• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Etika K.H. Hasyim Asy ari dalam Budaya Mendidik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Konsep Etika K.H. Hasyim Asy ari dalam Budaya Mendidik"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Konsep Etika K.H. Hasyim Asy’ari

dalam Budaya Mendidik

Supriyanto *)

*)Penulis adalah Magister Studi Islam (M.S.I.), dosen tetap Jurusan Hukum Islam (Syari’ah) STAIN Purwokerto.

Abstract: K.H. Hasyim Asy’ari is an ulama (Islamic scholar) who have international perspective without uprooted from his Javanese tradision root which grown his up. He develops Islamic ideas about teaching with local character. Learning culture from K.H. Hasyim Asy’ari thought can be grouped into two part, namely general ethic concept that contain basic values and moral that have to be build, and ethic concept in education that contain basic values and courtesy as embodiment of ethic. Keywords: K.H. Hasyim Asy’ari, culture, moral values, and education.

Pendahuluan

K.H. Hasyim Asy’ari dibesarkan dalam tradisi sufi dari golongan Sunni di Jawa. Beliau belajar dan berkiprah di masyarakat pada masa munculnya gerakan Wahabi dalam dunia Islam. Abad ke-19, di Jawa merupakan masa transisi yaitu masa dialog antara golongan santri tradisional dengan golongan modernis yang dipengaruhi oleh gerakan Wahabi dan Muhammad Abduh. Golongan modernis menyatakan bahwa Islam di Jawa telah tertinggal jauh karena salah menafsirkan Islam dengan tujuan sufi dan percampuran Islam dengan budaya lokal. Slogan golongan modernis adalah kembali kepada al-Qur’an dan Hadits, sedangkan misi mereka adalah memurnikan ajaran Islam dari pengaruh-pengaruh budaya lokal.1

Meskipun sama-sama berguru kepada Ahmad Khatib di Makkah, namun K.H. Hasyim Asy’ari berbeda dalam pemikiran dengan K.H. Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah yang menyatakan diri sebagai reformis. K.H. Hasyim mewakili kelompok pelajar-pelajar Timur Tengah yang menentang ide-ide reformis. K.H. Hasyim lebih dipengaruhi oleh guru-guru yang lain seperti Syaikh Mahfuz at-Tirmisi, Imam Nawawi al-Bantani, dan Syaikh Ahmad Khatib as-Sambasi. Dia lebih memilih meneruskan tradisi intelektual ketiga gurunya tersebut dengan secara konsisten menjaga ajaran madzhab dan tarekat. Meskipun begitu, K.H. Hasyim mengakui ide-ide Muhammad Abduh dalam menghidupkan kembali nilai-nilai Islam, namun dia menolak ide Abduh yang lain, yaitu melepaskan diri dari bermadzhab. Bagi K.H. Hasyim, mustahil untuk mendekati al-Qur’an dan Hadits dengan baik tanpa memahami dan mempelajari kitab-kitab ulama abad pertengahan. Tanpa hal ini upaya penafsiran al-Qur’an dan Hadits hanya merupakan pengikisan terhadap ajaran Islam yang sesungguhnya.2

K.H. Hasyim adalah kiai khas Jawa yang melakukan penggabungan elemen-elemen Islam dengan budaya lokal dalam berdakwah, sepanjang praktik-praktik budaya lokal itu tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Perpaduan semacam inilah yang digunakan oleh K.H. Hasyim dan pengikutnya sehingga lebih mudah diserap oleh sebagian besar masyarakat Jawa.3 K.H. Hasyim tidak pernah

(2)

penuh ketulusan dan penghargaan. Dengan pendekatan yang bijaksana, maka akan menarik masyarakat untuk meninggalkan kebiasaan buruk dan kembali ke jalan yang benar. Perilaku yang tumbuh dari kesadaran akan lebih baik dan bertahan lama daripada disebabkan oleh kritik dan cercaan. Beliau selalu menunjukkan kehidupan Nabi sebagai contoh yang ideal, Nabi lebih cenderung memberikan nasihat dan bimbingan daripada kekerasan.4

