Utusan Damai di Kemelut Perang
Peran Zending dalam Perang Toba
Berdasarkan Laporan I.L. Nommensen dan penginjil RMG lain
oleh
Uli Kozok
© 2009 Uli Kozok ([email protected])
Hak Cipta dilindungi undang-undang
Daftar Isi
Prakata
Ludwig Ingwer Nommensen adalah seorang tokoh yang oleh sebagian orang Batak tidak hanya dihormati atas jasanya menyebarkan agama Kristen di Tanah Batak, tetapi bahkan dianggap sebagai rasul atau apostel Batak.
Sumbangan Nommensen dan tokoh-tokoh injil lainnya – yang namanya jarang disebut – berdampak luas pada masyarakat Batak, bukan saja di bidang kerohanian, tetapi juga di bidang pendidikan, kesehatan, dan sebagainya.
Tokoh penginjilan dari Rheinische Missions-Gesellschaft (RMG), lembaga penginjilan asal Jerman, ini hidup di antara orang Batak selama lebih dari 50 tahun. Tentu dapat dipahami bahwa orang Batak yang beragama Kristen Protestan mengenang Nommensen dengan rasa kagum dan bangga.
Nommensen memang seorang tokoh yang berkarisma tetapi dia juga hanya salah satu dari banyak penginjil Batakmission (zending Batak) yang ditugaskan untuk menyebarkan injil. Dia bukan pemrakarsa zending Batak dan otoritasnya terbatas. Disiplin dan kepatuhan terhadap atasan memang sangat diutamakan dalam kalangan RMG, dan para penginjil sadar bahwa mereka diharap melaksanakan tugasnya sesuai dengan kehendak dan kebijakan pimpinan RMG. Sebagai pelaksana, para penginjil diwajibkan untuk setiap bulan menulis laporan. Laporan-laporan itu kemudian diolah dan diterbitkan dalam sebuah majalah yang dinamakan Berichte der Rheinische Missions-Gesellschaft, disingkat BRMG. Secara total ada sekitar 5.000 halaman yang ditulis oleh para penginjil RMG di Tanah
Batak tentang segala hal yang terjadi di wilayah penginjilannya. Dengan demikian BRMG merupakan sumber historis yang teramat penting.
Salah satu peristiwa penting dalam sejarah Batak adalah Perang Toba yang terjadi pada tahun 1878 dan 1883 sebagai inti perlawanan Si Singamangaraja XII terhadap kekuasaan Belanda. Di dalam buku yang sederhana ini kami sajikan laporan-laporan para zendeling tentang Perang Toba Pertama. Laporan para penginjil itu kami sajikan dalam bentuk edisi faksimile agar secara mudah teks asli yang berbahasa Jerman dapat dibandingkan dengan terjemahan bahasa Indonesia, dan untuk menjaga keakuratan terjemahannya.
Buku ini mengungkap catatan perjalanan para penginjil, terutama Ludwig Ingwer Nomensen dan Wilhelm Metzler selama masa Perang Toba. Laporan Nommensen dan Metzler berbicara sendiri dan tidak perlu banyak dikomentari. Akan tetapi yang perlu dilakukan ialah mencari alasan mengapa para penginjil begitu rela membantu tentara Belanda menumpaskan perjuangan Si Singamangaraja XII. Sebagai didikan seminaris RMG para penginjil tentu dipengaruhi oleh para guru mereka, dan guru mereka sendiri dipengaruhi oleh aliran teologi dan ideologi yang sedang berkembang pada waktu itu.
Oleh sebab itu buku ini tidak hanya mengulas latar belakang teologi di RMG pada pertengahan abad ke-19 melainkan juga ideologi yang sedang berkembang di Eropa, dan khususnya di Jerman. Hanya dengan adanya pengetahuan tentang latar belakang kehidupan para misionaris maka kita bisa memahami tindakan mereka. Pengetahuan kita tentang tindakan mereka akan juga bermanfaat untuk menghindar agar jangan terjadi pembentukan mitos dan legenda yang tidak sehat.
Sesuai dengan perkembangan zaman, penilaian terhadap tokoh-tokoh sejarah bisa saja terjadi, dan hal tersebut adalah sesuatu yang lumrah. Saya menyadari bahwa buku yang sederhana ini oleh sebagian orang dianggap “kontroversial”. Sesungguhnya buku ini hanya bisa menjadi “kontroversial” karena selama ini penulisan sejarah penginjilan di Tanah Batak didominasi oleh para penulis yang dekat dengan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) sebagai penerus RMG. Sayang penulisan sejarah seperti itu sangat sepihak dan tanpa adanya upaya untuk secara kritis mengevaluasi tokoh-tokoh penginjilan serta motivasi lembaga penginjilan yang berdiri di belakangnya.
Honolulu, September 2010, Dr. Uli Kozok
Pendahuluan
“Mereka mengatakan secara blak-blakan bahwa kami pelopor pemerintah kolonial yang awalnya berbuat amal dengan cara memberi obat dsb. untuk akhirnya menyerahkan tanah dan rakyat kepada pemerintah.”
Demikian keluhan I.L. Nommensen ketika baru membuka pos zending di lembah Sipirok. Dugaan orang Sipirok ternyata benar. Tidak lama sesudah pindah ke lembah Silindung, tepatnya pada awal tahun 1878, Nommensen berulang kali meminta kepada pemerintah kolonial agar selekasnya menaklukkan Silindung menjadi bagian dari wilayah Hindia-Belanda.
Pemerintah Belanda akhirnya mengabulkan permintaan Nommensen sehingga terbentuk koalisi injil dan pedang yang sangat sukses karena kedua belah pihak memiliki musuh yang sama: Singamangaraja XII yang oleh zending dicap sebagai “musuh bebuyutan pemerintah Belanda dan zending Kristen.” Bersama-sama mereka berangkat untuk mematahkan perjuangan Singamangaraja. Pihak pemerintah dibekali dengan persenjataan, organisasi, dan ilmu pengetahuan peperangan modern sementara pihak zending dibekali dengan pengetahuan adat-istiadat dan bahasa. Kedua belah pihak, zending Batak dan pemerintah kolonial, saling membutuhkan dan saling melengkapi, dan tujuan mereka pun pada hakikatnya sama: Memastikan agar orang Batak “terbuka pada pengaruh Eropa dan tunduk pada kekuasaan Eropa”.
Berkat pengetahuan bahasa dan budaya pihak zending (terutama zendeling Nommensen dan Simoneit) berhasil meyakinkan ratusan raja agar berhenti mengadakan perlawanan dan menyerah pada kekuasaan Belanda:
“Bantuan dan keikutsertaan para misionaris yang mendampingi ekspedisi militer hingga ke Dana Toba juga mempunyai tujuan yang lain: yaitu untuk meyakinkan rakyat untuk menghentikan perlawanan mereka yang sia-sia dan mendesak mereka untuk menyerahkan diri.”
Sementara yang tidak mau menyerah didenda dan kampungnya dibakar.
Melalui Gubernur Sumatra pemerintah Belanda membalas budi para penginjil dengan mengeluarkan surat penghargaan yang resmi:
Pemerintah mengucapkan terima kasih kepada penginjil Rheinische Missions-Gesellschaft di Barmen, terutama Bapak I. Nommensen dan Bapak A. Simoneit yang bertempat tinggal di Silindung, atas jasa yang telah diberikan selama ekspedisi melawan Toba.
Selain surat penghargaan, para misionaris juga memperoleh 1000 Gulden dari pemerintah yang “dapat diambil setiap saat”.
Kerja sama antara para penginjil RMG (Rheinische Missionsgesellschaft) dan pemerintahan kolonial berlangsung sampai musuh mereka, Singamangaraja XII, tewas dalam pertempuran dengan tentara Belanda pada tahun 1907.
Secara resmi Perang Toba I hanya berlangsung selama dua bulan namun perlawanan dari pihak Singamangaraja tetap ada. Pada tahun 1880 misalnya pos zending dan gereja di Simorangkir dibakar oleh seorang raja yang berpihak pada Singamangaraja yang menaruh dendam terhadap pendeta Simoneit. Alasan pembakaran itu karena Simoneit “atas permintaan pemerintah, ikut pada sebuah ekspedisi militer kecil sebagai penerjemah.”
Walaupun peran dan tujuan Rheinische Missionsgesellschaft (RMG) dan penginjilnya, terutama Ludwig Ingwer Nommensen, dalam Perang Toba Pertama (1878) terang sekali, ada pihak yang melihat adanya ‘kontroversi’. Ada dua isu yang sering menjadi topik perdebatan yang kontroversial, terutama di kalangan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) yang merupakan penerus RMG di zaman kemerdekaan: 1. Peran para penginjil dalam menaklukkan Onafhankelijke
Bataklanden (Tanah Batak yang Merdeka) dan 2. Hubungan Singamangaraja XII
dengan Zending.
Butir kedua menjadi persoalan yang memang peka karena sebagian besar orang Batak memeluk agama Kristen dan menganggap I.L. Nommensen sebagai apostel atau rasul sedangkan Singamangaraja XII diangkat sebagai Pahlawan Nasional oleh pemerintah pada 9 November 1961. Bagaimana kalau kedua pahlawan yang dua-duanya dianggap sakral oleh orang Batak ternyata saling bermusuhan? Tentu hal itu akan menimbulkan dilema.
Dr. W.B. Sidjabat yang pada tahun 1982 menulis buku berjudul “Ahu Si
Singamangaraja: Arti historis, politis, ekonomis dan religius Si Singamangaraja XII”
berusaha keras untuk meluruskan dilema itu dengan ‘mendamaikan’ kedua tokoh sakral tersebut, dan juga berusaha untuk mengesampingkan peran zending dalam penaklukan Tanah Batak yang masih merdeka.
