• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V EVALUASI PASCAHUNI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB V EVALUASI PASCAHUNI"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB V

EVALUASI PASCAHUNI

Snyder (1995) dan Laurens (2005), membagi evaluasi pascahuni menjadi tiga bagian, yaitu: 1) evaluasi teknis melalui penilaian teknis berdasarkan peraturan dan ketentuan teknis bangunan, 2) evaluasi fungsional dan efektivitas pemanfaatan ruang, dan 3) evaluasi fenomena perilaku melalui penilaian gejala persepsi lingkungan. Evaluasi pascahuni ini dilakukan untuk menjawab tujuan penelitian 1 yaitu: mengetahui performansi teknis dan fungsi hunian rumah susun, efektifitas pemanfaatan ruang, serta fenomena perilaku spasial penghuni. Pengamatan secara agregat, evaluasi pascahuni menunjukkan bahwa persentase ketercapaian performansi teknis blok rumah susun Apron (58.70%) dan Dakota (57.11%) masih dikategorikan performansi rendah (40% - 59%), sedangkan blok Boeing dan Conver masing-masing mempunyai ketercapaian performansi teknis sebesar 60.29% dengan kategori performansi teknis sedang (60% - 79%). Berbeda dengan ketercapaian performansi teknis, ketercapaian fungsi hunian untuk seluruh blok rumah susun mencapai performansi di atas 80 % (tinggi), kedua kondisi ini dipersepsikan oleh penghuni rumah susun cukup baik (60% - 79%). Hasil tersebut menunjukkan bahwa walaupun secara teknis bangunan mempunyai performansi relatif rendah asalkan fungsi huniannya baik atau tinggi maka kegiatan penghunian di rusun bisa berlangsung dengan baik. Sebaliknya bila performansi fungsi bangunan yang rendah dan performansi teknisnya tinggi, maka belum tentu terjadi aktivitas penghunian dan kehidupan yang baik di rusun karena bangunan rusun hanya sebagai bangunan semata tanpa ada kehidupan di dalamnya.

Tabel 5.1 Ketercapaian performansi Rumah Susun % Nilai Ketercapaian Performansi

No Unsur Performansi

Apron Boeing Conver Dakota

1 Teknis 58.7 60.29 60.29 57.11

2 Fungsi Hunian 80.56 84.26 87.96 83.33

3 Persepsi 74.72 75.09 72.92 73.24

< 39 = tidak layak 40 – 59 = Perform.Rendah 60 – 79 = Perform. Sedang 80 – 100 = Perform. Tinggi

Gambaran rinci pencapaian performansi teknis blok rumah susun dengan kategori rendah dan sedang dapat dijelaskan sebagai berikut :

(2)

5.1. Performansi Teknis Bangunan Rumah Susun 5.1.1. Hasil Pengamatan Performansi Teknis

Performansi teknis bangunan rumah susun dinilai berdasarkan 7 (tujuh) performansi yang diuraikan ke dalam 49 komponen, tujuh penilaian performansi teknis tersebut adalah:

a. Sirkulasi & aksesibilitas (9 komponen penilaian). b. Aman dari bahaya kebakaran (9 komponen penilaian).

c. Terlindung dari bahaya petir dan kelistrikan (3 komponen penilaian). d. Kesehatan bangunan gedung (2 komponen penilaian).

e. Kenyamanan bangunan (13 komponen penilaian). f. Sarana evakuasi (4 komponen penilaian).

g. Pengelolaan/perawatan & lingkungan (9 komponen penilaian).

Setiap komponen teknis rumah susun diberi nilai 1 bila ada dan berfungsi baik, nilai 0.5 bila ada tetapi kurang berfungsi dengan baik, dan 0 bila tidak ada. Penilaian performansi teknis bangunan rumah susun dinilai secara cepat (rapid assessment) berdasarkan professional judgments seorang pakar.

Dari 49 komponen teknis item performansi yang dinilai, hanya satu yang mencapai nilai 100% untuk masing blok bangunan rumah susun yaitu keterlindungan dari bahaya petir dan kelistrikan. Ketercapaian performansi yang terkecil (27.78%) adalah komponen aman dari bahaya kebakaran dan kenyamanan (19,23%). Untuk ketercapaian performansi teknis lainnya walaupun belum mencapai 100%, tetapi sudah di atas 50%.

Performansi aman dari kebakaran rendah, karena bangunan tidak dilengkapi dengan sistem proteksi pasif dan hanya sedikit dilengkapi sistem proteksi aktif seperti: sistem deteksi dan alarm, pencahayaan darurat bila terjadi kebakaran, tanda arah keluar dan sistem peringatan kebakaran, dan manajemen penanggulangan kebakaran (lampiran Bab V – Lampiran 2). Walaupun performasi aman dari kebakaran ini rendah, namun oleh warga dipersepsikan cukup baik (3,6), karena ketidak tahuan penghuni (Gambar 5.2)

Ketercapaian teknis secara rinci untuk masing-masing komponen teknis yang digambarkan pada Gambar 5.1, menunjukkan bahwa performansi teknis item kenyamanan bangunan rendah (19,23), karena

(3)

belum optimalnya kenyamanan ruang gerak dalam bangunan, belum optimalnya kenyamanan termal (suhu) dalam ruang, kenyamanan pandangan dan kebisingan, serta belum tersedianya fasilitas dan aksesibilitas kemudahan bagi penyandang cacat dan lansia baik di unit rumah susun maupun di tempat-tempat umum (lampiran Bab V – Lampiran 2). Kondisi ini dipersepsikan cukup baik (3,5) oleh penghuni (Gambar 5.2), hal ini dimungkinkan karena telah adanya proses adaptasi fisiologis penghuni.

