• Tidak ada hasil yang ditemukan

5.1 Uji Coba Alat Tangkap Bubu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "5.1 Uji Coba Alat Tangkap Bubu"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

terumbu karang adalah dengan membangun terumbu buatan di sekitar terumbu karang, sehingga nelayan tidak lagi menangkap ikan di terumbu karang, tetapi berpindah di terumbu buatan. Potensi ekonomi pemanfaatan terumbu buatan cukup tinggi karena keberadaan ikan yang bernilai ekonomis tinggi. Penangkapan ikan di terumbu buatan wajib memperhatikan keberlanjutan populasi ikan dan pertumbuhan karang sehingga tidak terjadi tangkap lebih. Dalam kurun waktu tertentu disediakan waktu untuk ikan melakukan regenarasi tanpa gangguan dari manusia. Pada masa ini sebaiknya tidak dilakukan penangkapan dengan lama waktu disesuaikan kondisi setempat, tetapi disarankan minimal selama empat bulan dalam kurun waktu satu tahun (Ikawati 2001; Rachmawati 2001; Spieler et al. 2001; Indrawadi 2007).

Berdasarkan jumlah total individu spesies yang teramati dan tertangkap menggunakan alat tangkap bubu di kedua terumbu buatan, maka kelimpahan dan hasil tangkapan terbanyak terjadi di terumbu buatan ban, baik spesies target, mayor maupun indikator (Tabel 4). Kenyataan ini dapat memberikan harapan bahwa terumbu buatan dapat memperbaiki habitat yang telah rusak dan dapat menyediakan daerah penangkapan (fishing ground) yang baru, sehingga nelayan tidak lagi melakukan penangkapan di terumbu alami yang mengakibatkan kerusakan habitat. Lebih lanjut Rilov dan Benayahu (1998) mengemukakan bahwa penciptaan terumbu buatan yang terencana dengan baik akan memberikan shelter alternatif, dimana dapat merekrut juveniles dan ikan-ikan muda, kemudian memperbesar keseluruhan populasi ikan. Disamping itu, terumbu buatan dipandang dari perspektif ekologi, juga memiliki potensi yang nyata sebagai alat untuk rehabilitasi ekosistem perairan pantai (Pickering et al. 1998).

Terumbu buatan disamping dapat meningkatkan produksi perikanan, juga telah digunakan di berbagai tempat sebagai alat yang potensial untuk membantu memulihkan habitat perairan. FAO (1995) melalui Code of conduct for Responsible Fisheries, menyarankan pengembangan kebijakan penggunaan terumbu buatan untuk meningkatkan stok populasi ikan dan peluang pemanfaatannya, serta melakukan penelitian-penelitian tentang impak struktur buatan terhadap organisme laut dan lingkungan. Tetapi penempatan terumbu buatan untuk tujuan penangkapan ikan, tidak akan memberikan manfaat ekonomi

(2)

jika tidak diikuti langkah-langkah pengelolaan yang memadai; terutama untuk menghindari kelebihan tangkap dan konflik sosial diantara kelompok-kelompok pengguna. Recruitment over fishing merupakan impak yang paling nyata pada semua habitat buatan. Oleh karena itu dalam perencanaan terumbu buatan sebagai daerah penangkapan ikan sangat penting disertai dengan terumbu buatan sebagai nursery ground yang harus disepakati oleh semua pihak secara konsisten, sebagai kawasan yang diproteksi dan diawasi bersama.

5.1 Uji Coba Alat Tangkap Bubu

Reaksi ikan terhadap pemasangan bubu dapat dilihat dengan melakukan pengamatan terhadap gerombolan ikan yang berada di sekitar bubu. Karena keterbatasan alat maka pengamatan hanya dilakukan pada siang hari saja. Jenis ikan yang biasanya langsung mendekat pada saat pemasangan bubu adalah kakatua (Scarus sp), pasir serat (Scolopsis sp), dan ikan-ikan lainnya. Namun pada kenyataannya, ketika bubu (soaking 2x24 jam), ikan yang tertangkap dalam bubu berbeda dengan ikan yang masuk pada awal pengamatan saat pemasangan. Ikan ini berbeda baik segi ukuran maupun jenis. Ikan yang tertangkap diduga mencari tempat berlindung dari arus maupun ikan predator yang lebih besar. Karena bubu yang dioperasikan tanpa umpan, maka kemungkinan besar ikan masuk ke dalam bubu karena tingkah laku ikan tersebut. Beberapa famili ikan karang mendekati bubu karena rasa keingintahuan dari ikan tersebut terhadap benda asing atau dikenal dengan sifat tigmotaksis. Beberapa famili menjadikan bubu sebagai area mencari makan, seperti ikan dari famili Scaridae, Chaetodontidae, Pomacanthidae dan Siganidae. Selain itu diduga bubu diduga sebagai tempat beristirahat atau menunggu mangsa lewat, ikan karnivora masuk ke dalam bubu karena tertarik oleh mangsa yang terperangkap di dalam bubu.

Sebagaimana hasil pengamatan yang dilakukan oleh High dan Beardsley (1970) pada bubu tanpa umpan dimana jenis ikan Squirefish dan Goatfish (Mullidae) masuk ke dalam bubu secara bergerombol (schooling) sedangkan jenis Parrotfish (Scaridae) dan big eye (Priacanthidae) masuk ke dalam bubu secara individu. High dan Ellis (1973) mengamati ikan Four-eyed butterfly (Chaetodon sp) dan Spotted goat fish (Pseudupeneus maculatus) disekitar bubu berenang maju mundur ketika melihat ikan lain terperangkap ke dalam bubu. Munro et al. (1971) mengamati spesies ikan di sekitar bubu berenang beriringan pada sisi lain mata jaring kawat.

