjang fragmen karang transplantasi Lt = Rerata panjang fragmen karang pada bulan ke-t Lo = Rerata panjang fragmen karang pada bulan ke-o Pengukuran laju pertambahan panjang fragmen karang transplantasi dilakukan dengan menggunakan rumus:

α = Li+1 – Li

ti+1 – ti

Keterangan :

α = Laju pertambahan panjang atau lebar fragmen karang transplantasi

Li+1 = Rerata panjang fragmen karang pada bulan ke-i+

1

Li = Rata-rata panjang fragmen karang pada bulan ke-i ti+1 = Waktu ke-i + 1

ti = waktu ke-i

Setiap pengukuran panjang fragmen, juga dilakukan pengukuran parameter lingkungan yang meliputi suhu permukaan, suhu dasar perairan, salinitas, kecerahan, TSS, dan laju sedimentasi.

D. Tahap Pengambilan Zooxanthellae dari Jaringan Karang

Setelah 4 bulan ditransplantasi, dilakukan pemotongan pada fragmen karang. Fragmen karang dipotong dengan menggunakan gunting dan dimasukkan ke dalam botol sampel yang berisi fragmen karang, ditambahkan air laut dari lokasi yang sama dan ditambahkan formalin 10% untuk pengawetan.

Proses dekalsifikasi dilakukan dengan menggunakan larutan Morse [5] yang terdiri dari terdiri dari sodium sitrat 5% dan asam format 8% dengan volume sebanyak 20 kali volume jaringan yang diganti setiap harinya sampai proses tersebut selesai. Untuk mengetahui proses dekalsifikasi telah selesai, dilakukan uji yang menunjukkan bahwa dekalsifikasi tidak terjadi lagi dengan terbentuknya endapan CaO. Uji komplit dekalsifikasi menggunakan uji secara kimiawi dengan menggunakan Ammonium hidroksida 5% dan Ammonium oksalat 5%.

Setelah dekalsifikasi selesai, fragmen karang dicuci pada air mengalir selama 30 menit. Setelah itu, proses dilanjutkan dengan merendam fragmen karang pada larutan basa ammonia cair sebanyak 20 mL. setelah itu,

(3)

dicuci kembali dengan air mengalir selama 30 menit lalu fragmen karang diawetkan dalam formalin 10% untuk tahapan preparasi selanjutnya.

E. Tahap Penghitungan Zooxanthellae

Penghitungan zooxanthellae dimulai dengan cara memotong fragmen karang menjadi tiga bagian yang memiliki panjang 1 cm dimulai dari ujung percabangan. Fragmen karang dihancurkan dengan cara menggerus fragmen karang menggunakan gelas objek dengan gelas penutup yang dihimpitkan secara bersamaan untuk mengeluarkan zooxanthellae dari jaringan karangnya. Setelah halus, diencerkan dengan formalin dan diamati dengan menggunakan haemocytometer dan mikroskop compound perbesaran 400X. Penghitungan densitas zooxanthellae menggunakan kamar hitung 4X4 (16 kotak) dengan 3 kali pengulangan untuk masing-masing jenis karang dan masing-masing lokasi [6].

Hasil pencacahan zooxanthellae di bawah mikroskop dapat dihitung dengan rumus :

D = Q X P X10000 L Keterangan : D = Densitas zooxanthellae Q = Jumlah Penghitungan P = Pengenceran

L = Luasan Fragmen Karang

10000 = Konversi 0,1 mm3 menjadi 1 cm3 F. Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) faktorial. Data pertumbuhan fragmen karang dan densitas zooxanthellae yang diperoleh diolah menggunakan analisis Two Way dengan program SPSS-20. Selanjutnya dilakukan uji Tukey untuk mengetahui signifikansi perbedaan yang memberikan pengaruh terhadap variabel pertumbuhan dan densitas zooxanthellae. Selain itu, dilakukan uji korelasi Pearson antara densitas zooxanthellae dengan laju pertumbuhan juga menggunakan program SPSS-20.

