• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAERAH PENYANGGA BERBASIS KEARIFAN LOKAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAERAH PENYANGGA BERBASIS KEARIFAN LOKAL"

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

(Studi Kasus di Dusun Senaru, Daerah Penyangga Taman Nasional

Gunung Rinjani-Nusa Tenggara Barat)

ULIL AMRI

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2010

(2)

(Studi Kasus di Dusun Senaru, Daerah Penyangga Taman Nasional

Gunung Rinjani-Nusa Tenggara Barat)

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Kehutanan Pada Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

ULIL AMRI

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2010

(3)

Ulil Amri. E34102009. Pemberdayaan Masyarakat Daerah Penyangga Berbasis Kearifan Lokal (Studi Kasus di Dusun Senaru, Daerah Penyangga Taman Nasional Gunung Rinjani-Nusa Tenggara Barat). Dibawah bimbingan : Prof. Dr. Ir. H. Sambas Basuni, MS.

Paradigma baru konservasi menuntut taman nasional untuk melakukan pengelolaan secara kolaboratif. Pengelolaan taman nasional harus melibatkan masyarakat sekitar, termasuk masyarakat di daerah penyangga. Dengan demikian tujuan pengelolaan taman nasional selain untuk kelestarian kawasan (konservasi), juga harus mencakup tujuan mensejahterakan masyarakat sekitarnya (ekonomi, sosial, budaya).

Dusun Senaru adalah salah satu pintu masuk utama ke kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani. Sebagai sebuah komunitas, yang telah hidup bersama dalam waktu yang lama, masyarakat Senaru telah memiliki nilai-nilai sosial budaya yang khas yang dijunjung tinggi oleh anggotanya. Nilai-nilai tersebut akan tampak pada praktek-praktek kehidupan masyarakat, mengatur hubungan antar manusia termasuk interaksi antara manusia dengan lingkungan sekitarnya, khususnya kawasan Gunung Rinjani.

Untuk mencapai tujuan pengelolaan taman nasional yang kolaboratif, maka perlu dipelajari sosial-budaya komunitas, serta menilai arif atau tidaknya praktek-praktek tradisional tersebut. Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi praktek-praktek tradisional yang berlaku dan aturan formal (eksternal) yang diberlakukan di masyarakat, menilai kearifannya dan mencari alternatif solusi pemberdayaan masyarakat sekitar Taman Nasional yang berbasis kearifan lokal tersebut.

Penelitian dilakukan selama April-Mei 2007. Penelitian dilakukan secara kualitatif dengan menggunakan metode wawancara mendalam, observasi lapang dan dilengkapi dengan penelusuran pustaka. Data kemudian dianalisis melalui tahapan reduksi, penyajian dan penyimpulan data.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa, praktek tradisional yang berlaku terutama adalah pola pembagian lahan menjadi hutan tutupan desa dan gawah, larangan menebang tanpa ijin melokaq, tereng kedengcor, serta upacara penghormatan terhadap alam.

Aturan formal yang diberlakukan adalah bahwa masyarakat harus mempertahankan bentuk kampung tradisional (Perda. No. 9 Tahun 1989), sertifikasi lahan (SK Kepala desa No. 208/02/Pem.I/2006), penghentian pembukaan lahan baru untuk kebun dan ladang (SK Kepala Desa No. 101/10/pem.I/2005), serta zona pemanfaatan khusus kultural (SK 99/IV/Set-3/2005).

Bentuk kearifan lokal yang direkomendasikan sebagai dasar pemberdayaan masyarakat Dusun Senaru adalah pola pembagian lahan, pola pengambilan hasil hutan oleh masyarakat dan pola berkebun dan berladang masyarakat.

Pendekatan pemberdayaan yang sesuai dengan kearifan lokal masyarakat adalah peningkatan pendapatan masyarakat melalui perbaikan teknik berkebun dan berladang dan pelibatan masyarakat dalam upaya pengamanan kawasan.