(3)

Lolosnya ikan-ikan yang terlihat pada waktu pengamatan awal lebih disebabkan oleh ukuran mata bubu yang lebih besar dari ukuran ikan, sehingga ikan dengan mudah meloloskan diri. Selektivitas bubu bergantung pada hubungan antara keliling tubuh maksimum ikan (body girth) dan keliling mata bubu (mesh perimeter) dan juga hubungan antara panjang tubuh ikan dan ukuran mata bubu (mesh size). Lebih lanjut FAO (1999) menyatakan bahwa selektivitas merupakan sifat alat tangkap tertentu untuk mengurangi atau mengeluarkan tangkapan yang tidak sesuai ukuran (unwanted catch) atau ikan-ikan tangkapan yang tidak diinginkan (incidental catch) dan selektivitas merupakan fungsi dari suatu alat penangkapan ikan dalam menangkap spesies ikan dalam jumlah dan selang ukuran tertentu pada suatu populasi di daerah penangkapan ikan.

Bubu dikatakan selektif ukuran apabila ukuran badan ikan pada bagian operculum (tutup insang) lebih kecil dari keliling mata bubu atau keliling maksimum badan ikan lebih besar dari keliling mata bubu. Sebaliknya jika ukuran badan ikan pada bagian operculum sangat besar atau keliling maksimum badan ikan sangat kecil dibandingkan dengan keliling mata bubu, ikan kemungkinan tidak tertangkap (lolos) (Matsuoka 1995; 1997).

5.2 Pengaruh Parameter Fisik Terhadap Hasil Tangkapan

Pengukuran kondisi oceanografi lokasi penelitian dilakukan setelah alat tangkap bubu ditempatkan pada posisi yang dikehendaki dan dilakukan pada setiap pengambilan sampel. Kondisi oceanografi yang diukur meliputi arus, suhu, salinitas dan kedalaman. Pengamatan kondisi cuaca juga dilakukan mengingat faktor cuaca merupakan salah satu faktor yang cukup banyak mempengaruhi kondisi perairan.

Secara umum kondisi fisik perairan di lokasi penelitian merupakan daerah yang dapat mendukung kehidupan organisme laut dan untuk pengembangan terumbu buatan. Berdasarkan hasil pengukuran kecepatan arus yang ada selama penelitian berkisar antara 0,12-0,17 m/det. Kecepatan arus ini tidak mempengaruhi posisi terumbu buatan dan alat tangkap bubu. Hal ini terbukti dengan posisi terumbu yang tidak mengalami pergeseran tempat serta hasil tangkapan yang tetap ada untuk tiap trip pengambilan sampel. Bahkan dengan kecepatan arus ini, pertumbuhan organisme karang cukup optimal. Terbukti dengan banyaknya organisme karang yang menempel pada unit terumbu buatan. Hal ini sesuai dengan pendapat Harisson (2000) bahwa arus dapat

(4)

mentransfortasikan larva dan telur ikan serta makanan ikan (plankton) searah dengan arah arus.

Dihubungkan dengan keberadaan sumber daya perairan (berbagai spesies ikan), arus dalam hal ini kecepatan arus merupakan faktor penunjang yang memungkinkan terumbu buatan menjadi tempat penyedia makanan bagi organisme perairan. Walau dengan kisaran kecepatan yang relatif kecil tersebut, tetapi cukup menunjang dalam memperlancar distribusi makanan menuju unit terumbu buatan. Jadi kecepatan arus disekitar terumbu tidak boleh nol. Sebagaimana disebutkan Nybakken (1982) bahwa salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam penempatan terumbu buatan adalah kecepatan arus tidak boleh nol. Lebih lanjut Hutomo 1991 dan Hagino 1991 mengemukakan bahwa orientasi (letak) terumbu buatan berhubungan dengan pola migrasi dan arus. Reppie (2006) memprediksi dari hasil penelitian yang dilakukan bahwa lokasi penempatan terumbu sebaiknya memiliki kecepatan arus tidak melebihi 3 knot ( v ≤ 3 knot), tetapi hal ini bergantung pula pada kondisi struktur dasar perairan. Terumbu buatan untuk perikanan yang ditempatkan di sepanjang area dengan arus yang optimal akan menciptakan aliran maksimum yang membawa nutrien atau makanan, kelarutan oksigen yang tinggi dan meningkatkan ketersediaan makanan untuk organisme terumbu serta dapat meningkatkan daya perekat untuk telur-telur ikan.

Hasil pengukuran suhu di lokasi penelitian berkisar antara 29-30°C. Kisaran suhu ini merupakan kisaran yang baik untuk pertumbuhan organisme karang. Lebih lanjut Nontji (1987) mengemukakan bahwa kisaran suhu untuk pertumbuhan organisme karang di perairan tropis sekitar 25-35°C. Terbukti, banyak organisme karang yang tumbuh dengan subur menempel pada unit-unit terumbu buatan. Keberadaan organisme penempel ini memicu kedatangan organisme yang memanfaatkan organisme ini sebagai sumber makanan. Selain itu keberadaan sumber daya perairan (ikan), juga tidak terlepas dari kisaran suhu optimum bagi aktivitas metabolisme dan reproduksi setiap spesies ikan tersebut.

