• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. sebagai berikut, Seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas. Menurut WHO (1998) dalam Nugroho (2000) lanjut usia meliputi : usia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. sebagai berikut, Seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas. Menurut WHO (1998) dalam Nugroho (2000) lanjut usia meliputi : usia"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Lansia

1. Pengertian

Lansia adalah orang yang berumur lebih dari 65 tahun (Nuhgroho, 2000). Berdasarkan Undang-Undang No. 4 tahun 1965 dalam pasal 1 dinyatakan sebagai berikut, “Seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas”.

2. Batasan lanjut usia

Menurut WHO (1998) dalam Nugroho (2000) lanjut usia meliputi : usia pertengahan yaitu 45 sampai 59 tahun. Lanjut usia yaitu 60 sampai 74 tahun, lanjut usia tua 75 sampai 90 tahun dan usia sangat tua yaitu di atas 90 tahun. Sedangkan menurut Setyonegoro (1998), seseorang dinyatakan lanjut usia jika usianya mencapai 65 tahun.

3. Proses menua

Menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapt bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Constantindes (1994) dalam Nugorho, 2000). Proses menua sudah mulai berlangsung sejak seseorang mencapai usia dewasa. Tetapi sebenarnya, tidak ada batas yang pasti pada usia berapa penampilan seseorang mulai menurun.

(2)

B. Kecemasan

1. Pengertian

Menurut May dalam Kaplan & Sadock (1997), kecemasan merupakan sesuatu perasaan yang diffus (menyebar dan menyeluruh serta manifestasinya dirasakan hampir diseluruh organ tubuh), timbul secara alami dan berhubungan dengan perasaan terisolasi, merasa asing dan tidak berdaya. Kecemasan tidak mempunyai objek yang spesifik dan respon setiap orang terhadap kecemasan cenderung bervariasi.

Berbagai teori telah dikembangkan untuk menjelaskan asal kecemasan, menurut Stuart dan Sundeen, (1991) antara lain :

a. Dalam pandangan psikoanalitik, kecemasan adalah konflik emosional yang terjadi antara dua kepribadian yaitu Id dan Superego. Ego atau aku, berfungsi menengahi dua elemen yang bertentangan, dan fungsi cemas adalah mengingatkan ego bahwa ada bahaya.

b. Menurut pandangan interpersonal, kecemasan timbul dari perasaan takut terhadap tidak adanya penerimaan dan penolakan interpersonal. Kecemasan juga berhubungan dengan perkembangan trauma perpisahan, kehilangan dan hal-hal lain yang menimbulkan kelemahan spesifik.

c. Menurut pandangan prilaku, kecemasan merupakan produk frustasi yaitu segala sesuatu yang mengganggu kemampuan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Hal tersebut dapat memacu terjadinya kecemasan dengan berbagai respon perilaku sebagai manifestasinya.

d. Kajian keluarga menunjukkan bahwa gangguan kecemasan merupakan hal yang biasa ditemui dalam suatu keluarga. Ada tumpang tindih antara gangguan kecemasan dengan depresi.

(3)

e. Kajian bologis menunjukkan bahwa otak mengandung reseptor khusus untuk

Benzodiazepines. Reseptor ini memungkinkan otak untuk memantau,

mengatur kecemasan. Penghambat Asam Amino Butiric Gamma

Neuroregulator (GABA) juga mungkin memainkan peran utama dalam

mekanisme biologis yang berhubungan dengan kecemasan.

Cemas adalah pengalaman psikis yang biasa dan wajar, yang pernah dialami oleh setiap orang dalam rangka memacu individu untuk mengatasi masalah yang dihadapi sebaik-baiknya. Jadi cemas sampai taraf dan situasi tertentu mempunyai fungsi adaptif dan konstruktif, demi kelangsungan hidup individu dalam lingkungan yang berubah-ubah. Lebih dari itu akan menjadi sindrom klinis yang mengganggu kesehatan, kegiatan sehari-hari, dan kesejahteraan hidup.

Menurut Hawari (2007), manajemen atau penatalaksanaan pencegahan agar seseorang tidak jatuh dalam keadaan sterss, cemas dan atau depresi maka sebaiknya kekebalan yang bersangkutan perlu ditingkatkan agar mampu menanggulangi stressor psikososial yang muncul dengan cara hidup yang teratur, serasi, selaras dan seimbang antara dirinya dengan Tuhan (vertikal), sedangkan secara horizontal antara dirinya dengan sesama orang lain dan lingkungan alam sekitarnya.