(4)

ULIL AMRI. Buffer Zone Community Empowerment Based on Indigenous Knowledge (Case Study in Senaru, Buffer zone of Gunung Rinjani National Park - West Nusa Tenggara). Advised by Prof. Dr. Ir. H. Sambas Basuni, MS

New paradigm of conservation requires the national park to conduct collaborative management. National park management must involve the communities surrounding, including communities in the buffer zone. Thus, the national park management objectives in addition to conserve this area should also include the community welfare purposes (economic, social, cultural).

Senaru is one of the main entrance to the area of Mount Rinjani National Park. As a community, who have been living together for a long time, Senaru community have a unique social and cultural values which upheld by its members. These values will appear in the practices of community life regulate relationships between people including the interaction between man and environment, especially the area of Mount Rinjani.

To achieve the collaborative management of national parks, then the socio-culture of the community needs to be studied and assess whether or not wise that traditional practices. This research was conducted to identify traditional practices that apply and formal rules (external) which applied on the community, to assess the wisdom and seek alternative solutions empowerment of communities around the national park which based on indigenous knowledge.

Research conducted during April-May 2007. Research done by qualitative with in-depth interview methods, field observations and equipped with a literature study. The data then analyzed through a reduction stage, presentation and data inference.

The results showed that traditional practices are particularly applicable wass distribution pattern of land into hutan tutupan desa and gawah, prohibitions cut without permission from melokaq, tereng kedengcor, memorial to nature, collecting forest products (wood, rattan, reeds, bamboo) only for the customary.

The formal rules that apply were the community must maintain a traditional village form (Perda. No. 9 of 1989), certification of land (SK Kepala desa No. 208/02/Pem.I/2006),termination of new land clearing for plantations and fields (SK Kepala Desa No. 101/10/pem.I/2005), and culturally specific utilization zone (SK 99/IV/Set-3/2005).

The forms of indigenous knowledge that recommended as the basis for community empowerment of Senaru were patterns of land distribution, the technique of collecting forest products and technique of community gardening and farming communities.

Empowerment approach in accordance with the community indigenous knowledge were community income through improved farming techniques and gardening and community involvement in national park protection efforts.

(5)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pemberdayaan Masyarakat Daerah Penyangga Berbasis Kearifan Lokal (Studi Kasus di Dusun Senaru, Daerah Penyangga Taman Nasional Gunung Rinjani-Nusa Tenggara Barat) adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2010

Ulil Amri E34102009

(6)

Nama :

NIM :

Menyetujui: Dosen Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS. NIP. 131411832

Mengetahui:

Dekan Fakultas Kehutanan IPB,

Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr. NIP. 196111261986011001

Tanggal Lulus:

Ulil Amri E 34102009

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia dan kasih sayang-Nya, sehingga penelitian dan penulisan skripsi ini berhasil diselesaikan. Skripsi dengan judul Pemberdayaan Masyarakat Daerah Penyangga Berbasis Kearifan Lokal (Studi Kasus di Dusun Senaru, Daerah Penyangga Taman Nasional Gunung Rinjani-Nusa Tenggara Barat) ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Ir. H. Sambas Basuni, MS selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan pengetahuan, bimbingan, arahan, dan nasehat berharga kepada penulis, mulai dari persiapan penelitian hingga terselesaikannya skripsi ini.

2. Ibunda, ayah dan adik penulis serta seluruh keluarga besar atas segala doa, kasih sayang, serta dorongan moral dan material kepada penulis.

3. Semua warga masyarakat Dusun Senaru atas kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk melaksanakan penelitian.

4. Keluarga besar Asrama Sylvasari atas persaudaraan, bantuan dan dukungannya. 5. Semua teman-teman di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan

Ekowisata, khususnya angkatan 39.

6. Seluruh teman-teman di Fakultas kehutanan IPB.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pembangunan kehutanan yang berkelanjutan dan lestari.

