• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBANDINGAN SISTEM HIDROPONIK DEEP FLOW TECHNIQUE (DFT) DAN NUTRIENT FILM TECHNIQUE (NFT) DALAM USAHA TANI SELADA DI SPECTA FARM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERBANDINGAN SISTEM HIDROPONIK DEEP FLOW TECHNIQUE (DFT) DAN NUTRIENT FILM TECHNIQUE (NFT) DALAM USAHA TANI SELADA DI SPECTA FARM"

Copied!
112
0
0

Teks penuh

(1)

PERBANDINGAN SISTEM HIDROPONIK

DEEP FLOW TECHNIQUE (DFT) DAN NUTRIENT FILM TECHNIQUE (NFT) DALAM USAHA TANI SELADA

DI SPECTA FARM

Skripsi

Ahmad Dalhar 1113092000009

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS FAKULTAS SAIN DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2018 M/ 1439 H

(2)

PERBANDINGAN SISTEM HIDROPONIK

DEEP FLOW TECHNIQUE (DFT) DAN NUTRIENT FILM TECHNIQUE (NFT) DALAM USAHA TANI SELADA

DI SPECTA FARM

Ahmad Dalhar 1113092000009

Skripsi

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Agribisnis

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS FAKULTAS SAIN DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2018 M/ 1439 H

(3)
(4)
(5)

CURRICULLUM VITAE

Pendidikan Formal

2001-2002 : Taman Kanak-kanak Raudlatul Ulum Pati

2002-2008 : Madrasah Ibtidaiyah Raudlatul Ulum Pati

2008-2011 : Madrasah Tsanawiyah Shirotul Ulum Pati

2011-2013 : Madrasah Aliyah Salafiyah Pati

Riwayat Pekerjaan

2014 : Marketing Bus Pariwisata

2015 : Edukasi Urban Farming lembaga Rumah Zakat

2016 : Bisnis Perlengkapan Outdoor

2016 : Praktek Kerja Lapang di Specta Farm

Data Diri

Nama : Ahmad Dalhar

Tempat Tanggal Lahir : Pati, 23 Oktober 1994

Jenis Kelamin : Laki-laki

Kewarganegaan : Indonesia

Agama : Islam

Status : Belum Kawin

Tinggi : 173 Cm

Berat : 55 Kg

Alamat Asal : Kertomulyo, RT 02/RW 04 Kec. Trangkil, Kab. Pati

Alamat Sekarang : Jln. Kemital Blok E/ 125 Ciputat Baru, Kp. sawah, Tangerang Selatan

Handphone : 082310673266/085786444030

Email : dalhar94@gmail.com/Ahmad.dalhar13@mhs.uinjkt.ac.id

(6)

2016 : Bisnis Hidroponik sekala Hobi & Industri

2017 : Workshop Hidroponik

Prestasi

2013- 2017 : Penerima Biasiswa Sinarmas

2016 : Menerima Penghargaan Sebagai Prtaktisi Hidroponik

2017 : Finalis Lomba Black Inovasi tingkat Nasional

(Smart Green House)

2017 : Pendanaan Wirausaha di Bidang Teknologi Pangan,

(Smart Agroponik) Sistem Otomasi Tanaman Budidaya Hidroponik dan Internet Of Things (IOT). Kementrian

Riset. Teknologi dan Pendidikan Tinggi

(KEMRISTEKDIKTI)

2017 : Tim Riset Pengembangan Kebijaksanaan Intergrasi

Keilmuan (Dampak Realokasi Subsidi Pupuk Menjadi Subsidi Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah Terhadap Pendapatan Petani. di Pusat Penelitian dan

Penerbitan (PUSLITPEN) LP2M UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Riwayat Organisasi

2008 : Wakil Patroli Keamanan Madrasah (PKM) Mts.

Shirotul Ulum Pati

2009 : Wakil Ikatan Keluarga Shirotul Ulum (IKSU/OSIS) Mts.

Shirotul Ulum Pati

2010 : Pengurus Ikatan Putra Nahdlatul Ulama (IPNU) Ranting

Kertomulyo Pati

(7)

2010 : Pengurus Pramuka Laksana Madrasah Salafiyah Pati

2011 : Pengurus Keluarga Pelajar Salafiyah (KPS/OSIS) di

Madrasah Salafiyah Pati

2011 : Ketua Pramuka Madrasah Salafiyah Pati

2011 : Pengurus pramuka Forum Kerukunan Umat Beragama

(FKUB) Ranting Cabang Kabupaten Pati

2013 : Pengurus Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)

2013 : Ketua Manajemen Organisasi Pergerakan Mahasiswa

Islam Indonesia

2013 : Anggota Ikatan Keluarga Alumni Raudlatul Ulum

JABODETABEK

2014 : Anggota Rohani & Sosial Himpunan Mahasiswa Jurusan

(HMJ) Agribisnis

2014 : Kordinator Kaderisasi Silaturrahmi Mahasiswa Pati

(SIMPATI) se-JABODEBEK

2014 : Volunter Lembaga Sosial Trust Fund UIN Jakarta

2014 : Volunter Lembaga Charity Store UIN Jakarta

2014 : Volunter Bungkesmas Tabungan Kesehatan Masyarakat

UIN Jakarta

2015 : Volunter Lembaga Rumah Zakat

2015 : Kordinator Lembaga Sosial Anak Peduli Bangsa, Jawa

Tengah wilayah Semarang

2015 : Anggota Keagamaan Pergerakan Mahasiswa Islam

Indonesia (PMII)

2015 : Ketua Ikatan Keluarga Alumni Salafiyah (IKLAS)

se-JABODETABEK

2016 : Anggota Sosial Lingkungan Himpunan Mahasiswa

(8)

2016 : Kordinator Sosial Masyarakat Silaturrahmi Mahasiswa Pati (SIMPATI) se-JABODETABEK

2017 : Anggota Pemuda Mandiri Membangun Desa (PMMD)

(9)

RINGKASAN

Ahmad Dalhar. 1113092000009. Perbandingan Sistem Hidroponik Deep Flow

Technique (DFT) dan Nutrient Film Technique (NFT) dalam Usaha Tani Selada di Specta Farm. (Di bawah bimbingan Junaidi dan Akhmad Mahbubi)

Selada (Lactuca sativa L) merupakan salah satu komoditi hortikultura yang memiliki prospek dan nilai komersial yang cukup baik. Semakin bertambahnya jumlah penduduk Indonesia serta meningkatnya kesadaran penduduk akan kebutuhan gizi menyebabkan bertambahnya permintaan sayuran. kandungan gizi pada sayuran terutama vitamin dan meneral tidak dapat disubtitusi melalui makan pokok. Selada mengandung zat-zat yang bermanfaat bagi kesehatan manusia. Kandungan gizi dalam tiap 100 gr selada. Kalori: 15,00 kalori, Protein: 1,20 gr, Lemak: 0,20 gr, Karbohidrat: 2,90 gr, Kalsium (Ca): 22,00 mg, Fosfor (P): 25,00 mg, Zat Besi (Fe): 0,50 mg, Vitamin A: 540,00 SI, Vitamin B1: 0,04 mg, Vitamin C: 8,00 mg, Air: 94,80 gr. Menanam selada dapat menggunakan teknik budidaya konvensional (menggunakan tanah) maupun hidroponik. Teknik budidaya secara hidroponik merupakan salah satu upaya intensifikasi yang pada akhirnya akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam penggunaan lahan dan penggunaan pupuk atau teknik budidaya tanaman tanpa tanah yang menggunakan prinsip penyediaan larutan hara sesuai dengan kebutuhan tanaman secara teratur, keuntungannya; pengunaan pupuk dan air sangat efesien, hemat lahan dan produktivitas tanaman tinggi, serta pengelolaan tidak direpotkan dengan pengolahan tanah dan masalah gulma, sehingga permintaan dalam jumlah besar dapat terpenuhi dan kontinuitas produk terjamin. dalam menerapkan budidaya sayuran hidroponik dikenal 8 teknik, dari teknik tersebut penulis menjelaskan teknik Nutrient Film Technique (NFT) dan Deep Flow Technique (DFT) karena dianggap perusahaan memiliki efisiensi dan efektifitas tinggi dengan inovasi talang bertingkat. Kedua teknik hidroponik tersebut tidak tergantung pada kesuburan tanah sehingga bisa menjadi alternatif bagi petani selada untuk menangani masalah lahan subur yang semakin berkurang. Namun biaya yang diperlukan tinggi. Segmen pasar yang dituju umumnya kalangan ekonomi menengah ke atas dan biasa di pasarkan supermarket, swalayan, hotel, dan restoran. Sehingga harga jual sayuran hidroponik jauh mahal dibandingkan dengan harga sayur non-hidroponik karena jenis sayuran non-hidroponik yang dipasarkan biasanya merupakan sayuran yang memiliki nilai jual tinggi (high value). Menjadi penting untuk mempelajari struktur biaya, penerimaan, dan keuntungan usaha sayuran hidroponik dari tehnik Deep Flow Technique (DFT) dan Nutrient Film Technique (NFT) Talang Bertingkat studi kasus pada Specta Farm, Ciapus, Bogor.

(10)

Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mengetahui biaya yang dikeluarkan pada selada hidroponik Sistem Deep Flow Technique (DFT) dan Sistem Nutrient Film Technique (NFT). 2. Mengetahui pendapatan yang diperoleh pada selada hidroponik Sistem Deep Flow Technique (DFT) dan Sistem Nutrient Film Technique (NFT) 3. Mengetahui Perbedaan Pendapatan usaha selada Hidroponik Sistem Deep Flow Technique (DFT) dan Sistem Nutrient Film Technique (NFT).

