• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEMBANGUN CITRA PUSTAKAWAN INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MEMBANGUN CITRA PUSTAKAWAN INDONESIA"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

MEMBANGUN CITRA PUSTAKAWAN INDONESIA

Pustakawan! Sebuah kata yang sedang mengalami keretakkan makna, melahirkan multitafsir dan beragam persepsi. Dalam konteks keindonesiaan, pemegang kunci jendela dunia ini, kini nasibnya tidak jauh dari para pembuka pintu lintasan kereta. Masyarakat pun memberikan penghargaan kepada pustakawan lebih rendah dibanding kepada profesi lain seperti dokter, pengacara, guru, peneliti, dan lain-lain. Malah masih banyak masyarakat yang belum tahu makhluk jenis apa pustakawan itu. Di Indonesia pustakawan kalah populer dibanding dengan komen-tator artis atau dukun santet yang memang sedang menjadi hegemoni komoditas industri irrasional. Cobalah anda

bertanya kepada anak-anak yang baru masuk sekolah, saya jamin tidak ada satu orang pun yang cita-citanya ingin menjadi pustakawan. Keadaan ini mengingatkan kita pada sebuah pepatah yang mengatakan bahwa hanya orang yang berilmu yang akan

menghargai ilmu. Hanya masyarakat terdidik yang akan menghargai pustakawan. Citra pustakawan adalah cermin realitas bangsa.

Pemeritah pun menghargai pustakwan sama halnya dengan masyarakat umum. Dari semua jenis fungsional yang ada, pustakawan berada pada “kasta” yang paling rendah, tentu saja dengan tunjangannya pun yang paling sedikit

No.

(2)

Jenjang Jabatan

Tunjangan Jabatan

1

Peneliti

Utama

1.118.000

2

Perencana

Utama

1.118.000

(3)

3

Perekayasa

Utama

1.118.000

4

Pranata komputer

Utama

1.000.000

5

Pustakawan

(4)

Utama

500.000

6

Arsiparis

Utama

500.000

Sumber: diolah dari Profil Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil.

Badan Kepegawaian Negara, 2004.

(5)

Apalagi kalau kita melihat porsi anggaran untuk keperpustakaan di dalam APBN atau APBD, porsinya tidak lebih dari 0,1%. Kita ambil contoh anggaran untuk perpustakaan di DKI Jakarta, sebagai daerah yang paling maju, untuk tahun 2005 porsinya hanya

0,08-0,1 %. Bayangkan porsi anggaran di daerah yang bukan perkotaan. Padahal kita semua tahu bahwa pendidikan tidak akan berhasil tanpa didasarkan kepada

keberadaan perpustakaan. Malaysia bisa melampaui Indonesia dalam waktu yang

singkat karena sekolahnya berbasis perpustakaan. Pelajaran literasi informasi atau libra

ry skill

sudah diperkenalkan semenjak SMP. Mungkin dapat dikatakan lebih baik

menyekolahkan anak ke lembaga pendidikan yang perpustakaannya bagus tapi tidak memiliki ruang kelas, daripada ke sekolah mewah tapi tidak memiliki perpustakaan.

Yang tidak kalah menariknya adalah sebuah kenyataan bahwa keterpurukan citra pustakawan dirusak oleh “pustakawan” sendiri. Pada saat ini kita sedang menyaksikan sebuah fenomena yang memilukan, yaitu para pengelola perpustakaan merasa malu atau minder mengenalkan dirinya sebagai pustakawan. Sampai ada seseorang yang latar pendidikan sampai jenjang S2 perpustakaan, akan tetapi tidak digunakan untuk menunjang kariernya sebagai pustakwan, malah memilih menjadi peneliti pusdokinfo dengan alasan predikat peneliti lebih keren daripada pustakawan. Demikian juga di kalangan mahasiswa jurusan ilmu perpustakaan, apabila ditanyakan tentang jurusan yang diambilnya, biasanya dengan malu-malu mengatakannya. Begitu juga banyak terjadi di perusahaan-perusahaan besar, bidang dokinfo—yang perpustakaan berada di dalamnya—menjadi bidang untuk menampung orang-orang “buangan.” Ditempatkan di bagian perpustakaan sama dengan dimasukan kedalam “peti mati” atau karirnya telah berakhir.