Bogor, Januari 2010

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Dompu pada tanggal 4 Januari 1984 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Bapak Taufikurrahman dan Ibu Zainabius. Pada tahun 1990 penulis menyelesaikan pendidikan formal di TK Bhayangkari Dompu dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan jenjang pendidikan di SDN 1 Dompu dan lulus pada tahun 1996. Pada tahun 1996 penulis melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 1 Mataram dan lulus pada tahun 1999. Penulis melanjutkan pendidikan ke SMU Negeri 5 Mataram pada tahun 1999 dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun 2002 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Fakultas Kehutanan, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah aktif pada organisasi Dewan Keluarga Musholla Ibaadurrahmaan tahun 2003-2005, Asean Forestry Student Association (2003-2004). Pada tahun 2005 penulis melakukan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di KPH Banyumas Barat dan Banyumas Timur Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Praktek Kerja Lapang (PKL) penulis lakukan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat pada tahun 2006.

Dalam rangka menyelesaikan studi di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian dan penyusunan skripsi dengan judul Pemberdayaan Masyarakat Daerah Penyangga Berbasis Kearifan Lokal (Studi Kasus di Dusun Senaru, Daerah Penyangga Taman Nasional Gunung Rinjani-Nusa Tenggara Barat) di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. H. Sambas Basuni, MS.

(9)

DAFTAR ISI

Halaman KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... BAB I PENDAHULUAN... 1.1 Latar Belakang... 1.2 Kerangka Pemikiran... 1.3 Rumusan Masalah... 1.4 Tujuan Penelitian... 1.5 Manfaat Penelitian... BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 2.1 Taman Nasional... 2.2 Daerah Penyangga... 2.3 Pemberdayaan Masyarakat disekitar Kawasan Konservasi... 2.4 Masyarakat Tradisional……….. BAB III METODOLOGI PENELITIAN...

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian... 3.2 Jenis Data... 3.3 Bahan dan Alat ... 3.4 Metode Pengumpulan Data... 3.5 Analisis Data... BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN...

4.1 Lokasi Penelitian... 4.2 Kondisi Fisik... 4.3 Aksesibilitas... 4.4 Sarana dan Prasarana... 4.5 Kependudukan... BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN...

5.1 Masyarakat Adat Senaru... 5.2 Pemanfaatan Sumberdaya Alam...

i iii v vi 1 1 2 5 5 5 6 6 7 12 14 18 18 18 18 19 20 21 21 21 22 22 22 24 24 25

(10)

5.3 Aturan Formal dan Informal... 5.4 Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Kearifan Lokal... BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 6.1 Kesimpulan... 6.2 Saran... DAFTAR PUSTAKA... 29 36 40 40 40 41

(11)

DAFTAR TABEL

No Halaman 1. Tujuan normatif pengelolaan Taman Nasional... 2. Peranan pengetahuan lokal... 3. Praktek-praktek tradisional masyarakat Dusun Senaru... 4. Penilaian terhadap aturan formal dan informal...

7 17 31 34

(12)

DAFTAR GAMBAR

No Halaman 1. Alur penelitian... 2. Peta lokasi penelitian... 3. Dusun adat Senaru... 4. Ladang... 5. Kebun... 6. Sapi yang dilepas di kebun... 7. Bentuk bantuan yang diterima masyarakat... 8. Tahapan pemberdayaan... 4 21 24 27 27 28 33 39

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Paradigma baru konservasi menuntut taman nasional untuk melakukan pengelolaan secara kolaboratif. Pengelolaan taman nasional harus melibatkan masyarakat sekitarnya, termasuk masyarakat di daerah penyangga. Dengan demikian tujuan pengelolaan taman nasional selain untuk kelestarian kawasan (konservasi), juga harus mencakup tujuan mensejahterakan masyarakat sekitarnya (ekonomi, sosial, budaya). Tujuan tersebut bisa diupayakan melalui program-program pemberdayaan masyarakat daerah penyangga.

Perhatian terhadap aspek sosial budaya dan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan konservasi tertuang dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang menyatakan bahwa pengelolaan kawasan konservasi (Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam, dan Taman Buru) diarahkan kepada pemanfaatan yang bersifat multi-fungsi, dengan memperhatikan aspek ekologis, ekonomi, sosial dan budaya, serta dengan melibatkan dan mengutamakan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan konservasi. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, juga menyatakan bahwa rencana pengelolaan kawasan pelestarian alam disusun berdasarkan kajian aspek-aspek ekologis, teknis, ekonomis dan sosial budaya. Dalam pengelolaan taman nasional, hal ini ditegaskan dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 03/MENHUT-II/2007 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional, yang menyatakan bahwa Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah mempunyai tugas salah satunya adalah melakukan pelayanan dan pemberdayaan masyarakat.