Faktor kedalaman merupakan salah satu faktor yang perlu mendapat perhatian dalam penempatan terumbu buatan. Karena faktor ini merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan organisme karang. Nybakken (1982) mengemukakan pendapat bahwa kedalaman perairan untuk pertumbuhan karang dan organisme karang tidak boleh lebih dari 25 meter. Hal ini erat kaitannya dengan peristiwa fotosintesis. Terumbu buatan yang menyediakan

(5)

habitat bagi organisme fotosintetik (alga), dimana ketersediaan nutrien di terumbu buatan membuat pertumbuhan organisme fotosintetik tersebut cukup baik sehingga peran alga sebagai filter CO2 dalam proses fotosintesis tetap

berjalan. Kedalaman perairan tempat kedua terumbu buatan diletakkan berkisar antara 21-24 meter. Sebagaimana pendapat Hung (1991) bahwa terumbu buatan ditempatkan pada habitat yang mengalami penurunan dan area yang memiliki produktivitas rendah, selain itu terumbu buatan dianjurkan diletakkan pada kedalaman 15-35 meter dengan maksud agar tidak dipengaruhi oleh hempasan gelombang dan badai serta masih terdapat penetrasi sinar matahari. Lebih lanjut D’Itri (1985) menyebutkan bahwa kedalaman 20-60 m sangat cocok untuk menempatkan terumbu buatan, karena pada kedalaman tersebut sangat disukai ikan dari kelompok predator. Razak dan Pauzi (1991) mengemukakan bahwa peletakan terumbu buatan mayoritas dekat dengan daratan atau pulau terdekat dengan jarak berkisar 200-500 m dari garis pantai.

5.3 Pengaruh Jenis Material Terumbu Buatan Terhadap Kelimpahan dan Komposisi Hasil Tangkapan

Berdasarkan jumlah total individu spesies yang teramati, maka kelimpahan tertinggi terjadi di TB-ban (Tabel 7) dengan spesies yang mendominasi Caesio cuning. Spesies target mulai terlihat di terumbu buatan sebagai transient atau visitor setelah dua bulan pemasangan terumbu buatan dengan jumlah yang beragam setiap pengamatan. Kelimpahan spesies di masing-masing terumbu berbeda dalam hal jumlah tetapi mempunyai persamaan dalam jenisnya, beberapa jenis ikan yang terdapat di TB-ban juga berada di sekitar TB-bambu (Tabel 6 dan 7). Sebagaimana hasil penelitian terdahulu ikan-ikan yang dijumpai terumbu buatan adalah Lutjanidae, Serranidae, Caesionidae, Haemulidae, Siganidae, Scaridae, Carangidae dan Pomacentridae (Razak dan Pauzi 1991; Hutomo 1991; Hung 1991). Lebih lanjut Hung (1991) menambahkan Serranidae, Carrangidae, Caesionidae dan Snappers banyak ditemukan di jenis modul ban berdasarkan pengamatannya di Malaysia.

Menurut Rilov dan Benayahu (1998), penciptaan terumbu buatan yang terencana dengan baik akan memberikan shelter alternatif, dimana dapat merekrut juveniles dan ikan-ikan muda, kemudian memperbesar keseluruhan populasi ikan. Fluktuasi kelimpahan ikan dapat disebabkan oleh berbagai faktor luar terutama faktor makanan dan waktu makan dari ikan, kondisi perairan yang bergelombang akibat angin menyebabkan terjadinya turbulensi sehingga air

(6)

menjadi keruh dan ikan sulit untuk melihat makanan yang berada di terumbu buatan (Bortone et al. 2000; Rachmawati 2001).

Pengambilan data panjang dan berat ikan hasil tangkapan dilakukan pada seluruh jenis ikan yang tertangkap, yaitu panjang dan berat ikan yang dikonsumsi dan ikan hias yang dijual oleh nelayan setempat. Secara umum ikan yang tertangkap oleh bubu memiliki berat dan ukuran yang hampir sama untuk setiap jenisnya. Ini membuktikan bahwa sifat ikan karang adalah hidup atau tinggal secara berkelompok menurut jenis dan ukuran tertentu. Hasil tangkapan pada TB-ban dan TB-bambu didominasi spesies Caesio cuning (Tabel 5), yang menunjukkan bahwa hasil tangkapan sama dengan kelimpahan spesies yang mendominasi di sekitar terumbu buatan. Hal ini diduga karena kelimpahan dan biomassa spesies Caesio cuning tinggi di daerah yang bersangkutan dan lokasi penempatan terumbu buatan merupakan swimming layer dari spesies ini yaitu kedalaman < 60 meter. Hasil tangkapan ikan target, indikator dan mayor di TB-ban 71% dari kelimpahan ikan TB-TB-ban. Untuk hasil tangkapan ikan target, indikator dan mayor di TB-bambu 74% dari kelimpahan ikan di TB-bambu. Dari perbandingan hasil tangkapan dengan kelimpahan ikan di kedua terumbu buatan menunjukkan bahwa terumbu buatan dapat digunakan sebagai daerah penangkapan ikan.

