• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potensi Arkeologi Sebagai Identitas Budaya Suatu Bangsa (Suatu Kajian Antropologi)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Potensi Arkeologi Sebagai Identitas Budaya Suatu Bangsa (Suatu Kajian Antropologi)"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Potensi Arkeologi Sebagai

Identitas Budaya Suatu Bangsa

(Suatu Kajian Antropologi)

Lucas Wattimena

(Balai Arkeologi Ambon)

Abstract

Cultural resources in Indonesia, particularly in Maluku are invaluable. Therefore, it won’t be an exaggeration if we say that the cultural potency in Indonesia is rich and plentiful. The government’s concept on development nowadays is about how to develop every sector in Indonesia, particularly on culture and tourism. This is reasonable for the cultural identity of a nation refl ects the identity of the nation itself, which can be measured by the various attraction, local wisdom, cultural resources (archaeological relic), language, and religion that it has. Then in Indonesia, those cultural products become a part of the multiculturalism in socio-cultural community. Keywords: Development, Culture, Community, Identity

Pendahuluan

Negara Indonesia merupakan salah satu negara terbesar di dunia berdasarkan jumlah penduduk dan jumlah wilayahnya. Indonesia juga merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Dalam wilayah kepulauan ini terdapat berbagai sukubangsa serta adat istiadat yang berbeda-beda dan beraneka ragaman yang tersebar di seluruh propinsi (32 propinsi) Indonesia, mulai dari Sabang sampai Merauke. Hal inilah yang menjadikan bangsa Indonesia sebagai suatu bangsa yang menarik bila dibandingkan dengan bangsa-bangsa lainnya di dunia. Atas dasar inilah, negara Indonesia yang sedang dalam proses perubahan perkembangan dalam berbagai bidang, entah itu bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, politik, hukum, kebudayaan dan pariwisata. Pada dasarnya pembangunan itu merupakan suatu kebudayaan yang tertuang dalam konteks gagasan-gagasan dan ide-ide yang dikembangkan demi kemajuan dan kesejahteraan umat manusia. Hal ini didukung oleh beberapa tokoh antropologi yang mendefi nisikan kebudayaan, antara lain:

a. Seorang antropolog E. B. Taylor memberikan defi nisi tentang kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, moral, hukum, adat istiadat, dan lain

(2)

kemampuan serta kebiasaan yang di dapati manusia sebagai anggota masyarakat. b. Dr. Parsudi, mengatakan bahwa kebudayaan adalah pengetahuan manusia sebagai

makhluk sosial yang digunakan untuk memahami dan mengintrprestasikan lingkungan dan pengalaman serta menjadi kerangka landasan untuk mewujudkan dan mendorong terwujudnya kelakuan.

c. Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi memberikan defi nisi tentang kebudayaan adalah sebagai hasil karya, rasa dan cipta masyarakat.

d. Koentjaraningrat mengatakan kebudayaan dapat dilakukan pada dua dimensi wujud dari kebudayaan itu dan dimensinya.

Tiap sukubangsa di Indonesia memiliki adat yang berbeda-beda dan, hal ini merupakan modal utama bagi Bangsa dan Negara Indonesia dalam mengembangkan kebudayaannya. Menurut Furnivall (dalam Nasikun 2004) masyarakat Indonesia yang majemuk (prural society) tersebut, menunjuk pada suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran antara satu dengan yang lain di dalam suatu kesatuan politik. Propinsi Maluku yang merupakan salah satu propinsi kepulauan yang berada di negara Indonesia memiliki masyarakat yang beragam, dan kaya akan nilai-nilai budaya, serta adat istiadat yang berciri majemuk serta memiliki keragaman yang sangat tinggi. Kontribusi-kontribusi budaya yang diberikan bagi penduduk juga adalah kontribusi feedback dari substansial pokok pengaturan yang equal/seimbang, sehingga dampak perusakan kebudayaan tidak terlalu fatal adanya. Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh para peneliti dari Balai Arkeologi Ambon terhadap sumberdaya budaya yang ada di Maluku (wilayah kerja Maluku dan Maluku Utara) sangat signifi kan dan terjamah dengan baik. Potensi-potensi itulah yang membuat sejarah perjalanan kisah kebudayaan orang Maluku dari zaman prasejarah – sejarah hingga sekarang ini.

