• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Hasil Tangkapan Bubu pada Terumbu Buatan Bambu dan Ban di Sekitar Pulau Pramuka Kepulauan Seribu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perbandingan Hasil Tangkapan Bubu pada Terumbu Buatan Bambu dan Ban di Sekitar Pulau Pramuka Kepulauan Seribu"

Copied!
216
0
0

Teks penuh

(1)

PERBANDINGAN HASIL TANGKAPAN BUBU PADA

TERUMBU BUATAN BAMBU DAN BAN DI SEKITAR

PULAU PRAMUKA KEPULAUAN SERIBU

DINA MAYASARI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul : ‘Perbandingan Hasil Tangkapan Bubu pada Terumbu Buatan Bambu dan Ban di Sekitar Pulau Pramuka Kepulauan Seribu” adalah benar hasil karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah dipublikasikan kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, April 2008

(3)

ABSTRACT

DINA MAYASARI. Comparison of Catch by Trap between Bamboo and Tire Artificial Reefs around Pramuka Island Kepulauan Seribu. Under supervision of MULYONO S BASKORO and M FEDI A SONDITA.

The objectives of the research were to compare fish composition and abundance between tire and bamboo reefs and to compare yields traps. The study was conducted in 4 steps i.e ; survey location, make the design tire and bamboo artificial reefs, construction and maintenance of artificial reefs, determination of physics parameters, collection of perifiton sample, observation fish abundance among artificial reefs, operation by fish traps, fish identification, determination of fishing catch and analyze data using t-test. The result showed that no difference fish composition collected in around artificial reefs. The fish collected consists of 15 family, 19 genus and 27 species with 789 and 402 fishes in tire and bamboo artificial reefs respectively. Dominant species were collected in artificial reefs are Caesio cuning, Scolopsis sp, Siganus sutor and Sargocentron cornutum. Catch of traps between tire and bamboo artificial reefs is significant (thit 3,6 dan ttab 1,7, α 0,05) which artificial reef made of tire more

bigger than bamboo.

(4)

RINGKASAN

DINA MAYASARI. Perbandingan Hasil Tangkapan Bubu pada Terumbu Buatan Bambu dan Ban di Sekitar Pulau Pramuka Kepulauan Seribu. Dibimbing oleh MULYONO S BASKORO dan M FEDI A SONDITA.

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan komposisi serta jumlah ikan karang yang terkumpul di sekitar terumbu buatan bambu (TB-bambu) dan ban (TB-ban) dan membandingkan hasil tangkapan bubu yang dipasang pada terumbu buatan bambu dan ban. Metode penelitian yang digunakan adalah experimental fishing. Tahap penelitian meliputi pra penelitian, penelitian tahap 1, penelitian tahap 2 dan analisis data. Pra penelitian meliputi survei lokasi dan pembuatan surat ijin penelitian. Penelitian tahap 1 meliputi pembuatan desain terumbu buatan, pemasangan terumbu buatan dan pemeliharaan terumbu buatan. Penelitian tahap 2 meliputi pengukuran parameter fisik, pengambilan sampel perifiton, pengamatan kelimpahan ikan disekitar terumbu buatan, pengoperasian alat tangkap bubu dan identifikasi serta pengukuran hasil tangkapan. Analisis data hasil tangkapan menggunakan ‘uji t’ menyimpulkan tidak ada perbedaan komposisi ikan yang berkumpul diantara kedua jenis terumbu buatan. Jenis ikan yang berkumpul tersebut terdiri dari 15 famili, 19 genus dan 27 spesies dengan jumlah ikan 789 ekor ban) dan 402 ekor (TB-bambu). Jenis ikan yang dominan berkumpul di kedua terumbu adalah Caesio cuning, Scolopsis sp, Siganus sutor dan Sargocentron cornutum. Jumlah ikan yang tertangkap pada kedua jenis terumbu buatan ban dan bambu menggunakan alat tangkap bubu ‘berbeda nyata’ (thit 3,6 dan ttab 1,7, α 0,05),

dimana terumbu buatan ban lebih banyak dibandingkan dengan terumbu buatan bambu.

(5)

©

Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008

Hak cipta dilindungi

1.

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencantumkan atau menyebutkan sumber :

a.

Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,

penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau

tinjauan suatu masalah.

b.

Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya

(6)
(7)

PERBANDINGAN HASIL TANGKAPAN BUBU PADA

TERUMBU BUATAN BAMBU DAN BAN DI SEKITAR

PULAU PRAMUKA KEPULAUAN SERIBU

DINA MAYASARI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

LEMBARAN PENGESAHAN

Judul Tesis

Nama Mahasiswa

Nomor Pokok

Program Studi

:

:

:

:

Perbandingan Hasil Tangkapan Bubu pada Terumbu Buatan Bambu dan Ban di Sekitar Pulau Pramuka

epulauan Seribu K

Dina Mayasari

C 451060181

Teknologi Kelautan

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc Ketua

Dr. Ir. M. Fedi A. Sondita, M.Sc Anggota

Diketahui,

Program Studi Teknologi Kelautan Ketua,

Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof. Dr. Khairil A. Notodiputro, MS

(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT senantiasa penulis panjatkan karena atas

segala limpahan Rahmat dan Hidayah-Nyalah sehingga dapat menyelesaikan tesis ini

dengan baik. Terumbu buatan (artificial reefs) merupakan salah satu dari sekian

banyak alternatif yang dapat digunakan untuk mengurangi tekanan penangkapan ikan

dan perusakan terumbu karang alami, yaitu melalui penciptaan daerah penangkapan

ikan baru yang produktif. Tesis dengan judul “Perbandingan Hasil Tangkapan Bubu

pada Terumbu Buatan Bambu dan Ban di Sekitar Pulau Pramuka Kepulauan Seribu ” bertujuan untuk membandingkan komposisi dan jumlah ikan karang disekitar terumbu buatan serta membandingkan hasil tangkapan bubu yang dipasang di

terumbu buatan.

Pada kesempatan ini penulis menghaturkan terima kasih dan penghargaan

yang setulusnya kepada Prof. Dr. Ir. Mulyono S Baskoro, M.Sc dan Dr. Ir. M. Fedi A.

Sondita, M.Sc selaku ketua komisi pembimbing dan anggota komisi pembimbing yang

telah banyak meluangkan waktu dalam memberikan bimbingan, arahan, saran,

nasehat, semangat dan dorongan moral dalam penyusunan tesis ini, serta Dr.

Mustaruddin, S.Tp selaku penguji luar komisi atas koreksi, saran dan pertanyaan yang

memberikan bobot tersendiri tesis ini.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Mahmudin (Pak

Mai) beserta keluarga, Bapak Sairan, Bapak Nelson, Bapak Loknga, Kapten, keluarga

besar Taman Nasional Kepulauan Seribu, Isnaini S.Si, Erma Prihastanti, Anolita Dewi,

Mutmainah, rekan-rekan Mahasiswa Program Studi Teknologi Kelautan 2006, staf

pengajar program studi TKL, sekretariat TKL dan semua pihak yang tidak dapat

disebutkan satu per satu, yang telah banyak membantu dalam proses penelitian dan

penyelesaian tesis ini.

Penghargaan dan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada

ayahanda Safrudin M Noor, S.Sos, MM dan Ibunda Tri Rinawati, S.E yang tercinta,

serta Fandy Farisa adikku yang kusayangi atas segala dukungan, bantuan,

pengorbanan, doa, keikhlasan dan kesabaran yang diberikan secara tulus selama

penulis menempuh pendidikan.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu

kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga tesis ini

bermanfaat bagi penulis dan bagi semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, April 2008

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Salatiga Jawa Tengah pada tanggal 20 Januari 1985 dari

ayah Safrudin M Noor dan ibu Tri Rinawati. Penulis merupakan putri pertama dari dua

bersaudara.

Pendidikan dasar diselesaikan oleh penulis di SD Negeri 1 Pabelan pada

tahun 1996. Pendidikan menengah pertama diselesaikan di SLTP Negeri 1 Salatiga

pada tahun 1999, kemudian lulus dari SMU Negeri 1 Ungaran pada tahun 2002. Pada

tahun yang sama melalui Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) penulis

diterima sebagai mahasiswa Universitas Diponegoro pada Fakultas Perikanan dan

Ilmu Kelautan dan lulus srata satu pada tahun 2006. Tahun 2006 penulis melanjutkan

(11)

DAFTAR ISTILAH

Artificial reefs Terumbu karang buatan yaitu suatu konstruksi buatan dari bahan-bahan atau benda-benda keras seperti ban mobil bekas, fibre glass, bambu dan bahan beton lainnya, yang ditempatkan didasar perairan dan dikhtiarkan menyamai peranan terumbu karang alami dalam berbagai hal, seperti tempat berlidung, berpijah, bernaung dan mencari makan bagi ikan-ikan dan biota laut serta pelindung pantai.

Biomassa Bobot total seluruh bahan hidup (organik) pada satuan luas atau volume suatu badan air.

Bubu Alat tangkap yang umumnya berbentuk kurungan, ikan

dapat masuk dengan mudah tanpa adanya paksaan, tetapi ikan tersebut akan sukar keluar karena terhalang dengan berbagai cara, yaitu pintu masuknya yang berbentuk corong.

Degradasi Kerusakan

Densitas Massa persatuan volume, yang biasanya dihitung dalam gram per sentimeter kubik atau jumlah sel per milliliter.

Distribusi Pemindahtanganan ikan dan produk akhirnya, termasuk pengangkutan, penyimpanan dan penyerahannya.

Diurnal Organisme yang aktivitasnya tinggi pada siang hari

Ekosistem Fungsi bersama komunitas biologi dan lingkungan tidak hidup.

Fishing ground Daerah penangkapan ikan.