Beliau memutuskan untuk mendirikan sebuah pesantren di Tebuireng, sebuah desa terpencil yang jauh dari kota Jombang. Dulunya, Tebuireng merupakan daerah yang tidak aman karena penduduk setempat tidak agamis, pemabok, penjudi, perampok, dan daerah prostitusi, yang mendapatkan kritik tajam dari banyak kiai yang lain. K.H. Hasyim tetap bersikukuh untuk mendirikan pesantren di Tebuireng, dengan tujuan untuk menyampaikan dan mengamalkan ilmu yang dia peroleh selama ini dan bermaksud menggunakan pesantren sebagai agen perubahan sosial. Dia menganggap pesantren tidak hanya sebagai tempat pendidikan, tetapi juga sebagai sarana penting untuk membuat perubahan secara mendasar dalam masyarakat secara luas.5

Waktu K.H. Hasyim dipergunakan untuk mengajar di masjid Tebuireng dan pesantrennya. Dia dikenal sebagai ulama yang ahli dalam ilmu Hadits sehingga banyak orang yang ingin berguru Hadits secara mendalam kepadanya. Dalam pesantren Tebuireng tidak hanya diajarkan hadits saja, tetapi juga ilmu fiqh dan tafsir. Ketertarikan banyak santri kepada pesantren Tebuireng adalah kualitas yang luar biasa dari K.H. Hasyim dalam mengajar. Dia mengajar dengan mempesona. Dia membacakan dan mengartikan materi-materi berbahasa Arab dengan sangat lugas dan mudah dimengerti. Dia selalu ramah dan penuh kesabaran dalam menjawab pertanyaan dari santri.6

Pada tahun 1920-an, banyak ulama dan santri yang belajar kepada K.H. Hasyim mengenai ilmu Hadits di pesantren Tebuireng, bahkan seorang ulama yang paling berpengaruh di Jawa pada masa itu, yang juga guru dari K.H. Hasyim, yaitu K.H. Khalil Bangkalan ingin berguru kepadanya dalam ilmu hadits. Ketika kiai Khalil minta izin untuk menjadi muridnya, dengan santun dia mengatakan bahwa kiai Khalil adalah gurunya dan selamanya akan tetap menjadi gurunya. Hal yang demikian menunjukkan kerendahan hati kedua ulama tersebut karena kiai Khalil dikenal sebagai seorang guru yang tiada tandingannya, yang gemar berdebat untuk tujuan keilmuan melebihi siapapun, dan hal itu sulit dimengerti ketika akhirnya sang Guru sangat menghormati muridnya. Kerendahan hati adalah salah satu ciri penting dari ulama pesantren.7

Uraian di atas menunjukkan bahwa K.H. Hasyim Asy’ari sangat fenomenal pada masanya. Keputusannya untuk menempuh jalur intelektual bermadzhab dan bertarekat, serta berdakwah secara kultural dengan jalan melakukan perpaduan antara elemen-elemen Islam dengan budaya lokal menjadikan K.H. Hasyim selain unik dan khas, juga menunjukkan bahwa dia adalah seorang ulama yang mampu membaca jiwa zaman (situasi dan kondisi masa itu). Kecintaannya terhadap ilmu, kepandaiannya mengajar, kearifan dan kesabarannya terhadap murid, dan kerendahan hatinya terhadap guru menjadi penting untuk ditelaah secara mendalam. Telaah itu untuk mengkaji pemikiran-pemikirannya dalam dunia yang paling dia cintai, yaitu dunia pendidikan.

(3)

Tulisan ini lebih difokuskan pada penelaahan pemikiran etika dalam budaya mendidik K.H. Hasyim, selain memang dia telah melahirkan karya dalam bidang ini, yaitu kitab Adabu ‘Alim wa

al-Muta’alim. Dengan demikian, penelaahan konsep etika K.H. Hasyim Asy’ari dalam kitab tersebut

menjadi signifikan.