Penelitian ini dilakukan bulan Agustus 2017 sampai Februari 2018 dan di lakukan di Specta Farm Jl. Ciapus, Kampung Jamik, Desa Sukaluyu, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor, Provensi Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive), jenis data yang digunakan adalah data kualitatif dan data kuantitatif. Sumber data dalam penelitian mengunakan data primer diperoleh dari data langsung perusahaan yang berupa hasil pengamatan langsung dan wawancara dengan pimpinan dan kariawan Specta Farm sedangkan data sekunder diperoleh melalui proses membaca, mempelajari, dan mengambil keterangan yang diperlukan dari buku-buku atau majalah, penelitian terdahulu, serta sumber-sumber data lainya yang berhubungan dengan masalah yanga akan di bahas.Analisis data yang digunakan penulis analisis biaya usahatani, analisis penerimaan usahatani, analisis pendapatan usahatani, analisis penerimaan atas biaya (R/C Ratio), dan uji hipotesis perbedaan dua rata-rata untuk membedakan tingkat pendapatan. Data yang diperoleh diolah secara kuantitatif diolah dengan alat bantu berupa kalkulator dan program Microsoft Excel sedangkan data kualitatif disajikan secara narasi.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa : 1. Biaya yang dikeluarkan dalam usaha budidaya selada hidroponik Sistem Deep Flow Technique (DFT) adalah sebesar Rp 21.032.363,- Sistem Nutrient Film Technique (NFT) adalah sebesar Rp 22.395.613,-/ 7 bulan. Biaya yang dikeluarkan oleh Sistem Nutrient Filem Technique (NFT) lebih besar dibanding dengan Sistem Deep Flow Technique (DFT) dikarenakan oleh beberapa faktor antara lain : penggunaan listrik dan nutrisi yang lebih banyak 2. Besarnya jumlah pendapatan yang di peroleh dari hasil produksi selada hidroponik pada Sistem Deep Flow Technique (DFT) adalah sebesar Rp 35.751.000,- sedangkan pendapatan yang diperoleh dari hasil produksi selada hidroponik pada Sistem Nutrient Filem Technique (NFT) lebih kecil yaitu sebesar Rp 33.847.000,- 3. Berdasarkan dari hasil perhitungan uji perbedaan dua rata-rata dapat diketahui bahwa ada perbedaan pendapatan antara usaha budidaya selada hidroponik Sistem Deep Flow Technique (DFT) dan Sistem Nutrient Film Technique (NFT). Berdasarkan hasil perhitungan, besarnya nilai Zhit adalah senilai 4,19 oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa Zhit > Zα/2 dengan nilai 4,19 > 1,96.

(11)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrahim,

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji syukur kehadirat Allah S.W.T sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan penelitian ini dengan judul “Perbandingan Sistem Hidroponik Deep

Flow Technique (DFT) dan Nutrient Film Technique (NFT) dalam Usaha Tani Selada di Specta Farm”. Penelitian ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan

program studi Strata-1 di Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam penulisan ini, penulis banyak mendapatkan bantuan baik berupa materil dan moral yang sangat berarti dari berbagai pihak. Oleh sebab itu pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih sebesar-besarnya kepada:

1. Kedua orang tua tercinta, bapak Kasman dan Ibu Warkini yang tidak pernah letih memberikan kasih sayang, doa, nasehat, motivasi, saran dan dorongan moril maupun materil. Sesunguhnya ananda tidak akan pernah dapat membalas semua itu, semoga Allah S.W.T selalu memberikan pahala, berkah, kasih sayang, ridho dan perlindungan kepada bapak dan ibu atas perjuangannya, Amin.

2. Kakak-kakak tersayang, Jumi’ati, Abdurrahman Wahid, Dzurrotun Nik’mah yang turut memberikan do’a, semangat dan motivasi. Semoga Allah S.W.T selalu memberikan karunia-Nya. Amin.

(12)

3. Bapak Akhmad Riyadi Wastra dan Ibu Sri Purwanti yang turut memberikan do’a. semangat dan motivasi. Semoga Allah S.W.T selalu memberikan pahala, berkah, kasih sayang, ridho dan perlindungan kepada beliau atas perjuangannya, amin. 4. Dr. Agus Salim, M. Si selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Universitas

Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Dr. Ir. Edmon Daris, MS selaku Ketua Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian/ Agribisnis dan Dr. Iwan Aminudin, M. Si selaku Sekretaris Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Ir. Junaidi, M. Si selaku Dosen Pembimbing 1 dan Akhmad Mahbubi, SP, MM selaku Dosen Pembimbing 2 yang telah membimbing, memberikan saran, motivasi nasehat dan arahan sekaligus meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam penyusunan skripsi kepada penulis.

7. Dr. Akhmad Riyadi Wastra, MM selaku Dosen Penguji 1 dan Dewi Rohma Wati, SP, M.Si selaku Dosen Penguji 2 dalam sidang munaqosah skripsi yang telah memberikan saran, motivasi, nasehat dan arahan untuk kesempurnaan skripsi kepada peneliti.

8. Seluruh dosen pengajar Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian/ Agribisnis yang tidak dapatkan satu persatu tanpa mengurangi rasa hormat atas segala ilmu dan pelajaran dalam perkuliahan maupun di luar perkuliahan.

9. Bapak Zekky Bachry selaku Direktur, sluruh karyawan dan staff Specta Farm untuk bimbingannya.

(13)

10. Perusahaan Sinarmas yang telah memberikan dukungan motivasi baik moril dan materil selama perkuliahan dari pertama masuk sampe selesai perkuliahan, semoga apa yang diberikan bermanfaat baik perusahaan maupun penulis.

11. Instansi Lembaga Social Trust Fund yang banyak memberikan ilmu dan pengalaman, motivasi, nasehat kepada penulis untuk menjadi insan berdedikasih sesama.

12. keluarga besar Compas Center yang banyak memberikan ilmu dan pengalaman, motivasi, nasehat kepada penulis untuk menjadi insan berdedikasih sesama. 13. Sahabat Astrid Aisyah Hanani dan Faizal Abdurraman yang selalu memberikan

dukungan dan selalu ada dalam pelaksanaan dan penyusunan skripsi ini.

14. Teman-teman Seperjuangan, Burhanudin Muhammad, Ade Fauzan, Lukman Arya Yudhatama, Vikron Fahreza, Muhammad Reza Baehaqi, Syarif Hidayatullah, atas motivasi, kebersamaan, kekeluargaan dan kecerian yang telah kita ukir bersama semoga menjadi sejarah yang tidak pernah dilupakan.

15. Teman-teman Agribisnis 2013 atas kebersamaan, kekeluargaan dan keceriaan yang telah kita ukir bersama semoga menjadi sejarah yang tidak pernah dilupakan.

16. Keluarga besar Ikatan Keluarga Alumni Madrasah Salafiyah atas proses yang turut mengantarkan penulis kedalam realita perjuangan dan kebersamaan untuk bermanfaat.

17. Semua pihak yang telah membantu namun tidak penulis tuliskan satu per satu tanpa mengurangi rasa hormat. Terimakasih banyak.

(14)

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan untuk menyempurnakan penelitian ini. Penulis berharap semoga penulis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Semoga Allah S.W.T memberkahi kita semua. Aamin Ya Robbal Alamin, Barokallah.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jakarta, Februari 2018

(15)

i DAFTAR ISI DAFTAR ISI ... i DAFTAR TABEL ... iv DAFTAR GAMBAR ... v DAFTAR LAMPIRAN... vi BAB I PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Perumusan Masalah ... 4 1.3 Tujuan Penelitian ... 4 1.4 Manfaat Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Selada ... 6

2.2 Hidroponik ... 12

2.2.1 NFT (Nutrien Film Technique) ... 13

2.2.2 DFT (Deep Flow Technique) ... 13

2.2.3 Talang Bertingkat ... 14

2.2.4 Pengelolaan Air ... 14

2.3 Pemupukan ... 16

2.4 Aplikasi Pupuk dan Air (Fertigasi) ... 19

2.5 Electrical Conductivity (EC) ... 21

2.6 Kemasaman (pH) Air ... 21

2.7 Usahatani ... 23

2.7.1 Biaya Usahatani ... 26

2.7.2 Penerimaan ... 27

2.7.3 Pendapatan Usahatani ... 29

2.7.4 Analisis Rasio Penerimaan Atas Biaya (R/C Rasio) ... 31

2.8 Penelitian Terdahulu ... 31

(16)

BAB III METODE PENELITIAN ... 36

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 36

3.2 Jenis dan Sumber Data ... 36

3.3 Metode Pengumpulan Data ... 37

3.4 Metode Analisis Data dan Pengujian Hipotesis ... 37

3.4.1 Biaya Usahatani ... 37

3.4.2 Penerimaan Usahatani ... 38

3.4.3 Pendapatan Usahatani ... 38

3.4.4 Rasio Penerimaan Atas Biaya (R/C Ratio) ... 39

3.4.5 Pengujian Hipotesis Perbedaan Dua Rata-rata ... 39

BAB IV GAMBARAN UMUM ... 42

4.1 Sejarah Singkat Specta Farm ... 42

4.2 Letak Geografis ... 43

4.3 Struktur Organisasi Specta Farm ... 43

4.4 Sarana dan Prasarana ... 45

4.5 Tata Letak Bangunan ... 46

BAB V PEMBAHASAN ... 47

5.1 Biaya Usahatani Selada Hidroponik ... 47

5.1.1 Biaya Tetap dan Biaya Variabel Hidroponik Selada Sistem Deep Flow Technique (DFT) ... 47

5.1.2 Biaya Tetap dan Biaya Variabel Hidroponik Selada Sistem Nutrien Film Technique (NFT) ... 52

5.2 Analisis Pendapatan Usahatani Hidroponik Selada ... 57

5.2.1 Analisis Pendapatan Usahatani Hidroponik Selada Sistem DFT ... 57

5.2.2 Analisis Pendapatan Usahatani Hidroponik Selada Sistem Nutrient Film Technique (NFT) ... 61

5.3 Perbedaan Pendapatan Usahatani Selada Hidroponik Sistem Deep Flow Technique (DFT) dan Sistem Nutrient Film Technique (NFT) ... 64

BAB VI PENUTUP ... 69

(17)

6.2 Saran ... 70 DAFTAR PUSTAKA ... 71 LAMPIRAN ... 74

(18)

iv DAFTAR TABEL

No. Hal.