Berdasarkan hasil perhitungan, terdapat perbedaan jumlah hasil tangkapan baik dari segi jumlah (ekor) maupun berat yang diperoleh. Perbedaan ini tidak terlepas dari adanya bahan material yang berbeda pada terumbu buatan. Pada hasil analisis statistik diperoleh hasil yang ‘berbeda nyata’ (thit 3,6 dan ttab

1,7, α 0,05) antara hasil tangkapan total di TB-ban dan TB-bambu (Lampiran 4 dan 5). Dimana hasil tangkapan di TB-ban mempunyai jumlah hasil tangkapan yang lebih besar dibanding bambu. Hal ini disebabkan model konstruksi TB-ban lebih variatif, dalam hal ini jumlah celah atau luTB-bang yang dimiliki cukup banyak. Begitu juga untuk keempat jenis ikan konsumsi yang dianalisis menunjukkan hasil yang ‘berbeda nyata’ kecuali untuk ikan swanggi thit < ttab. Ini

menunjukkan bahwa TB-ban mampu atau efektif dalam mengumpulkan ikan. Beberapa studi sebelumnya menunjukkan bahwa terumbu buatan yang dibuat dari ban mobil bekas pertama kali dikonstruksi oleh Silliman University Marine Laboratory pada tahun 1977 di Dumaguete City untuk memonitor produktivitas ikan (Miclat dan Miclat 1989). Razak dan Pauzi (1991) menyatakan bahwa ban tidak terdegradasi di laut dan tidak beracun. Ban sangat baik bagi

(7)

substrat penempel habitat baru ikan dan berbagai biota laut. Sebaliknya, ban bekas di Eropa diduga sebagai sumber polusi (polluting leachate) yang potensial sehingga jarang digunakan. Di Amerika lebih menekankan pada material opportunity seperti lambung kapal, beton sisa, ban mobil, stone rubble dan kerangka bekas anjungan pengeboran minyak lepas pantai (Stone et al. 1991). Kelebihan bahan bekas sering diperoleh dengan tanpa biaya dan tanpa modifikasi berarti dalam penebaran, kecuali hanya membersihkan bahan-bahan yang mungkin membahayakan lingkungan (Woodhead et al. 1985).

Tingginya kelimpahan dan hasil tangkapan spesies di TB-ban, diduga berkaitan dengan ukuran rongga (shelter) yang lebih kecil dan lebih kompleks dibanding TB-bambu (Gambar 3 dan 4). Beberapa studi yang menunjukkan bahwa ukuran rongga (hole size) dan jumlahnya mempengaruhi assemblages (Bortone dan Kimmel 1991). Walsh (1985) menemukan komposisi rongga hanya berpengaruh kecil terhadap assemblages pada siang hari, tetapi penting bagi ikan pada malam hari sebagai tempat berlindung di lepas pantai Hawai. Shulman (1984) juga menemukan bahwa rongga mampu menghindarkan ikan dari predator, kemudian meningkatkan rekrut juvenile, jumlah spesies dan densitas total ikan pada terumbu kecil di Kepulauan Virgin. Studi lain mengindikasikan bahwa terumbu dengan rongga ukuran besar kurang memberikan perlindungan terhadap ikan-ikan kecil dari predator, sehingga kelimpahan ikan dan keragaman spesiesnya rendah (Shulman 1984; Hixon dan Beets 1989). Ogawa (1982) melaporkan bahwa ikan tidak akan menempati rongga dengan ukuran bukaan 2 m atau lebih, dan merekomendasikan bukaan rongga yang terbaik untuk tujuan perikanan adalah berkisar antara 0,15 m sampai 1,5 m.

Untuk analisis berat hasil tangkapan pada TB-ban dan TB-bambu tidak memberikan beda yang nyata terhadap berat hasil tangkapan. Tidak adanya perbedaan yang nyata dapat disebabkan oleh keseragaman ukuran tiap jenis ikan yang tertangkap, sehingga dapat dipastikan jumlah jenis ikan yang tertangkap dalam satu bubu akan diikuti dengan jumlah berat ikan yang hampir sama untuk setiap jenis. Sehingga dapat dikatakan jumlah hasil tangkapan berbanding lurus dengan berat hasil tangkapan bubu untuk setiap jenis ikan.

Spesies yang muncul pada pengamatan di kedua terumbu buatan tidak selalu menjadi hasil tangkapan bubu. Kemungkinan spesies tersebut terdesak oleh competitor dan predator, atau hanya menggunakan terumbu buatan sebagai habitat sementara dan berpindah ketika shelter tidak sesuai lagi dengan ukuran

(8)

tubuhnya. Hal ini mungkin juga berkaitan dengan ukuran unit volume rangka terumbu yang dikontruksi relatif kecil yaitu hanya 1,3 m3, sehingga kurang memadai sebagai shelter permanen. Terumbu ukuran kecil memang mempunyai keterbatasan nilai sebagai nursery ground dan sebagai sumber peningkatan produksi (Moffit et al. 1989). Untuk keseimbangan produksi ikan, maka terumbu yang lebih besar akan lebih efektif dalam menawarkan peningkatan habitat, dan menyanggah kondisi lingkungan yang merugikan (Ambrose dan Swarbrick 1989).

Kurangnya spesies residen di terumbu buatan, juga berkaitan dengan ukuran unit dan kompleksitas terumbu. Tingkah laku ikan dapat berbeda diantara terumbu, misalnya suatu spesies mungkin residen pada terumbu yang besar, tetapi hanya sebagai transient (visitor) pada struktur terumbu kecil, karena tidak ada sumber makanan dan shelter yang memadai untuk mendukung suatu populasi permanen, atau dapat juga ikan akan berpindah-pindah di antara habitat terumbu yang berdekatan (Bohnsack et al. 1991). Tersedianya rongga-rongga besar, menyebabkan peningkatan kelimpahan ikan-ikan ukuran besar, khususnya dimana mangsanya terkonsentrasi di daerah dekat terumbu (Eggleston et al. 1990; 1992), yang kemudian pada gilirannya menurunkan populasi ikan-ikan kecil. Tingkat survival mangsa dalam skenario ini dapat menjadi lebih tinggi di daerah jauh dari terumbu daripada di dekat terumbu (Eggleston et al. 1994). Rongga-rongga kecil dengan ukuran hanya beberapa cm telah menunjukkan berperan penting untuk survival juvenile ikan-ikan karang (Shulman 1984; Hixon dan Beets 1989; Bohnsack et al. 1994).