Nilai-nilai Dasar Konsep Etika dalam Mendidik

Dalam menyusun karya mengenai etika budaya mendidik yang terdapat dalam Adabu al-‘Alim wa

al-Muta’alim, kiai Hasyim memulai dengan melakukan pembahasan terhadap beberapa nilai dasar

tentang pendidikan yang akan dijadikan landasan dalam menyusun konsep etika praktis. Adapun nilai-nilai dasar tersebut adalah:

1. Keutamaan Ilmu dan Ulama

Kiai Hasyim dalam membahas persoalan ini banyak mengutip pendapat-pendapat dari para sahabat Nabi. Dia mengatakan bahwa seorang Muslim harus mempelajari ilmu pengetahuan karena mempelajari ilmu pengetahuan merupakan kebaikan, mencari ilmu pengetahuan adalah ibadah, mempelajari ulang dari ilmu pengetahuan diibaratkan sebagai tasbih, melakukan pembahasan terhadap ilmu pengetahuan merupakan jihad di jalan Allah, sedangkan melakukan pengajaran dan menyampaikan ilmu pengetahuan kepada orang lain adalah sadaqah.8

Sebaik-baik pemberian Allah kepada manusia adalah ilmu dan akal. Dengan demikian sejelek-jeleknya musibah adalah kebodohan karena seorang manusia tidak mau mempergunakan akalnya. Dengan ilmu pengetahuan, manusia dapat terlindungi dari tipu daya setan. Ilmu pengetahuan juga dapat menjadi perisai atau benteng dari orang yang hasud, pendengki dan ilmu pengetahuan dapat dijadikan pedoman bagi akal untuk lebih banyak berfikir.9

Allah akan mengangkat derajat para ulama, yaitu orang alim yang mengamalkan ilmunya sebab mereka telah berhasil memiliki dan mengumpulkan ilmu pengetahuan serta dapat mempraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Derajat para ulama dibandingkan dengan yang lain adalah tujuh ratus derajat, sedangkan jarak antara satu derajat dengan derajat yang lain adalah sebanding dengan perjalanan selama lima ratus tahun. Para ulama telah memperoleh kemuliaan, keagungan dan keluhuran karena Allah sering menyebutkan ulama dalam awal sebuah ayat, setelah menyebutkan dzat-Nya, kemudian para malaikat dan kemudian ulama. Allah juga menempatkan para ulama sebagai orang-orang yang takut kepada Allah, dalam diri mereka mempunyai perasaan takut yang besar kepada Allah, sedangkan Allah menyebutkan bahwa orang-orang yang takut kepada Allah adalah sebaik-baik makhluk, maka ulama adalah sebaik-baik makhluk.10

2. Keutamaan Mencari dan Menyebarkan Ilmu

Mencari ilmu pengetahuan merupakan kewajiban bagi masyarakat Islam. Barang siapa yang memperoleh ilmu pengetahuan, maka dia akan memperoleh kebahagiaan. Akan tetapi, bagi orang yang tidak mempunyai ilmu pengetahuan, maka dia termasuk kategori orang-orang yang merugi. Keutamaan bagi orang yang mencari ilmu bahwa dia akan dibuatkan oleh Allah jalan-jalan di surga. Dia akan

(4)

dimintakan ampunan oleh segala sesuatu yang ada di muka bumi, termasuk di dalamnya adalah ikan-ikan yang ada di dalam lautan.11Dalam hal ini, Nabi bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh Imam

Muslim:

Artinya: “Barang siapa yang menempuh suatu jalan dengan tujuan mencari ilmu maka Allah akan memberikan jalan dari jalan-jalan surga.”

Nabi juga menyebutkan bagi siapapun yang bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu pengetahuan, maka mereka akan didoakan oleh para malaikat dan dalam keseluruhan hidupnya akan memperoleh barokah. Demikian juga bagi siapapun yang bersungguh-sungguh untuk mencari ataupun menyebarkan ilmu pengetahuan, maka Allah akan memberikan pahala kepada mereka sebanding dengan orang-orang yang mengerjakan haji secara sempurna.12

Kiai Hasyim menyebutkan bahwa puncak sebuah ilmu adalah amal karena amal merupakan pelaksanaan dari ilmu. Pemanfaatan ilmu dalam kehidupan sehari-hari merupakan buah dari ilmu, sekaligus bekal bagi orang alim untuk menghadap Allah nantinya. Nabi memerintahkan kepada umat Islam untuk mencari ilmu dan menjadi ahli dari ilmu yang dicari. Setelah mendapatkan ilmu pengetahuan, maka Nabi mewajibkan untuk menyebarkannya kepada umat manusia. Nabi mengibaratkan mencari ilmu dan menyebarkan dengan dua jari yang bekerjasama untuk berbuat kebaikan dan tidak ada kebaikan setelah itu. Pada hari kiamat nanti tinta-tinta yang dipergunakan oleh ahli ilmu untuk menuliskan pengetahuan akan ditimbang oleh Allah sebagai kebaikan sebagaimana darahnya orang-orang syahid yang membela agama Allah.13

