• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODUL. EPIDEMIOLOGI & PENGENDALIAN (S3): Pengendalian dengan Pendekatan Matematik SELF-PROPAGATING ENTREPRENEURIAL EDUCATION DEVELOPMENT (SPEED)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MODUL. EPIDEMIOLOGI & PENGENDALIAN (S3): Pengendalian dengan Pendekatan Matematik SELF-PROPAGATING ENTREPRENEURIAL EDUCATION DEVELOPMENT (SPEED)"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

EPIDEMIOLOGI & PENGENDALIAN (S3):

Pengendalian dengan Pendekatan Matematik

Faculty of Agriculture, Universitas Brawijaya

Email : @ub.ac.id

1. PENDAHULUAN 2. TUJUAN PEMBELAJARAN 3. KEGIATAN BELAJAR 4. REFERENSI 5. PROPAGASI 6. PENDALAMAN

1. PENDAHULUAN

Pengendalian dengan pendekatan model matematika merupakan konsep yang sangat strategis dalam bidang epidemiologi selama unsur-unsur yang menjadi variabel terlibat dalam proses epidemi tersebut diketahui dan dapat diukur secara kuantitatif. Pada dasarnya di alam telah terjadi bentuk hubungan tersebut secara tetap (fix) sehingga terjadi keteraturan dinamikanya pada proses tadi, kaedah demikian sering kita sebut sebagai hukum alam yang pasti dan objektif. Disebut pasti adalah kejadiannya akan muncul bila persyatana dalam proses itu terpenuhi berdasrkan unsur tersebut; dan objektif berarti ia akan tetap demikian dalam kondisi apapun tidak akan pernah berubah.

Apabila pemikiran dasar ini menjadi rujukan bagi para ahli pertanian, maka kejadian penyakit di lahan pertaniannya adalah mengikuti pola hukum alam tersebut yang dapat diperhitungkan secara matematika saat ini karena mudahnya software didapat dan peralatan dapat diakses. Pengendalian jenis ini bila kembali pada modul 8 adalah merupakan bentuk pengendalian yang bersifat perlindungan (protective), yakni kita akan mempertahakan kesehatan tanaman dengan kondisi alamnya selama faktor pemicu rusaknya hukum alam tersebut dapat dieliminir. Disinilah seni manajemen pengelolaan hama penyakit dengan pendekatan epidemiologi yang memang tidak banyak dipahami oleh orang awam.

9

MODUL

SEL

F-P

RO

PAG

ATI

N

G

EN

TR

EP

RE

N

EU

RIA

L E

DU

CATI

O

N

D

EV

EL

O

PM

EN

T

(SP

EED

)

(2)

2013

Brawijaya University

2

. TUJUAN PEMBELAJARAN

Mengenalkan kaedah hukum alam dengan pendekatan epidemiologi pada kasus-kasus penyakit

tanaman tertentu, dengan cara ini mahasiswa akan mudah melakukan tindakan pencegahan atas dasar rumus matematika yang sudah pasti.

3. KEGIATAN BELAJAR

Model-Model Matematika

Jika, sebagaimana yang telah kita nyatakan, tujuan kita dalam pengelolaan penyakit tanaman adalah untuk menjaga agar perkembangan penyakit berada di bawah tingkatan yang dapat diterima dan karenanya untuk memahami perkembangan penyakit dalam istilah kuantitatif, maka perlu ditemukan model matematika untuk dapat mendeskripsikan epidemik. Model tersebut menunjukkan bagaimana beberapa variabel, khususnya sesuatu yang bisa kita hitung atau ukur dalam perubahan populasi patogen dibandingkan dengan waktu. Dari perspektif pengelolaan, tetap mengamati infeksi baru mungkin merupakan hal yang paling berguna, tetapi mengamati peristiwa-peristiwa mikroskopik secara aktual dibawah mikroskop dalam kebanyakan kasus adalah hal yang terlalu sulit untuk bisa dikatakan praktis. Memonitoring inokulum juga bisa merupakan hal yang berguna dalam pengelolaan penyakit, dan juga bagi banyak teknik-teknik praktis penyakit yang telah dikembangkan untuk mengkuantifikasikan inokulum. Kita akan memulai pembahasan kita, dengan perubahan populasi patogen dengan waktu di dalam jumlah inokulum yang tersedia untuk menyebabkan terjadinya penyakit.