Perspektif antropologi melihat itu sebagai sesuatu yang fundamental absolute

culture; yang merupakan tatanan khasanah kebudayaan setempat (identitas budaya).

Konsep dasar identitas budaya suatu masyarakat adalah dari kebudayaan masyarakat itu sendiri, yang diimplikasikan dalam berbagai bentuk dan rupa. Hal demikian, Koenjaraningrat (1997) mengemukakan sifat khas suatu kebudayaan memang bisa dimanifestasikan dalam berbagai unsur yang terbatas dalam suatu kebudayaan yaitu bahasa, sistim pengetahuan, organisasi sosial, sistim peralatan hidup dan teknologi,

(3)

sistim mata pencaharian hidup, sistim religi dan kesenian.

Selanjutnya Tallcot Parson menyatakan, jika suatu masyarakat ingin tetap eksis dan atau memiliki sustainibility yang mantap dan dinamis, ada empat paradigma fungsi (function paradigma) yang harus terus dilaksanakan serta termanifestasikan oleh dan dalam masyarakat tersebut. Pertama, pattern maintenance, kemampuan memelihara atau melestarikan sistem nilai budaya yang dianut karena budaya adalah endapan atau manifestasi tingkah laku manusia. Budaya masyarakat itu akan berubah karena terjadi transformasi nilai dari masyarakat terdahulu ke masyarakat kemudian (cultural progress), tetapi dengan tetap memelihara nilai-nilai yang dianggapnya luhur, karena tanpa hal itu akan terbentuk masyarakat baru yang lain.

Kedua, kemampuan masyarakat beradatasi dengan dunia yang berubah dengan cepat.

Sejarah telah membuktikan banyak peradaban masyarakat yang telah hilang karena tidak mampu beradatasi dengan perubahan dunia. Beradatasi di sini dalam arti mampu menghadapi perubahan dunia dan arus gerak sejarah peradaban yang ada dengan tetap mengkontekstualisasikan sistem nilai dari peradaban kita dan tetap mengedepankan identitas kebangsaan kita.

Masyarakat yang mampu menyesuaikan diri dengan perubahan serta memanfaatkan peluang yang timbul akan tetap eksis dan memiliki keberlanjutan kehidupan kebangsaan yang mantap. Ketiga, adanya fungsi integratif dari unsur-unsur masyarakat yang beragam secara terus-menerus dan berkesinambungan sehingga terbentuk kekuatan sentripetal yang kian menyatukan masyarakat itu. Keempat, masyarakat perlu memiliki goal attainment atau tujuan bersama — adanya dimensi teleologis atau tujuan yang jelas sebagai sebuah bangsa — yang dari masa ke masa bertransformasi karena terus diperbaiki oleh proses dinamika masyarakatnya dan oleh para pemimpinnya.

Eksistensi Arkeologi di Tengah Perkembangan Dunia

Eksistensial arkeologi dalam menjelajah dunia kebudayaan adalah suatu kompleksitas pengetahuan yang natural/alami dengan secara koheren memperhatikan eksistensi ilmu arkeologi yang sebenarnya. Bagaimana eksistensi suatu ilmu jika ilmu tersebut belum mendapatkan kepuasaan pengetahuan, integritas ilmu, dan keagungan, bila dikatakan secara implicit. Menurut seorang tokoh fi lsafat Hardono Hadi dalam Aholiab Watloly (2001:115) dalam hal ini menjelaskan :

(4)

Eksistensi selalu berada di sana untuk dipikirkan, selalu hadir dengan kekuatan dan kedasyatannya, selalu memberikan dirinya untuk dipikirkan, tetapi selalu belum terpikirkan secara tuntas. Maka, sebagaimana dikatakan Heidegger, seorang fi lsuf merasa bahwa manusia adalah makhluk yang paling “aneh”, karena merupakan makhluk yang paling dekat dan paling jauh dari rahasia segala yang dialaminya.

