• Tidak ada hasil yang ditemukan

ETIKA GURU DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR AGAMA ISLAM MENURUT KH. HASYIM ASY ARI DALAM KITAB ADABUL ALIM WAL MUTA ALLIM SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ETIKA GURU DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR AGAMA ISLAM MENURUT KH. HASYIM ASY ARI DALAM KITAB ADABUL ALIM WAL MUTA ALLIM SKRIPSI"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

ETIKA GURU

DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR AGAMA ISLAM MENURUT KH. HASYIM ASY’ARI

DALAM KITAB ADABUL ‘ALIM WAL MUTA’ALLIM

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Tugas dan Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana

dalam Ilmu Pendidikan Islam

Oleh :

EDI HARIYANTO NIM. 053111324

FAKULTAS TARBIYAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG

(2)

ii

PERNYATAAN KEASLIAN

Yang bertanda tangan dibawah ini: Nama : Edi Hariyanto

NIM : 053111324

Jurusan/Program Studi : Pendidikan Agama Islam

Menyatakan bahwa skripsi ini secara kesuluruhan adalah hasil penelitian penelitian/karya saya sendiri, kecuali bagian tertentu yang dirujuk sumbernya.

Semarang, 9 Juni 2011 Saya yang Menyatakan,

Edi Hariyanto NIM:053111324

(3)

iii

KEMENTERIAN AGAMA R.I.

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO FAKULTAS TARBIYAH

Jl. Prof. Dr. Hamka Kampus II Ngaliyan Semarang Telp/Fax 7601295, 7615387 Semarang 50185

PENGESAHAN Naskah skripsi dengan:

Judul : Etika Guru Dalam Proses Belajar Mengajar Agama Islam Menurut KH. Hasyim Asy’ari Dalam Kitab Adabul ‘Alim Wal Muta’allim.

Nama : Edi Hariyanto NIM : 053111324

Jurusan : Pendidikan Agama Islam Program Studi : Pendidikan Agama Islam.

Telah diujikan dalam sidang munaqosyah oleh Dewan Penguji Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo dan dapat diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana dalam ilmu pendidikan Islam.

Semarang, 23 Juni 2011

DEWAN PENGUJI

Ketua, Sekretaris,

H. Mursid, M.Ag. Dr. Ahwan Fanani, M.Ag. NIP. 19670305 200112 1 001 NIP. 19780930 200312 1 001 Penguji I, Penguji II,

H. Abdul Kholiq, M.Ag. Amin Farih, M.Ag. NIP. 19710915 199703 1 003 NIP. 19710614 200003 1 002

Pembimbing I, Pembimbing II

Dr. H. Ruswan, M.A. Syamsul Ma’arif, M.Ag. NIP. 19680424 199303 1 004 NIP. 19741030 200212 1 002

(4)

iv

NOTA PEMBIMBING Semarang, 8 Juni 2011 Kepada

Yth. Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo

di Semarang

Assalamu’alaikum wr. wb.

Dengan ini diberitahukan bahwa saya telah melakukan bimbingan, arahan dan koreksi naskah skripsi dengan:

Judul : Etika Guru dalam Proses Belajar Mengajar Agama Islam menurut KH. Hasyim Asy’ari dalam Kitab Adabul Alim wal Muta’allim.

Nama : Edi Hariyanto

NIM : 053111324

Jurusan : Tarbiyah

Program Studi : Pendidikan Agama Islam

Saya memandang bahwa naskah skripsi tersebut sudah dapat diajukan kepada Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo untuk diujikan dalam Sidang Munaqosyah. Wassalamu’alaikum wr. wb.

Pembimbing I

Dr. H. Ruswan, M.A. NIP. 19680424 199303 1 004

(5)

v

NOTA PEMBIMBING Semarang, 8 Juni 2011 Kepada

Yth. Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo

Di Semarang

Assalamu’alaikum wr. wb.

Dengan ini diberitahukan bahwa saya telah melakukan bimbingan, arahan dan koreksi naskah skripsi dengan:

Judul : Etika Guru dalam Proses Belajar Mengajar Agama Islam menurut KH. Hasyim Asy’ari dalam Kitab Adabul Alim wal Muta’allim.

Nama : Edi Hariyanto

NIM : 053111324

Jurusan : Tarbiyah

Program Studi : Pendidikan Agama Islam

Saya memandang bahwa naskah skripsi tersebut sudah dapat diajukan kepada Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo untuk diujikan dalam Sidang Munaqosyah. Wassalamu’alaikum wr. wb.

Pembimbing II

Syamsul Ma’arif, M.Ag.

(6)

vi ABSTRAK

Judul : Etika guru dalam proses belajar mengajar agama Islam menurut KH. Hasyim Asy’ari dalam kitab Adabul Alim Wal Muta’allim.

Penulis : Edi Hariyanto NIM : 053111324

Skripsi ini membahas etika guru dalam proses belajar mengajar agama Islam menurut KH. Hasyim Asy’ari dalam kitab Adabul Alim Wal muta’allim. Kajianya dilatarbelakangi oleh pentingnya peran etika sebagai pondasi pokok dalam pendidikan Islam. Studi ini dimaksudkan untuk menjawab permasalahan: Bagaimana etika guru dalam proses belajar mengajar agama Islam menurut KH. Hasyim Asy’ari dalam kitab Adabul Alim Wal Muta’allim?. Penelitian ini dilakukan melaui metode library reseach (kajian pustaka) dengan menggunakan metode analisis deskriptif. Dimana data yang telah terkumpul kemudian dianalisis secara non statistic, dengan data primer sebagai sumber data utama dan sumber data skunder sebagai sumber data pendukung. Adapun metode analisis datanya menggunakan metode analisis deskriptif. Dimana data yang telah terkumpul kemudian dianalisis secara non statistik.yakni analisis untuk mengungkapkan gagasan pemikiran tokoh yang diteliti serta interpretasi data sebagai pendukung dalam menyampaikan pendapat dan pemikiran tokoh yang diteliti.

Dari penelitian ini ditemukan bahwa pemikiran KH. Hasyim Asy’ari tentang etika guru dalam proses belajar mengajar agama Islam dalam kitab Adabul Alim Wal Muta’allim meliputi:

1. Etika Guru terhadap diri sendiri yang harus dipenuhi dan dimiliki oleh setiap pribadi guru

2. Etika Guru dalam proses belajar mengajar 3. Etika bagi Guru terhadap murid

4. Etika terhadap kitab sebagai alat pelajaran

Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari mengenai etika yang harus dipedomani oleh guru masih sangat relevan untuk diterapkan oleh guru dalam proses belajar mengajar agama Islam pada saat ini. Hal ini juga dapat dijadikan sebagai manivestasi kompetensi yang ia miliki untuk menggapai derajat tertinggi baik dalam pandangan manusia maupun pandangan Tuhan.

(7)

vii

KATA PENGANTAR Bismillaahirrahmaanirrahiim

Segala puji bagi Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang berkat rahmat, taufiq dan hidayah-Nya skripsi penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Etika guru dalam proses belajar mengajar agama Islam menurut pemikiran KH. Asy’ari dalam kitab Adabul AlimWal Muta’allim” dapat disajikan, shalawat serta salam semoga selalu dilimpahkan kepada Rasulullah SAW yang telah menuntun manusia ke jalan yang telah diridhai Allah.

Selanjutnya penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu demi kelancaran dalam penulisan skripsi ini, terutama kepada:

1. Dr. Sudja’i, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang.

2. Dr. H. Ruswan M.A., selaku pembimbing I yang telah memberikan bimbingan dan petunjuk dalam penulisan skripsi.

3. Syamsul Ma’arif, M.Ag., selaku pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan petunjuk dalam penulisan skripsi.

4. Nasiruddin, M. Ag., selaku Kepala jururusan program studi Pendidikan Agama Islam.

5. H. Mursid, M.Ag., selaku sekretaris jururusan program studi Pendidikan Agama Islam.

6. Andi Fadhlan Spd., M.Si. selaku dosen Wali studi serta Bapak, Ibu dosen dan segenap karyawan/wati yang secara langsung ikut berpartisipasi.

7. Orang tua tercinta, yang telah membesarkan, mendidik, dan menyayangi dengan sepenuh hati.

8. KH. Muhammad Hanif Muslih, Lc., pengasuh pondok sekaligus pengasuh jiwaku.

(8)

viii

10. Seluruh anggota keluarga, Kakak dan Adiku yang telah memberi dukungan yang sangat berharga.

11. Ustad-ustad dan Sahabat-sahabat dipasantren “FUTUHIYYAH” Mranggen Demak.

12. Sedulur tunggal kecer, Mas-Mas, Mbak-Mbak dan Adik-adik keluarga besar UKM PSHT IAIN Walisongo. Tunjukkan “SEMANGAT SANG JUARAMU” !!!

13. Sahabat-sahabat PAI C 2005, semoga Allah mempermudah jalan hidup kita.

14. Seseorang yang ada dihatiku “Semoga Allah menjadikan engkau sebagai penyejuk Jiwaku”.

15. Untuk seluruh Guru yang telah dipercaya oleh masyarakat. Wahai para Guru...Masyarakat telah berani memberikan “harta termahal, buah hati dan belahan jiwanya” untuk engkau didik. Apa yang engkau lakukan terhadapnya adalah amanat terbesar yang nantinya akan dipertanggung jawabkan kelak.

