• Tidak ada hasil yang ditemukan

TERNAK KERBAU, POTENSIAL DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING NASIONAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TERNAK KERBAU, POTENSIAL DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING NASIONAL"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

TERNAK KERBAU, POTENSIAL DALAM MENDUKUNG

SWASEMBADA DAGING NASIONAL

(Buffalo, Potential Animals in Supporting Self Sufficiency

of National Meat Program)

TATI HERAWATI

Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002

ABSTRACT

Self-sufficiency program launch early in meat is directed at the source of beef, although the sense of the meat itself could be sourced in many animals i.e. cows, buffaloes, goats, sheep, chickens, ducks and even in a minority of consumers can also supported the needs of meat from rabbits. Specifically of the Buffalo performance range as large as a cattle, it turns out to have a little role lower than the cattle, just because of the consumer preference problems. Nevertheless, in terms of performance, in fact buffalo is balanced with beef, that is very expected to accompanywith cattle to meet the national meat needs. However, the fact that it is still the low population even of the trend of population decline, lack of application technology in the breeders, the lack of promotion of the processing to increase consumption and preference for the Buffalo meat. Therefore support the application of technology to pursue a target population, livestock development programmes assisted by the Central Government as well as local governments of the buffalo potential areas and dissemination of quality of Buffalo meat expected to increase preferences that ultimately the Buffalo can run trooped in fulfillment of the needs of the national meat hand in jand with cattle.

Key Words: Buffalo, Supported, Self-Sufficiency, Meat

ABSTRAK

Swasembada daging diawal peluncuran program diarahkan pada sumber daging sapi, walaupun tentunya arti daging itu sendiri bisa bersumber pada banyak ternak. Yakni sapi, kerbau, kambing, domba, ayam, itik bahkan minoritas konsumen juga dapat disokong kebutuhan dagingnya dari kelinci. Khusus kerbau yang berbadan sama besarnya dengan sapi, ternyata mempunyai peran sedikit lebih rendah dibandingkan dengan sapi, hanya karena masalah preferensi konsumen. Walaupun demikian, dari segi besar badannya tadi yang notabene seimbang dengan sapi, sangat diharapkan dapat mendampingi sapi dalam memenuhi kebutuhan daging. Namun, kenyataan di lapangan bahwa masih rendahnya populasi bahkan adanya trend penurunan populasi, rendahnya aplikasi teknologi di peternak dan kurangnya promosi pengolahan untuk meningkatkan konsumsi dan preferensi terhadap daging kerbau. Oleh karena itu dukungan aplikasi teknologi untuk mengejar target peningkatan populasi, dibantu dengan program pengembangan ternak kerbau oleh pemerintah pusat maupun daerah di wilayah potensial. Demikian juga sosialisasi kualitas daging kerbau diharapkan dapat meningkatkan preferensi yang pada akhirnya kerbau akan MAMPU berjalan beriringan dengan sapi dalam pemenuhan kebutuhan daging nasional.

Kata Kunci: Kerbau, Pendukung, Swasembada, Daging

PENDAHULUAN

Setiap tahun, Indonesia memerlukan sebanyak lebih dari 700 ribu ekor sapi yang harus impor dari negara lain untuk memenuhi kebutuhan konsumsi daging. Sekitar 350 ribu ekor dalam bentuk sapi hidup, selebihnya dalam bentuk daging. Oleh karena itu, sejak

tahun 2005, pemerintah pusat sudah bertekad

untuk mandiri dalam memenuhi kebutuhan daging nasional, yang diwujudkan dalam bentuk program swasembada daging sapi tahun 2010. Program ini harus didukung sepenuhnya karena berkaitan dengan ketahanan dan kedaulatan pangan. Hal ini dapat dipenuhi andai sedikitnya 90% kebutuhan daging sapi

(2)

nasional dapat dipenuhi dari pasokan daging sapi lokal.

