• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-faktor yang Melatarbelakangi Perwujudan Tata Spasial Kota Peninggalan Kerajaan Karangasem di Bali

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Faktor-faktor yang Melatarbelakangi Perwujudan Tata Spasial Kota Peninggalan Kerajaan Karangasem di Bali"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Faktor-faktor yang Melatarbelakangi Perwujudan Tata

Spasial Kota Peninggalan Kerajaan Karangasem di Bali

I Gusti Ngurah Wiras Hardy

ngurahwiras@gmail.com

Arsitektur dan Perencanaan Kota, Peneliti Mandiri.

Abstrak

Kota Karangasem merupakan kota peninggalan Kerajaan Karangasem di Bali yang memiliki tata spasial kota yang spesifik. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tata spasial Kota Karangasem dan pelbagai faktor yang melatarbelakangi. Penelitian ini menerapkan metode kualitatif dengan teknik analisis induktif-kualitatif, untuk menganalisis data dari hasil observasi, wawancara, dan studi literatur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat tiga faktor yang mempengaruhi perwujudan tata spasial Kota Karangasem, yaitu: (1) faktor kegiatan politik dan pemerintahan; (2) faktor pembagian kelompok hunian masyarakat; dan (3) faktor filosofis dan fungsional.

Kata-kunci: faktor, Karangasem, kerajaan, kota, spasial

Pendahuluan

Kota dapat dipahami sebagai wadah kegiatan manusia yang terdiri dari beragam komponen. Komponen-komponen tersebut ditata menurut pelbagai pertimbangan yang disesuaikan dengan perkembangan hidup masyarakat. Hal ini menyebabkan kota memiliki tata spasial yang beragam, sesuai dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Oleh karena itu tata spasial setiap kota memiliki perwujudan yang spesifik, akibat pengaruh dari pelbagai faktor dan perkembangan hidup masyarakat.

Pulau Bali sebagai salah satu pulau di Indonesia, menjadi tempat berkembangnya kota-kota tradisional menjadi kota-kota modern dengan pelbagai faktor yang mempengaruhinya. Kota-kota modern di Bali pada masa sekarang, merupakan kota-kota peninggalan Kerajaan Hindu yang telah berkembang sejak masa Bali Pertengahan (sekitar abad XVII). Menurut Runa (2008), tata spasial kota-kota peninggalan tersebut pada umumnya mengadaptasi konsep catuspatha dari Keraton Majapahit. Catuspatha pada awalnya diterapkan di Kota Kerajaan Samprangan dan dalam perkembangannya diterapkan pula di kota-kota kerajaan lainnya di Bali (Geertz, 1980).

Catuspatha atau pempatan agung dipahami sebagai simpang empat sakral beserta pelbagai fungsi ruang yang terdapat di sekitarnya. Fungsi-fungsi ruang tersebut, diantaranya: (1) puri sebagai kediaman raja dan pusat pemerintahan; (2) taman budaya atau wantilan sebagai tempat kegiatan sosial dan budaya, (3) peken atau pasar tradisional sebagai tempat kegiatan ekonomi; dan (4) ruang terbuka hijau (Budihardjo, 1986; Putra, 2005). Pada masa sekarang, beberapa fungsi ruang tersebut telah mengalami pelbagai dinamika, namun keberadaan catuspatha masih tetap bertahan sebagai penanda pusat kota dan pusat kegiatan masyarakat.

Kota Karangasem merupakan salah satu peninggalan Kerajaan Hindu di Bali yang masih mempertahankan keberadaan catuspatha dan tata spasial kota yang spesifik. Secara historis, tata spasial Kota Karangasem telah terbentuk sejak berdirinya Kerajaan Karangasem. Tata spasial kota

(2)

tersebut masih dapat diamati hingga sekarang dan tetap dimanfaatkan sebagai wadah kegiatan masyarakat. Hal ini yang menyebabkan Kota Karangasem menarik untuk ditelusuri lebih mendalam, terutama mengenai perwujudan tata spasial kota dan pelbagai faktor yang melatarbelakangi. Hasil penelitian ini bermanfaat untuk memperkaya khasanah keilmuan, terutama dalam bidang arsitektur dan perencanaan kota. Selain itu, hasil temuan ini dapat pula dimanfaatkan sebagai masukan atau pendekatan untuk menata dan mengembangkan Kota Karangasem dan kota-kota peninggalan Kerajaan Hindu lainnya di Pulau Bali. Dengan demikian, keberadaan kota-kota di Bali dengan pelbagai karakteristiknya, dapat dioptimalkan sebagai wadah kehidupan dan memberi kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.

