• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Surakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Surakarta"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Setting Penenelitian

4.1.1. Gambaran Umum Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Surakarta

Gambar I. Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Surakarta

Rumah sakit jwa daerah (RSJD) Surakarta awal mulai berdiri pada tahun 1918 kemudian diresmikan pada tahun 1919 dengan nama “Doorganghuis voor krankzinnigen” dikenal pula dengan nama Rumah Sakit Jiwa “MANGUNJAYAN” dengan luas areal ± 0,69 ha dengan kapasitas tampung sebanyak 216 tempat tidur.

(2)

Atas dasar kesepakatan bersama pada tahun 1986 dalam bentuk “ruislag” dengan Pemda Dati II Kodya Surakarta, kantor RS Jiwa Pusat Surakarta akan dipergunakan sebagai kantor KONI Kodia Surakarta, maka dalam proses pembangunan fisik lebih lanjut pada tanggal 3 februari 1986 Rumah SAkit Jiwa Surakarta menempati lokasi yang baru ditepian sungai Bengawan Solo, tepat di jalan Ki Hajar Dewantoro No. 80 Kentingan, Jebres, Surakarta dengan luas area 10 ha lebih dengan luas bangunan 10.067 m2. Berada dipinggiran kota jauh dari keramaian sehingga suasana lingkungannya masih tenang, sangat mendukung upaya pemulihan kesehatan jiwa.

Pada saat ini luas bangunan telah mencapai 20.995 m2 dan daya tamping yang tersedia 293 tempat tidur dengan wilayah kerja mencakup Eks Karesidenan Surakarta, Wilayah lain di Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur bagian barat dan sebagian Wilayah DIY.

Pada awal berdiri Rumah Sakit Jiwa ini dipimpin oleh Dr. Engelhard kemudian dilanjutkan Dr. semeru, Dr. Wignyobroto, Dr. R.M. Soejarwadi. Kemudian pada era pembangunan saat ini Direktur RSJDSurakrta telah berganti-ganti hingga saat ini dipimpin oleh dr. Endro Suprayitno, SpKJ.

(3)

Kebijakan dan mutu pelayanan RSJD Surakarta berlandaskan atas dasar visi yaitu “Melayani Lebih Baik” dengan misi : 1). Memberikan pelayanan kesehatan jiwa professional dan paripurna yang terjangkau masyarakat, 2). Meningkatkan mutu pelayanan sesuai dengan standar internasional secara berkelanjutan, 3). Menerapkan nilai-nilai budaya kerja aparatur dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan. 4). Meningkatkan peran serta dan kemandirian masyarakat untuk mencapai derajat kesehatan jiwayang optimal. Fasilitas umum RSJD Surakarta yang dipergunakan oleh masyarakat umum yaitu auditorium, halaman parker, asrama, lapangan tenis, gedung badminton, masjid, koperasi.

4.1.2. Proses Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan mei 2016 di ruang rawat inap yaitu ruang Bisma (VIP) Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Surakarta. Penelitian ini dilakukan pada 4 orang keluarga yang menemani pasien selama dirawat. Data diperoleh dengan melakukan wawancara dengan menggunakan handphone sebagai alat perekam. Sebelum melakukan wawancara peneliti membina hubungan saling percaya, menjelaskan tujuan peneltian kemudian menyerahkan format persetujuan kesediaan menjadi partisipan untuk ditanda tangani, kemudian melakukan kontrak

(4)

waktu untuk wawancara. Waktu wawancara yaitu 20-30 menit. Proses wawancara berlangsung lancar.

4.2. Gambaran Umum Partisipan

Gambaran umum dari partisipan yang terlibat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

(Tabel 1). Gambaran Umum Partisipan

4.2.1. Partisipan 1

Partisipan 1 bernama Tn. I berumur 40 tahun. Tn. I adalah kakak ipar dari pasien dan merupakan suami dari Ny. T. selama pasien dirawat Tn. I ikut menemani pasien. Tn. I bisa dikatakan cukup dekat dengan pasien, saat mengetahui pasien sakit Tn. I mengarahkan keluarga untuk membawa pasien ke rumah sakit jiwa. Partisipan Inisial Umur Jenis

Kelamin

Pekerjaan

P1 Tn. I 40 Tahun L Swasta

P2 Ny. T 40 Tahun P Rumah Tangga

P3 Tn. S 53 Tahun L Swasta

(5)

Saat pasien dirawat Tn. I selalu membantu memenuhi setiap kebutuhan pasien. Wawancara dilakukan diruang rawat inap yaitu ruang bisma (VIP) tempat pasien dirawat pada tanggal 25 dan 27 mei 2016. Wawancara berlangsung dengan baik dan lancar.

4.2.2. Partisipan 2

Partisipan 2 yaitu Ny. T berumur 40 tahun. Ny. T adalah kaka kandung dari pasien. Ny. T adalah istri dari Tn. I. Ny. T adalah orang terdekat pasien, selama pasien dirawat Ny. T sangat memperhatikan pasien, selalu menemani dan mengantar saat pasien melakukan fisioterapi. Wawancara dengan partisipan 2 dilakukan pada tanggal 27 mei 2016. Wawancara berlangsung dengan lancar dan partisipan sangat berantusias mengutarakan jawaban dari setiap pertanyaan.

