• Tidak ada hasil yang ditemukan

Salah seorang misionaris yang paling terkenal adalah David Livingstone (1813– 1873) yang pada masanya di tanah airnya Inggris dianggap sebagai pahlawan nasional yang datang ke Afrika untuk merintis jalan untuk “perdagangan dan kekristenan”. Mengabdi pada Tuhan menjadi tujuan utama para misionaris, tetapi sebagai patriot mereka menganggapnya sama penting untuk mengabdi pada Tuan Kolonial, dan acapkali mereka mahalan merangkap menjadi penjajah. (Paczensky 1991: 262)

Pada tahun 1842 misionaris dari Rheinische Missionsgesellschaft mulai menetap di “Großnamaqualand” – 40 tahun sebelum kawasan itu yang sekarang dikenal sebagai Namibia menjadi daerah jajahan Jerman. Sebagai perintis kolonialisme,

dan tanpa disuruh oleh siapa-siapa, mereka mengibarkan bendera Prusia (Kerajaan Jerman baru berdiri sejak tahun 1871) pada tahun 1844, tetapi pemerintah Prusia tidak pada saat itu tidak berminat untuk mendapatkan daerah jajahan.

Ketika para misionaris tiba di Windhoek pada tahun 1842 kawasan Namaqualand dihuni oleh suku Nama yang mata pencaharian terutama dari beternak. Pada saat itu suku Nama yang sudah memiliki sejumlah senjata api, masuk ke Tanah Herero untuk memperluas tanah peternakannya. Sudah sejak awal para misionaris selalu terlibat dalam pertikaian antara kedua suku tersebut dan berusaha untuk melarai perselisihian. Karena pertikaian tidak dapat diselesaikan dan konflik semakin berkobar maka para misionaris RMG menginginkan agar wilayah misi mereka dianeksasi, entah oleh Inggris atau oleh Jerman.

Dalam pertikaian itu para penginjil cenderung untuk berpihak pada suku Herero, dan pada tahun 1863 penginjil RMG malahan membantu sejumlah orang Eropa yang terdiri atas pengusaha pertambangan tembaga dan beberapa petualang, mempersenjatai Herero untuk memerangi suku Nama. (Steinmetz 1972:111 band. hal. 245)

Ketika pertikaian berkobar lagi pada tahun 1868 maka para misionaris meminta perlindungan pada pemerintah Jerman (Prusia) namun pihak RMG kecewa karena kanselir Bismarck tidak yakin bahwa wilayah penjajahan akan menguntungkan Jerman.

Pada awal tahun 1880an konflik antara Herero dan Naman semakin menjadi, dan karena Inggris tidak menunjukkan minat untuk intervensi, maka pada 3 Juni 1880 Fabri mengajukan permohonan kepada Kementrian Luar Negeri (Auswertiges Amt) agar Auswertiges Amt minta bantuan Inggris untuk mengirim pasukan guna melindungi para penginjil RMG dan pos-pos perdagangan (Schubert 2003:122, band. BRMG 1880-196-204). Pada waktu yang sama Fabri juga menegaskan bahwa menurutnya seyogyanya kawasan itu dijajah oleh Jerman dan bukan oleh Inggris karena dianggapnya lebih sesuai “bila penginjil dan penjajah berasal dari bangsa yang sama” (ibid., hal.123).

Kali ini juga Bismarck menolak permintaan RMG, namun sikap Bismarck terhadap daerah jajahan telah mulai berubah pada akhir 1870an setelah Jerman bersatu. Antara 1884 dan 1899 Jerman memperoleh sejumlah wilayah penjajahan terutama di Afrika. Perolehan Afrika Barat Daya yang sekarang menjadi Namibia sebagai jajahan Jerman terjadi dengan dukungan dan bantuan para misionaris RMG. Jerman menjalin perjanjian dengan para kepala suku yang pada hakikatnya, dan tanpa pengetahuan mereka, mengatur perampasan wilayahnya. Misionaris

Büttman, Heidmann, dan Judt membantu pemerintah kolonial dalam pelaksanaan perjanjian tersebut.

Setelah Afrika Barat Daya resmi menjadi wilayah penjajahan Jerman para misionaris berperilaku layak tuan kolonial. Mereka lama mendukung Hendrik Witbooi (?1830–1905), kepala suku Orlam yang memeluk agama Kristen. Ketika Witbooi ingin memperluas wilayah kekuasaan ke arah utara maka suku Herero yang mendiami daerah itu meminta perlindungan kepada Jerman. Witbooi tidak lagi memperhatikan nasihat para penginjil dan malahan melarang mereka untuk masuk ke wilayahnya. Ketika pada tahun 1893 Witbooi berdamai dengan suku Herero, pemerintah khawatir Witbooi menjadi terlalu kuat dan menyerang markasnya dengan membunuh 78 perempuan dan anak-anak dan 10 laki-laki. Witbooi sendiri lepas. Di BRMG 1893 para penginjil menulis bahwa “Kalau pengacau keamanan yang sudah bertahun-tahun mengacaukan negerinya itu dimusnahkan, baru ada harapan maka negerinya bisa berkembang.” Mereka menyesal Wittboi sendiri yang “berangan-angan secara kegilaan bisa melawan kekuasaan Jerman” lepas. Tahun 1894 tentara kolonial Jerman berhasil menangkap Wittboi. Dalam Lembaran Negara Kolonial (Deutsches Kolonialblatt) peranan para misionaris pada penangkapannya diakui secara resmi dan Kementrian Luar Negeri malahan mengucapkan terima kasih pada penginjil RMG “atas jasa yang berharga dan nasihat yang sangat berguna” (Paczensky 1991:267).

Pada 12 Januari 1904 suku Herero di bawah pimpinan Samuel Maharero memberontak terhadap kekuasaan kolonial Jerman. Pada pertempuran Waterberg pasukan Herero mengalami kekalahan dan dipaksa mundur ke gurun Namib. Jenderal von Trotha memerintah pasukannya untuk membasmi suku Herero. Mereka yang mau menyerah langsung dibunuh. Dalam keadaan terkepung para Herero dibiarkan mati kehausan di gurun Namib, dan sisanya mati karena meminum air sumur yang diracuni oleh pasukan Jerman.

Pada bulan Oktober 1904 terjadi pemberontakan lagi – kali ini dari suku Nama. Nasib mereka tidak lebih baik daripada nasib suku Herero. Di sini juga dengan sengaja pasukan Jerman berusaha untuk membunuh sebagian besar rakyat.

Diperkirakan bahwa sekitar separuh dari seluruh populasi Nama dibunuh pada waktu itu sementara jumlah korban pada suku Herero lebih tinggi lagi; diperkirakan bahwa 50% hingga 70% rakyat Herero, termasuk anak-anak dan perempuan, mati. Peristiwa ini kemudian menjadi terkenal sebagai genosida Nama dan Herero. Seluruh tanah mereka dirampas dan mereka yang bertahan hidup dipaksa bekerja untuk tuan tanah orang putih.

Pada tahun 1906 para misonaris mencatat bahwa “keadaan menjadi tenang sekali” dan bahwa semakin banyak rakyat Nama dan Herero masuk agama Kristen. Sesudah masyarakat tradisional mereka dihancurkan secara total oleh para penjajah maka mereka tiada lagi pegangan untuk dapat bertahan di bahwa orde baru sehingga terpaksa mereka andalkan satu-satunya lembaga yang masih berfungsi yaitu lembaga Kristen (Paczensky 1991:262-268).

Dokumen terkait