Walaupun masih ada beberapa ketercapaian performansi yang rendah, namun ketercapaian performansi teknis rata-rata untuk setiap Blok bangunan rumah susun dapat dikatakan sedang (Dakota = 57,11; Apron = 58,7; Boing dan Conver = 60,29).

Gambar 5.1 Ketercapaian performansi teknis

5.1.2. Persepsi Penghuni Terhadap Performansi Teknis Permukiman Rumah Susun

Persepsi penghuni terhadap performansi teknis rumah susun mencakup persepsi penghuni terhadap sirkulasi, keamanan, kesehatan

Tampak bangunan rumah susun di Blok Boing

Prasarana jalan lingkungan di Blok Apron

(4)

gedung, kenyamanan, evakuasi dan pengelolaan (maintenance). Mayoritas responden menyatakan sirkulasi sangat baik (66,7%) dan baik (27,6%), keamanan baik (61,9%) dan cukup (22,9%), kesehatan gedung baik (52,4%) dan cukup (35,2%). Kenyamanan, mayoritas responden menyatakan baik (58,1%) dan cukup (28,6%), evakuasi cukup (40%), dan tidak baik (30,5%), sedangkan pengelolaan baik (35,2%), dan cukup (31,4%). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran Bab V - Tabel 5.10.

Bila diakumulatif komponen persepsi performansi tersebut mencapai kategori dipersepsikan baik 54%, dipersepsikan sedang 46%, dan tidak terdapat bobot (0%) dengan kategori dipersepsikan buruk (Lampiran Bab V – Tabel 5.11). Nilai Mean masing-masing persepsi adalah 4,59 untuk sirkulasi, 3,87 untuk keamanan bangunan, 3,48 untuk kesehatan bangunan, 3,65 untuk kenyamanan bangunan, 2,95 untuk persyaratan evakuasi, dan 3,07 untuk maintenance/perawatan bangunan dan nilai 5 untuk median persyaratan sirkulasi, nilai 4 untuk median keamanan kesehatan dan kenyamanan bangunan, dan yang terendah adalah 3 untuk median performansi evakuasi dan perawatan bangunan (Gambar 5.2).

Gambar 5.2. Diagram balok dan boxplot persepsi performansi teknis

Nilai mean dan median yang rata-rata tinggi ini dimungkinkan karena dalam perancangan arsitektural bangunan Rumah susun harus memenuhi persyaratan teknis harus terpenuhi, dan bila persyaratan teknis ini tidak terpenuhi maka tidak akan terbit Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) maupun

(5)

Ijin Penggunaan Bangunannya (IPB). Persepsi persyaratan evakuasi menempati peringkat yang terendah (2,95) disebabkan sirkulasi tangga beberapa blok bangunan (Apron dan Dakota) tidak terasa longgar karena adanya tonjolan tembok yang mengganggu sirkulasi pada saat kondisi darurat, begitu juga persepsi terhadap maintenance bangunan rendah dikarenakan penghuni merasa bahwa kondisi bangunan semakin terasa kumuh atau kurang terawat terutama pada utilitas dan tampak bangunan.

/

Gambar 5.3 Bagian-bagian bangunan yang kurang terawat

5.2. Performansi Fungsional Bangunan Rumah Susun

Penilaian performansi fungsional bangunan rumah susun mencakup penilaian performansi fungsional bangunan rumah susun sebagai hunian, efektifitas pemanfaatan ruang yang ada pada seting spasial rumah susun, dan persepsi penghuni terhadap fungsional bangunan hunian sebagai berikut.

5.2.1. Performansi fungsional bangunan rumah susun sebagai hunian.

Performansi fungsional bangunan rumah susun sebagai bangunan hunian dinilai berdasarkan 9 (sembilan) performansi yang diuraikan ke dalam 25 komponen, sembilan performansi fungsional bangunan rumah susun tersebut adalah:

a. Sebagai tempat hunian (Shelter) (2 komponen penilaian)

b. Sebagai tempat yang aman (security) dari gangguan fisik dan psikologis (3 komponen penilaian)

c. Sebagai tempat mengasuh anak (Child-rearing) (3 komponen penilaian)

(6)

d. Sebagai tempat untuk mengungkapkan identitas/jati diri penghuni (Symbolic identification) (3 komponen penilaian)

e. Sebagai tempat terjadinya interaksi sosial (social interaction) (3 komponen penilaian)

f. Sebagai tempat yang dapat memberikan kesenangan (leisure) (3 komponen penilaian)

g. Sebagai tempat yang memfasilitasi kemudahan aksesibilitas ke tempat-tempat fasilitas sosial ekonomi (accessibility) (4 komponen penilaian)

h. Sebagai benda bernilai ekonomi (financial investment) (2 komponen penilaian)

i. Sebagai benda bersama yang dapat mengefesienkan biaya-biaya utilitas (public efficiency) (2 komponen penilaian)

Agar penilaian bobot performa teknis (49 komponen) dan fungsional (25 komponen) mendekati sama maka penilaian performansi fungsional bangunan diberi skor 2 kali penilaian teknis. Seperti penilaian performansi teknis, performansi fungsional bangunan rumah susun juga dinilai secara cepat (rapid assessment) berdasarkan professional judgments seorang pakar.

