• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Emulsi Minyak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Emulsi Minyak"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Emulsi Minyak

Dewasa ini, industri pengolahan berbasis minyak dan lemak di Indonesia semakin berkembang pesat, akan tetapi hal ini tidak diimbangi dengan adanya pengolahan limbah terpadu yang dihasilkan setiap harinya selama proses produksi berlangsung. Limbah yang dihasilkan ini dapat berupa campuran antara minyak, air, maupun lumpur. Minyak tidak dapat larut di dalam air, melainkan akan mengapung di atas permukaan air. Bahan buangan cairan berminyak yang dibuang ke lingkungan akan mengapung menutupi permukaan air. Apabila bahan buangan cairan berminyak mengandung senyawa yang volatil, maka akan terjadi penguapan dan bagian luar permukaan minyak yang menutupi permukaan air akan menyusut. Penyusutan luas permukaan ini tergantung pada jenis minyaknya dan waktu lapisan minyak yang menutupi permukaan air dapat juga terdegradasi oleh mikroorganisme tertentu, namun memerlukan waktu yang cukup lama (Juni, 2010).

Adanya lapisan minyak pada permukaan air di lingkungan dapat mengganggu kehidupan organisme dalam air. Hal ini disebabkan karena lapisan minyak pada permukaan air akan menghalangi difusi oksigen dari udara ke dalam air, sehingga jumlah oksigen yang terlarut di dalam air menjadi berkurang. Kandungan oksigen yang menurun akan mengganggu kehidupan hewan air. Adanya lapisan minyak pada permukaan air juga akan menghalangi masuknya sinar matahari ke dalam air, sehingga fotosintesis oleh tanaman air tidak dapat berlangsung. Akibatnya, oksigen yang seharusnya dihasilkan pada proses fotosintesis tersebut tidak terjadi. Kandungan oksigen dalam air akan semakin menurun. Tidak hanya itu, air yang telah tercemar oleh minyak juga tidak dapat dikonsumsi oleh manusia karena seringkali dalam cairan yang berminyak terdapat pula zat-zat beracun, seperti senyawa benzene, senyawa toluene, dan sebagainya (Juni, 2010).

Untuk mengatasi berbagai persoalan pencemaran air oleh kegiatan industri, pemerintah telah mengatur dan menetapkan baku mutu air limbah yang dapat dilihat pada lampiran Kepmen LH Nomor KEP-51/MENLH/10/1995. Baku mutu air limbah adalah batas kadar dan jumlah unsur pencemar yang dapat ditolerir keberadaannya dalam air limbah untuk dibuang ke perairan dari suatu kegiatan tertentu. Baku mutu air limbah berfungsi sebagai suatu arahan atau pedoman pembuangan air limbah dan pengendalian pencemaran perairan. Baku mutu air limbah untuk industri di Indonesia dapat dilihat pada

Tabel 1.

Tabel 1. Baku Mutu Air Limbah dari Hasil Kegiatan Industri di Indonesia

Parameter Konsentrasi

COD 100-300 mg/L

BOD 50-150 mg/L

Minyak Nabati 5-10 mg/ L Minyak Mineral 10-50 mg/L Zat Padat Tersuspensi (TSS) 200-400 mg/L

pH 6,0-9,0 Suhu 38-40 oC Amonia Bebas (NH3) 1,0-5,0 mg/L Nitrat (NO3-N) 20-30 mg/L Sulfida (H2S) 0,05-0,1 mg/L Fenol 0,5-1,0

(2)

Damar (2011) 

Umumnya, industri pengolahan berbasis minyak dan lemak telah dilengkapi dengan teknologi pengolahan air limbah menggunakan flokulasi dan elektrolisis atau lebih dikenal dengan istilah Oil Water

Separator (OWS). Pada dasarnya proses pemisahan alat ini dilakukan sesuai dengan perbedaan berat jenis. Saat proses pemisahan terjadi, fase air akan berada di bagian bawah dan fase minyak akan berada di bagian atas karena berat jenis air lebih besar daripada berat jenis minyak (Yudhistira, 2007). Sisa minyak yang terkumpul akan di salurkan atau dibuang menuju sludge tank, sedangkan sisa air dengan kadar kontaminasi minyak maksimal ppm akan di buang keluar melaui pipa outlet. Dow (2010) menerangkan bahwa

teknologi OWS ini belum terlalu membantu dalam menyelesaikan masalah, bila ditinjau dari konsistensi proses dan jasa ekonomi. Oleh karena itu, pemilihan elektrolit yang tepat dan teknik pemisahan yang cepat dengan bantuan demulsifier merupakan faktor yang penting yang harus dipertimbangkan untuk pengembangan sistem pengolahan yang lebih efisien agar air limbah dapat dilepaskan ke dalam sistem saluran kota dan akhirnya kembali ke sumbernya dengan aman tanpa merusak lingkungan. Lebih jelas mengenai cara kerja dari Oil Water Separator (OWS) dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Skema Proses Pemisahan Limbah Emulsi Minyak dengan OWS (Yudishtira, 2007)

