1 Pengukuran Frekuensi Alami Tanah dan Bangunan Akibat Gempabumi Dengan
Menggunakan Alat Accelerometer di Kota Palu
Measurement of The Natural Frequency of The Land and Buildings Due to Earthquakes by Using The Accelerometer in Palu City
Muhammad Fadil1, M Rusydi H1, Sabhan1 1
Jurusan Fisika FMIPA, Universitas Tadulako, Palu, Indonesia [email protected]; 081241902051
ABSTRAK
Telah di lakukan penelitian untuk mengetahui nilai frekuensi alami tanah dan bangunan serta untuk mengetahui potensi terjadinya resonansi yang di alami oleh bangunan di Kota Palu, khususnya di bagian timur Sungai Palu. Pengukuran dilakukan terhadap mikrotremor menggunakan alat Accelerometer. Pengolahan data menggunakan program Geopsy dengan analisis HVSR (Horizontal To Vertical Spectral Ratio). Nilai rata-rata frekuensi alami bangunan mempunyai nilai frekuensi alami sekitar (1,1 – 3,1) Hz. Ada 70.59% bangunan yang sisanya berpotensi mengalami resonansi.
Kata Kunci: Frekuensi, Mikrotremor, Accelerometer.
ABSTRACT
The research to determine the natural frequency value of land and buildings as well as to determine the potential occurrence of a natural resonance in the building has been carried out in the City of Palu, particularly in the east of Palu River. Measurements carried out on microtremor using accelerometer tools. Processing data using Geopsy program with analysis HVSR (Horizontal to Vertical Spectral Ratio). The average value of the natural frequency of the building around (1.1 to 3.1) Hz and 70.59% of the buildings which may experience resonance.
Key words: Frequency, Mikrotremor, Acceleromete
I. PENDAHULUAN
Sistem sesar Palu–Koro merupakan salah satu sistem sesar aktif yang terdapat di Pulau Sulawesi yang melewati tepat Kota Palu. Sesar ini memiliki panjang ± 240 km, dengan arah memanjang dari utara (Palu) ke selatan (Malili) hingga mencapai Teluk Bone. Sesar ini bersifat sinistral dan aktif dengan kecepatan sekitar 25-30 mm/tahun (Kertapati, 2001 dan Permana, 2005 dalam Kaharudin dkk, 2011). Hampir semua gempabumi yang terjadi di Kota Palu diakibatkan oleh pergerakan Sesar Palu-Koro.
Rekaman gempa pada tahun 1927-2006 Memperlihatkan bahwa ada 2 buah gempabumi besar yang terjadi di Kota Palu
dan sekitarnya yang bersifat merusak yaitu gempabumi pada tahun 1927 dan 2005. Gempabumi pada tahun 1927 dikenal juga dengan gempabumi Donggala, gempa ini juga menyebabkan tsunami di Kota Palu. Gempa ini mengakibatkan 50 orang meninggal dan 50 orang lainnya luka-luka akibat tsunami. Terdapat bangunan rusak di wilayah Donggala dan Biromaru.
Tsunami yang melanda Kota Palu sejauh ± 3 Km dari pantai. Gempabumi pada tahun 2005 dikenal juga dengan gempabumi Bora. Gempabumi ini terjadi pada pukul 04.10 WITA, dengan kekuatan 6,2 pada Skala Richter. Episenter gempa terjadi pada 16 km arah tenggara Palu tepatnya di Desa Bora,
2 Kecamatan Biromaru, Kabupaten Sigi,
dengan kedalaman 30 km. Gempa yang terjadi pada dinihari ini menyebabakan kepanikan kepada masyarakat Kota Palu dan sekitarnya karena munculnya isu tsunami. Gempabumi ini mengakibatkan 1 orang meninggal dan 4 orang luka-luka. Kerusakan terparah terjadi di daerah Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi. Selain itu pula menyebaban beberapa rumah penduduk roboh, kerusakan pertokoan, sekolah, sarana ibadah di Kota Palu, Kecamatan Sigi, dan Kecamatan Palolo (ESDM, 2006).