Sejarahwan Batak beragama Kristen Protestan ini menggunakan sumber baik primer maupun sekunder, yang tertulis dalam berbagai bahasa termasuk Jerman dan Belanda. Selain mengandalkan sumber tertulis ia juga melengkapinya dengan puluhan wawancara. Di antara sumber primer termasuk bahan arsip Belanda, dan juga bahan dari RMG itu sendiri, terutama laporan tahunan (Jahresbericht) RMG, tetapi ia tidak menggunakan laporan RMG yang lebih terinci dan yang diterbitkan sebulan sekali (Berichte der Rheinischen Missionsgesellschaft). Daripada menggunakan sumber primer, yaitu tulisan I.L. Nommensen sendiri yang terdapat dalam BRMG, khusus untuk Perang Toba I, Sidjabat menggunakan buku yang
ditulis oleh J.T. Nommensen (anak I.L. Nommensen) berjudul Porsorion ni L.
Nommensen yang diterbitkan pada tahun 1925 oleh Zendingsdrukkerij Laguboti
setelah I.L. Nommensen meninggal (1918) dan menceritakan riwayat hidupnya yang sebagian berdasarkan tulisan Nommensen di BRMG, tetapi tentu sudah disadur dan diringkas.
Dalam BAB VI Pertarungan rakyat Sumatra Utara bersama Si Singamangaraja XII melawan Belanda butir 1–11 (hal. 151–186) membahas Perang Toba I, dan BAB itu sangat diwarnai oleh sumber sekunder Porsorion ni L. Nommensen. Sayang Sidjabat tidak memanfaatkan sumber primernya, yaitu laporan Nommensen dalam RBMG. Padahal BRMG merupakan sumber sejarah Batak yang tak ternilai yang menceritakan sejarah Batak dari sudut pandang zending selama lebih dari 50 tahun di atas sekitar 5.000 halaman. Tampaknya hingga kini laporan lengkap I.L. Nommensen tentang Perang Toba I tidak pernah digunakan untuk penulisan sejarah Batak hingga dirasakan perlu untuk menerbitkan ulang catatan Nommensen tentang perang Toba dalam terjemahan bahasa Indonesia.
Sidjabat tidak berniat menuliskan sejarah secara objektif. Dengan sangat jelas ia memperlihatkan sikap pro zending, pro Singamangaraja, dan anti Belanda. Belanda digambarkan sebagai orang yang “cerdik” (hal. 157), memiliki “tangan kotor” (158), “hendak memanfaatkan Nommensen”, menggunakan “tindakan keganasan” (171), “mengadakan kegiatan ganas” (171), tujuannya “didorong oleh keserakahan ekonomi dan militer”, dan pada pasukan Belanda, demikian ditulisnya, yang menonjol “hanya unsur kebinatangan manusia” (179).
Walaupun Nommensen pada Perang Toba I mendampingi pasukan Belanda dari hari pertama sampai hari terakhir, dan walaupun ia sangat berperan dalam pecahnya perang tersebut, Nommensen dan pihak zending jarang sekali disebut oleh Sidjabat, dan kalaupun disebut maka Nommensen dan kawan-kawannya digambarkan secara serba positif. Sidjabat berusaha keras meyakinkan pembaca bukunya bahwa “kehadirannya [...] bukan dalam rangka penjajahan” (156), Nommensen melakukan “pelbagai usaha untuk mengelakkan pertumpahan darah” (165), “berulang kali mengatakan kesediaannya menempuh jalan damai” (166), “tidak dapat menyetujui tindakan kekerasan yang digunakan oleh Belanda” (159), dan “merasa sedih sekali” melihat kampung-kampung Batak dibakar Belanda
Nommensen akhirnya ‘merasa pusing kepala dan terpaksa membaringkan dirinya di dekat sebatang pohon ara dekat Paindoan’. Hasil pekerjaannya sejak tahun 1876 di Toba pastilah akan mengalami kesulitan akibat tindakan kekerasan Belanda ini. [...] Pihak Nommensen bersama zendeling lain, yang memang terjepit dalam keadaan ini [maksudnya Perang Toba, U.K.], masih berusaha untuk mengelakkan pertumpahan darah.
Sidjabat tidak menafikan bahwa Nommensen memanggil Belanda ke Silindung tetapi ia berargumentasi bahwa Belanda bagaimana pun sudah bertekad masuk ke Silindung sehingga “Nommensen hanya bahan pelengkap saja dan bukan merupakan alasan sebenarnya mengirim serdadu ke Silindung.” Kalau pun, di samping laporan Nommensen kepada Belanda tentang rencana Singamangaraja untuk membunuh atau mengusir para penginjil dan semua orang beragama Kristen, masih ada alasan lain maka Belanda mau masuk ke Silindung, tetapi kesimpulan Sidjabat “bahwa kedatangan Belanda ke Silindung itu ialah atas permintaan Nommensen, tidak benar” bertolak belakang dengan laporan Nommensen sendiri. Sidjabat lalu meneruskan argumentasinya:
Nommensen masih berusaha sekuat tenaga untuk mendekati Residen Boyle dan Kontelir van Hoevel dan mengusulkan, agar jangan sampai mengadakan tindakan kekerasan.
Pertumpahan darah dan kekerasan berlebihan memang dapat memojokkan pihak zending, namun para penginjil bukan secara mutlak anti kekerasan. Pasukan bantuan Kristen yang dipersenjatai Belanda, dan yang dikecam keras bukan hanya oleh surat-kabar Hindia Belanda tetapi juga oleh surat kabar Belanda seperti Nieuwe Rotterdamsche Courant (20 Mei 1878) karena tindakan mereka yang “bengis dan keji” dalam Perang Toba I, dibela pihak zending dengan kata-kata berikut: “Memang benar bahwa mereka [pasukan bantuan Kristen, UK] diperintahkan Belanda untuk membakar beberapa kampung. Kalau dalam perang memang ada pertumpahan darah, hal itu perlu dimaklumi, di Eropa pun halnya demikian, namun para penginjil selalu berusaha agar tidak ada pertumpahan darah yang berlebihan.” (BRMG 1878 hal. 195)
Sidjabat mengakui bahwa tidak semua orang Batak berpihak pada Singamangaraja:
...semangat juang dari pihak rakyat tidak pernah mundur kecuali semangat mereka yang mengkhianati perjuangan
Namun secara umum timbul kesan seolah-olah para raja secara bahu-membahu melawan Belanda:
Pihak Singamangaraja pun segera pula mengadakan reaksi. Raja-raja dan para panglima diajak bermusyawarah untuk menentukan apakah mereka bersedia melihat daerahnya dipreteli atau mengadakan perlawanan. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1877. Mufakat pun tercapai untuk tidak membiarkan politik ekspansi Belanda berjalan terus.
Kenyataan yang sebenarnya jauh lebih kompleks sebagaimana yang diceritakan Sidjabat. Pihak zending melaporkan bahwa “banyak daerah yang sudah berulang
kali meminta kepada pemerintah Belanda agar wilayahnya dianeksasi”. Raja yang memeluk agama Kristen rata-rata setuju kalau Silindung dimasukkan ke dalam wilayah kolonial Belanda, dan juga di antara raja yang masih berpegang pada agama nenek moyangnya tidak semua anti Belanda.
Sangat penting bagi Sidjabat adalah rekonsiliasi zending dengan
Singamangaraja dan untuk upaya tersebut ia menyediakan sebuah BAB secara eksklusif: IX Sikap Sisingamangaraja XII terhadap Zending (hal. 395–411).
Menurutnya ada kontinuitas sikap dari Singamangaraja X hingga XII terhadap zending yang ditandai oleh rasa persahabatan: “tidak ada sikap permusuhan dari Si Singamangaraja X terhadap pihak zending” (157), melainkan “sejak tibanya pihak zendeling, hubungan dengan Singamangaraja segera dipelihara dengan baik (157), “Si Singamangaraja XI juga malah berkelakar dengan Nommensen” (158). Menurut Sidjabat Singamangaraja bukan “musuh bebuyutan pemerintah Belanda dan zending Kristen” sebagaimana ia dicap oleh pihak zending, melainkan anggapan zending itu hanya merupakan “godogan [sic!] pihak Kolonial Belanda.”
Kalau kita percaya pada kesimpulan Sidjabat maka para penginjil terus-menerus diakali dan dimanfaatkan Belanda. Sulit untuk mempercaya bahwa Nommensen dkk., apalagi pihak pimpinan RMG yang selalu memantau pekerjaan mereka dengan sangat seksama, begitu naif.
Pendekatan dikotomi hitam-putih yang sedemikian agaknya tidak sesuai dengan kenyataan, dan jelas tidak didukung oleh catatan para penginjil, terutama Nommensen dalam laporannya di BRMG.
Pada tahun 1876 Nommensen masih percaya bahwa pekerjaan zending bisa lebih sukses di daerah yang merdeka:
Menurut berita yang kami peroleh dari Sibolga, tampaknya pemerintahan Belanda untuk sementara tidak ditetapkan di Silindung. Berita itu menggembirakan. Makin lama makin kami sadari bahwa keadaan di daerah merdeka lebih mendukung daripada di daerah pemerintahan betapa pun kejamnya dan liarnya orang Batak merdeka bisa menyusahkan seorang penginjil. Orang Batak merdeka lebih bersemangat dan jiwanya lebih terbuka [daripada mereka di daerah yang dikuasai Belanda].
Namun alasan utama maka zending tidak menginginkan Belanda masuk karena para zendeling khawatir bahwa bersama dengan orang Belanda orang Islam akan masuk ke Tanah Batak:
Semoga dengan bantuan Tuhan kami berhasil mengkristenkan semua orang Batak di lembah ini [Silindung] sebelum datang pemerintahan Belanda karena pemerintahan Belanda tentu akan membawa orang Islam ke sini.
Sikap ini berubah setelah zending memiliki basis umat Kristen yang lebih kokoh. Pada tahun 1878, setelah keadaan di Silindung menghangat, zending meminta kepada pemerintah Belanda agar Silindung segera dimasukkan ke dalam wilayah Hindia-Belanda:
Kalau Belanda sekarang hendak menyelenggarakan pemerintahan maka hal ini tentu membawa berkat. [..] Apakah hal itu juga menguntungkan zending, apakah dengan pemerintahan Belanda agama Islam akan masuk adalah pertanyaan yang lain lagi. Oleh sebab itu maka para misionaris belum pernah meminta agar Silindung dianeksasi. Kalau hal itu sekarang diminta [...] jelas pemerintahan Belanda juga sangat bermanfaat bagi zending kita, dan bila kelak kita harus bersaing dengan agama Islam maka sekarang agama Kristen di Silindung sudah memiliki kemajuan yang susah terkejar? (BRMG 1878:118)
Ternyata zending tidak menduga bahwa permintaan mereka agar pemerintah mengirim pasukan ke Silindung akan mendapat kecaman keras.