1. Konsentrasi Unsur Hara dalam Larutan Hara yang Digunakan ... 7

2. Komposisi Kimiawi per 100 g Tanaman Selada ... 11

3. Konsentrasi Maksimum Ion Garam Terlarut dalam Air untuk ... 16

4. Beberapa Jenis Pupuk untuk Formulasi Hara Tanaman pada ... 18

5. Jadwal Fertigasi Untuk Budidaya Tanaman Sayuran Secara Hidroponik ... 20

6. Biaya Penyusutan Alat-alat Pertanian ... 54

7. Analisis Pendapatan Usahatani Hidroponik Selada Sistem DFT di Specta Farm ... 58

8. Analisis Pendapatan Usahatani Hidroponik Selada Sistem NFT di Specta Farm ... 62

(19)

v DAFTAR GAMBAR

No. Hal.

1. Kerangka Pemikiran ... 35 2. Struktur Organisasi Specta Farm ... 44 3. Kurva Dua Rata-rata untuk Membedakan Tingkat Pendapatan ... 67

(20)

vi DAFTAR LAMPIRAN

No. Hal.

1. Tata Letak Bangunan ... 74 2. Kuisioner Penelitian Selada Hidroponik Sistem Deep Flow Technique

(DFT) ... 75 3. Kuisioner Penelitian Selada Hidroponik Sistem Nutrient Filem

Technique (NFT) ... 77 4. Hasil Kuisioner Selada Hidroponik Sistem Deep Flow Technique (DFT) .... 79 5. Hasil Kuisioner Selada Hidroponik Sistem Nutrient Film Technique

(NFT) ... 81 6. Produksi, Biaya Produksi, Penerimaan, dan Pendapatan Usaha Tani

Selada Hidroponik Per Musim Panen Sistem Deep Flow Technique (DFT) ... 83 7. Produksi, Biaya Produksi, Penerimaan, dan Pendapatan Usaha Tani

Selada Hidroponik Per Musim Panen Sistem Nutrient Film Technique (NFT) ... 86 8. Perbedaan Pendapatan Usaha Tani Selada Hidroponik Sistem Deep Flow

Technique (DFT) dan Sistem Nutrient Film Technique (NFT) ... 89 9. Tabel Z Scor ... 91

(21)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Selada (Lactuca sativa L) merupakan salah satu komoditi hortikultura yang memiliki prospek dan nilai komersial yang cukup baik. Semakin bertambahnya jumlah penduduk Indonesia serta meningkatnya kesadaran penduduk akan kebutuhan gizi menyebabkan bertambahnya permintaan sayuran. kandungan gizi pada sayuran terutama vitamin dan meneral tidak dapat disubtitusi melalui makan pokok (Mas’ud, 2009:131-136).

Selada memiliki beragam macam jenis, terdiri dari salada daun hijau dan merah yang mana kedua jenis tersebut mengandung zat-zat yang bermanfaat bagi kesehatan manusia (Grubben dalam Kosmas, 2012:1). Kandungan gizi dalam tiap 100 gr selada menurut Direktorat Gizi Depkes RI. Kalori: 15,00 kalori, Protein: 1,20 gr, Lemak: 0,20 gr, Karbohidrat: 2,90 gr, Kalsium (Ca): 22,00 mg, Fosfor (P): 25,00 mg, Zat Besi (Fe): 0,50 mg, Vitamin A: 540,00 SI, Vitamin B1: 0,04 mg, Vitamin C: 8,00 mg, Air: 94,80 gr.

Menanam selada termasuk dalam kategori mudah, dapat di tanam di lahan luas maupun sempit seperti dalam polybag, dapat menggunakan teknik budidaya konvensional (menggunakan tanah) maupun hidroponik. Teknik budidaya secara hidroponik merupakan salah satu upaya intensifikasi yang pada akhirnya akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam penggunaan lahan dan penggunaan pupuk (Ardian, 2007:195-200). Hidroponik sebagai suatu teknik budidaya tanaman tanpa tanah yang menggunakan prinsip penyediaan larutan hara sesuai

(22)

2 dengan kebutuhan tanaman secara teratur (Susila dan Koerniawati, 2004:16-21). Berapa keuntungan hidroponik diantaranya pengunaan pupuk dan air sangat efesien, hemat lahan tetapi produktivitas tanaman tinggi, serta pengelolaan tidak direpotkan dengan pengolahan tanah dan masalah gulma (Lingga, 1999:89) sehingga permintaan dalam jumlah besar dapat terpenuhi dan kontinuitas produk terjamin.

Terdapat beberapa teknik dalam menerapkan budidaya sayuran secara hidroponik, menurut Ferdian (2009:4), saat ini dikenal 8 macam teknik hidroponik moderen, yaitu Nutrient Film Technique (NFT), Static Aerated Technique (SAT), Ebb and Flow Technique (EFT), Deep Flow Technique (DFT), Aerated Flow Technique (AFT), Drip Irrigation Technique (DIT), Root Mist Technique (RMT), dan Fog Feed Technique (FFT). Dari teknik tersebut penulis akan menjelaskan mengenai teknik Nutrien Film Technique (NFT) dan Deep Flow Technique (DFT) karena dianggap perusahaan memiliki efisiensi dan efektifitas tinggi.

Salah satu perusahaan yang mengunakan inovasi instalasi hidroponik talang bertingkat dengan sistem Nutrien Film Technique (NFT) dan Deep Flow Technique (DFT) adalah Specta Farm. Specta Farm merupakan perusahaan agribisnis yang bergerak dalam pelatihan atau traning, pembuatan konstruksi instalasi hidroponik skala hobis maupun industry, dan budidaya tanaman hidroponik.

Menurut Anas dkk, (2004:16), Nutrient Film Technique (NFT) merupakan metode penanaman dimana akar berada dalam sirkulasi aliran air tipis yang mengandung unsur-unsur yang diperlukan tanaman. Sedangkan Deep Flow

(23)

3 Technique (DFT) merupakan metode budidaya tanaman hidroponik dengan meletakkan akar tanaman pada lapisan air yang dalam, kedalaman berkisaran antara 4-6 cm. Prinsip kerja mensirkulasikan larutan nutrisi tanaman secara terus menerus selama 24 jam, (Wirawan dkk, 2005:64). Berdasarkan pengamatan yang dilakukan menyatakan bahwa tingkat efesiensi dilihat dari kedua teknik yang di terapkan usahatani Specta Farm di duga teknik Nutrient Film Technique (NFT) lebih efesien teknik menjadi salah satu pertimbangan yang kuat sebagai bahan dugaan awal penelitian.

Kedua teknik hidroponik tersebut tidak bergantung pada kesuburan tanah sehingga bisa menjadi alternatif bagi petani selada untuk menangani masalah lahan subur yang semakin berkurang. Namun biaya yang diperlukan tinggi. Oleh karena itu, segmen pasar yang dituju umumnya kalangan ekonomi menengah ke atas dan biasa di pasarkan supermarket, swalayan, hotel, dan restoran. Sehingga harga jual sayuran hidroponik jauh mahal dibandingkan dengan harga sayur non-hidroponik karena jenis sayuran non-hidroponik yang dipasarkan biasanya merupakan sayuran yang memiliki nilai jual tinggi (high value). Oleh karena itu, menjadi penting untuk mempelajari struktur biaya, penerimaan, dan keuntungan usaha sayuran hidroponik dari tehnik Deep Flow Technique (DFT) dan Nutrient Film Technique (NFT) Talang Bertingkat studi kasus pada Specta Farm, Ciapus, Bogor.

(24)

4 1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah di gambarkan oleh penulis budidaya selada hidroponik Sistem Deep Flow Technique (DFT) dan Sistem Nutrient Film Technique (NFT) Talang Bertingkat sebagai berikut :

1. Berapa biaya yang dikeluarkan dalam usaha budidaya selada hidroponik Sistem Deep Flow Technique (DFT) dan Sistem Nutrient Film Technique (NFT)?

2. Berapa pendapatan yang di peroleh usaha budidaya selada hidroponik Sistem Deep Flow Technique (DFT) dan Sistem Nutrient Film Technique (NFT)? 3. Apakah ada perbedaan pendapatan yang signifikan antara usaha budidaya

selada hidroponik Sistem Deep Flow Technique (DFT) dan Sistem Nutrient Film Technique (NFT)?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang penulis jelaskan maka tujuan penulis melakukan penelitian sabagai berikut :

1. Mengetahui biaya yang dikeluarkan pada selada hidroponik Sistem Deep Flow Technique (DFT) dan Sistem Nutrient Film Technique (NFT).

2. Mengetahui pendapatan yang diperoleh pada selada hidroponik Sistem Deep Flow Technique (DFT) dan Sistem Nutrient Film Technique (NFT).

3. Mengetahui perbedaan pendapatan usaha selada hidroponik Sistem Deep Flow Technique (DFT) dan Sistem Nutrient Film Technique (NFT).

(25)

5 1.4 Manfaat Penelitian

1. Sebagai sumber informasi dan pertimbangan petani hidroponik khususnya untuk mengambil keputusan dalam perencanaan dan pelaksanaan produksi agar memperoleh usaha yang efisien dan menguntungkan.

2. Sebagai peneliti, dapat menjadi tambahan wawasan ilmu khususnya dengan penggunaan analisis usahatani selada hidroponik.