Syauqi (2009) mengutarakan terdapat tiga metode yang bisa dilakukan dalam memisahkan campuran emulsi, yaitu thermal, electrical, dan chemical method, ataupun kombinasi dari ketiga metode tersebut. Metode termal (perlakuan panas) dalam merusak sistem emulsi biasanya menghabiskan dana yang banyak tergantung dari kecanggihan peralatan yang digunakan dan kelarutan air dalam minyak karena suhu yang diperlukan harus sangat tinggi dan panas agar tercipta kondisi pemisahan yang optimal, sedangkan metode electrical (muatan elektrolit) dapat mengakibatkan terganggunya tegangan permukaan pada tiap

droplet emulsi, sehingga menyebabkan molekul polar reorientasi diri yang membuat film disekitar droplet

emulsi melemah karena molekul polar tidak lagi intens pada permukaan droplet. Umumnya, metode ini tidak menyelesaikan pemisahan emulsi sepenuhnya dengan sendirinya, meskipun terkadang sering ditambahkan pula bahan kimia dan pemanasan, tapi tetap saja metode ini dianggap kurang efisien. Metode

chemical merupakan metode yang paling umum digunakan untuk memisahkan campuran emulsi air dalam

(3)

dirancang untuk menetralisir efek dari agen pengemulsi, sehingga efektif mampu memecahkan film antarmuka tanpa penambahan peralatan baru atau modifikasi dari peralatan yang ada.

2.2

Demulsifikasi

Demulsifikasi adalah pemecahan emulsi menjadi minyak dan air dengan menurunkan stabilitas emulsi, seperti menghancurkan film interface dengan cara menaikkan suhu, menurunkan pengadukan, menaikkan waktu tinggal, dan mengusir padatan. Beberapa metode demulsifikasi yang sering digunakan, yaitu metode termal, metode listrik, metode mekanik, dan metode kimia (Wasirnuri, 2008). Pemecahan emulsi identik dengan proses demulsifikasi atau memisahkan minyak dari air. Bahan kimia yang biasa dipakai berupa demulsifier atau emulsion breaker. Demulsifier atau pemutus emulsi termasuk kelas bahan kimia khusus yang digunakan untuk memisahkan emulsi, misalnya air dalam minyak.

Ansyori (2003) menjelaskan fungsi demulsifier adalah memisahkan partikel-partikel air dari minyak pada sistem emulsi yang stabil. Demulsifier termasuk solvent base (pelarut dominan) dengan prinsip kerjanya menurunkan tegangan permukaan atau interface sistem minyak-air atau air-minyak, sehingga partikel-partikel kecil minyak atau air akan menyatu menjadi ukuran yang lebih besar atau lebih berat. Pengguna utama dari demulsifier biasanya adalah industri baja, alumunium, pengolahan kimia, penyulingan minyak, serta industri yang bergerak dalam pengolahan minyak mentah di ladang minyak

Elaine (2006) menambahkan bahwa kestabilan emulsi cair dapat rusak apabila terjadi pemanasan, proses sentrifugasi, pendinginan, penambahan elektrolit, dan perusakan zat pengemulsi. Krim (creaming) atau sedimentasi dapat terbentuk pada proses ini. Pembentukan krim dapat dijumpai pada emulsi minyak dalam air. Apabila kestabilan emulsi ini rusak, maka partikel-partikel minyak akan naik ke atas membentuk krim dan partikel-partikel air akan turun ke bawah. Contoh penggunaan proses ini adalah penggunaan proses demulsifikasi dengan penambahan elektrolit untuk memisahkan karet dalam lateks yang dilakukan dengan penambahan asam format (CH2O2) atau asam asetat (CH3COOH).