Dusun Senaru adalah salah satu pintu masuk utama ke kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani. Sebagai sebuah komunitas, yang telah hidup bersama dalam waktu yang lama, masyarakat Senaru telah memiliki nilai-nilai sosial budaya yang khas yang dijunjung tinggi oleh anggotanya. Nilai-nilai tersebut akan tampak pada praktek-praktek kehidupan masyarakat, mengatur hubungan antar

(14)

manusia termasuk interaksi antara manusia dengan lingkungan sekitarnya, khususnya kawasan Gunung Rinjani.

Agar kelestarian taman nasional dan kesejahteraan masyarakat bisa tercapai, maka program pemberdayaan harus dilakukan dengan memperhatikan sosial-budaya masyarakat. Menurut Muller (2006), setiap kesosial-budayaan, bagaimanapun juga isinya dinilai, menyediakan suatu kerangka orientasi yang merupakan hasil proses sejarah yang lama, yang memberi makna pada kehidupan serta mengarahkan tingkah laku dan tindakan orang yang hidup di dalamnya. Dipandang dari sudut itu, setiap kebudayaan adalah sesuatu yang amat berharga, yang pada dasarnya tak tergantikan dan sepatutnya dilindungi. Penalaran itu diperkuat oleh pengamatan bahwa pembongkaran tradisi tanpa ganti yang setara membuka kevakuman budaya dengan dampak-dampak sosial yang berbahaya. Akhirnya dipandang dari sudut pragmatis-politis pun sangat masuk akal untuk sedapat mungkin menyambung pada budaya tradisional, bukan saja karena kebijakan pembangunan yang tidak peduli pada faktor itu biasanya gagal, tetapi juga karena setiap budaya mengandung potensi positif bagi perkembangan masyarakat.

Dengan demikian, tugas pemberdayaan masyarakat yang harus dilakukan oleh Taman Nasional harus memperhatikan aspek sosial budaya masyarakat tersebut. Nilai-nilai positif dalam masyarakat harus dipergunakan untuk membantu tercapainya tujuan pemberdayaan.

1.2 Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran penelitian didasarkan pada sasaran utama yaitu pemberdayaan berbasis kearifan lokal. Untuk itu perlu dilakukan telaah terhadap praktek-praktek tradisional yang berlaku dan aturan-aturan formal yang diberlakukan di masyarakat. Selanjutnya, praktek-praktek tradisional tersebut, dinilai arif dan tidaknya dalam mendukung program pemberdayaan masyarakat.

Untuk Mengukur kearifan praktek tradisional yang ada, digunakan enam nilai universal kemanusiaan, yaitu (Kasper dan Streit, 1998):

1. Freedom (kebebasan). Kebebasan (freedom) berarti bahwa individu-individu dapat menikmati suatu suasana otonomi yang aman untuk mengejar

(15)

tujuan-tujuan pilihan mereka sendiri, suatu domein dimana mereka berada dalam pengendalian keputusan-keputusannya tetapi tentu saja dalam gugus pembatas-pembatas oleh kondisi-kondisi fisik-teknis dan sosial ekonomi, terutama kelembagaan-kelembagaan yang membantu melindungi kebebasan yang lainnya. Kebebasan tanpa pembatas aturan-aturan akan menjadi izin/lisensi (license), dan izin/lisensi yang tidak terelakan menghancurkan kerukunan sosial dan kerjasama yang efektif.