2. Rentang respon cemas

Cemas sangat berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. Keadaan emosi ini tidak memiliki obyek yang spesifik. Kondisi dialami secara subyektif dan dikomunikasikan dalam hubungan interpersonal. Kapasitas untuk

(4)

menjadi cemas diperlukan untuk bertahan hidup, tetapi tingkat cemas yang parah tidak sejalan dengan kehidupan.

Bagan 2.1 : Rentang respon cemas

Respon adaptif Respon maladaptif

Antisipasi Ringan Sedang Berat Panik

Sumber : Stuart & Sundeen (1991)

3. Adapun tingkat cemas sebagai berikut :

a. Cemas ringan berhubungan dengan ketegangan sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan lahan persepsinya. Cemas dapat memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan dan kreativitas. b. Cemas sedang memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada hal yang

penting dan mengesampingkan yang lain. Sehingga seseorang mengalami perhatian yang selektif namun dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah. c. Cemas berat sangat mengurangi lahan persepsi seseorang. Seseorang

cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spesifik dan tidak dapat berpikir tentang hal ini. Semua peilaku ditujukan untuk mengurangi ketegangan. Orang tersebut memerlukan banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pada area lain.

d. Panik, yaitu penyimpangan persepsi, tidak mampu belajar, tidak mampu mengintegrasikan pengalaman, tidak dapat berfokus pada keadaan pada saat ini, tidak mampu melihat dan mengerti situasi yang dihadapi, kehilangan

(5)

cara untuk mengungkapkan apa yang dipikirkan, tidak dapat berfungsi, biasanya terjadi peningkatan aktivitas motorik atau respon yang tidak dapat diperkirakan terhadap stimulus minor sekalipun, komunikasi tidak dapat dimengerti orang lain dan merasa akan pingsan (Carpenito, 2000).

C. Kecemasan Lanjut Usia

Pada umumnya mereka yang memasuki masa lanjut usia akan mengalami stress, kecemasan dan depresi. Untuk menghilangkan gejala-gejala tersebut dianjurkan kepada para lanjut usia untuk banyak melakukan kehidupan beragama (beribadah). Sebab, mengamalkan ibadah dapat memperkuat daya tahan fisik maupun mental terhadap stress, kecemasan dan depresi (Hawari, 2007). Adapun perubahan – perubahan pada lanjut usia yaitu :

1. Perubahan fisik

Sebagai contoh pada sistem pendengaran dan penglihatan. Pada sistem pendengaran lanjut usia mengalami penurunan daya pendengaran, sulit mengerti kata-kata. Pada sistem penglihatan, hilangnya daya akomodasi, daya adaptasi terhadap kegelapan menurun, dll.

2. Perubahan mental

Faktor yang mempengaruhi perubahan mental lajut usia diantaranya perubahan fisik, kesehatan umum, pendidikan , herediter dan lingkungan.

3. Perubahan psikososial

Lajut usia mengalami masa pensiun, sadar akan kematian, perubahan akan cara hidup, penyakit kronis dan ketidakmampuan. Bidang psikologi sosial lebih banyak membahas manusia dari konteks sosialnya, dalam pola-pola hubungan antar pribadi dan dalam dinamika kelompoknya,

(6)

dengan mencari bagaimana manusia dan situasi beraksi sehingga terbentuk pikiran perasaan, dan tindakan.

D. Perubahan Psikososial

Secara umum psikologi sosial dibatasi sebagai suatu usaha untuk memahami dan menjelaskan bagaimana pikiran, perasaan dan tingkah laku individu dipengaruhi oleh kehadiran orang-orang lain baik secara aktual ataupun dibayangkan (Dayakisni, 2006). Brehm & Kassin (1993) dalam Dayakisni (2006) berpendapat bahwa psikologi sosial adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari cara individu berpikir, merasa, dan bertingkah laku dalam latar atau setting sosial.

Ada beberapa faktor yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan jiwa lanjut usia. Faktor-faktor tersebut hendaklah disikapi secara bijak sehingga para lanjut usia dapat menikmati hari tua mereka dengan bahagia (Kuntjoro, 2002). Adapun beberapa faktor yang dihadapi para lanjut usia yang sangat mempengaruhi kesehatan jiwa mereka adalah sebagai berikut penurunan kondisi fisik, penurunan fungsi dan potensi seksual, perubahan aspek psikososial, perubahan yang berkaitan dengan pekerjaan, perubahan dalam peran di masyarakat.

Lanjut usia secara psikososial yang dinyatakan krisis bila ketergantungan pada orang lain (sangat memerlukan pelayanan orang lain), mengisolasi diri atau menarik diri dari kegiatan kemasyarakatan karena berbagai sebab, diantaranya setelah menajalani masa pensiun, setelah sakit cukup berat dan lama, setelah kematian pasangan hidup dan lain-lain.