Fouling Organism Organisme yang menyerang permukaan buatan manusia dalam lingkungan akuatik, seperti jaring, pipa air, kurungan dan lambung kapal dan menimbulkan kerusakan terhadap obyek yang diserang. Contohnya oyster, kepiting, kerang, bryozoans, dan koral.

Habitat Tempat hidup suatu organisme.

Hidrodinamilk Ciri-ciri fisik gerakan air.

Ikan karang Organisme dengan jumlah ikan terbanyak dan merupakan organisme besar yang dapat ditemui di terumbu karang.

Juvenile Individu muda pada hewan krustacea yang telah

(12)

Kolonisasi Suatu proses penempatan atau penghunian suatu daerah atau tempat oleh suatu organisme.

Mitigasi Upaya pencegahan dan perbaikan kerusakan terumbu karang baik yang dilakukan secara non struktural melalui penyadaran, sosialisasi dan peningkatan pemahaman masyarakat terhadap manfaat terumbu karang, maupun yang dilakukan secara structural melalui transplantasi atau melalui penanaman terumbu buatan.

Nokturnal Organisme yang aktifitasnya tinggi pada malam hari.

Perifiton Mikroflora yang tumbuh menempel pada substrat yang tenggelam. Perifiton, mikroplankton, dan fitoplankton adalah biota utama yang menentukan tingkat produktivitas primer perairan.

Produktivitas Kemampuan suatu perairan menumbuhkan organisme

Produktivitas primer Kecepatan pembentukan jaringan yang diproduksi oleh produser primer (produksi bahan organik dari bahan anorganik oleh organisme fotoautotrof.

Rehabilitasi Proses perbaikan ekosistem atau populasi yang telah rusak ke kondisi yang tidak rusak, yang mungkin berbeda dari kondisi semula.

Suksesi Suatu proses pergantian dari suatu atau sekelompok jenis organisme oleh yang lainnya dengan komposisi dan struktur yang berbeda.

Shelter Tempat berlindung.

Substrat Tempat menempel biota atau organisme laut.

Thigmotaksis Tingkah laku ikan atau pergerakan organisme mendekati objek padat

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN... xiv

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Permasalahan ... 3

1.3 Hipotesis ... 5

1.4 Tujuan ... 5

1.5 Manfaat ... 5

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Buatan ... 7

2.2 Bahan dan Kontruksi Terumbu Buatan ... 9

2.3 Penentuan Lokasi ... 10

2.4 Asosiasi Komunitas Ikan pada Terumbu Buatan ... 12

2.5 Alat Tangkap Bubu... 13

2.6 Tinjauan Studi Terdahulu yang Relevan ... 14

3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 16

3.2 Alat dan Bahan... 16

3.2.1 Kontruksi terumbu buatan... 17

3.2.2 Kontruksi alat tangkap bubu ... 18

3.3 Prosedur Penelitian... 19

3.4 Analisis Data ... 21

3.5 Asumsi Penelitian... 23

4 HASIL PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian ... 24

4.1.1 Keadaan daerah ... 24

4.1.2 Keadaan perairan ... 24

4.1.3 Kondisi penangkapan ikan... 25

4.1.4 Kondisi terumbu karang di Pulau Pramuka ... 29

4.1.5 Alat tangkap bubu... 34

(14)

4.3 Kelimpahan Ikan Karang... 35

4.4 Berat dan Panjang Hasil Tangkapan ... 38

4.5 Perifiton ... 41

5 PEMBAHASAN 5.1 Uji Coba Alat Tangkap Bubu... 45

5.2 Pengaruh Parameter Fisik Terhadap Hasil Tangkapan ... 46

5.3 Pengaruh Jenis Material Terumbu Buatan Terhadap Kelimpahan dan Komposisi Hasil Tangkapan ... 48

5.4 Pengaruh Perifiton Terhadap Kelimpahan dan Komposisi Hasil Tangkapan... 55

6 KESIMPULAN 6.1 Kesimpulan ... 59

6.2 Saran... 59

DAFTAR PUSTAKA... 60

(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Kajian terhadap penelitian terdahulu ... 15

2 Jenis dan jumlah alat penangkapan ikan di 11 pulau di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu pada tahun 2004 26

3 Jumlah nelayan dan produksi ikan konsumsi Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu pada tahun 2004... 27

4 Parameter fisik lokasi pemasangan terumbu buatan bambu dan ban di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu pada 3 November - 1 Desember 2007 ... 33

5 Komposisi hasil tangkapan ikan menggunakan alat tangkap bubu di terumbu buatan 15 kali ulangan (3 November - 1 Desember 2007) di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu ... 35

6 Kelimpahan ikan karang yang diamati di sekitar terumbu buatan bambu mulai pukul 09.00-17.00 WIB penyelaman selama 45 menit dengan ulangan sebanyak 2 kali di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu (3 November -1 Desember 2007) ... 36

7 Kelimpahan ikan karang yang diamati di sekitar terumbu buatan ban mulai pukul 09.00-17.00 WIB penyelaman selama 45 menit dengan ulangan sebanyak 2 kali di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu (3 November -1 Desember 2007) ... 37

8 Komposisi kelimpahan perifiton di terumbu buatan ban dan bambu setelah satu (2) bulan pemasangan (9 September - 3 November 2007) di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan

(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Alur pemikiran penelitian ... 6

2 Tahap penelitian ... 16

3 Terumbu buatan ban bekas ... 17

4 Terumbu buatan bambu ... 18

5 Alat tangkap bubu ... 19

6 Sketsa lokasi penempatan terumbu buatan ... 20

7 Ikan hasil tangkapan bubu pada lokasi pemasangan terumbu buatan ban dan bambu di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu (3 November - 1 Desember 2007)... 30-32 8 Komposisi berat empat (4) jenis famili ikan dominan yang tertangkap menggunakan alat tangkap bubu pada terumbu buatan ban dan bambu di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu (3 November - 1 Desember 2007)... 39

9 Komposisi panjang (total length) empat (4) jenis famili ikan dominan yang tertangkap menggunakan alat tangkap bubu pada terumbu buatan ban dan bambu di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu (3 November - 1 Desember 2007)... 40

10 Kelimpahan perifiton di terumbu buatan ban (A) dan terumbu buatan bambu (B) setelah dua (2) bulan pemasangan terumbu buatan pada kedalaman 24 meter (9 September - 3 November 2007) di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu ... 42

11 Jenis perifiton yang ditemukan pada terumbu buatan ban dan bambu setelah dua (2) bulan pemasangan terumbu buatan pada kedalaman 24 meter (9 September - 3 November 2007) di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu ... 43

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Peta lokasi penelitian ... 70

2 Peta Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu... 71

3 Uji kenormalan dan homegenitas ... 72

4 Perhitungan uji t hasil tangkapan total ikan di terumbu buatan ban dan bambu ... 73

5 Perhitungan uji t hasil tangkapan per ikan konsumsi di terumbu buatan ban dan bambu... 74

6 Hasil tangkapan menggunakan alat tangkap bubu per hari ulangan di terumbu buatan ban dan bambu ... 78

7 Analisis finansial terumbu buatan ban dan bambu ... 83

(18)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Luas terumbu karang di wilayah perairan Indonesia diperkirakan

setidaknya 50 000 km2, atau merupakan seperdelapan terumbu karang yang ada

di dunia. Setiap kilometer persegi hamparan terumbu karang yang baik dapat

menghasilkan 36 ton ikan per tahun. Indonesia memiliki lebih dari 700 jenis

karang. Sayangnya, lebih dari 70% terumbu karang Indonesia sudah rusak. Bila

ditinjau dari potensi perikanannya, setidaknya Indonesia mengalami kerugian 2

juta ton ikan per tahun akibat kerusakan terumbu karang (Ikawati et al. 2001;

Murdiyanto 2003; Rachmawati 2001).

Perairan Kepulauan Seribu adalah sebuah kawasan terumbu karang di

utara Jakarta yang telah mengalami degradasi akibat kegiatan penangkapan ikan

yang dilakukan di daerah itu. Kegiatan pengeboman, peracunan karang untuk

diambil biotanya terutama ikan dan pemungutan karang untuk dijual sebagai

hiasan akuarium adalah penyebab utama kerusakan terumbu karang di daerah

itu. Disamping itu kegiatan transportasi laut dan pariwisata yang tidak terencana

semakin memperparah kondisi gugusan terumbu karang ini. Padahal kawasan

Taman Nasional Kepulauan Seribu merupakan daerah penyangga bagi pesisir

utara Jakarta. Secara tidak langsung keberadaan terumbu karang dalam

kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu merupakan penghalang dan

pemecah ombak yang dapat mengikis daerah pesisir di DKI Jakarta dan

Tangerang (Ditjen PHPA 2003).

Sehubungan dengan permasalahan yang ada serta upaya untuk mencari

alternatif lain guna meningkatkan eksploitasi sumber daya tanpa menimbulkan

tekanan terhadap sumber daya itu sendiri dan meningkatkan produktivitas

lingkungan serta taraf hidup nelayan, maka telah dicoba suatu paket teknologi

sederhana yang dapat mengurangi tekanan terhadap sumber daya dan

lingkungan. Paket teknologi sederhana tersebut adalah pembuatan unit-unit

terumbu buatan (artificial reefs) di sekitar perairan pantai. Terumbu buatan atau

artificial reefs merupakan salah satu dari sekian banyak alternatif yang dapat

digunakan untuk mengurangi tekanan penangkapan ikan dan perusakan terumbu

karang alami, yaitu melalui penciptaan daerah penangkapan ikan baru yang

produktif. Dengan demikian, terumbu karang alami yang telah mengalami

degradasi diharapkan secara berangsur-angsur dapat pulih kembali. Terumbu

buatan telah digunakan dalam berbagai tujuan (Rilov dan Benayahu 2002), tetapi

(19)

2

sebagian besar untuk meningkatkan potensi fishing ground (Bohnsack et al.

