• Tidak ada hasil yang ditemukan

Supremasi Hukum Volume 12 Nomor 1, Januari 2016

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Supremasi Hukum Volume 12 Nomor 1, Januari 2016"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT NOMOR 1/MPR/2003, TENTANG PENINJAUAN TERHADAP MATERI DAN SATUS HUKUM KETETAPAN

MPRS/MPR TAHUN 1960-2002 HUBUNGANNYA HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN

2011, TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Oleh

Warsito*) Abstrak

Salah satu substansi penting UU. No. 12 Tahun 2011, revisi dari UU. No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan adalah menempatkan kembali Ketetapan MPR/MPRS dalam hierarki Peraturan Perundang-Undangan berada dibawah UUD 1945. Berdasarkan UU. No. 10 Tahun 2004, Tap MPR tidak dimasukkan dalam tata urutan perundang-undangan, mengingat telah terjadi perubahan kewenangan MPR secara signifikan, pasca amandemen UUD 1945, mengakibatkan MPR hanya ber-wenang membuat peraturan yang bersifat penetapan (beschikking) mempunyai ke-kuatan hukum mengikat kedalam. Menurut penulis, setidaknya ada dua catatan tambahan. Pertama, meski Ketetapan MPR sudah tepat dimasukkan di dalam hierarki Peraturan Perundang-Undangan, tetapi masalahnya akan berdampak kepada soal uji materi mengenai lembaga negara manakah yang akan berwenang menguji TAP MPR jika keberadaannya melanggar UUD 1945. Kedua, Bongkar pasang penempatan Status Hukum Ketetapan MPR/MPRS kembali dilakukan pembuat undang-undang, ini menunjukkan kebingungan pembuat UU itu sendiri untuk menempatkan posisi yang tepat mengenai status hukum Tap MPR. Berdasarkan Pasal I Aturan Tambahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan: ”Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada Sidang Majelis Per-musyawaratan Rakyat Tahun 2003. Ini berarti, Ketetapan MPRS/MPR dari tahun 1960-2002 perlu diteliti dan disisir kembali apa saja yang menjadi bagian dari hukum. Memperhatikan dengan saksama Ketetapan MPR No. I/MPR/2003, tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS/MPR tahun 1960-2002, berarti Tap MPR yang belum dicabut dan masih diakui itu, merupakan bagian dari hukum yang keberadaanya mengikat, baik ke dalam maupun keluar anggota majelis.

Kata Kunci : Ilmu Perundang-undangan, Peraturan Perundang-undangan A. PENDAHULUAN

STATUS HUKUM KETETAPAN MPR

Berdasarkan Pasal I Aturan Tam-bahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 me-nyatakan: ”Majelis Permusyawaratan

Rakyat ditugasi untuk melakukan Pe-ninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusya-waratan Rakyat Sementara dan Kete-tapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada Sidang

(2)

Majelis Permusyawaratan Rakyat Ta-hun 2003”.1

Bongkar pasang penempatan Sta-tus Hukum Ketetapan MPR kembali dilakukan pembuat undang-undang. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, Tentang Pembentukan Peraturan Per-undang-Undangan yang diundangkan pada tanggal 12 Agustus 2011, mema-sukkan kembali Ketetapan MPR bagian dari hierarki Peraturan Perundang-Undangan dibawah UUD 1945. Meski sebelumnya, berdasarkan Ketetapan MPR Nomor: III/MPR/2000, Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan, TAP MPR ditempatkan urutan kedua di bawah UUD 1945. Namun, setelah terbentuknya Undang-Undang Nomor: 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Sta-tus Hukum TAP MPR justru dihilang-kan dari hierarki tata urutan Peraturan Perundang-Undangan. Disini terlihat tampak kebingungan pembuat Undang-Undang untuk menentukan Status Hukum Ketetapan MPR tersebut, apa-kah bagian dari hierarki Peraturan Perundang-Undangan atau tidak.

Salah satu substansi penting UU. No. 12 Tahun 2011, revisi dari UU. No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan adalah menempatkan kembali Ketetapan MPR/

MPRS dalam hierarki Peraturan

Perundang-Undangan berada dibawah UUD 1945. Tahun 2004, Tap MPR tidak dimasukkan dalam tata urutan per-undang-undangan, mengingat telah ter-jadi perubahan kewenangan MPR secara signifikan pasca amandemen UUD 1945, yang mengakibatkan MPR hanya berwenang membuat peraturan yang bersifat penetapan (beschikking)

1 Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945,

Aturan Tambahan psl. I.

mempunyai kekuatan hukum mengikat ke dalam.

Gambaran Umum perbandingan Peraturan Perundang-Undangan ber-dasarkan TAP MPR No: III/MPR/2000 dengan UU. No. 10 Tahun 2004 dan UU. No. 12 Tahun 2011, Tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-Undangan:

Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011, Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan hierarki peratur-an perundperatur-ang-undperatur-angperatur-an sebagai beri-kut: 1. UUD 1945; 2. TAP MPR; 3. UU/PERPU; 4. PP; 5. PERPRES; 6. PERDA PROVINSI;

7. PERDA KABUPATEN KOTA

Ketetapan MPR No. I/MPR/2003

memuat pengelompokan Ketetapan

MPR/MPRS sejak 1960-2002. Dalam pengelompokan ini masing-masing Ke-tetapan MPRS/MPR pada hakekatnya merupakan putusan yang bersifat pe-netapan yang bersifat individual, kon-krit dan final, tidak lagi merupakan peraturan yang bersifat umum dan abstrak yang mengikat kedalam dan keluar. Pengelompokan tersebut me-nempatkan Ketetapan MPRS/MPR ke dalam lima kelompk yaitu, Ketetapan

(3)

MPRS/MPR yang memuat aturan yang sekaligus memberi tugas kepada Pre-siden: Ketetapan MPR MPR/MPRS yang bersifat penetapan (beschikking): Kete-tapan MPR/MPRS yang bersifat meng-atur kedalam (intern regeling); Kete-tapan MPR yang bersifat deklaratif; Ketetapan MPRS/MPR yang bersifat re-komendasi dan perundang-undangan.2

Dikutip dari Bahan Tayangan Materi Sosialisasi Putusan MPR yang diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal MPR-RI. Berdasar Ketetapan MPR

tersebut diatas status hukum

Ketetapan MPRS/MPR dikelompokkan menjadi 6 (enam) kategori, yaitu:

Pasal I TAP MPR No. I/MPR/2003

TAP MPRS/MPR yang dicabut dan di-nyatakan tidak berlaku ada (8 Ketetap-an) yaitu;

1. Ketetapan MPRS RI Nomor

X/MPRS/1966 tentang Kedudukan Semua Lembaga-Lembaga Negara Tingkat Pusat dan Daerah pada Posisi dan Fungsi yang Diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.