Metode Penelitian

Penelitian ini menerapkan metode penelitian kualitatif untuk mengidentifikasi perwujudan tata spasial Kota Karangasem dan pelbagai faktor yang melatarbelakangi. Penelitian ini menggunakan tiga teknik pengumpulan data, yaitu: (1) observasi lapangan untuk memperoleh data primer mengenai kondisi Kota Karangasem dan masyarakat Kota Karangasem; (2) wawancara mendalam terhadap narasumber yang relevan, dengan teknik purposive sampling yaitu sampel menurut kriteria tertentu, untuk memperdalam dan melengkapi data yang telah diperoleh melalui observasi lapangan; dan (3) studi literatur dengan menelusuri data primer berupa catatan orang pertama atau data sekunder yang relevan dengan objek penelitian.

Data dianalisis dengan menggunakan teknik induktif-kualitatif, yaitu dengan mengidentifikasi tata spasial Kota Karangasem berdasarkan data yang diperoleh melalui ketiga teknik pengumpulan data. Tahapan penelitian diawali dengan menelusuri kondisi Kota Karangasem dan masyarakat Kota Karangasem melalui observasi lapangan dan wawancara mendalam. Data yang telah diperoleh, selanjutnya dikategorisasi dan didialogkan dengan hasil studi literatur mengenai tata spasial Kota-kota Kerajaan Hindu di Bali, Kota Karangasem, dan masyarakat Kota Karangasem. Hasil dialog tersebut berupa identifikasi mengenai tata spasial Kota Karangasem dan pelbagai faktor yang melatarbelakangi. Hasil temuan penelitian disajikan dalam bentuk deskripsi tekstual dan gambar-gambar yang mendukung hasil temuan.

Kajian Pustaka

Kota dipahami sebagai pusat pelbagai aktivitas dan kehidupan manusia. Hal ini menyebabkan kota menjadi pusat konsentrasi manusia untuk melakukan pelbagai aktivitas dan memenuhi kebutuhan hidup. Menurut Hansen (2006), kota merupakan tempat konsentrasi manusia dengan jumlah minimal mencapai ribuan orang. Kota dipahami pula sebagai human settlements yang mencerminkan upaya manusia untuk mengelola alam beserta seluruh isinya untuk mewadahi pelbagai aktivitas dan memenuhi seluruh kebutuhan manusia. Menurut Doxiadis (1968), human settlement mencakup pelbagai skala ruang kehidupan, sehingga kota merupakan salah satu wujud dari human settlements. Menurut Rossi (1986), kota merupakan salah satu wujud karya arsitektur sebagai hasil kreasi manusia untuk mewadahi pelbagai aktivitas manusia. Kota tidak hanya ditata untuk mengoptimalkan fungsinya sebagai wadah aktivitas, namun ditata dengan memperhatikan nilai-nilai estetika. Menurut Sitte (1901 dalam Moughtin, dkk, 1999: 3), kota memiliki “ornamen” sebagai salah satu perwujudan nilai keindahan (estetika), seperti: jalan-jalan, taman-taman, dan bangunan-bangunan. Dalam hal ini, pelbagai “ornamen” tersebut merupakan bagian dari ruang kota sebagai wadah manusia melakukan pelbagai aktivitas.