Adab sebagai Perwujudan Etika dalam Mendidik

Dalam pembahasan ini akan penulis utarakan pengertian adab menurut Bayard Dodge:

Ethical behavior (al-adab); traditions about parents, sympathy for the underprivileged, relationships whith neighbors and relatives, helping those in need, conversation, deputations, proper deportment, hospitality, manner of speech, etc.14

Dari kutipan di atas dapat dimaknai bahwa Adab adalah persoalan yang terkait dengan tradisi atau kebiasaan orangtua, simpati (rasa iba) terhadap masyarakat yang kurang beruntung, tata hubungan antartetangga satu sama lain, saling membantu terhadap berbagai kebutuhan, percakapan, penguasaan, perilaku sopan-santun, kesukaan menerima tamu, cara-cara berbicara dan yang lainnya.

Kiai Hasyim setelah menjelaskan panjang lebar mengenai nilai-nilai dasar tentang seputar ilmu pengetahuan, maka dia menarik nilai-nilai praktis (etika) dari nilai dasar yang dia susun. Etika praktis ini oleh Kiai Hasyim disusun dalam bentuk adab-adab tertentu yang terkait dengan ilmu pengetahuan, murid dan guru. Dari adab-adab yang telah disusun dan disebutkan oleh Kiai Hasyim, maka penulis mengelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu mengenai hak dan kewajiban, murid ideal, guru profesional.

(5)

Menurut Kiai Hasyim terdapat beberapa hak dan kewajiban bagi murid dan guru. Hal itu apabila disebutkan sebagai kewajiban murid, maka menjadi hak guru, begitupun sebaliknya apabila disebutkan kewajiban guru, maka sudah barang tentu menjadi hak murid.

Ada beberapa kewajiban murid terhadap guru antara lain: Pertama, murid harus mentaati gurunya. Kiai Hasyim menyebut bahwa selagi seorang guru tidak keluar dari ajaran-ajaran syari’at, maka seorang murid harus tunduk, taat, dan patuh kepada guru, dia tidak diperkenankan untuk keluar dari pendapat dan aturan-aturan guru. Hubungan guru dan murid diibaratkan sebagai hubungan dokter dan pasiennya,15sebuah konsep yang sama dengan yang dianut kalangan sufi dalam hubungan murid dan

syaikhnya.

Kedua, seorang murid mempunyai kewajiban untuk mengingat jasa-jasa, kemuliaan dan keagungan

gurunya. Dengan demikian, murid mempunyai kewajiban untuk selalu mendoakan guru baik semasa hidup atau sudah meninggal, menjaga tradisi dan adat gurunya, menjaga keluarga dan kerabat gurunya, melakukan ziarah ke kubur gurunya untuk berdoa dan bersadaqah atas nama gurunya.16

Adapun kewajiban guru terhadap murid di antaranya: Pertama, guru harus mencintai muridnya seperti mencintai dirinya sendiri. Kiai Hasyim mengatakan bahwa seorang guru harus bertindak sesuai yang diperintahkan hadits bahwa dia harus mencintai murid seperti dia mencintai dirinya sendiri dan membenci sesuatu sebagaimana dia membenci. Hendaknya guru bergaul dengan pergaulan yang memuliakan anak-anaknya, yaitu dengan kasih sayang, berbuat baik, dan sabar terhadap kebandelan atau kurang sopannya murid, dan memberi maaf apabila memungkinkan.17 Kedua, guru harus

memberikan nasihat dengan tutur kata yang lembut, tidak kasar dan menyiksa. Hal ini dimaksudkan agar proses pendidikan dan hasilnya menjadi baik dan dapat membina akhlak murid dengan baik pula.