Menurut Kuntjoro (2006), pada umumnya setelah orang memasuki lanjut usia maka ia mengalami penurunan fungsi kognitif dan psikomotor. Fungsi kognitif

(7)

meliputi proses belajar, persepsi, pemahaman, pengertian, perhatian dan lain-lain sehingga menyebabkan reaksi dan perilaku lanjut usia menjadi makin lambat. Sementara fungsi psikomotorik (konatif) meliputi hal-hal yang berhubungan dengan dorongan kehendak seperti gerakan, tindakan, koordinasi, yang berakibat bahwa lansia menjadi kurang cekatan. Dengan adanya penurunan kedua fungsi tersebut, lanjut usia juga mengalami perubahan aspek psikososial yang berkaitan dengan keadaan kepribadian lanjut usia. Beberapa perubahan tersebut dapat dibedakan berdasarkan 5 tipe kepribadian lanjut usia sebagai berikut:

1. Tipe Kepribadian Konstruktif (Construction personalitiy), biasanya tipe ini tidak banyak mengalami gejolak, tenang dan mantap sampai sangat tua.

2. Tipe Kepribadian Mandiri (Independent personality), pada tipe ini ada kecenderungan mengalami post power sindrome, apalagi jika pada masa lanjut usia tidak diisi dengan kegiatan yang dapat memberikan otonomi pada dirinya. 3. Tipe Kepribadian Tergantung (Dependent personalitiy), pada tipe ini biasanya

sangat dipengaruhi kehidupan keluarga, apabila kehidupan keluarga selalu harmonis maka pada masa lanjut usia tidak bergejolak, tetapi jika pasangan hidup meninggal maka pasangan yang ditinggalkan akan menjadi merana, apalagi jika tidak segera bangkit dari kedukaannya.

4. Tipe Kepribadian Bermusuhan (Hostility personality), pada tipe ini setelah memasuki lanjut usia tetap merasa tidak puas dengan kehidupannya, banyak keinginan yang kadang-kadang tidak diperhitungkan secara seksama sehingga menyebabkan kondisi ekonominya menjadi morat-marit.

(8)

5. Tipe Kepribadian Kritik Diri (Self Hate personalitiy), pada lansia tipe ini umumnya terlihat sengsara, karena perilakunya sendiri sulit dibantu orang lain atau cenderung membuat susah dirinya (Hudainah, 2006).

Penyebab menurunnya kontak sosial pada lanjut usia antara lain ditinggalkan oleh semua anaknya karena masing-masing sudah membentuk keluarga dan tinggal di rumah atau kota yang terpisah, berhenti dari pekerjaan (pensiun sehingga kontak dengan teman sekerja terputus atau berkurang), mundurnya dari berbagai kegiatan (akibatnya jarang bertemu dengan banyak orang), kurang dilibatkannya lanjut usia dalam berbagai kegiatan, ditinggalkan oleh orang yang dicintai: pasangan hidup, anak, saudara, sahabat (Probosuseno, 2007).

E. Perpisahan Keluarga

Menurut Departemen Kesehatam RI (1988) keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal disuatu tempat dibawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan. Keluarga adalah sebuah kelompok yang terdiri dari dua orang atau lebih yang masing-masing mempunyai hubungan kekerabatan yang terdiri dari bapak, ibu, adik, kakak, kakek dan nenek (Reisner, 1980). Bailon dan Maglaya (1989) mendefinisikan keluarga adalah dua atau lebih dari dua individu yang tergabung karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan dan mereka hidup dalam suatu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain, dan didalam perannya masing-masing menciptakan serta mempertahankan kebudayaan.

Tugas-tugas keluarga menurut Effendy (1998) pada dasarnya ada delapan tugas pokok sebagai berikut pemeliharaan fisik keluarga dan para anggotanya,

(9)

pemeliharaan sumber-sumber daya yang ada dalam keluarga, pembagian tugas masing-masing anggotanya sesuai dengan kedudukannya masing-masing, sosialisasi antaranggota keluarga, pengaturan julah anggota keluarga, pemeliharaan ketertiban anggota keluarga, penempatan anggota-anggota keluarga dalam masyarakat yang lebih luas.