3. Sebagai bahan referensi untuk penelitian lebih lanjut bagi penyusun lain yang mengambil masalah yang sama.

(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Selada

Tanaman selada diyakini dari Timur Tengah. tanaman dikenal sebagai tanaman sayran dan bahan baku obat-obatan pada abad ke 4.500 sebelum masehi. Tanaman ini sangat terkenal di Yunani dan Roma. Di Eropa Barat. Tanaman ini secara ilmiah memiliki nama (Lactuca sativa L.) selada merupakan tanaman sayuran daun yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Selada merupakan tanaman yang cocok dibudidayakan secara hidroponik. Manipulasi aerasi zona perakaran perlu dilakukan untuk mengatasi masalah kekurangan oksigen. Aerasi adalah suatu hal yang esensial untuk mendukung aktifitas perakaran walapun hal ini sangat beragam antar species tanaman, (Anas dkk. 2004: 17). Adapun klasifikasi tanaman selada sebagai berikut:

Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Ordo : Campanulales Famili : Compositae

Spesies : Lactuca sativa L. ( Resti. 2009:24).

Benih selada akan berkecambah dalam kurun waktu empat hari, bahkan untuk benih yang viabel dapat berkecambah dalam waktu satu hari pada suhu 15-25 0C. Tanaman selada tumbuh dengan baik pada suhu harian 15-20 0C dan suhu malam 10 0C. Pembudidayaan selada di daerah tropis tumbuh dengan baik di

(27)

7 dataran tinggi. Pada budidaya selada konvensional, tanah yang cocok untuk pertumbuhan selada yaitu jenis tanah dengan struktur yang bagus dan kesuburan tinggi dan kurang bagus pada tanah alkali berpasir-lempung. Tanaman selada ini tidak toleran tanah masam (pH < 6). Kebutuhan hara tanaman selada yaitu N 100 kg/ha, P2O5 100 kg/ha, K2O 80 kg/ha, dan pupuk organik 30 ton/ha. Produktivitas selada jenis head di daerah tropis sebesar 5-10 ton/ha, sedangkan jenis leaf sebesar 3-8 ton/ha, (Mas’ud, 2009: 133).

Budidaya selada hidroponik di dalam green house termasuk mudah di kerjakan. Hal penting yag harus diperhatikan yaitu suhu di dalam green house. Bolting, tipburn, warna daun pucat, dan rendahnya perkecambahan terjaadi jika suhu udara diatas 25 0C. Selain itu juga komposisi larutan hara harus tepat, misalnya kekurangan Ca dapat mengakibatkan tipburn. Konsentrasi unsur hara dalam larutan hara yang biasa digunakan oleh beberapa petani selada hidroponik tertera dalam Tabel 1.

Tabel 1. Konsentrasi Unsur Hara dalam Larutan Hara yang Digunakan Beberapa Petani Selada Hidroponik

Unsur Hara Konsentrasi (mg/L)

Hara Makro Netrogen (N) Fosfor (P) Kalsium (Ca) Magnesium (Mg) 100-200 15-90 122-220 26-96 Hara Mikro Boron (B) Tembaga (Cu) Besi (Fe) Mangan (Mn) Molibdenum (Mo) Seng (Zn) 0.14-1,5 0,07-0,1 4-10 0,5-1.0 0,05-0,06 0,5-2,5 Sumber : Jones dalam Kosmas (2012: 4)

(28)

8 Selada sangat beragam jenisnya, merupakan tanaman herbal tahunan atau dua musim, dan memiliki tinggi tanaman antara 30-70 cm. Susunan daun selada beragam tergantung kultivarnya, ada yang membentuk krop dan tidak membentuk krop. Tetapi ukuran dan warna daun pun berbeda-beda tergantung kultivarnya. Menurut Zulkarnain (2013:98-99), mengemukakan lima tipe kultivar dari tanaman selada, yaitu:

1. Kelompok kultivar selada Butterhead Lettuce (L. sativa var capitata L. nidus tennerima Helm) memiliki kepala (krop) dengan daun-daun yang lembut dan lunak dan di konsumsi dalam untuk segar (mentah). Jenis ini sangat populer di Inggiris, Perancis, Belanda, dan di negara-negara Eropa bagian Barat dan Tengah lainya.

2. Kelompok kultivar selada Crisphead Lettuce (L. sativa var. capitata L. nidus jaggeri Helm) memiliki kepala (krop) dengan daun-daun tebal dan renyah, susunan tulang daun menyerupai kipas, dan dikonsumsi dalam bentuk segar (mentah). Selada jenis ini banyak di budidayakan di Amerika Serikat (Mikel dalam Zulkarnain, 2013:98) dan dibelahan dunia lain, seperti negara-negara Eropa bagian Barat dan Tengah yang meliputi Belanda, Inggris, Prancis, Spanyol, Belgia, Jerman, Polandia, Ceko, Jepang, Cina dan Australia (Lebeda dalam Zulkarnain, 2013:98).

3. Kelompok kultivar selada Los Lettuce atau Romaine Lettuce (L. sativa var. longifolia Lam., var Romana Hort. in Bailey) memiliki kepala (krop) panjang dan longgar (kadang-kadang menyatu), daun berbentuk bulat memanjang (oblong) dengan tulang daun utamayang menojol sampai hampir ke ujung

(29)

9 daun, dan dikonsumsi dalam bentuk segar atau dimasak. Sebutan Cos (Kos) berasal dari nama sebuah pulau di Yunani, dimana tanaman ini telah dibudidayakan sejak lama. Selada ini banyak dibudidayakan di kawasan Meditarania Eropa, Asia bagaian Barat dan Afrika Utara (Rayder dalam Zulkarnain, 2013:98).

4. Kelompok kultivar selada Cutting Lettuca atau selada potong (L. sativa var. acephala Alaf., syn. var. secalina Alif., syn. var. cripa L.) merupakan jenis selada yang tidak membentuk kepala (krop), dapat dipanen utuh atau kadang-kadan dipanen hanya daunya, dan dikonsumsi dalam bentuk segar (mentah). Selada jenis ini sangat populer di Amerika Serikat, Italia, Prancis, Ceko, dan Slowakia (Vries dalam Zulkarnain, 2013:99). Morfologi selada ini sangat hetorogen, mulai dari hanya tepi daun yang kriting sebagaian sampai dengan daun kriting seluruhnya, atau tepi daun yang kriting sebagaian sampai dengan berlekuk daun. Bentuk daun yang memanjang atau melebar menyebabkan efek saling menaungi sehingga menimbulkan warna hijau dengan berbagai tingkatan, serta berbagai pola dan kadar antosisanin yang berbeda.

5. Kelompok kultivar Stalk (Asparagus) lettuce atau selada batang (L. sativa var. anggustana Irish ex Bremer, syn. var. asparagiana Bailey, syn. L. angustana Hort. in Vilm). memiliki batang yang membesar, yang dikonsumsi dalam bentuk segar (mentah) atau masak terlebih dahulu seperti asparagus. Menurut Lindqvist dalam Zulkarnain (2013:99), ada dua kultivar selada batang yang dikenal, yaitu kultivar yang memiliki daun berwarna abu-abu

(30)

10 muda yang mirip daun selada Cos, dan kultivar yang memiliki daun yang panjang dngan pangkal lebar dan ujungnya meruncing.

Kandungan gizi masing-masing jenis selada berbeda-beda. Selada jenis head yang daunya berwarna hijau cerah memiliki lebih sedikit unsur mikro dibandingkan dengan jenis leaf, daun yang berwarna hijau gelap memiliki bayak karotan, besi, dan vitamin C. Jenis crisphead kandungan nutrisinya lebih rendah daripada butterhead. Secara umum daun selada tiap 100 g mengandung air 94 g. protein 1.2 g, lemak 0.2, serat 0.7 g, abu 0.7 g. Tanaman selada sangat rendah karbohidrat, protein, dan lemak.

Nilai gizi dan manfaat sayuran selada rendah kalori dan sumber antioksidan, serta vitamin K. Serta selain itu, selada memiliki kandunggan vitamin A dan C yang tinggi, bahkan selada jenis romaine (varietas romana) dan selada mentega (varietas capitata nidus tenerrima) mengandung vitamin C, 6 kali vitamin A, 5-10 kali lebih tingggi lebih dibandingkan selada jenis criesphead (varietas capitata nidus jagari). Selain mengandung vitamin C dan A yang tinggi, selada romaine dan selada mentega juga merupakan sumber asam folat yang potensial.

Menurut Zulkarnain (2013:108-109), selada jenis roman lettuce sebanyak 100 g cukup untuk memenuhi 34% kebutuhan asam folat dalam tubuh. Nilai gizi tanaman selada di sajikan pada Tabel 2.

(31)

11 Tabel 2. Komposisi Kimiawi per 100 g Tanaman Selada

Senyawa Kadar Nutrisi Air Kebutuhan Harian % Energi (Kalori) 15,00 1,00 Karbohidrat (g) 2,75 2,00 Protein (g) 1,36 2,00 Lemak (g) 0,15 0,50 Serat (g) 1,30 3,00 Folat (µg) 38,00 9,50 Niasin ( mg) 0,375 2,00 Asam pantotenat (mg) 0,135 2,50 Piridoksi (mg) 0,090 7,00 Riboflavin(mg) 0,080 6,00 Tiamin (mg) 0,070 6,00 Vitamin A (IU) 7,405,00 247,00 Vitamin C (mg) 9,20 15,00 Vitamin E (mg) 0,29 2,00 Vitamin K (µg) 126,30 105,00 Natrium (mg) 28,00 2,00 Kalium (mg) 194,00 4,00 Kalsium (mg) 36,00 3,50 Tembaga (mg) 0,029 3,00 Besi (mg) 0,86 10,00 Magnesium (mg) 13,00 3,00 Mangan (mg) 0,250 11,00 Fosfor (mg) 29,00 4,00 Seng (mg) 0,18 1,50 β-karoten 4,443,00 - Lutein-zeasantin 1,730,00 - Sumber : Zulkarnain (2013:109)

Menurut Anas dkk (2004: 17). Umur panen selada berbeda-beda menurut kultivar dan musim, berkisar antara 30 hari dan 85 hari setelah pindah tanam. Bobot selada sangat beragam mulai dari 100 g sampai 400 g, bobot ini dapat di capai pada budidaya di lahan terbuka dengan jarak tanam 20 cm antar tanam. Menunda panen untuk mencapai bobot tanaman yang lebih tinggi menjadi lebih semakin kurang menguntungkan, dan biasa menguntungkan untuk memulai daur penanaman baru.