Gaya gravitasi membuat kedua campuran antara minyak dan air menjadi terpisah. Partikel-partikel air yang telah menyatu akan turun, sedangkan partikel-partikel minyak yang telah menyatu akan naik, maka terjadilah dua fase yang terpisah, yaitu minyak dan air tanpa terjadinya reaksi kimia, tetapi hanya reaksi fisika saja. Reaksi ini sangat dipengaruhi oleh suhu. Umumnya, semakin tinggi suhu semakin efektif reaksinya, misalnya untuk emulsi yang terjadi pada heavy crude oil, suhu mulai efektif pada 150 ˚F (Ansyori, 2003).

Pemilihan jenis demulsifier yang tepat sangat penting untuk diperhatikan. Biasanya jenis

demulsifier yang dipilih tergantung pada jenis emulsi, baik Oil in Water (O/W) ataupun Water in Oil

(W/O), serta jenis kotoran yang terkandung dalam emulsi itu. Setelah diketahui ada atau tidaknya kotoran yang terkandung dalam emulsi dan jenis emulsi apa yang dominan pada air limbah emulsi tersebut, selanjutnya dilakukan pemilihan demulsifier yang cocok agar proses demulsifikasi dapat berlangsung cepat dan sempurna (Ansyori, 2003).

Lebih lanjut, Dow (2010) juga menjelaskan bahwa terdapat berbagai cara yang bisa dilakukan untuk memecahkan sistem emulsi, diantaranya meningkatkan suhu agar emulsi tersebut menjadi tidak stabil, menambahkan asam untuk menurunkan pH dan menghilangkan stabilitas pada emulsi, menambahkan garam (elektrolit) agar sistem emulsi menjadi tidak stabil, maupun dengan menambahkan surfaktan yang memiliki nilai Hidrofil Lipofil Balance (HLB) tinggi ke dalam sistem emulsi yang memiliki nilai HLB lebih rendah, maupun sebaliknya yang bertujuan untuk mengacaukan sistem emulsi tersebut.

(4)

2.3

GARAM

Dalam industri eksplorasi minyak dan gas, garam merupakan komponen penting yang harus dimasukkan ke dalam sumur selama proses pengeboran agar terjadi flokulasi dan meningkatkan densitas fluida pengeboran untuk mengatasi tekanan downwell gas yang tinggi. Proses demulsifikasi dengan cara melalui penambahan garam sebenarnya telah sering dilakukan. Xia et al. (2010) menjelaskan bahwa secara khusus, emulsi bisa dipisah menjadi minyak dan air dalam waktu yang sangat singkat dengan cara menambahkan garam anorganik, seperti NaCl, CaCl2, KCl, dan sebagainya.

Sodium klorida atau natrium klorida (NaCl) yang dikenal sebagai garam adalah suatu senyawa kristal tidak berwarna (putih) yang memiliki tingkat osmotik tinggi, sehingga mudah terlarut di dalam air dan termasuk jenis garam yang paling mempengaruhi salinitas laut. NaCl juga merupakan jenis garam yang terbaik dalam proses demulsifikasi karena garam anorganik ini mampu mempercepat proses terjadinya pemisahan antara minyak dan air, ataupun sebaliknya pada suhu tinggi selama 120-150 detik dengan tingkat efisiensi terbesar, yaitu 100% dibandingkan garam jenis lainnya.

Kalium klorida (KCl) merupakan garam logam halida yang terbuat dari kalium dan klor. Dalam keadaan murni, tidak berbau dan memiliki kristal berwarna (putih) dengan struktur kristal kubik berpusat di muka, tidak larut dalam air, tetapi hanya larut dalam pelarut non polar, seperti alkohol. Garam jenis ini biasa digunakan dalam industri pangan, maupun untuk dunia kedokteran. Kalsium klorida (CaCl2) terbuat

dari garam kalsium dan klorin dan dapat larut dengan baik di dalam air, maupun pelarut non polar. Banyak digunakan dalam industri pangan, farmasi, serta dalam pengolahan air limbah.

Ketiga jenis garam ini bersifat higroskopis, terutama Ca karena kemampuan menyerap air dan udara yang tinggi, sehingga tidak jarang dapat menyebabkan terjadinya korosif pada media yang digunakan dan harus disimpan dalam keadaan tetutup rapat agar tidak terkontaminasi dengan udara (Anonim, 2011).