III. HASILDANPEMBAHASAN A. Parameter Fisik- Kimia Lingkungan

Hasil rata-rata pengukuran parameter lingkungan serta batas optimum untuk pertumbuhan karang disajikan dalam tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1. Hasil pengukuran parameter lingkungan

Ket : M : Lokasi Mercusuar OB : Lokasi Barat Outlet In : Lokasi Intake OT : Lokasi Timur Outlet (*) : Di luar kisaran optimal

Dari pengukuran parameter lingkungan yang diperoleh, faktor fisik dan kimia di perairan PLTU Paiton beragam, beberapa parameter lingkungan masih dalam kisaran optimal sebagai habitat terumbu karang tetapi ada pula yang sebaliknya. Salah satu parameter yang berada di luar kisaran yaitu suhu yang mencapai 34,3°C di lokasi Timur Outlet. Apabila di rata-rata, semua lokasi memiliki kisaran suhu yaitu 32,5°C. Namun, suhu tersebut merupakan suhu di permukaan laut yang bisa mengalami perubahan saat mencapai dasar laut (tempat transplantasi fragmen karang). Menurut [16], menyebutkan bahwa perubahan suhu terjadi sebesar 0,1ºC untuk setiap pertambahan kedalaman satu meter.

Salinitas di semua lokasi berada di kisaran optimal dengan kisaran 32,3- 32,8 ppm dan rata-rata sebesar 32.7 ppm. Salinitas yang hampir sama ini dikarenakan lokasi satu dengan yang lainnya berjarak antara 1,23 - 3,08 kilometer dan juga tidak adanya muara sungai dan buangan run-off dari daratan yang menyebabkan perubahan salinitas di suatu perairan laut. Salinitas dapat mempengaruhi karang tergantung pada lamanya paparan dan perubahan salinitasnya. Salinitas yang lebih dari 35 ppm dapat menyebabkan mortalitas jaringan karang karena berkaitan dengan mekanisme osmoregulasi karang dalam menghadapi cekaman salinitas [17].

Parameter lain yang berada di luar kisaran optimal pertumbuhan karang yaitu tingkat kecerahan. Kecerahan yang optimal bagi karang memiliki kisaran minimum 5 meter. Lokasi transplantasi memiliki kisaran kecerahan sebesar 3,6 –5,7 meter dengan kecerahan paling tinggi ada pada lokasi Mercusuar dan yang paling rendah terdapat pada lokasi Barat Outlet (OB). Lokasi yang memiliki kisaran kecerahan yang optimal hanya pada lokasi Mercusuar. Tingkat kecerahan berkaitan dengan adanya partikel yang tersuspensi di perairan dan tingkat sedimentasi. Tingkat kecerahan di perairan yang rendah

Parameter Satuan Lokasi Sumber

M In OB OT Suhu permukaan °C 30,9* 31,8* 33* 34,3* Nybakke n, 1988 Suhu dasar °C 29,6 30,3* 30,4* 32.3* Salinitas ‰ 32.3 32.8 33 32.8

Kecerahan meter 5.75 3.63* 3.37* 3.75* Kepmen LH No 51. Th. 2004 TSS mg/lt 2.3 17.2 12.2 40.8* Sedimentasi mg/cm 2 / hari 0.37 0.17 0.54 0.43 Kordi, 2010

(4)

menyebabkan intensitas cahaya yang diterima karang akan menurun. Zooxanthellae sebagai mikroalga memerlukan cahaya untuk melakukan aktivitas fotosintesis. Pada perairan dengan kecerahan yang rendah menyebabkan cahaya yang sampai pada karang lebih rendah sehingga mampu menurunkan laju fotosintesis zooxanthellae [18].

Padatan tersuspensi total (TSS) merupakan ukuran zat tersuspensi baik zat organik maupun anorganik yang terdapat pada sebuah larutan. Sumber utama padatan tersuspensi dalam perairan adalah limbah rumah tangga dan industri [21]. Dari ke empat lokasi penelitian, hanya satu lokasi yang memiliki TSS di luar kisaran pertumbuhan karang yaitu pada lokasi Timur Outlet. TSS yang tinggi ini bisa menyebabkan berkurangnya penetrasi cahaya ke karang, hal ini juga menyebabkan kecerahan di lokasi tersebut rendah (3,75 meter). Kurangnya cahaya juga berpengaruh terhadap fotosintesis zooxanthellae dan pertumbuhan karang [19].