Malahan pihak di Belanda yang bersahabat dengan zending keberatan dengan kenyataan bahwa penginjil kita meminta bantuan pemerintah Belanda. (BRMG 1878:193)
Menurut penginjil mereka tidak bersalah memanggil bantuan Belanda karena mereka berada di wilayah yang “pada hakikatnya” (eigentlich) berada di bawah kekuasaan Belanda. Masalahnya di sini bahwa mungkin de jure (secara hukum) Silindung sudah termasuk wilayah Hindia-Belanda tetapi tidak de facto (secara nyata) karena pemerintah Belanda tidak ada perwakilan apa-apa di sana dan pemerintahan sepenuhnya berada di tangan raja.
Kalau ada utusan Singamangaraja datang ke Silindung untuk menghasut rakyat – yang pada hakikatnya telah berada di bawah kekuasaan Belanda – dan menyerukan agar mereka tunduk pada Aceh, dan kalau penginjil kita mendengar rencana orang Aceh itu untuk mendirikan kekuasaannya di atas kerajaan Singamangaraja, dan berusaha lagi untuk menjatuhkan kekuasaan Belanda di Angkola, Mandailing, dan Padang Bolak, apakah penginjil kita bukan berkewajiban untuk segera melaporkan hal itu kepada Residen? Bukannya tidak bertanggung jawab kalau mereka tidak melakukan apa-apa? Kalau pemerintah Belanda, berdasarkan laporan penginjil kita, mengirim pasukannya ke Silindung apakah hal itu kesalahan penginjil kita? (BRMG 1878:94)
Alasan hukum sekali lagi dimanfaatkan ketika zending dikecam bersama dengan pasukan memasuki dan menduduki Bahal Batu yang termasuk wilayah Singamangaraja - hal mana sudah barang tentu merupakan provokasi. Di sini mereka menjawab bahwa 1. Bahal Batu pun sudah termasuk wilayah Belanda, dan 2. Singamangaraja hanya menjadi raja di Bangkara. Menarik untuk dicatat di sini
bahwa hanya setahun sebelumnya, 1977, Gubernur Sumatra menyuruh penginjil untuk meninggalkan Bahal Batu karena menurutnya Bahal Batu tidak termasuk wilayah Hindia-Belanda. Pernyataan itu memang kemudian ditarik kembali, tetapi kisah ini membuktikan bahwa pemerintah Belanda sendiri tidak mengetahui dengan pasti daerah mana yang termasuk wilayahnya dan mana yang tidak karena mereka tidak berminat untuk menyelenggarakan pemerintahan di daerah Silindung.
Pandangan dan interpretasi Sidjabat tentang sejarah seputar Perang Toba Pertama sekarang secara umum diterima, terutama oleh kalangan HKBP. Di dalam salah satu makalah keluaran HKBP berjudul Pahlawan Nasional Indonesia Si
Singamangaraja di mata HKBP oleh Pdt. Rachman Tua Munthe, Praeses HKBP
Distrik III Humbang, disebutkan bahwa,
...selama timbulnya bentrokan di antara Si Singamangaraja XII dengan pemerintah Belanda, Gereja (Zending) berada pada pihak ketiga yang mencoba mengadakan perjanjian perdamaian. Dengan demikian, pemerintah kolonial Belanda tidak sejajar dengan Zending dan Gereja. Munthe juga mengutip buku berjudul Abastraksi [sic!] Pelayanan DR. Ingwer Ludwig Nommensen di Tanah Batak:
Waktu perang Raja Sisingamangaraja XII melawan Tentara Belanda, Nommensen mengambil sikap bijaksana dan netral.
Tentu saja kepentingan zending dan pemerintah sering berbeda, tetapi di berbagai bidang kepentingan mereka sejajar, dan di bawah Fabri sebagai direktur RMG yang sekaligus merangkap sebagai guru, para calon misionaris belajar bahwa kepentingan misi pada hakekatnya sejajar dengan kepentingan pemerinth kolonial. Fabri, yang notabene menjadi penulis buku berjudul Bedarf Deutschland der
Colonien? (Apakah Jerman Membutuhkan Daerah Jajahan?) malahan menganjurkan
agar penginjilan dimanfaatkan sebagai alat untuk merintis penjajahan. Baik para misionaris maupun pegawai pemerintah kolonial yakin bahwa mereka berbuat baik dengan membawa peradaban pada bangsa Batak yang mereka cap sebagai liar dan biadab.
Para misionaris juga menekankan bahwa Belanda senantiasa dapat mengandalkan Batak Kristen sebagai teman yang setia:
Betapa orang Batak Kristen dapat diandalkan tampak jelas sekarang, sebagai orang Islam orang Batak takkan mungkin menjadi rakyat yang patuh pada Belanda. [...] memang benar bahwa orang Silindung yang Kristen adalah teman setia Belanda, dan bahwa pasukan bantuan mereka berperang bersama pasukan Belanda. (BRMG 1878:154)
Kesejajaran zending dan pemerintah tampak pada bahasa yang digunakan Nommensen. Ketika ia menceritakan kembali perjalanannya mengikuti ekspedisi Toba ia secara konsisten menggunakan kata ‘kami’. Kata ‘kami’ malahan digunakannya untuk kegiatan yang dilakukan tentara. Dari hal ini ternyata betapa Nommensen mengidentifikasikan diri dengan tentara:
• Sesudah Residen Boyle bersama Kolonel Engel naik ke sini bersama dengan
200 pasukan lagi maka kami mulai menyerang.
• Sekitar jam 3 sore kampung-kampung itu sudah di tangan kami. 10–12
laki-laki dan sekitar 70 perempuan jatuh ke tangan kami lalu ditawan.
• Di pihak kami dua yang meninggal dan 12 yang cedera.
• [...] berpura-pura menjadi teman dan mengatakan takluk pada kami.
• Sedangkan para pejuang di pihak Singamangaraja disebutnya sebagai
musuh:
• Belum ada berita tentang adanya gerakan dari pihak musuh.
• Pihak musuh menyerang dua kali masing-masing sekitar 500–700 orang.
Serangan kedua lebih kuat tetapi dua-duanya dapat ditangkis dengan mudah dan tanpa jatuhnya korban di pihak Belanda sementara di pihak musuh ada 20 orang yang cedera dan 2 yang mati. [...] Kalau pasukan di Bahal Batu dapat bertahan sampai pasukan tambahan tiba maka kemungkinan pihak musuh menang sangat tipis karena Belanda unggul dalam hal persenjataan dan disiplin.
• Dari Bahal Batu mereka menuju arah barat ke Butar dan menaklukkan
kampung-kampung yang berpihak pada musuh.
• Hal tersebut diutamakan oleh para zendeling supaya para musuh pun bisa
melihat niat baiknya.
• Setelah kami bekerja dengan tenang selama beberapa minggu musuh kami
yang jahat bergerak lagi.
• Simoneit dan Israel tinggal di sini untuk membantu kami kalau-kalau pos
diserang musuh.
• Pada malam hari tanggal 16 Februari musuh menembaki kamp tentara dan
meninggalkan tiga surat dari buluh yang mengumumkan perang terhadap kami.
• Setiap hari musuh datang, kadang-kadang ribuan orang.
• Kebanyakan musuh berasal dari daerah di sekitar Danau Toba, dari Butar
dan Lobu Siregar, digerakkan oleh Singamangaraja, seorang demagog yang menghasut dan mencelakakan rakyatnya.
• Beberapa kali peluru masuk ke rumah pada malam hari, dua kali musuh
Masih banyak lagi contoh dapat disebut yang menunjukkan bahwa para zending Batakmission jelas berpihak pada Belanda dan menganggap para pejuang yang ingin mempertahankan kemerdekaannya sebagai musuhnya.
Argumentasi Sidjabat dan pengarang lain yang sering menekankan adanya jarak antara penginjil RMG dan pihak Belanda karena bangsa mereka berbeda, tidak dapat diterima. Para penginjil RMG berkebangsaan Jerman sementara pemerintah kolonial dijalankan oleh bangsa Belanda. Dengan demikian, begitu kesimpulannya, penjajahan bukan kepentingan para penginjil. Hal itu keliru karena, sesuai dengan pelajaran mereka di seminaris RMG, penjajahan bangsa putih terhadap bangsa yang berwarna adalah hal yang penting demi mengangkat martabat bangsa keturunan Ham. Pihak penginjil RMG sama sekali tidak anti penjajahan melainkan mendukungnya dengan penuh hati.
Kita juga bisa melihat dari laporan Nommensen bahwa ia tidak begitu membedakan antara Belanda dan Jerman dan lebih menekankan kepentingan bersama dengan menggunakan istilah Eropa daripada Belanda:
Hal yang paling penting adalah bahwa Toba keluar dari isolasinya, terbuka pada pengaruh Eropa dan tunduk pada kekuasaan Eropa sehingga dengan sangat mudah zending kita bisa masuk. Memang ada kemungkinan bahwa orang Toba membenci orang Eropa setelah Belanda mengalahkan dan membakar kampung mereka. Namun hal itu tidak terjadi. (BRMG 1882:202)
Perlu juga diingatkan bahwa orang Belanda waktu itu masih menamakan bahasanya ‘Nederduits’ (Jerman Rendah) sementara Nommensen sendiri penutur asli bahasa Frisia yang merupakan salah satu dialek Jerman Rendah yang sangat dekat dengan bahasa Belanda. Selain itu, sesuai dengan pelajaran yang diperolehnya ketika belajar di seminaris, Belanda dan Jerman masih merupakan keturunan ras Germania yang sama.