Teriring doa semoga Allah SWT membalas semua amal kebaikan dari semuanya dengan sebaik-baik balasan.

Akhirnya dengan segala kerendahan hati penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini belum mencapai kesempurnaan. Namun demikian, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca pada umumnya.

Semarang, 8 Juni 2011

Edi Hariyanto NIM. 053111324

(9)

ix DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ... i PERNYATAAN KEASLIAN ... ii PENGESAHAN ... iii NOTA PEMBIMBING ... vi

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

BAB I : Pendahuluan A. Latar belakang masalah ... 1

B. Penegasan Istilah ... 8

C. Rumusan masalah... 10

D. Tujuan dan Manfaat penulisan ... 10

E. Kajian pustaka ... 10

F. Metodologi penulisan ... 13

G. Sistematika penulisan skripsi ... 15

BAB II : Berisi tinjauan umum tentang etika guru dalam proses belajar Mengajar Agama Islam. A. Guru dalam perspektif Islam ... 17

B. Tinjauan Umum Tentang Etika Guru ... 19

1. Pengertian Etika dan guru ... 19

2. kode etik guru dalam Islam ... 22

C. Kedudukan etika guru dalam proses belajar mengajar Islam... 24

BAB III : Biografi dan Pemikiran Pendidikan KH. Asy’ari dalam Kitab Adabul ‘Alim Wal Muta’allim A. Biografi KH. Hasyim Asy'ari. Pertama ... 28

1. Sejarah Kehidupan K.H. Hasyim Asy’ari ... 28

(10)

x

3. Amal dan Kiprah Perjuangan K.H. Hasyim Asy’ari ... 34

4. Karya-karya beliau ... 36

B. Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari tentang etika guru ... 39

C. Signifikansi Pemikiran Pendidikan KH Hasyim Asy’ari ... 40

BAB IV : Relevansi Etika Guru Dalam Proses Belajar Mengajar Menurut KH. Hasyim Asy’ari Dalam Kitab Adabul ‘Alim Wal Muta’allim A. Analisis Tujuan Pendidikan Dalam Kitab Adabul ‘Alim Wal Muta’alim ... 52

B. Analisis Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari Tentang Etika Guru Dalam Proses Belajar Mengajar Dalam kitab Adabul Alim Wal Muta’allim ... 57

C. Kontribusi Konsep Etika Guru Dalam Proses Belajar Mengajar Serta Relevansi Dengan Sistem Pembelajaran Saat Ini ... 64 BAB V : Penutup A. Kesimpulan ... 67 B. Saran-saran ... 68 C. Penutup ... 69 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP

(11)

1 BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Manusia dilahirkan ke dunia ini tanpa pengetahuan apapun, tetapi dalam kelahirannya manusia telah dilengkapi dengan fitrah yang memungkinkannya untuk menguasai berbagai pengetahuan. Dengan memfungsikan fitrah itu maka diharapkan manusia dapat belajar dari lingkungan dan masyarakatnya.1 Diantara tanda dari fitrah itu adalah Allah telah menciptakan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna dengan menganugerahkan berbagai potensi, baik potensi jasmani (fisik), potensi spiritual (Qalbu) maupun potensi akal fikiran. Maka dari potensi yang dimiliki itu manusia diposisikan sebagai makhluk yang paling istimewa dibandingkan dengan makhluk lain. Allah SWT berfirman dalam Al Qur’an surat At Tin ayat 4;

ô ‰s)s9 $uΖø)n=y{ z ≈|¡ΣM}$# þ ’Îû Ç |¡ômr& 5 ΟƒÈθø)s? ∩⊆∪

”Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang

sebaik-baiknya”.2

Seiring dengan perjalanan kehidupan manusia di dunia, tiga potensi yang dianugerahkan tersebut tidaklah mudah untuk dapat berkembang dengan sendirinya tanpa adanya proses interaksi yang melibatkan orang lain, karena pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang dalam kehidupannya selalu mengadakan proses interaksi dengan orang lain. Interaksi yang berlangsung di sekitar kehidupan manusia dapat diubah menjadi interaksi yang bernilai edukatif jika interaksi itu dilakukan dengan sadar untuk meletakkan tujuan agar manusia itu dapat merubah tingkah lakunya, pola fikir dan perbuatannya. Interaksi yang bernilai edukatif dalam dunia pendidikan ini disebut dengan

1

Hery Nur Aly dan Munzier S, Watak Pendidikan Islam, (Jakarta: Friska Agung Insani, 2003), hlm 1.

2

Departemen Agama R.I. Al-qur’an dan terjemah, (Jakarta: Dept. Agama R.I.,1983), hlm. 1076.

(12)

2 “interaksi edukatif”.3 Dari pola interaksi ini dapat diketahui bahwa proses interaksi pendidikan merupakan suatu proses yang sangat urgen untuk memobilisasi fitrah tiga potensi tersebut. Dengan kata lain pendidikan merupakan suatu proses untuk mengembangkan potensi yang dimiliki oleh manusia agar menjadi optimal.

Pada mulanya kewajiban mendidik secara langsung merupakan tugas dan tanggung jawab yang dibebankan oleh Allah kepada kedua orang tua agar keturunan yang akan ditinggalkan oleh mereka tumbuh dan berkembang tidak berada dalam keadaan lemah. Sebagaimana disebutkan dalam Al Qur’an surat An Nisa’ ayat 9 yang berbunyi :

| ·÷‚u‹ø9uρ š Ï%©!$# ö θs9 ( #θä.ts? ô ÏΒ ó ΟÎγÏù=yz Z π−ƒÍh‘èŒ $¸≈yèÅÊ ( #θèù%s{ ö ΝÎγøŠn=tæ ( #θà)−Gu‹ù=sù © !$# ( #θä9θà)u‹ø9uρ Z ωöθs% #´‰ƒÏ‰y™ ∩∪

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan

perkataan yang benar.”4

Namun seiring dengan perubahan dan tuntutan zaman yang semakin maju, nampaknya tugas dan peran mendidik telah mengalami pergeseran, pergeseran itu dapat dilihat dari beralihnya peran mendidik yang semula hanya tuntutan peran orang tua dan pada akhirnya bergeser pada tuntutan bahwa seorang atau tenaga pendidik haruslah sebagai seorang atau tenaga profesional. Jika dahulu anak-anak belajar apapun cukup hanya dari orang tua, maka di era sekarang ini nampaknya pendidikan tidak cukup hanya mengandalkan dan dilakukan sendiri oleh orang tua di dalam keluarga, mengingat kebutuhan setiap anak yang semakin berkembang sesuai zamannya. Maka dalam hal ini kewajiban yang harus dilakukan oleh orang tua dalam rangka menjalankan

3

Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hlm. 11.

4

Departemen Agama R.I. Al-qur’an dan terjemah, (Jakarta: Dept. Agama R.I.,1983), hlm. 116.

(13)

3 tanggung jawabnya adalah memberikan pendidikan anak lewat pengajaran guru. Sebagaimana ungkapan KH Bisyri Mustofa dalam sebuah kitab syair berbahasa jawa :

Ibu Bapak wajib mulang ing putrane #

lanang wadon nganti ngerti agamane

Lamun ora kongang wajib masrahake #

marang wongkang pinter koyo mondo’ake.5

Berbicara tentang pendidikan sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari sosok keberadaan guru atau pendidik, karena guru memiliki arti orang yang mempunyai tugas mendidik. Guru bisa juga disebut pendidik, guru atau pendidik merupakan unsur manusiawi yang menempati posisi dan memegang peranan penting dalam pendidikan. Begitu pula proses pendidikan yang baik baru akan terjadi manakala ada interaksi antara pendidik (guru) dengan anak didik (murid) dalam situasi pendidikan. Selain itu dalam undang-undang RI nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 39 dijelaskan bahwa “Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi”.6

Pada pasal 40 ayat 2 juga memberikan uraian tentang tanggung jawab pendidik atau tenaga kependidikan yang berbunyi:

“Pendidik atau tenaga kependidikan berkewajiban: Menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis; Mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan; dan memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya”.7

5

Bisyri Mustofa, Mitra Sejati, (Surabaya: Maktabah Muhammad Nabhan, t.t.), hlm. 8. 6

Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 32.

7

(14)

4 Di dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2005 tentang guru dan dosen pada Bab I Pasal 1 ayat 1 juga disebutkan “guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah”.8

Dari uraian pengertian tersebut dapat dipahami bahwa peran, tugas dan tanggung jawab guru tidaklah ringan dan tidak hanya sebatas pada tugas berangkat ke sekolah, menyampaikan materi dan kembali ke rumah. Namun tugas, peran dan tanggung jawabnya dipertegas dengan keharusan mempunyai sikap profesional dalam praktek proses kegiatan belajar mengajar yang melingkupi mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, serta mengevaluasi.