4.2.3. Partisipan 3

Partisipan bernama Tn. S berumur 53 tahun. Tn. S adalah saudara laki-laki dari pasien. Tn. S seorang diri yang menemani pasien selama dirawat dirumah sakit. Wawancara dilakukan di ruang bisma (VIP) tempat pasien dirawat pada tanggal 30 mei 2016 pukul 11.00 WIB. Partisipan tampak kooperatif dan terbuka pada saat wawancara berlangsung.

(6)

Partisipan bernama Ny. M berumur 67 tahun. Ny. M adalah nenek dari pasien. Ny. M yang menemani pasien selama dirumah sakit. Ny. M adalah orang terdekat pasien. Wawancara berlangsung di ruang bisma (VIP) tempat dimana pasien dirawat. Wawancara dilakukan pada tanggal 30 mei 2016 pukul 14.00. Wawancara pada saat itu berlangsung dengan lancar, partisipan sangat tanggap terhadap setiap pertanyaan yang diajukan oleh peneliti.

4.3. Hasil Analisis Data Penelitian

4.3.1. Pemahaman Keluarga Tentang Gangguan Jiwa

P1 mengatakan bahwa ganguan jiwa merupakan suatu keadaan terganggu jiwa dan mental yang disebabkan oleh kurangnya kontrol diri sehingga menyebabkan sesorang menjadi mudah ngamuk, memukul orang lain, dan senang menyendiri.

“Menurut saya itu gangguan jiwa yaaa jiwanya terganggu, mentalnya juga, pikirannya terganggu akhirnya menyebabkan orang yang jiwanya terganggu itu menjadi nggak bisa mengontrol diri sendiri akhirnya bisa jadi murung, mengurung diri, tertutup sama orang lain, bisa juga mudah emosi, ngamuk karena tidak bisa mengontrol diri sendiri”.(P1 : A36)

P2 mengatakan bahwa gangguan jiwa merupakan akibat dari ketidakmampuan seseorang menerima beban berat sehingga saat mengalami goncangan seseorang sulit mengatasinya. P2

(7)

juga menyebutkan tentang jenis-jenis dari gangguan jiwa yaitu depresi, halusinasi, gangguan saraf.

“Kalo gangguan jiwa itu menurut saya itu yaa dia mungkin nggak bisa nerima beban yang terlalu berat akhirnya jiwanya terganggu. Jadi kayak ada goncangan gitu, kalo nggak kuat akhirnya terjadi gangguan”. (P2:A20)

“Jenis gangguan jiwa menurut sepengetahuan saya itu kayak depresi, halusinasi, gangguan saraf, sepengetahuan saya itu aja mbak”.( P2:A33)

P3 mengatakan bahwa gangguan jiwa merupakan akibat dari lelah berpikir seseorang sehingga menyebabkan seseorang menjadi sering bernyanyi dalam batas tidak normal seperti orang biasanya.

“Itu masalahnya dia capek mikir juga, kalo udah capek mikir gitu ya langsung, nyanyi-nyanyi sendiri gitu, nyanyi kayak orang nggak biasanya”.( P3:A37)

P4 memjelaskan gangguan jiwa dengan menyebutkan ciri-ciri seseorang mengalami gangguan jiwa yaitu : sering ngamuk dan marah tanpa sebab, tidak senang diajak bicara, memiliki kehidupan yang berbeda seperti orang biasanya.

“Gangguan jiwa itu ya yang ngamuk-ngamuk gitu, jiwanya ndak sehat, nggak mau diajak ngobrol. Suka marah-marah, nggak ada sebabnya tiba-tiba marah. Hidupnya ndak normal seperti orang biasanya”.( P4:A17)

Dari pernyataan ke-4 partisipan diatas maka dapat disimpulkan bahwa setiap keluarga memahami penyakit yang diderita oleh anggota keluarganya. Dari setiap pendapat yang

(8)

telah disampaikan partisipan-partisipan diatas maka dapat disimpulkan bahwa gangguan jiwa merupakan terganggunya kesehatan jiwa yang diakibatkan oleh faktor-faktor dari dalam diri, orang lain maupun lingkungan sekitar sehingga menyebabkan seseorang menjadi menutup diri, sulit mengontrol emosi dan tanda-tanda tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk depresi dari seseorang.

4.3.2. Proses Penyembuhan Pasien Selama Di Rawat Di Rumah Sakit

P1 mengatakan bahwa proses penyembuhan yang dilakukan pasien saat berada dirumah sakit yaitu : mengkonsumsi obat. berkonsultasi dengan ahli psikologi, melakukan fisioterapi, cek darah. Rehabilitasi belum dilakukan karena berdasarkan penjelasan tenaga kesehatan (perawat ruangan) bahwa pasien hanya akan dibawa keruang rehabiltasi apabila pasien sudah bisa diajak berkomunikasi dengan baik dan kooperatif dalam hal kegiatan yang akan dilakukan di ruang rehabilitasi.