Ketiga, guru harus memberikan teladan dan bersifat lemah lembut.18

2. Menjadi Murid Ideal

Dalam membahas masalah ini, penulis melakukan penyeleksian terhadap poin-poin etika praktis yang disebutkan oleh Kiai Hasyim dalam karyanya, yaitu yang terkait dengan keharusan seorang murid untuk menempuh pelajaran dengan sungguh-sungguh dan kemudian dibagi dalam tiga permasalahan.

Pertama, permasalahan yang terkait dengan sikap mental; Kedua, yang terkait dengan upaya-upaya

yang harus dilakukan; dan Ketiga, terkait dengan strategi belajar.

Pertama, sikap mental. Menurut Kiai Hasyim, seseorang dapat menjadi murid yang ideal apabila

mereka mengembangkan sikap mental, antara lain adalah mensucikan diri dari sifat-sifat tercela, belajar untuk mencari ridha Allah, ikhlas, sabar, dan menekankan diri untuk selalu belajar selagi muda.

Kedua, upaya-upaya yang harus dilakukan oleh seseorang untuk menjadi murid ideal, antara lain

mengurangi makan dan minum, meninggalkan makanan-makanan tertentu, mengurangi tidur, menghindari pergaulan umum, dan memiliki buku.

Ketiga, mengenai strategi belajar yang harus diterapkan agar dapat menjadi seorang murid yang

ideal, dalam hal ini menyebutkan beberapa langkah belajar di antaranya adalah murid harus menentukan materi pelajaran, mengikuti seluruh pelajaran, membagi waktu belajar, berangkat pagi dalam belajar,

(6)

mentashihkan pelajaran, tidak terjebak dalam perbedaan pandangan ulama, tidak boleh malu untuk bertanya, dan dibolehkan untuk membahas sebuah topik pelajaran secara panjang lebar.

3. Menjadi Guru yang Profesional

Dalam membahas masalah ini, penulis melakukan penyeleksian terhadap etika-etika praktis yang disebutkan oleh Kiai Hasyim dalam karyanya, yang terkait dengan keharusan seorang guru untuk bersungguh-sungguh dalam mempersiapkan diri dan mengajar. Dari etika-etika praktis tersebut, penulis kelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu berkaitan dengan sikap mental, usaha-usaha yang diupayakan, strategi mengajar.

Pertama, yang berkaitan dengan sikap mental seorang guru harus mempunyai sifat dan sikap

terpuji, menghindari sifat tercela, mengajar tidak untuk mencari keuntungan dunia, mencari ridha Allah dan meyakinkan diri bahwa Allah satu-satunya tempat bergantung.

Kedua, seseorang yang ingin menjadi guru profesional harus melakukan upaya-upaya tertentu.

Upaya-upaya tersebut antara lain adalah menjauhi tempat-tempat rendah, kotor dan tempat-tempat maksiat, menegakkan sunah dan menghilangkan bid’ah, mengembangkan ilmu, menyusun dan merangkum pelajaran, suci dari hadas dan harum, serta memakai pakaian pantas.

Ketiga, untuk menjadi guru yang profesional, maka seseorang harus mempunyai strategi mengajar.

Menurut Kiai Hasyim, seorang guru dilarang mengajar yang bukan bidangnya, guru harus memulai pelajaran dengan bacaan basmalah dan mengakhiri pelajaran dengan kata-kata wallahu a’lam, suara tidak boleh terlalu keras atau terlalu lemah, memberikan materi sesuai dengan akal, mendahulukan materi yang penting, memberikan materi dari yang mudah ke yang sukar, menjelaskan secara rinci, menjelaskan dengan bahasa yang mudah dipahami, tidak boleh memperpanjang dan memperpendek pelajaran, melakukan evaluasi, apabila ditanya tidak mengetahui, maka harus dijawab “saya tidak tahu”.

Kesimpulan

Dari pembahasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa etika-etika praktis dalam budaya mendidik, baik terkait dengan guru atau murid yang terdapat dalam karya K.H. Hasyim Asy’ari yang berjudul

Adabu al-Alim wa al-Muta’alim dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu: Pertama, konsep

etika secara umum yang berisi nilai-nilai dasar dan moral yang harus dibangun. Kedua, konsep etika dalam pendidikan yang berisi tentang nilai-nilai dasar dan adab sebagai perwujudan etika.

