• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODE PENELITIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III METODE PENELITIAN"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis / Desain Penelitian

Penelitian ini bersifat observasional analitik dengan desain potong lintang.

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Rumah Sakit (RS) Haji Adam Malik Medan, RS Haji Mina Medan dan RS Grand Medistra Lubuk Pakam mulai bulan Februari 2016 sampai dengan sampel terpenuhi. Pemeriksaan biofilm bakteri dengan pewarnaan hematoxylin eosin dilakukan di Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, pemeriksaan kultur bakteri dan uji kepekaan antibiotik dilakukan di Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

3.3 Populasi, Sampel dan Besar Sampel 3.3.1 Populasi

Populasi penelitian ini adalah penderita rinosinusitis kronis yang menjalani tindakan bedah sinus endoskopi fungsional di RS Haji Adam Malik Medan, RS Haji Mina Medan dan RS Grand Medistra Lubuk Pakam mulai bulan Februari 2016 sampai dengan sampel terpenuhi.

(2)

3.3.2 Sampel

Sampel penelitian adalah penderita rinosinusitis kronis yang menjalani tindakan bedah sinus endoskopi fungsional yang kemudian diambil jaringan dari sinus maksila dan atau etmoidnya serta dilakukan swab pada meatus medianya di RS Haji Adam Malik Medan, RS Haji Mina Medan dan RS Grand Medistra Lubuk Pakam yang memenuhi kriteria inklusi pada bulan Februari 2016 sampai dengan sampel terpenuhi.

Kriteria inklusi:

a. Penderita rinosinusitis kronis dimana sinus yang terlibat minimal sinus maksila atau sinus etmoid yang menjalani tindakan bedah sinus endoskopi fungsional.

b. Pada penderita rinosinusitis kronis bilateral sampel diambil dari sisi sinus yang paling banyak terinfeksi.

c. Bersedia diikutsertakan dalam penelitian dan menandatangani formulir persetujuan mengikuti penelitian.

Kriteria eksklusi

a. Mukosa yang tidak adekuat untuk analisis b. Swab yang tidak adekuat untuk analisis 3.3.3 Besar sampel

Besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus:

eterangan:

Zα √po (1-po) + Zβ √pa (1-pa) pa - po

n =

(3)

Keteragan:

n = Jumlah sampel minimal yang diperlukan

Zα = Kesalahan tipe 1 = 1,96

po = Proporsi kultur bakteri (+) pada populasi yang tidak beresiko atau dengan biofilm (-) = 79% = 0,79 (Foreman, et al., 2009)

Zβ = Kesalahan tipe 2 = 0,842

pa = propprsi kultur bakteri (+) pada penderita dengan biofilm (+)

pa-po = 20% = 0,20

pa-0,79 = 0,20

pa = 0,99

n = 1,96 √0,79x0,21 + 0,842 √0,99x0,01

n = 19,45 = 20

Besar sampel minimal yang dibutuhkan adalah 20

3.3.4 Teknik pengambilan sampel

Pengambilan sampel penelitian adalah secara non probability consecutive sampling yaitu setiap pasien yang memenuhi kriteria penelitian dimasukkan ke dalam penelitian sampai kurun waktu tertentu hingga jumlah sampel yang diperlukan terpenuhi (Sastroasmoro, 1995).

0,2

(4)

3.4 Variabel Penelitian Variabel independent: biofilm.

Variabel dependent: kultur bakteri.

3.5 Definisi Operasional

3.5.1 Rinosinusitis kronis adalah inflamasi pada mukosa hidung dan sinus paranasal selama lebih dari 12 minggu (Fokkens, et al., 2012).

3.5.2 Bedah sinus endoskopik fungsional adalah teknik bedah minimal invasif dimana sel-sel udara pada sinus dan ostiumnya dibuka dengan cara tampak langsung (Slack dan Bates, 1998).

3.5.3 Polip adalah pembengkakan mukosa yang berbentuk seperti anggur, lembut, licin dan mobile (Schlosser dan Woodworth, 2009). 3.5.4 Biofilm adalah komunitas mikroba dalam bentuk sesil yang

ditandai dengan sel-sel yang secara ireversibel melekat pada substratum atau satu sama lainnya (Donlan dan Costerton, 2002; Foreman, at al., 2009; Hassan, et al., 2011). Ada beberapa teknik pemeriksaan biofilm, salah satu diantaranya adalah pemeriksaan dengan pewarnaan hematoxylin eosin (Mathur, et al., 2006; Taj, et al., 2012).

Pemeriksaan biofilm dengan pewarnaan hematoxylin eosin memerlukan alat-alat sebagai berikut:

a. 1 set alat untuk pemeriksaan dengan pewarnaan hematoxylin eosin

b. Mikroskop cahaya Olympus Cx19 (Germany)

Pemeriksaan biofilm dengan pewarnaan hematoxylin eosin memerlukan bahan-bahan sebagai berikut:

(5)

b. Ethanol 70%, 80%, 95%, 96%, 100% c. Hematoxylin eosin

d. Air suling

e. Asam hidroklorida 0,1%

Pemeriksaan biofilm dilakukan pada jaringan mukosa sinus maksila dan atau sinus etmoid.

3.5.5 Kultur bakteri adalah suatu pemeriksaan menanam dan melakukan isolasi bakteri pada media perbenihan dari spesimen untuk mengetahui spesies bakteri (Iswara, 1987).