2. Ketetapan MPR RI Nomor

VI/MPR/1973 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata-kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau antar Lembaga-Lembaga Tinggi Negara.

2 Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu

Perundang-Undangan Indonesia, Mandar Maju, Cetakan I, 1998, hal. 54 dalam Rachmani Puspita Dewi, Kedudukan dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR-RI setelah perubahan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Jurnal Hukum Pro Justitia, Volume 25 No. 4, Oktober 2007, hal. 354. Dikutip oleh Monika Suhayati Dalam Jurnal Ilmiah Hukum Negara Hukum, (Jakarta: Penerbit Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR-RI , 2011), hal.193.

3. Ketetapan MPR RI Nomor VII/MPR/ 1973 tentang Keadaan Presiden dan/atau Wakil Presiden Republik Indonesia Berhalangan.

4. Ketetapan MPR RI Nomor III/MPR/ 1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata-Kerja Lem-baga Tertinggi Negara dengan/atau Antar Lembaga-Lembaga Tinggi Negara. 5. Ketetapan MPR RI Nomor III/MPR/

1988 tentang Pemilihan Umum. 6. Ketetapan MPR RI Nomor XIII/MPR

/1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.

7. Ketetapan MPR RI Nomor XIV/ MPR/1998 tentang Perubahan dan Tambahan atas Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/1988 tentang Pemilihan Umum.

8. Ketetapan MPR RI Nomor XVII/ MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.

Kedelapan TAP tersebut telah berakhir masa berlakunya dan/atau telah diatur di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal 2 TAP MPR No. I/MPR/2003

1. Ketetapan MPRS RI Nomor XXV/ MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernya-taan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Repu-blik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajar-an Komunisme/Marxisme-Leninis-me.

2. Ketetapan MPR RI Nomor XVI/ MPR/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Eko-nomi.

(4)

3. Ketetapan MPR RI Nomor V/MPR/1999 tentang Penentuan Pendapat di Timor Timur.

Pasal 3 TAP MPR No. I/MPR/2003

TAP MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya Pemerintahan Hasil Pemilu 2004 ada 8 (delapan) Ketetapan, yaitu;

1. Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/ 1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara tahun 1999-2004. 2. Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/

2000 tentang Rekomendasi Kebijak-an dalam PenyelenggaraKebijak-an Otonomi Daerah.

3. Ketetapan MPR RI Nomor VIII/ MPR/2000 tentang Laporan Tahun-an Lembaga-Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan Majelis Per-musyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2000.

4. Ketetapan MPR RI Nomor III/MPR/ 2001 tentang Penetapan Wakil Pre-siden Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri Sebagai Presiden Republik Indonesia.

5. Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/ 2001 tentang Pengangkatan Wakil Presiden Republik Indonesia.

6. Ketetapan MPR RI Nomor X/MPR/ 2001 tentang Laporan Pelaksanaan Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2001.

7. Ketetapan MPR RI Nomor II/MPR/ 2002 tentang Rekomendasi Kebijak-an untuk Mempercepat PemulihKebijak-an Ekonomi Nasional.

8. Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/ 2002 tentang Rekomendasi atas Laporan Pelaksanaan Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia oleh Presiden,

Dewan Pertimbangan Agung,

Dewan Perwakilan Rakyat, Badan Pemeriksa Keuangan, Mahkamah Agung pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.

Kedelapan TAP tersebut tidak ber-laku karena Pemerintahan hasil Pemilu 2004 telah terbentuk.

Pasal 4 TAP MPR No. I/MPR/2003

TAP MPRS/MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terben-tuknya undang-undang ada 11 (sebe-las) Ketetapan, yaitu;

1. TAP MPRS Nomor XXIX/MPRS/ 1966 Pengangkatan Pahlawan Am-pera.

2. TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

3. TAP MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional Yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

4. TAP MPR Nomor III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum dan Tata

Urutan Peraturan

Perundang-undangan.

5. TAP MPR Nomor V/MPR/2000 Ten-tang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional.

6. TAP MPR Nomor VI/MPR/2000 Tentang Pemisahan Tentara Nasio-nal Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

7. TAP MPR RI Nomor VII/MPR/2000 Tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia.

8. TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 Ten-tang Etika Kehidupan Berbangsa.

(5)

9. TAP MPR Nomor VII/MPR/2001 Tentang Visi Indonesia Masa Depan. 10. Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/

2001 Tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pen-cegahan KKN.

11. Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/ 2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Pasal 5 TAP MPR No. I/MPR/2003

Tap MPR yang dinyatakan masih berlaku sampai dengan ditetapkannya Peraturan Tata Tertib baru oleh MPR Hasil Pemilu 2004 ada 5 (lima) Ketetap-an, yaitu;

1. TAP MPR No. II/MPR/1999 2. TAP MPR No. I/MPR/2000 3. TAP MPR No. II/MPR/2000 4. TAP MPR No. V/MPR/2001 5. TAP MPR No. V/MPR/2002

Sudah tidak berlaku lagi karena telah terbentuknya Peraturan Tata Tertib MPR hasil Pemilu 2004.

Pasal 6 TAP MPR No. I/MPR/2003

TAP MPRS/MPR yang dinyatakan tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat final

(einmalig), telah dicabut, maupun telah

selesai dilaksanakan ada 104 (seratus empat) Ketetapan.