Pengaruh sedimentasi bisa berupa pengaruh langsung maupun tak langsung. Sedimen dengan ukuran yang besar bisa secara langsung menutupi polip karang, sedangkan pengaruh tak langsungnya yaitu dapat menghambat masuknya cahaya ke dalam perairan

[13]

.Pengaruh sedimentasi secara langsung berupa penutupan polip karang dapat diketahui berdasarkan jenis sedimen. Tetapi dalam penelitian ini, pengambilan data sedimentasi hanya dilakukan dengan mengukur berat sedimen saja, tidak membedakan berdasarkan ukuran sedimennya. Sehingga dalam penelitian ini mengarah pada pengaruh tak langsung sedimentasi terhadap karang. Semua lokasi masih berada dalam kisaran toleransi untuk pertumbuhan karang karena sedimentasi di empat lokasi kurang dari 1 mg/cm°/hari. Laju sedimentasi dengan kisaran 1-10 mg/cm°/hari memiliki dampak yang kecil dan dapat mengurangi kelimpahan karang dan menurunkan jumlah spesies [20].

B. Pertumbuhan Fragmen Karang Acropora formosa dan Acropora nobilis

Lokasi Acropora formosa Acropora nobilis

Mercusuar 1.50475 1.38675

Intake 1.39275 1.28

Barat Outlet 1.11425 1.220625

Timur

Outlet 0.721875 0.698265625

Gambar 2. Grafik rerata laju pertumbuhan fragmen karang transplantasi di empat lokasi.

Lokasi Mercusuar merupakan lokasi dengan kondisi yang optimal untuk pertumbuhan karang juga ditunjukkan oleh hasil transplantasi yang menunjukkan bahwa fragmen karang yang ditransplan mengalami pertumbuhan yang paling tinggi dengan rata-rata laju pertumbuhan 1,50 cm/bulan pada Acropora formosa dan 1,39 cm/bulan pada Acropora nobilis. Selain itu, lokasi ini mampu mendukung pertumbuhan karang dengan baik dikarenakan lokasi transplantasi yang sama dengan lokasi pengambilan bibit sehingga bisa mempermudah karang dalam melakukan adaptasi dan tidak menimbulkan banyak tekanan pada karang[7].

Lokasi Intake merupakan lokasi masuknya air laut untuk kegiatan PLTU. Dari semua parameter lingkungan yang diukur, hanya parameter kecerahan yang berada di luar kisaran optimal karang yaitu rata-rata 3,6 meter. Kecerahan yang rendah ini dapat dipengaruhi oleh parameter padatan tersuspensi (TSS) yang cukup tinggi yaitu 17,2 mg/ liter. Meskipun TSS di lokasi ini paling tinggi diantara lokasi yang lainnya namun masih berada di kisaran toleransi pertumbuhan karang. Hal ini ditunjukkan dengan adanya laju pertumbuhan dengan kisaran 1,39 cm/bulan pada Acropora formosa dan 1,28 cm/bulan pada Acropora nobilis.

Lokasi Barat Outlet juga memiliki karakteristik yang sama dengan lokasi Intake. Parameter lingkungan yang berada di bawah kisaran toleransi pertumbuhan karang yaitu suhu permukaan, suhu dasar perairan dan kecerahan. Arus yang terjadi pada saluran Outlet menyebabkan adanya arus bawah yang bersuhu rendah sehingga terdapat perbedaan antara suhu dasar dengan

(5)

permukaan cukup besar. Kecerahan di lokasi ini juga dipengaruhi oleh adanya debit air bahang dari Outlet sehingga menyebabkan laju sedimentasi yang paling tinggi (0,54 mg/cm²/hari) dibandingkan lokasi lainnya yang bisa dilihat pada tabel 5. Oleh karena itu, laju pertumbuhan fragmen karang di daerah ini memiliki kisaran yang lebih rendah daripada dua lokasi sebelumnya yaitu 1,22 cm/bulan pada Acropora formosa dan 1,11 cm/bulan pada Acropora nobilis. Menurut [13], adanya peningkatan sedimentasi terjadi bersamaan dengan adanya laju pertumbuhan yang semakin berkurang pada karang bercabang dan dapat mengubah morfologinya.

Lokasi Timur Outlet merupakan lokasi yang memiliki laju pertumbuhan paling rendah dibandingkan lokasi yang lain. Laju pertumbuhannya yaitu 0,72 cm/bulan pada Acropora formosa dan 0,99 cm/bulan pada Acropora nobilis. Parameter lingkungan di lokasi ini sebagian besar berada di luar kisaran toleransi pertumbuhan karang, antara lain suhu permukaan, suhu dasar perairan, kecerahan, dan TSS. Suhu dalam perairan memiliki rata-rata 32,8°C. Suhu yang mampu ditolerir oleh karang yaitu 25-30°C, sehingga laju pertumbuhan fragmen karang di lokasi ini diduga mengalami hambatan dan memiliki laju pertumbuhan yang paling rendah dibandingkan lokasi lainya.