Alat yang diperlukan:

a. 1 set alat untuk pemeriksaan kultur bakteri b. 1 set alat untuk pewarnaan gram

c. Inkubator bakteriologis d. mikroskop

Bahan yang diperlukan:

a. Transport swabs (Oxoid) b. Agar darah

c. Agar Mac Conkey d. Zat warna ungu kristal e. Air keran

f. Larutan lugol g. Alkohol 96%

h. Fuchsin-air (safranin)

Pemeriksaan kultur bakteri dilakukan pada swab meatus media.

3.5.6 Uji kepekaan antibiotik adalah suatu pemeriksaan untuk mengetahui apakah bakteri peka (susceptible), kurang peka (intermediate) atau tidak peka (resistant) terhadap suatu antibiotik (Iswara, 1987).

(6)

Alat yang diperlukan:

a. 1 set alat untuk pemeriksaan uji kepekaan antibiotik b. Penggaris

Bahan yang diperlukan: a. Agar Muller Hinton b. Cakram antibiotik

3.6 Alat Ukur 3.6.1 Alat

Lampu kepala merk Ryne dan alat THT rutin merk Renz Alat penghisap sekret (suction) merk Thomas Medipump tipe

1132 GL

1 set alat endoskopi

 1 set alat untuk pemeriksaan dengan pewarnaan hematoxylin eosin

Mikroskop cahaya Olympus Cx19 (Germany) 1 set alat untuk pemeriksaan kultur bakteri 1 set alat untuk pewarnaan gram

Inkubator bakteriologis

1 set alat untuk pemeriksaan uji kepekaan antibiotik Penggaris

Formulir persetujuan ikut penelitian

Catatan medis penderita dan status penelitian penderita 3.6.2 Bahan Formalin 4% Xylene Ethanol 70%, 80%, 95%, 96%, 100% Hematoxylin eosin Air suling Asam hidroklorida 0,1%

(7)

Transport swabs (Oxoid)  Agar darah

 Agar Mac Conkey  Zat warna ungu kristal  Air keran

 Larutan lugol  Alkohol 96%

 Fuchsin-air (safranin)  agar Muller Hinton Cakram antibiotik 3.6.3 Cara kerja

Semua subyek penelitian yang telah memenuhi kriteria inklusi durante operasi diambil swab pada meatus medianya menggunakan transport swab dan jaringan mukosa sinus maksila dan atau sinus etmoid diambil menggunakan forcep yang kemudian difiksasi dalam formalin 4% selama 48 jam. Bahan swab diproses 2-4 jam setelah sampel diambil untuk kultur bakteri. Dan dilakukan uji kepekaan antibiotik pada semua bakteri yang terisolasi. Jaringan mukosa sinus maksila dan atau etmoid kemudian diwarnai dengan hematoxylin eosin dengan menggunakan prosedur patologi standar.

Pemeriksaan dengan pewarnaan hematoxylin eosin dilakukan dengan cara: potongan mukosa dideparafinisasi dalam xylene (2x5 menit) dan direhidrasi secara berturut-turut selama 1 menit dicuci dengan ethanol 100%, 96%, 80%, dan 70%. Kemudian diwarnai dengan hematoxylin selama 2 menit, dicuci dengan air suling, dicuci dengan asam hidroklorida 0,1% dalam 50% ethanol, dicuci dengan air keran selama 15 menit, diwarnai dengan eosin selama 1 menit, dan dicuci lagi dengan air suling. Slide-nya kemudian didehidrasi dengan ethanol 95% dan 100% secara berurutan diikuti

(8)

dengan xylene (2x5 menit) dan ditutup dengan coverslip. Kemudian slide dianalisa dengan mikroskop cahaya Olympus Cx19 (Germany) dengan pembesaran 20x dan 40x.

Hasil pemeriksaan pemeriksaan dengan pewarnaan hematoxylin eosin: dengan pewarnaan hematoxylin eosin rutin biofilm tampak sebagai bentuk yang ireguler dari kelompok bakteri basofilik kecil, substansi ekstrapolimer, dan sisa eritrosit dan leukosit yang terperangkap pada permukaan epitel. Sampel diklasifikasikan menjadi, biofilm positif bila terdapat keterlibatan permukaan mukosa yang dianalisa dan biofilm negatif bila tidak ada keterlibatan permukaan mukosa yang dianalisa.

Gambar 3.1. Pewarnaan hematoxylin eosin, kiri: tampak epitel respiratori bersilia yang normal, kanan: tampak kelompok bakteri basofilik kecil pada

permukaan epitel (Hochstim, et al., 2010)

Pemeriksaan kultur bakteri dilakukan dengan cara: swab yang diambil dari meatus media kemudian diinokulasi pada agar darah dan agar Mac Conkey. Lalu diinkubasi pada 37oC selama 24 jam dalam inkubator bakteriologis. Setelah itu lempeng agar diperiksa apakah ada pertumbuhan koloni bakteri. Selanjutnya dilakukan

(9)

pewarnaan gram pada bakteri yang tumbuh untuk melihat morfologinya. Setelah bakteri difiksasi pada gelas objek kemudian dituangkan zat warna ungu kristal di atas sediaan selama 1-5 menit. Lalu sediaan dicuci dengan air keran selama 5-10 detik, kemudian digenangi dengan larutan lugol selama 1 menit, setelah itu dicuci kembali dengan air keran (5-10 detik). Selanjutnya sediaan dicelup dan digoyang dalam bak berisi alkohol 96% selama 30 detik. Sediaan dicuci dengan air keran kembali. Lalu digenangi dengan fuchsin-air (safranin) selama 1-2 menit, dan dicuci kembali dengan air keran, lalu keringkan di udara. Setelah kering, sediaan dilihat di bawah mikroskop dengan pembesaran 1000x.