Disadari bahwa kelimpahan dan hasil tangkapan (Tabel 5-7) berbagai spesies ikan di terumbu buatan, tidak secara nyata menggambarkan assemblages spesies di terumbu buatan, karena berbagai kendala teknis dan singkatnya waktu pengamatan (short-term monitoring). Jumlah individu dan biomassa ikan mungkin diestimasi terlampau tinggi atau sebaliknya, dimana kondisi lingkungan disekitarnya kurang dipertimbangkan. Setiap metode mengklasifikasikan assemblages memiliki bias, seperti dalam mencatat ikan secara taksonomi sederhana. Sebagai contoh, perubahan ukuran tubuh ikan seiring dengan pertumbuhan, dapat mengaburkan perubahan ontogenetic niche secara drastis, karena perubahan ekologi dan morfologi individual (Bohnsack et al. 1991), dimana perubahan ontogenetic tersebut dapat berlanjut terus atau terhenti mendadak, tetapi sering bergantung pada jenis spesies ikan.

(9)

Ukuran spesies target kurang dari 9 cm sulit sekali dikenali secara taksonomi dalam penelitian ini, karena disamping liar, bentuk dan warnanya kadang-kadang sangat berbeda dengan ikan dewasa, sehingga biota tersebut dikategorikan sebagai criptic spesies dan diabaikan. Bahkan Bortone dan Kimmel (1991) mengungkapkan bahwa penyelam terlatih sekalipun akan kesulitan dalam menentukan kelompok ukuran 5 cm secara tepat. Beberapa jenis ikan yang sering bergerombol tetapi bergerak cepat, juga sangat sulit didekati pada jarak 5 m, dan segera melarikan diri dengan adanya kehadiran penyelam (shy of scuba divers).

Menurut Nybakken (1992), ikan karang merupakan organisme yang jumlahnya terbanyak dan juga merupakan organisme yang mencolok yang dapat ditemui di sebuah terumbu karang. Kecenderungan dari ikan-ikan karang adalah mereka tidak berpindah-pindah dan selalu berada pada daerah tertentu dan sangat terlokalisasi walaupun masih banyak luasan terumbu yang lain.

Famili Caesionidae merupakan jenis ikan konsumsi yang melimpah di sekitar terumbu buatan dan paling banyak tertangkap menggunakan alat tangkap bubu. Caesio biasanya ditemukan menggerombol (schooling) dalam jumlah besar bahkan sampai beberapa ratus ekor. Famili ini merupakan pemakan zooplankton yang berada di atas terumbu karang. Melimpahnya ikan dari famili ini disekitar terumbu buatan dan hasil tangkapan diduga karena terumbu buatan dijadikan sebagai tempat untuk beristirahat karena sifat ikan dari famili ini yang bermigrasi secara kelompok. Sebagaimana dikemukakan oleh Mottet (1981) berkaitan dengan fungsi terumbu buatan sebagai tempat hidup ikan karang dibagi menjadi tiga kategori besar dimana spesies caesio termasuk dalam kategori pertama yaitu ikan migrator permukaan dan kolom air (migratory surface and mid water fish). Selain itu di perairan pulau Pramuka jenis ikan Caesio cuning memiliki schooling yang besar dan memiliki penguasaan territorial tinggi.

Rata-rata ukuran ikan ekor kuning (Caesio cuning) yang tertangkap adalah pada kisaran panjang 22-25 cm atau dengan ukuran nelayan setempat 5 ekor dalam 1 kg (Gambar 9). Ikan ekor kuning pada umumnya mencapai tahap dewasa pada ukuran 25-45 cm dan pada selang ukuran 33-46 cm atau 2 ekor dalam 1 kg baru merupakan ukuran tangkap yang optimal, dalam arti memiliki nilai ekonomis dan ekologis yang tinggi.

Ikan konsumsi dari famili Nemipteridae merupakan hasil tangkapan yang mendominasi kedua setelah Caesionidae. Famili Nemipteridae (pasir selat) hidup soliter atau dalam group kecil. Mempunyai warna terang dan kelihatan selalu

(10)

diam tapi bila terusik berenang dengan cepat. Makanan terdiri dari invertebrate kecil, cacing dan binatang bentik lainnya. Famili ini mencari makan di daerah berpasir dengan mematuk-matuk dasar. Ikan dari famili ini termasuk diurnal dan malam hari beristirahat diantara karang. Diduga malam hari banyak berlindung di terumbu buatan dan tertangkap bubu karena sifat tigmotaksis, ikan langsung berenang disekeliling bubu pada saat bubu dipasang. Spesies ikan dari famili Nemipteridae yang banyak tertangkap adalah genus Scolopsis. Ukuran maksimal dari genus Scolopsis 25 cm. Scolopsis yang tertangkap selama pengoperasian bubu berada pada kisaran panjang 9-22 cm. Ukuran yang banyak tertangkap pada kisaran panjang 13-14 cm (Gambar 9).