Hasil penelitian yang dilakukan Saiwan (2010) menjelaskan bahwa banyak faktor yang dapat mempengaruhi proses demulsifikasi, seperti suhu, kecepatan pengadukan, serta jumlah NaCl yang ditambahkan ke dalam air limbah emulsi. Kondisi optimal yang memungkinkan dalam proses demulsifikasi dengan fraksi volume tinggi untuk setiap emulsi dengan kadar padatan yang berbeda-beda. Umumnya, kondisi untuk emulsi dengan kadar kepadatan 3% yang biasa diterapkan dalam pengolahan air limbah emulsi, dimana air hasil demulsifikasi ini telah memenuhi kualitas air berdasarkan hasil tesifikasi yang menunjukkan bahwa antara minyak dan lemak, suspended solid, dan pH masih dalam batas standar effluen.

2.4

ASAM

Demulsifikasi juga dapat dilakukan dengan cara menambahkan asam, misalnya asam format ataupun asam asetat yang biasa digunakan untuk memisahkan karet dalam lateks (Elaine, 2006). Asam asetat atau asam etanoat atau asam cuka adalah senyawa kimia asam organik yang dikenal sebagai pemberi rasa asam dan aroma dalam makanan. Asam cuka memiliki rumus empiris C2H4O2. Rumus ini seringkali

ditulis dalam bentuk CH3-COOH, CH3COOH, atau CH3CO2H. Asam asetat murni disebut asam asetat

glasial adalah cairan higroskopis tak berwarna dan memiliki titik beku 16, 7 °C.

Asam asetat (CH3COOH) merupakan salah satu asam karboksilat paling sederhana setelah asam

format. Larutan asam asetat dalam air merupakan sebuah asam lemah, artinya hanya terdisosiasi sebagian menjadi ion H+ dan CH

3COO-. Asam asetat merupakan pereaksi kimia dan bahan baku industri yang

penting. Asam asetat digunakan dalam produksi polimer seperti polietilena tereftalat, selulosa asetat, dan polivinil asetat, maupun berbagai macam serat dan kain. Di rumah tangga, asam asetat encer juga sering digunakan sebagai pelunak air. Dalam setahun, kebutuhan dunia akan asam asetat mencapai 6,5

(5)

juta ton per tahun. Sebanyak 1,5 juta ton per tahun diperoleh dari hasil daur ulang, sisanya diperoleh dari industri petrokimia maupun dari sumber hayati (Anonim, 2011).

Sebagai pelarut asam asetat cair adalah pelarut protik hidrofilik (polar), mirip seperti air dan etanol. Asam asetat memiliki konstanta dielektrik yang sedang, yaitu 6,2. Oleh karena itu, dapat melarutkan senyawa polar seperi garam anorganik dan gula, maupun senyawa non-polar seperti minyak dan unsur-unsur seperti sulfur dan iodin. Asam asetat bercampur dengan mudah dengan pelarut polar atau nonpolar lainnya seperti air, kloroform, dan heksana. Sifat kelarutan dan kemudahan bercampur dari asam asetat ini membuatnya digunakan secara luas dalam industri minyak dan kimia, akan tetapi harus lebih berhati-hati ketika menggunakan semua bahan kimia yang berjenis asam, karena memiliki sifat yang korosif dan berbahaya bagi kesehatan (Anonim, 2011).

Syauqi (2009) menjelaskan bahwa jenis demulsifier yang cocok untuk campuran bahan emulsi

Water in Oil adalah asam butanoat (C3H7COOH) dan asam format (CH2O2), dimana kedua jenis asam ini

biasa dipakai dalam pemisahan emulsi air dalam minyak pada kilang minyak di Dubai dengan tetap memperhatikan beberapa faktor pendukung lainnya, seperti kondisi suhu dan pengoptimasian pengadukan selama proses demulsifikasi agar pemisahan dapat berlangsung cepat.

2.5

SURFAKTAN

Surfaktan (surface active agent) merupakan bahan kimia yang berpengaruh pada aktivitas permukaan yang memiliki kemampuan untuk larut dalam air dan minyak. Molekul surfaktan terdiri dari dua bagian, yaitu gugus yang larut dalam minyak (hidrofob) dan gugus yang larut dalam air (hidrofil). Surfaktan yang memiliki kecenderungan untuk larut dalam minyak dikelompokkan dalam surfaktan oil

soluble, sedangkan yang memiliki kecenderungan untuk larut dalam air dikelompokkan dalam surfaktan water soluble. Kehadiran gugus hidrofobik dan hidrofilik yang berada pada satu molekul akan

menyebabkan surfaktan berada pada antarmuka antara fase yang berbeda derajat polaritas dan ikatan hidrogen seperti minyak dan air (Georgeiou et al., 1992).