“Ya paling obat trus cek darah konsultasi sama ahli psikologi gitu, pasiennya diwawancara gitu, pisioterapi juga sama olahraga. Adik saya belum melakukan rehabilitasi, kalo pasien kamar sebelah itu uda kemaren sekali. Trus pas saya tanyain ke perawatnya kok adik saya nggak dibawa ke ruang rehabilitasi perawatnya jelasin kalo yang di bawa keruang rehabilitasi itu nggak semua pasien harus dibawa kesana, yang dibawa hanya pasien yang mau diajak kerja sama trus uda kooperatif begitu katanya mbak. Adik saya ini sepertinya

(9)

masih susah, masih kurang kooperatif katanya si perawat itu”. (P1:A252-A174)

P2 menjelaskan bahwa bentuk pengobatan yang diterima pasien saat berada di rumah sakit adalah : Obat, Fisoterapi, tes psikologis.

“Minum obat pasti, 3 kali sehari trus fisioterapi udah, tes psikologis juga udah trus ikut senam gitu juga. Tiap pagi sih sebenarnya. Cuman kalau lagi nggak mau yaa nggak. Adik saya belum melakukan rehabilitasi, alasannya karena belum kooperatif, susah diajak komunikasi”. (P2:A154-A262)

P3 mengatakan bahwa bentuk pengobatan yang diterima pasien adalah : mengkonsumsi obat 3 kali dalam sehari yaitu pagi, siang dan sore setelah makan, konsultasi dengan ahli psikologi. Fisioterapi belum dijalankan oleh pasien mengingat pasien baru saja dirawat.

“Dulu-dulu itu yang ke-2 dan ke-3 dibawa kesini itu uda sempat diterapi, kalo yang sekarang yang baru 4 hari ini sih belum mbak, Cuma kemaren sempat didatangin sama psikolog gitu ke ruangan pasien trus pasien ditanya-tanya gitu hanya berdua. Pengobatan lain itu yaa obat juga, minum obat tiap 3 kali sehari, pagi, siang dan sore gitu”.(P3:A147)

P4 mengatakan bahwa bentuk pengobatan yang telah diterima pasien di rumah sakit adalah : konsultasi dengan dokter (ahli psikologi), minum obat pagi, siang dan malam, Fisioterapi, dibawa ke ruang rehabilitasi 1 kali.

“Konsultasi sama dokter, minum obat pagi,siang,malam. Pergi ketempat terapi juga olahraga, kemaren sempat dibawa keruang rehabilitasi juga. 3 kali sehari. Minum obatnya setiap sehabis makan. Iya, kemaren sempat dibawa keruang rehabilitasi. Baru sekali itu aja. Kan kemaren saya ikut mendampingi pasiennya disana jadi waktu itu kegiatannya ya

(10)

berkomunikasi gitu, melakukan aktivitas-aktivitas gitulah, bagusnya cucu saya itu mau kalo diajak ngomong sama dokternya sama perawatnya nurut dia”. (P4:A169-A224)

Berdasarkan pemaparan ke-4 partisipan diatas maka dapat disimpulkan bahwa proses penyembuhan pasien jiwa yang telah dijalankan selama berada dirumah sakit adalah mengkonsumsi obat-obatan, cek darah, melakukan fisioterapi, berkonsultasi dengan ahli psikologi serta melakukan rehabilitasi yang berdasarkan anjuran dokter/perawat dengan syarat pasien harus kooperatif.

4.3.3. Pengetahuan Mengenai Peran Keluarga

P1 mengatakan bahwa peran keluarga adalah suatu bentuk tanggung jawab yang penting dijalankan guna membantu proses penyembuhan pasien.

“Apa yaa.. peran keluarga itu tanggung jawab mungkin ya mbak, tanggung jawab untuk kepentingan keluarga. Penting, kalo nggak ada keluarga yang bantuin pasien selama dirumah sakit siapa, walaupun ada perawat tapi yaa keluarga pasti lebih nyaman”. (P1:A104-A98)

P2 mengatakan bahwa peran keluarga sangatlah penting karena selain dokter dan perawat keluarga lebih berperan penting dalam memberikan dukungan untuk kesembuhan pasien.

“Penting banget mbak. Soalnya keluarga kan yang memang harus memberikan dukungan selain perawat dan dokter, jadi keluarga sangat dibutuhkan”. (P2:A215)

(11)

P3 mengatakan bahwa peran keluarga merupakan bentuk kesetiaan menemani pasien selama berobat, memenuhi kebutuhan pasien selama berada dirumah sakit, bekerja sama dengan tenaga kesehatan untuk mencari solusi guna mencegah kekambuhan pasien.