(32)

12 2.2 Hidroponik

Menurut Roidah (2014: 44) Istilah hydroponics berasal dari kata Yunani hydro yaitu air dan ponos yaitu pengerjaan. Sehingga secara umum berarti syistem budidaya pertanian tanpa mengunakan tanah tetapi mengunakan air yang berisi larutan nutrisi.

Hidroponik budidaya tanaman tanpa mengunakan tanah, tetapi mengunakan media inert seperti gravel, pasir, peat, vermikulit, pumice atau sawdust, yang diberikan larutan hara yang mengandung semua elemen esensial yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan normal tanaman (Poerwanto dan Susila, 2014:121).

Beberapa pakar hidroponik mengemukakan beberapa kelebihan dan kekurangan sistem hidroponik dibandingkan dengan pertanian konvensional (Rosliani dan Sumarni, 2005: 3).

Kelebihan sistem hidroponik antara lain adalah : 1. Penggunaan lahan lebih efisien,

2. Tanaman berproduksi tanpa menggunakan tanah,

3. Tidak ada resiko untuk penanaman terus menerus sepanjang tahun, 4. Ruantitas dan kualitas produksi lebih tinggi dan lebih bersih, 5. Penggunaan pupuk dan air lebih efisien,

6. Periode tanam lebih pendek, dan

7. Pengendalian hama dan penyakit lebih mudah. Kekurangan sistem hidroponik, antara lain adalah : 1. Membutuhkan modal yang besar;

(33)

13 2. Pada “Close System” (nutrisi disirkulasi), jika ada tanaman yang terserang patogen maka dalam waktu yang sangat singkat seluruh tanaman akan terkena serangan tersebut; dan

3. Pada kultur substrat, kapasitas memegang air media substrat lebih kecil daripada media tanah; sedangkan pada kultur air volume air dan jumlah nutrisi sangat terbatas sehingga akan menyebabkan pelayuan tanaman yang cepat dan stres yang serius.

2.2.1 NFT (Nutrien Film Technique)

Nutrient Film Technique adalah sistem hidroponik tanpa media tanam. Tanaman ditanam dalam sikrulasi hara tipis pada talang-talang yang memanjang. Persemean biasanya dilakukan di atas blok rockwool yang dibungkus plastik. Sistem NFT pertama kali diperkenalkan oleh peneliti bernama Dr. Allen Cooper. Sirkulasi larutan hara diperlukan dalam teknologi dalam priode waktu tertentu. Hal ini dapat memisahkan komponen lingkungan perakaran yang “aqueous” dan “gaseous” yang dapat meningkatkan serapan hara tanaman (Poerwanto dan Susila, 2014:123).

Menurut Anas dkk, (2004:16), Nutrient Film Technique (NFT) merupakan metode penanaman dimana akar berada dalam sirkulasi aliran air tipis yang mengandung unsur-unsur yang diperlukan tanaman.

2.2.2 DFT (Deep Flow Technique)

Menurut Poerwanto dan Susila (2014:123), Deep Flow Technique sistem hidroponik tanpa media, berupa kolam atau kontainer yang panjang dan dangkal diisi dengan larutan hara dan diberi aerasi. Pada sistem ini tanaman di tanam di

(34)

14 atas panel tray (flat tray) yang terbuat dari bahan sterofoam, mengapung diatas kolam dan perakaran berkembang di dalam larutan hara.

Deep Flow Technique (DFT) metode budidaya tanaman hidroponik dengan meletakkan akar tanaman pada lapisan air yang dalam, kedalaman berkisaran antara 4-6 cm. Prinsip kerja mensirkulasikan larutan nutrisi tanaman secara terus menerus selama 24 jam, (Wirawan dkk, 2005:64).

2.2.3 Talang Bertingkat

Menurut Bachri (2016), sistem hidroponik talang bertingkat adalah kaitannya dengan peningkatan kapasitas produksi dibandingkan dengan sistem hidroponik dengan instalasi rak talang horizontal/datar. Melalui sistem ini, luasan lahan yang sama akan memberikan hasil yang panen lebih banyak dibandingkan dengan hidroponik horizontal. Artinya, pemanfaatan lahan yang digunakan menjadi lebih maksimal.

Prinsip yang dijalankan perusahaan adalah seharusnya sistem hidroponik harus bisa memiliki kelebihan dengan tanaman yang ditanam di tanah, selain dari sisi kualitas sayuran yang dihasilkan karena pemberian nutrisi yang sesuai. Menggunakan sistem instalasi talang bertingkat, perusahaan dapat meningkatkan kapasitas produksi sayurannya hingga hampir tiga kali lipat dibandingkan sistem hidroponik horizontal.

2.2.4 Pengelolaan Air

Kualitas air faktor utama yang perlu dipertimbangkan dalam budidaya tanaman. Tanaman terdiri atas 80-90% air (Poerwanto dan Susila, 2014:243). Kualitas air dapat di tentukan dari apa yang terkandung dari apa yang terkandung

(35)

15 sumbernya (sumur atau sungai), juga tingkat kemasamanya. Air adalah pelarut yang dapat mengandung jumlah tertentu garam-garam terlarut. Salah satu garam terlarut tersebut adalah pupuk. Untuk menyediakan sumber hara yang cukup bagi tanaman, pupuk perlu dilarutkan di dalam air.

Kualitas air dapat ditentukan dengan keberadaan partikel fisik (pasir, limestone, bahan organik), jumlah bahan terlarut (hara dan bahan kimia nonhara), dan Ph air. Beberapa hal yang berhubungan dengan kualitas air dan perlu diteliti di laboratorium adalah electrical conduktivity (EC), Ph, konsentrasi sulfat (SO4), sodium (Na), besi (Fe), dan bikarbonat (HCO3). Keadaan air juga berhubungan juga dengan kandungan Ca dan Mg yang juga perlu diperhitungkan dalam perhitungan pupuk (Poerwanto dan Susila, 2014:243).

Maksimum konsentrasi yang diperlukan dalam part per millions (ppm) garam-garam terlarut untuk budidaya tanaman di dalam green house disajikan pada Tabel 3. Parts per million adalah satu satuan pengukuran jumlah ion terlarut atau garam terlarut dan biasanya digunakan untuk mengukur konsentrasi garam-garam pupuk didalam larutan hara. Tingkat konsentrasi ion terlarut dapat juga dinyatakan dalam milligram/liter larutan. Terdapat hubungan antara milligram/liter (mg/l) dan ppm, dimana 1 mh/l sama dengan 1 ppm.

Uji kualitas air juga meliputi pH atau tingkat kemasaman air. Sekalipun suatu sumber air telah ditetapkan sebagai sumber air yang baik untuk produksi tanaman, akan tetapi harus tetap dimonitor secara rutin untuk memastikan bahwa terjadinya fluktuasi kualitas air tidak mempengaruhi produksi tanaman.

(36)

16 Tabel 3. Konsentrasi Maksimum Ion Garam Terlarut dalam Air untuk

Budidaya Tanaman

Elemen Konsentrasi Maksimum (ppm)

Nitrogen (NO3-N) 5 Fosfor (H2PO4-P) 5 Kalium (K+) 5 Kalsium (Ca++) 120 Magnesium (Mg++) 25 Klor (CI-) 100 Sulfat (SO4--) 200 Bikarbonat (HCO3-) 60 Natrium (Na++) 30 Besi (Fe+++) 5 Boron (B) 0,5 Seng (Zn++) 0,5 Mangan (Mn++) 1,0 Tembaga (Cu++) 0,2 Molibdenum (Mo) 0,02 Flour (F) 1 Ph 75 E.C. 1

Sumber : Poerwanto dan Susila (2014: 244) 2.3 Pemupukan

Larutan hara untuk pemupukan tanaman hidroponik diformulasikan sesui dengan kebutuhan tanaman mengunakan kombinasi garam-garam pupuk. Jumlah yang diberikan di sesuikan dengan kebutuhan optimal tanaman. Program pemupukan tanaman melalui hidroponik walapun kelihatanya sama untuk berbgai jenis tanaman sayuran, tetapi terdapat perbedaan kebutuhan setiap tanaman terhadap hara. Pupuk yang dapat digunakan dalam sistem hidroponik harus mempunyai tingkat kelarutan yang tinggi.

Banyak diformulasikan berbagai macam larutan hara untuk hidroponik akhir-akhir ini, tetapi pada dasarnya pengunaan hara standaruntuk tujuan komersial tidak berubah banyak dari komposisi hara tanaman yang dideskripsikan para ahli pada tahun 1800-an. Sebagaian besar tanaman hijau memperlukan total

(37)

17 16 elemen kimia untuk mempertahankan hidupnya. Dari total elemen ini hanya 13 yang dapat diberikan sebagai pupuk lewat perakaran tanaman, sedangkan 3 yang lain (oksigen, karbor dan hidrogen) dapat dari udara dan air (Poerwanto dan Susila, 2014:128).

Formulasi pupuk hidroponik untuk budidaya tanaman secara hidroponik biasanya cukup rumit karena menyangkut berbagai macam unsur yang berasal dari berbagai macam sumber pupuk. Beberapa garam pupuk tersebut ada yang berbentuk tunggal maupun majemuk. Program computer “IFF SYSTEM” telah dikembangkan untuk mempermudah penghitungan hara untuk budidaya sayuran secara hidroponik berdasarkan kebutuhan hara tanaman dan kandungan analisis air (Poerwanto dan Susila, 2014:132). Beberapa sumber pupuk yang dapat digunakan dalam formulasi pupuk hiroponik disajikan dalam Tabel 4.