2. Justice (keadilan). Keadilan (justice), yang berarti bahwa orang dalam lingkungan yang sama diperlakukan secara sama dan pengendalian-pengendalian ditempatkan pada semua dalam ukuran yang sama, tidak mempedulikan (irrespective) kelas atau orang. Dalam praktek, ini sering berhubungan dengan permintaan untuk negara/norma hukum (the rule of law) daripada aturan orang (sembarangan) (the arbitrary rule of men). Macam keadilan prosedural (formal) ini berhubungan dengan kesamaan (equity), yaitu bahwa semua memiliki kesempatan untuk mengejar gugus tujuannya sendiri tanpa rintangan buatan. Beberapa pengamat menetapkan (stipulate) interpretasi yang berbeda dari keadilan dan kesamaan, yang menyatakan secara tidak langsung (implying) beberapa derajat kesamaan outcome-oucome dengan mengabaikan posisi awalnya, nasib atau usaha.

3. Security (keamanan). Keamanan (security), yang adalah kepercayaan bahwa orang akan dapat menikmati kehidupan dan kebebasan mereka memasuki masa mendatang tanpa mengalami kekerasan dan interferensi yang tak semestinya (undue) dan perubahan-perubahan yang tidak diharapkan dan tidak dikelola dalam lingkungannya. Ini dapat menunjuk pada apresiasi personal seseorang mengenai keamanan atau apresiasi pengamat dari keamanan orang lain. Beberapa pengamat, walaupun yang pasti (decidedly) bukan kebanyakan pengarang buku ini, memberikan pengertian yang berbeda pada keamanan, yang berhubungan dengan perlindungan posisi-posisi sosial ekonomi yang diperoleh dalam menghadapi perubahan dan tantangan.

4. Peace (kedamaian). Kedamaian (peace), yang adalah tidak adanya konflik (strife) dan kekerasan yang diakibatkan agen-agen kuat, baik dalam komunitas (kedamaian internal) maupun dari luar (kedamaian eksternal). Kedamaian

(16)

berhubungan sangat dekat dengan keamanan menurut pengertian pertama dalam paragraf di atas tetapi tidak dengan keamanan dalam pengertian perlindungan posisi-posisi sosial ekonomi yang diperoleh.

5. Welfare (kesejahteraan). Kesejahteraan ekonomi (atau kesejahteraan), berhubungan dengan aspirasi-aspirasi untuk perbaikan (betterment) material dan untuk beberapa ukuran keamanan material yang diperoleh sepanjang waktu

6. Conservation (konservasi). Lingkungan alam dan buatan yang pantas didiami (livable), ini adalah nilai lain yang kebanyakan orang menginginkannya. Ini mungkinn dipertimbangkan sampai batas-batas tertentu sebagai bagian dari keamanan (misalnya, untuk menghindari bencana (catasthrope) lingkungan di masa depan yang dapat membahayakan kesejahteraan (wellbeing). Para pengamat lain, walaupun bukan pengarang buku ini, mendalilkan (postulate) pengawetan (preservation) lingkungan sebagai tujuan absolut, yang harus didahulukan daripada aspirasi-aspirasi manusia.

Gambar 1 Alur penelitian Aturan informal Praktek-praktek tradisional Arif/ tidak? Ya Aturan formal Perubahan praktek yang arif Tidak Nilai universal kemanusiaan Tidak Ya Rekayasa teknologi/ sosial Pemberdayaan berbasis kearifan lokal

(17)

1.3 Rumusan Masalah

Masyarakat sekitar hutan dalam berinteraksi dengan hutan melahirkan praktek-praktek tradisional yang melekat dengan sosial-budayanya. Untuk memberdayakan masyarakat tersebut, perlu disesuaikan dengan praktek-praktek tradisional yang telah ada. Tapi menurut Muller (2006) setiap kebudayaan bermuka dua. Oleh karena itu perlu diteliti sejauh mana praktek-praktek tradisional tersebut dapat dipakai sebagai dasar pemberdayaan. Masalah yang diajukan dalam penelitian ini, adalah:

1. Apa praktek-praktek tradisional yang berlaku di masyarakat Dusun Senaru dan peraturan-peraturan formal apa yang diberlakukan?

2. Apakah praktek-praktek tradisional yang berlaku dan peraturan-peraturan formal yang diberlakukan tersebut dapat dikatakan arif?