Di lokasi Timur Outlet Acropora formosa memiliki laju pertumbuhan yang lebih rendah dibandingkan Acropora nobilis, hal ini dikarenakan Acropora formosa lebih rentan mengalami pemutihan (bleaching) saat suhu perairan meningkat [14]. Karang yang bleaching akan mengalami penurunan densitas zooxanthellae di dalam jaringannya. Berkurangnya densitas zooxanthellae akan mengurangi energi hasil fotosintesis zooxanthellae ke hewan karang sehingga mampu menghambat pertumbuhan karang [15].

Gambar 3. Ilustrasi pertumbuhan dan perbedaan percabangan fragmen karang (a) Acropora nobilis dan (b) Acropora formosa.

Acropora formosa memiliki bentuk pertumbuhan yang berbeda dari Acropora nobilis. Acropora formosa akan membentuk percabangan yang pendek dan rapat saat berada di perairan yang dangkal [8]. Lokasi penelitian

yang berada di kedalaman 5 meter dapat dikategorikan sebagai perairan dangkal [9]. Selain itu, jenis karang ini memiliki diameter cabang yang kecil (± 8 mm) sehingga memicu pertumbuhan dengan cara membentuk tunas baru yang lebih banyak [22]. Di penelitian ini, pembentukan cabang baru tidak hanya terjadi pada ujung percabangan namun juga pada bagian bekas pemotongan membentuk aksial koralit (cabang) baru.

Berkebalikan dengan Acropora formosa, Acropora nobilis memiliki karakter percabangan dengan diameter ± 15 mm atau 0,5 inci dan bisa mencapai 25 mm. Saat di perairan dangkal, percabangan bagian basal akan saling bergabung membentuk basal yang kuat [8] sehingga Acropora nobilis akan cenderung memperkuat koloninya terlebih dahulu sebelum membentuk percabangan yang lebih banyak. Penguatan basal cabang dilakukan dengan cara menempel pada substrat sehingga kabel ties pengikat fragmen tertutupi oleh koloni.

C. Densitas Zooxanthellae Karang Acropora formosa dan Acropora nobilis

Tabel 2. Tabel pengamatan densitas zooxanthellae (sel/ cm²)

Spesies Lokasi Pengulangan Rata-rata

(sel/ cm²) 1 2 3 4 Acropora formosa M 8.052.985 6.015.183 4.782.047 7.182.951 6.508.291 In 4.664.555 4.795.687 8.820.794 10.060.018 7.085.264 OB 7.903.246 5.457.671 7.447.420 6.784.282 6.898.155 OT 0 0 0 0 0 Acropora nobilis M 2.549.614 1.772.197 2.674.687 3.166.624 2.540.780 In 1.541.657 2.302.009 1.488.380 3.400.166 2.183.053 OB 2.925.251 1.468.002 2.113.121 3.103.555 2.402.482 OT 2.172.664 1.678.733 1.168.871 994.571 1.503.710

Ket : M : Lokasi Mercusuar OB : Lokasi Barat Outlet In : Lokasi Intake OT : Lokasi Timur Outlet

Hasil penghitungan zooxanthellae ditunjukkan pada tabel 2. Dari hasil penelitian, baik lokasi maupun jenis karang yang berbeda memberikan pengaruh yang nyata terhadap densitas zooxanthellae (P=0,000). Uji signifikansi (lampiran 2) menunjukkan bahwa lokasi Mercusuar, Intake, dan Barat Outlet memiliki kesamaan (Grup A) densitas zooxanthellae , namun tidak pada lokasi Timur Outlet (Grup B). Densitas zooxanthellae pada karang Acropora formosa yang tertinggi pada lokasi Intake dengan rata-rata 7.085.264 sel/ cm², sedangkan densitas terendah pada lokasi Timur Outlet, bahkan tidak didapatkan zooxanthellae pada lokasi ini karena telah mengalami bleaching. Densitas zooxanthellae pada karang Acropora nobilis yang tertinggi pada lokasi Mercusuar dengan rata-rata b

(6)

2.540.780 sel/ cm², sedangkan densitas terendah juga pada lokasi Timur Outlet dengan rata-rata 1.503.710 sel/ cm².