(38)

18 Tabel 4. Beberapa Jenis Pupuk untuk Formulasi Hara Tanaman pada

Program Budidaya Tanaman Sayuran Secara Hidroponik

Hara Pupuk Hara

Hara Makro Nitrogen Kalsium nitrat

15,5-0-0 15,5% nitrogen (N03-N) 19% kalsium Potasium pnitrate 13-0-44 13% netrogen (N03-N) 37% potasium Ammonium nitrate 34-0-0 17% netrogen (N03-N) 17% netrogen (N04-N) Phosphorus Monopotasium phosphate

0-53-44

23% phosphorus 29% potassium Potassium Potassium nitrate

13-0-44 37% potassium 13% nitrogen (N03-N) Potassium sulfar 0-0-50 41,5% potassium 17% sulfur Monopotassium phosphate 0-53-44 23% phosphorus 29% potassium Potassium chlorida 0-0-60 49% potassium 26% chlorine Kalsium Kalsium nitrate

15,5-0-0 19% kalsium 15,5% (N03-N) Kalsium chlorida CaCl2-2H2O 27% kalsium 48% chlorine Magnesium Magnesium sulfat

MgSO4-7H2O 10% magnesium 13% sulfar Magnesium netrat Mg (N03-N)2-6H2 10% magnesium 11% mitrogen (N03-N) Sulfur Magnesium sulfat

MgSO4-7H2O 10% magnesium 13% sulfur Potasium sulfur 0-0-50 41,5% potasium 17% sulfur Clorine Kalsium chloride

CaCl2-2H2O 27% kalsium 48% chlorine Potassium chlorida 0-0-60 49% potassium 26% chlorine Hara Mikro

Iron Irone chelate 13% iron

Manganesa Manganese chelate 13% manganese

Copper Copper chelate 14% copper

Molybdenum Sodium molybdate 39% molybdenum

Boron Borox 15% boron

(39)

19 2.4 Aplikasi Pupuk dan Air (Fertigasi)

Menurut Poerwanto dan Susila (2014: 135), air dan pupuk diberikan secara bersamaan sebagai larutan hara. Jumlah air dan hara akan selalu berubah sesui dengan umur dan pertumbuhan tanaman. Kebutuhan tanaman terhadap hara dan terus meningkat sejak persemean sampai tanaman menghasilkan.

Secara umum lebih baik meningkatkan frekuansi penyiraman daripada meningkatkan jumlah air yang diberikan pada tanaman yang mendekati masa panen. Frekuensi pemberian air juga dapatuntuk mengatur keseimbangan fase vegetatif/generatif tanaman. Pada jumlah volume yang tetap, semakin banyak frekuansi penyiraman tanaman akan cenderung mengalami perubahan vegetatif, sebaliknya semakin jarang frekuansi cenderung mendorong pertumbuhan generatif.

Jadwal fertigasi untuk budidaya tanaman sayuran di dalam greenhouse secara hidroponik serta kisaran pH masuk dan pH keluar disajikan pada Tabel 5. Pengukuran EC larutan hara dapat dipakai sebagai ukuran tingkat pemberian hara pada tanaman. EC larutan hara yang memiliki target netrogen 200 ppm, kira-kira sebesar 2,5 mmhos. Tentu saja jumlah hara yang lain secara proposional mengikuti jumlah netrogen. Monitoring EC dan pH dapat dilakukan pada EC masuk (sebelum melewati media tanam) dan EC keluar (setelah melewati media tanam). Hal ini dapat memantau kecukupan hara selama pertumbuhan tanaman. Tingkat pH optimum adalah 5,8, aktivitas perakaran biasanya dapat menurunkan pH sekitar perakaran. Untuk mengatasi hal tersebut perlu digunakan pupuk yang tidak bersifat masam. Tidak direkomendasikan mengunakan pupuk masam pada

(40)

20 pH larutan 5,5, pengunaan amonium nitrat pada 2-5 ppm (NH4-N) akan menurunkan pH perakaran karena pengaruh asam dari pupuk tersebut.

Tabel 5. Jadwal Fertigasi Untuk Budidaya Tanaman Sayuran Secara Hidroponik

Umur Tanaman Waktu Pemberian (WIB) Vol. (ml/tan) EC (mS/cm) Suhu <30 RH >50% Suhu >30 RH <50% Masuk Keluar Fase Vag.I (1-6 MST) 07.00 07.00 100 1,6-1,7 1,3-1,8 09.00 09.00 100 1,6-1,7 1,3-1,8 11.00 10.30 100 1,6-1,7 1,3-1,8 13.00 12.00 100 1,6-1,7 1,3-1,8 15.00 13.30 100 1,6-1,7 1,3-1,8 15.00 100 1,6-1,7 1,3-1,8 Fase Vag. II (6-8 MST), Berbunga dan mulai berubah 07.00 07.00 150 1,8-1,9 2,0-2,1 09.00 09.00 150 1,8-1,9 2,0-2,1 11.00 10.30 150 1,8-1,9 2,0-2,1 13.00 12.00 150 1,8-1,9 2,0-2,1 15.00 13.30 150 1,8-1,9 2,0-2,1 15.00 150 1,8-1,9 2,0-2,1 Fase Gen. (>8 MST) Pematangan buah 07.00 07.00 250 2,0-2,1 2,1-2,2 09.00 09.00 250 2,0-2,1 2,1-2,2 11.00 10.30 250 2,0-2,1 2,1-2,2 13.00 12.00 250 2,0-2,1 2,1-2,2 15.00 13.30 250 2,0-2,1 2,1-2,2 15.00 250 2,0-2,1 2,1-2,2 Sumber : Poerwanto dan Susila (2014: 137)

Manajemen fertigasi merupakan cara yang fleksibel dalam pemberian pupuk untuk memenuhi kebutuhan tanaman. Pertani dapat dengan mudah menyesuaikan jumlah dan jenis pupuk untuk memenuhi kebutuhan tanaman berdasarkan tingkat perkembangan. Pemberian hara yang dapat sesuai dengan kebutuhan tanaman adalah salah satu “keyword” dalam budidaya tanaman secara hidroponik, sehingga kesuksesan dalam manajemen larutan hara merupakan juga kesuksesan dalam berbisnis tanaman secara hidroponik.

(41)

21 2.5 Electrical Conductivity (EC)

Menurut Rosliani dan Sumarni (2005: 8), kunci utama pemberian nutrisi atau pupuk pada sistem hidroponik adalah pengontrolan konduktivitas elektrik atau electrical coductivity (EC) atau aliran listrik di dalam air dengan mengunakan alat EC meter. EC ini untuk mengetahui cocok tidaknya larutan nutrisi untuk tanaman, karena kualitas larutan nutrisi atau pupuk tergantung pada konsentrasinya.

Hasil analisis air juga dilakukan terhadap Electrical Conductivity (EC). Kemampuan air sebagai penghantar listrik dipengaruhi oleh jumlah ion atau garam yang terlarut didalam air. Semakin banyak garam semakin tinggi daya hantar listrik yang terjadi. Menurut Poerwanto dan Susila (2014:243), Electrical Conductivity merupakan pengukuran tidak langsung terhadap konsentrasi garam yang dapat digunakan untuk menentukan secara umum kesesuaian air untuk budidaya tanaman dan untuk memonitor konsentrasi hara di zona perakaran yang merupakan alat untuk menentukan pemberian larutan hara kepada tanaman.

Satuan pengukuran EC adalah millimhous per centimeter (mmhos/cm), millisiemens per centimeter (mS/cm), atau micro-siemens per centimeter. Air yang sesuai untuk budidaya tanaman di dalam greenhouse sebaiknya mempunyai EC yang tidak melebihi 1,0 mmhos/cm (EC=1), (Poerwanto dan Susila, 2014:244).

2.6 Kemasaman (pH) Air

Menurut Poerwanto dan Susila (2014:245), kemasaman dan kebasaan dari air dalam pH diukur dalam sekala 0 sampai 14. Angka yang semakin rendah menunjukkan kondisi larutan yang semakin masam, sebaliknya semakin tinggi pH

(42)

22 semakin alkalin. Sekala pH adalah logaritmik, artinya peningkatan 1 angka, misalnya 4 ke 5 menunjukkan 10 kali peningkat alkalinitasnya, demikian juga sebaliknya.

Pada lokasi tertentu, pH air cukup alkalin dengan pH 7,0-7,5. Alkalinitas air ini menigkat dengan bertambahnya konsentrasi Bikarbonat (HCO3). Pengukuran pH mencerminkan reaksi kimia air dan larutan hara. Kondisi pH larutan hara sangat menentukan tingkat kelarutan unsur hara dan ketersediaan hara bagi tanaman (Poerwanto dan Susila, 2014:245).

Kondisi pH optimum larutan hara yang mencerminkan ketersediaan hara bagi tanaman berkisar dari 5,5-6,0. pengaturan pH larutan dapat dilakukan mengunakan larutan asam seperti asam fosfat dan asam nitrat. Ketika bahan-bahan tersebut digunakan, kandungan N, P yang terikat harus diperhitungkan dalam pemberian hara.

Jumlah yang diperlukan untuk mengatur pH biasanya bergantung konsentrasi bikarbonat (HCO3) di dalam air. Jumlah ini diketahui dari analisis air yang dinyatakan dalam ppm. Target pH larutan hara biasanya 5,8 atau setara dengan 60 ppm konsentrasi bikarbonat. Bila kandungan air yang digunakan untuk melarutkan hara mempunyai pH 8,1 dan bicarbonat 207 ppm, maka 200 ppm-60 ppm = 140 ppm bikarbonat yang perlu di netralkan untuk mengurangi pH dari 8,1 menjadi 5,8. Untuk menetralkan 61 ppm atau 1 miliequivalen bicarbonate memerlukan kurang lebih 70 ml asam phosphat 85% atau 76 ml asam nitrat 67% per 1.000 liter air, sehingga untuk menetralkan 140 bicarbonat diperlukan beberapa hal sebagai berikut.

(43)

23 1. Mengunakan Asam Phosphat 85%

140/61 = 2,3 miliequivalen bicarbonate yang harus dinetralkan 2,3 miliequivalen x 70 ml asam phosphat 85% untuk setiap miliequivalen = 2,3 x 70 ml = 161 ml asam phosphat 85% untuk setiap 1.000 liter air.