Sebagaimana jauh para penginjil mengidentifikasikan diri dengan para penjajah tampak pada kutipan berikut:
Untuk menilai benar salahnya penaklukan Toba yang dilakukan dengan begitu cepat dan dengan sangat sedikit biaya maupun jumlah korban, maka perlu diperhatikan butir-butir berikut: [...] (BRMG 1882:202)
Rupanya bagi zending jumlah korban di pihak musuh mereka (pejuang Singamangaraja) tidak perlu dihitung. Tidak diketahui dengan pasti berapa banyak orang meninggal di pihak pejuang Singamangaraja dan sekutunya serta di kalangan penduduk sipil. Paling tidak puluhan namun lebih mungkin sampai beberapa ratus korban yang tewas belum lagi yang cedera. Jumlah yang tidak sedikit, tetapi yang diungkapkan zending dalam konteks ini malahan biaya perang.
Kedekatan Nommensen dan para penginjil lain dengan penjajah sebenarnya tidak mengherankan mengingat pendidikan yang mereka peroleh di RMG. Fabri, Direktur RMG, menekankan agar para penginjil senantiasa menjalin kerja sama yang erat dengan pemerintah kolonial karena tujuan zending dan pemerintahan kolonial pada hakikatnya sama.
RMG memang senantiasa berusaha untuk melakukan konsolidasi agama dan politik, tidak hanya di Batakmission tetapi juga di wilayah kerja yang lain seperti di Afrika Selatan. Di situ pun RMG tetap berusaha untuk menjalin hubungan yang baik dengan pemerintah kolonial dan membantunya. Sejak pemberontakan Herero pada tahun 1904 para misionaris tidak menaruh simpati apa pun pada gerakan kemerdekaan masyarakat hitam di Afrika Selatan. Demikian juga di Tanah Batak. Ketika benih gerakan kemerdekaan mulai tumbuh di kalangan orang Batak, dan ketika Kristen Batak meminta agar mereka dapat menentukan sendiri nasib gerejanya maka RMG dengan sangat tegas menolak gagasan kemandirian gereja Batak dan mengutuk organisasi Batak seperti Hatopan Kristen Batak dengan alasan bahwa kemandirian bertentangan dengan kehendak Tuhan yang memang sudah
menakdirkan orang putih sebagai pemimpin1.
Nommensen juga memuji perwira dan pegawai administrasi Belanda:
Berkat tangan Tuhan, [...] dan hal ini menjadi tanda bahwa Tuhan menghendaki rakyat hidup dalam kedamaian, berkat tangan Tuhan ekspedisi militer dikepalai oleh seorang yang sudah bertahun-tahun mengenal orang Batak, orang yang mengetahui kepentingan rakyat, dan yang didampingi perwira yang merasa belas kasihan dengan musuh, yang disegani musuh karena keberaniannya menyerang, yang dengan lapang hati tidak mengejar mereka yang lari. Dengan demikian orang Batak dapat kesan betapa besar keagungan dan kemuliaan orang Eropa sehingga
mereka tidak dapat membenci kita, apalagi karena Tuhan
menunjukkannya bahwa mereka sendiri bersalah. (BRMG 1882:204) Perlu ditekankan bahwa Nommensen membantu pemerintah dan tentara Belanda dengan rela hati tanpa ada unsur paksaan apa pun. Nommensen melakukannya karena menurut apa yang dipelajarinya di seminaris RMG di Barmen para penginjil berkewajiban untuk selalu bekerjasama dengan pihak pemerintah kolonial dan karena ia percaya bahwa orang Batak hanya bisa menjadi manusia yang beradab bila berada di bawah kekuasaan bangsa Eropa.
Belakangan ini saya membaca sebuah esai di internet yang ditulis oleh Limantina Sihaloho, seorang teolog dari Sumatra Utara:
Secara pribadi, saya juga kagum pada I.L. Nommensen. Masalahnya,
kagum saja tidak cukup. Menjadikan seseorang menjadi legenda bahkan mitos juga dapat berbahaya. Sayangnya manusia mempunyai kecenderungan untuk melegendakan dan memitoskan seseorang terutama yang telah lama meninggal. [...] Nommensen adalah anak zamannya, dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Makalah ini tidak bermaksud untuk mengurangi rasa kagum pada laki-laki suku Frisia dari pulau Nordstrand itu, tetapi sebagai salah satu sumbangan agar I.L. Nommensen dan tokoh penginjilan Batak lainnya dipandang sebagai “anak zaman dengan segala kelebihan dan kekurangannya” dan tidak sebagai tokoh legendaris. Seorang tokoh dari abad 19 tidak patut dinilai berdasarkan nilai-nilai abad ke-21. Bila sekarang seorang Jerman mengatakan bahwa bangsa Jerman lebih unggul dari bangsa lain maka orang itu pasti ditertawakan. Konsep keunggulan ras kini dianggap sebagai sesuatu dari zaman yang berlalu yang sama sekali tidak ada tempat dalam masyarakat Jerman modern. Pada awal abad ke-21 paham keunggulan ras Germania dianggap sebagai paham yang sesat sementara pada abad ke-19, zamannya Nommensen, keunggulan ras putih dianggap sebagai kenyataan.
Nommensen dilahirkan pada tahun 1834 di pulau Nordstrand (yang bila diterjemahkan berarti Pantai Utara). Ketika ia berumur 14 tahun gerakan demokrasi Jerman memberontak melawan kekaisaran, namun revolusi itu gagal. Waktu Nommensen masuk seminaris RMG pada tahun 1857 Jerman belum bersatu tetapi terdiri atas puluhan negeri kecil yang masing-masing berhak untuk membuat peraturan sendiri. Ketika Nommensen pindah ke Pearaja, negeri Jerman (Deutsches
Reich) baru berumur dua tahun. Setelah kerajaan-kerajaan kecil akhirnya bersatu
dalam Deutsches Reich maka Jerman mengalami perkembangan yang pesat dan barangkali menjadi negara termaju di dunia. Namun, beda dengan negara Eropa lainnya, Jerman, yang baru menjadi sebuah negara pada tahun 1871, belum memiliki daerah penjajahan.
Nommensen dan penginjil RMG lainnya bukan hanya anak zaman, tetapi juga dipengaruhi oleh aliran teologi yang dominan di seminaris RMG.
Sejarah Masuknya Injil ke Tanah Batak
“Gerakan penginjilan [...] bermula bertepatan dengan waktu munculnya kolonialisme, imperialisme, dan, sebagai akibatnya, rasisme. Oleh sebab itu maka gerakan penginjilan secara hakiki terkait dengan sejarah rasisme.”
Ph. Potter, Dewan Gereja Se-Dunia2
Orang-orang yang memainkan peranan penting pada sejarah masuknya injil ke Tanah Batak kini hampir terlupakan. Nama seperti Franz Wilhelm Junghuhn, Pieter Johannes Veth, Herman Neubronner van der Tuuk, dan Friedrich Fabri kini jarang disebut dalam publikasi yang berkaitan dengan sejarah penginjilan di Indonesia. Ahli botani F. W. Junghuhn mungkin orang pertama yang menganjurkan agar injil dibawa ke Tanah Batak. Usulan Junghuhn kemudian menarik perhatian direktur Serikat Penginjilan Belanda P. J. Veth. H.N. van der Tuuk menjadi orang pertama yang menerjemahkan injil kepada bahasa Batak, dan Friedrich Fabri menjadi 'otak' di balik penginjilan orang Batak.
Franz Wilhelm Junghuhn (1809–1864) lahir di Mansfeld, Kerajaan Westfalia
(sekarang menjadi bagian Jerman). Oleh orang tuanya ia dipaksa menjadi seorang dokter namun ia jauh lebih tertarik pada botani dan geologi. Pada tahun 1834 ia pindah ke Belanda dan pada tahun 1852 Junghuhn memilih menjadi warga negara Belanda. Karena ingin ke Hindia-Belanda maka ia mendaftar di tentara Belanda sebagai dokter tentara. Tahun 1836 Junghuhn tiba di Jawa dan pada tahun 1840 ia ditugaskan ke Padang. Di dalam kapal ia bertemu dengan Pieter Merkus, seorang pejabat yang pada tahun 1841 menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Berkat bakat geologi dan botani Merkus menugaskannya untuk meneliti Tanah Batak yang pada saat itu masih merdeka.
Pada waktu itu pemerintah kolonial masih berpegangan pada kebijakan untuk tidak memperluas wilayah Hindia Belanda melainkan membatasinya pada Jawa, Maluku, dan beberapa daerah di Sumatra. Karena politik tidak campur tangan dalam urusan raja-raja di Nusantara (onthoudingspolitiek) maka Belanda tidak mempunyai rencana konkret untuk mencaplok Tanah Batak, tetapi karena sudah ada beberapa raja yang mengutarakan niatnya tunduk pada Belanda maka pemerintah Belanda menganggapnya penting untuk lebih mengetahui keadaan daerah yang nantinya dapat dipergunakan kalau sudah tiba saatnya untuk masuk ke Tanah Batak.
Informasi yang dicari tentu informasi yang sesuai dengan kebutuhan penjajah. Mereka ingin mengetahui topografi daerah, kesuburan tanah, jalan darat dan jalan sungai, jarak antar kampung, iklim, kesuburan tanah, hasil bumi, sumber daya
2 Philip Potter, Sekretaris Jenderal Dewan Gereja Se-Dunia tahun 1972-1984: “Die
missionarische Bewegung (...) entstand genau in der Zeit, als Kolonialismus, Imperialis- mus und als eine Folge davon der Rassismus aufkamen. Deshalb ist die missionarische Bewegung auch auf Gedeih und Verderb mit der Geschichte des Rassismus verbunden.” [Dikutip dari Jura 2002:285].
alam, potensi pertambangan, jenis kayu yang cocok untuk membangun kapal, dsb. Junghuhn juga diminta membuat peta dan mencari informasi tentang kebudayaan, adat, dan pemerintahan di Tanah Batak termasuk lembaga-lembaga pemerintahan yang ada, sistem hukum yang berlaku, adat-istiadat, bahasa, aksara, dan juga tentang kanibalisme.