Begitulah kita saksikan potret buram pustakawan dalam realitas keindonesiaan.

Gambaran di atas sangat kontradiktif dengan citra pustakawan di masa lalu. Kalau kita berkaca pada sejarah, disana kita akan menyaksikan pustakawan menjadi elit politik dalam struktur sosial. Kedudukannya disejajarkan dengan tokoh spiritual dan para pemegang kebijakan, karena pada waktu itu memang perpustakaan hanya ada di dua tempat yaitu di istana (pusat kekuasaan) dan kuil atau tempat ibadah (pusat kekutan spiritual). Dari segi kompetensi pun seorang pustakawan biasanya memiliki berbagai macam kecakapan (multitalenta) dan berbagai macam bahasa (polilinguish). Sebagai contoh kita lihat misalnya Jorge Luis Borges yang pernah mengatakan "I have imagined

that paradise will be a kind of library

." Ia menjadi pustakawan dengan dilandasi oleh

(6)

sekedar panggilan tugas untuk mencari nafkah. Satu lagi contoh, yang dekat dengan kesejarahan kita, adalah GP Rouffaer, ia adalah seorang pustakawan ahli pada lembaga studi kolonial (KITLV) yang menyusun

Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie

dan

De batikkunst in Nederlandsch-Indie en haar geschidiedenis

(Seni Batik di Hidia Belanda dan Sejarahnya). Rouffaer juga dilibatkan oleh Alexander Idenburg, Menteri Urusan Jajahan, dalam penelitian tentang keadaan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat pribubumi (

Kompas

, 8 Januari 2007)

Borguis dan Rouffaer telah tiada dan mungkin hanya mereka berdualah pustakawan ideal yang ada dalam sejarah peradaban manusia. Akan tetapi bukan hal yang mustahil bahwa citra ideal tersebut menjadi sebuah inspirasi untuk memulai membangun citra pustakawan Indonesia.

Apa Yang Harus Dilakukan

Secara sederhana citra diri dapat diartikan sebagai gambaran kita terhadap diri sendiri atau pikiran kita tentang pandangan orang lain terhadap diri kita.

Dengan pengertian tersebut maka akan mengajak

kita untuk menjawab seluruh pertanyaan yang sangat fundamental: kita ingin dipahami oleh masyarakat sebagai apa ? Atau, citra apa yang kita inginkan bagi diri kita sendiri? Pertanyaan itu menjadi fundamental karena pada dasarnya kitalah yang bertanggung jawab atas citra diri kita. Kitalah yang bertanggung jawab atas kesalahpahaman orang lain terhadap kita.

(7)

Dengan kata lain, apa yang dipahami orang lain tentang kita sebenarnya dibentuk oleh akumulasi sikap, perilaku, dan cara kita mengekspresikan diri. Kemunculan kita ke publik, dalam bentuk apapun, melalui suatu proses waktu. Secara perlahan-lahan akan membentuk “kesan atau imej” tertentu dalam benak publik. Apa yang mereka lihat, apa yang mereka dengar tentang kita, itulah yang menjadi faktor pembentuk citra kita di benak mereka. Jadi, citra adalah kesan imajinatif yang terbentuk dalam benak publik dalam rentang waktu tertentu dan terbentuk oleh keseluruhan informasi tentang diri kita yang sampai ke publik. (Matta, 2002: 177)

Persoalan kita adalah bagaimana melakukan usaha-usaha yang sistematis untuk membentuk citra diri yang kita inginkan. Dan yang perlu ditekankan di sini adalah pustakawan harus dicitrakan sebagai sebuah profesi yang memiliki kelayakan untuk sejajar dengan profesional lain. Malah citra itu perlu kita bangun untuk merebut

kepercayaan masyarakat bahwa pustakawan juga adalah agen perubahan yang paling berhak untuk memegang amanat kekuasaan.