Dengan demikian pengetahuan (arkeologi) di tengah perkembangan dunia ini harus jelas substansi eksistensinya. Bangsa Indonesiaumumnya dan Maluku khususnya, seperti yang telah diuraikan dalam pendahuluan diatas, bahwa bangsa yang beranekaragam suku bangsa yang memiliki latar belakang pemikiran, tingkah laku, budaya dan sosial kehidupan yang berbeda. Arkeologi adalah ilmu yang mempelajari manusia dan aktivitasnya di masa lampau berdasarkan sisa-sisa kehidupannya yang didapatkan secara sistimatis, baik yang ditempatkan di atas tanah maupun dibawah tanah (Whitten & Hunter 1990).

Sehingga dalam perspektif konsistensi arkeologi, maka terdapat unsur-unsur penting di dalamnya, namun manusialah yang menjadi penggerak substansi ilmu itu. Manusia dan kebudayaan adalah inti dari suatu kebudayaan, sebab kebudayaan itu ada dalam masyarakat; masyarakat adalah manusia/individu-individu yang hidup berdampingan membentuk suatu komunitas dalam memenuhi tujuan hidup bersama.

Manusia menurut Aholiab Watloly (2001:41) adalah makhluk yang lebih sadar akan luasnya pilihan yang dihadapinya. Kesadaran inilah yang menghadapkan manusia kepada tanggung jawabnya yang sifatnya fundamental, majemuk, dan tak terbatas.

Dengan demikian, maka manusialah indikator substansial penting dalam mengembangkan gagasan-gagasan serta ide-ide dalam pembangunan suatu kebudayaan. Peran dan fungsi masing-masing institusi daerah sebagai eksistensi budaya haruslah jelas dengan saling mendukung konsep-konsep kebudayaan dan pembangunan yang dilaksanakan maupun yang akan dilaksanakan. Hal mana juga merupakan perpanjangan umur kebudayaan masyarakat Maluku sekarang dan masa-masa yang akan datang.

Kebudayaan adalah bukan sesuatu yang statis melainkan dinamis, sehingga konsep dasar masyarakat dan kebudayaan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain, saling berhubungan secara hirarki, karena keduanya sifatnya temporal parsial. Dalam masyarakat pasti ada kebudayaan, sebab hasil

(5)

kebudayaan itu adalah dari masyarakat. Nilai-nilai yang terkandung dalam kebudayaan itu sendiri adalah ide, gagasan, dan hasil proses belajar. Hal ini dipertegas oleh Honigmann (Koentjaraningrat, 1990:186) bahwa kebudayaan itu ada tiga wujudnya, yaitu :

1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peratuan dan sebagainya. Wujud ini adalah wujud ideal dari kebudayaan. Gagasan-gagasan itu tidak berada lepas satu dari yang lain, melainkan selalu berkaitan, menjadi suatu sistem.

2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam tindakan. Dengan kata lain merupakan suatu sistim sosial.

3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. sifatnya konkret, dan berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan difoto.

Berdasarkan hal di atas, maka konsistensi keterikatan antara satu wujud kebudayaan dengan wujud kebudayaan yang lain saling berkaitan satu dengan yang lain, sehingga membentuk substansi pokok kebudayaan itu sendiri. Wujud kebudayaan yang kedua; sistim sosial adalah eksistensi pergerakan penelitian-penelitian yang dilakukan oleh peneliti arkeologi maupun antropologi dalam merangkai suatu kegiatan fundamental substansi budaya (sumberdaya budaya, masyarakat, dan lain-lain).