Fungsi keluarga harus dimodifikasi untuk mengetahui kebutuhan yang spesifik pada lanjut usia dan memfokuskan pada:

1. Memperhatikan kebutuhan fisik secara penuh 2. Memberikan kenyamanan dan support

3. Mempertahankan hubungan dengan keluarga dan masyarakat 4. Menanamkan perasaan pengertian hidup

5. Manajemen krisis

Menurut Effendi dan Sukamdi (1994), dalam suatu keluarga luas, beban sosial dan ekonomi keluarga dapat ditanggung bersama antara orang tua dan anak. Sementara itu, dalam usia lanjut, tugas perawatan orang tua dapat dilakukan oleh anak. Akan tetapi, dalam keluarga inti, terjadi pergeseran fungsi sosial dan ekonomi. Peran anak di bidang sosial seperti membantu pekerjaan rumah tangga digantikan oleh orang lain, biasanya pembantu.

Demikian juga dalam menemani dan merawat orang tua yang lanjut usia. Peran tersebut tidak lagi dilakukan oleh anak tetapi akan diambil alih oleh institusi atau pemerintah. Pembangunan juga disertai peningkatan pendidikan dan kemajuan komunikasi. Hal tersebut secara nyata berdampak kurang baik terhadap kesejahteraan lanjut usia melalui dua jalur utama. Pertama, menyebabkan terjadinya perbedaan nilai budaya antara penduduk usia muda dengan lansia (Cultural

(10)

kesulitan untuk menggabungkan keduanya dalam satu kehidupan. Di sisi lain Cowgill (1986) juga menunjukkan perubahan nilai budaya menuju sistim nilai individualistik di negara-negara barat cenderung mengurangi bantuan keluarga untuk lanjut usia. Kedua, peningkatan pendidikan akan meningkatkan nilai waktu di luar rumah. Terutama untuk wanita, peningkatan nilai waktu ini menurut Ehrenberg dan Smith (1987) menyebabkan berkurangnya alokasi waktu untuk pekerjaan-pekerjaan kerumahtanggaan, termasuk mengurus orang tua.

Kurada dan Hauser (1981) mengemukakan bahwa adanya gangguan terhadap hubungan keluarga dan persahabatan membuat terjadinya ketidakpuasan bagi orang tua dan menjadi dirinya terisolasi dari yang lainnya. Tipe-tipe penetapan bertempat tinggal bagi lanjut usia tentunya akan berpengaruh terhadap bentuk-bentuk dukungan/ bantuan yang dapat diberikan keluarga kepada lanjut usia. Diperkirakan, jika lanjut usia tinggal serumah dengan keluarga, maka bantuan keluarga akan lebih intensif terhadap lanjut usia. El-Badry (1987) mengemukakan pemenuhan berbagai kebutuhan lansia, relatif tidak akan terlalu menjadi masalah selama penduduk usia lanjut masih tinggal dengan keluarganya. Cowgill (1986) juga mengemukakan bahwa hidup dengan dan dekat keluarga memberikan jaminan fisik dan ekonomi yang kuat. Untuk mengatasi salah satu dari berbagai persoalan orang lanjut usia, pemerintah dalam hal ini Departemen Sosial mengupayakan suatu wadah atau sarana untuk menampung orang lanjut usia dalam satu institusi yang disebut Panti Wredha.

Pada awalnya intitusi ini dimaksudkan untuk menampung orang lanjut usia yang miskin dan terlantar untuk diberikan fasilitas yang layak mulai dari kebutuhan makan minum sampai kebutuhan aktualisasi. Namun lambat laun dirasakan bahwa yang membutuhkan pelayanan kesejahteraan lanjut usia yang berbasis panti tidak hanya bagi mereka yang miskin dan terlantar saja, tetapi orang yang berkecukupan

(11)

dan mapan ataupun yang membutuhkannya, hal ini ada beberapa alasan yang yang menyebabkannya, pertama perubahan tipe keluarga dari keluarga besar (extended

family) menjadi keluarga kecil (nuclear family). Dimana pada awalnya dalam

keluarga terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak. Tapi sesuai dengan perkembangan keluarga ada tahap dimana keluarga menghadapi anak yang menikah atau membentuk keluarga sendiri, sehingga yang terjadi adalah orang tua akan tinggal berdua saja, tentu saja kondisi ini membutuhkan peran pengganti keluarga

Kedua adalah perubahan peran ibu. Pada awalnya peran ibu adalah mengurus rumah tangga, anak-anak, dan lain-lain. Sekarang telah mengalami perubahan dimana ibu juga bertindak sebagai pencari nafkah bekerja di Kantoran dan sebagainya. Sehingga anggota keluarga seperti anak-anak dan kakek serta nenek dititipkan pada institusi tertentu.