Pemeriksaan uji kepekaan antibiotik kemudian dilakukan pada semua bakteri yang terisolasi dengan menggunakan metode difusi lempeng Kirby Bauer pada agar Muller Hinton menggunakan lempeng antibiotik Hi media. Cakram antibiotik diletakkan pada permukaan lempeng agar dengan bantuan pinset steril dan ditekan sedikit agar melekat dengan baik, lalu dieramkan pada suhu 37oC selama 18-24 jam. Kemudian daerah hambatan di sekitar cakram antibiotik yang tidak ditumbuhi oleh koloni bakteri diukur diameternya dalam milimeter dengan penggaris lalu disesuaikan dengan tabel modified Kirby Bauer method.

3.7 Teknik Pengumpulan Data

Data primer diambil dari lembar pemeriksaan dan hasil pemeriksaan terhadap subyek penelitian di Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher RS Haji Adam Malik Medan, RS Haji Mina Medan dan RS Grand Medistra Lubuk Pakam. Data mengenai biofilm bakteri diperoleh dari hasil pemeriksaan dengan pewarnaan hematoxylin eosin terhadap jaringan dari sinus maksila dan

(10)

atau sinus etmoid di Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Dan data mengenai hasil kultur bakteri dan uji kepekaan antibiotik diperoleh dari pemeriksaan yang dilakukan di Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

3.8 Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan program Statistical Packet for The Social and Science (SPSS) kemudian disajikan dalam bentuk tabel dan diagram. Analisis univariat untuk data deskriptif. Analisis bivariat digunakan untuk melihat hubungan antar variabel. Variabel katagorik menggunakan uji Chi Square pada taraf kepercayaan 95% dan variabel numerik menggnakan uji T Independent bila data berdistribusi normal, bila tidak normal digunakan uji Mann Whitney. Uji normalitas menggunakan uji Shapiro Willk.

3.9 Hipotesa Statistik

H1 : terdapat hubungan antara ekspresi biofilm bakteri dengan kultur bakteri.

(11)

3.10 Kerangka Kerja

Pasien rinosinusitis kronis yang menjalani tindakan bedah sinus endoskopi fungsional

Mukosa sinus maksila dan atau sinus etmoid diambil menggunakan forcep

Sampel dilakukan pemeriksaan patologi anatomi dengan pewarnaan hematoxylin eosin

Biofilm Spesies bakteri

Pengumpulan dan analisa data

Antibiotik yang sensitif Swab dari meatus media

Sampel dilakukan pemeriksaan kultur bakteri

Uji kepekaan antibiotik

(12)

3.11 Jadwal Penelitian NO Jenis Kegiatan I II III IV V 1. Persiapan proposal 2. Presentasi proposal 3. Pengumpulan data 4. Pengolahan data dan

pembuatan laporan 5. Laporan hasil

(13)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

Penelitian diikuti oleh sebanyak 32 orang pasien rinosinusitis kronik yang telah memenuhi krinteria inklusi. Pasien dengan jenis kelamin laki-laki berjumlah 18 orang (56,3%), dengan rerata usia 37,44 tahun. subyek dengan kebiasaan merokok terdapat sebanyak 9 orang (28,1%). Keluhan pasien terbanyak adalah hidung tersumbat sebanyak 30 orang (93,8%), diikuti keluhan sekret hidung (75%), nyeri wajah (68,8%) dan gangguan penciuman (53,1%).

Hasil pemeriksaan bakteri menunjukkan dari 32 sampel, semuanya dijumpai kultur bakteri positif (100%), dimana 21 sampel diantaranya dengan biofilm positif (65,6%)

Tabel 4.1 Karakteristik Subyek Penelitian

Karakteristik Subyek n = 32

Jenis Kelamin, n (%)

Laki-laki 18 (56,3)

Perempuan 14 (43,8)

Usia, rerata (SB), tahun 37,44 (15,63)

Merokok, n (%) Ya 9 (28,1) Tidak 23 (71,9) Keluhan, n (%) Hidung tersumbat 30 (93,8) Sekret hidung 24 (75) Nyeri wajah 22 (68,8) Gangguan penciuman 17 (53,1) Polip 11 (34,4)

Hasil Kultur Bakteri, n (%)

Gram Positif 21 (65,6)

(14)

Tabel 4.2 Perbedaan Keberadaan Bakteri berdasarkan Karakteristik Demografi Karakteristik Demografi Bakteri p* Gram (+) n = 21 Gram (-) n = 11 Jenis Kelamin, n (%) Laki-laki 12 (66,7) 6 (33,3) 1,000a Perempuan 9 (64,3) 5 (35,7)

Usia, rerata (SB), tahun 37,76 (15,99)

36,82 (15,66) 0,874b

Merokok, n (%)

Ya 5 (55,6) 4 (44,4) 0,681a

Tidak 16 (69,6) 7 (30,4)

Lama Gejala, rerata (SB), bulan 35,14 (40) 15,55 (11,35) 0,433c

a Fisher’s Exact, b

T Test, c Mann Whitney

Tabel 4.2 menyajikan perbedaan hasil pemeriksan bakteri berdasarkan karakterisik demografi subyek yaitu jenis kelamin, usia, kebiasaan merokok dan lama gejala keluhan rinosinusitis. Tidak ditemukan perbedaan yang signifikan hasil pemeriksaan bakteri berdasarkan karakteristik demografi (p>0,05).