UU. No. 12 Tahun 2011, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan telah menempatkan kembali Ketetapan MPR bagian dari hierarki Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan dibawah UUD 1945.

Setelah menyimak dengan saksama akhirnya dapat dirumuskan pokok permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana jika Ketetapan MPR melanggar UUD 1945, Lembaga Negara manakah yang berwenang melakukan uji materi TAP MPR tersebut?.

2. Apakah TAP MPR secara eksternal dapat mengikat keluar majelis?. 3. Sudah tepatkah TAP MPR

dimasuk-kan di dalam hierarki peraturan perundang-undangan?.

B. PEMBAHASAN

LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

1. Istilah Konstitusi

Istilah Konstitusi berasal dari baha-sa Perancis (constituer) yang berarti membentuk. Pemakaian istilah Konsti-tusi yang dimaksudkan ialah pemben-tukan suatu negara atau menyusun dan menyatakan suatu negara. Se-dangkan istilah Undang-Undang Dasar merupakan terjemahan istilah yang dalam bahasa Belandanya Grondwet.3

Perkataan wet diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia undang-undang, dan

grond berarti tanah/dasar. Di

negara-negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa Nasional, dipa-kai istilah constitution yang dalam bahasa Indonesia disebut Konstitusi. 4

Mencermati dikotomi antara istilah

constitution dengan grondwet

(Undang-Undang Dasar), L.J. Van Apeldoorn te-lah membedakan secara jelas diantara keduanya, kalau grondwet (Undang-Undang Dasar) adalah bagian tertulis dari suatu Konstitusi, sedangkan

constitution (Konstitusi) memuat baik

peraturan tertulis maupun yang tidak tertulis. Sementara Sri Soemantri M,

3 Wirjono Projodikoro, Asas-asas Hukum

Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Dian Rakyat, 1989), hal.10.

4Sri Soemantri M, Susunan Ketatanegaraan

menurut UUD 1945 Dalam

Ketatanegaraan Indonesia Dalam Kehidupan Politik Indonesia,(Jakarta: Sinar Harapan, 1993), hal. 29.

(6)

dalam disertasinya menyebutkan Kons-titusi sama dengan Undang-Undang Dasar.5 Penyamaan arti dari keduanya

ini sesuai dengan praktek ketata-negaraan di sebagian besar negara-negara dunia termasuk di Indonesia.

Konstitusi suatu negara termuat di dalam Undang-Undang Dasar(Grondwet,

fundamental law) dan berbagai aturan

Konvensi. Bahkan Inggris tidak memi-liki Undang-Undang Dasar. Konstitu-sinya terdiri dari beberapa prinsip dan aturan yang timbul dan berkembang selama berabad-abad sejarah bangsa dan negaranya. Para sarjana politik berpendapat bahwa harus dibedakan antara negara berkonstitusi dan negara yang mempunyai pemerintahan Kons-titusional (constitution state,

constitutio-nal government). Negara yang

mem-punyai konstitusi (memmem-punyai Undang-Undang Dasar yang lengkap dan indah) belum tentu mempunyai pemerintahan yang konstitusional. 6

2. Die Theorie vom stufenordnung der Rechtsnormen

Hans Kelsen, dalam Maria Farida (2007: 41) dikemukakan oleh Monika Suhayati menyatakan, Die Theorie vom

Stufenordnung der Rechtsnormen

meru-pakan teori yang dikemukakan oleh Hans Nowiasky. Teori ini dikembang-kan dari Stufentheorie dari Hans Kelsen. Hans Kelsen dari teori jenjang norma hukum (Stufentheorie) menyatakan bahwa norma hukum berjenjang-jen-jang dan berlapis-lapis menyatakan dalam suatu hierarki (tata susunan), dalam arti suatu norma yang lebih

5 Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem

Perubahan Konstitusi,(Bandung: Alumni, 1987), hal.1

6Prajudi Admosudirdjo, Konstitusi Indonesia

Seri Konstitusi dalam Bahasa Indonesia-Inggris, Cet. 1 (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1987), hal.5

rendah berlaku, bersumber dan ber-dasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada su-atu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif yaitu norma dasar (grundnorm). Norma dasar ini ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai norma dasar yang merupakan gantungan bagi norma-norma yang berada dibawahnya, sehingga suatu norma dasar dikatakan

pre-supposed.7 Menurut Hans Kelsen, hukum mengatur pembentukannya sendiri karena suatu norma hukum menentukan cara untuk membuat norma hukum yang lain, dan juga sampai derajat tertentu, menentukan isi dari norma yang lain itu. Karena, norma hukum yang satu valid lantaran dibuat dengan cara yang ditentukan oleh suatu norma hukum yang lain, dengan norma hukum yang lain ini menjadi landasan validitas dari norma hukum yang disebut pertama.8 Teori jenjang norma hukum diilhami dari seorang murid Hans Kelsen yang

7Hans Kelsen, General Theory of Law and

State, New York: Russell&Russel, 1945, hal. 113 Dalam Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-Undangan (1) Jenis Fungsi dan Materi Muatan), Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007, hal. 41. Disampaikan oleh Monika Suhayati Dalam Jurnal Ilmiah Hukum Negara Hukum, Jakarta: Penerbit Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR-RI, Volume 2 No. 2, Nopember 2011, hal.184

8 Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum

dan Negara, Bandung: Penerbit Nusa Media, 2011, hal. 179 diterjemahkan dari General Theory of Law and State, New York: Russel and Russel, 1971. Dalam Monika Suhayati Jurnal Ilmiah Hukum Negara Hukum, Jakarta: Penerbit Pusat

Pengkajian, Pengolahan Data dan

Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR-RI, Volume 2 No. 2, Nopember 2011, hal.184