Pada 2 Oktober 1840 Junghuhn tiba di Teluk Tapanuli. Kontrak kerjanya tidak terbatas sehingga dapat disimpulkan bahwa pemerintah Belanda menghendaki Junghuhn lama tinggal di daerah Batak untuk melakukan penelitian yang sungguh-sungguh. Akan tetapi keadaan kesehatan tidak mengizinkannya tinggal lama di daerah Batak. Sesudah menetap di Barus selama delapan belas bulan terpaksa Junghuhn kembali ke Jawa dalam keadaan sakit parah. Ekspedisi pertama Junghuhn ke Tanah Batak merdeka dimulai pada pertengahan November 1840 dan membawanya ke Hurung, Humbang, dan Lembah Silindung. Pada akhir Desember Junghuhn sudah harus kembali karena jatuh sakit.
Perjalanan kedua dimulai pada 2 November 1841 tetapi hanya berlangsung selama dua minggu karena sekali lagi Junghuhn jatuh sakit. Pada ekspedisi yang pertama Junghuhn didampingi oleh lima belas kuli pengangkat barang dan pembantunya yang terdiri dari orang Melayu, Nias, dan Jawa. Dua raja Batak dari wilayah pemerintah yang masing-masing membawa anak buahnya sendiri menjadi pengawal dan sekaligus penerjemahnya. Kedua orang Batak dan pembantunya dipersenjatai dengan bedil yang modern. Seluruh anggota rombongan sekitar 25 orang (Angerler 1993: 6).
Walaupun sakit-sakitan selama berada di Tanah Batak Junghuhn sempat menulis dua jilid dengan hasil penelitiannya berjudul Die Battaländer auf Sumatra. Bukunya dibagi atas enam belas BAB yang mengandung informasi tentang asal-usul, ras, kebudayaan, adat-istiadat, sistem hukum, perbudakan, kanibalisme, permainan, musik, dan terutama tentang segala kegiatan ekonomi termasuk pertanian, peternakan, dan irigasi.
Sesuai dengan permintaan pemerintah kolonial yang mempekerjakannya, Junghuhn memberi rekomendasi bagaimana “orang Batta dapat dijadikan warga negara yang patuh” (die Battäer zu gehorsamen Unterthanen zu machen). Antara lain ia memberi saran agar Belanda jangan mengangkat seorang Batak menjadi kepala pemerintahan karena hal itu akan dimanfaatkan untuk memberontak melawan Belanda. Junghuhn menyarankan agar Belanda membiarkan keadaan asli tanpa pemerintahan pusat karena hal itu membantu menaklukkan orang Batak. Menurut Junghuhn daerah Batak lebih baik diperintah langsung oleh Belanda. Perlu dicatat di sini bahwa Belanda pada umumnya lebih suka memerintahkan para
pribumi dengan memanfaatkan struktur pemerintahan yang sudah ada. Belanda biasanya tidak suka bila bangsa pribumi diperintah langsung oleh pegawai Belanda karena biayanya lebih tinggi. Namun demikian ternyata Belanda memperhatikan nasihat Junghuhn sehingga daerah Batak menjadi salah satu dari tidak banyak wilayah di Indonesia yang diperintah secara langsung.
Menurut ukuran zamannya Junghuhn dapat digolongkan liberal. Ia amat kecewa melihat keadaan tanah airnya: “Di Eropa kita lihat penderitaan, kemiskinan, kelaparan, penjara penuh dengan penjahat, perbudakan yang dihalalkan oleh gereja, perampokan, pembunuhan, ketidakpuasan rakyat terhadap penguasa, pergolakan berdarah, penguasa yang takut pada rakyat – perang! – kapal dan benteng pertahanan diledakkan, ribuan manusia dikorbankan dalam sedetik; orang saling mencurigai, benci...” Junghuhn terutama menyalahkan gereja Kristen untuk keadaan Eropa yang begitu menyedihkan. Sebagai seorang Freidenker dan panteis ia bersikap tidak bersahabat pada agama Kristen dan menolak secara tegas upaya penginjilan di Jawa.
Apa alasan maka dalam Die Battaländer auf Sumatra Junghuhn yang sendiri anti-Kristen menyarankan agar pemerintah kolonial memperkenalkan agama Kristen pada orang Batak? Ternyata untuk “memperkenalkan agama kontra-Islam” (Junghuhn, 1847a:119; 1847b:20 catatan kaki). Pencegahan masuknya agama Islam di Tanah Batak merupakan “kebijakan yang teramat penting”. Agar cepat orang Batak masuk Kristen dan jangan telanjur menjadi Islam maka ia tidak keberatan “bila konversi pada agama Kristen hanya bersifat nominal”. (Junghuhn, 1847b:83 catatan kaki).
Dalam BAB 1 yang membahas ras dan asal-usul orang Batak, dan BAB 16.1 tentang watak, adat, dan hukum Batak, Junghuhn tiba pada kesimpulan yang, ditinjau dari sudut pandang abad ke-21, kedengaran sangat aneh. Ia melihat adanya kemiripan antara bangsa Batak dan bangsa Eropa!
Tingkat budaya orang Batak tidak dapat dikatakan rendah walaupun tentu masih jauh dari bangsa-bangsa Eropa. Dari bentuk tengkorak maupun muka tampak bahwa orang Tobah yang belum bercampur [dengan bangsa lain] tidak termasuk ras Melayu apalagi ras Mongoloid. Tubuhnya menunjukkan kemiripan dengan ras hindu-kaukasus (indo-eropa). Muka mereka oval dan harmonis dengan bentuk yang lebih indah daripada orang Melayu. (Junghuhn, 1847a:275)
Warna kulit yang cokelat cenderung menjadi putih, terutama pada perempuan yang kulitnya biasanya sangat halus sehingga pipinya kelihatan kemerah-merahan. Rambutnya tidak hitam melainkan, khusus, pada perempuan, cokelat tua dan lebih halus daripada rambut orang Melayu atau orang Jawa, hampir seperti sutera. Tubuhnya berotot dan
proporsi tubuhnya seimbang.3” (ibid. hal. 7)
Anehnya kemiripan dengan bangsa Eropa terutama ia dapatkan pada perempuan Batak!
Bentuk muka oval yang dapat disebut sub-Yunani lebih sering dapat ditemukan pada perempuan Toba sementara laki-laki lebih cenderung memiliki wajah monyet Melayu yang jelek. (ibid.)
Uraian Junghuhn menarik perhatian Pieter Johannes Veth (1814-1895), guru besar pada Universitas di Leiden dan pendiri Indisch Genootschap, yang sejak 1843 menjadi anggota dewan pimpinan Nederlandsch Bijbelgenootschap (Lembaga
Alkitab Belanda)4. Pada rapat tahunan NBG tahun 1847 Veth membacakan halaman
275 dari buku Junghuhn Die Battaländer auf Sumatra kepada anggota-anggota dewan NBG. Masih pada tahun yang sama NBG memutuskan bahwa penginjilan orang Batak perlu dilaksanakan.
NBG langsung memulai persiapan penginjilan dengan mempekerjakan Herman
Neubronner van der Tuuk (1824-1894), seorang ahli bahasa yang masih sangat
muda, untuk meneliti bahasa Batak dan untuk menerjemahkan kitab Injil. Van der Tuuk lahir di Melaka dari seorang ayah berkebangsaan Belanda dan seorang ibu yang separuh Jerman dan separuh Indo. Setahun sesudah Melaka menjadi wilayah Inggris sebagai akibat Perjanjian London (1824) keluarga Van der Tuuk pindah ke Surabaya. Tahun 1836 Herman Neubronner van der Tuuk disekolahkan ke Belanda dan mulai tahun 1840 pada usia 16 tahun ia mulai kuliah hukum, di Groningen dan di Leiden. Di sana ia juga mempelajari bahasa Arab, Farsi, dan Sansekerta.
Kerena bakatnya yang luar biasa – ia dikatakan bisa mempelajari sebuah bahasa dalam waktu hanya tiga bulan – maka ia dipekerjakan oleh Nederlandsch Bijbelgenootschap untuk meneliti bahasa-bahasa Batak, dan untuk menerjemahkan alkitab injil. Selama berada di daerah Batak (1851-1857) Van der Tuuk menerjemahkan sebagian dari alkitab injil ke dalam bahasa Toba, menyusun kamus bahasa Batak (Mandailing, Toba dan Pakpak) – Belanda, menyusun tata bahasa Toba yang menjadi terkenal sebagai tata bahasa pertama yang ilmiah di Hindia
3 Dabei verbleicht der braune Teint der Haut immer mehr, besonders bei den Frauen, deren
Haut im Allgemeinen sehr zart ist, so daß selbst ein schwaches Rosenroth der Backen hindurch schimmert. Dabei sind die Haare nicht schwarz, sondern gewöhnlich, und bei den Frauen vorzugsweise, dunkelbraun und viel zarter, seidenartiger, als bei den Maleien und Javanen. Der Körper ist wohlgebaut, stark muskulös.
4 NBG itu bukan lembaga zending dalam arti yang sebenarnya karena tidak menyediakan
zendelingen (penginjil) melainkan ahli bahasa untuk mempersiapkan dan melaksanakan terjemahan alkitab.
Belanda, dan sebuah kumpulan cerita rakyat dalam bahasa Toba, Mandailing, dan Pakpak.
Ketika memutuskan untuk mempekerjakannya NBG sudah menyadari bahwa van der Tuuk adalah seorang ateis namun di lain pihak NBG juga sadar akan kemampuan intelek Van der Tuuk. Walaupun Van der Tuuk kerap kali menghina para penginjil sebagai “pengobral buku murahan” ia juga bersikap setia pada NBG sehingga ada dua pihak yang bertolak belakang tetapi sekaligus juga saling melengkapi. Walaupun seorang ateis, Van der Tuuk juga tiba pada kesimpulan yang sama dengan Junghuhn: Orang Batak harus diinjilkan untuk membendung pengaruh Islam di bagian utara pulau Sumatra.