“Peran keluarga itu ya mungkin seperti yang saya lakukan sekarang ini, nemenin pasien selama berobat disini, bantu ngurusin setiap apa yang dia perlukan disini. Ya penting mbak. Nanti kalo kesembuhan pasien nggak dipentingkan itu gimana, keluarga harus bekerja sama, bersatu supaya kesembuhannya lebih abdol (maksimal). Kalo nggak penting ya nggak mungkin pasiennya dibawa kesini”.( P3:A86-A93)

P4 mengatakan bahwa peran keluarga sangat berpengaruh bagi kesembuhan pasien karena keluarga merupakan orang terdekat pasien, dukungan dan pengawasan keluarga dapat membantu pasien terhindar dari faktor stressor atatu penyebab yang memicu pasien mengalami gangguan jiwa.

“Ya peran keluarga sangat berpengaruh sekali ya selain dari diri sendiri (pasien) dukungan dari orang terdekat atau keluarga selain itu juga untuk menghindari faktor stressor atau penyebab yang memicu pasien mengalami gangguan jiwa. Apalagi kalo nanti pasien dirawat dirumahkan perannya diikuti. Peran kalo disini yaa mengawasi kalo keluar kan ndak boleh sendiri harus diawasi/ditemani, memantau dan memberi dukungan-dukungan seperti itu. Sangat penting, keluarga kan yang dekat sama pasiennya, yang memberi dukungan, nemenin pasien kalau dirawat dirumah sakit”. (P4:A91-A78)

Berdasarkan pernyataan ke-4 partisipan diatas peneliti menyimpulakan masing-masing keluarga sangat menyadari pentingnya peran keluarga dalam proses pemulihan pasien. Peran keluarga merupakan segala bentuk tanggung jawab,

(12)

dukungan dan pengawasan yang dilakukan keluarga untuk melancarkan proses pengobatan pasien karena keluarga merupakan orang terdekat pasien yang mengerti dan bisa mencegah segala faktor stressor yang menjadi pemicu pasien mengalami kekambuhan.

4.3.4. Peran Keluarga Dalam Proses Penyembuhan

P1 mengatakan bahwa peran yang telah dijalankan keluarga selama pengobatan adalah memberikan dukungan, mengawasi dan mengingatkan pasien untuk minum obat, tidak membiarkan pasien sendiri, memberi penghiburan serta mengontrol diri dari emosi dan amarah.

“Kami mendukung pasien supaya cepat sembuh,

mengingatkan pasien untuk minum obat, berdoa untuk kesembuhan pasien. Trus kita kan uda tau penyakitnya pasien ini apa dan gimana jadi uda disaranin gimana cara mencegah supaya nggak kambuh selain pake obat disaranin sama perawat-perawat dan dokternya supaya nggak boleh tinggalin pasien sendiri, trus sering-sering ajak pasien ngomong begitu mbak. Oh iya.. selalu mbak, nggak pernah ditinggalin sendiri ini adiknya saya. Kalopun saya pergi keluar sebentar, ada istri saya yang menemani. Jadi pasiennya nggak pernah sendiri. Iya, kalo uda saatnya pasien minum obat selalu diawasi sampe selesai minum obat. Usaha saya sendiri ya kasi semangat, Kasi semangat, kasi pengertian kalo yang udah udahlah, diajak bicara terus yang menurut dia baik dan nerima dihatinya, ngingatin untuk minum obat, Jangan biarin sendiri, kasi hiburan ajak becanda supaya dia nggak kepikiran. Itu aja sih yang bisa saya buat. Emosi gak pernah saya mbak, saya mah santai-santai aja. Ya kalo membantu kan harus ikhlas mbak, kalo nggak niat bantu ya mending nggak usah aja kan”. (P1:A206-A364)

(13)

P2 mengatakan bahwa tindakannya dalam memenuhi perannya adalah berkomunikasi dengan pasien, memberikan dukungan dan do’a, menemani pasien melakukan fisioterapi, ikut senam bersama pasien, menganjurkan keluarga memberikan perhatian/menjenguk selama pasien dirawat, mengingatkan dan mengawasi pasien untuk minum obat.

“Tindakan saya kalo dia lagi kambuh gitu, kan sesudah minum obat nanti diarahkan maksudnya kalo udah ngomongnya nggak benar yaa dikit-dikit dibenerin gitu. Kalo orang halusinasi tuh kan dia kayak mengada-ada ngomongnya gitu jadi harus diluruskan. Bentuk dukungannya yaa, biar cepat sehat. Yaa kan kalo sehat bisa jalan-jalan kemana-mana, bisa makan apa aja, beli apa aja bisa kembali ke aktivitas semula, yaa kayak gitu-gitu sih mbak. Kalo fisioterapi saya selalu ikut menemani pasien. Senam juga, malah saya ikut senam, supaya pasien juga mau senam. Jadi memotivasi dia begitu. Usahanya yaitu keluarga sering nengok trus diingatkan ini siapa gitu kan, kalo dia ingat kan berarti ada kemajuan. Bisa mengingat semua keluarga. Iya, pasti berdoa untuk pasien. Iya, pasti dijagain terus. Kalo misalnya saya ada

keperluan pasti suami yang nungguin Dukungannya ya

memberikan semangat dukungan dan motivasi untuk pasien supaya cepat sembuh. Obat kan nanti diminum teratur, kalo ada apa-apa kan anjurkan pasiennya untuk cerita, nggak boleh dipendam trus jangan biarkan pasien sendiri”.( P2:A92-A255)

P3 mengatakan bahwa peran yang dilakukan dalam membantu proses kesembuhan pasien adalah membantu merawat pasien, menemani pasien, mengawasi aktivitas pasien (minum obat, makan, mandi), memotivasi dan mendukung pasien agar segera sembuh, berdo’a untuk pasien.