Kegiatan proses belajar mengajar mengandung serangkaian hubungan timbal balik antara pendidik dan peserta didik yang berlangsung pada situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Interaksi tersebut merupakan syarat utama bagi berlangsungnya proses belajar mengajar, interaksi dalam proses belajar mengajar mempunyai arti yang lebih luas. Hal ini bukan hanya menyampaikan pesan berupa materi pelajaran, melainkan penanaman sikap dan nilai dari diri anak didik (murid) yang sedang belajar.9

Pendidikan tidak bisa lepas dari kegiatan proses belajar mengajar karena di dalam pendidikan mengandung serangkaian hubungan timbal balik antara pendidik (guru) dan anak didik (murid) yang berlangsung untuk mencapai tujuan tertentu. Proses belajar mengajar mempunyai arti yang lebih luas, tidak hanya berarti menyampaikan pesan berupa materi pelajaran atau ketrampilan, melainkan penanaman sikap.

Pada hakikatnya proses belajar mengajar juga disebut sebagai proses interaksi edukatif yang mengandung norma, semua norma itulah yang harus

8

Undang-Undang RI No. 15 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 3.

9

Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2000), hlm 1.

(15)

5 ditransfer kepada anak didik.10 Belajar dan mengajar merupakan dua proses yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Dua kegiatan tersebut menjadi terpadu dalam satu kegiatan manakala terjadi interaksi guru dengan anak didik, atau anak didik dengan anak didik pada saat pembelajaran itu berlangsung. Inilah makna belajar dan mengajar sebagai suatu proses interaksi guru dengan peserta didik. Sebagai makna utama, proses pembelajaran memegang peranan penting untuk mencapai tujuan pendidikan yang efektif.11

Di dalam proses pembelajaran agama Islam, guru merupakan salah satu komponen pembelajaran dan juga sebagai salah satu faktor penentu keberhasilan pendidikan. Guru tidak hanya bertugas sebagai pengajar, tetapi juga berperan dalam usaha pembentukan watak, tabiat, maupun pengembangan sumber daya yang dimiliki oleh anak didik. Untuk itu peran guru tidak hanya terbatas pada peran sebagai pengajar yang hanya transfer of knowledge (memindahkan pengetahuan) dan transfer of skill (menyalurkan ketrampilan) saja, tetapi peran keaktifannya diharapkan mampu mengarahkan, membentuk dan membina sikap mental anak didik atau murid ke arah yang lebih baik, sehingga pada peran yang ketiga ini guru diharapkan untuk dapat transfer of

value (menanamkan nilai-nilai).12 Baik peran itu terjadi dalam proses

pendidikan secara langsung (di sekolah) maupun tidak secara langsung (di lingkungan masyarakat).

Dalam paradigma Jawa, kata guru diidentikkan dengan gu berarti

digugu” dan ru yang berarti “ditiru”. Dikatakan digugu (dipercaya) karena

guru mempunyai seperangkat ilmu yang memadai, yang karenanya ia memiliki wawasan dan pandangan yang luas dalam melihat kehidupan ini. Dikatakan

ditiru (diikuti) karena guru mempunyai kepribadian yang utuh, yang karenanya

segala tindak-tanduknya patut dijadikan panutan dan suri tauladan oleh anak didiknya.

10

Djamarah, Guru dan Anak Didik…, hlm. 11. 11

Nana Sudjana, Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2009), hlm. 40.

12

A. Qodri A. Azizy, Pendidikan (Agama) Untuk Membangun Etika Sosial (Mendidik Anak Sukses Masa Depan Dan Bermanfaat), (Semarang: CV. Aneka Ilmu, 2003), hlm. 19.

(16)

6 Dewasa ini dunia pendidikan dihadapkan pada berbagai persoalan, persoalan itu dapat dilihat dari mulai banyaknya kenakalan anak didik seperti tawuran antar pelajar, penyalahgunaan narkoba dan kenakalan-kenakalan lainnya. Hal ini lebih diperparah lagi dengan hadirnya persoalan-persoalan yang justru datang dari seorang guru sendiri. Misalnya pada tahun 1997, di salah satu SDN Pati, seorang ibu guru kelas IV menghukum murid-murid yang tidak mengerjakan PR dengan menusukkan paku yang dipanaskan ke tangan anak didiknya. Di Surabaya, seorang guru olahraga menghukum siswa yang terlambat datang ke sekolah dengan menghukum berlari beberapa kali putaran, tetapi karena fisiknya yang lemah, siswa yang dihukum tersebut akhirnya meninggal. Di Yogyakarta, pada 22 April 2002, ketika diadakan peringatan Hari Kartini di salah satu SMUN, seorang siswa, karena tidak berbusana ‘kartinian’ ditelanjangi dihadapan rekan-rekannya hingga tinggal memakai celana dalamnya saja.13 Ada juga kasus guru yang menempeleng anak didiknya, guru mogok mengajar dan kasus lainnya.

Demikian rapuhkah pendidikan di negeri ini hingga aksi-aksi atau kasus-kasus semacam itu cenderung terus meningkat dan masih sering terjadi sampai sekarang. Padahal jika saja seorang guru tahu apa yang seharusnya dia perbuat dan kerjakan sebenarnya kejadian-kejadian itu tidak perlu harus terjadi, apalagi kejadian itu terjadi di lingkungan pendidikan atau sekolah yang sepatutnya cara penyelesaiannya dengan cara yang edukatif pula.

Sebenarnya jika dilihat dan dicermati dari semua kasus yang terjadi ini adalah karena etika dasar yang telah ditanamkan oleh guru-guru terdahulu kini telah mulai sirna, banyak orang yang lupa bahwa mencari ilmu dan mengajarkan ilmu adalah pekerjaan suci dan mulia. Lebih-lebih lagi apabila yang diajarkan adalah tentang ilmu agama. Dalam Islam ilmu adalah cahaya Ilahi sehingga harus ditempuh pula dengan jalan yang luhur pula (etika) dalam mencapainya, baik jalan itu adalah jalan yang harus ditempuh oleh anak didik maupun oleh guru. Andai saja kasus-kasus semacam itu terus ada, tentu ilmu

13

Abd. Rahman Assegaf, Pendidikan Tanpa Kekerasan, Tipologi Kondisi, Kasus dan Konsep, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), hlm 2.

(17)

7 manfaat yang menjadi dambaan setiap pencari ilmu maupun yang mengajarkannya tidak mungkinlah dapat diperoleh keduanya, malah sebaliknya menjadi ghoiru nafi’.

Kedudukan etika dalam Islam dipandang sangat penting, karena etika merupakan pengamalan dari ilmu, etika juga dipandang sebagai media efektif penerimaan nur Ilahi dan sarana mencapai ilmu manfaat. Syekh Al Zarnuji dalam kitab Ta’limul Mutallimnya menyebutkan bahwa setiap maksiat yang dilakukan menjadi salah satu penyebab sulitnya ilmu masuk dalam hati seseorang dan dari tercapainya ilmu manfaat. Karena ilmu pada dasarnya adalah nur yang ditancapkan Allah kedalam hati, sedang maksiat justru memadamkan cahaya itu.14

Dalam pendidikan Islam anak didik (murid) merupakan mitra kerja dalam kebaikan yaitu bersama mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan. Dalam konsep Islam, anak didik dan pengajar (guru) harus memperhatikan beberapa aturan yang bersifat akhlaki agar memperoleh ilmu dan kemanfaatan ilmunya.

Adapun diantara beberapa karya tentang etika dalam bidang pendidikan yang telah ada di Indonesia dan masih eksis ada sampai saat ini adalah kitab karya KH. Hasyim Asyari yang berjudul Adabul ‘Alim Wal Muta’allim yang juga turut memberi pengaruh dalam menanamkan nilai etika pada perilaku anak didik (murid) maupun guru khususnya dan pendidikan Islam di Indonesia pada umumnya.

Sehubungan dengan adanya persoalan tersebut maka dirasa perlu adanya pembahasan tentang etika yang menyangkut keseluruhan aspek yang menyangkut nilai perilaku atau etika anak didik maupun guru, namun jika melihat karya-karya yang sudah ada dan kebanyakan hanya memfokuskan pada etika murid terhadap guru. Maka dalam Skripsi ini penulis tertarik untuk membahas tentang perilaku atau etika, dengan memfokuskan pada pembahasan perilaku atau etika guru dalam proses belajar mengajar menurut KH. Hasyim Asyari dalam kitabnya yang berjudul Adabul ‘Alim Wal Muta’allim.

14

(18)

8 Dari uraian diatas, muncul sebuah gagasan untuk menyusun sebuah karya ilmiah dengan tema yang menyoroti perilaku atau etika seorang guru dalam proses belajar mengajar, oleh karena itu penulis memilih skripsi dengan judul “ETIKA GURU DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR AGAMA

ISLAM MENURUT KH. HASYIM ASY’ARI DALAM KITAB ADABUL

‘ALIM WAL MUTA’ALLIM”.

B.Penegasan Istilah

Untuk menghindari kesalahpahaman judul skripsi ini, maka penulis perlu memberikan pengertian dari istilah-istilah yang digunakan dalam judul skripsi ini.