Itu berarti semua elemen yang ada pada institusi kepustakawanan harus diekspos

secara sistematis kepada publik. Sehingga, publik mendapatkan gambaran utuh tentang seluruh kapasitas internal yang kita miliki.

Misalnya, dalam pemunculan public figure kita. Kita harus memunculkan pustakwan yang “layak ekspos”untuk menjadi duta baca, jadi tidak mengandalkan pada popularitas artis. Publik harus mendapatkan informasi bahwa institusi kepustakawanan juga

memiliki segudang tokoh dan pakar pengelolaan sumber informasi (pustakwan) dan pengelola informasi (spesialis informasi) dalam berbagai bidang. Pustakawan yang dimunculkan merupakan juga adalah orang-orang yang memiliki keahlian khusus. Sehingga, figur yang dimunculkan harus merata di semua bidang. Apakah itu pustakawan yang tokoh agama, pustakawan seni budaya, pustakawan sosial kemasyarakatan, pustakawan politik, ekonomi, keamanan, pendidikan, ilmu

pengetahuan maupun bisnis. Baik dalam kapasitas sebagai praktisi maupun pengamat.

(8)

Sebetulnya citra sangat ditentukan oleh kinerja. Dan kinerja sangat tergantung pada kompetensi atau kapasitas internal yang dimiliki. Jadi, untuk membangun citra

pustakawan yang baik hal pertama yang harus dilakukan adalah memperbaiki kinerja kita.

Kinerja mengacu pada total produktivitas kita atau gambaran tentang portofolio kita sebagai pustakawan. Jika misalnya kita mendapatkan kesempatan untuk mengelola perpustakaan Indonesia, maka kinerja kita akan terlihat pada pertambahan nilai akhir dari seluruh indikator makro kesuksesan pengelola perpustakaan. Mulai dari indikator ekonomi hingga indikator budaya.

Kinerja kita katakanlah sebagai agen perubah sebenarnya sangat ditentukan oleh kapasitas total yang kita miliki. Apabila kinerja dipersamakan dengan kemampuan total produksi, maka kapasitas adalah total kemampuan produksi. Jadi, untuk memperbaiki kinerja meningkatkan kapasitas adalah menjadi keniscayaan. Kalau memiliki kapasitas yang tinggi, maka dengan sendirinya kinerja kita juga akan meningkat. Sehingga, apa yang kita perlukan kemudian adalah sebuah keterampilan teknis untuk membahasakan kinerja kita kepada orang lain bahwa kita layak dijadikan alternatif solusi bagi

permasalahan bangsa kita. Bahwa sudah saatnya bangsa ini menengok kepada kita dan memberikan jalan untuk mengekspresikan diri secara tuntas dalam ikut campur

menangani persoalan bangsa.

Memang, melalui sebuah rekayasa komunikasi massa yang cerdas, kita bisa saja membohongi rakyat dengan mendongkrak citra seorang pustakawan melampaui

kapasitasnya yang sebenarnya. Tapi, citra seperti itu tidak akan pernah bertahan lama, kecuali bila kinerja pustakwan tersebut mendukungnya. Jadi, lapisan terdepan dari kekuatan kita bernama citra, lapisan keduanya bernama kinerja, lapisan ketiganya bernama kapasitas. Apabila kita memperbesar kapasitas kita secara

berkesinambungan, maka kinerja kita akan membaik secara berkesinambungan.

Selanjutnya, citra kita juga akan membaik mengikuti perbaikan yang terjadi pada kinerja kita.

Jadi, apa yang harus kita lakukan adalah meningkatkan kapasitas internal kita agar kita memperbaiki kinerja kita sebagai agen perubah yang memang layak diberi kepercayaan

(9)

oleh masyarakat. Kalau kita ingin dicitrakan bahwa kita pun sebagai solusi bagi bangsa, kita harus memiliki kapasitas internal yang diperlukan untuk menyelamatkan bangsa kita dari krisis multidimensi yang melilitnya. Itu berarti bukan hanya keahlian yang kita

perlukan, tapi kapasitas leadership, ekonomi, politik, budaya, dan lainnya.