2. Mengunakan Asam Nitrat 67%

miliequivalen bicarbonate yang harus dinetralkan. 2,3 miliequivalen x 76 ml per milliequivalen = 2,3 x 76 ml = 174,8 ml Asam Nitrat 67% untuk setiap 1.000 liter air.

Perhitungan tersebut harus dilakukan untuk setiap sumber air sesuai dengan hasil analisis kandungan bicarbonat. Asam mempunyai sifat yang korosif sehingga harus ditangani secara hati-hari (Poerwanto dan Susila, 2014:246). 2.7 Usahatani

Menurut Soekartawi (2016:1), ilmu usahatani adalah ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang mengalokasikan sumber daya yang ada secara efektif dan efisien untuk memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu. Dikatakan efektif bila petani dapat mengalokasikan sumber daya yang mereka miliki sebaik-baiknya, dan dapat dikatakan efisien bila pemanfaatan sumberdaya tersebut mengeluarkan output yang melebihi input.

Usahatani adalah ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang mengusahakan dan mengkoordinir factor-faktor produksi berupa lahan dan alam sekitarnya sebagai modal sehingga memberikan manfaat yang sabaik-baikny (Suratiyah, 2009:8).

(44)

24 Produktivitas usahatani semakain tinggi bila petani atau produsen mengalokasikan faktor produksi berdasarkan prinsip efesiensi teknis dan efesiensi harga, (Shinta, 2011:35-55). Faktor produksi dalam usahatani memiliki kemampuan terbatas untuk memproduksi dalam usahatani memiliki kemampuan terbatas untuk berproduksi secara berkelanjutan, tetapi dapat ditingkatkan nilai produktivitasnya melalui produktivitasnya yang tepat, misalnya faktor produksi lahan. Berikut uraian dari masing-masing faktor produksi dalam usahatani.

1. Faktor Alam

Faktor alam dalam usahatani merupakan faktor penting, sehingga dalam batas tertentu petani sebagai pelaku usahatani harus menyesuaikan kegiatan usahataninya dengan kondisi alam. Hal ini disebabkan oleh karakteristik usaha pertanian yang sangat peka terhadap pengaruh alam. Faktor alam dibedakan menjadi dua, yaitu faktor lingkungan alam sekitarnya dan faktor tanah. Faktor alam sekitar yaitu iklim yang berkaitan dengan ketersediaan air, suhu dan lain sebagainya. Iklim menjadi faktor penentu komoditas yang ditanam di suatu daerah karena setiap komoditas pertanian memiliki spesifikasi yang berbeda untuk dapat tumbuh, salah satunya kecocokan dengan iklim di lokasi usahtani. Selain itu, iklim juga berpengaruh terhadap cara mengusahakan serta teknologi yang akan digunakan. Faktor alam yang lain adalah tanah. Tanah juga merupakan faktor produksi yang penting karena tanah merupakan tempat tumbuhnya tanaman, ternak, dan usahatani keseluruhannya. Jenis-jenis tanah yang terkait dengan kesuburan, lokasi, luas,

(45)

25 dan kemiringan akan mempengaruhi produktivitas tanaman. Tentu saja faktor tanah tidak terlepas dari pengaruh alam sekitarnya.

2. Faktor Tenaga Kerja

Tenaga kerja adalah energi yang dicurahkan dalam suatu proses kegiatan untuk menghasilkan suatu produk. Tenaga kerja manusia (laki-laki, perempuan dan anak-anak) bisa berasal dari dalam maupun luar keluarga. Tenaga kerja luar keluarga diperoleh dengan cara upahan dan sambatan (tolong-menolong, misalnya arisan dimana setiap peserta arisan akan mengembalikan dalam bentuk tenaga kerja kepada anggota lainnya). Petani adalah setiap orang yang melakukan usaha untuk memenuhi sebagian atau seluruh kebutuhan hidupnya di bidang pertanian dalam arti luas yang meliputi usahatani pertanian, peternakan, perikanan dan pemungutan hasil laut.

3. Faktor Modal dan Peralatan Tanah serta alam sekitarnya dan tenaga kerja adalah faktor produksi asli, sedangkan modal dan peralatan merupakan substitusi faktor produksi tanah dan tenaga kerja. Dengan modal dan peralatan, faktor produksi tanah dan tenaga kerja dapat memberikan manfaat yang jauh lebih baik bagi manusia. Selain itu dengan modal dan peralatan, penggunaan tanah dan tenaga kerja dapat dihemat.

4. Faktor Manajemen

Faktor produksi usahatani pada dasarnya adalah tanah dan alam sekitarnya, tenaga kerja, modal, serta peralatan. Akan tetapi, harus ada yang mengatur penggunaan faktor-faktor produksi tersebut agar dapat bersinergi dengan baik sehingga mencapai tujuan usahatani. Manajemen sebenarnya melekat pada

(46)

26 tenaga kerja dan petani merupakan pihak yang berperan sebagai manajer. Untuk meraih keberhasilan usahatani sangat ditentukan oleh pengambilan keputusan yang berdasarkan pada tujuan-tujuan usahatani, permasalahan, serta kondisi yang jelas, fakta dan data yang aktual, serta analisis yang tepat dan akurat. Oleh karena itu, kemampuan, pengetahuan sedangkan modal dan peralatan merupakan substitusi faktor produksi tanah dan tenaga kerja. Dengan modal dan peralatan, faktor produksi tanah dan tenaga kerja dapat memberikan manfaat yang jauh lebih baik bagi manusia. Selain itu,dengan modal dan peralatan, penggunaan tanah dan tenaga kerja dapat dihemat.

2.7.1 Biaya Usahatani

Penggunaan input produksi akan berpengaruh pada besar kecilnya biaya usahatani. Menurut Soekartawi (2016:56), biaya usahatani diklasifikasikan menjadi dua, yaitu biaya tetap (fixed cost) dan biaya variabel (variabel cost). Biaya tetap merupakan biaya yang relatif tetap jumlahnya, dan terus dikeluarkan walaupun produksi yang diperoleh banyak ataupun sedikit. Jadi besarnya biaya tetap tidak bergantung pada besar kecilnya produksi yang diperoleh. Contoh biaya tetap antara lain pajak, sewa tanah, alat pertanian, iuran irigasi dan listrik. Biaya variabel merupakan biaya yang besar-kecilnya dipengaruhi oleh produksi yang diperoleh. Biasanya komponen yang termasuk biaya variabel adalah sarana produksi, upah tenaga kerja dan biaya angkut. Jika biaya tetap dan biaya variabel dijumlahkan maka akan didapatkan biaya total.

Menurut Soeharjo dan Patong (1973:14) definisi biaya usahatani atau disebut juga pengeluaran usahatani adalah nilai semua masukan yang terpakai

(47)

27 atau dikeluarkan di dalam produksi. Biaya usahatani dapat berbentuk biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan. Biaya tunai adalah biaya yang dibayar dengan uang seperti biaya pada pembeliaan sarana produksi dan biaya upah tenaga kerja. Biaya yang diperhitungkan digunakan untuk menghitung berapa sebenarnya pendapatan kerja petani kalau modal milik petani sendiri (lahan). Modal yang digunakan petani diperhitungkan sebagai modal pinjaman meskipun modal itu milik sendiri karena modal tersebut dapat dialokasikan untuk beberapa alternatif penggunaan, sehingga harus memperhitungkan juga jasa modal milik petani yang dihitungkan berdasarkan harga pasar yang berlaku. Tenaga kerja keluarga dinilai upah yang berlaku.

Biaya atau pengeluaran mencangkup juga penurunan inventaris usahatani. Nilai inventaris berkurang apabila hilang, rusak atau terjadi penyusutan. Penyusutan terjadi karena pengaruh umur atau karena dipakai. Tujuan utama dari dari analisis pendapatan usahatani menurut Soeharjo dan Patong, (1973:23) adalah mengambarkan tingkat keberhasilan kegiatan usahatani dan menggambarkan keadaan yang akan datang dari perencanaan yang dibuat.

2.7.2 Penerimaan

Menurut Hernanto (1995:56), penerimaan usahatani adalah penerimaan dari semua usahatani meliputi jumlah penambahan inventaris, nilai penjualan hasil, dan nilai yang dikonsumsi. Penerimaan usahatani merupakan total penerimaan dari kegiatan usahatani yang diterima pada akhir proses produksi. Penerimaan usahatani dapat pula diartikan sebagai keuntungan material yang

(48)

28 diperoleh seorang petani atau bentuk imbalan jasa petani maupun keluarganya sebagai pengelola usahatani maupun akibat pemakaian barang modal yang dimilikinya.

Penerimaan usahatani dapat dibedakan menjadi dua, yaitu penerimaan bersih usahatani dan penerimaan kotor usahatani (gross income). Penerimaan bersih usahatani adalah merupakan selisih antara penerimaan kotor usahatani dengan pengeluaran total usahatani. Pengeluaran total usahatani adalah nilai semua masukan yang habis terpakai dalam proses produksi, tidak termasuk tenaga kerja dalam keluarga petani. Sedangkan penerimaan kotor usahatani adalah nilai total produksi usahatani dalam jangka waktu tertentu baik yang dijual maupun tidak dijual (Soerkartawi, 2016:85).

Penerimaan usahatani dipengaruhi oleh produksi fisik yang dihasilkan, dimana produksi fisik adalah hasil fisik yang diperoleh dalam suatu proses produksi dalam kegiatan usahatani selama satu musim tanam. Penerimaan usahatani akan meningkat jika produksi yang dihasilkan bertambah dan sebaliknya akan menurun bila produksi yang dihasilkan berkurang. Di samping itu, bertambah atau berkurangnya produksi juga dipengaruhi oleh tingkat penggunaan input pertanian. Menurut Soerkartawi (2016:87), penerimaan usahatani adalah perkalian antara produksi dengan harga jual. Biaya usahatani adalah semua pengeluaran yang dipergunakan dalam suatu usahatani dan pendapatan usahatani adalah selisih antara penerimaan dengan pengeluaran usahatani.