3. Bagaimana pemberdayaan masyarakat Dusun Senaru berbasis kearifan lokal dapat diwujudkan?

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengidentifikasi praktek-praktek tradisional yang berlaku dan aturan formal (eksternal) yang diberlakukan di masyarakat

2. Menilai kearifan praktek-praktek tradisional yang berlaku dan aturan formal (eksternal) yang diberlakukan di masyarakat

3. Mencari alternatif solusi pemberdayaan masyarakat sekitar Taman Nasional yang berbasis kearifan lokal

1.5 Manfaat Penelitian

Memberi gambaran mengenai kearifan yang ada pada masyarakat serta bagaimana praktek tersebut bisa mendukung pemberdayaan masyarakat sekitar taman nasional.

(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Taman Nasional

2.1.1 Definisi taman nasional

Taman Nasional adalah suatu kawasan yang diperuntukkan bagi perlindungan kawasan alami dan berpemandangan indah yang penting, secara nasional dan internasional serta memiliki nilai bagi pemanfaatan ilmiah, pendidikan dan rekreasi. Kawasan alami ini relatif luas, materinya tidak diubah oleh kegiatan manusia serta pemanfaatan sumberdaya tambang tidak diperkenankan (MacKinnon, 1993).

Basuni (1987) menyatakan, bahwa taman nasional merupakan kawasan konservasi di darat atau di laut yang memiliki ciri-ciri keaslian dan keanekaragaman ekosistem yang khas karena flora dan fauna atau geomorfologis dan atau budaya, memiliki nilai keindahan yang secara keseluruhan menyangkut kepentingan dan merupakan warisan kekayaan alam nasional atau internasional, dikelola untuk tujuan pengawetan sumberdaya alam, penelitian, pendidikan lingkungan, turisme dan rekreasi.

Undang undang Republik Indonesia no. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya pasal 1 ayat 14 menyebutkan bahwa taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi.

2.1.2 Tujuan pengelolaan

Miller (1978) dalam Basuni (1987) secara terinci menyebutkan 10 tujuan pengelolaan taman nasional yang relevan dengan pembangunan ekonomi regional, sosial dan pengelolaan lingkungan adalah seperti tertera dalam Tabel 1.

(19)

Tabel 1 Tujuan normatif pengelolaan Taman Nasional No Tujuan Normatif Pengelolaan Taman

Nasional

Keterkaitan dengan Pengelolaan

1 Memelihara contoh yang mewakili unit-unit biotik utama untuk melestarikan fungsinya dalam ekosistem

Utama, diterapkan untuk seluruh areal taman nasional

2 Memelihara keanekaragaman ekologis dan hukum lingkungan

Utama, diterapkan untuk seluruh areal taman nasional

3 Memelihara sumberdaya genetik (plasma nutfah)

Utama, diterapkan untuk seluruh areal taman nasional

4 Memelihara obyek, struktur dan tapak peninggalan/warisan kebudayaan

Utama, diterapkan untuk seluruh areal taman nasional

5 Melindungi keindahan panorama alam Utama, tetapi terbatas pada sebagian areal taman nasional

6 Menyediakan fasilitas pendidikan, penilitian dan pemantauan lingkungan di dalam areal alamiah

Utama, tetapi terbatas pada sebagian areal taman nasional

7 Menyediakan fasilitas rekreasi dan turisme Utama, tetapi terbatas pada sebagian areal taman nasional

8 Mendukung pembangunan/pengembangan daerah pedesaan dan penggunaan lahan marginal secara rasional

Utama, tetapi dicapai sesuai dengan tujuan-tujuan lainnya

9 Memelihara produksi daerah aliran sungai Penting, dan dicapai dalam kaitannya dengan tujuan-tujuan lain yang sesuai 10 Mengendalikan erosi dan pengendapan

(sedimentasi) serta melindungi investasi daerah hilir

Penting, dan dicapai dalam kaitannya dengan tujuan-tujuan lain yang sesuai

Sumber : Miller (1978)

2.2 Daerah Penyangga 2.2.1 Pengertian dan fungsi

Daerah penyangga mempunyai fungsi untuk menjaga Kawasan Suaka Alam dan atau Kawasan Pelestarian Alam dari segala bentuk tekanan dan gangguan yang berasal dari luar dan atau dari dalam kawasan yang mengakibatkan perubahan dan atau perubahan fungsi kawasan. Dalam Peraturan

(20)

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 1998 Pasal 56 ayat 2, penetapan untuk daerah penyangga adalah :

1. Secara geografis berbatasan dengan kawasan suaka alam dan atau pelestarian alam.

2. Secara ekologis masih mempunyai pengaruh baik dari dalam maupun dari luar kawasan suaka alam dan atau pelestarian alam.