Namun, setahun sebelum waktu pencapaian target swasembada daging sapi di tahun 2010, Kementerian Pertanian telah memperpanjang tahun target swasembada daging sapi di tahun 2014 (BOEDIYANA, 2009). Sebenarnya Dewan Pimpinan Pusat Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia di awal tahun 2006 secara resmi telah menyampaikan warning bahwa program swasembada daging sapi tahun 2010 hanya akan menjadi retorika. Perkiraan akan tidak terwujudnya program swasembada karena masih banyak hal-hal yang perlu dipertanyakan dan klarifikasi terutama beberapa asumsi yang digunakan. Untuk mempertahankan program swasembada daging sapi agar tetap berjalan dan mencapai tujuan, salah satu jalan adalah menerima peluang dari sumber daging komoditi lain untuk ikut menyumbang memenuhi kebutuhan daging nasional. Komoditi tersebut adalah kerbau. Sehingga pada acara Seminar dan Lokakarya Kerbau di Brebes pada tanggal 11 – 13 Nopember 2009, point pertama dalam rumusan Semiloka tersebut adalah memasukkan komoditi kerbau dalam program Pencapaian Swasembada daging Sapi (PSDS) menjadi program PSDK, yaitu swasembada daging sapi dan kerbau. Diharapkan program ini dapat direalisasikan melalui revitalisasi budidaya perbibitan ternak kerbau dan peningkatan populasi secara bersama.

Upaya peningkatan produktivitas dan populasi kerbau dalam rangka mendukung pencapaian swasembada daging sapi ini diawali dari Deklarasi Samawa pada saat Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau mendukung Program Kecukupan Daging Sapi di Sumbawa, Provinsi NTB pada tanggal 4 Agustus 2006. Sejak itu, setiap tahun Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) bekerjasama dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Litbang

Pertanian, menyelenggarakan Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau untuk membahas perkembangan kerbau dari segi kebijakan daerah, program pengembangan Ditjen PKH maupun aspek teknologi dan aplikasinya. Tulisan ini mencoba melihat sampai berapa jauh hasil komitmen instansi terkait pada

PERKEMBANGAN POPULASI KERBAU

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sejak 2003 hingga 2011 populasi kerbau berkurang rata-rata 0,58% per tahun (BPS1, 2011). Bahkan menurut yang tertulis di TEMPO (2011) penurunan populasi kerbau di Indonesia tersebut lebih besar lagi yakni hingga 0,8 persen per tahun selama kurun waktu yang sama. Penyusutan populasi ini diduga sebagai akibat menyusutnya ekosistem padang gembalaan ternak kerbau selain faktor teknis lainnya. Hal tersebut diungkapkan Menteri Pertanian SUSWONO seusai membuka acara Rapat Koordinasi Teknis Nasional Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, di Kuta Bali, bulan November 2011.

Tabel 1. Populasi ternak kerbau di indonesia tahun

2002 hingga 2006

Tahun Jumlah (ekor) Pertambahan/tahun

2002 2.403.000 – 2003 2.459.000 2,28 2004 2.403.000 –2,33 2005 2.428.000 1,03 2006 2.478.000 2,01 Sumber: DITJENNAK (2007)

Hal ini menyambung tulisan di BPS2 (2011) dan majalah TEMPO (2011) pada hari Jum'at, 12 Agustus 2011, bahwa pertumbuhan jumlah kerbau di Indonesia negatif. Lebih lanjut ditulis bahwa berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada survei 2003, jumlah kerbau mencapai 1,367 juta ekor. Sekarang, populasi kerbau hanya 1,305 juta ekor. "Artinya, setiap tahun pertumbuhannya minus 0,58%," kata Kepala BPS pada saat mengumumkan hasil sensus sapi 2011 di Kantor Kementerian Pertanian, Jumat 12 Agustus 2011.