(15)

Tabel 4.3 Perbedaan Keberadaan Bakteri berdasarkan Gejala/Keluhan Rinosinusitis Kronis

Gejala/Keluhan Bakteri p* Gram (+) n = 21 Gram (-) n = 11 Hidung tersumbat, n (%) Ada 20 (66,7) 10 (33,3) 1,000a Tidak ada 1 (50) 1 (50) Sekret hidung, n (%) Ada 16 (66,7) 8 (33,7) 1,000a Tidak ada 5 (62,5) 3 (37,5) Nyeri wajah, n (%) Ada 14 (63,6) 8 (36,4) 1,000a Tidak ada 7 (70) 3 (30) Gangguan Penciuman, n (%) Ada 11 (64,7) 6 (35,3) 0,907b Tidak ada 10 (66,7) 5 (33,3) Polip, n (%) Ada 6 (54,5) 5 (45,5) 0,442a Tidak ada 15 (71,4) 6 (28,6) a

Chi Square, bFisher’s Exact

Tabel 4.3 menyajikan perbedaan hasil pemeriksan bakteri berdasarkan karakterisik demografi subyek berdasarkan gejala/keluhan rhinosinusitis kronis. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa tidak ditemukan perbedaan hasil pemeriksaan bakteri yang signifikan berdasarkan gejala/keluhan rinosinusitis kronis (p>0,05).

(16)

Tabel 4.4 Hubungan Biofilm dan Keberadaan Bakteri Biofilm Kultur Bakteri Positif Negatif Positif 21 - Negatif 11 -

Tabel 4.4 menyajikan hubungan biofilm dan keberadaan bakteri dimana dari semua sampel baik biofilm positif maupun biofilm negatif hasil kultur bakterinya positif.

Tabel 4.5 Hubungan Biofilm dengan Keberadaan Bakteri Gram Positif dan Gram Negatif

Biofilm Bakteri p* Gram (+) n = 21 Gram (-) n = 11 Positif 15 (71,4) 6 (28,6) 0,442 Negatif 6 (54,5) 5 (45,5) *Fisher’s Exact

Hasil studi menunjukkan dari 21 orang subyek dengan biofilm positif terdapat 15 orang (71,4%) ditemukan bakteri gram positif, dan dari 11 subyek dengan biofilm negatif ditemukan 6 orang (54,5%) bakteri gram positif. Hasil analisis menggunakan uji fisher’s exact ditemukan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara hasil biofilm positif dengan hasil pemeriksaan bakteri (p=0,442, p>0,05).

(17)

Tabel 4.6 Distribusi Isolasi Bakteri Gram Positif Organisme Jumlah n = 21 Persentase Staphylococcus epidermidis 16 76,19 Staphylococcus aureus 5 23,81

Tabel 4.6 menyajikan distribusi bakteri gram positif dimana dari 21 sampel bakteri, Staphylococcus epidermidis merupakan bakteri gram positif yang paling banyak dijumpai (76,19%), diikuti oleh Staphylococcus aureus (23,81%).

Tabel 4.7 Tes Sensitifitas Bakteri Gram Positif

Antibiotik Sensitifitas (%) Amoxicillin - Clavulanat 90,48 Ciprofloxacin 90,48 Cefotaxime 85,71 Chloramfenicol 80,95 Gentamicin 76,19 Eritromicin 61,90 Tetrasiklin 61,90 Clindamicin 57,14 Amoxicillin 52,38 Ampicilin 28,57

Dari tabel 4.7 menunjukkan hasil tes sensitifitas pada bakteri gram positif, dimana Ciprofloxacin (90,48%) dan Amoxicilin-Clavulanat (90,48%)

(18)

merupakan antibiotik yang paling tinggi sensitifitasnya pada isolasi bakteri gram positif, diikuti oleh Cefotaxime (85,71%).

Tabel 4.8 Distribusi Isolasi Bakteri Gram Negatif

Organisme Jumlah n = 11 Persentase Escherichia coli 2 18,18 Acinetobacter baumannii 1 9,09 Klebsiella pneumonia 7 63,64 Pseudomonas aeruginosa 1 9,09

Tabel 4.8 menyajikan distribusi bakteri gram negatif dimana dari 11 sampel bakteri, Klebsiella pneumonia merupakan bakteri gram negatif yang paling banyak dijumpai (63,64%), diikuti oleh Escherichia coli (18,18%).

Tabel 4.9 Tes Sensitifitas Bakteri Gram Negatif

Antibiotik Sensitivitas (%) Ciprofloxacin 100 Imipenem 100 Cefoperazone 90,91 Ceftazidin 90,91 Tetrasiklin 72,73 Chlorampenicol 63,64 Cotrimoxazole 63,64 Gentamicin 63,64 Ampicilin 9,09

(19)

Dari tabel 4.9 menunjukkan hasil tes sensitifitas pada bakteri gram negatif, dimana Ciprofloxacin (100%) dan Imipenem (100%) merupakan antibiotik yang paling tinggi sensitifitasnya pada isolasi bakteri gram negatif, diikuti oleh Cefoperazone (90,91%) dan Ceftazidin (90,91%).