Membangun Kompetensi

Apabila kita ingin memperbaiki kinerja kita sebagai salah satu agen perubah yang layak turut serta dalam memberikan solusi problematika bangsa, seperti yang saya tulis di atas, maka satu-satunya cara yang harus kita tempuh adalah membangun kompetensi atau kapasitas internal kita secara berkesinambungan. Sebab, kompetensi kitalah yang sesungguhnya membentuk kinerja kita.

Kopetensi adalah total dari kemampuan dan daya dukung yang secara riil kita miliki. De ngan itu kita dapat merealisasikan kehendak-kehendak atau ideal-ideal kita. Dalam kehidupan sehari-hari, orang-orang tidak menilai kita berdasarkan apa yang kita inginkan atau berdasarkan ideal-ideal kita. Mereka menilai kita berdasarkan apa yang dapat kita lakukan atau berdasarkan kemampuan bertindak (daya tindak) kita. Dengan kata lain, mereka tidak akan pernah menanyakan visi-misi kita. Tapi, mereka akan menanyakan seberapa mampu kita merealisasikan apa yang kita inginkan.

Itulah logika masyarakat. Dan itu pulalah elemen utama yang membentuk kepercayaan orang kepada kita. Sekarang muncul sebuah pertanyaan: kapasitas apakah yang harus kita miliki untuk membangun citra pustakwan yang baik ? Jawaban pertanyaan ini

sebenarnya kembali kepada persoalan visi, misi, dan fungsi pustakawan. Jadi, kita harus menjawab pertanyaan lain terlebih dahulu: citra pustakawan yang seperti apakah yang ingin kita tampilkan ? Jika pertanyaan itu dapat kita jawab secara definitif, maka

(10)

kita dapat melangkah kepada pertanyaan selanjutnya: untuk mewujudkan pustakawan seperti itu, kemampuan apa sajakah yang harus kita miliki ? Pertanyaan pertama menjelaskan ideal-ideal kita, tapi pertanyaan kedua menjelaskan kemampuan riil yang harus kita miliki.

Walaupun begitu, secara umum kita dapat mengatakan yang diperlukan untuk

membangun citra adalah kompetensi kepakaran kita yang dibentuk oleh dua hal yaitu ha

rd skill

dan

soft skill

. Yang pertama lebih bersifat

scientific achievement

, sedangkan yang kedua bersifat

psychological achievement

. Yang pertama bekenaan dengan pengausaan teknis dan detail bidang

kepustakawanan dan keperpustakaan, yang kedua berkaitan dengan kemampuan berpikir strategis sebagai perumus kebijakan, wawasan masa depan (

forward looking

), dan kemampuan perencanaan strategis, kemampuan manajerial, kemampuan komunikasi publik, dan lainnya.

Bersamaan dengan berkembangnya kompetensi melalui pengembangan kapasitas internal secara berkesinambungan, maka kinerja kita akan meningkat. Dengan cara itu pula kita merebut kepercayaan publik bahwa kita memang memiliki kelayakan untuk dihormati dan dihargai publik. Masyarakat punya alasan yang layak untuk “berharap banyak” pada kita. Tapi, pembahasan tentang kompetensi ini tentu saja tidak menafikan sesuatu yang sudah niscaya, yaitu integritas kepribadian yang berbasis pada kekuatan moralitas.

Dengan demikian, sudah saatnya kita mengurangi pembahasan dalam bentuk wacana untuk kemudian mengalihkan energi kita lebih banyak pada pengembangan kompetensi atau kapasitas internal kita. Sebab, itulah tampaknya yang menjadi persoalan kita, yaitu jarak antara kita, sebagai pustakawan hari ini, dengan model pustakawan ideal yang kita inginkan masih jauh, relatif jauh, bahkan sangat jauh. Jadi, kita perlu memberikan lebih banyak perhatian kepada persoalan inti kita dalam pengembangan kapasitas internal.