“Peran saya selama disini ya membantu merawat pasien, menemani disini, mengingatkan dia minum obat, makan, mandi juga kan harus jaga kebersihan. Memotivasi dia supaya cepat sembuh, memberi semangat yang tidak lupa itu ya berdoa untuk kesembuhan dia”. (P3:A168)

(14)

P4 mengatakan bahwa peran yang telah dijalankan keluarga selama dirumah sakit adalah menemani dan mendukung pasien dalam menjalankan setiap proses pengobatan yang diberikan pihak rumah sakit termasuk mengingatkan pasien minum obat, mengontrol emosi.

“Iya, selalu menemani, kan itu cara membantu dia menjalani proses pengobatannya supaya dia juga semangat untuk sembuh kalo ditemani. Ya saya disini menemani uda 5 hari disini terus, memberikan perhatian mengingatkan untuk makan, minum obat juga selalu saya awasi. Kasi semangat untuk dia supaya ndak ngeluh. Ndak pernah emosi, saya itu sering sedih”. (P4:A178, A188, A289)

Bedasarkan pendapat partisipan-partisipan diatas maka dapat disimpulkan bahwa peran yang telah dilakukan keluarga adalah memberikan dukungan dan motivasi untuk pasien dengan cara menemani pasien dalam menjalankan setiap pengobatan selama dirumah sakit termasuk mengawasi pasien dalam hal minum obat, menjaga kebersihan (mandi), dan makan. Keluarga selalu menemani pasien dalam menjalankan rutinitas dirumah sakit, melakukan fisioterapis, selalu mengontrol emosi, memberikan semangat untuk pasien, tak lupa juga mendo’akan pasien.

P1 mengatakan bahwa kendala yang dialami keluarga dalam memenuhi perannya dalam proses pengobatan pasien selama dirumah sakit adalah keuangan.

(15)

“Kendalanya bagi saya mungkin dalam hal pembiayaan ya, pembiayaan sih saya nggak bisa bantu, ya saya juga kan punya pendapatan pas pasan, anak saya juga mau masuk kuliah tahun ini, jadi saya nggak bisa bantu masalah biaya. Kendala lain nggak ada sih mbak, selama saya tulus, ikhlas membantu itu bukanlah suatu kendala karna kalo pasien sembuh saya juga ikut senang”. (P1:A296)

P3 menjelaskan kendala menjalankan peran adalah kurangnya komunikasi dengan pasien.

“Ngajak komonikasinya kurang soalnya kalo lagi kambuh gitu diajak ngomong susah malah marah-marah”. (P3:A234)

Berdasarkan pendapat partisipan-partisipan diatas maka dapat disimpulkan bahwa kendala dalam memenuhi peran sebagai keluarga dalam proses pengobatan pasien adalah keuangan dan kurangnya komunikasi dengan pasien sendiri.

“Menurut saya nggak sih, nggak malu sama sekali soalnya ini kan merupakan penyakit bukan sesuatu aib begitu. Justru yang kita lakuin kasih semangat ke anggota keluarga yang sakit untuk supaya cepat sembuh”. (P1:A337)

“Kalo saya nggak sih, gak perlu malu, kan itu jenisnya penyakit semua orang pastinya nggak maulah jadi yaa harus ditolong dan harus diobati”. (P2:A245)

“Nggak mbak. Apa yaa gangguan jiwa itu kan penyakit saya rasa nggak ada yang mau mengalaminya jadi ya bukan sesuatu yang memalukan malah harus diobati buka diratapi”. (P3:A260)

“Saya rasa cucu saya itu ndak sakit jiwa kayak orang biasanya jadi saya ndak perlu malu”. (P4:A274)

Pemaparan para partisipan diatas menjelaskan bahwa mereka memandang penyakit yang diderita salah satu anggota keluarga mereka bukanlah suatu aib yang membuat malu keluarga tetapi merupakan penyakit serius yang harus

(16)

mendapatkan penanganan segera agar anggota keluarga mereka bisa segera sembuh/pulih.

(17)

4.4. Pembahasan

4.4.1. Pemahaman Keluarga Tentang Gangguan Jiwa

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada bulan mei pada ke empat partisipan diperoleh beberapa pendapat mengenai pemahaman mereka tentang gangguan jiwa. Setiap mereka menjelaskan dengan pemahaman masing-masing ada beberapa yang lebih dominan menjelaskan dengan menyebutkan ciri-ciri dari gangguan jiwa itu sendiri.