1991; Bombace et al. 1994), sementara manfaat lainnya adalah sebagai alat

mitigasi kerusakan lingkungan (Seaman dan Sprague 1991).

Berbagai laporan menyebutkan bahwa terumbu buatan dapat

meningkatkan produksi perikanan dan pendapatan nelayan (Ruskin 1988;

Montemayor 1991; Sinanuwong 1991; Hung 1991; Polovina 1991a; Munro dan

Balgos 1995; Yip 1998). Biomassa di terumbu buatan umumnya tujuh kali lebih

besar daripada biomassa di habitat alami (Stone et al. 1979). Pickering dan

Whitemarsh (1997) melaporkan bahwa terdapat sejumlah fakta empiris tentang

pengaruh biologis pada terumbu buatan, dan beberapa diantaranya mendukung

hipotesis bahwa terumbu buatan dalam kondisi spesifik mampu meningkatkan

produksi. Ambrose dan Swarbrick (1989) melaporkan bahwa densitas ikan di

terumbu buatan lebih tinggi daripada habitat alami dan daerah sekitarnya. Santos

dan Monteiro (1997) yang melakukan penelitian di Ria Formosa Portugis juga

melaporkan bahwa keragaman species dan jumlah ikan yang tertangkap dengan

gillnet pada habitat buatan lebih tinggi dibandingkan di habitat alami.

Menurut Bohnsack et al. (1991), interaksi dari beragam tujuan

pengelolaan, perbedaan material yang digunakan dan lokasi penempatannya

serta bagaimana pengaruhnya terhadap ekologi terumbu buatan sangat minim

diketahui. Untuk memaksimumkan hasil terumbu buatan perlu dirancang bentuk

dan material terumbu buatan yang sesuai dengan target yang ingin dicapai.

Berbagai bahan digunakan untuk membuat terumbu buatan, seperti kendaraan

bekas (becak, mobil), kapal-kapal bekas, besi tua, bongkaran bangunan, ban

bekas, rumpon bambu yang diberi pemberat maupun struktur yang dibuat secara

khusus seperti reef ball, hallow box, piramida beton dan sebagainya, untuk

kemudian ditenggelamkan ke dasar laut (Wong 1991; Seaman 2000; Ikawati et

al. 2001; Rachmawati 2001; Dirjen KP3K 2005).

Bentuk terumbu mengacu pada struktur tiga dimensi dan profil atau relief

terumbu. Beberapa studi menunjukkan bahwa ukuran terumbu secara nyata

mempengaruhi biomassa, jumlah total dan jumlah individu species (Bohnsack et

al. 1994). Ukuran terumbu buatan juga penting dalam hubungan dengan

kemungkinan menarik species ikan yang berbeda-beda (Bombace et al. 1995).

Ukuran, terutama tinggi terumbu, dapat bertindak sebagai suatu visual pilihan

spasial (Anderson et al. 1989) yang pengaruhnya nyata terhadap kedalaman air.

(20)

3

dasar laut (Grove dan Sunu 1985), sehingga tinggi terumbu yang lebih tinggi

tidak efektif untuk species tersebut. Tinggi terumbu yang kurang dari 1 m adalah

efektif untuk ikan karang bentik (Patton et al. 1985).

Struktur terumbu yang kompleks dengan adanya celah-celah yang

beragam, secara nyata dapat mendukung komposisi species dan produktivitas

biologi di daerah terumbu (Chandler et al. 1985; Anderson et al. 1989).

Sebaliknya beberapa species tertentu, memilih struktur yang kurang kompleks

(Sale dan Douglas 1984). Desain rongga di dalam dan keseluruhan desain

terumbu bergantung pada target species dan atribut biologisnya (Beets dan

Hixon 1994). Dean (1983) menyatakan bahwa, ikan tidak akan bertualang dalam

kegelapan pada bagian tertutup dengan hanya satu jalan keluar, tetapi memilih

obyek dengan banyak pembukaannya (celah) untuk memberikan cahaya dan

aliran air yang bebas. Untuk ikan kecil yang membutuhkan tempat istirahat,

penempatan unit terumbu harus berada pada sudut tepat terhadap arah arus,

sehingga memberikan shelter yang memadai.

1.2 Permasalahan

Desain terumbu buatan sangatlah bervariasi, baik menggunakan material

tunggal maupun kombinasi, atau struktur blok yang sederhana sampai matriks

kompleks dan bentuk campuran (Meier dan Eskridge 1994). Sifat dasar dari

material yang digunakan untuk terumbu buatan harus memenuhi syarat-syarat

antara lain tahan lama, tidak mengeluarkan bahan kimia beracun di air, murah

dan mudah diperoleh serta mudah ditangani dan diangkut ke tempat tujuan.

Terumbu buatan yang terdiri atas bambu dan ban bekas merupakan

ekosistem yang menyerupai terumbu karang yang dapat mengundang biota lain

untuk tinggal dan menyediakan substrat sebagai tempat organisme menempel

serta diharapkan dengan semakin banyaknya biota lain yang tertarik datang ke

terumbu karang buatan ini maka produktivitas dapat ditingkatkan (Delemendo

1991; Montemayor 1991; Silalahi 2001). Material yang digunakan dalam

kontruksi terumbu buatan umumnya dapat mempengaruhi komunitas atau

assemblages dari fouling organism (Woodheads dan Jacobson 1985). Ban bekas

merupakan material terumbu yang digunakan secara berhasil di berbagai tempat

di dunia seperti Australia (Branden et al. 1994), Malaysia (Hung 1991),

Philippines (Montemayor 1991), Thailand (Sinanuwong 1991), dimana ban bekas

dianggap non-toxic, tahan lama dan mudah diperoleh. Penelitian-penelitian telah

(21)

4

bentik dan mempengaruhi komposisi ikan (Hixon dan Brostoff 1985; Chandler et

al. 1985).

Pertimbangan menggunakan material dari bambu dan ban bekas mudah

diperoleh; mudah dipasang dalam air; ekonomis, biaya yang dibutuhkan untuk

setiap unit terumbu buatan dapat ditekan tanpa mengurangi perannya (murah

dan efektif); mudah dalam penanganan dan pengangkutan; memiliki celah yang

dapat dipergunakan sebagai tempat berlindung (Delemendo 1991; Montemayor

1991; Rachmawati 2001). Modul ban bekas dipilih karena harganya yang murah

dan tahan lama selain itu ban bekas yang selama ini ditakuti mengandung racun

bagi lingkungan sekitar ternyata tidak terurai dalam air laut maupun

mengeluarkan racun kimiawi. Sebaliknya tidak disarankan penggunaan mobil

bekas atau kendaraan lain yang mengandung logam karena logam tersebut akan

tereduksi oleh karat dan korosi dalam 4-6 tahun. Modul bambu merupakan bahan

organik yang mudah dan murah diperoleh terutama bagi masyarakat nelayan

serta cepat mengalami suksesi, sehingga bambu dapat dijadikan pembanding

bahan terumbu buatan ban (Wong 1991; Yip 1998).

Pembuatan terumbu buatan dengan model limas sama sisi dipilih karena

hasil dari model terumbu buatan ini yaitu membentuk lubang atau celah yang

cukup banyak. Sebagaimana pendapat Haris dan Rani (1992) bahwa prinsip

dasar pembuatan terumbu buatan adalah terbentuknya celah-celah atau lubang

tempat perlindungan ikan dan biota-biota laut lainnya. Kemudian pertimbangan

lain adalah faktor kestabilan desain dan kontruksinya yang cukup baik dan

ekonomis sehingga lebih memudahkan dalam penempatannya di dasar perairan

atau lokasi yang diinginkan. Menurut Bortone et al. (2000) beberapa species

grouper memilih untuk bersembunyi di dalam celah-celah, dimana ukuran celah

tersebut membatasi ukuran ikan yang dapat menetap dalam asosiasi dengan

terumbu. Celah-celah atau rongga terumbu dalam berbagai bentuk dengan relief

berbeda menarik species tertentu.

Alat tangkap yang digunakan untuk membandingkan hasil tangkapan dan

komposisi dari kedua terumbu karang buatan adalah bubu dasar. Bubu dikatakan

merusak atau tidak tergantung dari cara pengoperasiannya. Alasan pemilihan

bubu sebagai alat menangkap ikan karang karena memiliki beberapa keuntungan

antara lain : (1) pembuatan alat murah dan mudah; (2) pengoperasiannya

(22)

5

dioperasikan di tempat-tempat dimana alat tangkap lain tidak dapat dioperasikan

(Monintja dan Martasuganda 1991; Martasuganda 2005).

Berdasarkan hal tersebut diatas maka diperlukan suatu informasi tentang

sejauh mana pengaruh bahan terumbu buatan pada hasil tangkapan dengan

menggunakan bubu.

1.3 Hipotesis

Sebagai hipotesis pada penelitian ini adalah material terumbu buatan

yang berbeda berpengaruh terhadap hasil dan komposisi tangkapan.

1.4 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk :

(1) Membandingkan komposisi serta jumlah ikan karang yang terkumpul di

sekitar terumbu buatan bambu dan ban.

(2) Membandingkan hasil tangkapan bubu yang dipasang pada terumbu buatan

bambu dan ban.

1.5 Manfaat

Hasil penelitian diharapkan dapat berguna sebagai salah satu bahan

pertimbangan dalam pemilihan material terumbu buatan yang efektif dan efisien

(23)

6

Kerusakan terumbu karang di pulau Pramuka sebagai akibat dari kegiatan penangkapan ikan

- pengeboman - peracunan karang - penggunaan potassium

- kegiatan transportasi laut dan pariwisata

Paket teknologi sederhana adalah pembuatan unit-unit terumbu buatan (artificial reef) di sekitar pantai untuk mengurangi tekanan penangkapan ikan dan perusakan

terumbu alami melalui penciptaan daerah penangkapan ikan baru yang produktif

Permasalahan

Material apa yang ekonomis tapi tidak mengurangi peranannya dan memenuhi sifat dasar material yang digunakan untuk terumbu buatan serta dapat berfungsi

untuk mengumpulkan ikan?