Dari 25 komponen fungsi bangunan sebagai tempat hunian yang terbagi ke dalam 9 item performansi yang dinilai, empat item telah mencapai nilai 100% untuk masing blok bangunan rumah susun kecuali Dakota (75%). Empat item tersebut adalah fungsi hunian (shelter, aman dari gangguan fisik dan psikologis, lokasi yang dekat dengan aksesibilitas fasilitas sosial ekonomi, dan rumah susun sebagai benda yang bernilai ekonomi yang dapat diperjualbelikan, karena mempunyai status kepemilikan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun.

Empat performansi bangunan lainnya yang berfungsi sebagai tempat hunian dengan nilai ketercapaian di atas 60% adalah fungsi bangunan rumah susun sebagai tempat mengasuh anak (83,33%-100%), sebagai tempat sebagai simbol jati diri penghuni (50%-66,7%), sebagai tempat berinteraksi sosial (83,33%-100%) dan sebagai tempat yang dapat memberikan kesenangan di waktu luang (leisure). Hanya satu item yang ketercapaian performansi fungsi hunian yang kecil (25%) yaitu sebagai

(7)

tempat yang sudah memperhatikan kepentingan public efficiency untuk utilitasnya, hal ini disebabkan desain bangunan rumah susun ini belum dikembangkan sebagai bangunan yang ramah lingkungan atau green

building, sehingga secara tidak langsung belum dapat mengedukasi

penghuninya agar efisien terhadap sumber daya rumah susun dan enerji. Berdasarkan Gambar 5.16, kondisi performansi fungsional bangunan tersebut dipersepsikan oleh penghuni cukup baik (3,84) untuk aktifitas harian seperti kegiatan sehari-hari dan mengasuh anak karena bangunan telah berfungsi sebagai shelter. Bangunan rumah susun yang berfungsi sebagai tempat interaksi sosial yang mencapai 83,33%-100% dipersepsikan cukup baik oleh penghuni untuk fungsi sosial (3,74) dan kurang untuk fungsi kampung (2,73). Kawasan rumah susun KBBK belum dianggap sebagai kampung halaman karena mereka merasa bahwa adalah pendatang walaupun sudah tinggal puluhan tahun di rumah susun KBBK, mereka merasa bahwa kampung halaman mereka adalah di tempat lain atau tempat kampung halaman orang tua mereka berasal.

Bangunan rumah susun berfungsi sebagai simbol jati diri penghuni mencapai performansi 50%-66,7% dan dipersepsikan cukup baik (3,54) oleh penghuni, karena lokasi rumah susun KBBK yang strategis dan dekat dengan fasilitas berskala nasional sehingga cukup membanggakan walaupun rumah susun di KBBK termasuk rumah susun tipe sederhana.

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa rata-rata ketercapaian performansi fungsi hunian bangunan rumah susun perkelompok Blok susun adalah Apron=80.56; Boeing = 84.26; Conver 87.96; dan Dakota 83.33. Secara rinci ketercapaian performansi fungsional bangunan rumah susun sebagai tempat hunian dapat dilihat pada Gambar 5.4 diagram balok di bawah ini.

(8)

Gambar 5.4 Ketercapaian performansi fungsional bangunan

hunian

5.2.2. Efektifitas pemanfaatan ruang.

Efektivitas pemanfaatan ruang terbagi menjadi beberapa pembahasan, yaitu kebutuhan ruang yang harus ada di unit rumah susun, tempat berkumpul keluarga di unit rumah susun, tempat main anak, tempat main remaja, dan tempat sosialisasi antar warga.

a. Kebutuhan ruang yang harus ada di setiap Unit Rumah Susun

Kebutuhan ruang yang harus ada di unit Rumah susun disusun berdasarkan kebutuhan responden yang tinggal di masing-masing tipe unit Rumah susun. Hasilnya responden menyatakan kebutuhan ruang yang harus ada di unit rumah susun terbagi menjadi 14 ruang, yaitu teras, ruang tamu, ruang keluarga, ruang makan, ruang serbaguna, ruang tidur utama, ruang tidur anak, dapur, kamar mandi, gudang, kamar pembantu, cuci/jemur, ruang kerja/belajar, dan ruang bermain.