(7)

bernama Adolf Merkl. Adolf Merkl mengemukakan bahwa suatu norma hukum itu selalu mempunyai dua wajah (das Doppelte Rechtsantlitz), yaitu suatu norma hukum keatas bersumber dan berdasar pada norma yang di atasnya, tetapi kebawah suatu norma hukum juga menjadi sumber dan dasar bagi norma hukum dibawahnya. Oleh karena itu suatu norma hukum mem-punyai masa berlaku (rechtskracht) yang relatif, dimana masa berlaku suatu norma hukum tergantung pada norma hukum yang berada diatasnya. Apabila norma hukum yang berada diatasnya dicabut atau dihapus, pada dasarnya norma hukum yang berada dibawahnya akan tercabut atau ter-hapus pula.9 Diilhami teori Adolf Merkl tersebut, Hans Kelsen mengemukakan dalam hal susunan atau hierarki sistem norma, norma yang tertinggi (norma dasar) menjadi tempat bergantungnya norma dibawahnya, sehingga apabila norma dasar berubah maka akan menjadi rusaklah sistem norma yang berada dibawahnya. 10 Sthufentheori kemudian dikembangkan oleh salah satu murid Hans Kelsen, yaitu Hans Nawiasky dalam die Theorie vom

Stufenordnung der Rechtsnormen, yang

9Maria Farida Indrati S., Ilmu

Perundang-Undangan (1) Jenis Fungsi dan Materi Muatan), Yogyakarta: Penerbit Kanisius, hal. 41-42. Dalam Monika Suhayati Jurnal Ilmiah Hukum Negara Hukum, Jakarta: Penerbit Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR-RI, Volume 2 No. 2, Nopember 2011, hal.184

10 Maria Farida Indrati S., Ilmu

Perundang-Undangan (1), hal. 41. Dalam Monika Suhayati Dalam Jurnal Ilmiah Hukum Negara Hukum, Jakarta: Penerbit Pusat

Pengkajian, Pengolahan Data dan

Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR-RI, Volume 2 No. 2, Nopember 2011, hal.185

menyatakan bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu negara juga berkelompok-kelompok.

Pengelompokan norma hukum dalam suatu negara itu terdiri atas empat kelompok besar, yaitu

staatsfundamen-talnorm (norma fundamental negara), staatsgrundgesetz (aturan dasar negara

atau aturan pokok negara), formeel

gezetz (undang-undang formal),

verordnung@autonome satzung (aturan

pelaksana dan aturan otonom). 11

Staatsfundamentalnorm (norma

funda-mental negara) merupakan norma hukum yang tertinggi dan merupakan kelompok pertama dalam hierarki nor-ma hukum negara. Nornor-ma funda-mental negara merupakan norma ter-tinggi dalam suatu negara dan tidak dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi bersifat ”Pre-supposed” atau ”ditetapkan terlebih dahulu” oleh masyarakat dalam suatu negara dan merupakan norma yang menjadi tempat bergantungnya norma hukum dibawahnya. Norma yang tertinggi ini tidak dibentuk oleh norma yang lebih tinggi lagi, oleh karena jika norma yang tertinggi dibentuk oleh norma yang lebih tinggi lagi maka ia bukan lagi merupakan norma yang tertinggi.12

11 Hans Nawiasky, Allgemene Rechts als

System der rechtlichen Grundbegriffe, Einsiedeln/Zurich/Koln: Benziger, cet. 2, 1948, hal. 31 dst dalam Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-Undangan (1), hal. 44-45. Disampaikan oleh Monika Suhayati Dalam Jurnal Ilmiah Hukum Negara Hukum, Jakarta: Penerbit Pusat

Pengkajian, Pengolahan Data dan

Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR-RI, Volume 2 No. 2, Nopember 2011, hal.185

12 Maria Farida Indrati S., Ilmu

Perundang-Undangan (1), hal. 46. Dalam Monika Suhayati Jurnal Ilmiah Hukum Negara

(8)

Menurut Hans Nawiasky,

staats-fundamentalnorm berisi norma yang

merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau undang-undang dasar dari suatu negara (staatsverfassung), termasuk norma pengubahannya. Haki-kat hukum suatu

staatsfundamental-norm berisi staatsfundamental-norma yang merupakan

dasar bagi pembentukan konstitusi atau undang-undang dasar dari suatu negara (staatsverfassung), termasuk norma pengubahannya. Hakikat hu-kum suatu staatsfundamentalnorm yai-tu syarat bagi berlakunya suayai-tu konstitusi atau undang-undang dasar.

Staatsfundamentalnorm ada terlebih

dulu sebelum adanya konstitusi atau undang-undang dasar. 13 Sedangkan

staatsgrundgesetz (aturan dasar negara

atau aturan pokok negara) merupakan kelompok norma hukum dibawah

staatsfundamentalnorm. Norma dari staatsgrundgesetz merupakan aturan

yang masih bersifat pokok dan merupakan aturan-aturan umum yang masih bersifat garis besar, sehingga merupakan norma hukum tunggal. Suatu staatsgrundgeset dapat dituang-kan di dalam suatu dokumen negara yang disebut staatsverfassung atau dapat juga dituangkan dalam beberapa dokumen negara yang tersebar-sebar. Di dalam setiap staatsgrundgesetz biasanya diatur hal-hal mengenai

Hukum, Jakarta: Penerbit Pusat

Pengkajian, Pengolahan Data dan

Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR-RI, Volume 2 No. 2, Nopember 2011, hal.185

13 Maria Farida Indrati S., Ilmu

Perundang-Undangan (1), hal. 46. Dalam Monika Suhayati Jurnal Ilmiah Hukum Negara Hukum, Jakarta: Penerbit Pusat

Pengkajian, Pengolahan Data dan

Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR-RI, Volume 2 No. 2, Nopember 2011, hal.186

pembagian kekuasaan negara di pun-cak pemerintahan, hubungan antar lembaga-lembaga negara dan hubung-an hubung-antar negara denghubung-an warga negara-nya.14

3. Perundang-Undangan yang Ber-laku

Indonesia sebagai negara hukum, ditegaskan didalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan: ” Negara Indonesia adalah negara hukum”, un-tuk mewujudkan Negara hukum ter-sebut diperlukan tatanan yang tertib antara lain di bidang pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Pem-bentukan Peraturan

Perundang-Undangan merupakan pelaksanaan dari ketentuan pasal 22A UUD 1945, yang menyebutkan:

”ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang”.