Zooxanthellae tersusun secara selapis (monolayer) di lapisan endoderm karang yang terdistribusi secara acak di bagian tertentu karang. Bagian karang yang terpapar oleh cahaya akan memiliki zooxanthellae lebih banyak daripada daerah yang tidak terkena paparan cahaya [10]. Acropora formosa yang memiliki banyak percabangan memungkinkan lebih banyak bagian yang terkena paparan cahaya. Berbeda dengan Acropora nobilis yang memiliki percabangan yang sedikit sehingga sedikit pula bagian karang yang dapat terpapar cahaya. Selain itu, Acropora nobilis memiliki ukuran polip yang besar dibandingkan ukuran jaringan coenosarc (bagian diatara polip). Menurut [23], menyebutkan bahwa Acropora nobilis memiliki densitas zooxanthellae yang lebih sedikit pada bagian polipnya daripada di jaringan coenosarc. Hal tersebut yang menyebabkan Acropora nobilis memiliki jumlah zooxanthellae yang lebih sedikit daripada Acropora formosa.

Gambar 4. Grafik rata-rata densitas zooxanthellae di tiap lokasi penelitian.

Lokasi Timur Outlet dengan densitas zooxanthellae terendah memiliki parameter lingkungan yang tidak sesuai dengan toleransi karang, dari parameter suhu (permukaan dan dasar perairan), TSS, dan kecerahan. Menurut [2], pertumbuhan karang tidak ditentukan oleh satu parameter lingkungan saja, beberapa parameter lingkungan dapat berpengaruh sehingga mampu menghambat pertumbuhan karang. Di lokasi ini terdapat tiga faktor yang tidak sesuai dan mampu mempengaruhi pertumbuhan serta densitas karang. Suhu yang tinggi mencapai 32°C mampu merusak membran dan protein zooxanthellae, merusak protein adhesi zooxanthellae ke karang, menyebabkan eksositosis dan pelepasan zooxanthellae pada sel-sel gastrodermal karang [11]. Sedangkan TSS yang tinggi menyebabkan kecerahan yang rendah dan mempengaruhi penetrasi cahaya ke karang sehingga laju fotosintesis zooxanthellae juga berkurang. pelepasan zooxanthellae yang terus menerus

dan tidak bisa mengalami pembelahan kembali di dalam jaringan karang akan menyebabkan karang benar-benar mati.

Menurut [11], kemampuan pulihnya (recovery) karang dari pemutihan tergantung dari kemampuan zooxanthellae melakukan penggandaan diri dan tergantung waktu penggandaan diri (doubling time). Acropora formosa yang memiliki densitas zooxanthellae harus dapat mengembalikan jumah populasi di dalam jaringan karangnya saat mengalami bleaching. Namun diperlukan waktu yang lebih lama untuk mengembalikan kondisi ke densitas zooxanthellae semula. Sehingga hal inilah yang menyebabkan Acropora formosa lebih rentan terhadap kondisi bleaching.

D. Korelasi Densitas Zooxanthellae dengan Laju Tumbuh Fragmen Karang

Tabel 3. Hasil uji korelasi Pearson densitas

zooxanthellae dan laju pertumbuhan fragmen karang

Correlations Laju Tumbuh

Densitas

LajuTumbuh Pearson Correlation 1 .534**

Sig. (2-tailed) .002

N 32 32

Densitas Pearson Correlation .534** 1

Sig. (2-tailed) .002

N 32 32

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Hasil uji korelasi Pearson pada tabel 3. menunjukkan bahwa densitas zooxanthellae memiliki pada karang Acropora formosa dan Acropora nobilis memiliki korelasi dengan laju pertumbuhan karangnya. Korelasi di keduanya merupakan korelasi positif dengan nilai signifikansi sebesar 0.002. Korelasi yang positif ini menunjukkan bahwa semakin tinggi densitas zooxanthellae pada kedua karang tersebut, semakin tinggi pula laju pertumbuhannya. Hal ini berkaitan dengan semakin banyaknya fotosintesis yang dilakukan oleh zooxanthellae akan meningkatkan laju pengendapan kalsium karbonat (kalsifikasi) sehingga laju pertumbuhannya juga meningkat.