Pemecahan Masalah

Penggunaan ban bekas dan bambu dan percobaan penangkapan ikan menggunakan alat tangkap bubu disertai pengamatan ikan karang di sekitar terumbu

buatan

Hipotesis

Material terumbu buatan yang berbeda berpengaruh terhadap hasil dan komposisi tangkapan

(24)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Terumbu Buatan

Terumbu buatan adalah habitat buatan yang dibangun di laut dan

diletakkan di dasar perairan yang tidak produktif dengan meniru beberapa

karakteristik terumbu alami dengan maksud memperbaiki ekosistem yang rusak,

sehingga dapat memikat jenis-jenis organisme laut untuk hidup dan menetap

serta meningkatkan produksi perikanan, biasanya terbuat dari timbunan

bahan-bahan yang sifatnya berbeda satu sama lain seperti ban bekas, cetakan semen

atau beton, bangkai kerangka kapal, badan mobil bekas, bambu dan sebagainya

(Mottet 1981; Pickering et al. 1998; Yip 1998; Baine 2001; Dirjen KP3K 2005).

Perkembangan terumbu buatan dimulai dari Jepang pada abad XVIII

(Wasilun dan Murniyati 1997; Yip 1998). Pada awalnya nelayan Jepang

melakukan penangkapan ikan di sekitar kapal tenggelam dan ternyata hasil

tangkapannya lebih tinggi dibandingkan di tempat lain. Mereka mencoba

membuat kerangka kayu yang diberi beban karung pasir, ditenggelamkan pada

kedalaman sekitar 36 m dan ternyata hasil tangkapannya tinggi. Di Malaysia

perkembangan terumbu buatan dimulai sejak tahun 1976 dan dalam kurun waktu

12 tahun (1976-1988) telah mengeluarkan dana sekitar 8,88 juta Ringgit (Wasilun

dan Murniyati 1997). Thailand mengembangkannya sejak tahun 1978 sampai

1991, pemerintah menyediakan dana sebesar 200 juta Baht. Di Indonesia melalui

Ditjen Perikanan telah mengembangkan terumbu buatan sejak tahun anggaran

1990/1991 di beberapa propinsi.

Pembuatan terumbu buatan didasari oleh teori yang mengatakan bahwa

jenis-jenis ikan tertentu mempunyai kecenderungan untuk mendekati atau

menyukai benda-benda keras, untuk berkumpul satu sama lainnya, mencari

perlindungan serta untuk memperoleh makanan (Sukarno 1988; White et al.

1990).

Terumbu buatan sebaiknya diletakkan di dasar laut yang mendatar

berdasar pasir atau lumpur yang miskin akan jenis-jenis ikan buruan yang

bersifat menetap sementara di habitat keras atau di daerah tanaman alga yang

lebat, dan pada kedalaman tidak lebih dari 20 meter, sehingga diharapkan

dengan diletakkannya terumbu buatan ini akan mendatangkan ikan-ikan buruan

tersebut (D’Itri 1985; Sukarno 1988; Ikawati et al. 2001; Rachmawati 2001).

Beberapa ikan tertarik pada terumbu buatan selama siklus hidupnya dan

yang lainnya hanya sebagian dari siklus hidupnya. Fungsi utama terumbu buatan

(25)

8

(D’Itri 1985; Hutomo 1991; Montemayor 1991; Dirjen KP3K 2005) adalah sebagai

berikut :

(1) Naungan terhadap arus yang kuat dan tempat berlindung terhadap

pemangsaan.

(2) Mengubah pola arus dan gelombang.

(3) Substrat untuk menempel biota.

(4) Meningkatkan kompleksitas habitat dengan menyediakan ruang vertikal

tertentu.

(5) Sumber makanan dalam bentuk alga dan organisme penempel atau menjalar

lainnya maupun ikan-ikan kecil dan invertebrata yang biasa hidup

bersamanya.

(6) Sebagai titik orientasi bagi beberapa organisme pelagis.

(7) Restorasi atau rehabilitasi fungsi-fungsi penting terumbu karang alami yang

rusak, yang ada di sekitarnya.

(8) Untuk menarik dan mengumpulkan organisme (ikan dan bukan ikan)

sehingga upaya penangkapannya lebih mudah dan efisien.

(9) Melindungi daerah penangkapan tradisional dari beroperasinya kapal pukat

(trawl).

(10) Membuka peluang baru bagi usaha pariwisata bahari dalam bentuk kegiatan

penyelaman, snorkeling, pemancingan dan sebagainya.

(11) Untuk melindungi organisme kecil, anak ikan (juvenile) dan ikan muda

terhadap pemanenan dan penangkapan dini.

(12) Untuk melindungi daerah asuhan terhadap cara-cara pemanfaatan dan

penangkapan yang bersifat merusak.

(13) Mengurangi laju erosi pantai dalam jangka panjang.

(14) Dalam jangka panjang, meningkatkan produktivitas alami melalui suplai

habitat baru bagi ikan dan organisme yang menempel secara permanen atau

organisme kecil serta menyediakan substrat bagi pertumbuhan karang baru

dan berbagai jenis biota yang akan merupakan sumber makanan bagi ikan.

Terumbu buatan memiliki ciri khas, yaitu peningkatan biomassa ikan

berasal dari species yang benar-benar menghabiskan sebagian besar siklus

hidupnya dalam zona terumbu buatan. Hal ini berbeda dengan rumpon atau Fish

Aggregation Device (FAD) yang memperoleh peningkatan produksi dari menarik

perhatian ikan-ikan dewasa yang bermigrasi melewati daerah FAD untuk dipanen

(26)

9

2.2 Bahan dan Kontruksi Terumbu Buatan

Berbagai jenis bahan yang digunakan untuk pembuatan kontruksi terumbu

buatan antara lain ban mobil bekas digunakan di beberapa negara seperti

Malaysia, Thailand, Singapura, Philipina dan Indonesia. Kendaraan bekas

digunakan di Kepulauan Seribu. Beton dikembangkan di Thailand, Singapura,

Brunai, Indonesia dan Malaysia. Kapal rusak dikembangkan di Jepang dan di

Indonesia khususnya di Bali (Delemendo 1991; Montemayor 1991; Wasilun dan

Murniyati 1997; Yip 1998). Di Asia Tenggara, bahan-bahan yang umum

digunakan untuk terumbu buatan adalah ban bekas, bambu, kapal bekas, beton

dan kadangkala kendaraan bekas (White et al. 1990).

Delemendo (1991) dalam Reppie (2006) mengatakan bahwa bahan-bahan

yang digunakan untuk membangun terumbu buatan terdiri dari concrete

cylindrical, culvert cement pipes, concrete rings dan rubber wood. Selanjutnya

menurut Soedharma (1995) terumbu buatan bisa dibuat dari karang-karang

bebas (mobil, kapal, ban bekas dan bahan-bahan buatan lainnya) diletakkan di

dasar laut secara mendatar pada dasar perairan berpasir halus atau lumpur

dengan tujuan untuk merubah habitat yang miskin menjadi habitat yang kaya

akan ikan serta biota lainnya.

Banyak penelitian telah dilakukan untuk melihat seberapa jauh

keberadaan terumbu buatan ini meningkatkan produksi perikanan di suatu

tempat. Stone et al. (1979) dalam Wong (1991) memperkirakan hasil biomassa

sebuah terumbu ban di Florida sebesar 68 ton/km2 sementara Wong (1991)

memperkirakan besarnya produksi terumbu ban di Selandia Baru sebesar 68,5

ton/km2. Perkiraan hasil terumbu buatan di Jepang mencapai 16-20 kg/m3 per

tahun.

Di Thailand, bahan-bahan untuk terumbu buatan dalam percobaan di

Rayong menggunakan tiga tipe yaitu ban bekas, konkrit dan batu. Hasil studi

memperlihatkan adanya peningkatan species komposisi ikan dan ditemukan

bahwa penggunaan ban bekas dan konkrit sangat tepat dibanding batu karena

kontruksi batu sering menyebar di sana-sini sehingga ikan-ikan yang masuk lebih

sedikit (Sinanuwong 1991).

Razak dan Pauzi (1991) menyatakan bahwa ban tidak terdegradasi di laut

dan tidak beracun. Ban sangat baik bagi substrat penempel habitat baru ikan dan

kehidupan biota laut lainnya. Pemilihan bahan dan kontruksi terumbu buatan

(27)

10

relief vertikal, kompleksitas terumbu (bentuk, susunan spatial, jumlah lubang

persembunyian dan ruang antara tekstur serta komposisi materi terumbu

(Hutomo 1991). Desain modul terumbu buatan yang paling cocok untuk tipe

dasar seharusnya memiliki tinggi modul 1-2 meter (Sinanuwong 1991).

Untuk memaksimumkan hasil terumbu buatan perlu dirancang bentuk dan

bahan terumbu buatan yang sesuai dengan target yang ingin dicapai. Dalam

menentukan kontruksi terumbu buatan yang perlu diperhatikan (Seaman dan

Sprague 1991; Wong 1991; Seaman 2000) yaitu:

(1) Bahan tidak beracun di dalam air, tahan lama, mudah diperoleh, mudah

ditangani dan mudah diangkut;

(2) Memperhatikan skala dimensi yang efisien;

(3) Memperhatikan kestabilan hidrodinamik;

(4) Bersifat fungsional artinya bahan-bahan terumbu buatan ini mampu

mengumpulkan ikan;

(5) Bahan yang digunakan harus memiliki celah untuk tempat berlindung serta

permukaan.