Upaya penginjilan di Tanah Batak dipelopori oleh Hermanus Willem Witteveen
(1815– 1884) yang pada tahun 1859 mendirikan Jemaat Zending
(Zendingsgemeente) dan Gereja Zending (Zendingskerk) di Ermelo5. Seusai
kebaktian pada tanggal 11 Desember 1853 seorang pemuda yang seharian bekerja sebagai pengembala kambing mendatangi Pastor Witteveen karena hendak menjadi penginjil (Groot 1984: 90). Suatu hari ketika pemuda yang bernama
Gerrit van Asselt (1832–1910) itu berada di ladang ia tiba-tia mendengar
Mazmur 96:2 “Bernyanyilah bagi Tuhan dan pujilah Dia; setiap hari siarkanlah kabar gembira bahwa Ia telah menyelamatkan kita.” Beberapa minggu kemudian ketika ia bangun tidur terdengar lagi suara Yesaya 60:1 “Bangkitlah, menjadi teranglah, sebab terangmu datang, dan kemuliaan Tuhan terbit atasmu.” Pemuda setengah buta huruf itu lalu belajar pada Pastor Witteveen. Ds Witteveen menghubungi Nederlandsche Zendelinggenootschap (NZG) menanyakan apa von Asselt bisa menjadi tukang pada zending NZG. Akan tetapi permintaan itu ditolak dengan alasan bahwa si Gerrit itu terlalu bodoh untuk mempelajari bahasa asing. Selain itu van Asselt dianggap terlalu fanatik. Namun akhirnya Witteveen berhasil untuk meyakinkan Persatuan Pendukung Zending Perempuan Amsterdam (Amsterdamsche Vrouwenvereeniging tot bevordering der Zendingszaak) yang dipimpin oleh Wilhelmina E. van Vollenhoven untuk menampung Van Asselt. Lalu Van Asselt berangkat ke Amsterdam untuk belajar di seminaris. Ia belajar bahasa Melayu dari Isaäc Esser (1818–1885) yang dari 1861–1864 menjadi residen di Timor. Esser sering mengadakan ceramah tentang Sumatra, antara lain dengan tujuan untuk mencari uang buat Van Asselt. Esser menginginkan agar van Asselt menjadi penginjil di Sumatra untuk “menaklukkan kerajaan Minangkabau untuk Tuhan.” Pada tahun 1856 Gerrit van Asselt mendampingi H.C. Klinkert (yang
5 Pastor Witteveen menjadi salah seorang pendiri Vrije Evangelische Gemeenten (Jemaat
menerjemahkan alkitab Injil ke dalam bahasa Belanda) ke Batavia. Setiba di sana ia minta izin pada pemerintah untuk berangkat ke Sumatra Barat agar –sesuai dengan amanat Esser– menyebarkan injil di ranah Minangkabau. Namun permintaannya ditolak karena daerah itu sudah menjadi Islam, dan ia ditawari gubernur menjadi administrator perkebunan kopi di Sipirok sambil menyebarkan injil.6 (Groot 1984: 91-93)
Sementara ini ada tiga pemuda lainnya yang pernah bertemu dengan Esser ketika beliau berceramah tentang Sumatra di muka “Persatuan Pemuda Pekerja” di Amsterdam. Secara teratur ketiga tukang itu belajar pada Esser dan lalu mereka ditahbiskan oleh Pastor Witteveen.
Pada tahun 1859 Pastor Witteveen lalu mengutus ketiga pemuda itu, yaitu Friedrich Wilhelm Betz (1832–1881), J. Dammerboer, dan J.Ph.D. Koster, untuk mendampingi van Asselt di Sumatra. Ketika mereka bergabung dengan van Asselt di Sipirok maka Van Asselt pun meninggalkan pekerjaan sebagai administrator kebun untuk bersama dengan Betz membuka pos zending di Silindung. Namun permintaan Asselt ditolak gubernur dengan alasan keamanan dan juga karena pemerinta tidak berniat untuk memperluas pengaruhnya hingga ke Tanah Batak yang masih merdeka. Lalu mereka memutuskan untuk memperluas kegiatan
zending ke Angkola. Betz bertugas di Bunga Bondar dari tahun 1860 hingga 18697
sementara Dammerboer, Koster dan van Dalen (yang ditahbiskan di Ermelo pada 21-10-186) membuka pos di Huta Rimbaru, dan Pargarutan (Angkola) sementara Van Asselt tetap di Parau Sorat (Sipirok). Dammerboer lalu memutuskan untuk meninggalkan zending. (BRMG 1910:253-257) (Groot 1984: 93-94)
Pada tahun 1859 serikat penginjilan Rheinische Missionsgesellschaft yang berkedudukan di Barmen (Wuppertal), Jerman, mengalami musibah. Sembilan penginjil RMG dibunuh ketika Perang Banjar meletus di Kalimantan sementara penginjil yang lain diamankan ke Pulau Jawa.
Ketika itu Friedrich Fabri (1824-1891) menjadi Direktur RMG (1857-1884). Ketika Fabri berkunjung ke Amsterdam untuk menjejaki kemungkinan untuk menempatkan para misionaris yang sedang berada di Jawa di tempat yang lain. Sewaktu berada di kantor NBG Fabri melihat injil Yohanes hasil terjemahan Van der Tuuk. Pada kunjungan itu Fabri juga bertemu langsung dengan van der Tuuk yang
6 Van der Tuuk sangat terkejut mendengar bahwa zending Batak diprakarsai oleh Van
Asselt yang dianggapnya kampungan dan secara intelek tidak mampu menangani tugas yang sedemikian berat.
7 Christian Philip Schütz (1838–1922) menjadi pengganti Betz di Bunga Bondar dari tahun
1868 hingga ia pensiun pada tahun 1912. Bertugas selama 44 tahun Schütz hanya sekali berlibur ke Jerman (1893–1895).
pada saat itu sedang berada di Amsterdam. Lalu pihak RMG menghubungi Domine Witteveen untuk menjejaki kerjasama antara Zendingskerk Ermelo dengan RMG.
Setelah dirundingkan dengan Pastor Witteveen maka diputuskan bahwa ketiga misionaris dari Domine Witteveen yang sudah ada di Sumatra, yaitu van Asselt, Betz, dan Dammerboer selanjutnya dipekerjakan oleh RMG dan diperbantukan oleh tiga misionaris dari Kalimantan, Karl Klammer, Carl Wilhelm Heine, dan Ernst Ludwig Denninger. Pada 7 Oktober 1861 empat penginjil, yaitu Van Asselt, Betz, Heine dan Klammer (Dammerboer sudah meninggalkan zending sedangkan Denninger masih berada di Padang) mengadakan pertemuan untuk membicarakan kelanjutan penginjilan di Tanah Batak. Betz ditempati di Bunga Bondar, Klammer di Sipirok, dan Van Asselt bersama Heine membuka pos baru di Pangaloan. Tanggal 7-10-1861 kini dianggap sebagai hari jadi Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Tidak lama kemudian L.I. Nommensen bergabung dengan mereka. Awalnya Nommensen ditempatkan di Barus dan dari situ ia berangkat ke Angkola untuk bergabung dengan keempat penginjil yang sudah berada di sana.
Misi di daerah-daerah selatan (pos zending di Sipirok, Bunga Bondar, Prau Sorat) berada di wilayah pemerintah kolonial Belanda. Pada awalnya pemerintahan belum stabil, tetapi mulai tahun 1875 sudah ada seorang kontrolir berkebangsaan Belanda. Pada awal kedatangan para penginjil masih belum banyak orang yang menganut agama Islam dan terutama pada periode sekitar 1867–1871 ada kemajuan yang pesat di daerah selatan sehingga pada tahun 1871 telah ada hampir 700 orang yang menganut agama Kristen. Pada tahun-tahun berikut tidak ada lagi kemajuan yang berarti. Tahun 1873 tidak ada lagi pertumbuhan di Bungabondar karena hampir seluruh penduduk telah memeluk agama Islam kecuali 308 orang yang memilih agama Kristen (JB 1873:27). Keadaan yang sama juga dilaporkan dari Sipirok dan Parausorat (JB 1874:12).
Ludwig Ingwer Nommensen
L.I. Nommensen (kadang-kadang namanya juga ditulis I. L. Nommensen) dilahirkan pada 6 Februari 1834 di Nordstrand, wilayah Schleswig yang pada masa itu menjadi bagian dari Kerajaan Denmark. Setelah mengalami kecelakaan ketika berusia 12 tahun ia berjanji akan menjadi penginjil. Ia diterima di seminaris RMG di Wuppertal-Barmen (1857–1861) dan setelah tamat Nommensen langsung pergi ke Belanda untuk naik kapal ke Sumatra bertepatan dengan malam Natal 1861. Di Amsterdam, Nommensen masih sempat belajar bahasa Batak pada H.N. van der Tuuk yang pada saat itu sedang berada di Belanda.
L. I. Nommensen umumnya dianggap sebagai salah seorang misionaris yang paling berhasil. Pada tahun kematiannya gereja Batak Toba Huria Kristen Batak Protestant memiliki 500 paroki dengan 180.000 jemaah, 34 pastor (pandita Batak), hampir 800 guru dan lebih dari 2.000 Sintua. Tahun 1940 HKBP menjadi mandiri, 1948 menjadi anggota Dewan Oikumene (ÖkumenischerRat der Kirchen), dan 1952 menjadi anggota Serikat Dunia Luther (Lutheranischer Weltbund). Dengan jumlah jemaah sekitar 2,5 juta HKPB menjadi gereja terbesar di Asia Tenggara. Atas jasanya tahun 1904 Nommensen memperoleh gelar doktor honoris causa dari Universitas Bonn, dan tahun 1911 ia memperoleh penghargaan Kerajaan Belanda dengan menjadi Officier8 Ordo Oranye-Nassau.
Kini nama Nommensen terlupakan oleh orang Jerman. Hal itu terutama disebabkan bahwa malahan dalam lingkungan gereja upaya penginjilan sering dianggap sebagai tindakan pemaksaan terhadap bangsa-bangsa “berwarna” dalam konteks imperialisme kolonial.