Selain itu, masyarakat Indonesia juga lebih banyak konsumsi daging sapi dibandingkan kerbau. Data menunjukkan, populasi kerbau yang cukup besar terkait dengan kebiasaan masyarakat yang lebih banyak mengkonsumsi kerbau, antara lain di Provinsi Banten. Namun, di lokasi lain, jumlah populasi kerbau lebih

(3)

Tabel 2. Populasi kerbau tahun 2007 – 2011 Provinsi 2007 2008 2009 2010 2011 Pertumbuhan Aceh 390.334 280.662 290.772 306.259 131.494 –57,06 Sumatera Utara 189.167 155.341 156.210 158.741 114.289 –28,00 Sumatera Barat 192.148 196.854 202.997 207.648 100.310 –51,69 Riau 50.362 49.116 51.697 50.650 37.716 –25,54 Kepulauan Riau 252 24 – – 14 – Jambi 72.206 72.008 73.852 76.143 46.535 –38,88 Sumatera Selatan 90.160 77.271 75.217 76.113 29.143 –61,71 Kep. Bangka Belitung 759 815 982 1.091 222 –40,81 Bengkulu 51.255 29.105 32.038 33.738 19.969 –40,81 Lampung 38.991 40.016 42.346 42.983 33.124 –22,94 DKI Jakarta 83 33 12 87 192 120,69 Jawa Barat 149.030 145.847 142.465 139.730 130.089 –6,90 Banten 144.944 153.004 151.976 153.204 123.143 –19,62 Jawa Tengah 109.004 102.591 105.506 111.097 75.674 –31,88 DI Yogyakarta 4.761 4.607 4.312 4.277 1.208 –71,76 Jawa Timur 53.364 49.700 49.698 49.638 32.697 –34,13 Bali 5.988 4.474 4.122 3.572 2.181 –38,94 NTB 153.822 161.450 155.307 158.064 105.391 –33,32 NTT 144.981 148.772 150.403 163.551 150.015 –8,28 Kalimantan Barat 2.222 2.278 1.772 1.772 3.173 79,06 Kalimantan Tengah 17.100 17.186 5.740 16.594 6.491 –60,88 Kalimantan Selatan 43.096 43.971 44.603 45.109 23.843 –47,14 Kalimantan Timur 9.091 11.691 13.401 13.694 8.034 –41,33 Sulawesi Utara Gorontalo – 7 7 13 13 0,00 Sulawesi Tengah 4.181 4.234 4.256 4.202 3.271 –22,16 Sulawesi Selatan 120.003 130.109 124.141 130.097 96.505 –25,82 Sulawesi Barat 14.833 14.920 13.028 15.544 8.112 –47,81 Sulawesi Tenggara 6.951 7.078 7.031 5.294 2.492 –52,93 Maluku 25.303 26.012 27.565 29.211 17.568 –39,86 Maluku Utara 68 174 75 75 863 1050,67 Papua 1.319 1.365 1.396 1.413 1.239 –12,31 Papua Barat 1 1 – – 1 – Jumlah 2.085.779 1.930.716 1.932.927 1.999.604 1.305.011 –34,74

*)Angka Sementara; –) Data tidak tersedia Sumber: DITJEN PKH (2012)

(4)

Selanjutnya disampaikan bahwa kondisi ini bisa jadi karena kerbau sudah tidak lagi digunakan sebagai alat untuk produksi pertanian.

Sedangkan menurut Menteri Pertanian dan Kepala BPS mengatakan penurunan populasi kerbau ini terjadi karena pembajak sawah lambat laun digantikan oleh traktor serta faktor sulitnya para inseminator membaca masa kawin kerbau sehingga sulit mengembangbiakkannya, (dalam acara Rilis Awal Hasil PSPK 2011). Menteri Pertanian mengkhawatirkan kondisi penurunan populasi kerbau, sehingga kondisi tersebut menjadi tantangan untuk mempertahankan dan meningkatkan jumlah kerbau. Diingatkan bahwa jangan hanya konsentrasi kepada sapi, karena kerbau juga termasuk cadangan pangan potensial.