Dari penjelasan mengenai penentuan kontruksi terumbu buatan maka

bahan-bahan yang selama ini telah digunakan kebanyakan berupa ban, beton

dan pipa PVC. Candle (1985) menyatakan bahwa sekitar 220 juta ban bekas

terbuang percuma tiap tahunnya dan menjadi salah satu masalah sampah

utama. Perwakilan pabrik Goodyear ini mendukung penggunaan ban bekas

sebagai bahan terumbu buatan karena murahnya biaya dan masalah sampah

akan berkurang. Riset yang dilakukan oleh perusahaannya maupun badan–

badan lain juga membuktikan bahwa bahan ban tidak beracun bagi lingkungan

perairan dan daya tahannya pun lama.

2.3 Penentuan Lokasi

Terumbu buatan ditempatkan pada habitat yang mengalami penurunan

dan area yang memiliki produktivitas rendah (White et al. 1990; Yahmantoro dan

Budiyanto 1991). Menurut Hung (1991) bahwa penempatan terumbu buatan

seharusnya cukup dalam sehingga tidak mempengaruhi hempasan gelombang

dan badai. Kedalaman yang dianjurkan 15-35 m. Beberapa kriteria dalam

peletakan terumbu buatan :

(1) Lokasi dekat dengan pemukiman nelayan (Hutomo 1991);

(28)

11

(3) Perairan cukup jernih (Hung 1991; Razak dan Pauzi 1991; Sinanuwong

1991);

(4) Kedalaman berdasarkan jarak dari pesisir perairan dan kemampuan

penyelam melakukan pengamatan pada kedalaman yang bersangkutan

(Yahmantoro dan Budiyanto 1991);

(5) Kondisi perairan memenuhi persyaratan hidup terumbu karang (sirkulasi,

salinitas, kecerahan, sedimentasi dan kedalaman) (Razak dan Pauzi 1991);

(6) Lokasi jauh dari area penangkapan ikan terutama trawl (Razak dan Pauzi

1991; Sinanuwong 1991);

(7) Keadaan substrat cukup keras dan berbentuk flat (rata) untuk mencegah

terumbu buatan tertanam ke dasar (Hung 1991; Sinanuwong 1991; Razak

dan Pauzi 1991);

(8) Orientasi (letak) dalam hubungan dengan pola migrasi ikan dan arus

(Hutomo 1991; Hagino 1991);

(9) Tidak membahayakan navigasi (Hung 1991; Razak dan Pauzi 1991).

Di Thailand, pemilihan tempat instalasi terumbu buatan tidak begitu jauh

dari desa nelayan. Umumnya 3 km dari desa dan dipertimbangkan tidak

membahayakan alur pelayaran pantai. Hal ini dikarenakan ikan-ikan predator

lebih menyukai hidup di daerah perairan yang intensitas cahaya matahari tinggi

dan termasuk perairan jernih. Kedalaman rata-rata sekitar 15 m dengan jarak ke

pantai 5 km (Sinanuwong 1991).

Menurut Razak dan Pauzi (1991) bahwa peletakan terumbu buatan

mayoritas dekat dengan daratan dan jarak berkisar 200-500 m dari garis pantai.

Untuk memperoleh hasil maksimal terdapat kecenderungan untuk menempatkan

terumbu buatan pada daerah yang dalam. Namun hal ini menimbulkan kesulitan

dalam pengambilan hasil oleh nelayan kecil. Karena itu terumbu buatan biasanya

ditempatkan pada kedalaman dan jarak dari pantai yang berbeda-beda. Makin

dangkal perairan maka makin mudah kegiatan eksploitasi, namun yang diperoleh

biasanya ikan-ikan kecil. Sebaliknya, perairan yang makin dalam akan menarik

ikan-ikan yang lebih besar walaupun sulit diperoleh.

Matthews (1985) menyatakan bahwa kedalaman 20-60 m sangat cocok

untuk menempatkan terumbu buatan, karena pada kedalaman tersebut sangat

disukai ikan dari kelompok ikan predator dalam jumlah besar. Akan tetapi

(29)

12

Keberadaan terumbu buatan di laut akan bertindak sebagai benda

penghalang lintasan arus, dengan membuat orientasi posisi secara benar maka

terumbu buatan akan efektif menahan arus yang dapat menimbulkan olakan dan

arus bayangan di belakang terumbu, kondisi ini akan menyediakan tempat

berlindung ikan dari arus yang terlalu kuat baginya, dan keberadaan terumbu itu

juga dapat menahan lintasan ikan yang umumnya bergerak bersama arus, serta

terakumulasinya organisme planktonik dalam arus bayangan (Matthews 1985).

2.4 Asosiasi Komunitas Ikan pada Terumbu Buatan

Hasil biomassa ikan dalam ekosistem terumbu buatan berasal dari

ikan-ikan yang benar-benar menghabiskan sebagian besar daur hidupnya dalam zona

terumbu buatan. Hal ini berbeda dengan rumpon yang menarik ikan-ikan migrator

dari areal lain (Mottet 1985).

Berkaitan dengan fungsi terumbu buatan sebagai tempat hidup ikan

karang maka terdapat tiga kategori besar ikan-ikan yang datang ke terumbu

buatan (Mottet 1985; Rachmawati 2001) yaitu :

(1) Ikan migratory permukaan dan kolom air (migratory surface and mid

waterfish);

(2) Ikan migratory dasar perairan (migratory bottom fish);

(3) Ikan-ikan menetap (resident) atau seluruh hidupnya berhubungan dengan

terumbu buatan.

Berdasarkan distribusi spasial vertikal, kelompok ikan dibedakan atas

kelompok ikan bagian atas dan bagian bawah sedangkan berdasarkan distribusi

spasial horizontal terdiri dari ikan ruaya dan ikan menetap. Berdasarkan posisi

terhadap terumbu buatan dapat dibagi menjadi kelompok yang hidup ’jauh’ dari

terumbu, ’dekat’ dengan terumbu dan di ’dalam’ terumbu (Grove dan Sonu 1985;

Ikawati et al. 2001; Rachmawati 2001). Beberapa jenis ikan yang terdapat di

daerah terumbu karang dapat juga berada di sekitar terumbu buatan (Morton

1990 dalam Tarigan 1995).

Ikan-ikan yang dijumpai di terumbu buatan adalah snappers (Lutjanidae),

groupers (Serranidae), fussiliers (Caesionidae), sweetlips (Haemulidae),

rabbit-fish (Siganidae), parrotfish (Scaridae), jacks (Carangidae) dan damselfishes

(Pomacentridae) (Razak dan Pauzi 1991; Hutomo 1991; Hung 1991). Lebih lanjut

Hung (1991) menambahkan bahwa groupers, jacks dan snappers banyak

(30)

13

terumbu buatan yang berukuran kecil ditemukan kurang lebih 30-40

groupers/individu (Hung 1991; Razak dan Pauzi 1991).

Adrim (1997) membagi 3 kategori ikan yang paling sering dijumpai di

terumbu karang yaitu :

(1) Ikan target yang sering dimanfaatkan oleh nelayan meliputi Serranidae,

Lutjanidae, Lethrinidae, Haemulidae dan sebagainya.

(2) Species indikator, yaitu jenis kepe-kepe (Chaetodontidae) melimpahnya

species ini menunjukkan kesuburan suatu perairan terumbu karang alami.

(3) Major thropic categories yang belum diketahui peranannya kecuali dalam

rantai makanan dan umumnya berukuran kecil serta memiliki kelimpahan

dominan, meliputi Scaridae, Siganidae, Labridae, Mullidae dan Apogontidae.

2.5 Alat Tangkap Bubu

Bubu adalah alat tangkap yang umumnya berbentuk kurungan, ikan dapat

masuk dengan mudah tanpa adanya paksaan, tetapi ikan tersebut akan sukar

keluar karena terhalang dengan berbagai cara, yaitu pintu masuknya yang

berbentuk corong (Brandt 1984). Perangkap memiliki sifat pasif, dibuat dari

anyaman bambu, anyaman rotan, anyaman kawat, kere bambu, misalnya bubu,

sero, cager yang dibuat dari anyaman bambu (Subani dan Barus 1989).

Secara garis besar bubu terdiri dari bagian-bagian yaitu badan (body) dan

mulut (funnel). Badan berupa rongga, tempat dimana ikan-ikan terkurung. Mulut

bubu (funnel) berbentuk seperti corong, merupakan pintu dimana ikan dapat

masuk tapi tidak dapat keluar (Subani dan Barus 1989).

Menurut Rounsefelt dan Everhart (1962), bubu merupakan alat tangkap

yang sangat efektif untuk menangkap organisme yang bergerak lambat di dasar

perairan, baik di laut maupun danau. Bubu banyak digunakan oleh nelayan

tradisional untuk menangkap udang, ikan demersal, ikan karang dan ikan hias.

Bubu digunakan sebagai alat untuk menangkap ikan-ikan karang karena

mempunyai beberapa keuntungan, diantaranya adalah :

(1) Pembuatan alat mudah dan murah;

(2) Pengoperasiannya mudah;

(3) Kesegaran hasil tangkapan baik;

(4) Daya tahan tinggi dan dapat dioperasikan di tempat-tempat dimana alat

(31)

14

Monintja dan Martasuganda (1990) dalam Nasution (2001) menjelaskan

beberapa faktor yang menyebabkan ikan dasar, ikan karang dan udang

terperangkap pada bubu, yaitu :

(1) Tertarik umpan;

(2) Digunakan sebagai tempat berlindung;

(3) Karena sifat thigmotaksis ikan itu sendiri; dan

(4) Digunakan sebagai tempat beristirahat sewaktu ikan bermigrasi.