Ikan konsumsi dari famili Holocentridae (swanggi) terkenal dengan sebutan nocturnal predator atau predator malam hari. Ikan ini aktif mencari makan pada malam hari dan dilengkapi oleh mata yang besar untuk beradaptasi di kegelapan. Ikan ini terkenal dengan perilaku teritorial yang tinggi, hidup menyendiri sesama jenis dan menguasai wilayah karang tertentu. Penyebab tertangkapnya ikan ini diduga karena tempat pemasangan bubu merupakan wilayah teritorial mereka. Penentuan layak tangkap untuk ikan swanggi dari famili Holocentidae yang merupakan ikan konsumsi masyarakat juga berdasarkan ukuran panjangnya. Ukuran panjang maksimum swanggi adalah 20 cm (www.fishbase.org). Swanggi yang tertangkap saat penelitian memiliki kisaran panjang 11-18 cm. Ukuran swanggi yang banyak tertangkap berada pada kisaran 11-12 cm (Gambar 9). Length at first maturity dari swanggi berukuran 17,5 cm. Hal ini menunjukkan bahwa swanggi yang tertangkap belum sepenuhnya layak tangkap. Hal ini mungkin disebabkan kedalaman pemasangan bubu yang bukan habitat dari swanggi berukuran besar.

Ikan konsumsi dari famili Siganidae mudah dikenali dengan bentuk tubuh pipih, mulut yang tebal dan duri-duri dorsal dan anal yang keras. Umumnya berwarna cerah dengan corak yang khas. Ikan ini umumnya merupakan herbivor pemakan alga. Famili ini mencari makan dalam kelompok yang besar namun terkadang hidup soliter atau berpasangan (Burgess 1973). Hidup di kedalaman 20-50 meter (www.fishbase.org) sehingga menjadi salah satu spesies yang mendominasi hasil tangkapan. Penentuan layak tangkap beronang (Siganus sutor) didasarkan pada ukuran panjangnya. Ukuran panjang maksimum beronang adalah 35 cm (Dirjen Perikanan 1979; FAO 1988; www.fishbase.org). Panjang beronang yang siap memijah berukuran mulai dari 19,8 cm (Madeali

(11)

1985). Beronang yang tertangkap selama pengoperasian bubu pada kisaran 11-20 cm. Ukuran yang banyak tertangkap selama pengoperasian bubu berada pada kisaran panjang 19-20 cm (Gambar 9).

Ikan dari famili Scaridae adalah ikan diurnal, yaitu ikan yang aktif pada siang hari. Ikan ini termasuk dalam ikan herbivora pemakan karang yang hidup secara bergerombol untuk mencari makan. Tertangkapnya ikan-ikan dari famili Scaridae mempunyai presentase kecil diduga karena ikan ini hidup bergerombol di perairan dengan kedalaman yang lebih rendah dibandingkan dengan tempat pemasangan bubu dan terumbu buatan. White (1987) mengemukakan bahwa ikan kakatua (parrot fish) memiliki pengaruh besar terhadap erosi karang dan perubahan susunan pasir. Satu ekor ikan dewasa diperkirakan mampu merusak 500 kg pasir per tahun pada terumbu.

Ikan dari famili Pomacentridae adalah jenis ikan omnivora (pemakan segalanya dari ganggang sampai anemon, dan dari siput laut sampai ikan) yang aktif mencari makan pada siang hari terdapat di semua laut tropis dan penyebarannya luas (Depdikbud 1992, TERANGI 2004). Ikan kepe-kepe dari famili Chaetodontidae juga tertangkap, namun dalam jumlah kecil. Ikan omnivora ini memiliki mulut kecil yang giginya digunakan untuk mematuk cacing kecil dan hewan tidak bertulang belakang lainnya dari celah batu karang. Famili Chaetodontidae dan Pomacanthidae terkenal akan keindahan warnanya. Famili Chaetodontidae memakan hard coral dan soft coral, alga, zoantharians, tunicates dan gorgonian. Kedua famili aktif mencari makan di siang hari, umumnya berpasangan dan monogami. Kedua famili memiliki dan mempertahankan daerah teritorialnya (Allen 1987)

Ikan-ikan dari famili Labridae atau lebih dikenal dengan sebutan ikan bibir karena memiliki bibir yang dapat disembulkan. Ikan ini merupakan ikan omnivora yang sering memakan kerang-kerangan dengan cara menyembulkan mulutnya keluar. Mangsanya berupa moluska, cacing, krustacea dan ikan kecil (Allen 1987). Selanjutnya ikan dari famili Serranidae yaitu ikan kerapu (Epinephelus sp) merupakan ikan predator ganas yang memangsa ikan-ikan pada struktur trofik yang lebih rendah dan aktif mencari makan pada malam hari sampai menjelang subuh. Ikan ini diduga tertarik oleh bubu karena sifat tigmotaksis ikan yang selalu ingin bersembunyi di karang dan menunggu mangsanya lewat. Sehingga pendapat Gunarso (1985) bahwa penyediaan tempat-tempat bersembunyi maupun berlindung ikan-ikan, sebagai salah satu jenis pikatan cukup beralasan

(12)

dan sudah lama dipraktekkan nelayan. Hal tersebut tidak hanya meliputi berbagai bentuk seperti gua-gua agar ikan dapat berlindung dan bersembunyi, tetapi juga berupa tempat-tempat berteduh dan berbagai tempat tertentu agar ikan dapat berkumpul.

5.4 Pengaruh Perifiton Terhadap Kelimpahan Dan Komposisi Hasil Tangkapan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan yang tertangkap selama penelitian adalah jenis ikan karang yang menjadi konsumsi masyarakat (target) dan jenis ikan hias. Kelimpahan organisme di habitat terumbu buatan ini tidak terlepas dari fungsinya sebagai tempat tinggal dan berlindung, dimana terumbu buatan memberikan agregasi yang kuat untuk mengumpulkan ikan supaya tinggal di dalamnya sekaligus berlindung. Dengan lubang atau celah yang cukup memungkinkan organisme karang (ikan karang) untuk menetap. Kemudian terumbu buatan juga merupakan habitat penyedia makanan. Keberadaan organisme penempel memicu kehadiran organisme (ikan) yang membutuhkan makanan darinya. Selain itu terumbu buatan juga menyediakan makanan melalui fungsinya sebagai perangkap organisme plankton.