Ruang kota merupakan ruang fisik sebagai wadah aktivitas manusia yang dipahami pula sebagai “ruang eksternal” yang secara fisik dibatasi oleh “dinding” dan “lantai” kota. Menurut Hillier (1989),

(3)

I Gusti Ngurah Wiras Hardy ruang kota hanya menyentuh aktivitas manusia di “permukaan”, sehingga dalam memahami kota secara keseluruhan diperlukan pemahaman mengenai spasial kota. Pemahaman spasial kota menyangkut hubungan antara ruang kota secara fisik dengan kondisi manusia atau masyarakat yang menempatinya, seperti: kondisi sosial, budaya, politik, dan ekonomi. Menurut Hillier dan Hanson (1984), hubungan antara ruang kota dengan kondisi masyarakat akan memperlihatkan perwujudan tata spasial kota. Dengan demikian, pemahaman mengenai kondisi masyarakat menjadi penting dalam upaya memahami tata spasial kota secara menyeluruh.

Contoh pengaruh kondisi masyarakat terhadap perwujudan tata spasial kota, dapat diamati di kota-kota lama di Indonesia. Kota-kota-kota lama di Indonesia relatif berbeda dengan kota-kota-kota-kota di negara barat yang dipandang sebagai penanda batas-batas spasial secara fisik. Menurut Nas (1990a, dalam Nas dan Boender, 2002: 207), kota-kota lama di Indonesia memiliki peran utama sebagai penanda kekuasaan atas hubungan-hubungan sosial, sehingga memiliki batas yang kurang jelas. Tata spasial kota-kota lama di Indonesia dipahami sebagai cerminan dari struktur sosial masyarakatnya. Pada kawasan pusat sebuah kota ditempati oleh penguasa, yang dikelilingi oleh pemimpin agama, pemimpin duniawi, pelayan, prajurit, dan pengrajin, pedagang asing, dan petani yang berada di luar kota, sehingga membentuk lingkaran konsentris sebuah kota (Nas dan Boender, 2002).

Pusat lingkaran konsentris kota-kota lama di Jawa pada umumnya disebut dengan kuta, yang dipahami sebagai wilayah permukiman yang dikelilingi oleh dinding pembatas (Wiryomartono, 1995). Kuta dapat pula disetarakan dengan keraton sebagai kediaman penguasa atau raja (dalem) yang dikelilingi oleh dinding pembatas. Wilayah kuta pada umumnya berbeda dengan wilayah desa yang ada di sekitarnya. Kuta dipandang pula sebagai awal mula pertumbuhan permukiman urban yang kini dikenal sebagai wilayah kota. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa kota-kota lama berperan penting sebagai pusat kekuasaan dan pemerintahan yang ditandai dengan keberadaan keraton sebagai kediaman penguasa. Dalam perkembangannya, pusat kekuasan dan pemerintahan tersebut berkembang menjadi permukiman urban, yang menandai awal mula terbentuknya kota-kota modern di Indonesia.

Hasil dan Pembahasan

Kondisi Kota Karangasem

Kota Karangasem merupakan ibukota dan pusat pemerintahan Kerajaan Karangasem yang berdiri sekitar abad XVII. Menurut Parimartha (2013), pada abad XVIII, Kerajaan Karangasem telah berkembang menjadi salah satu dari tiga kerajaan besar di Pulau Bali. Kerajaan Karangasem memiliki wilayah kekuasaan yang luas, mencakup sebagian wilayah Bali bagian timur dan utara, hingga wilayah Lombok, Nusa Tenggara Barat. Hal ini yang menyebabkan Kerajaan Karangasem menjadi salah satu Kerajaan Hindu yang disegani di wilayah Bali dan Lombok pada masa tersebut. Secara geografis, Kerajaan Karangasem terdiri dari wilayah dataran tinggi di bagian tengah dan wilayah dataran rendah di bagian utara, timur dan selatan. Sementara itu, batas-batas wilayah kekuasaan Kerajaan Karangasem di Bali, meliputi: (1) Kerajaan Buleleng dan Laut Bali di sebelah utara; (2) Selat Lombok di sebelah timur; (3) Samudera Indonesia/Hindia di sebelah selatan; dan (4) Kerajaan Klungkung dan Kerajaan Bangli di sebelah barat (Putra Agung, 2009: 40). Hal ini menjadikan Kerajaan Karangasem memiliki wilayah pegunungan yang subur dan wilayah pesisir pantai yang dimanfaatkan sebagai pusat perdagangan dan pelabuhan.