Tingginya aktivitas kegempaan di Kota Palu seharusnya dibarengi dengan pembuatan infrastruktur yang berbasis tahan gempa dan regulasi yang tepat. Tujuan dari pembangunan infrastruktur berbasis tahan gempa ini ialah pembangunan Secara kontinu demi pengurangan risiko bencana gempabumi, selain itu, Kota Palu merupakan Kota yang baru berkembang sehingga masih banyak melakukan pembangunan. Regulasi yang menunjang pengurangan risiko bencana sangat dibutuhkan sebagai landasan dan payung hukum dalam pengambilan keputusan. Secara umum Kota Palu sebelah Timur Sungai Palu merupakan daerah yang kompleks karena pada wilayah ini terdapat banyak fasilitas umum dibangun misalnya sekolah, perkantoran, rumah sakit, pusat perbelanjaan, bandara, dan pasar. Tingkat risiko fasilitas umum tentunya sangat tinggi dibandingkan dengan yang lainnya sehingga diperlukan kajian untuk mengetahui tingkat risiko di tempat tersebut. Kajian frekuensi alami tanah dan bangunan di Kota Palu diharapkan bisa memberikan banyak informasi tentang tingkat risiko tersebut. Mikrotremor
Mikrotremor atau yang sering juga disebut ambient noise adalah getaran yang disebabkan oleh gangguan alam seperti angin, gelombang laut, lalu lintas, struktur bangunan. Selain itu pula ganguan tersebut juga bisa disebabkan oleh aktivitas manusia seperti lalu lintas, mesin industry, aktivitas manusia lainnya
(Motamed dkk, 2007). Mikrotremor merupakan tools yang sangat mudah digunakan untuk mengestimasi efek pada permukaan tanah pada penjalaran gelombang seismik tanpa membutuhkan informasi geologi lainnya. Melalui survei mikrotremor dapat diketahui karakteristik dinamik lapisan permukaan tanah, seperti nilai periode dominan dan nilai amplikasinya (Nakamura, 2000).
Respon Bangunan Terhadap Gempa Menurut UN-Habitat (2006), Selama terjadi gempabumi, fondasi bangunan dan tanah dasar bangunan bergerak mengikuti gaya seismik (gaya gempa). Sebelum terjadi gempabumi, seluruh elemen bangunan akan berada pada posisi awalnya. Saat terjadi gempabumi, tanah dasar bangunan dan lantai satu pada bangunan akan bergerak mengikuti arah gaya seismik. Misalnya, ketika terjadi gempabumi, tanah bergerak ke kanan, maka bangunan akan bergerak ke arah yang berlawanan dengan arah gerakan tanah (Gambar 1). Setelah gempabumi terjadi, sebagian elemen bangunan yang memilki konstruksi lemah akan mengalami kerusakan yang disebabkan bangunan memilki daya tahan dan penyerapan energi yang rendah.
Gambar 1 Respon bangunan saat terjadi gempa (UN-Habitat, 2006)
Menurut Satyarno dalam Suparjo (2008), pada saat terjadi gempa permukaan tanah akan bergetar dan getaran ini akan mengakibatkan
3 struktur yang ada di permukaan tanah ikut
bergetar. Respon dari struktur di atas tanah akan bergantung pada tipe fondasi, konfigurasi struktur, material struktur, dan detail struktur bangunan. Semakin besar beda frekuensi bangunan terhadap frekuensi tanah, maka semakin besar pula kemungkinan bangunan tersebut tahan terhadap gempa dan diklasifikasikan sebagai bangunan tahan gempa.
Gempa Bumi
Gempabumi merupakan salah satu sumber yang dapat menimbulkan terjadinya penjalaran gelombang seismik. Menurut Teori Elastic Rebound yang dikemukakan oleh seismolog Amerika, Reid (1906), gempabumi merupakan gejala alam yang disebabkan oleh pelepasan energi regangan elastis batuan yang disebabkan oleh akumulasi energi elastik dari peristiwa tekanan (stress) dan regangan (strain) pada kulit bumi yang terus-menerus sehingga menyebabkan daya dukung pada batuan akan mencapai batas maksimum yang selanjutnya dilepaskan secara tiba-tiba dalam bentuk gelombang elastik yang menjalar ke segala arah.
II. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di wilayah administrasi Kota Palu Provinsi Sulawesi Tengah, tepatnya di bagian timur Sungai Palu. Metode terdiri atas akuisisi data, hasil pengolahan data mikrotremor menggunakan software geopsy.
Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian
Akuisisi Data
Akuisisi data lapangan dilakukan menggunakan alat Accelerometer, Pengolahan data menggunakan program Geopsy dengan analisis HVSR (Horizontal To Vertical Spectral Ratio). Akuisisi data dilakukan pengukuran sebanyak 17 bangunan di wilayah Kota Palu bagian sebelah timur.
Interpretasi Data
Pengukuran mikrotremor dilakukan untuk mengetahui frekuensi dominan tanah dan bangunan yang berada di daerah tersebut dengan mengambil sampel pengukuran pada ground yang berada disekitar bangunan– bangunan fasilitas umum di sekitar daerah pengukuran seperti hotel, kantor pemerintahan serta sekolah–sekolah yang menjadi pusat keramaian.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Hubungan Antara Nilai Frekuensi Alami Tanah dan Nilai Frekuensi Alami Bangunan.