Kebutuhan ruang menurut responden terhadap 4 tipe unit rumah susun (T18, T21, T36, dan T42) adalah: untuk T18 dan T42 tidak

Selasar T21 yang luas dan berfungsi sebagai teras bersama (Dakota)

Selasar T36 yang sempit (apron) yang hanya berfungsi sebagai lalu lintas

(9)

membutuhkan teras karena denah T18 sudah tersedia teras bersama seluas 45 m2, dan T42 dengan keluasan ruang hunian yang cukup tidak lagi membutuhkan teras yang dipergunakan sebagai ruang tamu. Sedangkan untuk T21 dan T36 karena denah tidak tersedia teras bersama maka 56,25% penghuni T21 dan 44,44% penghuni T36 menyatakan butuh teras. Mayoritas penghuni rumah susun baik T18, T21, T36, dan T42 membutuhkan ruang tamu, ruang tidur utama, ruang tidur anak, dapur, kamar mandi dan ruang cuci/ruang jemur. Gudang dan ruang pembantu dalam unit rumah susun tidak terlalu dibutuhkan. Secara rinci ruang-ruang yang dibutuhkan dapat dilihat pada Gambar 5.5 diagram balok kebutuhan ruang yang harus ada di setiap unit rumah susun sebagai berikut:

Gambar 5.5 Ruang yang dibutuhkan penghuni rumah susun berdasarkan

tipe yang dihuni

b. Tempat berkumpul keluarga di Unit Rumah Susun

Berdasarkan tempat berkumpul keluarga di unit rumah susun, terdapat 5 jenis tempat kumpul, yaitu: teras, ruang tamu, ruang keluarga/ruang makan, ruang tidur, dan selasar, di mana sample juga diambil pada 4 tipe unit rumah susun. Untuk responden yang tinggal di tipe unit T18, mayoritas berkumpul di ruang keluarga/ruang makan (50%). Sedangkan untuk responden yang tinggal di tipe unit T21, mayoritas

(10)

berkumpul di ruang tamu (61,11%). Responden yang tinggal di tipe unit T36, mayoritas juga berkumpul di ruang tamu (90,48%). Responden yang tinggal di tipe unit T42, 100% berkumpul di ruang tamu. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 5.6 diagram di bawah ini.

Gambar 5.6 Tempat-tempat dan suasana tempat berkumpul keluarga

c. Tempat Bermain Anak

Persepsi responden terhadap komponen sosial penghunian dapat dilihat melalui tempat main anak. Tempat yang dapat dijadikan sebagai tempat bermain anak antara lain: di dalam unit rumah susun, selasar depan rumah, halaman, dan taman/arena main, yang juga dilihat dari keempat tipe unit rumah susun. Anak dari responden yang tinggal di tipe unit T18, mayoritas bermain di selasar depan rumah (62,5%). Sedangkan anak responden yang tinggal di tipe unit T21 mayoritas bermain di halaman (30,56%). Untuk anak responden yang tinggal di tipe unit T36 mayoritas bermain di halaman (52,39%). Anak responden yang tinggal di tipe unit T42, 100% bermain di dalam unit rumah susun (Gambar 5.7).

Achir (1993) menyatakan setiap anak perlu ruang gerak yang luas untuk mengembangkan fisiknya, bahkan mengembangkan potensi intelektual dan kreativitasnya. Beberapa penelitian menemukan bahwa kemampuan spasial anak dipengaruhi oleh kesempatan mengeksplorasi lingkungan fisik (biofisik) dan sosialnya (non fisik) yang biasanya kurang tersedia di lingkungan kawasan rumah susun, orang tua anak yang tinggal di rumah susun sederhana (rumah susun Klender) masih ada yang mengeluhkan (25%) mempunyai masalah untuk tempat anak bermain

(11)

(Deliyanto, 2000), tetapi fasilitas bermain di rumah susun KBBK relativ lebih banyak tersedia dibandingkan dengan rumah susun lainnya.

Gambar 5.7 Tempat-tempat dan suasana tempat bermain anak

d. Tempat Main Remaja

Tempat main remaja terdapat di 4 lokasi, yaitu di dalam unit rumah susun, selasar depan rumah, halaman, dan taman atau arena main yang tersedia di setiap blok rumah susun. Anak remaja dari responden yang tinggal di tipe unit T18, tipe unit T21, dan tipe unit T36, ketiganya mayoritas bermain di taman atau arena main dan lapangan olah raga (56,25%; 52,78%; dan 47,62%). Anak remaja dari responden yang tinggal di tipe unit T42 100% bermain di halaman.(Gambar 5.8)

Rumah susun biasanya dilengkapi berbagai fasilitas rekreasi baik untuk anak-anak atau orang dewasa, namun tetap ditemukan kecenderungan terjadinya gejala kurangnya kesempatan anak dan remaja untuk bergerak dan bermain di lingkungan rumah susun (Achir, 1993). Hal ini tidak terjadi di lingkungan rumah susun KBBK dikarenakan banyaknya ruang terbuka yang dapat dimanfaatkan sebagai ruang main remaja di lingkungan rumah susun maupun di sekitar kawasan rumah susun KBBK, dan remaja tidak lagi dalam pengawasan orang tua dalam bermain sehingga bisa lebih jauh bermain.

(12)

Gambar 5.8 Tempat remaja

bermain dan panggung hiburan sebagai salah satu tempat

berkumpul remaja dalam

berekspresi .

e. Tempat Sosialisasi Antar Warga

Setiap blok bangunan rumah susun mempunyai karakteristik masing-masing dalam memilih tempat dalam bersosialisasi dengan warga lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa seting spasial rumah susun mempunyai pengaruh terhadap cara seseorang memilih tempat bersosialisasi.