Produksi Inokulum Monosiklik

Dalam epidemik monosiklik kita terutama sangat tertarik pada inokulum yang hadir pada awal tiap musim (inokulum awal). Jika kita menganggap Q1 mewakili jumlah inokulum awal di awal musim saat ini (current season), maka nilainya akan sebanding dengan jumlah inokulum awal pada awal musim sebelumnya, Q0 plus inkrementasi yang telah dihasilkan dari pertumbuhan dan perkembangan patogen selama musim tersebut:

Q1= Q0+ Increment (penambahan/kenaikan)

Increment akan menjadi fungsi kuantitas inokulum awal musim sebelumnya, dan sebuah perkiraan yang logis adalah untuk membuat inokulum awal musim sebelumnya dalam proporsi yang sederhana, KQ0, dimana K adalah konstanta proporsionalitas:

Q1= Q0+ KQ0

(3)

2013

Brawijaya University

budidaya dan cara bercocok tanam. Jika terdapat peningkatan bersih dalam inokulum dari satu musim ke musim berikutnya, K akan bernilai positif. Jika, di sisi lain, terdapat kehilangan/penurunan inokulum bersih, seperti yang misalnya terjadi ketika dilakukan rotasi terhadap tanaman bukan inang, maka K akan bernilai negatif.

Agar dapat mendeskripsikan perubahan di dalam inokulum awal dari satu musim ke musim berikutnya dalam epidemik polyetic, kita akan melakukan generalisasi subscript yang mengindikasikan musim.

QT+1= Q1+ KQ1

Kita menyelesaikan persamaan ini secara berulang, mengubah subscript T, mengindikasikan waktu, dengan tiap musim yang berlangsung dan membuat current value QT+1 dari nilai QT dalam musim berikutnya. Untuk menyederhanakan persamaan ini, maka kita dapat mengasumsikan K adalah konstan (rata-rata beberapa musim).

Jika K bernilai positif, maka increment (area abu-abu muda dalam tiap batang diagram) mengalami peningkatan sejalan dengan inokulum awal di tiap musim berikutnya, dan grafiknya akan tampak mengalami peningkatan (bergerak naik – upward).

Produksi Inokulum Polisiklik

Untuk epidemik polisiklik kita dapat menggunakan model yang sama seperti patogen monosiklik yang dikaji untuk beberapa musim lain, dimana daripada mengulangi siklus musim demi musim, maka kita akan memiliki siklus berulang di dalam musim yang sama. Rentang waktu menjadi hari atau minggu dan bukannya tahun, sehingga karena rentang waktu tidak lagi merupakan satu unit waktu (tahun) maka increment waktu diberikan sebagai ∆T.

(4)

2013

Brawijaya University

Untuk masalah notasi, kita akan menggunakan q dalam huruf kecil untuk mewakili kuantitas inokulum selama epidemik dan k dalam huruf kecil untuk mewakili proporsi dimana inokulum meningkat dalam tiap kurun waktu. Unit k berkorelasi dengan unit T. Sebagai contoh, jika waktu diukur dalam hari, maka unit k adalah proporsi/hari.

Produksi inokulum sesungguhnya cenderung untuk terjadi secara iregular dan diskontinyu, periode infeksi yang berbeda dalam panjang waktu, tergantung pada cuaca, dan nilai k akan cenderung berbeda untuk tiap-tiap periode infeksi. Meski demikian, dalam menjaga tujuan kita untuk mengembangkan model yang paling sederhana yang memungkinkan untuk digunakan sebagai alat pengelolaan Penyakit, maka kita akan menyederhanakan model diatas dengan menggunakan rentang waktu yang seragam dan mengasumsi nilai k yang konstan. (Daripada memiliki nilai k yang bervariasi menurut kondisi lingkungan, kita akan menggunakan nilai “rata-rata” k dari seluruh epidemik). Mula-mula kita harus mengatur kembali persamaan diatas untuk mendapatkan:

qT+∆T – qT= qTk.∆T

Perubahan dalam jumlah inokulum dalam satu rentang waktu, ∆q, adalah selisih antara jumlah inokulum pada waktu T dan jumlah inokulum pada waktu T+∆T:

∆q = qTk.∆T

Dengan pengaturan ulang maka kita akan mendapatkan: ∆q/∆T = qTk

Kini bukannya menggunakan waktu dalam rentang yang berbeda, kita akan menggunakan waktu secara kontinyu, membuat ∆T bernilai kecil:

dq/dt = qk

Di dalam persamaan diferensial ini, dq adalah perubahan kecil dalam kuantitas inokulum dan dt adalah perubahan kecil dalam waktu. Persamaan ini mengatakan pada kita bahwa tingkat perubahan jumlah inokulum adalah proporsional dengan jumlah inokulum pada titik waktu manapun. Menggunakan kalkulus, maka persamaan ini dapat diintegrasikan menjadi:

(5)

2013

Brawijaya University

Disini, kita melihat, fungsi eksponensial yang familiar, dimana q0 adalah inokulum awal, dan e adalah nilai logaritma dasar . Tingkat perubahan instan dalam q adalah dq/dt, kemiringan tangen terhadap kurva pada titik manapun.

Model Perkembangan Penyakit

Sementara pengukuran terhadap jumlah inokulum memberikan penilaian yang bagus mengenai perkembangan epidemik, pengamatan langsung terhadap inokulum tidak selalu memungkinkan untuk dilakukan. Pada kebanyakan penyakit tanaman, kita bisa melihat beberapa jenis gejala yang membuat kita menghitung jumlah tanaman terinfeksi atau mengestimasikan jumlah jaringan yang terinfeksi. Jelasnya, terdapat kesenjangan waktu (time lag) antara infeksi dan munculnya gejala-gejala yang dapat diamati, dan manifestasi gejala-gejala ini dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, tapi pada umumnya perkembangan gejala ini akan paralel dengan perkembangan produksi inokulum. Oleh karenanya model yang sama yang kita gunakan dalam mendeskripsikan timbunan inokulum juga dapat digunakan untuk mendeskripsikan perkembangan penyakit. Kita akan mengikuti notasi Vanderplank (1963) dan menggunakan x untuk mewakili proporsi tanaman yang terinfeksi ataupun proporsi jaringan tanaman yang terinfeksi. Menggunakan sebuah proporsi yang tidak berdimensi antara nol dan satu untuk mewakili penyakit membuat matematika menjadi lebih sederhana daripada menggunakan unit spesifik, seperti misalnya populasi total tanaman yang terinfeksi atau area total jaringan yang terinfeksi, misalnya.

Perkembangan Penyakit Monosiklik

Jika perkembangan penyakit dalam epidemik monosiklik adalah linier, maka kemiringan kurva perkembangan penyakit akan konstan. Selain itu, jika perkembangan penyakit dalam epidemik monosiklik proporsional terhadap jumlah inokulum awal (yang dengan sendirinya konstan selama epidemik terjadi), maka kita dapat membuat kemiringan kurva perkembangan penyakit untuk produk dari inokulum awal dan memiliki konstanta proporsionalitas. Oleh karenanya, kita dapat mendeskripsikan epidemik monosiklik dengan perkembangan penyakit linier menggunakan persamaan diferensial:

dx/dt = QR

dimana dx adalah peningkatan penyakit dalam proporsi penyakit, dt adalah periode waktu yang pendek, Q adalah jumlah inokulum awal, dan R adalah tingkatan perkembangan penyakit per unit inokulum. Sejak Q dan R bernilai konstan selama epidemik terjadi, kemiringan kurva, dx/dt adalah konstan, dan perkembangan penyakit adalah linier. Sama seperti K yang konstan dalam model produksi inokulum monosiklik, R memiliki nilai yang mewakili “rata-rata” untuk seluruh epidemik, sebuah nilai yang tergantung pada berbagai faktor, seperti misalnya agresivitas patogen, kerentanan inang, kondisi lingkungan dan lain sebagainya. Unit R adalah proporsi per unit inokulum awal per unit waktu.

(6)

2013

Brawijaya University

x = QRt

Secara grafik, kita dapat melihat sebuah garis lurus yang memotong titik nol dan sebuah kemiringan kurva QR.