Hasil pengolahan data diperoleh nilai frekuensi alami tanah dan bangunan. Seperti pada tabel 1 dan tabel 2.
Tabel 1. Hasil Pengolahan data frekuensi dominan pada tanah
4 Tabel 2. Hasil Pengolahan data frekuensi
dominan pada bangunan
Dengan melakukan analisa hubungan antara frekuensi alami tanah dan bangunan akan dapat diketahui bahwa potensi gelombang beresonansi ketika terjadi gempa, resonansi ini dapat menimbulkan kerusakan pada bangunan. Bagunan dengan frekuensi alami lebih tinggi dibandingkan dengan frekuensi alami tanah, dapat digolongkan ke dalam kondisi aman terhadap bahaya gempa. Bangunan yang memiliki frekuensi alami sama dengan dengan frekuensi alami tanah dapat digolongkan dalam kondisi rawan terhadap bahaya gempa. Sedangkan bangunan yang memiliki frekuensi alami di bawah dari frekuensi alami tanah di golongkan ke dalam kondisi bahaya terhadap gempa, karena adanya kemungkinan terjadi resonansi getaran terhadap frekuensi gempa yang sama dengan frekuensi bangunan, sehingga sebelum bangunan bergetar akibat tanah di sekitarnya bergetar, bangunan tersebut sudah bergetar terlebih dahulu (Agus Hariyadi, 2009).
Dengan merata–ratakan nilai frekeunsi alami pada tiap lantai pada bangunan yang menjadi sampel dari penelitian dan dibandingkan dengan nilai frekuensi alami pada tanah dasarnya dapat dilihat pada tabel 3 bahwa hampir sekitar 70,59% bangunan tidak berpotensi mengalami resonansi. Terdapat sekitar 29,41% bagunan yang berpotensi mengalami resonansi. Ketika terjadi gempa bangunan yang mengalami resonansi akan terjadi amplifikasi yang dapat mengakibatkan kerusakan yang parah pada bangunan.
5 Tabel 3. Potensi Resonansi bangunan pada
fasilitas umum
Menurut Seed dan Schnabel (1972) kerusakan struktur bangunan akibat gempa dan intensitas goncangan tanah selama gempa secara signifikan dipengaruhi oleh kondisi geologi dan kondisi tanah setempat. Batuan sedimen
yang lunak diketahui memperkuat gerakan tanah selama gempa dan karena itu rata-rata kerusakan yang terjadi pada lapisan sedimen yang lunak lebih parah dibandingkan dengan lapisan keras (Tuladhar, 2002). Artinya sedimen merupakan faktor amplifikasi amplitudo gelombang gempa. Bagunan yang dibangun di atas sedimen lunak akan mudah mengalami kerusakan akibat amplifikasi gelombang gempa. Akan tetapi ada beberapa hal lain yang dapat mempengaruhi sebuah bangunan mempunyai potensi untuk beresonansi seperti pada tinggi bangunan dan usia dari bagunan tersebut.
Tinggi bangunan mempengaruhi besarnya massa dan frekuensi alami bangunan. Karena gaya gempa adalah gaya inersia yang besarnya bergantung pada massa bangunan, pertambahan tinggi bangunan selaras dengan pertambahan gaya gempa. Sehingga jika
dikenai gelombang gempa yang
berkepanjangan, akan terjadi kemungkinan terkena gempa dengan periode gelombang yang hampir sama dengan periode alami dari struktur. Jika hal ini terjadi maka akan terjadi
resonansi yang akan mengakibatkan
goncangan yang besar pada struktur
bangunan. Usia bangunan sangat berpengaruh pada tingkat kerentanan pada bagunan dengan mekanisme deteriorasi yang merujuk pada berkurangnya kemampuan elemen bangunan seiring bertambahnya usia pada bangunan tersebut. Bangunan–bangunan tua berpotensi lebih rentan ketika terjadi gempa bumi. IV. KESIMPULAN