Endnote

1Abdurrahman Mas’ud, Intelektual Pesantren Perhelatan agama dan Tradisi (Yogyakarta: LKiS, 2004), hal. 214. 2Ibid., hal. 216.

3Ibid.

4Ibid., hal. 204. 5Ibid., hal. 202. 6Ibid., hal. 205.

(7)

7Ibid., hal. 206.

8Hasyim Asy’ari, Adabu al-Alim wa al-Muta’alim, edisi terjemah (Yogyakarta: Qirtas, 2003), hal. 20. 9Ibid., hal. 19.

10Ibid., hal. 5, 6, 7. 11Ibid., hal. 8, 9. 12Ibid., hal. 10. 13Ibid., hal. 11-13.

14Dodge, Bayard, Muslim Education in Medieval Times (Washington, D.C.: The Middle East Institute, 1962). 15Hasyim Asy’ari, op. cit., hal. 37.

16Ibid., hal. 38. 17Ibid., hal. 106. 18Ibid., hal. 107.

Daftar Pustaka

Amril M. 2002. Etika Islam Telaah Pemikiran Filsafat Moral Raghib Al-Isfahani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Anam, Choirul. 1985. Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama. Solo: Jatayu Sala.

Asy’ari, Hasyim. 2003. Adabu al-Alim wa al-Muta’alim, edisi terjemah. Yogyakarta: Qirtas. . 1999. Ahlussunah wa al-Jama’ah, edisi terjemah. Yogyakarta: LKPSM.

. 1969. Qanun Asasi Nahdlatul Ulama. Kudus: Menara Kudus.

Dhofier, Zamakhsyari. 1994. Tradisi Pesantren Studi Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES.

Dodge, Bayard. 1962. Muslim Education in Medieval Times.Washington, D.C.: The Middle East Institute. Khuluq, Lathiful. 2000. Fajar Kebangunan Ulama, Biografi K.H. Hasyim Asy’ari. Yogyakarta: LKiS.

Machfoedz, Maksoem. 1982. Kebangkitan Ulama dan Bangkitnya Ulama. Surabaya: Yayasan Kesatuan Umat. Mas’ud, Abdurrahman. 2004. Intelektual Pesantren Perhelatan Agama dan Tradisi. Yogyakarta: LKiS.

Steenbrink, Karel A. 1994. Pesantren Madrasah Sekolah Pendidikan Islam dalam Kurun Modern. Jakarta: LP3ES.

Syihab, Mohammad Asad. 1971. Al-Allamah Muhammad Hasyim Asy’ari Labinati Istiqlali Indonesia, edisi terjemah. Beirut: Daru Shadiq.

Van Bruinessen, Martin. 1999. NU, Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, edisi terjemah. Yogyakarta: LKiS.

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu bagian terpenting yang harus diperhatikan dan ditekankan selain pada aspek kognitif adalah aspek afektif (spritualitas dan etika) dalam proses belajar

Dengan demikian, kurikulum tersebut dapat menjadikan lulusan Ma‘had ‗Aly Hasyim Asy‘ari Tebuireng Jombang seorang yang ahli hadis terutama dalam hal pengetahuan

Oleh karena itu, Kiai Hasyim Asy‟ari dalam kitab Adabul „Alim Wal Muta‟alim, menganjurkan kepada seorang murid untuk senantiasa menghormati guru misalnya ketika

Dalam membuat produksi film Sang Kiai yang bisa diterima oleh masyarakat umum tentu tidaklah mudah, akan tetapi film ini mampu menyampaikan pesan perjuangan dan

Hasyim Asy‟ari adalah seorang ulama besar pada zamannya, dan beliau adalah seorang ulama yang sangat gigih dalam menekankan arti pentingnya bertaqlid kepada imam

Namun, Kode Etik Guru Indonesia juga menampilkan keharusan bagi seorang guru mengetahui bagaimana cara beretika kepada orang tua/wali dari peserta didik, (ada 7 poin),

Hasyim Asy’ari dalam penyebaran Islam di Jawa tahun 1899-1947 ini, menggunakan metode penulisan yaitu menggunakan metode studi literatur yang meliputi

Etika seorang guru. Seorang guru dalam menyampaikan ilmu pada peserta didik harus memiliki etika sebagai berikut; 1) Selalu mendekatkan diri kepada Allah;