Berdasarkan hasil tersebut maka dapat disimpulkan bahwa sebagian besar partisipan memiliki pengetahuan yang kurang mengenai gangguan jiwa. Untuk menambah pengetahuan seseorang perlu menggali informasi mengenai hal-hal baru yang ingin diketahui. Informasi memberikan pengaruh untuk pengetahuan seseorang., walaupun seseorang dengan latar belakang pendidikan yang rendah namun jika memperoleh informasi yang baik maka dapat meningkatkan pengetahuan seseorang (Notoadmodjo, 2007)

Pengetahuan keluarga mengenai kesehatan jiwa merupakan awal usaha dalam memberikan memberikan dukungan bagi anggota keluraganya. Keluarga selain dapat meningkatkan serta mempertahankan kesehatan jiwa anggota keluarga, juga dapat menjadi sumber masalah bagi anggota

(18)

keluarga yang mengalami masalah kejiwaan ( Notosoedirdjo & Latipun, 2005 ).

Pernyataan tersebut didukung dengan penelitian dari bahan National Mental Health Assosiation (NHMA) pada tahun 2001, yang menunjukan bahwa banyak ketidakmengertian ataupun kesalahpahaman keluarga tentang gangguan jiwa, keluarga menganggap bahwa seseorang yang mengalami gangguan jiwa tidak akan pernah sembuh lagi. Namun faktanya, NHMA tersebut mengemukakan bahwa orang yang mengalami gangguan jiwa dapat sembuh dan dapat mulai kembali melakukan aktivitasnya.

4.5.2. Proses Penyembuhan Pasien Selama Di Rawat Di Rumah Sakit

Bentuk pengobatan yang diterima pasien dirumah sakit, khususnya yang melakukan rawat inap ada berbagai macam ragam. Alasan mengapa pasien harus melakukan rawat inap adalah karena pasien memerlukan penanganan yang ekstra guna meningkatkan dan mempercepat pemulihan pasien.

Berdasarkan hasil penelitian, peneliti menemukan bahwa bentuk penanganan pasien selama dirumah sakit adalah : obat-obatan, berkonsultasi dengan ahli psikologis, menjalani

(19)

terapi dan bahkan ada seorang pasien yang telah menjalani rehabilitasi.

 Psikofarmakologi (Terapi Obat)

Penanganan penderita gangguan jiwa dengan cara ini adalah dengan memberikan terapi obat-obatan yang akan ditujukan pada gangguan fungsi neuro-transmitter sehingga gejala-gejala klinis tadi dapat dihilangkan. Terapi obat diberikan dalam jangka waktu relatif lama, berbulan bahkan bertahun.

Psikofarmaka atau obat psikotropik adalah obat yang bekerja secara selektif pada Sistem Saraf Pusat (SSP) dan mempunyai efek utama terhadap aktivitas mental dan perilaku, digunakan untuk terapi gangguan psikiatrik yang berpengaruh terhadap taraf kualitas hidup klien (Hawari, 2001).

 Terapi Modalitas

Berdasarkan riset penelitian peneliti menemukan penanganan pasien gangguan jiwa di ruang rawat inap yaitu dengan melakukan konsultasi dengan ahli psikologi, kegiatan ini juga termasuk dalam terapi modalitas. Terapi modalitas adalah berbagai pendekatan penanganan klien gangguan jiwa yang bervariasi, yang bertujuan untuk mengubah

(20)

perilaku klien dengan gangguan jiwa denga perilaku mal adaptifnya menjadi perilaku yang adaptif. Terapi modalitas adalah metode penyembuhan yang digunakan berbarengan dengan pengobatan berbasis obat dan tindakan pembedahan sebagai upaya pemenuhan pelayanan holistik. Terapi Modalitas menurut Perko & Kreigh tahun1988 :

4. Suatu tehnik terapi dengan menggunakan pendekatan secara spesifik

5. Suatu sistem terapi psikis yang keberhasilannya sangat tergantung pada adanya komunikasi atau perilaku timbal balik antara pasien dan terapis 6. Terapi yang diberikan dalam upaya mengubah

perilaku mal adaptif menjadi perilaku adaptif

 Terapi (Senam)

Terapi senam dirumah sakit dilakukan setiap pagi hari. Setiap pasien dianjurkan untuk mengikuti, karena hal tersebut merupakan salah satu bentuk usaha pemulihan pasien. Faulkner dan Sparkes (1999) melakukan sebuah uji tentang pengaruh senam sebagai terapi bagi pasien dengan skizofrenia, dan didapatkan hasil bahwa dengan

(21)

rentang waktu 10 minggu dapat membantu mengurangi gangguan halusinasi dengar dan meningkatkan pola tidur yang lebih baik. (Daley, 2002). Beberapa penelitian tentang aktivitas fisik dan terapi olahraga terhadap gangguan kejiwaan membuktikan, bahwa aktivitas fisik tersebut dapat meningkatkan kepercayaan pasien terhadap orang lain (Campbell & Foxcroft, 2008), dan juga membantu mengontrol kemarahan pasien (Hassmen, Koivula & Uutela, 2000).