(11)

Untuk itu semua mengharuskan kita untuk melakukan beberapa hal, Pertama, memperluas wawasan makro kita tentang persoalan bangsa. Itu dapat kita lakukan dengan memperluas pengetahuan teoritis kita dalam bidang pendidikan, humaniora, sosial, dan perbukuan. Tapi, pengetahuan teoritis itu harus disempurnakan dengan informasi yang luas dalam bidang-bidang tersebut. Baik melalui sumber sekunder seperti media massa, maupun sumber primer, yaitu para pelaku langsung. Ini

mengharuskan kita punya jaringan komunikasi dan informasi yang luas, mengharuskan kita membaca lebih banyak, dan bergaul lebih luas.

Kedua, meningkatkan frekuensi keterlibatan kita dalam dunia pendidikan, literasi, dan

sosial. Pustakawan harus terlibat dalam agenda-agenda besar nasional, mulai dar wacana sampai tataran aksi. Contoh tentang kemiskinan, pendidikan, buta aksara, minat baca, dan lain-lain. Keterlibatan itu dapat kita lakukan di tingkat wacana publik, asistensi kepada pemerintah untuk pengambilan keputusan atau perumusan kebijakan publik, maupun terlibat sebagai pelaku langsung.

Ketiga, meningkatkan kemampuan kita mempengaruhi orang lain. Dunia sekarang ini

adalah dunia jaringan, dunia kerjasama, dunia aliansi dan koalisi. Janganlah pernah membayangkan bahwa kita akan berkembang dan bertahan sendirian. Kita hanya akan menjadi bagian dari sebuah jaringan global. Jadi, apa yang harus kita lakukan adalah mengembangkan kemampuan kita mempengaruhi orang lain, memperkuat jaringan lobi ke berbagai kalangan dan membangun akses yang kuat ke para pengambil keputusan dan penentu kebijakan.

Keempat, memperbanyak figur publik kita. Jangan hanya para pustakawan an sich yang

dikenal masyarakat.

Para pustakawan dalam bidang ekonomi, politik, militer, dan teknologi kita juga harus dimunculkan. Artinya, harus ada spesialisasi di kalangan pustakawan. Pustakawan yang punya kemampuan intelektual lebih besar dapat diplot menjadi generalis yang dapat terlibat secara ilmiah dalam banyak bidang pengetahuan. Tapi, sebagian besar kita harus punya satu spesialisasi yang dengan itu ia kemudian dikenal masyarakat.

Tentu saja keempat usaha di atas kita tempuh setelah kita ”selesai’ dengan bidang kita sendiri yaitu perpustakaan dan kepustakawanan. Hanya dengan cara seperti inilah citra

(12)

pustakawan akan cemerlang dalam peradaban manusia, membumbung tinggi menududuki singgasana profesi yang sejajar dengan dokter, advokat, dan lain-lain. Sehingga kita akan menyaksikan sebuah zaman dimana orang saling berebut untuk menjadi pustakawan. Dan kita tidak akan lagi menyaksikan uraian air mata yang membasahi lembaran buram sejarah pustakawan.

Referensi

1.

Dahlan, Muhidin M. ”Andai Perpustakaan Buka Sampai Pukul 12 Malam” dalam Radar

Bandung , 23 April 2006 2. http://en.wikipedia.org/wiki/Self_image 3. http://www.more-selfesteem.com/selfimage.htm 4.

(13)

Matta, Anis. Menikmati Demokrasi. Jakarta: Pustaka Saksi, 2002. 5.

Sharif, Mohd. Information Literacy in Malaysia: Development and challenges. IPI Seminar Paper 14 November 2006, Bali.



Disampaikan pada Pelatihan Pengelolaan Perpustakaan di UPT Balai

Informasi Teknologi-LIPI,

Referensi

Dokumen terkait

Menentukan kondisi operasi yang optimal (daya microwave , lama waktu ekstraksi, dan rasio antara bahan baku yang akan diekstrak dengan pelarut yang digunakan) dari

Tidak adanya kebijakan perusahaan terkait penggunaan internet di tempat kerja dengan kombinasi kebijakan lain (membawa perangkat keras pribadi dan cara kerja baru) yang ada