Tabel 4.10 Distribusi Isolasi Bakteri Pada Sampel Biofilm Positif

Organisme Jumlah n = 21 Persentase Bakteri Gram (+): - Staphylococcus epidermidis 12 57,14 - Staphylococcus Aureus 4 19,65 Bakteri Gram (-): - Acinetobacter baumannii 1 4,76 - Klebsiella pneumonia 3 14,29 - Pseudomonas aeruginosa 1 4,76

Tabel 4.10 menyajikan distribusi bakteri pada sampel biofilm positif dimana dari 21 sampel, Staphylococcus epidermidis merupakan bakteri gram positif yang paling banyak dijumpai (57,14%), diikuti oleh Staphylococcus aureus (19,65%). Bakteri gram negatif yang paling banyak dijumpai adalah Klebsiella pneumonia (14,29%).

Tabel 4.11 Distribusi Isolasi Bakteri Pada Sampel Biofilm Negatif

Organisme Jumlah n = 11 Persentase Bakteri Gram (+): - Staphylococcus epidermidis 4 36,36 - Staphylococcus Aureus 1 9,09 Bakteri Gram (-): - Escherichia coli 2 18,18 - Klebsiella pneumonia 4 36,36

(20)

Tabel 4.11 menyajikan distribusi bakteri pada sampel biofilm negatif dimana dari 11 sampel bakteri, Staphylococcus epidermidis dan Klebsiela pneumonia merupakan bakteri yang paling banyak dijumpai (36,36%).

Tabel 4.12 Tes Sensitifitas Bakteri Pada Sampel Biofilm Positif dan Biofilm Negatif

Jenis Antibiotik

Sensitifitas (%)

Biofilm (+) Biofilm (-) Gram (+) Gram (-) Gram (+) Gram (-)

Ciprofloxacin 86,67 100 100 100 Imipenem - 100 - 100 Amoxicilin - Clavulanat 86,67 - 100 - Cefotaxime 80 - 100 - Cefoperazone - 100 - 80 Ceftazidin - 100 - 80 Chloramfenicol 86,67 66,67 66,67 60 Gentamicin 73,33 66,67 83,33 60 Tetrasiklin 66,67 83,33 50 60 Clindamicin 40 - 100 - Eritromicin 53,30 - 83,33 - Amoxicillin 40 - 83,33 - Cotrimoxazole - 50 - 80 Ampicilin 20 16,67 50 100

Dari tabel 4.12 menunjukkan hasil tes sensitifitas pada bakteri gram positif, sampel biofilm positif dimana Ciprofloxacin, Chlorampenicol, dan Imipenem merupakan antibiotik yang paling tinggi sensitifitasnya pada isolasi bakteri gram positif (86,67%), diikuti oleh Cefotaxime (80%). Hasil tes sensitifitas pada bakteri gram negatif sampel biofilm positif dimana

(21)

Ciprofloxacin, Cefoperazone, Ceftazidin, dan Imipenem merupakan antibiotik yang paling tinggi sensitifitasnya pada isolasi bakteri gram negatif (100%), diikuti oleh Tetrasiklin (83,33%).

Hasil tes sensitifitas pada bakteri gram positif sampel biofilm negatif dimana Ciprofloxacin, Amoxicillin-Clavulanat, Cefotaxim dan Clindamicin merupakan antibiotik yang paling tinggi sensitifitasnya pada isolasi bakteri gram positif (100%), diikuti oleh Gentamicin, Amoxicilin dan Eritromicin yaitu 83,33%. Hasil tes sensitifitas pada bakteri gram negatif, sampel biofilm negatif dimana Ciprofloxacin, Ampicilin dan Imipenem merupakan antibiotik yang paling tinggi sensitifitasnya pada isolasi bakteri gram negatif (100%), diikuti oleh Cotrimoxazole, Cefoperazone dan Ceftazidin yaitu 80%.

(22)

BAB V PEMBAHASAN

Rinosinusitis kronis merupakan salah satu penyakit kronis yang paling sering dijumpai, mempengaruhi 4-28 % populasi di Eropa dan Amerika Serikat. Penyakit ini secara signifikan menurunkan kualitas hidup penderitanya dan merupakan masalah sosioekonomi dalam masyarakat. Pasien dengan rinosinusitis berulang atau kronis dilaporkan mengalami penurunan kesehatan secara umum dan vitalitas jika dibandingkan dengan populasi umum (Dlugaszewska, et al., 2015).

Rinosinusitis kronis memiliki banyak penyebab yang terdiri dari infeksi (virus, bakteri dan jamur), anatomi, alergi, disfungsi mukosilier kongenital (misalnya fibrosis kistik, diskinesia siliari primer atau didapat) dan gangguan sistemik. Adanya bakteri di dalam hidung dan sinus paranasal pada populasi rinosinusitis kronis telah dapat dibuktikan, dan kebanyakan praktisi percaya bahwa bakteri memiliki peranan pada sebagian besar kasus. Apakah bakteri memiliki peranan secara langsung atau tidak langsung dalam perkembangan rinosinusitis kronis belum dapat ditentukan secara pasti (Schlosser dan Woodworth, 2009).