2.6 Tinjauan Studi Terdahulu yang Relevan

Penelitian mengenai terumbu buatan belum banyak dilakukan dan masih

cenderung parsial. Beberapa studi mengenai terumbu buatan dilakukan oleh

Yuspardianto (1998), Risamasu (2000), Alfian (2005) dan Reppie (2006) (Tabel

(32)

15

7 Tabel 1 Kajian terhadap penelitian terdahulu

No Kajian Yuspardianto (1998) Risamasu (2000) Alfian (2006) Reppie (2006)

1 Aspek yang dikaji Efektifitas Terumbu Karang Buatan (TKB)

Perbandingan Material Terumbu Karang Buatan

Terumbu Karang Buatan sebagai Alternatif

Daerah Penangkapan Ikan

Desain, Kontruksi dan Kinerja Terumbu Buatan

2 Tujuan

ƒ Mengetahui dan membandingkan komposisi ikan karang di sekitar TKB dan terumbu karang alami (TKA)

ƒ Membandingkan hasil tangkapan bubu antara TKB dan TKA

ƒ Membandingkan 3 material TKB (Beton, Kayu dan Bambu) ƒ Mengetahui pengaruh

material TKB

terhadap kelimpahan ikan karang dan perifiton

ƒ Mendeskripsikan bentuk struktur komunitas ikan

karang dan perifiton di TKB

ƒ Mengidentifikasi distribusi dan struktur komunitas berdasarkan species, kelimpahan, keanekaragaman, keseragaman dan dominansi ikan karang pada TKB dan TKA

ƒ Mengkaji kemungkinan TKB sebagai alternatif DPI dengan

menggunakan fish pot

Memperoleh desain terumbu buatan yang efektif sebagai habitat

nursery ground ikan-ikan karang

3 Bahan TKB Ban Beton, Kayu dan Bambu

bentuk persegi empat Beton bentuk trapesium

Beton bentuk kubus, trapesium dan kombinasi

4 Kesimpulan

TKB yang digunakan efektif sebagai pengumpul ikan dan dapat digunakan untuk memperbaiki habitat alami yang rusak

Material atau bahan TKB yang cocok digunakan sebagai alat pengumpul ikan adalah kayu, beton daripada bambu

Hasil tangkapan menggunakan bubu relatif stabil dan tertangkapnya ikan ekonomis menunjukkan TKB layak dijadikan daerah penangkapan ikan alternatif

Desain dasar TKB yang memadai sebagai habitat nursery ground

(33)
(34)

3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Lokasi penelitian mengambil tempat di pulau Pramuka Kepulauan Seribu,

Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Propinsi DKI Jakarta (Peta Lokasi

Lampiran 1). Penelitian dilakukan 6 (enam) bulan, yaitu mulai dari Juli 2007

sampai Desember 2007. Kegiatan penelitian meliputi :

(1) Survei terhadap lokasi penelitian untuk merancang percobaan penelitian

pada bulan Juli 2007.

(2) Pemasangan terumbu buatan ban dan bambu dilaksanakan di perairan pulau

Pramuka Kepulauan Seribu pada bulan September 2007.

(3) Percobaan penangkapan dengan menggunakan alat tangkap bubu

dilaksanakan setelah 2 bulan masa pemasangan terumbu buatan.

Adapun tahap penelitian ditunjukkan pada Gambar 2.

PRA PENELITIAN : - survei lokasi

- pembuatan surat ijin penelitian

PENELITIAN TAHAP 1:

- pembuatan desain terumbu buatan - pemasangan terumbu buatan - pemeliharaan terumbu buatan

PENELITIAN TAHAP 2: - pengukuran parameter fisik - pengambilan sampel perifiton

- pengamatan kelimpahan ikan di sekitar terumbu buatan - pengoperasian alat tangkap bubu

- identifikasi dan pengukuran hasil tangkapan

[image:34.595.177.443.344.609.2]

ANALISIS DATA

Gambar 2 Tahap penelitian

3.2 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan pada saat pengumpulan data di

lapangan terdiri dari ban bekas, bambu, tali ijuk, perahu, perlengkapan selam,

penggaris, papan tulis kedap air, pensil 4B, buku identifikasi ikan dan perifiton,,

alat tulis, botol film, underwater camera, timbangan, Global Positioning System

(GPS), currentmeter, handrefractometer, decom, kantong plastik, formalin 4%,

mikroskop, pisau, gergaji dan paku.

(35)

17

3.2.1 Kontruksi terumbu buatan

Terumbu buatan yang digunakan terdiri dari dua jenis material, yaitu

terumbu buatan bambu dan ban. Ban-ban bekas dan bambu tersebut kemudian

dirakit model limas dengan bantuan tali polyethylene sebagai pengikat.

Pembuatan terumbu buatan dengan model limas sama sisi dipilih karena hasil

dari model terumbu buatan ini yaitu membentuk lubang atau celah yang cukup

banyak. Sebagaimana pendapat Haris dan Rani (1992) bahwa prinsip dasar

pembuatan terumbu buatan adalah terbentuknya celah-celah atau lubang tempat

perlindungan ikan dan biota-biota laut lainnya. Kemudian pertimbangan lain

adalah faktor kestabilan desain dan kontruksinya yang cukup baik dan ekonomis

sehingga lebih memudahkan dalam penempatannya di dasar perairan atau lokasi

yang diinginkan.

Desain terumbu buatan model tersebut diuraikan sebagai berikut :

(1) Terumbu buatan material ban bekas model limas (Gambar 3) ini dimulai

dengan mengikat dua buah ban dan disusun menjadi bentuk segitiga

dibagian alasnya. Kemudian untuk tingginya 3 buah ban dirangkai menjadi 1

dengan cara diikat menggunakan tali dan digabungkan dengan bagian

alasnya dan 1 buah ban dibagian puncaknya. Jumlah ban keseluruhan 10

[image:35.595.208.417.444.722.2]

buah ban. Ukuran setiap sisi limas 150 cm.

(36)

18

(2) Terumbu buatan material bambu model limas (Gambar 4) ini menggunakan

bambu dengan panjang 150 cm 6 buah dengan diameter 9-10 cm.

Selanjutnya potongan bambu dirangkai sedemikian rupa dengan bantuan tali

[image:36.595.185.436.153.400.2]

polyethylene sebagai pengikat hingga terbentuk sebuah model limas.

Gambar 4 Terumbu buatan bambu

3.2.2 Kontruksi alat tangkap bubu

Bubu dasar (Gambar 5) ini berbentuk empat persegi panjang, dengan

panjang 120 cm, lebar 90 cm, tinggi 45 cm, mesh size 2,5 cm. Bahan rangka

bubu terbuat dari bambu dan badan bubu terbuat dari kawat kemudian diikat

dengan tali serta dibungkus dengan jaring yang dimaksudkan agar ikan-ikan kecil

tidak masuk ke dalam bubu memakan umpan. Pemberat bubu digunakan batu

yang diikatkan dikedua ujung bubu untuk menenggelamkan alat tangkap

tersebut.

Penelitian tentang hasil tangkapan bubu dilakukan dengan metode

pengambilan sampel hasil tangkapan (Suryabrata 1983), yaitu dengan

mengoperasikan bubu pada dua tempat yang berbeda yaitu di terumbu buatan

ban dan terumbu buatan bambu dianggap sebagai perlakuan. Kondisi perairan,

jarak antar bubu, jarak antara bubu dengan terumbu buatan ban dan bambu,

kedalaman pemasangan bubu, komposisi dan kepadatan perifiton yang tumbuh

dan menempel pada terumbu buatan, serta kondisi oseanografi lainnya dianggap

(37)

19

a b

e

[image:37.595.120.504.84.513.2]

f

Gambar 5 Alat tangkap bubu

Keterangan :

a. Panjang bubu (120 cm) b. Lebar bubu (90 cm) c. Mulut luar (55 cm) d. Mulut dalam (32 cm) e. Tinggi bubu (45 cm) f. Mesh size (2,5 cm)

3.3 Prosedur Penelitian

Terumbu buatan yang telah dirangkai tersebut selanjutnya dilengkapi

dengan pemberat berupa batu yang diikatkan pada setiap sisi dari

masing-masing jenis terumbu buatan tersebut. Kemudian terumbu buatan tersebut

(38)

20

50 – 100 meter

50

10

0

m

et

er

Terumbu alami

TB-bambu TB-ban

50 – 100 meter

50

10

0

m

et

er

Terumbu alami

TB-bambu TB-ban

Lokasi terumbu buatan terletak di perairan pantai pulau Pramuka

Kepulauan Seribu dengan persyaratan menurut (Hagino 1991) jarak ± 200 meter

dari pantai; struktur tidak mempengaruhi terumbu karang alami; kualitas air baik

dan stabil, perubahan suhu dan salinitas harian kecil, atau kualitas air relatif

sama dengan yang dibutuhkan terumbu alami; kedalaman perairan cukup

memadai (15-35 meter) untuk meminimalkan resiko badai, memungkinkan akses

penyelam dan perawatan, serta memanfaatkan pertukaran dan pencampuran

massa air di dekat pantai; daerah berpasir, tandus atau krikil dengan kecerahan

baik; kecepatan arus ± 3 knot, tidak lebih, tidak ekstrim dan tidak pula terlalu

rendah; dan daerah aliran tenang sekitar upwelling dan mixing (20-30 meter).

Terumbu buatan yang terdiri dari dua jenis material ditempatkan pada jarak antar

terumbu buatan ± 50-100 meter dengan dasar perairan pasir berlumpur.

Sedangkan penempatan alat tangkap bubu pada terumbu buatan berjarak ± 30

[image:38.595.114.507.346.581.2]

cm.

Gambar 6 Sketsa lokasi penempatan terumbu buatan

Setelah dua bulan terumbu buatan diletakkan pada lokasi penelitian dan

diperkirakan telah terhuni oleh beberapa organisme yang diharapkan, maka

pemasangan alat tangkap bubu segera dilakukan. Pengambilan sampel ikan

dilakukan dengan metode experimental fishing, yaitu berupa uji coba

penangkapan pada masing-masing terumbu buatan sebanyak 15 kali dengan

menggunakan sepasang bubu pada masing-masing terumbu buatan sebagai

obyek penelitian dengan alat bantu perahu dan perlengkapan selam. Waktu yang

(39)

21

Ikan yang tertangkap diidentifikasi dengan menggunakan buku Pedoman

Pengenalan Sumber Perikanan Laut I (Sardjono 1979; Kuiter 1992; Lieske dan

Myers 2001). Sampel tersebut selanjutnya dihitung dalam satuan berat dan ekor.