Potensi Arkeologi; Strategi Pembangunan dan Kebudayaan

Pembangunan selalu mengingatkan kita pada gagasan tentang kemajuan, kesejahteraan, dan kekayaan. Arief Budiman (1996) dalam memetakan ukuran keberhasilan pembangunan yang berbasiskan peningkatan kesejahteraan masyarakat, menyebutkan salah satunya, pembangunan harus dapat menciptakan keadilan sosial dan kesinambungan. Konsep “pembangunan” pada mulanya, dan pada dasarnya, diacukan kepada pengertian pembangunan ekonomi. Dari sudut ilmu ekonomi, “pembangunan” berarti suatu proses dimana real per capita income dari satu negara meningkat dalam suatu masa panjang, dan dalam masa yang bersamaan dengan jumlah penduduk yang “dibawah garis keimiskinan” tidak bertambah, dan distribusi pendapatan tidak makin senjang (Meier 1989). Dari sudut ilmu-ilmu sosial, pembangunan sering kali diartikan sangat umum, yaitu “perubahan sosiokultural yang direncanakan” (Arensberg dan Nichoff 1964). Secara garis besar usaha pembangunan

(6)

ini mengandung beberapa peringkat pengambilan keputusan, yaitu: penentuan tujuan pembangunan, peimilihan strategi pembangunan, dan pelaksanaan pembangunan. Dalam setiap peningkat pengambilan keputusan di atas di percayai adanya keterlibatan faktor-faktor sosiokultural. Namun demikian, sampai kini masih banyak saja sarjana-sarjana sosial di Indonesia yang kurang memahami secara nyata hal yang di maksud dengan faktor-faktor sosiokultural dalam pembangunan.

Seperti yang telah kita ketahui bahwa pada hakekatnya pembangunan merupakan perubahan yang disengajakan/direncanakan secara sistimatis dan komperhensif untuk pencapaian tujuan-tujuan tertentu. Dalam konteks pembangunan sumber daya budaya, maka penulis ingin lebih memfokuskan; bagaimana sumberdaya budaya di Maluku khususnya dan Indonesia umumnya dapat lebih ditingkatkan lagi. Maluku sebagai salah satu propinsi kepulauan diantara 7 propinsi lainnya yang sedang dalam masa-masa transisi pembangunan dalam semua bidang (ipoleksosbudhankam) khususnya sosial budaya lebih ingin mencoba agar pembangunan sosial budaya lebih merata dan kontribusinya jelas, sehingga pemetaan indikator pembangunan lebih jelas dan tepat.

Pembangunan dan kebudayaan merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan satu dengan yang lainnya. Pembangunan menghasilkan kebudayaan, dan sebaliknya di dalam kebudayaan menghasilkan pembangunan. Kebudayaan pada dasarnya bersifat dinamis, sebab unsur yang ada dalam kebudayaan adalah manusia, dan pada prinsipnya manusia bersifat dinamis tidak statis. Kebudayaan menyinggung daya cipta bebas dan serba ganda manusia dalam alam dunia. Manusialah pelaku kebudayaan, ia menjalankan kegiatan-kegiatan untuk pencapaian sesuatu yang berharga baginya. Dengan demikian kemanusiaannya menjadi nyata. Kebudayaan adalah alam kodrat sendiri sebagai milik manusia, sebagai ruang lingkup realisasi diri. Humanisasi progresif dari alam itu merupakan khasiat dan wujud kebudayaan (J. W. M Baker, 1984:15). Walaupun setiap masyarakat mempunyai kebudayaan yang saling berbeda satu sama lainnya, namun setiap kebudayaan mempunyai sifat hakikat yang berlaku umum bagi kebudayaan di mana pun juga. Sifat hakikat kebudayaan itu antara lain :

1. Kebudayaan terwujud dan tersalurkan lewat prilaku manusia.

2. kebudayaan telah ada terlebih dahulu sebelum generasi tertentu lahir dan berlaku sampai selama-lamanya hingga generasi ke generasi.

(7)

3. kebudayaan diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam tingkah lakunya. 4. kebudayaan mencakup aturan, kewajiban.

Sebagaimana yang telah diuraikan di atas, bahwa kebudayaan dan masyarakat adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi sesuai dengan sistim adat istiadat tertentu yang sifatnya berkesinambungan, dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama (Koentjaraningrat, 1997).