Zooxanthellae mampu meningkatkan kalsifikasi karang dan berkontribusi dalam pembentukan kerangka kapur. Hubungan secara langsung antara laju kalsifikasi karang dan cahaya mengindikasikan pentingnya dasar fotosintesis. Fotosintesis dapat menyediakan energi untuk transpor aktif ion kalsium melewati epidermis kalikoblastik untuk kalsifikasi. Sebaliknya, kalsifikasi menghasilkan proton (H+) yang ditranspor kembali ke karang. Kurangnya pH dari tambahan proton menyebabkan peningkatan karbondioksida yang menyuplai substrat primer yang dibutuhkan fotosintesis

(7)

oleh zooxanthellae. Fotosintesis meningkatkan pH menyediakan ion karbonat yang lebih untuk pengendapan kalsium karbonat [12]. Sehingga, fotosintesis oleh zooxanthellae mampu meningkatkan pembentukan kalsium karbonat dan laju pertumbuhan karang.

IV. KESIMPULAN

Kesimpulan dari penelitian ini yaitu kisaran densitas zooxanthellae 0-7.085.264 sel/ cm² pada Acropora formosa sedangkan Acropora nobilis memiliki densitas zooxanthellae dengan kisaran rata-rata 1.503.710- 2.540.780 sel/ cm², laju pertumbuhan karang Acropora formosa dengan rerata 1.183 ±0.33 cm/bulan dan Acropora nobilis dengan rerata 1.14 ± 0.34 cm/ bulan, korelasi antara densitas dengan laju pertumbuhan pada karang Acropora nobilis dan Acropora formosa signifikan dan berkorelasi positif. Semakin tinggi densitas zooxanthellae pada karang Acropora nobilis dan Acropora formosa, semakin tinggi pula laju pertumbuhannya.

UCAPANTERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada keluarga yang senantiasa memotivasi dalam segala hal, kepada Dosen Pembimbing Bapak Aunurohim, DEA dan Ibu Dian Saptarini, M.Sc., koordinator laboratorium ekologi Mas Farid Kamal Muzaki, M.Si., seluruh anggota laboratorium ekologi dan keluarga Biologi angkatan 2009, serta seluruh civitas akademika Jurusan Biologi Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya.

DAFTARPUSTAKA

[1] PJB Paiton. Pemantauan Lingkungan Perairan PJB Paiton. Tim PJB Paiton. Probolinggo (2007).

[2] Suharsono. Jenis-Jenis Karang di Indonesia. Coremap Program. Jakarta (2008).

[3] Castro, H. Marine Biology 4th Edition. Mc-Graw Hill Inc. New York (2003).

[4] Sadarun. Transplantasi Karang batu (Stony Coral) di

Kepulauan Seribu Teluk Jakarta. (Thesis) pada Program Pasca

Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor (1999).

[5] Shibata, Y., Shuichi F., Hiroshi T, Akira Y., Takehiko K. Assessment of Decalcifying Protocols for detection of Specific RNA by Non-radioactive in Situ Hybridization in Calcified Tissue. Histochem Cell Biol (2000) 113 : 153-159.

[6] Manuputty, A. E.W. Kelimpahan Zooxanthellae pada Karang

Batu di Perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Balai

Penelitian dan Pengembangan Biologi Laut, Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanografi- LIPI. Jakarta (1999).

[7] Kaleka, D. Transplantasi Karang Batu Marga Acropora pada Substrat Buatan di Perairan Tablolong Kabupaten Kupang.

Makalah perorangan Semester Ganjil 2004, Falsafah Sains (PPS 702). Program S3, IPB, Bogor (2004).

[8] Veron, J. E. N. Corals of Australia and Indo-Pasific. University of Hawaii Press, Honolulu (1998).

[9] English, S., C. Wilkinson and V. Baker (ed.). Survei Manual

for Tropical Marine Research. Townsville ASEAN- Australia

Marine Science Project Australian Intsitute of Marine Science. Australia (1994).

[10] Titlyanov, E.A., Titlyanova, T.V., Yamazato K., R. van Woesik. Photo-acclimation Dynamics of the Coral Stylophora

pistillata to Low and Extremely Low Light. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology (2001) 263: 211– 225.

[11] Lesser, M. P. Experimental Biology of Coral Ecosystems.

Journal of Experimental Marine Biology and Ecology (2004) 300 217- 252.

[12] Al-Horani, F. A., S. M. Al-Moghrabi, and D. De Beer. The Mechanism of Calcification and Its Relation to Photosynthesis and Respiration in the Scleractinian Coral Galaxea

fascicularis. Marine Biology (2003) 142 : 419-426.