Kelompok rumah susun Dakota yang mayoritas tipe unit rumah susunnya T18 diseting (ditata) setiap lantainya mempunyai 8 unit rumah susun seluas 18 m2, setiap 2 unit dapat menggunakan 1 kamar mandi dan 8 unit rumah susun memfaatkan 1 dapur bersama dan selasar bersama yang cukup luas (+/- 43 m2). Hasil penyebaran kuesioner, diketahui bahwa responden yang tinggal di T18 (Gambar 5.9) mayoritas memilih tempat untuk bersosialisasi adalah di selasar unit rumah susun (28,18%) dan dapur bersama (22,10%).

Tipe T21, setiap lantai mempunyai 4 unit rumah susun T21 ini terdiri dari 4 buah ruang serbaguna berukuran 4,75 m x 3m, area dapur 1,75 m x 1,5 m dilayani oleh 1 tangga lurus (berbentuk I) dengan selasar mengelilingi tangga sepanjang 6 meter dan lebar ± 1 meter. Mayoritas penghuni rumah susun T21 bersosialisasi di musholla dan warung/kios sayur (23,08%), karena selasar tempat lalu lintas terlalu sempit bila ditambah kegiatan lain.

(13)

Tipe T36 dengan seting 4 unit rumah susun setiap lantai yang setiap unitnya terdiri dari sebuah ruang keluarga berukuran 3 m x 3 m + 1 m x 0,5 m, dua buah kamar tidur (3 m x 3 m), area dapur 1,75 m x 1 m, dan 1 tangga bersama berukuran 1 m x 5 m, serta selasar +/- 12 m2. Mayoritas penghuni T36 bersosialisasi di warung/kios sayur (27,17%) dan walaupun agak sempit masih ada bersosialisasi di selasar unit rumah susun (26,09%).

Tipe 42 dengan seting 4 unit rumah susun T42 setiap lantainya Satu unit hunian tipe T42 ini terdiri dari sebuah ruang keluarga berukuran 4,6 m x 3,1 m, dua buah kamar tidur (keduanya berukuran 3,1 m x 3,1 m), sebuah area dapur 2,2 m x 3,1 m, kamar mandi 1,8 m x 1,55 m, di layani 1 tangga dengan selasar seluas 17 m2. Mayoritas bersosialisasi di warung/kios sayur 39%, halaman/jalan, taman, musholla, ruang serbaguna/kantor RW, dan selasar 29 % seperti Gambar 5.10.

Gambar 5.9 Selasar/Teras Bersama yang luas dan dapur bersama unit rumah susun T18 sebagai tempat bersosialisasinya antar warga penghuni

Gambar 5.10 Warung yang terletak di lantai dasar dan halaman di sekitar

Unit Rumah susun T21, T36, dan T42 sebagai tempat bersosialisasinya antar warga penghuni

(14)

Gambaran keseluruhan 7 (tujuh) tempat-tempat warga bersosialisasi, yaitu: saling kunjung, selasar unit rumah susun, halaman/jalan, taman, dapur bersama, musholla, ruang serbaguna/kantor RW, dan warung/kios sayur. dapat dilihat pada Gambar 5.11 dan diagram balok di bawah ini.

Gambar 5.11 Tempat sosialisasi warga

dan suasana halaman sebagai tempat

sosialisasi antar warga

5.2.3. Persepsi Penghuni Terhadap Fungsi Hunian Rumah Susun

Persepsi penghuni terhadap fungsi hunian rumah susun mencakup aktivitas keseharian, fungsi sosial, fungsi privasi, fungsi kampung halaman, dan aktivitas untuk aktualisasi diri. Mayoritas responden menyatakan aktivitas keseharian baik (56,2%) dan cukup (28,6%); fungsi sosial baik (56,2%) dan cukup (30,5%), fungsi privasi baik (36,2%) dan cukup (28,6%); fungsi kampung halaman tidak baik (39%) dan cukup (25,7%); dan aktivitas untuk aktualisasi diri cukup (42,9%) dan baik (39%). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran Bab V- Tabel 5.12.

Kelima komponen persepsi fungsi hunian tersebut bila diakumulasikan mencapai kategori baik 37%, sedang 63%, dan tidak terdapat akumulasi dalam kategori buruk (Lampiran Bab V – Tabel 5.13). Nilai Mean untuk skala sampai dengan 5 persepsi fungsi aktivitas keseharian mencapai 3,84, persepsi Rumah Susun berfungsi sosial 3,74, Mean persepsi unit rumah susun yang berfungsi sebagai tempat untuk menyendiri/istirahat 3,45, Mean persepsi lingkungan Rumah Susun yang berfungsi sebagai kampung halaman 2,73, dan persepsi lingkungan rumah

(15)

susun sebagai pencerminan aktualisasi diri sebesar 3,54, seperti yang digambarkan pada Gambar 5.12 diagram balok dan boxplot berikut.