1. Etika Guru

Etika menurut Zainudin Ali merupakan “kata yang berasal dari bahasa Yunani yang berarti adat kebiasaan. Hal ini berarti sebuah tatanan perilaku berdasarkan suatu sistem nilai dalam masyarakat tertentu”.15 Dalam Kamus besar Bahasa Indonesia etika diartikan “ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban (moral).”16

Sedangkan pengertian tentang guru atau pendidik menurut tokoh barat antara lain dikemukakan oleh Pollios and James D. Young ia mengatakan bahwa :

The teacher is “learned” he should know more than his student however, he re cognizes that he does not know everything, and he is mainly mistake, he is human. The teacher should be objective but the teacher, student

relationship is so close that it of ten may be difficult to be objective.17

Guru adalah pengajar dia harus tahu lebih banyak dari pada muridnya akan tetapi dia tidak mengakui bahwa dia tidak tahu sesuatu dan disebagian besar adalah pelajar. Guru adalah contoh bagi muridnya, dia juga

15

Zainudin Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm 29. 16

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 383.

17

Earl V Pullias and James D young. Teacher is many things (USA. Faw cett. 1968) Hlm. 14

(19)

9 membuat kesalahan. Dia adalah objektif, tetapi hubungan antara guru dan murid juga dekat mungkin sulit objektif.

Adapun yang dimaksud dengan etika dalam skripsi ini adalah segala suatu yang berkaitan dengan norma, perilaku, perbuatan, kepribadian guru, baik dalam praktek kegiatan belajar mengajar maupun di lingkungan masyarakat.

2. Proses Belajar Mengajar

Proses menurut Muhibbin Syah adalah “kata yang berasal dari bahasa latin processus yang berarti berjalan kedepan. Kata ini juga mempunyai konotasi urutan langkah atau kemajuan yang mengarah pada suatu sasaran atau tujuan”.18

Belajar menurut Muhibbin Syah berarti “tahapan perubahan seluruh tingkah laku individu yang relative menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif”.19 Suprijanto mengartikan bahwa “proses kegiatan belajar adalah proses yang dilakukan oleh anak didik atau murid dan kegiatan mengajar adalah kegiatan yang dilakukan oleh guru, pendidik atau pembimbing”.20

Jadi proses belajar mengajar dalam skripsi ini maksudnya adalah keterpaduan proses interaksi antara pendidik (guru) dan anak didik (murid) yang diarahkan untuk mengubah tingkah laku anak didik melalui pengalaman belajar yang dilakukan oleh pendidik (guru).

3. Agama Islam

Agama Islam yang dimaksud dalam skripsi ini adalah Pendidikan agama Islam. Menurut Marimba “pendidikan agama Islam adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap

18

Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan: Suatu pendekatan Baru, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 1995), hlm. 113.

19

Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan…, hlm. 92. 20

Suprijanto, Pendidikan Orang Dewasa: dari Teori Hingga Aplikasi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm. 39.

(20)

10 perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.”21

Adapun jika digabungkan antara rangkaian kata etika guru dalam proses belajar mengajar agama Islam yang dimaksud dan ditekankan dalam pembahasan dalam skripsi ini adalah segala etika, tingkah laku atau perilaku guru yang berkaitan dengan norma-norma yang berlangsung dalam proses kegiatan belajar anak didik dan memberi pengajaran Agama Islam pada anak didik. Atau etika keterpaduan guru dalam proses interaksi antara pendidik (guru) dan anak didik (murid) yang diarahkan untuk mengubah tingkah laku anak didik melalui pengalaman belajar yang dilakukan oleh pendidik (guru). Di dalam skripsi ini penulis mengambil dan menekankan pembahasan yang ada dalam kitab karangan KH. Hasyim Asy’ari sebagai acuan sumber berfikir pokok (primer).

C.Rumusan Masalah

Berangkat dari kerangka dan latar belakang masalah diatas, maka muncul beberapa permasalahan yang menjadi acuan pembahasan sebagai yaitu bagaimana etika guru dalam proses belajar mengajar agama Islam menurut KH. Hasyim Asy’ari dalam kitab Adabul ‘Alim Wal Muta’allim?

D.Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui etika guru dalam proses belajar mengajar agama Islam menurut KH. Hasyim Asy’ari dalam kitab Adabul ‘Alim

Wal Muta’allim.

Adapun manfaat dari penelitian ini antara lain : 1. Manfaat Teoritis

Dari penelitian skripsi ini, maka secara teoritis diharapkan akan diperoleh pengetahuan, pemikiran KH. Hasyim Asy’ari tentang etika guru

21

Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al Ma’arif, 1989), hlm. 19.

(21)

11 dalam proses belajar mengajar Agama Islam dalam kitab Adabul ‘Alim Wal

Muta’allim.

2. Manfaat Praktis

Setelah manfaat secara teoritis dari skripsi ini diperoleh, maka manfaat praktisnya diharapkan akan dapat dijadikan tuntunan atau sumber informasi bagi guru dan murid dalam rangka mengupayakan untuk mencapai tujuan pendidikan yang optimal, baik di dalam maupun diluar proses belajar- mengajar.

E.Kajian Pustaka

Topik dan kajian tentang pendidikan sejak dulu sampai sekarang terus-menerus diperhatikan, baik di kalangan pakar ilmu pendidikan, maupun praktisi pendidikan. Perhatiannya ini tidak dapat dilepaskan dari peran pentingnya pendidikan itu sendiri. Dasar pertimbangan utama dan bersifat umum adalah berupa belajar dan mengajar berlangsung secara interaktif yang melibatkan berbagai komponen yang saling konsisten satu dengan yang lainnya untuk mencapai tujuan pendidikan.

Pertama Skripsi Musarmadan yang berjudul Ahklak guru dan murid

dalam perspektif pendidikan Islam (studi atas pemikiran K.H Hasyim Asy’ari dalam kitab Adabul ‘Alim Wal Muta’alim). Dalam skripsi ini, penulis hanya memfokuskan tindakan murid kepada guru yang berkaitan dengan akhlak, dari sisi guru penulis sama sekali tidak menyinggung kecuali sedikit.22

Kedua buku Drs. Sya’roni, M. Ag “Model Relasi Ideal Guru dan Murid,

Telaah atas pemikiran Al-Zarnuji dan KH. Hasyim Asy’ari”, berisi tentang dua

hal penting yang berkaitan dengan pemikiran keduanya yaitu pola hubungan atau relasi antara guru dan murid dalam proses belajar mengajar, dimana antara Al-Zarnuji dan KH Asy’ari sama-sama memposisikan guru begitu terhormat sebagai ‘alim, wara’ shalih dan sekaligus sebagai uswah. Adapun letak perbedaan pemikiran antara keduanya dalam buku ini dijelaskan yaitu terletak

22

Musarmadan, Ahklak Guru dan Murid dalam Perspektif Pendidikan Islam (studi atas pemikiran K.H Hasyim Asy’ari dalam kitab Adabul Alim wal Muta’alim), (Semarang: IAIN Walisongo, 2006).

(22)

12 pada bagaimana cara keduanya memposisikan guru dan murid, dalam pandangan al-Zarnuji guru diposisikan sebagai orang yang dipatuhi dan murid sebagai orang yang harus mematuhi dalam bentuk apapun, sebagai manifestasi bentuk etika penghormatan murid terhadap guru. Sedangkan KH. Hasyim Asy’ari yang sudah memasuki dalam tataran fase dunia modern memposisikan guru dan murid sebagai orang yang sama sehingga dalam hal ini terjadi yang namanya relasi kesederajatan (equality). Sebagai dampaknya, maka bukan saja murid yang dituntut untuk berakhlak atau beretika, akan tetapi guru juga harus mematuhi etika sehingga balancing antara keduanya.23

Ketiga tulisan Drs. H. Muhammad Ali, “Guru Dalam Proses Belajar

Mengajar”, berisi tentang peran dan fungsi guru dalam proses belajar- mengajar, dengan tujuan membantu para guru atau calon guru dalam memahami persoalan keguruan yang dihadapi sehari-hari. Dalam buku ini, penulis juga tidak menemukan mengenai bagaimana seharusnya guru dalam memberikan contoh untuk berperilaku yang baik sebagai landasan bagi siswa untuk menjadi manusia yang baik.24

Keempat, buku yang berjudul “Akhlak Pesantren Solusi Bagi Kerusakan

Akhlak” yang ditulis oleh Tamyiz Burhanuddin. Dalam buku ini dikupas

metode pendidikan akhlak yang telah diterapkan di pesantren. Metode tersebut berasal dari kitab Ta’lim Al-Muta’alim karya Syekh Al Zarnuji yang diadaptasi oleh KH. Hasyim Asy’ari kemudian melahirkan karya yang berjudul Adabul

’Alim Wal Muta’allim yang menjadi acuan dasar bagi pendidikan akhlak di

pesantren-pesantren. Selain itu, buku ini sebagai telaah terhadap kitab Adabul

’Alim Wal Muta’allim yang menekankan pada aspek pendidikan santri di

pondok pesantren secara khusus.25

Kelima buku yang berjudul menjadi Guru favorit karya Asep Umar

Fakhruddin. Dalam buku ini dijelaskan mengenai kiat-kiat agar menjadi

23

Sya’roni, Model Relasi Ideal Guru dan Murid, Telaah atas Pemikiran al-Zarnuji dan KH. Asy’ari, (Yogyakarta: Teras, 2007).