Hasil penelitian oleh 3 orang mahasiswa Jurusan Keperawatan Unsoed Purwokerto, Prodi Keperawatan Purwokerto, Poltekkes Kemenkes Semarang, Rumah Sakit Umum Daerah Banyumas yaitu Harki Isnuur Akhmad, Handoyo dan Tulus Setiono dengan judul penelitian Pengaruh Terapi Senam Aerobic Low Impact Terhadap Skor Agression Self-Control Pada Pasien Dengan Risiko Perilaku Kekerasan Di Ruang Sakura Rsud Banyumas membuktikan bahwa terdapat pengaruh terapi senam Aerobik-Low Impact terhadap skor Agression Self- Control pada pasien dengan risiko perilaku kekerasan.

(22)

 Program Rehabilitasi

Rehabilitasi sangat penting dilakukan sebagai persiapan penempatan kembali kekeluarga dan masyarakat oleh karena itu program ini diajukan untuk pasien yang mendekati waktu pulang ke rumah atau disebut juga pasien yang sudah kooperatif dan bisa diajak bekerja sama untuk melakukan seluruh rangkaian kegiatan di ruangan khusus rehabilitasi dan tindakan ini dilaksanakan berdasarkan advice dokter dari pasien yang ditangani. Program ini biasanya dilakukan di lembaga (institusi) rehabilitasi misalnya di suatu rumah sakit jiwa. Dalam program rehabilitasi dilakukan berbagai kegiatan antara lain; dengan terapi kelompok yang bertujuan membebaskan penderita dari stress dan dapat membantu agar dapat mengerti jelas sebab dari kesukaran dan membantu terbentuknya mekanisme pembelaan yang lebih baik dan dapt diterima oleh keluarga dan masyarakat, menjalankan ibadah keagamaan bersamas, kegiatan kesenian, terapi fisik berupa olah raga, keterampilan, berbagai macam kursus, bercocok tanam, rekreasi (Maramis, 1990). Secara berkala dilakukan evaluasi paling sedikit dua kali yaitu evaluasi sebelum penderita mengikuti program

(23)

rehabilitasi dan evaluasi pada saat si penderita akan dikembalikan ke keluarga dan ke masyarakat (Hawari, 2007).

4.5.3. Pengetahuan Mengenai Peran Keluarga

Masing-masing keluarga sangat menyadari pentingnya pengetahuan tentang peran keluarga dalam proses pemulihan pasien. Berdasarkan hasil penelitian keluarga berpendapat bahwa peran keluarga merupakan segala bentuk tanggung jawab, dukungan dan pengawasan yang dilakukan keluarga untuk melancarkan proses pengobatan pasien karena keluarga merupakan orang terdekat pasien yang mengerti dan bisa mencegah segala faktor stressor yang menjadi pemicu pasien mengalami kekambuhan.

Dalam upaya pengobatan penyakit jiwa ini, keluarga berperan penting, karena keluarga mempunyai keterampilan khusus dalam menangani penderita gangguan jiwa, karena pada penderita penyakit jiwa ini penderita mengalami suatu kelemahan mental yang mana suatu keadaan terhenti atau tidak lengkapnya perkembangan pikiran yang mencakup gangguan makna intelegensia dan fungsi sosial disertai dengan pikiran tak

(24)

bertanggung jawab serius atau agresif abnormal (Roan. W.M, 1979 dalam Hamdani. 2005;4-5).

Sebagai bagian dari peran keluarga yaitu menjaga kesehatan anggota keluarganya, maka keluarga perlu menyusun dan menjalankan aktivitas-aktivitas pemeliharaan kesehatan berdasarkan atas keyakinan bahwa anggota keluarganya akan menjadi sehat, mencari informasi tentang kesehatan yang benar dari berbagai sumber misalnya petugas kesehatan ataupun media sosial (Friedman, 1998).

4.5.4. Peran Keluarga Dalam Proses Penyembuhan

Peran yang telah dilakukan keluarga adalah memberikan dukungan dan motivasi untuk pasien dengan cara menemani pasien dalam menjalankan setiap pengobatan selama dirumah sakit termasuk mengawasi pasien dalam hal minum obat, menjaga kebersihan (mandi), dan makan. Keluarga selalu menemani pasien dalam menjalankan rutinitas dirumah sakit, melakukan fisioterapi, selalu mengontrol emosi, memberikan semangat untuk pasien, tak lupa juga mendo’akan pasien.

Peran keluarga dalam mengatasi masalah kesehatan jiwa :

a. Keluarga perlu memperlakukan penderita gangguan jiwa dengan sikap yang bisa membubuhkan dan mendukung tumbuhnya

(25)

harapan dan optimism. Harapan dan optimisme akan menjadi motor penggerak pemulihan dari masalah kesehatan terkhususnya gangguan jiwa, dilain pihak kata menghina memandang rendah dan membubuhkan pesimisme akan melemahkan proses pemulihan. Harapan merupakan pendorong proses pemulihan, salah satu faktor penting dalam pemulihan adalah adanya keluarga, saudara dan teman yang percaya bahwa seorang penderita gangguan jiwa bisa pulih dan kembali hidup produktif dimasyarakat. Mereka bisa memberikan harapan, semangat dan dukungan sumber daya yang diperlukan untuk untuk pemulihan. Melalui dukungan yang terciptanya lewat jaringan persaudaraan dan pertemanan, maka penderita gangguan jiwa bisa mengubah hidupnya, dari keadaan kurang sehat dan tidak sejahtera menjadi kehidupan yang lebih sejahtera dan mempunyai peran dimasyarakat. Hal tersebut akan mendorong kemampuan penderita gangguan jiwa mampu hidup mandiri, mempunyai peranan dan berpartisipasi dimasyarakatnya. Harapan dan optimisme akan menjadi akan menjadi motor penggerak pemulihan dari gangguan jiwa. Dilain pihak, kata-kata yang menghina, emmandang rendah dan menumbuhkan pesimisme akan bersifat melemahkan proses pemulihan (Setiadi, 2014).