Pada masa sekarang, Kota Karangasem dikenal sebagai Kota Amlapura yang merupakan ibukota Kabupaten Karangasem. Menurut Putra Agung (2009: 189-192), batas-batas Kota Karangasem telah ditetapkan sejak tahun 1925, yaitu: (1) batas sebelah utara, dimulai dari Tukad Pati ke arah timur sampai di Bedugul, kemudian ke arah timur mengikuti selokan Sampuhan sampai di Jalan Anyar, lalu

(4)

ke arah utara sampai di simpang empat Susuan, diteruskan ke timur sampai di Tukad Nyuling; (2) batas sebelah timur, dimulai dari Songan (Tukad Nyuling) ke arah selatan sampai di Penyampuhan; (3) batas sebelah selatan, dimulai dari Penyampuhan menuju ke arah barat sepanjang Tukad Janga sampai di sebelah selatan Desa Bukit, diteruskan ke arah barat sampai Tukad Pati; dan (4) batas sebelah barat, dibatasi Tukad Pati. Hingga sekarang, batas-batas wilayah kota berupa aliran sungai tersebut masih dapat diidentifikasi dan digunakan sebagai batas fisik Kota Karangasem.

Beberapa peninggalan Kota Karangasem sejak masa kerajaan hingga sekarang masih dapat diamati dan tetap dimanfaatkan oleh masyarakat Karangasem. Beberapa peninggalan tersebut, antara lain: catuspatha atau pempatan agung, bangunan puri, pura, geria, jero, pasar, lapangan (alun-alun), dan taman kerajaan. Menurut Munandar (2005: 29), saat ini hanya sedikit peninggalan kerajaan-kerajaan di Bali yang masih bertahan dan terawat dengan baik, diantaranya adalah peninggalan Puri Gede Karangasem dan Puri Agung Karangasem yang terdapat di Kota Karangasem. Oleh karena itu, Kota Karangasem menjadi salah satu kota di Bali yang relevan sebagai objek atau pendekatan, dalam mengidentifikasi tata spasial kota-kota peninggalan Kerajaan Hindu di Bali dan di Indonesia. Tata Spasial Kota Karangasem dan Faktor-faktor yang Melatarbelakangi

Wilayah Karangasem dibagi menjadi dua wilayah menurut sistem politik dan pemerintahan, yaitu: (1) kuta negara atau jero negara merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Karangasem; (2) jaba negara merupakan wilayah kekuasaan kerajaan-kerajaan lain yang berada di Pulau Bali; dan (3) dura desa/negara merupakan wilayah kekuasaan kerajaan-kerajaan lain yang berada di luar Pulau Bali (Putra Agung, 2009: 102-108). Pada masa sekarang, kuta negara dikenal sebagai wilayah Gambar 1. Lokasi dan kondisi Kota Karangasem pada masa sekarang (sumber: dikonstruksi dari hasil observasi lapangan dan wawancara, 2014; modifikasi dari Hardy, dkk, 2017)

(5)

I Gusti Ngurah Wiras Hardy Kabupaten Karangasem dan jaba negara dikenal sebagai wilayah kabupaten lain yang berada di Pulau Bali. Sementara itu, dura desa/negara merupakan wilayah luar Pulau Bali dan luar negeri.

Menurut fungsinya, kuta negara dibagi menjadi dua wilayah utama, yaitu: (1) wilayah dalam kota sebagai pusat pemerintahan yang disebut dengan jero kuta; dan (2) wilayah luar kota atau wilayah kepunggawaan yang disebut dengan jaba kuta. Jero kuta dikenal pula dengan wilayah ibukota Kabupaten Karangasem, sedangkan jaba kuta merupakan wilayah desa-desa yang terdapat di luar wilayah ibukota. Kedua wilayah tersebut dibatasi oleh keberadaan hunian masyarakat yang berada di pinggiran jero kuta. Pada masa kerajaan, batas ini berfungsi pula sebagai sistem pertahanan jero kuta, sedangkan pada masa sekarang, wilayah tersebut berkembang menjadi banjar-banjar pakraman dan perkampungan. Secara fisik, jero kuta ditandai dengan keberadaan puri sebagai pusat pemerintahan dan tempat kediaman penguasa.