Bagir Manan, di dalam Monika Su-hayati, peraturan Perundang-Undangan merupakan:

a. Setiap keputusan tertulis yang di-keluarkan pejabat atau lingkungan jabatan yang berwenang yang berisi aturan tingkah laku atau yang bersifat umum;

b. Merupakan aturan-aturan tingkah laku yang berisi ketentuan-keten-tuan mengenai hak, kewajiban, fungsi, status atau suatu tatanan; c. Merupakan peraturan yang

mem-punyai ciri-ciri umum abstrak atau abstrak umum, artinya tidak

14Maria Farida Indrati S., Ilmu

Perundang-Undangan (1), hal. 46. Dalam Monika Suhayati Jurnal Ilmiah Hukum Negara Hukum, Jakarta: Penerbit Pusat

Pengkajian, Pengolahan Data dan

Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR-RI, Volume 2 No. 2, Nopember 2011, hal.186

(9)

atur atau tidak ditujukan pada obyek, perisiwa atau gejala konkret tertentu;

d. Dengan mengambil pemahaman da-lam kepustakaan Belanda, peratur-an perundperatur-ang-undperatur-angperatur-an lazim di-sebut wet in materiele zin, atau sering juga disebut dengan algemen

verbindende voorschrift yang

meli-puti antara lain de supra-nationale

algemeen verbindende voorchrifen, wet, AmvB, de Ministeriele verorde-ning, de gemeentelijke raadsveror-deningen, de provinciaale staten verordeningen.15

Pengertian perundang-undangan (wetgeving) dalam Juridisch

woorden-boek diartikan sebagai berikut:

1. Perundang-undangan merupakan proses pembentukan atau proses membentuk peraturan negara, baik ditingkat pusat, maupun ditingkat daerah;

2. Perundang-undangan adalah segala peraturan negara yang merupakan hasil pembentukan peraturan, baik ditingkat pusat maupun di tingkat Daerah.16

15 Bagir Manan, Ketentuan-Ketentuan

tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan dalam

Pembangunan Hukum Nasional, makalah disampaikan pada pertemuan Ilmiah

tentang Kedudukan Biro-Biro

Hukum/Unit Kerja Departemen/LPND dalam Pembangunan Hukum, Jakarta, 19-20 Oktober 1994, hal. 1-3 dalam Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-undangan (1), hal. 10-11. Dikutip oleh Monika Suhayati Dalam Jurnal Ilmiah Hukum Negara Hukum, Jakarta: Penerbit Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR-RI, Volume 2 No. 2, Nopember 2011, hal.186

16 S.J. Fockema Andreae, Rechtsgeleerd

hanwoordenboek, Groningen/Batavia: J.B. Wolters, 1948 dalam Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-Undangan (1), hal. 10.

4. Ketetapan MPR/MPRS

Ketetapan MPR/MPRS sebelum pe-rubahan UUD 1945 mempunyai ke-kuatan mengikat kedalam Anggota MPR/MPRS dan juga mempunyai ke-kuatan hukum mengikat keluar ang-gota MPRS/MPR yaitu kepada lembaga tertinggi negara, Presiden, legislatif, yudikatif, Dewan Pertimbangan Agung, Badan Pemeriksa Keuangan serta kepada seluruh lapisan masyarakat.17

Ketetapan MPR/MPRS merupakan

suatu amanat yang harus dilaksanakan oleh Presiden dalam rangka men-jalankan pemerintahannya. Ketetapan MPR/MPRS juga merupakan sumber dan dasar Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.18

Hak menguji formal adalah wewe-nang untuk menilai, apakah suatu produk legislatif seperti undang-undang misalnya terjelma melalui cara-cara

(procedure) sebagaimana telah

ditentu-kan/diatur dalam peraturan

Dikutip oleh Monika Suhayati Dalam Jurnal Ilmiah Hukum Negara Hukum, Jakarta: Penerbit Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR-RI, Volume 2 No. 2, Nopember 2011, hal.187

17 Budiman B. Sagala, Tugas dan

Wewenang MPR di Indonesia, Jakarta:

Ghalia, 1982, hal.245-246. Dalam

Monika Suhayati Jurnal Ilmiah Hukum Negara Hukum, Jakarta: Penerbit Pusat

Pengkajian, Pengolahan Data dan

Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR-RI, Volume 2 No. 2, Nopember 2011, hal.187

18 Maria Farida Indrati S., Ilmu

Perundang-undangan (1), hal. 90. Dalam Monika Suhayati Jurnal Ilmiah Hukum Negara Hukum, Jakarta: Penerbit Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR-RI, Volume 2 No. 2, Nopember 2011, hal.188

(10)

dang-undangan yang berlaku ataukah tidak.19

Menurut Sri Soemantri, hak meng-uji material adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian meni-lai, apakah suatu Peraturan Perun-dang-Undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (veror-denende macht) berhak mengeluarkan

suatu peraturan tertentu. 20 Jadi hak

menguji material ini berkenaan dengan isi dari suatu peraturan dalam hubungannya dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya. Apabila suatu Undang-Undang dilihat dari isinya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar, maka Lembaga negara yang diberi wewenang untuk melakukan uji materi Undang-Undang terhadap UUD adalah Mahkamah Konstitusi sebagai-mana kewenangnya diatur di dalam Pasal 24C UUD 1945.