Dalam Pengakuan Bersalah (Schuldbekenntnis) tertanggal 27-9-1971 secara resmi Vereinigte Evangelische Mission, (VEM) sebagai pengganti RMG mengakui: “Kami terlalu sering menyerah pada godaan bersekongkolan dengan para penguasa sekuler dengan mengorbankan saudara dan saudari pribumi.”9
Sejak awal sekali para misionaris sebetulnya menargetkan daerah Toba dan Silindung yang padat penduduk. Tahun 1861, segera sesudah dikirim ke Sumatra, Nommensen mengadakan perjalanan ke daerah Toba dan disambut dengan baik, namun pemerintah melarangnya untuk menetap di sana. Pemerintah tidak bersikap anti-zending dan malahan sangat mendukung upaya penginjilan, tetapi para penguasa takut bahwa kehadiran misionaris akan mengakibatkan adanya pemberontakan sebagaimana terjadi di Kalimantan tahun 1859 (Perang Banjar). Karena tidak dapat menetap di Toba terpaksa Nommensen ditempatkan dulu di Parausorat. Pada November 1863 ia mengadakan perjalanan ke Silindung untuk melacak kemungkinan akan diterima di sana, namun sambutan penduduk tidak begitu hangat: “Mereka mengemukakan kekhawatiran (yang memang bukan tidak beralasan) bahwa apabila sudah ada guru asal Eropa yang menetap di antaranya hal itu pasti akan berujung pada aneksasi tanah mereka ke dalam wilayah pemerintah Belanda.” (JB 1863:46)
Baru pada bulan Mei tahun 1864 Nommensen, dengan bantuan raja Pontas Lumbantobing, pindah ke lembah Silindung. Walaupun mendapatkan perlawanan yang hebat dari penduduk, ia berhasil membaptis beberapa keluarga di bulan Agustus 1865. Setahun kemudian Nommensen didampingi oleh Peter Hinrich Johannsen (1839-1898) yang juga berasal dari Schleswig (tempat kelahiran Johannsen, Weddingstedt di Holstein, tidak jauh dari kampung halaman
8 Penghargaan tersebut ada enam tingkatan. Penghargaan yang tertinggi adalah Ridder
Grootkruis, diikuti oleh Grootofficier, Commandeur, Officier, Ridder, dan Lid.
9 “Wir bekennen, daß wir oftmals der Versuchung erlegen sind, mit den weltlichen
Machthabern auf Kosten unserer einheimischen Brüder und Schwestern
zusammenzuarbeiten”. Dikutip dari majalah Vereinte Evangelischen Mission In die Welt - für die Welt No. 12/1971, hal. 13).
Nommensen). Beliau yang antara lain terkenal karena menerjemahkan alkitab ke dalam bahasa Batak, mendirikan pos zending yang baru di Pansur na Pitu (1867) dan menjadi misionaris dan guru di sana hingga ia meninggal pada tahun 1898.
Walaupun RMG mengalami kesulitan dalam soal keuangan, penginjilan di Silindung mereka prioritaskan dengan menambahkan pos-pos zending baru di Sipoholon (1870), Simorangkir (1875), dan Bahal Batu (1876). Jumlah orang Kristen, walaupun masih minoritas, berkembang dengan pesat dan pada tahun 1870an golongan Batak Kristen di Silindung sudah cukup besar untuk menjadi kekuatan sosial dan politik.
Mulai tahun 1830 Belanda memutuskan untuk tidak lagi memperluas wilayah kekuasaan di Indonesia. Alasannya karena daerah di luar Jawa akan kurang menguntungkan bagi negara Belanda, dan juga karena administrasi kolonial tidak sanggup memerintah seluruh Nusantara yang luasnya lebih dari empat puluh kali lipat negara induknya. Oleh sebab itu wilayah jajahan Belanda di Nusantara dibatasi pada Pulau Jawa, Ambon serta beberapa daerah di Sumatra. Masih pada tahun 1861 menteri untuk urusan penjajahan (minister van koloniën) mengatakan bahwa tiap upaya perluasan wilayah berarti “suatu langkah lagi menuju kehancuran
kita”10. Kebijakan onthoudingspolitiek (politik tidak campur tangan) itu baru mulai
ditinggal pada tahun 1870an sehingga pada tahun 1907 hampir semua wilayah di Nusantara sudah menjadi bagian dari Hindia Belanda.
Suatu peristiwa yang sangat penting untuk sejarah Sumatra bagian utara adalah pembukaan terusan Suez pada tahun 1869. Sebelum terusan Suez dibuka kepulauan Indonesia dicapai melalui Selat Sunda dari Afrika. Dari terusan Suez, laluan ke Indonesia, dan juga ke Singapura yang dikuasai Inggris, lebih pendek melalui Selat Melaka. Inggris yang merasa terganggu oleh pembajak laut di perairan Aceh membatalkan Perjanjian Sumatra 1824 yang menjamin kedaulatan Aceh dan menandatangani Perjanjian Sumatra 1871 yang memberi Belanda keleluasaan untuk berdagang di seluruh Sumatra termasuk Aceh sementara Belanda berjanji untuk menjamin keamanan di Selat Melaka. Akibat Perjanjian Sumatra, Aceh mengadakan hubungan diplomatik dengan Konsul Amerika Serikat, Kerajaan Italia, Kesultanan Usmaniyah (Turki) di Singapura yang pada giliran dijadikan alasan Belanda untuk menyerang Aceh.
Kehadiran para zendeling di Tanah Batak tentu tidak disetujui oleh Singamangaraja XII yang menggantikan ayahnya pada tahun 1867 apalagi setelah mereka mengundang Gubernur Pantai Barat Sumatra Arriens menjelang Natal
1868. Pada kesempatan itu para misionaris menekankan kepada gubernur bahwa mereka akan menyambut baik aneksasi Tanah Batak demi adanya pemerintah yang menjalankan hukum dan keadilan (Recht und Gerechtigkeit) (BRMG 1869:300, BRMG 1871:142-3). Misionaris Johannsen malah menganggap Arriens sebagai “sungguh-sungguh wakil Allah yang untuk membawa kesenangan bagi Silindung”11.
Tentu Singamangaraja merasa kedaulatannya diingkari dengan kedatangan pembesar Belanda ke dalam wilayah kekuasaan Singamangaraja tetapi ternyata tidak ada reaksi apa-apa mungkin karena beliau masih muda dan belum cukup berpengalaman.
Pecahnya Perang Aceh di tahun 1873 mengubah peta politik Sumatra. Belanda yang mengharapkan kemenangan yang gilang-gemilang ternyata dipukul balik oleh pasukan Aceh dan sang pemimpin pasukan Belanda Jenderal Johan Harmen Rudolf Köhler tewas. Pada ekspedisi berikut tahun 1874 Belanda berhasil menduduki Banda Aceh sementara orang Aceh tetap memerangi Belanda dengan strategi gerilya.
Dalam upaya untuk mencari sekutu melawan Belanda orang Aceh ternyata juga menghubungi Singamangaraja dan pada tahun 1877 dilaporkan bahwa ada sejumlah orang Aceh di Tanah Batak. Pada waktu itu Singamangaraja sudah memutuskan untuk menjalin kerjasama dengan Aceh dan untuk mengusir para misionaris yang dianggap sebagai pelopor kekuasaan Belanda. memberi perintah agar para misionaris harus meninggalkan wilayahnya.
Pada bulan Januari 1878 para misionaris diperintahkan untuk segera meninggalkan wilayah Singamangaraja. Karena merasa terancam para misionaris meminta bantuan tentara Belanda, dan pada gilirannya mereka juga membantu tentara Belanda:
Ekspedisi itu sangat berhasil dan berlangsung dengan sangat cepat pula – dari awal Februari hingga akhir Maret. Ekspedisi itu begitu luar biasa berhasil karena Silindung menjadi pangkalan yang sangat aman [bagi tentara Belanda], dan karena tentara dipandu dan dinasihati oleh para misionaris yang sangat mengetahui masyarakat Batak dan daerahnya. Dukungan dan bantuan para misionaris yang ikut pada ekspedisi itu juga mempunyai tujuan yang satu lagi, yaitu untuk meyakinkan masyarakat bahwa perlawanan mereka sia-sia dan supaya sebaiknya mereka menyerah. (JB 1878:31)
Para Penginjil di Tanah Batak
Siapa para misionaris itu dan mengapa mereka begitu mudah diperalat oleh tentara kolonial?
Para misonaris RMG percaya bahwa bangsa-bangsa di Asia dan Afrika harus dibebaskan dari belegu “kekafiran” dan “kebarbaran”. Sebagai penganut aliran pietisme mereka berkeyakinan bahwa tidak lama lagi Yesus Kristus akan bangkit kembali dan bahwa mereka memiliki tugas untuk menyelamatkan jiwa-jiwa yang sesat. Seperti Aritonang (1988) menunjukkan dalam bukunya Sejarah Pendidikan
Kristen di Tanah Batak maka perjumpaan orang Batak dengan para misionaris
bukanlah sebuah perjumpaan antara dua pihak yang sederajat. Para misionaris RMG adalah anak zamannya yang percaya pada keunggulan peradaban Eropa, dan pada keunggulan ras putih.
Pada tahun 1878, ketika Silindung dan Toba dianeksi dalam Perang Toba I, ada enam penginjil di Silindung – Johannsen, Metzler, Mohri, Nommensen, Püse, dan Simoneit. Yang paling tua adalah Nommensen yang ketika itu berumur 43 tahun sementara yang paling muda, Metzler, berumur 30 tahun. Pada waktu mereka mulai pendidikannya untuk menjadi misionaris di seminaris RMG di Barmen, mereka berusia antara 21 (Johannsen) dan 26 tahun (Mohri dan Püse). Sesuai dengan kebiasaan di RMG mereka segera berangkat ke tempat tujuannya setelah mereka tamat seminaris di Barmen dan menerima ordinasi yang hanya berlaku untuk penginjilan pada bangsa non-Kristen. Ketika keenam misionaris itu untuk pertama kali menginjak Tanah Batak mereka berusia antara 26 dan 32 tahun, dan mereka semua belum kawin.