Ketiga kebutuhan sosialisasi orang lanjut usia itu sendiri. Apabila ia tinggal dalam keluarga mungkin ia akan mengalami perasaan yang bosan ditinggal sendiri, anaknya mungkin berangkat bekerja dan cucunya kesekolah. Sehingga ia membutuhkan suatu lingkungan sosial dimana didalam komunitas tersebut terdapat beberapa kesamaan sehingga ia merasa betah dan kembali bersemangat. (Hudainah, 2006).

Perasaan terasing (terisolasi atau kesepian) adalah perasaan tersisihkan, terpencil dari orang lain, karena merasa berbeda dengan orang lain,yang dapat disebabkan karena: tersisih dari kelompoknya, tidak diperhatikan oleh orang-orang disekitarnya, terisolasi dari lingkungan, tidak ada seseorang tempat berbagi rasa dan pengalamanseseorang harus sendiri tanpa ada pilihan. Hal-hal tadi menimbulkan perasaan tidak berdayaan, kurang percaya diri, ketergantungan, keterlantaran dan perasaan kehilangan (Kunjtoro, 2006).

(12)

Laengle dan Probst (2000) menjelaskan bahwa masalah psikologis akibat keterpisahan orang tua dengan anggota keluarga yang dicintai, misalnya anak, merupakan masalah yang sering terjadi, dan kompleksitas permasalahannya dapat menjadi semakin rumit jika orang tersebut adalah manusia lanjut usia. Keterpisahan menghadirkan perasaan kesepian ditinggalkan oleh orang yang dicintai, dan pada kalangan lanjut usia hal ini mengalami peningkatan intensitas ketika pasangan mereka meninggal dunia. Berkurangnya peluang anggota keluarga untuk membantu para orang tua dalam menghadapi hidup mereka sehari-hari menimbulkan ketakutan pada diri orang tua bahwa dalam waktu yang tidak terlalu lama mereka mungkin akan dimasukkan kedalam panti wredha. Sekalipun di panti wredha mereka mungkin akan memperoleh perawatan khusus dari para tenaga profesional, namun para tenaga tersebut bukan anggota keluarga mereka sendiri, dan mereka lebih mengharapkan dukungan sosial dari anggota keluarga ketimbang dari para tenaga profesional tersebut (Beyene et al, 2002).

Kerangka Teori Faktor internal : Penurunan Psikososial Perubahan fisik Tingkat Kecemasan Lansia Faktor eksternal :

(13)

Sumber : (Stuart & Sundeen, 1991, Hawari, 2007) Bagan 2.2 : Kerangka Teori

G. Kerangka Konsep Perpisahan keluarga Perubahan psikososial

Tingkat Kecemasan Lanjut Usia

Bagan 2.3 : Kerangka Konsep

H. Variabel Penelitian

Variabel peneliti dalam penelitian ini adalah: 1. Variabel bebas

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah: a. Perubahan psikososial

b. Perpisahan Keluarga 2. Variabel terikat

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah : Tingkat kecemasan lanjut usia.

(14)

I. Hipotesis

1. Ada hubungan antara perubahan psikososial lanjut usia dengan tingkat kecemasan lanjut usia di Panti Wredha Pucang Gading Semarang.

2. Ada hubungan antara perpisahan keluarga dengan tingkat kecemasan lanjut usia di Panti Wredha Pucang Gading Semarang.

Referensi

Dokumen terkait

Pada aplikasi control alat elektronik menggunakan virtual keypad ini memiliki kelebihan dalam hal keakuratan pendeteksian obyek sesuai dengan range warna yang

Obyek adalah bagian dari jumlah situasi sosial yang ingin diteliti. 42 Menurut Anto Dajan objek penelitian adalah pokok persoalan yang hendak diteliti untuk mendapatkan

Tabel header yang terletak di bagian atas adalah judul kolom tabel, sedang tabel header yan terletak di bagian kiri adalah judul baris tabel.. Tag yang digunakan

• Senarai semak @ • Lembaran (unit 25) 26 Pergerakan Berirama Tajuk: Rangkaian Kreatif Fokus: Berkebolehan melakukan rangkaian pergerakan lokomotor dan bukan lokomotor

keluarga mampu mendemonstrasikan kembali cara membuat obat tradisional.. dengan benar dan keluarga dapat mengerti serta memahami

Dengan mengetahui faktor dari hasil analisis diagram sebab akibat, maka dilakukan rancangan percobaan metode Taguchi untuk dapat diketahui faktor mana yang paling optimal

Latar belakang dibentuknya program ini, adalah untuk membentuk citra positif bagi perusahaan, diperlukan hubungan yang baik dengan berbagai lapisan masyarakat sehingga