(26)

b. Peran keluarga diharapkan dalam perawatan klien gangguan jiwa adalah dalam pemberian obat, pengawasan minum obat dan meminimalkan ekspressi keluarga. Keluarga merupakan unit paling dekat dengan klien dengan klien dan merupakan “perawat utama” bagi penderita. Keluarga berperan dalam menentukan cara atau perawatan yang diperlukan klien, keberhasilan perawat dirumah sakit akan sia-sia jika kemudian mengakibatkan klien harus dirawat kembali dirumah sakit (Keliat 1996, dalam Made Ruspawan dkk, 2011)

c. Peran keluarga mengontrol ekspresi emosi keluarga, seperti mengkritik, bermusuhan dapat mengakibatkan tekanan pada klien Andri (2008), pendapat serupa juga diungkapan David (2003), yang menyatakan bahwa kekacauan dan dinamika keluarga memegang peranan penting dalam menimbulkan kekambuhan (Made Ruspawan dkk, 2011).

d. Peran keluarga sebagai upaya pencegah kekambuhan. Kepedulian ini diwujudkan dengan cara meningkatkan fungsi afektif yang dilakukan dengan memotivasi, menjadi pendengar yang baik, membuat senang, memberi kesempatan rekreasi, member tanggung jawab dan kewajiban peran dari keluarga sebagai pemberi asuhan (Wuryaningsih dkk, 2013).

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa kelemahan keluarga dalam memenuhi peran sebagai

(27)

keluarga dalam proses pengobatan pasien adalah keuangan dan kurangnya komunikasi dengan pasien sendiri. Peneliti menyatakan bahwa kedua hal tersebut bukanlah masalah utama yang menjadi penghalang untuk kesembuhan pasien karena yang menjadi motivasi untuk kesembuhan pasien.

Yang merupakan kendala kesembuhan pasien contohnya sikap keluarga dalam menyikapi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Kendala dalam upaya penyembuhan penderita gangguan jiwa, salah satunya adalah stigma dalam keluarga dan masyarakat. Masih banyak yang menganggap bahwa gangguan jiwa sebagai penyakit yang memalukan dan membawa aib keluarga serta tidak dapat disembuhkan secara medis. Keluarga dan masyarakat diharapkan dapat berperan serta dalam upaya pencegahan, terapi dan dapat menerima anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa, serta tidak mendiskriminatif (Hawari, 2007).

Namun berdasarkan hasil penelitian peneliti tidak menemukan tanggapan keluarga yang menyatakan bahwa gangguan jiwa merupakan penyakit yang memalukan. Mereka memandang penyakit yang diderita salah satu anggota keluarga mereka bukanlah suatu aib yang membuat malu keluarga tetapi merupakan penyakit serius yang harus mendapatkan

(28)

penanganan segera agar anggota keluarga mereka bisa segera sembuh/pulih.

Gambar

Gambar I. Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Surakarta

Referensi

Dokumen terkait

Ijin adalah dokumen yang dikeluarkan oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan atas nama Bupati yang meliputi Ijin Penebangan Pohon, Ijin Usaha Industri Primer Hasil

Skripsi ini berjudul “Pengaruh Internet Financial Reporting dan Tingkat Pengungkapan Informasi Website Terhadap Frekuensi Perdagangan Saham Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar

Tujuan dari penelitian tersebut yaitu mengetahui perencanaan implementasi metode reading guide dalam mata pelejaran sejarah kebudayaan Islam di MTs Nurul Amin

Dari kedua pengertian tersebut penulis dapat menyimpulkan bahwa media promosi cetak merupakan media yang digunakan oleh produsen, yang mana dalam media tersebut

Sertifikat Akreditasi Komite Akreditasi Nasional (KAN) Nomor : LPPHPL-013-IDN tanggal 1 September 2009 yang diberikan kepada PT EQUALITY Indonesia sebagai Lembaga

Pengertian ini sejalan dengan pendapat Doney dan Cannon (1997, p. 36) yang menyatakan bahwa rasa percaya timbul sebagai hasil dari kehandalan dan integritas mitra yang

Berdasarkan hasil analisis teknik korelasi product moment Pearson diperoleh nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0,808 dan p = 0,000 (p < 0,05) artinya ada

Memiliki ukuran yang jauh lebih besar daripada ukuran yang dapat di filtrasi di ginjal, misel polimer dapat menghindari filtrasi di ginjal bahkan jika