(49)

29 2.7.3 Pendapatan Usahatani

Menurut Soerkartawi (2006:54), pendapatan usahatani adalah perkalian antara volume produksi yang di peroleh dari harga jual. Harga jual adalah harga teransaksi antara petani (penjual) dan pembeli untuk setiap komoditas untuk satuan tempat. Satuan yang digunakan seperti satuan yang lazim dipakai pembeli/penjual secara partai besar, misalnya : kg, kwintal, ikat, dan sebagainya.

Menurut Soekartawi dalam Agustian (2016:11), pendapatan usahatani dipengaruhi oleh faktor intern dan faktor ekstern usahatani. Faktor intern usahatani meliputi kesuburan tanah, luas tanah garapan, ketersediaan tenaga kerja keluarga, ketersediaan modal, penggunaan teknologi, pola tanam, lokasi tanaman, fragmentasi lahan, status penguasaan lahan, cara pemasaran output, efisiensi penggunaan input serta tingkat pengetahuan dan keterampilan (petani dan tenaga kerja). Sedangkan faktor ekstern usahatani meliputi sarana transportasi, sistem tataniaga, penemuan teknologi baru, fasilitas irigasi, tingkat harga output dan input, ketersediaan lembaga perkreditan, adat istiadat masyarakat serta kebijakan pemerintah.

Beberapa definisi dikemukakan oleh Soekartawi dalam Agustian (2016:11), berkaitan dengan pendapatan dan keuntungan yaitu:

1. Penerimaan tunai usahatani (farm receipt) adalah nilai uang yang diterima dari penjualan produk usahatani. Penerimaan tunai usahatani tidak mencakup pinjaman uang untuk keperluan usahatani.

(50)

30 2. Pengeluaran tunai (farm payment) adalah jumalh biaya yang dikeluarkan untuk pembelian barang dan jasa bagi usahatani, dan tidak mencakup bunga pinjaman dan jumlah pinjaman pokok.

3. Pendapatan tunai usahatani (farm net cash flow) adalah selisih antara penerimaan tunai usahatani dengan pengeluaran tunai usahatani.

4. Penerimaan total usahatani (total farm revenue) adalah penerimaan dari semua sumber usahatani yang meliputi jumlah penambahan inventaris, nilai penjualan hasil dan nilai penggunaan untuk konsumsi keluarga. 5. Pengeluaran total usahatani (total farm expensive) adalah semua

biaya-biaya operasional dengan tanpa menghitung bunga dari modal usahatani dan nilai kerja dari pengelolaan usahatani. Pengeluaran ini meliputi pengeluaran tunai, penyusutan benda fisik, pengurangan nilai inventaris dan nilai tenaga kerja yang tidak dibayar atau tenaga kerja keluarga.

Analisis pendapatan pada kegiatan usahatani dilakukan untuk menilai dua hal, yaitu untuk menggambarkan keadaaan yang terjadi saat ini serta menggambarkan keadaan di masa datang pada usahatani yang dijalankan. Pendapatan usahatani dapat dijadikan sebagai ukuran keberhasilan usahatani yang dijalankan (Soerkartawi dalam Agustian, 2016:12). Pendapatan usahatani merupakan balas jasa terhadap penggunaan faktor-faktor produksi (lahan, modal, tenaga kerja dan pengelolaan). Sedangkan keuntungan usahatani merupakan selisih antara penerimaan usahatani dengan pengeluaran atau biaya produksi usahatani. Penerimaan usahatani didapatkan melalui nilai produk yang dijual serta kenaikan nilai inventaris. Sedangkan Pengeluaran usahatani terdiri dari biaya

(51)

31 produksi (biaya tetap dan biaya variabel), biaya tunai, biaya diperhitungkan, penurunan nilai inventaris dan bunga modal.

2.7.4 Analisis Rasio Penerimaan Atas Biaya (R/C Rasio)

R/C Ratio adalah perbandingan antara total penerimaan dengan seluruh biaya yang digunakan pada saat proses produksi sampai hasil. R/C ratio yang semakin besar akan memberikan keuntungan semakin besar juga kepada petani dalam melaksanakan usahataninya (Soerkartawi, 2016:85).

Selanjutnya menurut Soerkartawi (2016:87), komponen biaya dapat dianalisis keuntungan usahatani dengan menggunakan analisis R/C Ratio. R/C adalah singkatan dari (Revenue/Cost Ratio) atau dikenal sebagai perbandingan antara penerimaan dan biaya. Analisis ini digunakan untuk mengetahui apakah usahatani itu menguntungkan atau tidak dan layak untuk dikembangkan. Jika hasil R/C Ratio lebih dari satu maka usahatani tersebut menguntungkan, sedangkan jika hasil R/C Ratio sama dengan satu maka usahatani tersebut dikatakan impas atau tidak mengalami untung dan rugi dan apakah hasil R/C Ratio kurang dari satu maka usahatani tersebut mengalami kerugian. Rasio penerimaan atas biaya produksi dapat digunakan untuk mengukur tingkat keuntungan relatif kegiatan usahatani, artinya dari angka rasio penerimaan atas biaya tersebut dapat diketahui apakah usahatani menguntungkan atau tidak.

2.8 Penelitian Terdahulu

Sitanggang (2008), menganalisis pendapatan usahatani untuk menganalisis tingkat pendapatan petani dari kegiatan usahatani organik dan anorganik dan

(52)

32 analisis perbandingan penerimaan dan biaya (R/C rasio) untuk mengukur tingkat efesiensi masing-masing usahatani terhadap setiap pengunaan satu satuan unit yang memberikan kelipatan atau rasio antara jumlah penerimaan dengan jumlah biaya. Hasil Analisis pendapatan menunjukkan bahwa produksi rata-rata bawang daun organik per luasan lahan rata-rata (0,3 ha) per musim tanam adalah 2,250 kg, sehingga penerimaan yang diperoleh petani sebesar Rp 27.000.000,- sedangkan produksi rata-rata bawang daun organik per hektar per musim tanam adalah 18.000 kg, sehingga penerimaan yang diperoleh petani sebesar Rp 216.000.000,- Produksi rata-rata bawang daun anorganik per luasan lahan rata-rata (0,3ha) per musim tanam adalah 2.812 kg, sehingga penerimaan yang diperoleh petani sebesar Rp 16.872.000,- sedangkan produksi rata-rata bawang daun anorganik per hektar per musim tanam adalah 22,500 kg, sehingga penerimaan yang diperoleh petani sebesar Rp 135.000.000,-.

Kusumah (2004), analisisi perbandingan usahatani dan pemasaran antara padi organik dan padi anorganik studi kasus Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, hasil analisis pendapatan atas biaya tunai petani organik lebih rendah dari pendapatan atas biyaya tunai petani padi anorganik. Apabila dilihat dari imbangan penerimaan dan biaya (R/C rasio) diketahui bahwa R/C rasio atas biyaya tunai diperoleh petani padi organik (1,95) lebih rendah dari R/C rasio yang diperoleh petani padi anorganik, yaitu 2,23. Hal ini berarti bahwa setiap 1 rupiah biyaya yang dikeluarkan oleh petani padi organik hanya akan memberikan penerimaan sebesar Rp 1,95, lebih rendah dari penerimaan yang diperoleh petani padi anorganik.

(53)

33 Selain itu, Poetryani (2011), menganalisis perbandingan efesiensi ushatani, mengestimasi perbandingan pendapatan, serta mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap biyaya produksi dan pendapatan usahatani organik dengan anorganik. Hasil penelitian usahatani padi organik lebih efesien dari segi biaya dan pendapatan dilihat dari R/C rasio atas biaya total usahatani padi organik sebesar 5,87 artinya setiap Rp 1 dari biaya total yang dikeluarkan petani padi organik akan memberikan penerimaan sebesar Rp 5,87, sedangkan R/C rasio atas biaya total usaha tani padi anorganik sebesar 3,43 yang berarti bahwa setiap Rp 1 dari biaya total yang dikeluarkan oleh petani padi anorganik akan memberikan penerimaan sebesar Rp 3,43. kemudian R/C rasio tunai usahatani organik adalah sebesar 5,96, yang berarti bahwa setiap Rp 1 dari biaya tunai yang di keluarkan oleh petani padi anorganik akan memberikan penerimaan sebesar Rp 3,47. hasil anaisis pendapatan menunjukan endapatan total rata-rata usahatani padi organik lebih besar dibandingkan usahatani padi anorganik, yaitu masing-masing sebesar Rp 7,90 juta dan Rp 6,81 juta.

2.9 Kerangka Pemikiran

Adanya permasalahan dengan biaya produksi yang tinggi, pasar yang belum terbuka secara luas perlu dilakuakan penelitian secara lebih mendalam terhadap usahatani selada hidroponik yang sedang di kembangkan. Hal ini dilakukan agar petani dapat memperoleh informasi yang lebih jelas dari usahatani yang sedang dikembangkannya sehingga keputusan petani untuk melakukan perubahan dalam sistem usahataninya tidak berdasarkan ikut-ikutan tetapi berdasarkan perhitungan yang matang.

Gambar

Tabel  1.  Konsentrasi  Unsur  Hara  dalam  Larutan  Hara  yang  Digunakan   Beberapa Petani Selada Hidroponik
Tabel  5.  Jadwal  Fertigasi  Untuk  Budidaya  Tanaman  Sayuran  Secara   Hidroponik
Tabel 6. Biaya Penyusutan Alat-alat Pertanian Hidroponik Sistem Deep Flow  Technique (DFT) dan Sistem Nutrient Film Technique (NFT)
Tabel 7. Analisis Pendapatan Usahatani Hidroponik Selada Sistem Deep Flow  Technique (DFT) di Specta Farm
+2

Referensi

Dokumen terkait