Perkembangan Penyakit Polisiklik

Dalam sebuah model yang analog dengan produksi inokulum polisiklik, tingkat perubahan dalam penyakit adalah proporsional terhadap jumlah penyakit di titik waktu manapun. Oleh karenanya, dalam bentuk yang berdiferensiasi, persamaan untuk mendeskripsikan epidemik polisiklik adalah: dx/dt = xr

Sama seperti model monosiklik, x adalah proporsi tanpa dimensi antara nol dan satu dan r adalah sebuah konstanta yang tergantung pada agresivitas patogen, kerentanan inang, kondisi lingkungan dan lain sebagainya, dirata-rata selama epidemik berlangsung. Dalam kasus ini, kemiringan dx/dt adalah proporsional terhadap x, dan karenanya perkembangan penyakit akan mengalami peningkatan sebanding dengan waktu di tingkat yang semakin tinggi.

Dalam bentuk terintegrasi, model akan menjadi: x = x0ert

Dimana x0 adalah proporsi penyakit di awal epidemik dan e adalah nilai logaritma dasar. Vanderplank (1963) menyatakan r sebagai “laju infeksi nyata” karena r didasarkan pada penampakan gejala penyakit, yang berbanding terbalik infeksi aktual. r didefinisikan sebagai laju peningkatan penyakit per unit penyakit dan memiliki unit proporsi per unit waktu. Parameter x0 kadang-kadang disebut sebagai inokulum awal, dimana memiliki keterkaitan secara kuantitatif, tapi merupakan penyakit awal (proporsi). Secara grafis model memiliki bentuk familiar dari model eksponensial.

(7)

2013

Brawijaya University

Upper Limit (Batas Atas) Penyakit

Model-model diatas mengasumsikan pertumbuhan penyakit yang tidak terbatas, yang tentu saja, mustahil terjadi; proporsi tanaman yang terjangkit atau jaringan yang terinfeksi tidak dapat lebih besar daripada satu. Kita dapat menyesuaikan model kita untuk menanggapi kasus ini dengan menggunakan sebuah faktor koreksi (1-x) untuk mewakili proporsi jaringan sehat yang tersisa. Sebuah penurunan dalam jaringan sehat yang tersisa mengurangi peluang untuk infeksi baru dan karenanya mengurangi tingkat perkembangan penyakit. Ketika x mendekati satu, tidak ada jaringan sehat yang tersisa, dan tingkat epidemik menurun hingga mendekati nol.

Model monosiklik dari perkembangan penyakit, disesuaikan untuk limit penyakit adalah: dx/dt = QR (1-x)

Secara grafis, kita melihat epidemik yang dimulai dengan tampak linier, tapi ketika x mendekati 1, kemiringan kurva ini mengalami penurunan hingga mendekati nilai nol.

Di dalam model polisiklik, kita membuat penyesuaian yang sama: dx/dt = xr (1-x)

Model ini dimulai sebagai kurva yang tampak eksponensial, tapi kemiringannya juga mengalami penurunan dan mendekati nol ketika x mengalami peningkatan dan mendekati satu. Hasilnya adalah sebuah kurva berbentuk sigmoid.

(8)

2013

Brawijaya University

Dalam realitas, jarang terjadi kejadian atau keparahan penyakit yang melebihi 50%, dan ketika hal tersebut terjadi, kurva perkembangan penyakit biasanya tidak terlalu sigmoid. Untuk pembahasan model lain dari perkembangan penyakit ini, lihat Neher dan Campbell, (1992) dan Gilligan, (2002).

Mengestimasi Parameter Model Transformasi

Untuk dapat mengaplikasikan model kita terhadap epidemik sesungguhnya, kita pasti ingin menghasilkan nilai numerik terhadap parameter-parameternya (R dalam model monosiklik dan X0 dan r di dalam model polisiklik). Untuk mengestimasikan parameter-parameter ini, kita mengamati epidemik yang terjadi, mengukur x beberapa kali selama epidemik berlangsung, dan kemudian memplotkan x versus t. Kesulitan akan timbul dalam upaya mencocokkan model yang non linier terhadap rangkaian data yang ada. Akan jauh lebih mudah untuk mentransformasikan x agar mendapatkan model linier yang dapat dicocokkan dengan regresi linier sederhana.