Harun Al Rasid, menyatakan bahwa secara yuridis, UUD 1945 masih ber-laku sementara, walaupun berber-lakunya UUD tersebut dengan dekrit presiden tanggal 5 Juli 1959, yang kemudian disetujui oleh DPR hasil pemilihan umum tahun 1955, appeal tersebut berdasarkan pasal 3 UUD 1945 sebagai tugas MPR untuk menetapkan UUD 1945. Dekrit presiden merupakan

political decision yang sudah tidak bisa

diubah lagi, dengan demikian per-setujuan DPR terhadap dekrit tersebut sebenarnya tidak perlu dan tidak mempunyai efek yuridis, karena DPR fungsinya membuat undang-undang. 21

19Sri Soemantri M, Hak Menguji Material Di

Indonesia, (Bandung: Alumni, 1982), hal. 5

20Ibid.,hal.8

21 Harun Al Rasid, Naskah UUD 1945

sesudah empat kali diubah oleh MPR,

Menurut Yamin, harus jelas bagi rakyat apakah Undang-Undang Dasar akan menuju pada Republik yang menjadi aspirasi rakyat. Karena itu, Undang-Undang Dasar harus memberi rumusan yang jelas mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan Negara dan juga memberi perlindungan pada kebebasan berpendapat, berserikat dan sebagainya, singkatnya kebebasan-kebebasan yang menjamin kondisi hidup yang lebih baik daripada masa lalu, serta kehidupan yang lebih bahagia dan makmur di dalam negara menurut aspirasi-aspirasi kita. 22

ANALISA

1. Tereduksinya Kewenangan MPR

Pasca amandemen UUD 1945, MPR kewenangannya menjadi tereduksi, se-jalan dengan apa yang dikemukakan oleh Monika Suhayati, menurut Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan menyatakan ”kedaulatan berada di-tangan rakyat dan dilakukan sepe-nuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.” Ketentuan ini mengamanatkan kedaulatan rakyat dilaksanakan sepe-nuhnya oleh MPR sebagai perwujudan seluruh rakyat. MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang dalam keduduk-annya sebagai penjelmaan seluruh rak-yat, bertugas memberi mandat kepada penyelenggara negara lainnya, yang wajib memberikan pertanggungjawaban pelaksanaan mandat yang diberikan.23 Hamid S. Attamimi dengan meminjam

(Jakarta: Universitas Indonesia, 2003), hal.49-50

22Adnan Buyung Nasution, Aspirasi

Pemerintahan Konstitusional Di Indonesia, Cet.2, (Jakarta: Temprint, 2001), hal.121

23 Jurnal Ilmiah Hukum Negara Hukum,

Jakarta: Penerbit Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR-RI, Volume 2 No. 2, Nopember 2011, hal.189

(11)

istilah JJ Rousseau dalam Monika Su-hayati menggambarkan kedudukan dan kualitas rakyat dalam melaksanakan kedaulatan rakyat. MPR sebagai pen-jelmaan seluruh rakyat Indone-sia ”Citoyen atau burger” (rakyat yang berdaulat). Setelah MPR dibentuk, rak-yat asli dinamakan ”suyet” atau

onderdaan” (rakyat yang diperintah).24 Kehendak MPR adalah kehendak rakyat yang berdaulat (citoyen/burer) dan MPR berarti Majelis

Perundingan/negoti-ation/deliberation rakyat25, sedangkan kehendak rakyat yang diperintah diwa-kili oleh DPR. Sebagai pemegang ke-daulatan Rakyat, Ketetapan MPR/ MPRS berada langsung dibawah UUD 1945 dan di atas undang-undang dalam hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966

24 A. Hamid S. Attamimi, “Peranan

Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaran Pemerintahan Negara, Disertasi, Jakarta: FHUI, 1990, hal. 133-135 dalam Sumardi, Tugas dan

Wewenang Majelis Permusyawaratan

Rakyat Pasca Perubahan ke empat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2006, hal. 47. Dikutip oleh Monika Suhayati Dalam Jurnal Ilmiah Hukum Negara Hukum, Jakarta: Penerbit Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR-RI, Volume 2 No. 2, Nopember 2011, hal.189

25 Muhamad Ridwan Indra, MPR Selayang

Pandang. Jakarta: Haji Masagung, 1984, hal.19 dalam Sumardi, Tugas dan Wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat, hal. 47, Dikutip oleh Monika Suhayati Dalam Jurnal Ilmiah Hukum Negara Hukum, Jakarta: Penerbit Pusat

Pengkajian, Pengolahan Data dan

Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR-RI, Volume 2 No. 2, Nopember 2011, hal.189

tentang memorandum DPR-GR menge-nai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indone-sia serta Ketetapan MPR No. III/MPR /2000, tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.

Perubahan Pasal I ayat (2) UUD 1945 membawa implikasi terhadap ke-dudukan, tugas, fungsi dan wewenang MPR. MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara melainkan salah satu lembaga negara diantara lembaga nega-ra lainnya yang memiliki kedudukan setara, namun dengan tugas, kewe-nangan, dan fungsi yang berbeda. MPR berkedudukan sebagai lembaga negara yang setara dengan lembaga negara lainnya, yaitu Lembaga Kepresidenan, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Per-wakilan Daerah, Badan Pemeriksa Keuangan, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Perubahan ini mengakhiri posisi MPR sebagi parlemen tertinggi yang memonopoli dan men-jalankan kedaulatan rakyat, sekaligus menandai tamatnya doktrin supremasi MPR yang menyebutkan ”MPR ialah penyelenggara negara yang tertinggi dan dianggap sebagai penjelmaan rak-yat yang memegang kedaulatan negara” dan bahwa”karena MPR memegang ke-daulatan negara, maka kekuasaannya tidak terbatas.26

26Denny Indrayana, Amandemen UUD 1945:

Antara Mitos dan Pembongkaran, diterjemahkan dari Denny Indrayana, Indonesia Constitutional Reform 1999-2002: An Evaluation of Constitutional Making Transtition, Bandung: Penerbit Mizan, 2007, hal. 275. Dikutip oleh Monika Suhayati Dalam Jurnal Ilmiah Hukum Negara Hukum, (Jakarta: Penerbit Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR-RI, 2011), Volume 2 No. 2, Nopember 2011, hal.191

(12)

Perubahan UUD 1945 lainnya yang mempengaruhi kewenangan MPR yaitu perubahan pada Pasal 3 dan Pasal 6 ayat (2) UUD 1945. Pasal 3 UUD 1945 Tahun 1945 sebelum perubahan me-nyatakan bahwa Majelis Permusya-waratan Rakyat menetapkan UUD dan garis-garis besar daripada haluan nega-ra. Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 me-nyatakan Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR dengan suara ter-banyak.