24

Muhammad Ali, Guru dalam Proses Belajar Mengajar, (Bandung: Penerbit Sinar Baru Algesindo, 2007).

25

Tamyiz Burhanuddin, Akhlak Pesantren Solusi Bagi Kerusakan Akhlak, (Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001).

(23)

13 seorang untuk dapat menjadi guru favorit bagi anak didik, yaitu sebagai guru yang patut diteladani digugu dan ditiru, baik secara Inteligensia (IQ), kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritualnya (SQ). Diantaranya juga menjelaskan bagaimana agar guru dapat mengemban amanah besar sebagai pendidik baik secara teoritis (akademis) dan sekaligus praktis (praktis).26

Untuk membedakan skripsi ini dengan skripsi yang lain, maka penulis memfokuskan pada aspek guru, khususnya tentang etika guru dalam proses belajar mengajar agama Islam, mengingat banyaknya skripsi-skripsi atau penelitian lain yang telah membahas tentang kewajiban beretika hanya khusus bagi anak didik terhadap guru dan sedikit sekali yang memperhatikan dari segi etika guru terhadap murid. Selain itu penulis mengambil kitab Adabul ‘Alim

Wal Muta’allim sebagai rujukan dalam pembuatan skripsi ini karena penulis

tertarik dengan gagasan dan pemikiran KH. Hasyim Asy’ari, dimana beliau merupakan salah satu tokoh yang mempunyai pandangan jauh tentang konsep pendidikan dengan mementingkan nilai-nilai etika sebagai dasar pendidikan Islam.

F. Metode Penelitian

Pada dasarnya penelitian merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan dengan cara sistematik dan terencana untuk menyelesaikan suatu masalah, untuk itu dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan beberapa cara dalam mengkajinya, adapun cara itu meliputi sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan jenis library

research atau studi pustaka yaitu serangkaian kegiatan yang berkenaan

dengan metode pengumpulan data pustaka.27 Atau penelitian kepustakaan murni yang terkait dengan obyek penelitian.

26

Asep Umar Fakhruddin, Menjadi Guru Favorit, (Jakarta: PT. Grasindo, 1999). 27

Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004), hlm. 3.

(24)

14 2. Metode Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode dokumentasi sebagai cara untuk mengumpulkan data peninggalan tertulis, Seperti arsip-arsip, teori, buku, surat kabar, majalah yang berhubungan dengan pokok penelitian.28 Langkah yang ditempuh adalah mencari tahu atau mengumpulkan data-data tertulis sesuai dengan pembahasan. Adapun sumber datanya meliputi:

a. Sumber Data Primer

Sumber data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari subyek penelitian sebagai sumber informasi yang dicari. Data ini disebut juga dengan data tangan pertama.29 Atau data yang langsung berkaitan dengan obyek riset. Sumber data dalam penelitian ini adalah kitab Adabul

‘Alim Wal Muta’allim karya KH. Hasyim Asy’ari.

b. Sumber Data Sekunder

Adapun sumber data sekunder adalah data yang diperoleh lewat pihak lain, tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari subyek penelitiannya.30 Dalam hal ini data sekundernya adalah buku-buku yang mendukung penulis untuk melengkapi isi serta interpretasi dari kitab maupun buku dari sumber data primer.

3. Metode Analisis Data

Metode analisis ini digunakan untuk menganalisis data yang berhasil dihimpun, karena kajian ini bersifat kualitatif literer murni, maka analisis yang digunakan adalah metode analisis deskriptif. Dimana data yang telah terkumpul kemudian dianalisis secara non statistik. Metode deskriptif yaitu usaha untuk mendeskripsikan apa yang ada, pendapat yang sedang tumbuh.

28

S. Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), hlm. 181. 29

Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 91. 30

(25)

15 Prosedur yang ada sedang berlangsung yang telah berkembang.31 Selanjutnya dianalisis dengan metode Interpretasi yang berarti menyusun dan merakit atau merangkai unsur-unsur data yang ada dengan cara yang baru.32 Metode ini digunakan dalam rangka untuk memperoleh arti dan makna yang lebih mendalam dan luas terhadap hasil penelitian yang sedang dilakukan.33 Metode ini digunakan setelah penulis membaca karangan KH. Hasyim Asy’ari dan menangkap gagasan beliau lewat pemikiran dalam kitabnya Adabul ‘Alim Wal Muta’allim dan berusaha menyusun dan menuangkan kembali ide pemikiran beliau lewat interpretasikan data yang baru.

Dengan adanya metode analisis ini, maka langkah yang ditempuh untuk menyajikan fakta-fakta dan data secara sistematis dapat lebih mudah untuk dipahami dan disimpulkan. Metode-metode ini juga sangat urgen untuk mengetahui kerangka berpikirnya KH. Hasyim Asy’ari khususnya tentang etika guru dalam proses belajar mengajar dalam kitab

Adabul ‘Alim Wal Muta’allim .

G.Sistematika Pembahasan

Untuk memperoleh pembahasan yang sistematis dan konsisten serta dapat menunjukkan gambaran yang utuh dalam skripsi ini, maka penulis menyusun dengan sistematika penulisan yang berisi sebagai berikut:

Bab I merupakan pendahuluan. Dalam bab ini akan dibahas beberapa hal seperti, latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan skripsi, penjelasan kata kunci, telaah pustaka, metode penulisan skripsi dan sistematika penulisan skripsi.

Bab II berisi tinjauan umum tentang etika guru dalam proses belajar mengajar agama Islam. Dalam bab ini akan dibahas tentang : Tinjauan etika

31

Sanapiah Faisal, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Surabaya : Usaha Nasional, 1982), hlm 119.

32

S. Nasution, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, (Bandung: Tarsito, 1992), hlm. 127.

33

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), hlm. 151.

(26)

16 meliputi: Pengertian Etika dan guru, kode etik guru dalam Islam. Guru dalam perspektif pendidikan Islam dan kedudukan etika guru dalam proses belajar mengajar Islam.

Bab III berisi tentang biografi KH. Hasyim Asy'ari. Pertama, sesuatu yang berkaitan dengan penulis yaitu biografi K.H. Hasyim Asy’ari, latar belakang pendidikan, amal dan perjuangan, serta karya-karya beliau. Kedua, tentang isi kitab Adabul Alim Wal Muta’allim, yang meliputi: latar belakang penyusunan, sistematika pembahasan, isi kitab, etika guru terhadap murid dalam kitab Adabul ‘Alim Wal Muta’allim.

Bab IV membahas tentang relevansi etika guru dalam proses belajar mengajar menurut KH. Hasyim Asy’ari dalam kitab Adabul ‘Alim Wal

Muta’allim. Dalam bab ini akan dibahas poin-poin sebagai berikut: (1) Analisis

Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari Tentang Etika Guru dalam Proses Belajar Mengajar Dalam Pendidikan. (2) Kontribusi Konsep Etika Guru dalam Proses Belajar Mengajar serta Relevansi dengan Sistem Pembelajaran Saat Ini. (3) Tujuan Pendidikan dalam kitab Adabul ‘Alim Wal Muta’allim.

Bab V adalah Penutup. Bab ini merupakan bab terakhir yang meliputi: Kesimpulan, saran-saran dan penutup. Dalam bagian terakhir skripsi, penulis melengkapi dengan daftar pustaka, dan daftar riwayat hidup.

(27)

17

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG ETIKA GURU

DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR AGAMA ISLAM

A.Guru dalam Perspektif Islam

Guru diyakini menempati posisi kunci dalam pendidikan. Guru atau pendidik juga merupakan sosok yang akan memberi pengaruh kepada murid atau anak didiknya. Karena itu, seorang guru atau pendidik haruslah orang yang dapat digugu dan ditiru sebagai panutan baik dari segi pribadi, ilmu dan tingkah lakunya. Adapun guru yang ideal seharusnya memiliki kualifikasi-kualifikasi tertentu, baik menyangkut jasmani, etika atau akhlak maupun keilmuannya.

Selain itu walaupun tidak memberikan pengertian secara jelas tetapi Al-Zarnuji salah seorang tokoh pendidikan klasik menggambarkan bahwa seorang guru atau pendidik haruslah A’lam (menguasai materi), Arwa’ (memiliki kematangan emosional) dan Al asan (berpengetahuan). Oleh karena itu dalam hal ini beliau menyarankan agar para pencari ilmu mencari guru atau pendidik yang mempunyai kualifikasi tersebut.1

Kata guru atau pendidik dalam bahasa Indonesia berarti orang yang mengajar, dalam bahasa Arab antara lain disebut Mu’allim, artinya orang yang banyak mengetahui dan juga mengandung makna bahwa seorang guru dituntut untuk mampu menjelaskan hakikat ilmu yang diajarkannya, serta menjelaskan dimensi teoritis dan praktisnya serta membangkitkan anak didik untuk mengamalkannya.2 Kata mu’allim ini biasanya digunakan para ahli pendidikan sebagai sebutan untuk guru. Selain itu juga terdapat istilah yang juga berarti guru atau pendidik seperti, mudarris, muaddib, murabbiy, ustadz, Syaikh atau mursyid (sebutan untuk guru tasawuf), dan juga kyai. Dalam sejarah peradaban Islam klasik telah mencatat banyak istilah yang dipakai untuk kata guru atau

1 Syeikh Al Zarnuji,

Ta’limul Muta’allim, (Semarang: Pustaka Alawiyyah, t.t.), hlm. 13. 2 Muhaimin,

Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 210.