[13] Crabbe, MJC and DJ Smith. Sediment Impacts on Growth Rates of Acropora and Porites Corals from Fringing Reefs of Sulawesi, Indonesia. Coral Reefs (2005) 24 : 437-442.

[14] Taniguchi H, Iwao K, Omori M.. Coral Bleaching around Akajima, Okinawa I. A report of the September 1998 survey (in Japanese with English abstract). Galaxea, JCRS (1999) 1:59–

64.

[15] Stambler, N. Zooxanthellae : A Yellow Simbionts Inside Animals. Coral Reefs: An Ecosystem in Transition Journal pp

(2011) 87-106.

[16] Nontji, A. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta (1984).

[17] Lirman, D. and Derek M. Patterns of Resistance and Resilience of the Stress-Tolerant Coral Siderastrea radians (Pallas) to Sub-optimal Salinity and Sediment Burial. Journal of

Experimental Marine Biology and Ecology 369 (2009) 72–77. [18] Thamrin. Karang (Biologi Reproduksi dan Ekologi). Penerbit

Minamnadiri. Pekanbaru (2006).

[19] Nybakken, J, A. Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologis. Alih Bahasa: H.M. Eidman dkk. Penerbit PT . Gramedia. Jakarta (1988).

[20] Kordi, M. G.. Ekosistem Terumbu Karang. Rinneka Cipta. Jakarta (2010).

[21] Herfinalis, Sultan, dan Rubiman. Padatan Tersuspensi Total di Perairan Selat Flores Boleng Alor dan Selatan Pulau Adonara Lembata Pantar . Ilmu Kelautan (2012) Vol. 17 (3) 148-15. [22] Kudus, A. dan I. Wijaya. Transplantasi Biota Karang. Laporan

ke-1. Program Penelitian. IPB. Bogor (2001).

[23] Ralph, P., Hill, R., U. Schreiber, R. Gademann, A.W.D. Larkum, and M. Kühl. Spatial Heterogenity of Photosynthesis and the Effect of Temperature-induced Bleaching Conditions in Three Species of corals. Marine Biology (2004) 144: 633-640.

Gambar

Gambar 8. Lokasi transplantasi (lokasi Intake, Barat dan  Timur Outlet, Mercusuar) di PJB Paiton (modifikasi dari  www.googleearth.com, 2013)
Tabel 1. Hasil pengukuran parameter lingkungan
Gambar  2.  Grafik  rerata  laju  pertumbuhan  fragmen  karang transplantasi di empat lokasi
Gambar  3.  Ilustrasi  pertumbuhan  dan  perbedaan  percabangan  fragmen  karang  (a)  Acropora  nobilis    dan  (b) Acropora formosa
+2

Referensi

Dokumen terkait

Hasil verifikasi juga mengeksplorasi bahwa dalam penyusunan MOU minimal memuat: pihak yang bekerjasama, visi, misi, kebijakan dan strategi pembangunan KKJS sisi

Penelitian Suriadinata, dkk (2001) yang menjelaskan tentang penggunaan teknologi informasi dan komunikasi bagi UKM yang berorientasi ekspor di Indonesia secara detail

Aktivitas laporan keuangan IAI Wilayah DKI Jakarta dibagi atas penerimaan dan pengeluaran tidak terikat meliputi Keanggotaan, Pendidikan Profesi Berkelanjutan (PPL),

&engukur e:ektivita) &ana%e&en peru)ahaan dala& &engel'la per)ediaan. $a)i' ini di gunakan untuk &engukur ke&a&puan peru)ahaan

tidak adanya pengaturan mengenai jam kerja maupun jam istirahat, serta sistem pengupahan adalah semakin banyak jumlah pasir yang terkumpul maka akan semakin

Intinya adalah bagaimana cara kita untuk mampu memposisikan diri dengan tepat dalam hubungannya untuk bertindak sopan kepada orang yang lebih tua agar tercipta

Pada halaman Daftar Bimbingan Akademik pilih mahasiswa yang ingin dilihat KRSnya dan tekan link KRS yang terdapat pada kolom Lihat sehingga akan tampil halaman Kartu Rencana

Sejalan dengan ideologi pendidikan humanistik itu, pendidikan seni secara substansial memiliki visi dan misi untuk memanusiakan manusia melalui kegiatan seni,