Parameter yang diamati pada penelitian ini adalah hasil tangkapan yang dihitung

dalam jumlah (ekor) dan bobot (gram) pada setiap jenis material terumbu buatan.

Parameter penunjang dalam penelitian ini adalah parameter fisik pada lokasi

penelitian meliputi kecepatan arus, salinitas, suhu dan kecerahan.

Pengamatan juga dilakukan terhadap jenis-jenis ikan yang terkumpul di

kedua terumbu buatan tersebut. Ikan-ikan yang diamati yaitu: kelompok species

target, kelompok species indikator dan kelompok species mayor. Pengamatan

terhadap tingkah laku ikan di sekitar terumbu buatan dilakukan dengan cara

pengamatan secara langsung (visual method) dengan melakukan penyelaman.

Pada saat pengamatan secara langsung dilakukan pula pengambilan gambar

dengan underwater camera. Pengamatan dengan penyelaman dilakukan pada

saat kecepatan arus rendah atau skala kecil dari 2 knot. Hal ini dikarenakan jika

kecepatan arus lebih dari 2 knot maka akan membahayakan keselamatan

penyelam. Pengamatan dilakukan setelah 2 bulan terumbu buatan terpasang di

perairan dimulai pukul 09.00-17.00 WIB, dengan mengadakan penyelaman

selama 45 menit di setiap terumbu buatan dengan ulangan sebanyak 2 kali.

Selama pengamatan di dalam air, pengamat dikawal oleh dua rekan selam

(buddy) yang mengontrol lamanya pengamatan dan selalu siap membantu

pengamat bila ada kesulitan di bawah air serta pemotretan bawah air.

3.4 Analisis Data

Dalam perhitungan dan pengujian data selain dilakukan secara manual

juga menggunakan software SPSS versi 10.0, Minitab 13 dan Microsoft Excel

2003 dengan tujuan untuk mengurangi resiko kesalahan. Untuk menarik

kesimpulan dari hasil pengamatan maka dilakukan beberapa tahap pengujian

data yang meliputi :

(1) Tabulasi Data

Yaitu memasukkan data dalam tabel kombinasi antar perlakuan, Kemudian

membandingkan dua kombinasi terumbu buatan dan menguji antar

perlakuan

(2) Uji Kenormalan Data

Metode yang digunakan dalam pengujian kenormalan data adalah metode

(40)

22

data menyebar normal, maka untuk selanjutnya diuji dengan menggunakan

metode statistik parametrik, sedangkan apabila data yang diperoleh tidak

menyebar normal, maka data diuji dengan menggunakan metode statistik

non parametrik.

(3) Uji Keragaman (Homogenitas)

Sesudah data diuji kenormalannya, apabila data menyebar normal dilakukan

uji ragam atau uji homogenitas.

(4) Uji Hipotesis

Apabila ternyata diperoleh dalam pengujian ragam homogen, maka

dilanjutkan pengujian hipotesis dengan menggunakan uji t-student untuk

penarikan kesimpulan.

(5) Hipotesis

Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

H0 : Diduga perbedaan material terumbu buatan tidak berpengaruh

terhadap jumlah hasil tangkapan bubu.

H1 : Diduga perbedaan material terumbu buatan berpengaruh terhadap

jumlah hasil tangkapan bubu.

Kaidah pengambilan keputusannya adalah :

(1) Jika t hit > ttabel maka tolak H0, dimana perbedaan material terumbu

buatan berpengaruh nyata terhadap jumlah hasil tangkapan.

(2) Jika t hit < ttabel maka gagal tolak H0, dimana perbedaan material terumbu

buatan tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah hasil tangkapan.

(6) Komposisi jenis hasil tangkapan

Persentase komposisi jenis hasil tangkapan selama penelitian dihitung

dengan menggunakan rumus:

%

100

1

x

N

p

=

n

dimana :

p = proporsi satu jenis ikan yang tertangkap

n1 = berat satu jenis ikan setiap kali sampling (kg)

N = berat total tangkapan setiap kali hauling (kg)

(7) Kelimpahan ikan karang

Kelimpahan ikan karang dihitung dengan menggunakan rumus yang

dikemukakan Odum (1971) sebagai berikut :

n

Xi

(41)

23

dimana : X = kelimpahan ikan

Xi = jumlah ikan pada stasiun pengamatan ke-i

n = luas terumbu buatan yang diamati (m2)

(8) Kelimpahan perifiton

Sampel perifiton yang telah diawetkan dalam botol film diambil dengan

menggunakan pipet kemudian diteteskan ke dalam alat Sedwick Rafter

Counting Cell (SRC) sampai volumenya penuh sekitar 1 ml. Sebelum sampel

diambil, botol film dikocok-kocok terlebih dahulu agar sampel di dalam botol

film tercampur dan tidak ada yang mengendap. Volume SRC yang penuh

ditandai dengan menutupnya cover glass SRC dengan sendirinya.

Pengamatan dilakukan dibawah mikroskop dengan perbesaran 40x10,

kemudian sampel dalam SRC dihitung dengan menggunakan metode

sensus tanpa ulangan. Sampel perifiton diidentifikasi dengan menggunakan

buku identifikasi Needham dan Needham (1969). Kelimpahan perifiton

dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut (APHA 1995) :

K =

v

V

W

L

T

n

×

×

1

×

Keterangan :

K = jumlah total perifiton (ind/cm2)

N = jumlah perifiton yang diamati

T = luas penampang permukaan Sedgewick Rafter (1000 mm2)

L = luas amatan (mm2)

V = volume konsentrat pada botol contoh (ml)

v = volume konsentrat dalam Sedgewick Rafter (1 ml)

W = luas substrat yang dikerik (3x8 cm2)

Dalam penelitian ini tidak dilakukan analisis isi perut ikan (stomach content)

yang bertujuan untuk mengetahui jenis makanan yang disukai ikan hasil

tangkapan. Karena itu untuk mengetahui bahwa indikasi ikan-ikan berkumpul

di terumbu buatan antara lain disebabkan oleh proses pembentukan

rantai-makanan lokal dilakukan melalui studi pustaka.

3.5 Asumsi Penelitian

Dalam pelaksanaan penelitian menggunakan beberapa asumsi yaitu

setiap letak terumbu buatan memiliki karakteristik perairan yang sama dan waktu

(42)

38

4 HASIL

4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian

4.1.1 Keadaan daerah

Pulau Pramuka secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu, Kotamadya Jakarta Utara, Propinsi DKI Jakarta. Secara geografis Kelurahan Pulau Panggang terletak antara 05°41’41” - 05°41’45” LS hingga 05°47’00” - 05°45’15” LS dan antara 106°19’30” - 106°44’50” BT (Lampiran 1).

Batas-batas wilayah Kelurahan Pulau Panggang adalah :

ƒ di sebelah utara : wilayah perairan Kelurahan Pulau Kelapa;

ƒ di sebelah selatan : wilayah perairan Kelurahan Pulau Untung Jawa;

ƒ di sebelah barat : wilayah perairan Kelurahan Pulau Tidung;

ƒ di sebelah timur : wilayah perairan Jawa Barat.

Kelurahan Pulau Panggang terdiri atas 13 pulau dimana 2 pulau diantaranya adalah pusat pemukiman, yaitu Pulau Panggang dan Pulau Pramuka. Luas Pulau Pramuka mencapai sekitar 19 hektar dengan tingkat kepadatan sedang (80 org/ha). Topografi Pulau Pramuka merupakan tanah dataran rendah dengan ketinggian antara 1-2 m diatas permukaan laut.

Pulau Pramuka didiami oleh 1 625 jiwa yang tergabung dalam 457 KK. Profesi penduduk sebagian besar adalah nelayan (sekitar 85 %); sisanya adalah sebagai PNS dan wirausahawan. Penduduk pulau ini merupakan masyarakat pendatang dari Jawa Barat, Jakarta, Makasar dan Sumatera, sehingga masyarakat pulau ini bersifat multikultural (Ditjen PHPA 2003; BPS 2006).

4.1.2 Kedaan perairan

Konfigurasi dasar perairan Pulau Pramuka relatif datar dengan sedikit cekungan (Lampiran 1). Kedalaman rata-rata pada rataan terumbu di sekeliling pulau bervariasi antara 1 sampai dengan 5 m. Kedalaman laut di luar rataan terumbu bervariasi antara 20 sampai dengan 40 m. Rataan terumbu membentang di sekeliling pulau sampai dengan jarak 500 m dari garis pantai.

Ada tiga musim yang mempengaruhi kondisi perairan Pulau Pramuka, yaitu musim angin barat, musim angin timur dan musim peralihan. Musim angin barat berlangsung dari bulan Desember sampai pertengahan bulan Maret. Pada musim ini angin bertiup kencang dari arah barat ke timur, dengan arus kuat disertai hujan cukup deras. Kondisi ini mengakibatkan perairan keruh. Kecepatan

(43)

25

arus rata-rata pada musim barat di Kepulauan Seribu adalah 0,13-0,17 m/s. Keadaan angin bervariasi dengan kecepatan antara 7-20 knot (Ditjen PHPA 2003; Dinas Perikanan dan Kelautan DKI Jakarta 1998; Effendi 1993).

Musim angin timur berlangsung dari bulan Juni hingga September. Angin bertiup kencang dari arah timur ke barat yang disertai dengan arus laut sedang. Pada musim timur hujan jarang turun sehingga air laut jernih. Kecepatan angin bervariasi antara 7-15 knot. Musim peralihan berlangsung pada bulan Maret sampai dengan Mei dan bulan September sampai dengan November. Karakter angin dan gelombang relatif lemah dan kondisi perairan tidak keruh. Penelitian ini dilaksanakan dalam periode musim peralihan.