3. Mampu menangkal segala macam gangguan baik dari dalam maupun dari luar kawasan suaka alam dan atau pelestarian alam.

Menurut Basuni (2003), fungsi daerah penyangga adalah : 1. Daerah penyangga sebagai perluasan habitat kawasan konservasi. 2. Daerah penyangga sebagai pelindung fisik kawasan konservasi . 3. Daerah penyangga sebagai sumber pendapatan masyarakat.

Menurut MacKinnon (1993), daerah pengangga adalah suatu daerah yang mengelilingi taman nasional ataupun diluar kawasan konservasi lainnya yang dibatasi penggunaannya untuk memberikan perlindungan terhadap taman nasional, selain itu ditujukan pula untuk menggantikan kehilangan hubungan masyarakat dengan hutan dalam hal ini adalah pengambilan hasil hutan di dalam taman nasional akibat ketatnya pengaturan perlindungan dan pelestarian alam.

2.2.2 Bentuk dan tipe daerah penyangga

Menurut Alikodra (1982) dalam Samsudin (2005), daerah penyangga berdasarkan permasalahan dan tujuan peruntukannya adalah :

1. Penyangga sosial, yaitu sebidang tanah yang ditanami untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, seperti kayu bakar, kayu pertukangan, rumput, rambana, tanaman obat dan sebagainya, termasuk intensifikasi penggunaan lahan dan kegiatan penyuluhan.

2. Penyangga untuk perluasan habitat satwa maupun tumbuhan liar, seperti hutan wisata, taman buru, hutan lindung, hutan dengan tebang pilih, ataupun bentuk fisik seperti pemagaran ataupun pembuatan galian.

Selanjutnya Alikodra (1986), mengemukakan bahwa berdasarkan sistem pengolahannya daerah penyangga dapat berbentuk:

(21)

1. Zona pemanfaatan tradisional didalam kawasan taman nasional, dengan batasan – batasan pemanfaatan atau penggunaan yang ketat.

2. Zona yang berada diluar taman nasional, bertujuan untuk menghasilkan kayu bakar, kayu perkakas, satwaliar, dan tumbuh – tumbuhan ataupun buah – buahan hutan.

3. Hutan tanaman, berlokasi di luar batas taman nasional tetapi merupakan kawasan hutan. Bertujuan untuk menghasilkan kayu yang diperlukan masyarakat desa. Jika memungkinkan juga dikembangkan penanaman hijauan makanan ternak dan tanaman obat – obatan.

4. Zona Pembinaan Sosial Ekonomi yang berada di daerah pemukiman penduduk di luar taman nasional.

Menurut Suratmo (1983) dalam Samsudin (2005), daerah penyangga berdasarkan sistem pengelolaannya dibedakan menjadi dua tipe, yaitu :

1. Tipe daerah penyangga produktif (Productive buffer zone), yaitu daerah penyangga yang menghasilkan sesuatu untuk masyarakat.

2. Tipe daerah penyangga tidak produktif (Non productive buffer zone), yaitu daerah yang tidak menghasilkan sesuatu untuk masyarakat di daerah tersebut. Daerah penyangga tipe ini biasanya digunakan untuk :

a. Mencegah keluarnya satwa dari areal konservasi. b. Mencegah masuknya ternak kedalam areal konservasi. c. Meredam gangguan suara dari luar areal konservasi.

d. Mencegah gangguan gas racun dari luar areal konservasi, dan kegunaan – kegunaan lainnya.