Gambar 5.12 Diagram balok dan boxplot persepsi fungsi hunian

Berdasarkan diagram balok dan boxplot tersebut di atas, ternyata rumah susun di Kemayoran dapat memenuhi seluruh fungsi hunian kecuali fungsi sebagai kampung halaman (mempunyai nilai terendah 2,73), hal ini disebabkan menurut persepsi mereka kampung halaman adalah suatu kawasan yang masih landed houses, walaupun mayoritas warga sudah menghuni hampir 20 tahun namun lingkungan rumah susun belum mereka anggap sebagai kampung halaman. Sedangkan persepsi yang mengatakan bahwa tinggal di rumah susun sederhana adalah kumuh dan tidak bisa mencerminkan aktualisasi diri, ternyata tidak terjadi (nilai Mean 3,54) di rumah susun sederhana Kota Baru Bandar Kemayoran. Hal ini disebabkan karena begitu strategisnya lokasi KBBK yang mempunyai fungsi utama dalam RTRW sebagai pusat informasi perdagangan skala internasional (mudah dicapai dari pelabuhan Tanjung Priuk dan Bandara Soekarno-Hatta), sehingga dapat memberikan gengsi tersendiri bagi yang tinggal di kawasan KBBK.

Dari 6 komponen persepsi penghunian tersebut di atas, didapat gambaran tentang persepsi penghunian secara keseluruhan dengan nilai 2,69 untuk persepsi tingkat kesejahteraan; 3,73 untuk persepsi kehidupan sosial; 3,33 untuk persepsi kondisi lingkungan (ekosistem); 4,06 untuk

(16)

persepsi lingkungan seting spasial; 3,60 untuk persepsi performansi teknis rumah susun; dan 3,51 persepsi terhadap seting spasial rumah susun sebagai fungsi hunian dengan distribusi jawaban mendekati normal. Seperti yang disajikan pada diagram balok dan boxplot berikut ini.

Gambar 5.13 Diagram balok dan boxplot persepsi penghunian

5.3. Perilaku Penghunian

Evaluasi perilaku penghunian sulit diprediksi, maka pengamatan perilaku diamati melalui pernyataan persepsi penghuni terhadap kondisi penghunian di rumah susun, yaitu terdiri dari persepsi tentang kesejahteraan, persepsi sosial, dan persepsi spasial. Persepsi-persepsi tersebut digunakan untuk mengetahui gejala perilaku yang terkait dengan perilaku dalam mencapai kesejahteraan, perilaku hubungan sosial, dan gejala perilaku lingkungan.

Untuk mendapatkan hasil yang valid dan reliabel, kuesioner persepsi terlebih dahulu dilakukan uji validitas dan reliabilitas (Lampiran Bab V – Tabel 1). Hasil uji validitas kuesioner dinyatakan valid dan reliabel dengan Alpha Cronbach’s 0,780 di atas r kritis 0,7. Hasil rinci persepsi diuraikan berikut ini.

5.3.1. Perilaku Kesejahteraan Penghunian

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas (92,4%) responden mempunyai persepsi di atas cukup baik, baik dan sangat baik untuk tingkat

(17)

kesejahteraan, tetapi mayoritas (44,8%) untuk perilaku meningkatkan penghasilan dinyatakan tidak baik karena mereka merasakan tidak adanya peningkatan penghasilan selama tinggal di rumah susun. Begitu juga untuk kesempatan menambah penghasilan mayoritas (41%) responden menyatakan tidak ada kesempatan untuk menambah penghasilan selama tinggal di rumah susun di luar pendapatan rutin bulanan (Lampiran Bab V – Tabel 2).

Bobot-bobot yang tertuang pada Lampiran V-Tabel 2 tersebut didapat persepsi tentang kesejahteraan penghunian, yaitu 24% kategori mempunyai persepsi baik, 39% kategori mempunyai persepsi sedang dan 37% kategori mempunyai persepsi buruk terhadap kesejahteraan penghunian (Lampiran Bab V – Tabel 3). Lampiran V-Tabel 2 tersebut mempunyai nilai mean dan median yang mendekati sama, yaitu 3,75 untuk tingkat kesejahteraan, 2,09 untuk adanya penambahan pendapatan dan 2,24 untuk adanya kesempatan menambah penghasilan tanpa adanya pencilan (jawaban outlier) baik pada persepsi tingkat kesejahteraan maupun persepsi kesempatan menambah penghasilan (Gambar 5.14). Gambar 5.10 menunjukkan bahwa, walaupun perilaku penghuni terhadap kesempatan menambah penghasilan rendah, tetapi masih ada 39% responden mendapat penambahan pendapatan melalui adanya kesempatan aktivitas yang menghasilkan (43,7%).

(18)

5.3.2. Perilaku Sosial Penghunian

Persepsi penghuni terhadap sosial penghunian yang diamati untuk mengetahui perilaku sosial penghunian adalah persepsi penghuni terhadap kebetahan, kekerabatan, partisipasi masyarakat dan toleransi penghunian.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa mayoritas responden menyatakan betah (49,5%) dan sangat betah (36,2%), dengan mayoritas kekerabatan baik (60%), partisipasi masyarakat cukup baik 38,1% dan baik 28,6%, serta toleransi secara sosial yang baik (62,9%) (Lampiran Bab V – Tabel 4). Nilai Mean untuk masing-masing komponen persepsi sosial penghunian adalah 4,16 untuk kebetahan, 3,83 untuk kekerabatan, 3,24 untuk partisipasi masyarakat, dan 3,82 untuk toleransi kehidupan sosial. Pada boxplot terlihat bahwa 3 responden (responden 63, 74, 76) mempunyai tingkat kebetahan yang rendah karena masa tinggal yang belum lama (1 tahun) sehingga ada kemungkinan penghuni belum berhasil dalam beradaptasi terhadap lingkungannya. Gambar boxplot juga menunjukkan ada 4 pencilan (responden 94, 96, 103 dan 104) mempunyai tingkat partisipasi yang rendah dikarenakan kebetahan penghuni yang rendah berpengaruh pada tingkat partisipasinya (Gambar 5.15). Jika nilai ketiga persepsi penghuni terhadap kehidupan sosial penghuni rumah susun tersebut diakumulatifkan maka dapat dikategorikan bahwa persepsi penghuni terhadap kehidupan sosial 44% adalah baik, sedang 51%, dan buruk 5% (Lampiran Bab V – Tabel 5).