(28)

18 pendidik. Keberagaman istilah itu, di satu sisi menunjukkan tingkatan pendidik itu sendiri. Namun disisi lain juga dapat menggambarkan spesialisasinya.3

Dalam Al-Qur’an sebutan untuk guru atau pendidik lebih banyak lagi disebutkan, seperti: al-’Alim atau Ulama, Ulul ’Ilmi, Ulul al-Bab, Ulul Abshar, al-Mudzakir, al-Muzakki, dan al-Murabbi yang kesemuanya tersebar pada ayat-ayat al-Qur’an. Sementara dalam al-Hadits kata pendidik antara lain disebut dengan istilah ’Alim, seperti dalam hadits yang artinya:

45678 9:ا<=ا >?@Aو CDE7FGوا CE5D7Gوا CE=CHIJا

) KGراI=ا Mاور

(

“Jadilah orang yang ’alim (guru atau pendidik), atau orang yang belajar, atau pendengar (ilmu), dan jangan menjadi orang yang keempat (orang yang tidak memilih salah satu posisi tersebut) maka kamu akan binasa”.4

Guru atau pendidik adalah figur orang yang mempunyai kedudukan terhormat dan juga mulia. Hal ini sebagaimana ungkapan al-Ghazali, “Makhluk yang paling mulia di kerajaan langit adalah manusia yang mengetahui, mengamalkan dan mengajar. Ia seperti matahari yang menerangi dirinya dan orang lain…” Dari pernyataan tersebut dapat dipahami betapa besar dan pentingnya profesi guru atau pendidik dibandingkan dengan profesi yang lain. Pendidik menjadi perantara antara manusia, dalam hal ini anak didik- dengan penciptanya, yakni Allah SWT. sehingga bisa dikatakan tugas pendidik sama seperti tugas para utusan Allah.Rasulullah, sebagai Mu’allimul Awwal fil Islam (pendidik pertama dalam Islam) telah mengajarkan ayat-ayat Allah kepada manusia, menyucikan jiwa dari dosa, menjelaskan yang baik dan buruk, yang halal dan haram dan berbagai tentang ajaran bermasyarakat. Dengan demikian secara umum tugas pendidik adalah sama dengan tugas para Rasul.5

Tugas guru atau pendidik tidak hanya mengajarkan ilmunya kepada, anak didiknya saja, tetapi dia juga bertanggung jawab memberi petunjuk kepada anak didik dalam meniti kehidupan, membekalinya dengan budi pekerti, etika, akhlak, dan lain-lain yang berguna bagi kehidupannya kepada manusia. Oleh

3 Misbahul Huda,

”Profil dan Etika Pendidik dalam Pandangan Pemikir Pendidikan Islam Klasik”, Religia, (vol. II, No. 2 Oktober/ 1999), hlm. 106.

4 Hadis Riwayat ad Darimi, Sunan Ad Darimi, (Dar al-Fikr: Mesir, tt), hlm. 79. 5 Fuad Asy Syalhub,

(29)

19 karena begitu besar dan pentingnya posisi guru atau pendidik, Moh. Athiyah al-Abrasy berpendapat tentang sifat-sifat yang harus dimiliki seorang pendidik dalam mengemban tugasnya, sebagai berikut: zuhud, tidak mengutamakan materi, bersih tubuhnya, jauh dari dosa, bersih jiwanya, tidak riya, tidak dengki, ikhlas, pemaaf, mencintai dan memikirkan anak didik seperti mencintai dan memikirkan anaknya, mengetahui tabiat anak didik dan menguasai materi.6

B.Tinjauan Umum tentang Etika Guru 1. Pengertian Etika dan Guru

Etika berasal dari bahasa Yunani “ethichos” berarti adat kebiasaan, disebut juga dengan moral, dari kata tunggal mos, dan bentuk jamaknya mores yang berarti kebiasaan, susila.7 Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia etika berarti “ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban (moral)”.8 Dalam perkembangan selanjutnya kata etika lebih banyak berkaitan dengan ilmu filsafat. Oleh karena itu standar baik dan buruknya adalah akal manusia.9

Menurut Raziel Abelson dalam Suparman Syukur Etika Religi menjelaskan bahwa ”istilah etika juga sering digunakan dalam tiga perbedaan yang saling terkait, pertama merupakan pola umum atau jalan hidup, kedua seperangkat aturan atau “kode moral”, dan ketiga penyelidikan tentang jalan hidup dan aturan-aturan perilaku”.10

Berbicara tentang etika dalam Islam tidak dapat lepas dari ilmu akhlak sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan agama Islam. Oleh karena itu etika dalam Islam dapat dikatakan identik dengan ilmu akhlak, yaitu ilmu tentang keutamaan-keutamaan dan bagaimana cara mendapatkannya agar

6 Athiyyah Al-Abrasyi,

al-Tarbiyah al-Islamiyah Wa Falasifatuha, hlm. 136-138. 7 Zainudin Ali,

Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm. 29. 8 Departemen Pendidikan Nasional,

Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), Cet. 4, hlm 383.

9 Zainudin Ali,

Pendidikan Agama Islam, hlm. 29. 10 Suparman Syukur,

(30)

20 manusia berhias dengannya, dan ilmu tentang hal-hal yang hina dan bagaimana cara menjauhinya agar manusia terbebas darinya. Oleh karena itu etika dalam islam juga sering disebut sebagai falsafah akhlaqiyyah.11 Selain kata akhlak, dalam Islam etika juga sering disebut dengan kata adab yang berarti perilaku atau sopan santun, atau juga disebut “kehalusan dan kebaikan budi pekerti atau kesopanan dan akhlak”.12 Adab sendiri juga berarti pengetahuan yang mencegah manusia dari kesalahan-kesalahan penilaian.13

Namun secara substantif sebenarnya apa yang disebut dengan etika, moral, akhlak dan adab mempunyai arti dan makna yang sama, yaitu sebagai jiwa (ruh) suatu tindakan, dengan tindakan itu perbuatan akan dinilai, karena setiap perbuatan pasti dalam prakteknya akan diberi predikat-predikat sesuai dengan nilai yang terkandung dalam perbuatan itu sendiri, baik predikat right (benar) dan predikat wrong (salah). Adapun hal yang membedakan antara etika, moral, akhlak dan adab yaitu terletak pada sumber yang dijadikan patokan untuk menentukan baik buruk. Jika dalam etika penilaian baik buruk berdasarkan akal pikiran, moral berdasarkan kebiasaan umum yang berlaku umum dimasyarakat, maka pada akhlak dan adab ukuran yang digunakan untuk menentukan baik buruk adalah Al Qu’an dan Hadis.14

Adapun berikut merupakan pengertian dari istilah guru atau pendidik dalam bidang pendidikan:

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “guru adalah orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar”.15

11 Suparman Syukur,

Etika Religius, hlm. 3. 12 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,

Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), hlm. 6.

13 Ahmad Tantowi,

Pendidikan Islam di Era Transformasi Global, (Semarang: Pustaka Rizki Putra,2009), hlm. 12.

14 Abudin Nata,

Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), hlm. 97. 15 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa,

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hlm. 337.

(31)

21 Dalam pengertian yang sederhana, Syaiful Bahri Djamarah menjelaskan “guru adalah orang yang memberikan ilmu pengetahuan kepada peserta didik. Dalam pandangan masyarakat, guru adalah orang yang melaksanakan pendidikan di tempat-tempat tertentu, tidak harus di lembaga formal, tetapi bisa juga di masjid, di surau atau di mushalla, di rumah dan sebagainya”.16

Asep Umar Fahruddin dalam bukunya menjadi guru favorit, memberi makna “guru merupakan profesi atau jabatan yang memerlukan keahlian khusus”. 17 Ini berarti guru bertanggung jawab sesuai dengan profesi dan jabatan dalam membimbing anak untuk mencapai kedewasaannya.

Menurut Undang-undang Guru dan Dosen, “guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini lajur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah”.18

Dari beberapa uraian yang menjelaskan tentang pengertian guru atau pendidik adalah seseorang yang menyampaikan ilmu atau pengetahuan kepada seseorang murid atau pelajar seperti yang diketahui sebagian orang, adapun tugas seorang guru adalah menambahkan kecerdasan anak, mengembangkan akhlak mereka. Melatih dalam kemampuan dalam bekerja, menebar kasih sayang kepada seluruh alam, serta mengenalkan kepada masyarakat untuk itu tugas adalah memberi penjelasan dan petunjuk bagi para muridnya. Dan selanjutnya dari pengertian etika dan guru dapat diketahui dan disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan etika guru adalah segala suatu yang berkaitan dengan norma, perilaku, perbuatan, kepribadian guru, baik dalam praktek kegiatan belajar mengajar maupun di lingkungan masyarakatnya.

16Syaiful Bahri Djamarah,

Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta: Rineka cipta, 2000), hlm. 31.