Berdasarkan gugus hidrofilnya, surfaktan dibagi menjadi empat kelompok penting, yaitu surfaktan anionik, surfaktan kationik, surfaktan nonionik, dan surfaktan amfoterik (Rosen, 2004). Menurut Matheson (1996), surfaktan anionik adalah molekul yang bermuatan negatif pada bagian hidrofilik atau aktif permukaan (surface-active). Sifat hidrofilik disebabkan oleh keberadaan gugus ionik yang sangat besar, seperti gugus sulfat atau sulfonat. Surfaktan kationik adalah senyawa yang bermuatan positif pada gugus hidrofilnya atau bagian aktif permukaan. Sifat hidrofilik umumnya disebabkan oleh keberadaan garam amonium seperti quaternary ammonium salt (QUAT). Surfaktan non ionik adalah surfaktan yang tidak bermuatan atau tidak terjadi ionisasi molekul. Sifat hidrofilik disebabkan oleh keberadaan gugus oksigen eter atau hidroksil. Surfaktan amfoterik adalah surfaktan yang bermuatan positif dan negatif pada molekulnya, muatannya bergantung pada pH, pada pH rendah akan bermuatan negatif dan pada pH tinggi bermuatan positif.

Sifat-sifat surfaktan diantaranya mampu menurunkan tegangan permukaan, tegangan antarmuka, meningkatkan kestabilan partikel yang terdispersi, dan mengontrol sistem emulsi (misalnya, oil in water atau water in oil). Di samping itu, surfaktan akan terserap ke dalam permukaan partikel minyak atau air sebagai penghalang yang akan menghambat coalescence dari partikel yang terdispersi (Rieger, 1985). Kemampuan surfaktan untuk meningkatkan kestabilan emulsi tergantung dari kontribusi gugus polar (hidrofilik) dan gugus non polar (lipofilik) (Swern, 1979). Menurut Piispanen (2002), bagian polar surfaktan dipengaruhi oleh gaya elektrostatik (ikatan hidrogen, ikatan ionik, interaksi dipolar), sehingga

(6)

dapat berikatan dengan molekul, seperti air dan senyawa ion, sedangkan gugus non polar surfaktan berikatan dengan dukungan gaya Van der walls.

Jenis surfaktan yang digunakan dalam penelitian ini adalah MES (Metil Ester Sulfonat). MES termasuk golongan surfaktan anionik, yaitu surfaktan yang bermuatan negatif pada gugus hidrofiliknya atau bagian aktif permukaan. Struktur kimia dari MES dapat dilihat pada Gambar 2.

   

Gambar 2. Struktur Kimia MES (Watkins, 2001) 

 

Menurut Swern (1979), panjang molekul sangat kritis untuk keseimbangan kebutuhan gugus hidrofilik dan hidrofobik. Apabila rantai hidrofobik terlalu panjang, akan terjadi ketidakseimbangan, terlalu besarnya afinitas untuk gugus minyak atau lemak atau terlalu kecilnya afinitas untuk gugus air. Hal ini akan ditunjukkan oleh keterbatasan kelarutan di dalam air. Demikian juga sebaliknya, apabila rantai hidrofobiknya terlalu pendek, komponen tidak akan terlalu bersifat aktif permukaan karena ketidakcukupan gugus hidrofobik dan akan memiliki keterbatasan kelarutan dalam minyak. Pada umumnya panjang rantai terbaik untuk surfaktan adalah asam lemak dengan 10-18 atom karbon. Lebih lanjut Matheson (1996) menjelaskan bahwa MES telah mulai dimanfaatkan sebagai bahan aktif pada produk-produk pembersih (washing and cleaning products). Pemanfaatan surfaktan jenis ini pada beberapa produk dikarenakan metil ester sulfonat memperlihatkan karakteristik dispersi yang baik, sifat deterjensi yang baik terutama pada air dengan tingkat kesadahan yang tinggi (hard water) dan tidak adanya fosfat, ester asam lemak C14, C16, dan

C18 memberikan tingkat deterjensi terbaik, serta bersifat mudah didegradasi (good biodegradability).

Namun, surfaktan MES juga memiliki kelemahan, diantaranya produksi warna yang terlalu tinggi (Rosen, 2004) dan gugus metil ester pada struktur MES akan mengalami degradasi termal pada suhu tinggi dan cenderung mudah mengalami hidrolisis, baik pada larutan asam maupun basa (Sheats et al., 2002).