Antara tahun 2002 – 2006, terlihat populasi kerbau relatif stagnant, penurunan maupun kenaikan tidak begitu nyata (Tabel 1). Namun, dari Tabel 2, terlihat bahwa 88% provinsi mengalami penurunan populasi kerbau dari 7% hingga 72%. Hanya 9% provinsi yaitu DKI Jakarta, Kalimantan Barat dan Maluku yang populasi kerbaunya menaik dari tahun 2007 hingga tahun 2011, sedangkan populasi kerbau di provinsi Gorontalo terlihat stagnant, tetapi dengan nilai populasi yang sangat rendah. Padahal, sejak tahun 2007 dimana pemerintah mulai mengalihkan perhatian ke komoditi kerbau sebagai supplemen untuk membantu pencapaian swasembada daging, belum berhasil banyak. Hal ini mengindikasikan bahwa diperlukan perubahan strategi dan kebijakan yang mendasar agar terhindar dari kecenderungan penurunan populasi

KETERSEDIAAN TEKNOLOGI BUDIDAYA KERBAU

Berbagai hasil laporan dari daerah maupun hasil penelitian menunjukkan bahwa sistim budidaya usaha ternak kerbau di masyarakat masih tradisional. Sehingga terlihat masih tingginya inbreeding rate 39 – 60% (PRAHARANI et al., 2010). Padahal telah

dihasilkan berbagai teknologi yang siap diaplikasikan oleh peternak. Teknologi reproduksi dan pemuliaan telah siap membantu

in vitro (FIV), transfer embrio (TE), cloning, transfer gen (TG), sinkronisasi estrus, sexing sperm, outbreeding (TRIWULANNINGSIH, 2008). Sinkronisasi kerbau sudah dicobakan di Kalsel dan Riau. Seleksi dengan penciri gen K_kasein (HASINAH dan HANDIWIRAWAN,

2008). Sedangkan TAPPA (2008), telah mencobakan bioteknologi reproduksi untuk pengembangan Kerbau Belang (Tedong

Bonga) di laboratorium LIPI. Begitu pula

PRAHARANI (2009)meneliti performa produksi, reproduksi dan karkas hasil persilangan Kerbau Sungai x Kerbau Lumpur. Kerbau Sungai dan silangannya mempunyai karakteristik morfologi dan estimasi jarak genetik yang lebih baik daripada Kerbau Rawa (SITORUS

danANGGRAENI, 2009). Informasi karakteristik genetik kerbau telah diteliti yaitu Kerbau Rawa lokal NTB (ERDIANSYAH, dan ANGGRAENI, 2009), Kerbau Kalang di Kab. Kutai, Kaltim (KRISTIANTO et al., 2008), Kerbau Benuang di Bengkulu (AZMI et al., 2008), Kerbau Kalang

dan Kerbau Rawa di Kalsel (ROHAENI et al.,

2008). Kerbau Rawa di Kalsel, Sumbar, Jambi, Banten, Jawa Barat dan NTT.

Untuk pakan, telah diintroduksikan jenis pakan konsentrat yang berasal dari ampas bir, fermentasi jagung dengan cairan rumen serta hijauan Chromolaena odorata dan daun gamal sebagai supplemen pakan (WIRDAHAYATI dan

BAMUALIM, 2008). Limbah tanaman pangan untuk kerbau MOA di MTB. Dari segi teknologi penanganan penyakit, telah diamati sekaligus diformulasikan pengobatan berbagai jenis penyakit yang biasa menyerang kerbau (ACHMAD, 2009).

Jika dilihat dari komponen teknologi pada Tabel 3 tersebut, terlihat sudah cukup banyak jenis teknologi yang dapat diaplikasikan, masalahnya adalah sudah seberapa jauh teknologi tersebut diaplikasikan? Jawabannya masih rendah. Masalahnya adalah untuk aplikasi IB, peternak masih sulit untuk mengetahui tanda berahi dari kerbau. Sedangkan teknologi lain untuk pemuliaan maupun reproduksi juga belum banyak dilakukan, padahal informasi morfologis maupun genetik yang telah dikumpulkan dapat digunakan sebagai bahan dasar pemilihan perlakuan. Sedangkan kurangnya pemberian pakan tambahan dikarenakan masih lemahnya

(5)

Tabel 3. Teknologi kerbau siap aplikasi

Teknologi Uraian Sumber

Breeding INKA, IB, FIV, TE, TG, Cloning, sexing sperm, sinkronisasi estrus

Kerbau sungai x kerbau lumpur

TRIWULANNINGSIH (2008);

TAPPA (2008) PRAHARANI (2009)