Setelah mengalami perubahan, Pasal 3 UUD 1945 berbunyi:

1. MPR berwenang mengubah dan menetapkan UUD;

2. MPR melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden;

3. MPR hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD.

Sedangkan Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 setelah perubahan menyatakan Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Pasal 3 UUD 1945 setelah perubahan meniadakan kewenangan MPR untuk membentuk Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 meniadakan ke-wenangan MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden.

Perubahan Pasal 3 UUD 1945 sebagaimana disampaikan oleh Maria Farida Indrati, di dalam Monika Su-hayati telah mengakibatkan hilangnya kewenangan MPR untuk membentuk Ketetapan yang berisi peraturan yang berlaku keluar. Hilangnya kewenangan untuk membentuk ketetapan yang mengatur keluar tersebut merupakan akibat adanya ketentuan Pasal 6A UUD 1945 yang menetapkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Pemilihan secara langsung oleh rakyat tersebut mempunyai akibat bahwa

presiden tidak lagi mempunyai kewajib-an untuk bertkewajib-anggungjawab menjalkewajib-an- menjalan-kan garis-garis besar daripada haluan negara yang ditetapkan oleh MPR, oleh karena presiden bukan lagi merupakan mandataris MPR.27 Pasca Perubahan UUD 1945, mengakibatkan MPR hanya

berwenang mengeluarkan putusan

yang berisi hal-hal bersifat penetapan (beschikking) dan mempunyai kekuatan

hukum mengikat kedalam MPR.

Sedangkan Ketetapan MPR/MPRS yang dinyatakan masih berlaku dan mem-punyai kekuatan hukum mengikat keluar diatur di dalam TAP MPR No:

I/MPR/2003, Tentang Peninjauan

kembali terhadap materi dan status hukum Ketetapan MPRS/MPR Tahun 1960-2002.

Menurut Jimly, di dalam Monika Suhayati setelah perubahan UUD 1945, pada hakekatnya MPR tetap dapat disebut sebagai suatu institusi yang tersendiri, meskipun kedudukannya tidak lagi bersifat tertinggi dikarenakan UUD 1945 menentukan MPR diten-tukan terdiri atas anggota DPR dan DPD, dan UUD 1945 juga menentukan adanya kewenangan MPR yang bersifat tersendiri maka mau tidak mau MPR juga harus dipahami sebagai suatu lembaga yang tersendiri. MPR masih diberi wewenang untuk memilih dalam rangka mengisi jabatan Presiden dan Wakil Presiden yang kosong, kewe-nangan memberhentikan Presiden dan/ atau Wakil Presiden, dan mengubah UUD. Hanya saja sifat pekerjaan MPR

27 Maria Farida S., Eksistensi Ketetapan

MPR Pasca Amandemen UUD 1945, Yuridika, Vol. 20 No. 1, Januari-Februari 2005, al. 54-55. Dalam Monika Suhayati Jurnal Ilmiah Hukum Negara Hukum, (Jakarta: Penerbit Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR-RI, 2011), Volume 2 No. 2, Nopember 2011, hal.192

(13)

tidak bersifat tetap dan terus-menerus, melainkan hanya bersifat Ad Hoc. 28 Perubahan kewenangan MPR setelah perubahan UUD 1945 diikuti dengan dikeluarkannya Ketetapan MPR/MPRS dari hierarki peraturan perundang-undangan berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2004. Ketentuan ini menempatkan undang-undang lang-sung berada dibawah UUD 1945

.

C. PENUTUP

Berdasarkan Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003, tentang Peninjauan ter-hadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS/MPR Tahun 1960-2002 masih terdapat beberapa Kete-tapan MPR/MPRS yang masih berlaku dan mempunyai kekuatan hukum mengikat. Oleh karena itu, menurut Monika Suhayati, (2011:2007) terbitnya UU Nomor 12 Tahun 2011, Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan memasukkan kembali Kete-tapan MPR/MRS dalam hierarki pera-turan perundang-undangan atas dasar Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003. Ketetapan MPR/ MPRS yang substansinya belum secara

keseluruhan digantikan dengan

Undang-Undang antara lain, tentang Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/ 1966 mengenani pembubaran Partai Komunis Indonesia, Ketetapan MPR Nomor: XVI/MPR/1998 Tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi, Ketetapan MPR Nomor:

28 Jimly Assiddiqie, Konstitusi dan

Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Konstitusi Press, 2006, hal. 174. Dalam Monika Suhayati Jurnal Ilmiah Hukum Negara Hukum, (Jakarta: Penerbit Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR-RI , 2011), hal.193

V/MPR/1999 tentang Penentuan Pen-dapat di Timor Timur. Sedangkan Kete-tapan MPR/MPRS yang sudah digan-tikan dengan undang-undang antara lain, Ketetapan MPR Nomor: XI/MPR/ 1998, Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme Ketetapan MPR Nomor: III/MPR/2000, Tentang Sumber Hu-kum dan Tata Urutan Perundang-Undangan; Ketetapan MPR Nomor

VI/MPR/2000, Tentang Pemisahan

Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.29

Saya sependapat dengan analisa Monika Suhayati (2011: 207-208), bahwa Ketetapan MPRS/MPR yang dimasukkan hierarki Peraturan Perun-dang-Undangan pada Pasal 7 ayat (1) UU. No. 12 Tahun 2011 apabila dikaji menurut teori Hans Nawiasky adalah tepat. Karena merupakan aturan dasar negara atau aturan pokok negara (staatsgrungezets) sebagaimana dengan batang tubuh UUD 1945, selain itu, Ketetapan MPRS/MPR sebelum peru-bahan UUD 1945 merupakan landasan pembentukan Undang-Undang (formeel

gezetz) dan peraturan lain yang lebih

rendah. Sehingga dengan adanya Kete-tapan MPR/MPRS juga merupakan aturan dasar negara atau aturan pokok negara (staatsgrundgezet) yang mana berkedudukan dibawah UUD 1945 dan di atas undang-undang.