Model Monosiklik

Dalam kasus model monosiklik, jika x yang diamati ditransformasikan ke dalam logaritma

alami 1/(1-x), dan nilai-nilai yang ditransformasikan ini kemudian diplotkan terhadap t, maka kita

akan mendapatkan sebuah garis lurus dengan kemiringan sama dengan nilai nature QR

(9)

2013

Brawijaya University

Model Polisiklik

Jika nilai x yang diamati di dalam epidemik polisiklik ditransformasikan ke dalam logaritma

alami x/(1-x), dan nilai-nilai yang ditransformasikan ini kemudian diplotkan terhadap t, maka

hasilnya adalah sebuah garis lurus dengan kemiringan yang nilainya sama dengan r dan sebuah intercept (perpotongan) yang sebanding dengan natural log x0/(1-x0).

Dalam mencocokkan model dengan data yang diamati, penting untuk model berdasarkan pada biologi patogen yang telah dikenal daripada mengandalkan bentuk kurva. Seseorang tidak boleh berusaha mengambil kesimpulan mengenai biologi patogen berdasarkan bentuk kurva saja dan model mana yang memiliki “best fit – kecocokan yang paling baik” terhadap data. Terdapat variabilitas acak dalam tiap observasi, dan dalam model yang ditransformasikan data yang ada di ujung kurva tidak semestinya digunakan dalam menentukan kecocokan terhadap model. Sangatlah mungkin untuk memiliki rangkaian data yang cocok dengan model polisiklik ataupun monosiklik atau memiliki serangkaian data yang diperoleh dari epidemik monosiklik namun memiliki kecocokan yang lebih baik terhadap model polisiklik dan sebaliknya.

Mengestimasi Parameter Model Beberapa Contoh

Contoh 1, epidemik monosiklik: Flax wilt (layu pada rami) disebabkan oleh fungus Fusarium

oxysporum f. sp. lini. Chlamydospora fungi ini akan tetap bertahan selama beberapa tahun di dalam

tanah, dan ketika rami ditanam di h lahan yang terinfeksi, tanaman mudanya akan terinfeksi melalui akar. Suatu survei tanah yang ekstensif dilakukan terhadap lahan yang terinfeksi dan ditemukan mengandung rata-rata 57 unit pembentuk-koloni per gram tanah. Ketika sebuah kultivar rami yang rentan ditanam di dalam lahan ini, persentase tanaman yang menunjukkan gejala kelayuan akan meningkat sebanding dengan waktu sebagai berikut:

(10)

2013

Brawijaya University

Hari Setelah Tanam % Tanaman yang Terinfeksi

10 18 20 56 30 82 40 91 50 96 60 98

Di dalam sebuah plot perkembangan penyakit, ketahuilah bagaimana persentase infeksi secara asimtot mendekati 100 persen.

Flax wilt disease progress

Untuk mengestimasikan produk, QR, kita mula-mula harus mengkonversikan persentase infeksi ke dalam proporsi, x, dan kemudian menggunakan transformasi yang sesuai untuk model monosiklik, menghitung ln (1/(1-x)). t x ln (1/(1-x)) 10 .18 0.198 20 .56 0.821 30 .82 1.71 40 .91 2.41 50 .96 3.22 60 .98 3.91

Dari plot ln (1/(1-x)) terhadap t, kita dapat mencocokkan garis lurus ke titik data dengan menggunakan regresi kuadrat terkecil.

(11)

2013

Brawijaya University

Flax wilt, multiple hit transformation

Kemiringan garis yang diestimasikan oleh persamaan regresi adalah 0.076, dimana merupakan nilai QR. Oleh karenanya,

R=0.076/57 = 0.0013/CFU/hari

Contoh 2, epidemik polisiklik: halo blight pada kacang polong (beans) disebabkan oleh bakteria

Pseudomonas syringae pv. phaseolicola. Sumber utama dari inokulum awal adalah benih yang

terinfeksi sehingga ketika ditanam menghasilkan tanaman yang memiliki lesio/luka pada daun-daun primernya. Bakteri yang dihasilkan dari lesio ini kemudian tersebar ke tanaman sehat yang ada di sekitarnya. Lesio baru dapat menghasilkan inokulum sekunder dalam waktu sekitar 4-5 hari. Dibawah kondisi yang mendukung untuk perkembangan penyakit ini, observasi berikut dibuat untuk perkembangan penyakit:

Hari Setelah Tanam % Tanaman Terinfeksi

10 1 20 4 30 15 40 31 50 65 60 88 70 94

Perkembangan penyakit menunjukkan karakteristik kurva berbentuk sigmoid dari sebuah epidemik polisiklik.