Berdasarkan publikasi oleh National Institutes of Health, lebih dari 80% dari semua infeksi melibatkan biofilm. Biofilm berhubungan dengan banyak kondisi medis termasuk diantaranya alat-alat medis yang terpasang lama, plak gigi, infeksi saluran pernapasan atas, peritonitis, dan infeksi urogenital. Baik bakteri gram positif maupun gram negatif memiliki kemampuan untuk membentuk biofilm (Donlan, 2001; Hassan, et al., 2011; Reid, 1999).

(23)

Pada kasus sinusitis dengan episode berulang, koloni dari berbagai macam mikroba cenderung terbentuk pada sinus. Oleh karena itu, saat ini diduga bahwa biofilm bakteri sebagai salah satu faktor etiopatologi yang memiliki peranan dalam terjadinya rinosinusitis kronis (Dlugaszewska, et al., 2015). Deteksi biofilm pada pasien rinosinusitis kronis yang menjalani FESS sangatlah penting karena sangat berhubungan dengan kegagalan terapi dan gejala yang menetap (prognosis) dan terapi yang akan diberikan (Hong, et al., 2014).

Saat ini baku emas untuk mengidentifikasi adanya biofilm adalah confocal scanning laser microscopy yang digunakan bersamaan dengan fluorescent in-situ hybridization (FISH) (Keir, Pedelty dan Swift, 2011). Sangat disayangkan confocal scanning laser microscopy merupakan peralatan yang tidak murah dan tidak tersedia luas. Namun dikarenakan terdapat peningkatan bukti bahwa biofilm berperan penting dalam banyak penyakit kronis, maka penting untuk mengidentifikasi metode yang lebih mudah dan lebih murah untuk meneliti biofilm pada sampel klinis. Ketersediaan pewarnaan hematoxylin-eosin yang luas dalam laboratorium patologi klinik membuatnya menjadi metode yang sangat praktis untuk mendeteksi biofilm dalam praktek klinis (Hochstim, et al., 2010; Natili dan Leipzig, 2014). Pewarnaan hematoxylin-eosin dapat menginvestigasi lapisan jaringan dan arsitektur mikroskopisnya. Identifikasi mikrobiologi dari agen infeksi berbeda yang terlibat dalam formasi biofilm memerlukan pemeriksaan kultur bakteri. Biofilm sangat penting untuk dideteksi karena berhubungan erat dengan kegagalan terapi dan gejala yang menetap (Toth, et al., 2011).

Penatalaksanaan pasien dengan rinosinusitis kronis merupakan suatu tantangan bagi dokter spesialis telinga hidung tenggorok, karena banyaknya faktor yang terlibat dalam patofisiologi dari penyakit ini. Faktor lingkungan termasuk berbagai macam mikroorganisme dan interaksi dengan pejamu

(24)

bertanggung jawab terhadap gejala dari rinosinusitis kronis. Adanya biofilm pada pasien dengan rinosinusitis kronis bertanggung jawab terhadap hasil yang buruk setelah terapi bedah dengan FESS (Dlugaszewska, et al., 2015).

Mikroorganisme memiliki peranan penting dalam menyebabkan rinosinusitis kronis, sehingga agen antimikroba merupakan terapi primer. Namun anbtimikroba yang diberikan adalah secara empiris tidak berdasarkan pada hasil isolasi dan sensitifitas mikroorganisme, sehingga dapat menyebabkan terjadinya peningkatan insiden resistensi pada beberapa mikroorganisme dan membuat penanganan dari infeksi ini menjadi lebih rumit. Data mikrobiologi yang terperinci sangat diperlukan dalam memandu penatalalaksanaan sinusitis kronis (Udayasri dan Radhakumari, 2016).

Pasien dengan rinosinusitis kronis mengkonsumsi antibiotik dalam jangka waktu lama, hal ini dapat menyebabkan terjadinya resistensi. Bersamaan dengan pasien yang tidak patuh terhadap pengobatan, penggunaan obat yang tidak efisien, konsumsi obat dengan dosis yang salah, dan penggunaan antibiotik yang tidak bijaksana, semuanya berkontribusi terhadap rendahnya sensitifitas mikroorganisme terhadap antibiotik (Araujo, et al., 2007).

Berdasarkan karakteristik subyek penelitian sebanyak 32 pasien, didapati pada pasien rinosinusitis kronis jumlah penderita dengan jenis kelamin laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan dengan rasio 1,29:1. Penelitian oleh Boase dkk yang melibatkan 38 penderita rinosinusitis kronis juga mendapati jumlah laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan dengan rasio 1,37:1. Rasio yang lebih tinggi didapati pada penelitian oleh Foreman dkk dengan jumlah sampel 50 pasien dengan rasio 1,5:1. Dan penelitian oleh You dkk dengan jumlah sampel 90 pasien mendapati rasio laki-laki dan wanita sebesar 1,78:1.

(25)

Rata-rata umur subyek penelitian ini adalah 37 tahun. Studi oleh Udayasri dkk menyebutkan bahwa insiden rinosinusitis kronis paling sering dijumpai pada kelompok umur 21-40 tahun, sebanyak 65%. Studi oleh D. Shrestha dkk juga melaporkan bahwa insiden rinosinusitis kronis terbanyak didapati pada kelompok umur 21-40 tahun, sebanyak 68%.