2.6

DEMULSIFIER KOMERSIAL

Sejak awal abad pertengahan pemakaian demulsifier telah lazim digunakan dengan komponen bahan kimia penyusunnya yang selalu mengalami perrkembangan dari masa ke masa. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Sejarah Perkembangan Demulsifier

Periode

Dosis Penggunaan

(ppm)

Bahan Kimia Penyusun

1920 100 Soap, Naphtenic acid salts and alkylaryl sulphonate, Sulfated caster oil

1930 1000 Petroleum sulphonates, Derivatives of sulpho-acid oxidized caster oil and sulphosucinic acid ester

(7)

1950 100 Ethylene oxyde/Propylene oxide copolymer, Alkoxylated cyclic p-alkylphenol formaldehyde resins

1965 30-50 Amine alkoxylate

1976 10-30 Alkoxylated cylic p-alkylphenol formaldehyde resins

1980 5-20 Polyester amine and blends

Hamadi dan Mahmood (2010)

Proses demulsifikasi juga biasa dilakukan dengan menggunakan demulsifier yang banyak dijual di pasaran, seperti polimer akrilamid. Struktur kimia dari polimer akrilamid dapat dilihat pada Gambar 3.

CH2 CH)n

C ═ O NH2

Gambar 3. Struktur Kimia Polimer Akrilamid (Hamadi dan Mahmood, 2010) 

Putranto (2002) menjelaskan bahwa demulsifier yang biasa digunakan oleh industri minyak dalam mengolah air limbah emulsinya, yaitu TONSCO TD-02.SB yang merupakan suatu formula yang diproyeksikan untuk mencegah terjadinya emulsi antara lumpur minyak dengan air yang terdiri dari

alkylaryl sulfonate 10%, alcohol compound 10%, phenolic material 2%, dan heavy aromatic distilate 78%.

Fungsi dari TD-02.SB adalah sebagai pengadisi ion polyvalen untuk menetralisir asam kuat atau beban elektrik, sebagai petroleum demulsifier untuk memisahkan lumpur minyak dengan air dan mencegah emulsi antara minyak dengan air, sebagai non ionik surfaktan yang tidak menimbulkan pengaruh pada perubahan dalam air sadah, dan sebagai aditif minyak pelumas. Keuntungan dari penggunaan demulsifier jenis ini, antara lain mempunyai kestabilan yang baik dalam suasana larutan pH rendah maupun tinggi pada wilayah, suhu, dan konsentrasi yang beragam dan sesuai apabila dipadukan dengan anionik dan kationik surfaktan. Untuk cara pemakaiannya pun cukup sederhana, yaitu cukup disemprotkan pada emulsi lumpur minyak dengan dibantu pengadukan, tanpa dilakukan pengenceran. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Spesifikasi Demulsifier TD‐02. SB 

Bentuk Cairan Kekuning-kuningan

Kekentalan 563 cp

Titik Didih 293 ˚C Berat Jenis 0,95 pH (5% larutan) 5,5 – 7,5 Putranto (2002)

Referensi

Dokumen terkait

psikologi praktis dalam hal ini memiliki komitmen terhadap berbagai pendekatan dalam mencapai tujuan tersebut dengan kata lain psikologi praktik menerima konsep ” hasil akhir

Tabela 2. These two hybrids also express desirable properties for market purposes such as uniformity of ear shape and size, proper kernel row alignment, and overall healthy and

“ Pemberian Pakan Bervaksin Aeromonas hydrophila Terhadap Pertumbuhan dan Respons Imun Lele Dumbo ( Clarias gariepinus ) di Daerah Banyumas.. Skripsi ini dimaksudkan untuk

Hasil-hasil simulasi numerik baik simulasi perambatan soliton dengan metode Crank-Nicholson maupun simulasi nilai eigen soliton dengan DST menunjukkan bahwa soliton pada

Bila konstruksi ini ingin kita gunakan sebagai filter akustik yang mampu menapis gelombang akustik dengan range frekuensi 3000 Hz, maka panjang buffer yang

Skripsi dengan judul “Penerapan Strategi Pembelajaran Think Talk Write (TTW) untuk Meningkatkan Keaktifan Belajar Siswa pada Siswa Kelas VIII MTs.. Al-Akbar Senepo Slahung

Saat ini berdasarkan amanat RPJM tahun 2010-2014 bahwa target usulan DOB ditargetkan sejumlah 0 DOB atau yang lebih banyak dikenal sebagai kebijakan moratorium