Reproduksi Karakteristik morfologi kerbau rawa, sungai (murrah), rawa x sungai

Karakteristik genetik kerbau rawa lokal NTB dan NTT, perilaku kerbau toraja, kerbau kalang di Kaltim, kerbau benuang di Bengkulu, kerbau moa di MTB dan kerbau rawa di Humbang Hasundutan, Sumbar, Pasaman, Batanghari, Jambi, Kotabaru, Kalsel, Banten, Bogor, Jakarta, Brebes, Semarang, Boyolali, Temanggung, Banyumas, Grobogan, Ngawi danToraja,

SITORUS dan ANGGRAENI (2009); ERDIANSYAH dan ANGGRAENI (2009);

KRISTIANTO et al. (2008); ROHAENI et al.(2008), AZMI et al.(2008);

HASINAH danHANDIWIRAWAN (2008)

Pakan Ampas bir, Fermentasi jagung Chromolaena odorata Daun gamal

Limbah tanaman pangan

WIRDAHAYATI dan BAMUALIM (2008)

Penyakit Antraks dan ngorok ACHMAD (2009)

Sosek Analisa usahatani BURHANUDDIN et al. (2008)

Teknologi yang telah diaplikasikan antara lain pemilihan pejantan bermutu, melalui IB (JAMAL, 2008; ACHYADI et al., 2008), seleksi perbibitan dan perbaikan manajemen pemeliharaan. Sedangkan program dari Direktorat Perbibitan, Ditjen PKH meliputi pemeliharaan, produksi, seleksi bibit, perkawinan, ternak pengganti, pencatatan, persilangan, sertifikasi dan kesehatan hewan.Tingkat aplikasi teknologi berkaitan dengan kondisi lingkungan peternak awalnya belum banyak, padahal jika diaplikasikan sangat berpeluang dan antisipatif untuk menjadi daerah yang secara fungsional berdaya dukung tinggi dalam mencapai peran suplemen swasembada daging. Langkah – langkah untuk pencapaian tujuan pembangunan tersebut dapat dicapai tatkala potensi sumberdaya alam dan sumber daya manusia yang dimiliki kabupaten diarahkan sesuai dengan lingkungan strategis yang dimiliki, yang dipadukan dengan norma dan nilai-nilai yang berkembang dimasyakat.

PREFERENSI KONSUMEN TERHADAP DAGING KERBAU

Lantaran faktor kebiasaan, sebagian orang lebih memilih mengonsumsi daging sapi ketimbang daging kerbau. Padahal nyatanya, daging kerbau juga menyimpan sejuta manfaat saat disantap. BURHANUDDIN et al. (2002) menunjukkan bahwa karakteristik personal seperti usia, tingkat pendidikan dan jumlah anggota rumah tangga memiliki hubungan yang signifikan dengan tingkat preferensi daging kerbau. Selain itu ditunjukkan bahwa jumlah konsumsi daging kerbau dipengaruhi oleh total pendapatan rumah tangga, jumlah anggota rumah tangga, harga daging kerbau, dan harga ayam.

Daging kerbau memiliki tingkat kolesterol rendah (40), dibandingkan dengan daging sapi (77), daging kambing (78), daging ayam (72), ikan (74), lobster (61), dan daging babi (79). Bentuk dan tekstur daging kerbau hampir sama dengan daging sapi (ANONIMUS, 2011).

(6)

Bedanya hanya pada warna daging kerbau yang lebih merah dan bentuk seratnya lebih tebal. MUNADI et al. (2010) menunjukkan kandungan lemak antar jenis ternak menunjukkan perbedaan nyata (P < 0,05) sedangkan antar umur temak menunjukkan perbedaan sangat nyata (P < 0,01). Pada kandungan kolesterol, menunjukkan antar jenis ternak tidak berbeda nyata Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kandungan lemak dan kolesterol abon daging sapi dan kerbau tidak menunjukkan perbedaan sehingga daging kerbau dapat digunakan sebagai altematif penyediaan abon daging.