Keputusan untuk menjadi seorang misionaris berarti bahwa mereka akan memasuki kehidupan yang serba berbeda. Rata-rata para misionaris RMG berkebangsaan Jerman yang berangkat ke Sumatra antara 1861 dan 1875 berada di Tanah Batak selama 30 tahun. Mereka memang diharapkan untuk tetap berada di tempat tujuan hingga mencapai usia pensiun. Satu-satunya misionaris yang dipanggil kembali adalah August Wilhelm Schreiber (sen.) yang dibutuhkan sebagai
guru di seminaris Barmen12. Misionaris yang paling lama tinggal di Tanah Batak
adalah L.I. Nommensen yang berdiam di Tanah Batak selama 57 tahun, diikuti oleh M. Metzler (49 tahun), A. Mohri (40 tahun), J. Christiansen, serta P. Johannsen (33 tahun). Empat dari 13 misionaris itu malahan menetap di Tanah Batak hingga mereka meninggal. Johannsen meninggal di Pansur na Pitu pada usia 59 tahun,
Mohri di Purba pada usia 72 tahun, Nommensen di Sigumpar pada usia 84 tahun, dan Staudte di Sipirok pada usia 39 tahun. Jadi kebanyakan misionaris memilih masa pensiun di Jerman, tetapi ada juga di antaranya, seperti Nommensen, dan Mohri yang memutuskan untuk tidak kembali ke tanah airnya. Ada pula misionaris yang masih tetap bertugas hingga mencapai usia pensiun dan baru kembali ke Jerman pada usia yang sudah lanjut. Ch. Schütz misalnya baru kembali ke Jerman pada usia 74 tahun, dan W. Metzler masih bertugas di Pearaja hingga mencapai umur 78 tahun.
Para misionaris diperbolehkan untuk sekali-sekali pulang ke tanah airnya. Nommensen misalnya empat kali kembali ke Jerman (tahun 1880-81, 1892, 1905, dan 1912) sementara Johannsen, Mohri, dan Simoneit hanya sekali dalam 30 tahun lebih mengambil cuti ke Jerman.
Setelah diutus ke masing-masing wilayah kerjanya para misionaris diwajibkan untuk senantiasa patuh pada pimpinan RMG. Pada semua keputusan yang penting (misalnya meminjam uang, memindahkan lokasi pos penginjilan) para misionaris tidak hanya memerlukan persetujuan daripada misionaris lainnya di wilayah kerjanya tetapi mereka juga membutuhkan izin tertulis dari pimpinan RMG. Mereka yang tidak mematuhi peraturan ini segera diberhentikan.
Tabel 1 Data Misionaris RMG 1861–1878
A B C D E
Asselt, Gerrit von 1832 1856 1862 1875 1910
Betz, Friedrich Wilhelm 1832 1860 1858 1869 1881
Christiansen, Julius 1844 1871 1879 1906 1934
Heine, Carl Wilhelm 1833 1860 1866 1873 1897
Johannsen, Peter 1839 1865 1870 1898 Klammer, Johann 1826 1855 1861 1883 1919 Leipoldt, Christian 1844 1869 1874 1879 1911 Metzler, Wilhelm 1847 1875 1877 1924 1935 Mohri, August 1835 1867 1871 1907 Nommensen, I.L. 1834 1861 1866 1918 Püse, Heinrich 1842 1874 1882 1905 1920 Schreiber, August 1839 1866 1866 1873 1903 Schütz, Christian 1838 1867 1870 1912 1922 Simoneit, August 1842 1873 1882 1886 1886 Staudte, Friedrich 1845 1873 1877 1884
A Tahun Kelahiran, B Tahun Keberangkatan ke Sumatra, C Tahun Perkawinan, D Tahun Kepulangan, E Tahun Kematian
Peraturan yang berkaitan dengan mencari teman hidup sangat ketat bagi para misionaris. Apabila seorang seminaris bertunangan sebelum tamat maka ia harus segera meninggalkan seminaris. Karena para penginjil biasanya segera sesudah tamat dikirim ke luar negeri dan berada di wilayah kerjanya selama bertahun-tahun maka mereka tidak sempat untuk memilih teman hidup sendiri. Oleh sebab itu maka pilihan calon istri menjadi tugas pimpinan RMG. Istri Mohri, misalnya, berangkat dari Jerman pada akhir tahun 1869 bersama dengan tiga perempuan pilihan RMG lain yang ditentukan bagi tiga penginjil di Borneo. Mereka satu rombongan dengan penginjil Zimmer dan istri Zimmer ditunjuk untuk menjaga ketiga calon istri itu. Setiba di Batavia calon istri Mohri naik kapal ke Padang, dan lalu ke Sibolga untuk bertemu dengan penginjil Mohri. Perkawinan di antara kedua pengantin yang belum pernah bertemu sebelumnya dilaksanakan pada 22 Februari 1870, dan pada 10 Maret ketiga perempuan lainnya dikawinkan dengan ketiga penginjil di Kuala Kapuas. Februari 1871 Johannsen menjemput istrinya di Sibolga.
Para misionaris memperoleh istri pilihan pimpinan RMG rata-rata lima tahun setelah mulai menetap di Sumatra. Hal itu sesuai dengan peraturan RMG yang mengharuskan para penginjil menunggu minimal dua atau bahkan lima tahun sebelum diperbolehkan kawin. Metzler mendapatkan pasangan hidupnya setelah hanya dua tahun bertugas, tetapi kebanyakan misonaris harus menunggu sampai lima, dan penginjil Püse dan Simoneit malahan tujuh dan sembilan tahun.
Para calon istri misionaris juga belajar di RMG namun pendidikannya berfokus pada keterampilan seperti memasak dan menjahit sementara pendidikan teologi sangat kurang. Terutama menjahit dan menyanyi dilihat sebagai wahana penginjilan yang efektif. Kehidupan para istri misionaris cukup susah karena ruangan gerak mereka sangat terbatas, dan mereka malahan hanya diizinkan mengasuh anaknya hingga usia sekolah dasar karena untuk pendidikan sekolah anak-anak misionaris dikirim ke Jerman untuk diasuh pihak RMG.
Mengingat bahwa para misionaris tiba di Tanah Batak sebagai bujangan berumur 20an tahun maka seharusnya ada paling tidak beberapa di antara misionaris itu yang memperistri seorang perempuan Batak. Ternyata hal itu tidak pernah terjadi, tidak di zamannya Nommensen dan juga tidak di kemudian hari. Dari lebih dari seratus penginjil yang diutus RMG ke Tanah Batak tidak seorang pun yang memperistri seorang boru Batak.
Setahu kami tidak pernah ada peraturan yang melarang perkawinan seorang penginjil dengan seorang gadis pribumi, namun ada semacam perjanjian tidak
tertulis bahwa hal itu takkan boleh terjadi. Kendati demikian asmara tidak senantiasa terbendung, dan pada bulan November tahun 1900 Wilhelm Müller yang menjadi penginjil Norddeutsche Missions-Gesellschaft di Togo pada November 1900 mengajukan permohonan kepada atasannya untuk mengawini seorang gadis Kristen dari suku Ewe. August Wilhelm Schreiber (jun.) menerima permintaan tersebut dan meneruskannya kepada dewan NMG yang harus memutuskannya. Pada surat tersebut Schreiber membubuhkan catatan: “Saya telah memberitahu penginjil Schreiber bahwa saya tidak pernah akan menyetujui perkawinan antara seorang penginjil dengan seorang Negro.” Permohonan Müller ditolak dan Müller meninggalkan zending NMG yang merupakan salah satu badan zending yang progresif pada waktu itu. Perkawinan dengan seorang pribumi dikhawatirkan bisa menjadi isyarat bahwa masyarakat pribumi dan penginjil sederajat, dan hal itu harus dihindari. Kejadian serupa terulang pada tahun 1914 ketika penginjil Karl Frank meminta persetujuan NMG untuk mengawini seorang gadis Kristen Ewe. Permintaan ini pun ditolak dan hubungan kerja dengan penginjil Frank diputuskan (Altena 2003:148-149).
Para penginjil senantiasa disadari bahwa dana RMG berasal dari sumbangan para pendukung dan oleh karena itu mereka diharapkan untuk hidup lebih sederhana daripada penginjil dari serikat penginjilan lainnya. Kebanyakan penginjil bagaimana pun sudah terbiasa hidup dalam kesederhanaan. Latar belakang sosial mereka sangat bersahaja. Nommensen misalnya berasal dari sebuah keluarga yang miskin di Nordstrand – sebuah kampung kecil dan terbelakang di daerah Schleswig yang pada tahun kelahiran Nommensen masih menjadi wilayah Denmark: “Saya anak dari orang tua miskin dan sakit-sakitan yang dibesarkan dengan roti tanpa isi, hanya pakai garam, dengan kacang dan sup arcis, kentang tanpa lauk, dan bubur
gandum”13. Ketika berumur tujuh tahun Nommensen memilih menggembala angsa
daripada duduk di bangku sekolah, pada usia delapan ia menjadi penggembala kambing, pada usia sembilan ia belajar menjadi tukang atap, pada umur sepuluh ia menjadi tukang kuda, pada usia sebelas tahun ia menjadi buruh tani, dan sebelum masuk seminaris RMG ia sempat menjadi guru bantu. Leipoldt dan Christiansen, teman Nommensen dari Nordstrand, juga sempat menjadi guru bantu. Metzler menjadi Lohgerber (tukang yang mengolah kulit binatang), Mohri menjadi
Eisenfabrikarbeiter (buruh pabrik besi), Püse menjadi Zimmermann (tukang
bangunan), Klammer dan Simoneit menjadi Schreiner (tukang kayu), Schütz
13 Ich war ein Junge armer, kränklicher Eltern, der bei trockenem Brot und Salz,
Pferdebohnen und Erbsensuppe, trockenen Karthoffen und Roggenmehlbrei groß geworden. (Warneck 1950:9)