Biofilm positif pada penelitian ini dijumpai pada 21 dari 32 sampel pasien (65,6%). Hampir sama dengan yang didapati oleh Hochstim dkk dalam penelitiannya yang mendapatkan insiden biofilm positif sebanyak 62% yaitu 15 orang dari 24 sampel. Hong dkk dalam penelitiannya mendeteksi biofilm pada 28 pasien dari 55 sampel (50,9%) lebih kecil bila dibandingakan dengan penelitian ini. Berbeda dengan Hochstim dkk dan Hong dkk, beberapa penelitian berikut ini memperoleh hasil yang lebih tinggi, penelitian yang dilakukan oleh You dkk dengan jumlah sampel 90 orang menjumpai insiden biofilm positif sebesar 71,1%. Penelitian yang dilakukan oleh Foreman dkk pada 50 orang penderita rinosinusitis kronis mendapati insiden biofilm positif sebesar 72%, angka yang relatif sama dengan You dkk. Insiden biofilm yang lebih tinggi dilaporkan oleh Sanclement dkk yang melibatkan 30 orang, sebesar 80%, dan penelitian oleh Zhang dkk sebesar 83,3%.

Peran biofilm sebagai etiologi patologis utama pada rinosinusitis kronis dapat membantu menjelaskan manifestasi klinis dari penyakit. Sekali biofilm terbentuk, dapat menyebabkan resisten terhadap pertahanan tubuh host dan terapi eksternal dikarenakan antigen yang terus-menerus ada dan perkembangan proses inflamasi kronis (Harvey dan Lund, 2007; Keir, Pedelty dan Swift, 2011). Lebih lanjut lagi, adanya biofilm telah dihubungkan dengan sinusitis yang gejala klinisnya lebih buruk (Bendouah, et al., 2006; Foreman, et al., 2009). Temuan ini direplikasikan pada studi baru-baru ini dimana dijumpai pasien rinosinusitis kronis dengan biofilm positif memiliki skor gejala

(26)

klinis yang lebih buruk secara signifikan dibandingkan dengan yang nonbiofilm (Foreman, et al., 2009).

Gejala yang paling sering dijumpai pada penderita rinosinusitis kronis pada penelitian ini adalah hidung tersumbat (93,8%), diikuti oleh sekret hidung (75%), nyeri wajah (68,8%), dan penciuman berkurang (53,1%). Penemuan ini sesuai dengan penelitian dari You dkk yang juga menjumpai keluhan hidung tersumbat (98,9%) sebagai keluhan terbanyak, diikuti dengan sekret hidung (96,7%), penciuman berkurang (53,3%), nyeri wajah (50%). Hal yang berbeda didapati oleh Udayasri dkk yang mendapati bahwa keluhan sekret hidung (95,2%) adalah keluhan yang paling sering didapati, diikuti oleh hidung tersumbat (94,4%), nyeri wajah (56%), dan penciuman berkurang (6,4%). Penelitian oleh D. Shrestha dkk juga melaporkan bahwa sekret hidung (90%) adalah keluhan terbanyak, diikuti oleh hidung tersumbat (88%).

Nasal polip pada penelitian ini dijumpai pada 11 dari 32 orang (34,4%). Angka yang tidak jauh berbeda dengan penelitian oleh Udayasri dkk sebesar 32% dan penelitian oleh Goel dkk sebesar 32,5%.

Hasil pemeriksaan bakteri pada penelitian ini menunjukkan dari 32 sampel, semuanya dijumpai kultur bakteri positif (100%), dimana 21 sampel diantaranya dengan biofilm positif (65,6%). Walaupun semua sampel kultur bakterinya positif namun tidak semua bakteri dalam bentuk biofilm tetapi ada juga yang dalam bentuk planktonis (bakteri yang bebas bergerak). Disamping itu, bukan hanya bakteri yang dapat membentuk biofilm tetapi patogen jamur juga mampu memproduksi biofilm (Costerton, et al., 2003; Keir, Pedelty dan Swift, 2011; Sanglard, 2002).

Bakteri gram positif yang terbanyak dijumpai pada penelitian ini adalah Staphylococcus epidermidis sebanyak 76,19% diikuti oleh Staphylococcus aureus 23,81%. Udayasri dkk pada penelitiannya mendapatkan

(27)

Staphylococcus aureus yang terbanyak yaitu 43,92% diikuti oleh Staphylococcus coagulase negatif 24,29%. Araujo dkk memperoleh Staphylococcus aureus sebagai bakteri gram positif terbanyak 31%, diikuti oleh Staphylococcus coagulase negatif 23% dan Streptococcus pneumonia 13%. Foreman dkk melaporkan Staphylococcus aureus sebagai bakteri terbanyak yaitu 40%. Kamath dkk juga mendapatkan Staphylococcus aureus yang terbanyak yaitu 43%.

Diantara bakteri gram negatif yang terbanyak dijumpai pada penelitian ini adalah Klebsiella pneumonia sebanyak 63,64%. Sama dengan yang didapatkan oleh Udayasri dkk dimana Klebsiella species juga merupakan bakteri gram negatif terbanyak, dijumpai sebanyak 11,21%. Kamath dkk juga mendapatkan Klebsiella species sebagai bakteri gram negatif terbanyak (9%). Bakteri gram negatif lain yang dijumpai pada penelitian ini adalah Escherichia coli (18,18%), Pseudomonas aeruginosa (9,09%) dan Acinetobacter baumannii (9,09%). Udayasri dkk juga menemukan Escherichia coli dalam penelitiannya sebanyak 7,47%.