PROGRAM PEMERINTAH UNTUK PENGEMBANGAN KERBAU

Dalam upaya pengembangan ternak kerbau, pemerintah yaitu Ditjen PKH telah memprogramkan pengembangan kerbau di 15 provinsi potensial di daerah yaitu antara lain di Kab. Sawahlunto/Sijunjung, Sumatera Barat, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Kabupaten Pandeglang, Banten sejumlah 190 ekor tahun 2006 melalui APBN/TP, DAK, APBN/PMUK. Prov. Jambi; Kab. Poso, Sulawesi Tengah. Tahun 2007; Kab. Sumbawa, NTB 383 ekor; Kabupaten Sumba Timur, NTT dan Kabupaten Brebes, Jawa Tengah.

Salah satu program pemerintah di subsektor peternakan adalah meningkatkan produksi daging dalam negeri agar tercapai swasembada daging sapi dan kerbau pada tahun 2014. Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau (PSDSK) tahun 2014 tercapai jika 90 persen kebutuhan konsumsi daging dapat dipasok dari produksi dalam negeri. Dalam rangka pencapaian program tersebut dibutuhkan langkah strategis yang tidak hanya berujung pada peningkatan populasi sapi dan kerbau tetapi juga menghindari adanya dampak negatif dalam proses pencapaian program tersebut. Faktor yang sangat menentukan dalam mengambil langkah strategis pencapaian program adalah tersedianya data akurat khususnya data populasi sapi dan kerbau (BPS3, 2011). Pada tulisan tersebut tertera bahwa data populasi sapi dan kerbau yang digunakan selama ini bersumber dari laporan

tersebut diperoleh dari laporan dinas yang membidangi fungsi peternakan di seluruh Indonesia. Sumber data lainnya adalah hasil Survei Peternakan Nasional (SPN) yang dilaksanakan oleh BPS bekerjasama dengan Ditjen PKH, Kementerian Pertanian pada tahun 2006 – 2008. Metode pengumpulan data dari kedua sumber data tersebut tidak dilakukan secara menyeluruh (sensus), sehingga masih memungkinkan terjadinya kesalahan baik

sampling error maupun non sampling error.

Untuk memenuhi tuntutan data populasi yang lebih akurat dan dilaksanakan dengan metode sensus, maka pada tahun 2011 Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementerian Pertanian melakukan kerjasama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) untuk melaksanakan sensus Sapi Potong, Sapi Perah, dan Kerbau 2011 (PSPK2011). Tujuan dari pelaksanaan PSPK2011 adalah untuk memperoleh data populasi dasar (P0) sapi potong, sapi perah dan

kerbau, memperoleh komposisi populasi berdasarkan umur dan jenis kelamin, mengetahui stok dalam negeri dan karakteristik peternakan lainnya serta membangun database peternak. Cakupan wilayah pencacahan PSPK2011 adalah seluruh wilayah Indonesia yang meliputi 33 provinsi, 497 kabupaten/kota, 6.699 kecamatan, serta tersebar di 77.548 desa/kelurahan. Unit pencacahan adalah rumah tangga, perusahaan berbadan hukum serta unit lainnya yang melakukan pemeliharaan sapi potong, sapi perah, atau kerbau seperti koperasi, yayasan, pesantren, lembaga penelitian, sekolah, dan sebagainya. Pelaksanaan pendataan lapangan dilaksanakan tanggal 1 – 30 Juni 2011 dengan menetapkan tanggal 1 Juni 2011 sebagai “Hari Sensus” (census date). Dengan menetapkan tanggal 1 Juni 2011 sebagai hari sensus, maka seluruh informasi mengenai populasi maupun karakteristik peternakan lainnya mengacu pada keadaan tanggal 1 Juni 2011.

KESIMPULAN

Kerbau MAMPU membantu pencapaian swasembada daging lokal, namun dengan beberapa pencatatan yakni perlu mengaplikasikan teknologi, promosi atau

(7)

terhadap daging kerbau meningkat dan terakhir pelaksanaan program pengembangan kerbau yang dilaksanakan pihak pemerintah perlu didukung pemda setempat dan para pelaku kegiatan.