(19)

5.3.3. Perilaku Terhadap Kondisi Lingkungan

Perilaku penghuni terhadap lingkungan digambarkan melalui persepsi penghuni terhadap kondisi lingkungan, mencakup estetika lingkungan dan pengelolaan lingkungan. Mayoritas responden menyatakan estetika lingkungan baik (43,8%) dan cukup (40,0%), dengan mayoritas pengelolaan lingkungan baik (51,4%) dan cukup (35,2%) (Lampiran Bab V-Tabel 6). Secara akumulatif atau agregat bobot-bobot tersebut mencapai kategori baik 35%, sedang 50%, dan buruk 14% (Lampiran Bab V – Tabel 7). Estetika lingkungan mempunyai nilai Mean sebesar 3,27 dan 3,40 untuk pengelolaan lingkungan. Pencapaian nilai Mean 3,40 untuk persepsi pengelolaan lingkungan dari skala 5 dapat dikategorikan baik, hal ini dimungkinkan karena adanya suatu lembaga yang mengelola Rumah Susun yang disebut dengan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun Kemayoran (PPRSK) di setiap kelompok Blok Rumah Susun (Apron, Boing, Conver, dan Dakota). Walaupun belum maksimal kinerja PPRSK namun hasilnya masih dipersepsikan tertata dengan rapi dengan nilai estetika lingkungan 3,27. Pada boxplot terlihat bahwa median tidak berada di tengah, distribusi jawaban miring ke bawah untuk persepsi estetika lingkungan, dan miring ke atas untuk persepsi pengelolaan lingkungan.

Gambar 5.16 Diagram balok dan boxplot persepsi kondisi lingkungan

Terdapat 1 pencilan untuk masing-masing persepsi yaitu responden 95 untuk estetika lingkungan dan responden 78 untuk pengelolaan

(20)

lingkungan yang mempersepsikan rendah untuk kondisi lingkungan, setelah diamati karakteristik kedua responden tersebut ternyata responden 95 sudah tinggal selama 17 tahun sehingga dapat membedakan kondisi awal estetika lingkungan memang cenderung turun, sedangkan responden 78 baru tinggal selama 1 tahun dan belum banyak terlibat dalam pengelolaan lingkungan, sehingga menganggap bahwa pengelolaan lingkungan masih buruk (Gambar 5.16).

5.3.4. Perilaku Penghuni Terhadap Seting Spasial Permukiman Rumah susun

Perilaku penghuni terhadap seting spasial permukiman dapat diamati melalui persepsi penghuni terhadap seting spasial permukiman rumah susun yang mencakup privasi, teritori, kesesakan dalam rumah, kesesakan luar rumah), peta kognitif (cognitive map), dan kelengkapan fasilitas. Mayoritas responden menyatakan privasi baik (50,5%) dan cukup (28,6%), mayoritas responden menyatakan teritori baik (57,1%) dan cukup (21%). Sedangkan untuk kese didalam rumah, mayoritas responden menyatakan sangat baik (63,8%) dan cukup (19%) dan kesesakan di luar rumah, mayoritas responden menyatakan tidak sesak atau sangat baik (88,6%). Peta kognitif, mayoritas responden menyatakan mengenal lingkungannya dengan sangat baik (60%) dan baik (27,6%). Kelengkapan fasilitas, mayoritas responden menyatakan baik (44,8%) dan cukup (28,6%). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lamp. Bab V–Tabel 8.

Gambar 5.17 Diagram balok dan boxplot persepsi spasial lingkungan

(21)

Secara akumulatif keenam nilai persepsi spasial tersebut mencapai kategori baik 79%, sedang 21% dan tidak ada yang mempunyai persepsi yang buruk terhadap seting spasial rumah susun (Lamp Bab V – Tabel 5.9), dengan nilai Mean masing-masing adalah 3,54 (privasi), 3,94 (teritori), 4,21 kesesakan di dalam rumah, 4,8 kesesakan di luar rumah, 4,43 (cognitive map), dan 3,40 (kelengkapan fasilitas).