4.1.3 Kondisi penangkapan ikan

4.1.3.1 Unit penangkapan ikan

Sesuai dengan kondisi perairan yang relatif berkarang, kegiatan penangkapan ikan di Pulau Pramuka didominasi oleh unit penangkapan ikan yang ditujukan untuk ikan karang dan pelagis. Nelayan Pulau Pramuka berasal dari daerah Bugis, Tangerang dan Palembang. Latar belakang budaya pun bercampur baur sehingga menciptakan corak budaya tersendiri. Nelayan Pulau Pramuka umumnya bekerja sebagai nelayan penuh kecuali nelayan bubu sedang (bubu karang). Nelayan jaring, pancing dan bubu selat (bubu besar) (Tabel 2) umumnya melaut hampir sepanjang tahun kecuali pada musim barat. Dengan demikian nelayan Pulau Pramuka umumnya melaksanakan kegiatan penangkapan ikan sekitar 8 (delapan) bulan dalam satu tahun, yaitu mulai dari bulan April sampai dengan November.

(44)
[image:44.842.59.799.102.355.2]

38

Tabel 2 Jenis dan jumlah alat penangkapan ikan di 11 pulau di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu pada tahun 2004 Alat Tangkap

No Nama Pulau Jaring Jaring Jaring Jaring Muroami Muroami Bubu Bubu Bagan Bagan Jaring Pancing

Payang Gebur Rampus Rajungan Besar Mini Tambun Besar Tancap Apung Ikan Hias Jumlah

Kecamatan Kepulauan Seribu Utara

1 P Panggang 190 79 25 10 0 0 15 215 50 0 4 85 673

2 P Pramuka 75 20 15 3 0 0 12 180 0 0 2 15 322

3 P Kelapa 130 50 20 4 0 3 7 240 100 0 30 0 584

4 P Kelapa Dua 25 52 2 1 0 0 0 0 0 0 2 0 82

5 P Harapan 85 5 15 2 0 3 8 100 210 0 2 0 430

6 P Sebira 15 50 1 1 2 0 0 0 0 0 0 0 69

Jumlah 520 277 78 21 2 6 42 735 360 0 40 100 2181

Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan

7 P Tidung 125 0 4 65 0 5 10 200 0 0 3 0 412

8 P Payung 80 0 15 2 1 0 1 120 10 0 0 0 229

9 P Pari 50 6 8 6 2 0 0 85 15 0 0 0 172

10 P Lancang 20 0 6 7 35 0 0 120 0 90 3 0 281

11 P Untung Jawa 270 0 2 1 0 0 0 0 800 0 0 0 1073

Jumlah 545 6 35 81 38 5 11 525 825 90 6 0 2167

Total 1065 283 113 102 40 11 53 1260 1185 90 46 100 4348

Sumber : Kepulauan Seribu dalam Angka (2006)

26

(45)

27

[image:45.842.75.763.90.343.2]

27

Tabel 3 Jumlah nelayan dan produksi ikan konsumsi Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu pada tahun 2004

Jenis Nelayan Daerah

No Nama Pulau

Tetap Musiman Jumlah Penangkapan Tujuan Daerah Pemasaran Keterangan Kecamatan Kepulauan Seribu Utara

1 P Panggang 1400 145 1545 Perairan Kepulauan Seribu, TPI Muara Angke Jakarta Produksi rata-rata 2 P Pramuka 800 97 897 Bangka Belitung, Karimun Jawa, TPI Muara Baru Jakarta per bulan = 4203,4 3 P Kelapa 1850 315 2165 Bawean, Lampung, Belanahan, TPI Kamal Muara Jakarta ton : 12 bulan = 4 P Kelapa Dua 500 95 595 Tanjung Karang TPI Rawa Saban Tangerang 350,2 ton/hari

5 P Harapan 645 200 845 TPI Dadap Banten

6 P Sebira 300 35 335 Untuk rata-rata per

Jumlah 5495 887 6382 hari produksi =

Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan 350,2 : 22 hari =

7 P Tidung 1600 300 1900 15,9 ton/hari

8 P Payung 170 30 200

9 P Pari 300 80 380

10 P Lancang 600 75 675 11 P Untung Jawa 750 55 805

Jumlah 3420 540 3960

Total 8915 1427 10342

(46)

28

4.1.3.2 Musim penangkapan ikan

Musim penangkapan ikan di Pulau Pramuka dipengaruhi oleh musim yang berlangsung di laut. Umumnya nelayan melaut pada musim peralihan dan musim timur. Pada musim peralihan, kondisi perairan tenang, sehingga semua nelayan dari semua alat tangkap pergi melaut. Musim ini dianggap nelayan sebagai musim yang ideal, karena resiko kegagalan yang disebabkan oleh kondisi alam sedikit sekali. Nelayan juga intensif menangkap ikan untuk persiapan tidak melaut pada musim barat.

Pada musim timur, nelayan pergi melaut walaupun intensitasnya tidak sesering pada musim peralihan. Hal ini disebabkan hembusan angin yang cukup kencang walaupun arus relatif tenang. Kondisi tersebut berbahaya untuk nelayan pancing yang menggunakan perahu dengan alat bantu layar. Pada musim barat, nelayan lebih memilih tinggal di rumah, karena kondisi perairan berangin kencang dan berombak besar, serta arus yang kuat. Kondisi seperti ini membahayakan keselamatan nelayan dan juga kesuksesan operasi penangkapan, karena arus yang kuat menyebabkan alat tangkap hanyut dan terbelit saat dioperasikan. Nelayan umumnya mengoperasikan bubu karang pada saat ada kesempatan atau waktu luang dan kondisi cuaca yang “teduh”, dalam arti arus dan ombak tenang.

4.1.3.3 Daerah penangkapan dan hasil tangkapan

Daerah penangkapan ikan untuk nelayan Pulau Pramuka di sekitar perairan Kepulauan Seribu (Tabel 2). Jarak daerah penangkapan ikan tergantung alat yang dioperasikan dan kekuatan kapal yang digunakan. Nelayan akan mengoperasikan alat tangkap dengan tujuan penangkapan ikan pelagis di perairan terbuka dengan kedalaman lebih dari 20 m. Nelayan akan mengoperasikan alat tangkap dengan tujuan ikan karang di daerah terumbu karang dengan kedalaman kurang dari 20 m.

(47)

29

berdomisili di Pulau Panggang. Ikan hias didapat dari nelayan-nelayan bubu dan muroami, untuk selanjutnya dijual ke perusahaan ikan hias di Jakarta (Tabel 3).

4.1.4 Kondisi terumbu karang di Pulau Pramuka

Tutupan karang hidup di perairan Gosong Pramuka mempunyai nilai 24% atau berkategori ’buruk’. Prosentase Abiotic mencapai 31% yang didominasi rubble (19%) mengindikasikan kerusakan telah terjadi akibat tingginya aktivitas manusia dikarenakan Gosong Pramuka ini terletak di Pusat Pemerintahan Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu. Kerusakan di sekitar pemukiman lebih banyak diakibatkan eksploitasi batu karang dan pasir, penggunaan sianida (menangkap ikan dengan metode pembiusan), sedimentasi dasar laut, dan kontaminasi disposal limbah. Dalam upaya menanggulangi masalah kerusakan ekosistem karang dan produksi perikanannya serta mencari alternatif untuk mengurangi tekanan terhadap pemanfaatan sumber daya di Pulau Pramuka dikembangkan karang buatan (artificial reef) dan teknik transplantasi karang (coral transplantation) (Ditjen PHPA 2003).

(48)

30

1 Caesio cuning 2 Epinephelus fuscoguttatus

3 Lutjanus russeli 4 Lutjanus mahogany

5 Lethrinus lencam 6 Sargocentron cornutum

[image:48.595.110.513.82.646.2]

7 Parupeneus barberinoides 8 Aethaloperca rogaa

Gambar 7 Ikan hasil tangkapan bubu pada lokasi pemasangan terumbu buatan ban dan bambu di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu (3 November - 1

(49)

31

9 Scarus ghobban 10 Chaetodon octofasciatus

11

Gambar

Gambar  2 Tahap penelitian
Gambar  3 Terumbu buatan ban bekas
Gambar  4 Terumbu buatan bambu
Gambar  5 Alat tangkap bubu
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam hal ini Karang Taruna Desa Mojosari telah melakukan reformasi administrasi pada aspek struktur organisasi dengan cara menghilangkan atau menggabung seksi-seksi

Rekonsiliasi fiskal dilakukan untuk penyesuaian atas laba komersil yang berbeda dengan ketentuan fiskal untuk menghasilkan penghasilan neto/laba yang sesuai dengan

dialokasikan sebagai beban langsung pada laporan laba rugi komprehensif konsolidasian. Depreciation expense from investment property is allocated as direct costs in the

Teknik analisis yang digunakan pada penelitian ini menggunakan regresi linier sederhana yang pada akhirnya dapat diambil kesimpulan berupa hasil analisis yaitu

Hasil dari penelitian menyimpulkan bahwa pola aktivitas pengayuh becak dengan menggunakan kekuatan otot kaki, disertai dengan semakin lamanya bekerja dan beban berat yang

Sekolah- sekolah Muhammadiyah eksis sejak ibu kota provinsi hingga ke desa-desa dan ini memberikan peran luar biasa dalam memberikan kesempatan pendidikan kepada

Tujuan Penelitian ini untuk menganalisis praktik anak dalam pencegahan karies gigi terhadap kejadian Early Childhood Caries (ECC) pada anak usia prasekolah..

Program pemberdayaan masyarakat yang dimotori oleh pemerintah daerah dan berbagai lembaga donor (LSM dalam dan luar negeri) dilakukan dengan memberikan bantuan