DAFTAR PUSTAKA

ACHYADI, K.TEGUH S.,PUJI R. dan AULIA. 2008. Sosialisasi dan implementasi perbaikan genetik kerbau lumpur melalui teknologi IB di Kabupaten Batanghari, Jambi. Semiloka Nasional Usaha Ternak Kerbau. Jambi, 22 – 23 Juni 2007. Puslitbang Peternakan Bogor. hlm. 25 – 31.

AHMAD, R.Z. 2009. Penyakit-penyakit yang menyerang kerbau di Indonesia. Semiloka Nasional Usaha Ternak Kerbau. Tana Toraja, 24 – 26 Juni 2009. Puslitbang Peternakan Bogor. hlm. 105 – 111.

ANONIMUS. 2011. Sejuta manfaat daging kerbau.

http://forum.detik.com/sejuta-manfaat-daging-kerbau-t291783.html. (21 Maret 2012) AZMI, GUNAWAN dan E. SUHARNAS. 2008. Studi

karakteristik morfologis dan genetik kerbau Benuang di Bengkulu. Semiloka Nasional Usaha Ternak Kerbau. Jambi, 22 – 23 Juni 2007. Puslitbang Peternakan Bogor. hlm. 107 – 112.

BOEDIYANA, T. 2009. Swa Sembada Daging Sapi: Perlu pembenahan data. Majalah Suara Pembaruan. Edisi 20 Agustus 2009.

BPS1. 2011. Populasi-Kerbau-Menurun-08-persen. http://www.mediaindonesia.com/

read/2011/11/29/279998/290/101/ (29 November 2011).

BPS2. 2011. SENSUS KERBAU. Populasi kerbau berkurang 7.800 ekor per tahun. http://mimikakab.bps.go.id/index.php/compon

ent/content/article/1-latest-news/64- pendataan-sapi-potong-sapi-perah-dan-kerbau-pspk-201. (15 Februari 2012)

BPS3. 2011. Pendataan sapi potong, sapi perah dan kerbau (PSPK 2011). http://mimikakab.bps. go.id/index.php/component/content/article/1-latest-news. (27 Januari 2012).

BURHANUDIN,S.MASITHOH dan J.ATMAKUSUMAH. 2002. Analisis preferensi dan pola konsumsi daging kerbau pada konsumen rumah tangga di Kabupaten Pandeglang. Media Peternakan Vol. 25(1): 1 – 6. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

DITJENNAK. 2007. Statistik Peternakan Tahun 2006. Ditjen Peternakan, Jakarta.

DITJEN PKH. 2012. Usaha Tani. Populasi kerbau menurut Provinsi 2007 – 2011. http://www. deptan.go.id./intoeksekutif/nak/eisnak2011/ pop kerbau prov 11.pdf.(21 Maret 2011). ERDIANSYAH, E. dan A. ANGGRAENI. 2009.

Keragaman fenotipe dan pendugaan jarak genetik antara sub populasi kerbau rawa lokal di Kabupaten Dompu, NTB. Semiloka Nasional Usaha Ternak Kerbau. Tana Toraja, 24 – 26 Oktober 2008. Puslitbang Peternakan Bogor. hlm. 55 – 67.

HASINAH, H. dan E. HANDIWIRAWAN. 2008. Pemanfaatan penciri gen K-kasein untuk seleksi pada sapi dan kerbau. Semiloka Nasional Usaha Ternak Kerbau. Jambi, 22 – 23 Juni 2007. Puslitbang Peternakan Bogor. hlm. 132 – 138.

JAMAL, H. 2008. Strategi pengembangan ternak

kerbau di Provinsi Jambi. Semiloka Nasional Usaha Ternak Kerbau. Jambi, 22 – 23 Juni 2007. Puslitbang Peternakan Bogor. hlm. 12 – 15.

KRISTIANTO, L.K., MASTUR dan R. SINTAWATI. 2008. Analisis potensi kerbau Kalang di Kecamatan Muara Wis, Kabupaten Kutai Kertanegara, Provinsi Kalimantan Timur. Semiloka Nasional Usaha Ternak Kerbau. Jambi, 22 – 23 Juni 2007. Puslitbang Peternakan Bogor. hlm. 51 – 58.