Plankton yang melewati terumbu akan dimakan oleh ikan-ikan kecil (plankton feeder) dan ikan kecil ini merupakan sumber makanan bagi ikan-ikan yang ukurannya lebih besar. Jadi dengan ketersediaan ruang, perlindungan dan makanan ini menyebabkan organisme karang yang hidup didalamnya cukup melimpah. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Wagiyo (1996) yang menyebutkan bahwa terumbu buatan dibuat sebagai tempat tinggal dan memberi perlindungan, sumber makanan dan sebagai tempat berkembang biak. Jadi semakin banyak celah atau lubang yang terdapat pada satu unit terumbu buatan, maka semakin banyak pula tempat yang tersedia disana, sehingga jumlah huniannya dapat lebih banyak. Wasilun dan Murniyati (1997) mengemukakan bahwa terumbu buatan setelah beberapa waktu ditempatkan di dasar perairan, akan ditumbuhi oleh berbagai jenis biota penempel seperti algae, karang lunak dan biota penempel lainnya yang diantaranya merupakan jenis makanan ikan, sehingga dengan demikian ikan akan datang ke terumbu, selain untuk mencari tempat berlindung juga mencari makan dan pada akhirnya akan berkembang biak di terumbu buatan tersebut.

Berkumpulnya ikan di terumbu buatan disebabkan karena adanya proses kolonisasi dan suksesi. Kolonisasi adalah suatu proses penempatan atau

(13)

penghunian suatu daerah atau tempat oleh suatu organisme, sedangkan suksesi merupakan suatu proses pergantian dari suatu atau sekelompok jenis organisme oleh yang lainnya dengan komposisi dan struktur yang berbeda. Kolonisasi pada terumbu buatan pertama kali diawali dengan adanya perifiton dan kemudian diikuti dengan biota lain, selanjutnya kolonisasi ini diikuti oleh proses suksesi lainnya sehingga mencapai keadaan stabil (D’Itri 1985; Atmadja 1986).

Keberadaan perifiton yang menempel pada terumbu buatan merupakan sumber makanan mengakibatkan ikan-ikan berkumpul baik dalam jumlah individu maupun spesies. Perifiton adalah mikroflora yang tumbuh menempel pada substrat yang tenggelam (Weitzel 1979). Perifiton, mikroplankton, dan fitoplankton adalah biota utama yang menentukan tingkat produktivitas primer perairan.

Perifiton yang menempel pada terumbu buatan (TB-ban dan TB-bambu) didominasi dari kelas Bacillariphyceae (diatom) (Tabel 8 dan Gambar 10). Tingginya persentase kepadatan Bacillariphyceae yang ditemukan karena diatom (Bacillariphyceae) merupakan komponen utama dari lumpur laut (Mc Connanghey 1986). Selain itu organisme dari kelas ini pada umumnya dilengkapi dengan alat berupa tangkai gelatin yang dapat membantu dirinya untuk melekat pada substrat tertentu. Organisme yang memiliki alat perekat lebih mudah menempel pada substrat yang lebih keras dan kasar, dalam hal ini kelas Bacillariphyceae lebih mudah menempel pada ban mobil daripada bambu. Tangkai gelatin ada yang bercabang pendek atau panjang, dan dengan alat ini organisme memiliki kemampuan untuk menahan arus yang relatif deras (Arnofa 1997). Eksistensi diatom dapat pula dipergunakan sebagai indicator kualitas air, dimana mereka hidup. Sebagai contoh Navicula dan Nitzchia yang merupakan indikator perairan yang dihuninya sudah tercemar (Schubert 1984).

Penelitian terdahulu oleh Syam (1994) menunjukkan bahwa perifiton yang ditemukan di terumbu buatan ban mobil bekas dan bambu terdiri dari 48 spesies yang dikategorikan ke dalam tujuh kelas. Empat kelas berasal dari golongan hewani yaitu Sarcodina, Chromonadae, Ciliata dan Crustaceae dan tiga dari golongan nabati yaitu Bacillariophyceae (diatom) yang terdiri dari 26 spesies, kemudian diikuti kelas Crustaceae sebanyak tujuh spesies, kemudian Sarcodina sebanyak enam spesies, Ciliata sebanyak tiga spesies, Chromonadae dua spesies dan Cyanophyceae sebanyak dua spesies.

(14)

Lebih lanjut hasil penelitian FAO (1990) menyebutkan bahwa perkembangan biota penempel pada terumbu buatan diawali oleh jenis diatom dan algae lalu akan tumbuh dan berkembang jenis kerang-kerangan (oyster, teritip, dan barnacles) dan coral atau karang. Miclat dan Miclat (1969) menyatakan bahwa ikan yang pertama berkumpul di terumbu karang adalah ikan pemakan algae, setelah itu ikan juvenile dan akan diikuti ikan yang lebih besar yang akan memakan ikan juvenile. Dalam waktu dua bulan ikan-ikan akan sangat cepat berkumpul di terumbu buatan (Gambar 12).