(12)

2013

Brawijaya University

Halo blight disease progress

Seperti epidemik yang sebelumnya, kita harus mengkonversikan persentasi ke dalam proporsi (x), tapi kali ini transformasi yang kita gunakan adalah ln (x/(1-x)).

t x ln (x/(1-x)) 10 .01 -4.60 20 .04 -3.18 30 .15 -1.73 40 .31 -0.80 50 .65 0.62 60 .88 1.99 70 .94 2.75

Dengan memplotkan ln (x/(1-x)), kadang-kadang disebut sebagai logit x, versus t, maka kita dapat menemukan sebuah garis lurus dengan titik data menggunakan regresi kuadrat terkecil.

Halo blight, logistic transformation

Regresi memberikan kita sebuah kemiringan kurva 0.124/hari, yang merupakan estimasi kita mengenai tingkat infeksi yang tampak, r.

(13)

2013

Brawijaya University

dari pengamatan setiap sepuluh hari selama epidemik berlangsung, kita hanya bisa memperoleh dua pengamatan, satu di awal (hari ke 10) dan satu di akhir (hari ke 70). Bagaimana kita bisa mengestimasikan tingkat infeksi yang tampak? Dalam kasus ini maka kita hanya akan menggunakan titik awal dan akhir dalam plot data yang sudah ditransformasikan diatas dan menghitung kemiringan kurva sebagai peningkatan selama kejadian:

r = (ln (0.94/(1.0 – 0.94)) – ln (0.01/1.0 – 0.01)) / (70 – 10) = (2.75 + 4.60) / 60

= 0.123/hari

Penggunaan Praktis Model Epidemiologis

Contoh 1: seandainya dalam contoh layu pada rami, kita mensurvei lahan sebelah dan menemukan

tingkat inokulum awal 1% dari yang ditunjukkan oleh lahan dengan gejala layu yang parah. Berapa kejadian infeksi yang kita harapkan dari lahan ini di akhir musim (60 hari)? Untuk menyederhanakan perhitungan, mari kita asumsikan bahwa kejadian akhir akan menjadi sangat lambat sehingga kita dapat mengabaikan koreksi untuk tanaman sehat yang tersisa dan menggunakan model linier sederhana. Dalam contoh kita, kita merata-rata 57 unit pembentuk-koloni (colony-forming unit) per gram tanah, sehingga 1% dari nilai tersebut adalah 0.57 CFU. Kita menghitung R dan menghasilkan 0.0013/CFU/hari dan karenanya proporsi tanaman yang terinfeksi setelah 60 hari akan menjadi:

x = QRt = (0.57) (0.0013) (60) = 0.044 atau sekitar 4%

Contoh 2: seandainya dalam contoh halo blight kita ingin mengestimasikan berapa kejadian infeksi

benih maksimal yang dapat ditoleransi untuk menjaga agar kejadian akhir penyakit tetap dibawah 25%. Kita akan mengasumsikan sebuah musim dengan 90 hari, dan sekali lagi karena kejadian akhir tergolong rendah, maka kita akan mengabaikan koreksi logistik dan menggunakan model eksponensial sederhana:

x = x0ert

Mensubstitusikan 0.25 untuk x, estimasi kita 0.124/hari untuk r, dan 90 hari untuk t, maka kita akan memperoleh:

0.25 = x0exp ((0.124) (90)) 0.25 = x0exp (11.16)

x0= 0.25/70263 = 0.0000036

(14)

2013

Brawijaya University

4. REFERENSI

Arneson P. A. 2006. ). Plant Disease Epidemiology: Temporal Aspects. The Plant Health Instructor. DOI: 10.1094/PHI-A-2001-0524-01.

Campbell, C. L. and L. V. Madden. 1990. Introduction to Plant Disease Epidemiology. Wiley, New York. Francl, L. F. and D. A. Neher (eds.) 1997. Exercises in Plant Disease Epidemiology. American

Phytopathological Society, APS Press.

Jones, D. G. (ed.) 1998. The Epidemiology of Plant Diseases. Kluwer Academic Publishers. Dordrecht, Boston.

Anonymous. 1968. Plant Disease Development and Control. National Academy of Sciences, Washington, D. C.