MUNADI, D.SANTOSO,D.NINGSIH dan I.HARYOKO. 2010. Studi Perbandingan Kandungan Lemak dan Kolesterol Abon Daging Sapi dan Kerbau. Faculty of Animal Science Jenderal Soedirman University, Purwokerto. http:// isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/52036972.pdf. (21 Maret 2012).

PRAHARANI,L.,E. JUARINI dan IGMBUDIARSANA. 2010. Parameter indicator inbreeding rate pada populasi ternak ketbau di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Pros. Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau. Brebes, 11 – 13 Nopember 2009. Puslitbang Peternakan Bogor. hlm. 93 – 99.

PRAHARANI,L. 2009. Tinjauan performa persilangan kerbau sungai x kerbau lumpur. Semiloka Nasional Usaha Ternak Kerbau. Tana Toraja, 24 – 26 Oktober 2008. Puslitbang Peternakan Bogor. hlm. 29 – 37.

ROHAENI,E.S.,M.SABRAN dan A.HAMDAN. 2008. Potensi, peran dan permasalahan beternak kerbau di Kalimantan Selatan. Semiloka Nasional Usaha Ternak Kerbau. Jambi, 22 – 23 Juni 2007. Puslitbang Peternakan Bogor. hlm. 59 – 69.

(8)

SITORUS, A.J. dan A. ANGGRAENI. 2009. Karakterisasi morfologi dan estimasi jarak genetik kerbau rawa, sungai (murrah) dan silangannya di Sumatera Utara. Semiloka Nasional Usaha Ternak Kerbau. Tana Toraja, 24 – 26 Oktober 2008. Puslitbang Peternakan Bogor. hlm. 38 – 54.

TAPPA, B. 2008. Bioteknologi reproduksi untuk

pengembangan Kerbau Belang (Tedong Bonga). Pros. Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau, Jambi 22 – 23 Juni 2007. Puslitbang Peternakan Bogor. hlm. 40 – 50.

TEMPO. 2011. Populasi Kerbau Terus Menyusut. Majalah TEMPO, Jakarta. 12 Agustus 2011. TRIWULANNINGSIH,E. 2008. Inovasi teknologi untuk

mendukung pengembangan ternak kerbau. Semiloka Nasional Usaha Ternak Kerbau. Jambi, 22 – 23 Juni 2007. Puslitbang Peternakan Bogor. hlm. 16 – 24.

WIRDAHAYATI, R.B. dan A.M. BAMUALIM. 2008. Pemanfaatan daun Gamal sebagai pakan supplemen ternak kerbau penghasil dadih di Sumatera Barat. Semiloka Nasional Usaha Ternak Kerbau. Jambi, 22 – 23 Juni 2007. Puslitbang Peternakan Bogor. hlm. 140 – 148.

Referensi

Dokumen terkait

Kekuatan tarik terendah diperoleh dari proses pengelasan TIG dengan kuat arus 130 Ampere dan kekuatan tariknya semakin naik seiring dengan semakin naiknya kuat

Sindrom nefrotik (SN) merupakan sekumpulan gejala yang terdiri dari proteinuria massif  Sindrom nefrotik (SN) merupakan sekumpulan gejala yang terdiri dari proteinuria massif 

Untuk dapat mengoptimalkan polisi tidur otomatis dapat dipasang di kota- kota besar dengan pengguna kendaraan bermotor terbanyak dan sering mengalami kemacetan terutama

Setelah melihat- lihat buku kita, beliau berkata, ‗Saya telah melihat pameran-pameran buku lainnya namun saya merasa tidak pernah melihat orang-orang yang menyebarkan

Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan uji fischer exact untuk mengetahui hubungan antara riwayat abortus dengan kejadian abortus di RSUD Kelet kabupaten

Komunikasi menyampaikan informasi dan pengetahuan dari orang yang satu kepada orang lain sehingga dapat terjadi

limbah padat hasil dari proses pembakaran di dalam furnace pada PLTU yang. kemudian terbawa keluar oleh sisa-sisa

Melihat perkembangan mengenai lembaga keuangan yang berbasis Syariah saat ini, perlu dikemukakan pandangan Zainul Arifin mantan Direktur Bank Muamalat Indonesia (1996-1999)