17 Asep umar Fahruddin,

Menjadi Guru Favorit, (Jogjakarta: Diva Press. 2010), hlm. 73. 18

Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 3.

(32)

22 2. Kode Etik Guru dalam Islam

Dalam sejarah pendidikan Islam, guru merupakan orang yang mempunyai status yang terhormat dalam masyarakat, mempunyai wibawa sangat tinggi dan dianggap sebagai orang yang serba tahu. Peranan guru saat itu tidak hanya sebatas pada mendidik anak didik di dalam kelas, tetapi juga mendidik masyarakat. Namun status dan kewibawaan guru kini mulai memudar sejalan dengan kemajuan zaman, perkembangan ilmu dan teknologi. Ironisnya memudarnya status dan kewibawaan guru tersebut kurang lebihnya banyak ditimbulkan oleh pribadi guru sendiri, seperti buruknya perilaku, etika dan kualitas kepribadian dan juga kurangnya kemampuan guru dalam hal kompetensi yang dimilikinya.

Untuk menanggulangi agar tidak terjadi permasalahan yang kurang baik terhadap guru dan profesi keguruan, maka untuk menjamin mutu dan kualitas guru dalam melaksanakan profesinya harus terdapat kode etik, karena kode etik suatu profesi merupakan norma-norma yang harus diindahkan dan dilaksanakan oleh guru dalam melaksanakan tugas profesinya dan dalam hidupnya dimasyarakat.19 Dalam pendidikan Islam kode etik guru atau pendidik merupakan norma-norma yang mengatur hubungan kemanusiaan antara pendidik dan anak didik, orang tua anak didik, koleganya serta dengan atasannya.20 Sedangkan dalam Kode Etik Guru Indonesia adalah norma dan asas yang disepakati dan diterima oleh guru-guru Indonesia. Sebagai pedoman sikap dan perilaku dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pendidik, anggota masyarakat dan warga negara.

Berkaitan dengan kode etik guru, para ulama’ juga mengemukakan pendapatnya, diantaranya adalah Al-Ghazali, beberapa batasan kode etik yang harus dimiliki dan dilakukan seorang guru atau pendidik menurut beliau. Hal ini juga sebagai landasan dasar etika-moral bagi para guru atau pendidik. Gagasan-gagasan tersebut antara lain sebagai berikut:

19 Soetjipto,

et.al., Profesi keguruan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), hlm. 30. 20 Abdul Mujib,

(33)

23 1. Seorang guru haruslah orang yang sayang kepada anak didik, serta

menganggap mereka seperti anak sendiri, jika ia ingin berhasil dalam menjalankan tugasnya.

2. Guru haruslah orang yang meneladani perilaku Nabi. Mengingat sosok guru merupakan orang yang mewarisi Nabi. Baik mewarisi ilmu dan juga dalam menjalankan tugasnya, guru atau pendidik harus memposisikan diri seperti para Nabi, yakni mengajar dengan ikhlas mencari kedekatan diri kepada Allah SWT.

3. Guru sebagai Pembimbing bagi anak didik hendaklah dapat memberi nasihat mengenai apa saja demi kepentingan masa depan muridnya. 4. Guru sebagai figur sentral bagi anak didik, hendaklah tidak

henti-hentinya memberi nasihat kepada anak didik untuk tulus, serta mencegah mereka dari etika dan akhlak yang tercela.21

Sejalan dengan prinsip-prinsip tersebut dalam bahasa yang berbeda, Muhammad Athiyyah Al-Abrasyi menerangkan kode etik sebagai berikut: 1. Mempunyai watak kebapakan sebelum menjadi seorang guru atau

pendidik, sehingga ia menyayangi anak didiknya seperti anaknya sendiri. 2. Adanya komunikasi yang aktif antara guru atau pendidik dan anak didik

dalam interaksi belajar mengajar.

3. Memperhatikan kemampuan dan kondisi anak didiknya, dan kemampuan.22

Berkaitan dengan kode etik guru dalam menjalankan tugasnya, faktor yang amat penting yang perlu dimiliki oleh pendidik adalah etika atau akhlaknya, diantara dari etika atau akhlak itu adalah niat yang tulus karena Allah. Muhyiddin Al-Nawawi menjelaskan “agar dalam kegiatan pengajarannya hanya dimaksudkan Wajhillah dan tidak dimaksudkan untuk mendapatkan tujuan-tujuan duniawi, seperti memperoleh harta, kedudukan,

21 Al Ghazali,

Mukhtashar Ihya’ Ulumuddin, terj. Abdul Rosyad Shiddiq, (Jakarta: Akbar Media, 2008), hlm. 16-18.

22 Athiyyah Al-Abrasyi,

al-Tarbiyah al-Islamiyah Wa Falasifatuha, (Mesir: al-Halabi, 1975), hlm. 225.

(34)

24 ketenaran dan semisalnya”. Jauh sebelum al-Nawawi, Khatib al-Baghdadi telah menekankan pentingnya etika dan akhlak dengan menganjurkan agar seorang yang ‘Alim (guru) selalu beretika dan berakhlak karimah, misalnya tidak banyak berbicara (yang tidak berguna) dan “jika mendapatkan ucapan-ucapan yang tidak senonoh dalam perdebatan dengan lawannya, hendaklah tidak membalasnya”.23

C.Kedudukan Etika Guru dalam Proses Belajar Mengajar Agama Islam Dunia pendidikan dalam beberapa aspeknya tidak dapat lepas dari adanya proses belajar mengajar yang tidak mungkin bisa berjalan tanpa adanya relasi antara guru dan murid. Pada saat ini pendidikan pada umumnya dan pendidikan agama pada khususnya telah mengalami krisis dan mengalami pergeseran dalam pelaksanaannya. Pola pendidikan yang ada pada umumnya telah mengabaikan pendidikan yang banyak bersentuhan dengan hati nurani yang mengarah pada pembentukan etika atau karakter anak didik, sekarang ini pendidikan cenderung diarahkan pada pencapaian keunggulan materi, kekayaan, kedudukan dan kesenangan dunia semata, sehingga apa yang menjadi hakikat dari tujuan pendidikan itu sendiri telah terabaikan. Padahal menurut Hasbi Ash-Shiddiqi sekurang-kurangnya pendidikan harus dapat mengembangkan tiga hal pokok, yaitu tarbiyah jismiyah, tarbiyah aqliyah, dan tarbiyah adabiyah.24

Dalam pendidikan agama Islam nampaknya pokok tarbiyah adabiyah adalah pokok yang harus mendapat perhatian lebih dari yang lainnya, karena pokok yang ketiga ini berkaitan dengan masalah etika, akhlak atau budi pekerti yang juga akan menjadi aplikasi nilai dari kedua pokok yang lain. Selain itu etika, akhlak atau budi pekerti merupakan salah satu pokok ajaran Islam yang harus diutamakan dalam pendidikan untuk ditanamkan atau diajarkan kepada

23 Lihat pendapat Muhyiddin al-Nawawi dan Al-Khatib al-Baghdadi dalam Misbahul Huda, ”Profil dan Etika Pendidik dalam Pandangan Pemikir Pendidikan Islam Klasik”, Religia, (vol. II, No. 2, Oktober/ 1999), hlm. 108.

24 Abdul Majid,

et.al., Pendidikan Islam Berbasis Kompetensi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hlm. 138.

(35)

25 anak didik.25 Untuk menggapai itu semua membutuhkan adanya peran seorang guru untuk mewujudkannya, karena pendidikan akan dapat menghasilkan produk yang unggul dan berkualitas manakala melalui proses yang baik dan ilmu-ilmu yang didalamnya mengutamakan kebajikan. Sebab ilmu pada akhirnya bertujuan mewujudkan keutamaan dan kemuliaan.26 Peran guru agama dalam hal ini tidak hanya terbatas pada saat hubungan proses belajar itu sedang berlangsung dan berakhir. Juga tidak hanya sebatas pada kemampuan profesional dalam mendidik atau tanggung jawabnya pada orang tua, kepala sekolah dan sosial saja, melainkan peran pengabdiannya haruslah benar-benar sampai kepada Allah. Karena apa yang dikerjakan dan diajarkan guru dalam konteks pendidikan nantinya juga akan dipertanggung jawabkan dihadapan Allah di akhirat kelak.27

Guru atau pendidik dalam Islam tidak hanya diposisikan sebagai orang yang ‘alim, wara’, shaleh dan uswah, tetapi guru juga diposisikan sebagai orang yang mewarisi dan menggantikan para nabi dalam hal menjelaskan, menerangkan dan mengaplikasikan nilai-nilai ajaran nabi (agama) dalam kehidupan bermasyarakat. Guru yang di dalam undang-undang disebut sebagai orang yang memangku jabatan profesional merupakan orang yang paling bertanggung jawab dalam pembentukan etika dan karakter anak didik. Oleh karena itu menurut Zakiah Daradjat, faktor terpenting bagi seorang guru adalah kepribadiannya, karena kepribadian itulah yang akan menentukan apakah guru itu akan menjadi pendidik yang baik bagi anak didiknya, atau akan menjadikan anak didik menjadi sebaliknya.28 Untuk itu guru dituntut untuk memiliki kepribadian, etika dan karakter yang baik, selain itu guru yang juga disebut

25 Abdul Majid,

Pendidikan Islam Berbasis Kompetensi, hlm. 138. 26Zuhairi Misrawi,

Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, Moderasi, Keumatan, dan kebangsaan, (Jakarta: Kompas, 2010), hlm. 236.