Gilligan, C.A. 2002. An epidemiological framework for disease management. Advances in Botanical Research 38:1-64

Neher, D.A., and Campbell, C.L. 1992. Underestimation of disease progress rates with the logistic monomolecular and Gompertz models when maximum disease intensity is less than 100 percent. Phytopathology 82:811-814

Maloy, O. C. 1993. Plant Disease Control: Principles and Practice. John Wiley and Sons, Inc., New York. Vanderplank, J. E. 1963. Plant Diseases: Epidemics and Control. Academic Press, New York.

Whetzel, H. H. 1929. The terminology of plant pathology. Proc. Int. Cong. Plant Science, Ithaca, NY, 1926:1204-1215.

Zadoks, J. C. and Schein, R. D. 1979. Epidemiology and Plant Disease Management. Oxford Universitey Press, London and New York.

5. PROPAGASI

Pengelolaan Penyakit Tanaman : Simulasi

Catatan: Untuk menjalankan simulasi ini, membutuhkan program terinstal dalam komputer. (Program ini

berjalan dibawah OS Windows, membutuhkan tempat 3 MB di hard drive dan membutuhkan RAM minimum 8 MB). Jika ingin melakukan simulasi ini dan belum memenuhi syarat diatas, klik pada [INSTALL] sekarang.

Di dalam latihan ini, membutuhkan program simulasi dan browser Web (“Netscape” atau “Microsoft Network Explorer”) yang berjalan secara simultan sehingga bisa berpindah bolak-balik antara keduanya dengan

(15)

2013

Brawijaya University

Minimalkan browser Web-mu sekarang (klik tanda [-] di sudut kanan atas) dan kemudian lakukan double klik pada icon Plant Disease Development untuk memulai program. Gunakan kombinasi tombol [Alt] – [Tab] untuk berpindah kembali ke halaman Web ini.

Latihan Simulasi

Dalam simulasi Plant Disease Development, kita melihat dua epidemi berjalan secara simultan, satu dimana kita telah membuat beberapa perubahan dalam parameter (epidemik “Test”) dan sebuah epidemi standar (“Reference”) untuk perbandingan. Kita dapat berharap untuk membandingkan perkembangan spasial dua dimensi dari epidemi tersebut di sejumlah kecil simulasi, tapi opsi ini akan secara drastis mengurangi kecepatan pelaksanaan, jadi kita mungkin ingin memilih “None” untuk dispersi spasial dalam run kita jalankan.

6. PENDALAMAN

1. Apa konsekuensi epidemiologis dari pengurangan inokulum awal ketika laju infeksi yang tampak termasuk tinggi?

Untuk awal kejadian penyakit, ketikkan 0.01 di epidemik Reference dan 0.001 di epidemik Test. Untuk kedua epidemik, gunakan 0.15 sebagai laju infeksi yang tampak (apparent infection rate).

[] [Jawab]

2. Untuk memberikan pengendalian yang efektif terhadap suatu epidemi dengan laju infeksi yang tampak tinggi, berapa banyak pengurangan inokulum awal yang harus dilakukan?

Jagalah agar laju infeksi yang tampak untuk kedua epidemik tetap sama di tingkat 0.15. Ketikkan 0.01 untuk awal kejadian penyakit dalam epidemik Reference dan ubah nilai awal kejadian penyakit hingga akhir laju penyakit tidak lebih tinggi daripada 0.1. [] [Jawab]

3. Apa konsekuensi epidemiologis dari pengurangan inokulum awal ketika laju infeksi yang tampak tergolong rendah?

Untuk awal kejadian penyakit , ketikkan 0.01 pada epidemik Reference dan 0.001 pada epidemik Test. Untuk kedua epidemik tersebut, gunakan 0.04 sebagai laju infeksi yang tampak. [] [Jawab]

4. Apa konsekuensi dari pengurangan laju infeksi yang tampak?

Untuk awal kejadian penyakit, ketikkan 0.01 untuk kedua epidemik. Masukkan 0.15 sebagai laju infeksi yang tampak dalam epidemik Reference dan 0.05 dalam epidemik Test. [] [Jawab]

5. Mana yang memiliki dampak yang lebih besar terhadap suatu epidemik polisiklik, pengurangan inokulum awal atau pengurangan laju infeksi yang tampak?