Pelbagai fungsi ruang, hunian, dan kegiatan masyarakat membentuk tata spasial Kota Karangasem dengan karakteristik yang spesifik. Kegiatan politik dan pemerintahan, ekonomi, sosial, dan budaya, merupakan pelbagai kegiatan masyarakat yang mempengaruhi perwujudan tata spasial Kota Karangasem. Kegiatan-kegiatan tersebut tetap dilakukan oleh masyarakat hingga sekarang, meskipun dengan pelbagai dinamika yang disesuaikan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan Gambar 3. Pembagian wilayah kuta (jero) negara, jaba negara, dan dura desa/negara (Sumber: dikonstruksi dari hasil eksplorasi dan wawancara, 2015 dalam Hardy, dkk, 2017; Putra Agung, 2009)

Gambar 2. Kondisi pempatan agung, puri, dan lapangan di Kota Karangasem pada masa sekarang (Sumber: dokumentasi, 2015; Hardy, dkk, 2017)

(6)

masyarakat. Hal ini yang menyebabkan perwujudan tata spasial Kota Karangasem dengan pelbagai komponennya masih tetap bertahan sebagai wadah kegiatan masyarakat Kota Karangasem.

Berdasarkan luas cakupannya, tata spasial Kota Karangasem dibagi menjadi tiga skala, yaitu: (1) tata spasial kota dalam skala negara (wilayah kerajaan); (2) tata spasial kota dalam skala kuta (wilayah kota); dan (3) tata spasial kota dalam skala karang (wilayah pusat kota). Tata spasial kota dalam skala negara, membagi wilayah Karangasem menjadi dua wilayah, yaitu: (1) jero kuta adalah wilayah dalam kota atau ibukota Karangasem yang berfungsi sebagai pusat kegiatan politik dan pemerintahan, ekonomi, sosial, dan budaya; dan (2) jaba kuta adalah wilayah luar Kota Karangasem yang merupakan wilayah desa-desa di sekitarnya. Berdasarkan pembagian tersebut, dapat dipahami bahwa tata spasial Kota Karangasem dalam skala negara dibentuk oleh pertimbangan kegiatan politik dan pemerintahan.

Tata spasial kota dalam skala kuta dibentuk oleh kelompok-kelompok hunian masyarakat berdasarkan jenis hunian dan strata sosial masyarakat. Jenis-jenis hunian tersebut, yaitu: (1) puri adalah hunian dengan tingkatan utama sebagai hunian golongan ksatrya (raja dan keluarganya); (2) jero adalah hunian dengan tingkatan madya sebagai hunian golongan ksatrya (punggawa dan keluarganya) dan golongan wesya (bangsawan, saudagar, dan keluarganya); (3) geria adalah hunian dengan tingkatan madya sebagai hunian golongan brahmana (Pendeta Hindu dan keluarganya); dan (4) umah dan rumah dengan tingkatan nista sebagai hunian golongan sudra/kaula (pekerja dan masyarakat umum). Kelompok-kelompok hunian tersebut membentuk Gambar 4. Tata spasial Kota Karangasem dalam skala negara (kiri) dan kuta (kanan) (Sumber: dikonstruksi dari hasil eksplorasi dan wawancara, 2015 dalam Hardy, dkk, 2017)

(7)

I Gusti Ngurah Wiras Hardy lingkaran konsentris yang membagi wilayah Karangasem menjadi tiga wilayah, yaitu: (1) wilayah puri di lapisan paling “dalam” atau pusat kota dengan tingkatan utama; (2) wilayah jero dan geria di lapisan “tengah” atau sekitar pusat kota dengan tingkatan madya; dan (3) wilayah umah-banjar pakraman dan rumah-kampung di lapisan “luar” atau pinggiran kota dengan tingkatan nista.