Dengan demikian, tak ada masyarakat yang tidak mempunyai kebudayaan dan sebaliknya tak ada kebudayaan tanpa masyarakat sebagai wadah pendukungnya. Hal ini didukung oleh Malinowski yang mengemukakan bahwa cultural determinism berarti segala sesuatu yang terdapat di dalam masyarakat ditentukan oleh adanya kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian diatas, maka terdapat kesimpulan yang dapat diberikan secara konkrit, yakni :

1. Pembangunan sebaiknya dilakukan dengan penuh rasa tanggung jawab. Sebab pembangunan yang dilakukan oleh kita bukan saja untuk kita sekarang tetapi juga untuk anak cucu kita.

2. Pembangunan dan kebudayaan bukan replika.

3. Pembangunan dan kebudayaan merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan satu dengan yang lainnya. Pembangunan menghasilkan kebudayaan, dan sebaliknya di dalam kebudayaan menghasilkan pembangunan. Kebudayaan pada dasarnya bersifat dinamis, sebab unsur yang ada dalam kebudayaan adalah manusia, dan pada prinsipnya manusia bersifat dinamis tidak statis.

4. Identitas Maluku khususnya terletak pada kebudayaan setempat yang diinterprestasikan dalam berbagai implikasi budaya (tarian, lagu, bahasa dan lain-lain).

(8)

Daftar Pustaka

Baker, J. W. M. 1984. Filsafat Kebudayaan Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Kanisius. Koentjaraningrat. 1997. Pengantar Antropologi I. Jakarta: Rineka Cipta.

--- 1997. Pengantar Antropologi II. Jakarta: Rineka Cipta. --- 1990. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI Press.

Marzali, Amri. 2005. Antropologi dan Pembangunan Indonesia. Jakarta: Prenada Media.

Nasikun. 2000. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: PT. Rajawali Press. Saiful, Arif. 2000. Menolak Pembangunisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Soekanto, Soekanto. 1990. Sosiologi – Suatu Pengantar. Jakarta: CV Rajawali. Watloly, A. 2004. Tanggung Jawab Pengetahuan. Yogyakarta: Kanisius.

Whitten & Hunter. 1990. Antropology Contemporary Perspective. A Division of Scott Foresman and Company.

Referensi

Dokumen terkait

TABELA 2: Karakteristike podatkov v tabeli dejstev in dimenzijski tabeli Tabela dejstev Dimenzijska tabela Milijoni ali milijarde vrstic Deset do nekaj milijonov vrstic Več

Ada lagi yang namanya Hizib Maghrobi versi Cirebon, Amalan Maghrobi dan mungkin ada lagi nama-nama ilmu batin yang menggunakan kata “Maghrobi” yang tidak tersebut disini..

Dalam Pasal 30 ayat (2) dan ayat (4) Perubahan Kedua UUD 1945 telah dengan jelas dan tegas menyatakan bahwa yang memiliki kewenangan dan yang berperan sebagai kekuatan utama serta

Bila anak memiliki minat yang tinggi atau memiliki rasa ingin tahu yang tinggi pada anggota tubuhnya, bisa jadi ia akan mengalami kegiatan ini pada saat meraba

Laporan keuangan perseroan Selasa menyebutkan, pendapatan turun jadi USD 303.77 juta dari pendapatan tahun sebelumnya yang USD 383.88 juta dan beban pokok turun jadi USD

Dalam bidang perpustakaan sekolah, pemerintah Hindia Belanda mendirikan Volksbibliotheek atau terjemahan dari perpustakaan rakyat, namun pengertiannya berbeda dengan

Terakhir dilihat dari Payback period (PP) pengembalian investasi adalah dalam jangka 5 tahun lebih 5.6 bulan bahwa Jusana Hotel memiliki tingat pengembalian modal

Pada dasarnya bahwa Panel Control membutuhkan perawatan yang tidak begitu rumit di bandingkan perawatan peripherial yang lainnya,dalam hal ini bahwa control panel bekerja