Untuk mengkaji pengaruh pengurangan kejadian penyakit awal dan laju infeksi yang tampak, masukkan kejadian penyakit awal pada 0.01 dan laju infeksi yang tampak pada 0.15. Pada dua run berturut-turut, mula-mula kurangi kejadian penyakit awal dan kemudian kurangi laju infeksi yang tampak pada sepersepuluh nilai awalnya.

(16)

2013

Brawijaya University

6. Apa konsekuensi epidemiologis dari suatu pendekatan terintegrasi yang mengurangi inokulum awal serta laju infeksi yang tampak?

Untuk epidemik “Reference”, tentukan kejadian penyakit awal dengan nilai 0.01 dan laju infeksi yang tampak pada 0.15. Bayangkan sebuah epidemik hipotetis dimana memungkinkan oleh rotasi tanam untuk mengurangi kejadian penyakit awal hingga 1/10 dari nilai orisinalnya. Jalankan simulasi dengan nilai 1/10 dari nilai kejadian penyakit awal orisinalnya.

Inokulum sisanya berasal dari benih yang terinfeksi, dimana dalam contoh hipotetis kita juga dapat dikurangi mencapai 1/10 nilai orisinalnya dengan jalan program pembersihan benih. Reduksi keseluruhan dalam kejadian penyakit awal, oleh karenanya, adalah 1/100 dari nilai orisinalnya. Jalankan simulasi dengan level kejadian penyakit awal ini (0.0001).

Intercropping dengan menggunakan tanaman yang tidak rentang tidak dianggap sebagai sebuah cara yang efektif untuk mengendalikan penyakit, tapi hal ini dapat mengurangi laju infeksi yang tampak sekitar 1/3 dalam beberapa kasus. Kurangi tingkat infeksi yang tampak dari 0.15 menjadi 0.10 dan jalankan simulasi epidemik dengan nilai kejadian penyakit awal mula-mula 0.01 dan kemudian dengan nilai 0.0001.

Resistensi parsial seringkali dianggap tidak cukup untuk mendapatkan pengendalian penyakit yang efektif, tapi hal ini dapat mengurangi laju infeksi yang tampak dengan cukup signifikan. Bayangkan seandainya kita memiliki resistensi parsial yang dapat memotong laju infeksi yang tampak menjadi separuhnya. Jalankan simulasi ini pertama-tama dengan kejadian penyakit awal 0.01 dan dengan laju infeksi yang tampak 0.075 (separuh epidemik Reference). Kemudian jalankan epidemik dengan suatu laju infeksi yang tampak 0.05 (terhitung 1/3 reduksi yang diperoleh dengan memasukkan intercropping ke dalam sistem). Terakhir jalankan epidemik dengan kejadian penyakit awal 0.0001 dan tingkat infeksi yang tampak 0.05. Untuk final run, ubahlah “Dispersion” dari “None” menjadi “Cluster” untuk mendapatkan ide perkembangan spasial epidemik. [Jawab].

Referensi

Dokumen terkait

Riset ini mengamati reaksi permukaan material baja perkakas H13 yang telah mengalami rekayasa permukaan shot peening , nitridisasi dan shot peening sebelum nitridisasi

Jumlah Peserta KB Aktif menurut tempat pelayanan pada bulan April 2013, pelayanan di Pemerintah sebanyak 301.005 peserta dan di Swasta sebanyak 214.127 peserta, sedangkan

Tesis yang berjudul : “Hubungan antara Pemberian Imunisasi BCG, Status Gizi dan Lingkungan Rumah dengan Kejadian Penyakit TB Paru pada Anak Balita di BKPM Semarang”

Survei tentang tingkat Kualitas Kepuasan Masyarakat (KKM) oleh LIPI tahun 2020 ini dilakukan merujuk pada ketentuan baru, yaitu Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan

Teknologi Proses Tradisional (Skema 1), yaitu pengolahan langsung nira segar yang kualitasnya bagus (kadar gula reduksi <6%). Teknik ini khususnya cocok dilakukan

Dari definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa laba merupakan keuntungan yang diperoleh dari selisih antara hasil penjualan produk dan jasa dengan harga

Pendidikan karakter menepati posisi penting dalam dunia pendidikan sehingga, mampu menghasilkan karakter bangsa yang sesuai dengan tujuan pendidikan

Penyakit malaria merupakan penyebab utama terjadinya kematian di banyak negara berkembang terutama pada anak-anak dan ibu hamil Tujuan penelitian ini adalah