Tata spasial Kota Karangasem dalam skala karang dibentuk oleh pola catuspatha atau pempatan agung yang diadaptasi dari Keraton Majapahit. Dalam hal ini, pempatan agung merupakan persilangan dua jalan utama atau simpang empat yang dipahami sebagai simbol pusat alam semesta dan berperan penting sebagai pusat kota dan pusat pelbagai aktivitas masyarakat. Pempatan agung Kota Karangasem terletak di sebelah kelod kauh (dalam konteks ini berarti barat daya) Puri Kanginan, yang ditandai oleh beberapa fungsi ruang utama, yaitu: (1) Puri Kanginan di areal sebelah kaja kangin (timur laut) pempatan agung yang berfungsi sebagai kediaman keluarga raja (ksatrya); (2) Pura Puseh Meru dan Bale Agung di areal sebelah kelod kangin (tenggara) pempatan agung yang berfungsi sebagai pusat kegiatan keagamaan bagi Umat Hindu; (3) peken (pasar tradisional) dan pertokoan di sebelah kelod kauh (barat daya) pempatan agung yang berfungsi sebagai pusat kegiatan ekonomi dan perdagangan; dan (4) Puri Kelodan atau Amlaraja di areal sebelah kaja kauh (barat laut) pempatan agung yang berfungsi sebagai kediaman keluarga raja (ksatrya). Hal ini memperlihatkan bahwa pada masa sekarang, catuspatha atau pempatan agung beserta pelbagai fungsi ruangnya memiliki fungsi penting yaitu sebagai penanda pusat kota, pusat kegiatan keagamaan, sosial, budaya, dan ekonomi bagi masyarakat Kota Karangasem.

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan, dapat dipahami bahwa tata spasial Kota Karangasem terbagi menjadi tiga skala, yaitu: (1) skala negara membagi wilayah menjadi jero kuta Gambar 5. Tata spasial Kota Karangasem dalam skala karang (kiri) dan fungsi-fungsi ruang sekitar pempatan agung (kanan) (Sumber: dikonstruksi dari hasil eksplorasi dan wawancara, 2015 dalam Hardy, dkk, 2017)

(8)

dan jaba kuta; (2) skala kuta membagi wilayah menjadi wilayah puri, jero dan geria, umah-banjar pakraman dan rumah-kampung; dan (3) skala karang yang dibentuk oleh pempatan agung beserta pelbagai fungsi ruangnya. Dengan demikian, perwujudan tata spasial Kota Karangasem dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu: (1) faktor kegiatan politik dan pemerintahan yang mempengaruhi perwujudan tata spasial kota dalam skala negara; (2) faktor pembagian kelompok hunian masyarakat yang mempengaruhi perwujudan tata spasial kota dalam skala kuta; dan (3) faktor filosofis dan fungsional yang mempengaruhi perwujudan tata spasial kota dalam skala karang, berupa catuspatha (simpang empat sakral) yang dipahami sebagai pusat alam semesta dan pusat kegiatan keagamaan, sosial, budaya, dan ekonomi. Hingga sekarang, faktor-faktor tersebut tetap mempengaruhi perwujudan tata spasial Kota Karangasem. Dengan demikian, hasil temuan ini dapat dijadikan sebagai masukan untuk menata dan mengembangkan spasial Kota Karangasem, sesuai dengan pelbagai faktor yang mempengaruhi perwujudannya.

Daftar Pustaka

Budihardjo, E. (1986). Architectural Conservation in Bali. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Doxiadis, C. A. (1968). Ekistics: an Introduction to the Science of Human Settlements. London: Hutchinson and Co. Ltd.

Geertz, C. (1980). Negara, The Theatre State in Nineteenth-Century Bali. Princeton University Press. Hansen, M.H. (2006). Polis: an Introduction to the Ancient Greek City-State. Oxford University Press. Hardy, I G.N.W. Setiawan, B. & Prayitno, B. (2017). Tata Spasial Kota Kerajaan Karangasem. Disertasi belum

dipublikasi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Hillier, B. (1989). The Architecture of the Urban Object. Dalam Ekistics: The Problems and Science of Human Settlements. 334/335, January/February-March/April 1989.