Nilai mean 3,54 dari skala 5 pada diagram balok dan median pada

boxplot untuk privasi menunjukkan bahwa walaupun mereka tinggal di unit

rumah susun yang relatif sempit dengan kepadatan penghuni 4,05 m2/jiwa untuk T18, 5,74 m2/jiwa untuk T21, 8,8 m2/jiwa untuk T36, dan 10,5 m2/jiwa untuk T42, privasi mereka relatif tidak terganggu dan mampu beradaptasi dengan unit rumah susunnya, hal ini juga dapat dilihat bahwa mereka tidak merasa sesak berada di dalam unit rumah susun (mean kesesakan = 4,21 dan median kesesakan hampir mencapai 5). Apalagi bila mereka berada di halaman, mereka sangat tidak merasakan sesak dengan adanya bangunan blok-blok rumah susun (mean kesesakan di halaman = 4,8 dan median kesesakan di halaman juga mendekati 5). Hal ini dimungkinkan karena mereka sebelum tinggal di rumah susun sudah terbiasa tinggal di permukiman padat penduduk dan luas rumah yang sempit, atau seperti yang dikemukakan Subroto (1988) yang menyatakan adaptasi penghuni rumah susun Tanah Abang terhadap rasa sesak dengan cara menggunakan seluruh waktu senggang di luar rumah, membiarkan pintu terbuka, meletakkan kursi di bawah-bawah tangga, membiarkan anak bermain di halaman.

Nilai mean dan median 4,21 dari skala 5 untuk teritori menunjukkan bahwa batas lingkungan teritorial seting spasial rumah susun secara psikologis sangat terasa karena jarak antar unit rumah susun yang dekat, dan ada bagian yang dimiliki bersama sehingga ada rasa memiliki dan aman tinggal di rumah susun, sedangkan bagi pengunjung rumah susun juga merasakan bahwa mereka berada di wilayah teritori orang lain. Penguasaan teritori yang tinggi oleh penghuni didukung oleh pengenalan yang kuat setiap sudut lingkungan kawasan rumah susun yang ditunjukkan oleh nilai mean dan median untuk cognitive map yang tinggi juga (4,43 dan hampir 5), walaupun pada teritori terdapat 9 pencilan yang terdiri dari 4 responden sangat merasakan teritorialitas kawasan dan 5 responden yang

(22)

kurang merasakan teritorialitas kawasan. Rasa teritorial yang tinggi menunjukkan bahwa seting spasial rumah susun yang terdiri blok-blok bangunan, halaman parkir, area main dan prasarana lain rumah susun membentuk wilayah penguasaan penghuni atas lingkungan rumah susun, misalnya penghuni merasa aman meletakkan mobil di area parkir rumah susun karena dianggap wilayah rumah sendiri, begitu juga penghuni dapat tenang meninggalkan anak main di area main rumah susun karena merasa aman dari gangguan dari luar dengan adanya kepemilikan bersama, sehingga ada rasa saling melindungi dan mengawasi kepemilikan bersama. Penjelasan ini didukung oleh pernyataan Holahan (1984) dalam Sarwono (1992) yang mengemukakan bahwa teritorialitas adalah suatu pola tingkah laku yang ada hubungannya dengan kepemilikan dan hak seseorang atau sekelompok orang atas sebuah tempat atau lokasi geografis, yang mencakup pola tingkah laku personalisasi dan pertahanan terhadap gangguan dari luar. Sarwono juga mengemukakan pendapat Altman (1984) bahwa teritori ini terbagi ke dalam 3 teritori, pertama adalah teritori primer yang bersifat sangat pribadi dan hanya orang tertentu yang boleh masuk (unit rumah susun); kedua adalah teritori sekunder, yaitu tempat-tempat milik bersama seperti selasar, tangga dan benda bersama lainnya; ketiga adalah teritori publik seperti halaman parkir, tempat bermain, dan lainnya.

Gambar

Gambar 5.1   Ketercapaian performansi teknis
Gambar 5.2.   Diagram balok dan boxplot persepsi performansi teknis  Nilai mean dan median yang rata-rata tinggi ini dimungkinkan karena  dalam perancangan arsitektural bangunan Rumah susun harus memenuhi  persyaratan  teknis  harus  terpenuhi,  dan  bila
Gambar 5.3  Bagian-bagian bangunan yang kurang terawat
Gambar 5.4    Ketercapaian performansi fungsional bangunan  hunian
+7

Referensi

Dokumen terkait

&#34;Robust Roll and Yaw control systems using fuzzy model of the vehicle dynamics&#34;, 2012 IEEE International Conference on Fuzzy Systems, 2012.

Republik Indonesia, walaupun melakukan aksesi terhadap Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika, 1988 tidak berarti

Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Alwasilah (2007, hlm. 44) bahwa pelajaran menulis baru berarti andai diminati oleh siswa dan dikuasai oleh guru. Umpan balik menjadi hal

sarkan hasil penelitiaan uji aktifitas antimikroba pasta gigi ekstrak etanol biji jintan hitam (Nigella sativa L) diperoleh data bahwa formula pasta gigi yang memiliki

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi stres yang dialami oleh lansia. Subjek penelitian ini berjumlah 98 orang lansia di Paguyuban Lansia RS. Teknik sampling

a. kebijakan dan strategi pengelolaan sampah; b. pengembangan dan penerapan teknologi; e. 6) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 14/PRT/M/2010 tentang Standar

Perhitungan Tekanan Hidrostatis Untuk menghitung tekanan yang terjadi pada cetakan akibat dari beton curah maka penulis melakukan analisa tekanan khususnya pada

Terkait dengan rumusan masalah bagaimana menerapkan KMS pada organisasi, penelitian ini juga ditujukan untuk merancang arsitektur KMS sebagai landasan penerapan dan