Berdasarkan publikasi oleh National Institutes of Health, baik bakteri gram-positif maupun gram-negatif memiliki kemampuan untuk membentuk biofilm. Bakteri yang sering terlibat termasuk diantaranya Enterococcus faecalis, Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Streptococcus viridans, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Proteus mirabilis dan Pseudomonas aeruginosa (Donlan, 2001; Hassan, et al., 2011; Reid, 1999). Perbedaan profil organisme antar studi menggambarkan variasi daerah, pola penggunaan antimikroba, perbedaan metodologi, atau gambaran keparahan penyakit (Boase, et al., 2013).

Pada penelitian ini didapatkan bakteri gram positif sensitif terhadap Ciprofloxacin dan Amoxicillin-Clavulanat yaitu sebanyak 90,48%, diikuti oleh Cefotaxim 85,71%, Chloramfenicol 80,95%, dan Gentamicin 76,19%. Hampir

(28)

sama dengan yang diperoleh oleh Udayasri dkk yang mendapatkan semua bakteri gram positif sensitif terhadap Vancomycin (100%), diikuti oleh Ciprofloxacin (90%), Clindamycin (90%) dan Gentamicin (60%).

Semua bakteri gram negatif pada penelitian ini sensitif terhadap Imipenem dan Ciprofloxacin (100%), diikuti oleh Ceftazidin dan Cefoperazone sebanyak 90.91%. Udayasri dkk, M. Hashemi dkk dan Jee dkk juga mendapatkan semua bakteri gram negatif sensitif terhadap Imipenem (100%).

Pada sampel dengan biofilm positif bakteri yang paling banyak dijumpai adalah Staphylococcus epidermidis (57,14%), diikuti oleh Staphylococcus aureus (19,65%). Temuan ini tidak mengejutkan karena bakteri gram positif adalah penyebab terbanyak dari sampel biofilm positif sebesar 71,43%.

Dari hasil tes isolasi bakteri pada sampel dengan biofilm positif, hasil sensitifitas antibiotik tidak jauh berbeda dengan hasil keseluruhan. Ciprofloxacin tetap menjadi antibiotik yang paling tinggi tingkat sensitifitas nya baik pada bakteri gram positif (86,67%) maupun bakteri gram negatif (100%).

(29)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

6.1.1 Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara ekspresi biofilm bakteri dengan kultur bakteri.

6.1.2 Bakteri yang terbanyak menyebabkan rinosinusitis kronis adalah bakteri gram positif, dimana Staphylococcus epirdermidis menjadi bakteri penyebab yang tertinggi.

6.1.3 Pada pasien dengan biofilm positif, Staphylococcus epidermidis juga menjadi bakteri penyebab yang utama.

6.1.4 Ciprofloxacin merupakan antibiotik dengan tingkat sensitifitas tertinggi pada penderita rinosinusitis kronis, baik pada bakteri gram positif maupun gram negatif.

6.1.5 Pada penderita dengan biofilm positif, Ciprofloxacin juga menjadi antibiotik dengan tingkat sensitifitas tertinggi baik pada bakteri gram positif maupun gram negatif.

(30)

6.2 Saran

6.2.1 Sebaiknya pasien rinosinusitis kronis yang menjalani tindakan bedah sinus endoskopi fungsional dilakukan kultur bakteri dan uji sensitifitas agar penatalaksanaan pasien dengan rinosinusitis kronis dapat optimal.

6.2.2 Antibiotik Ciprofloxacin dapat menjadi terapi antibiotik empiris pada pasien dengan rinosinusitis kronis.

Gambar

Gambar 3.1. Pewarnaan hematoxylin eosin, kiri: tampak epitel respiratori  bersilia yang normal, kanan: tampak kelompok bakteri basofilik kecil pada

Referensi

Dokumen terkait

Beberapa antibiotik hanya memiliki spektrum yang sempit, bekerja hanya pada gram negatif, gram positif, atau golongan bakteri tertentu.. Beberapa antiobitik

Kloramfenikol merupakan suatu antibiotik spektrum luas yang aktif terhadap bakteri gram positif dan gram negatif yang saat ini banyak digunakan oleh masyarakat

Pembuatan preparat dengan metode pewarnaan Gram dilakukan melalui 2 tahap yaitu dibuat olesan bakteri dan dilakukan pewarnaan Gram pada olesan bakteri. Untuk pembuatan

kritis matematis siswa pada kedua sampel. Sebelum instrumen tes ini digunakan maka perlu beberapa pengujian agar instrumen yang digunakan baik. Tes ini terlebih dahulu diuji

Secara umum apabila dibandingkan antara bakteri gram positif dan bakteri gram negatif, maka bakteri gram negatif relatif mempunyai diameter penghambatan yang lebih kecil

Kartu reagen memiliki 3 jenis yaitu GN (Gram-Negatif) yang digunakan untuk mengidentifikasi secara langsung bakteri Gram- negatif, GP (Gram-Positif) yang digunakan

Beberapa siswa mendemonstrasikan alat peraga secara berpasangan untuk menjumlahkan bilangan bulat positif dan positif, menjumlahkan bilangan bulat negatif dengan

bakteri, bertindak melawan mikroorganisme gram positif dan gram negatif.8 Chlorhexidine sangat efisien karena bekerja tidak hanya untuk melawan bakteri negatif tapi juga melawan jamur