Hillier, B. & Hanson, J. (1984). The Social Logic of Space. New York and Melbourne: Cambridge University Press. Moughtin, C., Oc, T., dan Tiesdell, S. 1999. Urban Design: Ornament and Decoration. Second edition.

Architectural Press.

Munandar, A.A. (2005). Istana Dewa Pulau Dewata: Makna Puri Bali Abad ke 14-19. Depok: Komunitas Bambu. Nas, P.J.M. & Boender, W. (2002). Kota Indonesia Dalam Teori Perkotaan (terjemahan). Dalam Nas, P. J. M.

2007. Kota-kota Indonesia: Bunga Rampai (terjemahan). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Parimartha, I G. dkk. (2013). Sejarah Bali Pertengahan Abad XIV-XVIII, dalam Ardika, I W., dkk. 2013. Sejarah

Bali, Dari Prasejarah Hingga Modern. Denpasar: Udayana University Press.

Putra, I G.M. (2005). Catuspatha, Konsep, Transformasi, dan Perubahan. Jurnal Permukiman Natah Universitas Udayana, Vol. 3 No. 2 Agustus 2005 : 62 – 101.

Putra Agung, A.A.G. (2009). Peralihan Sistem Birokrasi dari Tradisional ke Kolonial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rossi, A. (1986). The Architecture of the City. Cambridge, Massachusetts, and London: Oppositions Books and

The MIT Press.

Runa, I W. (2008). Sejarah Arsitektur Tradisional Bali, dalam Sueca, Ngakan P. (ed). 2008. Pustaka Arsitektur Bali. Denpasar: Ikatan Arsitek Indonesia, Daerah Bali.

Wiryomartono, A.B.P. (1995). Seni Bangunan dan Seni Binakota di Indonesia: Kajian Mengenai Konsep, Struktur, dan Elemen Fisik Kota Sejak Peradaban Hindu-Budha, Islam Hingga Sekarang. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Gambar

Gambar  2.  Kondisi  pempatan  agung,  puri,  dan  lapangan  di  Kota  Karangasem  pada  masa  sekarang  (Sumber:

Referensi

Dokumen terkait

Tenaga kerja manusia adalah segala kegiatan manusia baik jasmani maupun rohani yang dicurahkan dalam proses produksi untuk menghasilkan barang dan jasa maupun faedah suatu

Analisis Kebutuhan Bahan Baku untuk Perancangan Penggudangan Coco Fiber dengan Penerapan Metode Economic Order Quantity (EOQ); Rizqy Zulkarnaen, 071710201040; 2011: halaman;

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa pemanfaatan Lembar Kerja Siswa (LKS) sangat efektif dalam meningkatkan prestasi belajar siswa pada

Tabel 4.13 Hasil Observasi Terhadap Aktivitas Guru Pada Siklus 2 Pertemuan 2 ...79 Tabel 4.14 Hasil Observasi Terhadap Aktivitas Siswa Pada Siklus 2 Pertemuan 2...82 Tabel

Konsep koaljabar universal yang merupakan dualitas dari aljabar dapat dipandang sebagai suatu teori dalam sistem state based.. Dalam kotak hitam ( black boxes ),

Penekanan dapat dilakukan pada jenis huruf, ruang kosong, warna, maupun yang lainnya akan menjadikan desain menjadi menarik bila dilakukan dalam proporsi yang cukup

Berdasarkan penelitian terlihat bahwa gejala OSA yang berbeda bermakna antara responden yang kemungkinan OSA dan bukan OSA adalah mendengkur, tersedak atau tercekik saat tidur dan

Berdasarkan uraian di atas, maka didapatkan ja waban atas permasalahan yang ada yaitu merancang dan me mbuat suatu sistem ko mputerisasi yang dapat mengklasifikasikan buku