Dari hasil pengukuran dengan menggunakan alat Accelerometer di wilayah bagian timur Kota Palu memperlihatkan nilai frekuensi alami tanah dan bangunan tertinggi pada titik pengukuran di SMP 7 yaitu 1,6 Hz dan Terendah pada titik pengukuran di Kantor Gubernur, Kantor Walikota Palu, Mall Tatura, Hotel Nisfa, dan SMPN 9 Palu yaitu 0,6 Hz. Rata-rata nilai frekuensi alami pada tiap lantai bangunan diperoleh nilai tertinggi pada titik RSUD Undata yaitu 3,1 Hz dan terendah pada N o Nama Bagunan Pada Groun d F (Hz) Pada Lantai Keter angan Fo Rata - Rata 1 Puskesmas Birobuli 0.8 Hz 1.1 Rawa n 2 RSUD Undata 0.8 Hz 3.1 Aman 3 Kantor Gubernur Sulawesi Tengah 0.6 Hz 2.3 Aman 4 Kantor WalikotaPa lu 0.6 Hz 1.2 Aman 5 Mall Tatura 0.6 Hz 1.1 Aman 6 SDN 3 Palu 1 Hz 2.5 Aman 7 SMKN 1 Palu 0.9 Hz 2.4 Aman 8 Bandar Udara Mutiara 1.2 Hz 1.6 Rawa n
9 Hotel Nisfa 0.6 Hz 3 Aman
10 SMPN 7 Palu 1.6 Hz 2 Rawa n 11 SMP Al-AzharPalu 1 Hz 1.9 Aman 12 SMPN 9 Palu 0.6 Hz 2.2 Aman 13 SDN 2 Tatura 0.7 Hz 2.9 Aman 14 SD Inpres 1 Tanamodin di 0.7 Hz 2.2 Aman 15 Hotel Santika 0.7 Hz 1.1 Rawa n 16 SD Inpres 2 Birobuli 0.8 Hz 1.1 Rawa n 17 SMA SwadayaPa lu 0.8 Hz 2.8 Aman
6 titik Puskesmas Birobuli, Mall Tatura, Hotel
Santika, SD Inpres 2 Birobuli yaitu 1,1 Hz. Nilai rata-rata frekuensi alami pada bangunan di bandingkan dengan nilai frekuensi alami pada tanah dilokasi penelitian memperlihatkan bahwa sekitar 70,59% bangunan tidak mengalami resonansi dan terdapat 29,41%
bagunan yang berpotensi mengalami
resonansi.
DAFTAR PUSTAKA
Irsyam. M., Sengara, I.W., Aldiamar, F., Widiyantoro, S., Triyoso, W., Natawidjaja, D.M., Kertapati, E., Meilano, I., Suhardjono, Asrurifak, M., Ridwan, M., 2010, Ringkasan Hasil Studi Tim Revisi Peta Gempa Indonesia 2010, Bandung.
Kaharuddin, M.S., Hutagalung, R., dan Nurhamdan, 2011, Perkembangan Tektonik Dan Implikasinya Terhadap Potensi Gempa Dan Tsunami Di Kawasan Pulau Sulawesi,
Proceedings Jcm Makassar 2011 The 36th Hagi And 40th Iagi Annual Convention And Exhibition.
Motamed, R., Ghalandarzadeh, A., Tawhata, I., dan Tabatabei, S.H., 2007, Seismic Microzonation and Damage Assessment of Bam City, Southern Iran, Journal of Earthquake Engineering, 11:110-132.
Nakamura, Y., 2000, Clear Identification of Fundamental Idea of Nakamura’s Technique and Its Application, World
Conference of Earthquake
Engineering.
Nakamura, Y., Sato, T., dan Nishinaga, M., 2000, Local Site Effect of Kobe Based on Microtremor Measurement, Proceeding of the Sixth International Conference on Seismic Zonation
EERI, Palm Springs
California.Nakamura, Y., 2007, Development of vulnerability assessment for ground and structures using Microtremor, System and Data Research Co., Ltd.
Suparjo, I, 2008, Perhitungan Indeks Kondisi Bangunan dan Analisis Biaya Perbaikan Gedung Akademi Keperawatan Panti Rapih Pasca Gempa, Tesis, Program Studi Teknik Sipil, Magister Pengelolaan Sarana dan Prasarana, Sekolah Pasca Sarjana, UGM, Yogyakarta.
Seed, H. B., and Schnabel, P. B., 1972, Soil and Geological Effects on
Site ResponseDuring Earthquakes, Proc, of First International Conf, on Microzonation for SaferConstruction – Research and Application, vol, I, pp 61-74.
Tim ESDM, 2006, Katalog gempabumi merusak di Indonesia tahun 1629-2006, Badan geologi pusat vulkanologi dan mitigasi bencana geologi, Bandung.
UN-Habitat, 2006, Guidelines for Earthquake Resistant Construction of Non-Engineered Rural and Suburban Masonry Uses in Cement Sand Mortar in Earthquake Affected Areas,