Gambar 12 Jaringan makanan pada terumbu buatan dari bahan bambu dan ban mobil bekas di Danau Smith Mountain, modifikasi dari Prince dalam D’Itri (1985) Beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa ikan-ikan berkumpul di terumbu buatan antara lain disebabkan oleh proses pembentukan rantai makanan lokal. Proses ini diawali dengan terbentuknya akumulasi atau kolonisasi perifiton yang yang diikuti dengan terkumpulnya pemangsa perifiton, dan kemudian plankton feeder. Kolonisasi oleh mikroorganisme, baik mikroba maupun mikroalga akan menarik perhatian juvenile ikan, ikan berukuran kecil sampai ikan berukuran besar sehingga akan menyebabkan terjadinya food web di sekitar terumbu buatan (Russel et al. 1974; Werner 1986: Bohnsack et al. 1991). Nybakken (1992) mengemukakan bahwa dalam setiap komunitas, spesies tidak terisolasi, tetapi berinteraksi dengan spesies lain pada daerah yang sama sehingga akan terjadi proses makan dan dimakan dalam komunitas tersebut.

(15)

Sebagian besar ikan mempunyai peranan ekologis yang berbeda-beda, dan bergantung pada ukuran dan tahapan pertumbuhan dalam siklus hidupnya (Bohnsack et al. 1991). Perubahan ukuran tubuh akibat pertumbuhan akan mempengaruhi kemampuan pemanfaatan makanan, terutama jenis dan kisaran ukuran makanan, serta pengurangan resiko predasi. Ikan ketika masih kecil cenderung tinggal dekat struktur buatan sebagai proteksi, tetapi ketika ukurannya lebih besar dan lebih tahan terhadap predasi akan cenderung lebih lama jauh dari habitat. Walaupun assemblages di terumbu buatan, tetapi terdapat kecenderungan bahwa ikan karnivora mendominasi habitat terumbu buatan. Sebagai contoh, Brock dan Grace (1987) menemukan bahwa ikan karnivora mendominasi biomassa ikan (70%) di habitat buatan Hawai, kemudian diikuti oleh herbivore, planktivora dan omnivore.

Beberapa fakta di daerah tropis menunjukkan bahwa shelter terhadap predasi lebih penting daripada makanan dalam mendeterminasi kelimpahan ikan (Bohnsack et al. 1990). Berdasarkan analisis isi perut ikan menunjukkan makanan bukanlah alasan utama mengapa ikan berkumpul di sekitar terumbu (Kakimoto 1982). Shelter merupakan pusat dari pola tingkah ikan-ikan muda yang sedang mengalami proses pertumbuhan, sehingga terumbu buatan yang memiliki rongga beragam dan didominasi oleh ukuran kecil (0,15-1 m) adalah sesuai sebagai habitat nursery grund. Kompleksitas terumbu buatan terutama tekstur permukaan berperan penting dalam mendukung kehadiran biota penempel (sessile organisms). Karena struktur buatan yang memiliki densitas pertumbuhan sessile organisms tertinggi cenderung lebih efektif menarik ikan, dan biologicalsounder yang diciptakannya (seperti acorn barnacles dan crustaceans) juga akan menarik ikan untuk berkumpul (Ogawa 1982). Disamping itu, kelimpahan organic hasil sekresi sessile organisms yang larut dalam air (mungkin berupa feromon), mensiptakan suatu kondisi lingkungan yang memberikan rasa nyaman bagi beberapa spesies ikan (Kuroki 1982).

Walaupun masih terus diperdebatkan, tetapi pada dasarnya terumbu buatan dapat meningkatkan produksi perikanan melalui dua mekanisme. Pertama, tambahan shelter akan dapat mengumpulkan ikan disekitarnya untuk masuk ke dalam biomassa ikan. Kedua, produksi primer baru dan produksi sekunder organisme penempel dasar yang didukung oleh terumbu, akan menyokong rantai makanan baru yang akhirnya akan meningkatkan biomasa ikan.

Gambar

Gambar 12 Jaringan makanan pada terumbu buatan dari bahan bambu dan ban  mobil bekas di Danau Smith Mountain, modifikasi dari Prince dalam D’Itri (1985)

Referensi

Dokumen terkait

Dengan tidak mengurangi tugas dan tanggung jawab Menteri dalam pembinaan teknis dan pengawasan teknis, kepada Daerah diserahkan sebagian urusan pemerintahan dalam bidang lalu lintas

Kenaikan laba tersebut terutama didorong oleh realisasi dari valuasi investasi sebesar Rp 1,1 triliun dari Merdeka Copper Gold yang menjadi perusahaan terbuka di Bursa Efek

Alhamdulillah, puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, yang hanya dengan rahmat dan izin-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini, sebagai syarat untuk memperoleh

Menurut MKJI, derajat kejenuhan merupakan rasio arus lalu lintas terhadap kapasitas pada bagian jalan tertentu, digunakan sebagai faktor utama dalam penentuan tingkat kinerja

Glavne zada ć e upravne regije su koordiniranje i provedba upravnih poslova i javnih po- litika sredi š nje razine, koordinacija ostalih podru č nih jedinica sredi š njih organa

Persentase hidup stek cabang bambu betung tertinggi ditemukan pada penggunaan media tanah dengan bahan stek yang telah memiliki akar adventif, yaitu sebesar

Dengan demikian maka dalam hal pembatalan sertipikat hak milik atas tanah baik sebagai pelaksanaan Putusan Pengadilan yang menjadi dasar bagi Aparatur Badan

Admin Sistem Kordinator (Admin) Membuka Sistem Menampilkan Halaman Home Memilih Menu Sign-In Menampilkan Halaman Sign-In Menginputkan Email dan Password Mengecek email dan