27 Sya’roni,

Model Relasi Ideal Guru dan Murid, Telaah atas Pemikiran al-Zarnuji dan KH. Asy’ari, (Yogyakarta: Teras, 2007), hlm. 5.

28 Zakiah Daradjat,

(36)

26 sebagai spiritual father merupakan orang yang berjasa dalam memberikan santapan jiwa anak didik dengan ilmu.29

Dalam keseluruhan proses pendidikan, khususnya proses pembelajaran, guru memegang peran utama dan sangat penting. Oleh karenanya etika atau perilaku guru yang merupakan bagian dari kepribadiannya dalam proses belajar mengajar, akan memberikan pengaruh dan corak yang kuat bagi pembinaan perilaku dan kepribadian anak didiknya.

Merujuk pada pola kependidikan dan keguruan Rasulullah SAW. Dalam perspektif Islam, guru menjadi posisi kunci dalam membentuk kepribadian Muslim sejati. Keberhasilan Rasulullah SAW dalam mengajar dan mendidik umatnya lebih banyak menyentuh pada aspek perilaku. Secara sadar atau tidak, semua perilaku dalam proses pendidikan dan bahkan diluar konteks proses pendidikan, perilaku guru akan ditiru oleh siswanya.

Guru dan murid merupakan komponen yang tak dapat dipisahkan dalam kajian ilmu pendidikan. Dimana dalam prakteknya aspek etika atau perilaku guru khususnya dalam proses pendidikan baik di sekolah, madrasah atau diluar sekolah (masyarakat) selalu menjadi sorotan. Beberapa aspek etika atau perilaku guru yang harus dipahami antara lain berkenaan dengan peran dan tanggung jawab, kebutuhan anak didik, dan motivasi serta kepribadian guru (termasuk ciri-ciri guru yang baik).30

Guru yang baik dalam perspektif pendidikan agama Islam adalah guru yang bertitik tolak dari panggilan jiwa, dapat dan mampu bertanggung jawab atas amanah keilmuan yang dimiliki, bertanggung jawab atas anak didiknya, amanah orang tua anak didik dan atas profesi yang dia sandang, baik tanggung jawab moral maupun sosial dan dapat menjadi uswah bagi murid atau anak didiknya. Karena secara umum kinerja guru atau pendidik adalah seluruh aktivitasnya dalam hal mendidik , mengajar, mengarahkan dan memandu anak didik untuk mencapai tingkat kedewasaan dan kematangan. Untuk itu sebagai

29 Sya’roni,

ModelRelasi Ideal Guru dan Murid…, hlm. 5. 30 Tohirin,

Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Integritas dan Kompetensi, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 164.

(37)

27 dasar tuntutan keprofesionalan atas keilmuan diri yang didapatnya hendaklah seorang guru atau pendidik melaksanakan tugas profesinya tidak hanya sebatas pada tataran teoritis saja, tetapi juga dilakukan pada tataran praktis.31 Adapun pada tataran prakteknya uraian berikut merupakan pemaparan beberapa prinsip yang berlaku umum tentang etika guru dalam pembelajaran.

Pertama, memahami dan menghormati anak didik. Kedua menghormati bahan pelajaran yang diberikannya, artinya guru dalam mengajar harus menguasai sepenuhnya bahan pelajaran yang diajarkan. Ketiga menyesuaikan metode mengajar dengan bahan pelajaran. Keempat menyesuaikan bahan pelajaran dengan kesanggupan individu. Kelima mengaktifkan siswa dalam konteks belajar. Keenam memberi pengertian bukan hanya kata-kata belaka. Ketujuh menghubungkan pelajaran dengan kebutuhan siswa. Kedelapan mempunyai tujuan tertentu dengan tiap pelajaran yang diberikan. Kesembilan jangan terikat dengan satu buku teks (teks book). Kesepuluh tidak hanya mengajar dalam arti menyampaikan pengetahuan saja kepada anak didik, melainkan senantiasa mengembangkan kepribadiannya.32

Dari semua yang dipaparkan mengenai etika, sikap, perilaku atau kepribadian seorang guru diatas, terdapat relevansi dengan apa yang disampaikan K.H Hasyim Asy’ari dalam Kitab Adabul Alim Wa Al Muta’llim, perbedaan hanya terletak pada penyampaian bahasa yang digunakan, namun substansi yang dimaksudkan adalah sama dalam hal pembelajaran, lebih-lebih lagi KH. Hasyim Asy’ari telah mengemukakan pendapatnya dengan menambahkan dan memberi perhatian khususnya kepada perilaku etika guru atau pendidik dengan menjelaskan etika yang harus dilakukan sebagai guru atau pendidik yang mana hal ini tidak dapat dijumpai pada karangan ulama’ masa sebelumnya seperti Az-Zarnuji, Al-Jauzy dan Abu Hanifah.

31 Mukhtar,

Desain Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Misaka Galiza, 2003), hlm. 99.

32 Tohirin,

(38)

28

BAB III

BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN PENDIDIKAN KH. HASYIM ASY’ARI

DALAM KITAB ADABUL ‘ALIM WAL MUTA’ALLIM

A.Biografi KH. Hasyim Asy’ari

KH. Hasyim Asy’ari merupakan salah satu tokoh dari sekian banyak ulama’ besar yang pernah dimiliki oleh bangsa ini, biografi tentang kehidupan beliaupun sudah banyak ditulis oleh beberapa kalangan. Namun dari beberapa tulisan atau karya yang telah ada ternyata terdapat satu hal yang menarik yang mungkin dapat digambarkan dengan kata sederhana, yaitu kata “pesantren”, bahkan Abdurrahman Mas’ud menyebut beliau sebagai “Master Plan Pesantren”.1 mengingat latar belakang beliau berasal dari keluarga santri dan hidup di pesantren sejak lahir. Beliau juga dididik dan tumbuh berkembang di lingkungan pesantren. Selain itu juga hampir seluruh kehidupan beliau dihabiskan di lingkungan pesantren. Bahkan sebagian besar waktu beliau dihabiskan untuk belajar dan mengajar di pesantren. Selain itu beliau juga banyak mengatur kegiatan yang sifatnya politik dari pesantren.

1. Sejarah Kehidupan KH. Hasim Asy’ari

Muhammad Hasyim itu adalah nama kecil pemberian orang tuanya, lahir di desa Gedang, sebelah timur Jombang pada tanggal 24 Dzulqo’dah 1287 H. atau bertepatan dengan 14 Februari 1871 M. Asy’ari merupakan nama ayahnya yang berasal dari Demak dan juga pendiri pesantren keras di Jombang.2 sedangkan ibunya Halimah merupakan putri Kiai Usman pendiri dan pengasuh dari Pesantren Gedang akhir abad ke-19 M. KH. Hasyim Asy’ari adalah anak ketiga dari sepuluh bersaudara, yaitu Nafi’ah, Ahmad Sholeh, Radi’ah, Hassan, Anis, Fatanah, Maimunah, Maksum, Nahrawi dan Adnan. Beliau merupakan seorang Kyai keturunan bangsawan Majapahit dan juga keturunan ‘elit’ Jawa. Selain itu, moyangnya, Kiai Sihah adalah

1 Abdurrahman Mas’ud,

Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama dan Tradisi,

(Yogyakarta: LkiS, 2004), hlm. 207. 2 Abdurrahman Mas’ud,

Referensi

Dokumen terkait

Hasyim Asy’ari mengenai etika yang harus dipedomani oleh pendidik maupun peserta didik masih sangat relevan untuk diterapkan dalam proses belajar mengajar pada saat

ABSTRAK Muhammad Arafat Arroisi, 2020, Konsep Guru Teladan dalam Perspektif Hadratu as-Syaikh Hasyim Asy‟ari, Skripsi, Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan

Zakiah Daradjat dan Ibn Miskawaih, mereka mengartikan bahwa tujuan pendidikan akhlak adalah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontan untuk melahirkan

Hasyim Asy’ary dalam kitab Adābul ʻālim Wal Mutaʻallim, ditulis oleh Muslih, telah diujikan dalam Sidang Tim Penguji Skripsi Fakultas dan Keguruan UIN

Abdul Mujib dan Mudzakkir Jusuf mengatakan bahwa istilah yang tepat untuk menggambarkan orang-orang yang belajar adalah peserta didik bukan anak didik. 26 Definisi ini

Hasyim Asy‟ari adalah seorang ulama besar pada zamannya, dan beliau adalah seorang ulama yang sangat gigih dalam menekankan arti pentingnya bertaqlid kepada imam

K.H. Hasyim Asy‟ari merupakan ulama‟ yang lahir dari keluarga elit kiai di daerah Jombang, beliau pernah belajar di berbagai pesantren di pulau Jawa sebelum

Berangkat dai konsep etika peserta didik yang terdapat dalam kitab Adabul Alim Walmuta’allim oleh Imam Nawawi yang merupakan seorang ulama tersohor dan Undang-Undang Sistem Pendidikan