Namun Menurut hemat penulis, setidaknya ada dua catatan tambahan. pertama, meski Ketetapan MPR sudah tepat dimasukkan di dalam hierarki Peraturan Perundang-Undangan, tetapi jika disimak dengan saksama akan berdampak kepada soal uji materi.

Lembaga negara manakah yang

berwenang menguji TAP MPR jika melanggar UUD 1945?

(14)

Kedua, meski pasca amandemen UUD 1945 kedudukan MPR mengalami pergeseran dari lembaga tertinggi nega-ra menjadi lembaga neganega-ra, bersebab, antara lain kewenangannya dipangkas secara signifikan tidak memilih presi-den lagi, namun dalam prakteknya, MPR tetap sebagai lembaga tertinggi negara. MPR selain dapat menghapus dan menambah sederetan lembaga-lembaga negara melalui perubahan UUD 1945, MPR yang berwenang mem-berhentikan presiden dan/atau wakil presiden setelah diputus oleh Mahka-mah Konstitusi (MK) bersalah melaku-kan pelanggaran hukum, baik penyua-pan, pengkhianatan terhadap negara atau melakukan perbuatan tercela. Dalam hal permasalahan ini saran penulis :

1. Jika Ketetapan MPR melanggar UUD 1945, Lembaga Negara yang berwenang melakukan uji materi idealnya MPR itu sendiri. Karena MPR yang mengeluarkan TAP MPR, MPR sendiri yang mengetahui isi kandungannya.

2. TAP MPR secara eksternal dapat mengikat keluar majelis karena TAP MPR bagian dari peraturan perun-dang-undangan.

3. TAP MPR sudah tepat dimasukkan di dalam hierarki peraturan perun-dang-undangan, mengingat TAP MPR amanat Pasal I Aturan Tam-bahan Undang-Undang Dasar Ne-gara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan: ”Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan Peninjauan ter-hadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawarat-an Rakyat Sementara dPermusyawarat-an Kete-tapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada Sidang Majelis Permusyawa-ratan Rakyat Tahun 2003”.

D. DAFTAR PUSTAKA

Alrasid, Harun. Naskah UUD 1945 sesudah empat kali diubah oleh MPR. Jakarta: Universitas Indo-nesia, 2003

Assiddiqie, Jimly. Pergumulan Pemerin-tah dan Parlemen Dalam Sejarah Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara. cet. 1. Jakarta: Universitas Indonesia, 1966

Assiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. cet. 1. Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata

Negara Fakultas Hukum

Universitas Indonesia, 2004

Assiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press, 2006 Admosudirdjo, Prajudi. Konstitusi

Indonesia Seri Konstitusi dalam

Bahasa Indonesia-Inggris.

Jakarta: Ghalia Indonesia, 1987 Garna, Judistira. Pemikiran Modern

dan Ilmu Pengetahuan Sosial. Bandung: Primaco Akademika, 1997

Indriati S., Maria Farida. Ilmu Perundang-Undangan (1) Jenis Fungsi dan Materi Muatan). Yogyakarta: Penerbi Kanisius, 2007

Indriati S., Maria Farida. Eksistensi

Ketetapan MPR Pasca

Amandemen UUD 1945. Yuridika. Vol. 20 No. 1, Januari-Februari 2005

(15)

Indrayana Denny. Amandemen UUD

1945: Antara Mitos dan

Pembongkaran, diterjemahkan

dari Denny Indrayana,

Indonesian Constitutional

Reformn 1999-2000: An

Evaluation of Contitutional-Making Transtition. Bandung: Penerbit Mizan, 2007

Joeniarto. Ilmu Hukum Tata Negara

dan sumber-sumber Hukum

Tata Negara. Yogyakarta:

Universitas Gajahmada, 1968 Kelsen, Hans. Teori Umum Tentang

Hukum dan Negara. Bandung: Penerbit Nusa Media, 2011

Mertokusumo, Sudikno dan Mr. A. Pitlo.

Bab-bab tentang Penemuan

Hukum. cet.1. Yogyakarta: Citra Aditya Bhakti, 1993

Mertokusumo,Sudikno. Penemuan

Hukum Sebuah Pengantar. cet.3. Yogyakarta: Liberty, 2004

Nasution, Adnan Buyung. Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia. (Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959), Jakarta: Temprint, 2001

Projodikoro Wirjono. Asas-asas Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat, 1989

Puspita Dewi, Rachmani. Kedudukan dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR-RI

setelah perubahan

Undang-Undang Dasar Republik

Indonesia Tahun 1945. Jurnal Hukum Pro Justitia. Volume 25 No. 4, Oktober 2007

Referensi

Dokumen terkait

Kerja TerampiJ dan Tanah Internasional 166 (Lanjutan) 138 Studi Kasus 6-3 Berbagai Keuntungan yang S.6C Pembalikan Intensitas Faktor Produksi 139 Didapatkan

znEíràsadaisÏ(weR jpe ivinyaeg>, znEíray A¼‚óa_ya< nm>, mNdgtye tjRnI_ya< nm>, Axae]jay mXyma_ya< nm>, saErye Anaimka_ya< nm>, zu:kaedray

Hal ini sejalan dengan teori yang menyatakan bahwa semakin tinggi debt atau total assets suatu perusahaan, maka akan semakin besar pula kemungkinan manajer

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Setijowati (2012) bahwa tidak ada hubungan bermakna antara vitamin C dengan status

Oleh karena itu, saya sebagai dosen penasehat akademik anda ingin mengingatkan kembali bahwa metode pembelajaran jarak jauh tidak jauh berbeda dengan sistem pembelajaran jarak

Lanjar.com sebagai media bisnis online di harapkan menjadi sarana pelaku bisnis UKM (Usaha Kecil dan Menengah) dan pebisnis online, yang diharapkan menjadi penopang yang

Dari 14 atribut yang dapat mempengaruhi tingkat kepuasan pelanggan, atribut yang paling mendekati harapan responden adalah kualitas produk, sebesar 98,27%, atribut yang melebihi

pengendalian sistem informasi penjualan dengan tujuan yang spesifik guna membantu pihak manajemen dalam mencapai tujuan bisnis perusahaan. Hero