MacKinnon (1993) membedakan daerah penyangga menjadi empat tipe, yaitu :

1. Zona Pemanfaatan Tradisional. Ada situasi dimana tidak ada tanah yang cocok di luar kawasan konservasi untuk ditetapkan sebagai daerah penyangga serta lebih disukai untuk mengijinkan pengumpulan produk alam tertentu dari beberapa bagian kawasan konservasi atau pada waktu – waktu tertentu di dalam kawasan konservasi, daripada menjadikan lahan yang bernilai penting sebagai daerah penyangga. Kegiatan yang diperkenankan didalam tipe daerah penyangga ini termasuk misalnya perburuan tradisional, pengumpulan getah,

(22)

pengumpulan damar, dan buah – buahan, serta penangkapan ikan tanpa racun atau bahan peledak.

2. Pengangga Hutan. Tipe daerah penyangga ini termasuk hutan kayu bakar atau kayu bahan bangunan yang terletak diluar batas kawasan konservasi tetapi tanah negara, dapat berupa hutan alam, hutan sekunder yang diperkaya, atau bahkan perkebunan untuk dipergunakan oleh penduduk desa setempat.

3. Penyangga Ekonomi. Tipe daerah ini diperlukan untuk mengurangi keperluan masyarakat desa dari pengambilan sumberdaya dari dalam kawasan konservasi. Penyangga ini dapat berbentuk bantuan khusus pertanian, sosial atau komunikasi atau lahan produktif, perkebunan terkendali di daerah penyangga dekat kawasan konservasi.

4. Rintangan Fisik. Bila tidak tersedia tanah bagi pengembangan daerah penyangga, maka batasan kawasan itu sendiri harus berfungsi sebagai penyangga. Kadang – kadang diperlukan juga rintangan fisik berupa selokan, kanal, pagar tembok atau kawasan berduri. Dalam beberapa kasus, yang diperlukan hanyalah batas yang jelas terlihat seperti sebaris atau jalur tipis pohon – pohon yang mencolok sebagai batas hidup.

2.2.3 Karakteristik daerah penyangga

Berdasarkan Wind dalam Basuni (2003), karakteristik daerah penyangga adalah kualitas atau nilai dari daerah penyangga yang dinyatakan dalam satuan – satuan yang dapat diukur. Karakteristik daerah penyangga ini dapat dimanfaatkan sebagai objek. Dua karakteristik khusus daerah penyangga, yaitu :

1. Kapasitas daerah penyangga sebagai rintangan (barrier capacity), yaitu karakteristik daerah penyangga untuk membatasi pengaruh – pengaruh buruk dari kawasan konservasi terhadap daerah sekelilingnya.

2. Kapasitas daerah penyangga sebagai sumberdaya (resources buffer capacity), yaitu karakteristik daerah penyangga untuk memasok hasil bumi untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari penduduk setempat.

Menurut Basuni (2003), berdasarkan dua karakteristik daerah penyangga tersebut, keefektifan proteksi suatu daerah penyangga terhadap biodiversitas kawasan konservasi dapat dilihat dari fenomena :

(23)

1. Adanya atau tidak adanya invasi jenis tumbuhan atau hewan dari luar kawasan, dan sebaliknya.

2. Adanya atau tidak adanya aktivitas manusia yang secara langsung menimbulkan gangguan terhadap kawasan konservasi.

Lebih lanjut Wind dalam Basuni (2003), menyebut bawa kapasitas rintangan daerah penyangga dapat berupa rintangan fisik alami maupun buatan seperti :

1. Rintangan ekologis,

2. Rintangan hukum dan peraturan, 3. Rintangan pelaksanaan hukum, 4. Rintangan ekonomis, dan

5. Rintangan sosial budaya kepercayaan.

Kapasitas penyangga sumberdaya dapat berupa produksi tanaman keras, tanaman pangan dan hortikultura, bahkan hasil hutan berupa kayu maupun non kayu, tergantung pada tipe daerah penyangga.

2.2.4 Pembinaan daerah penyangga

Dalam Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1998 pasal 57 secara khusus mengatur tentang pembinaan daerah penyangga. Untuk membina fungsi daerah penyangga, pemerintah melakukan :

1. Peningkatan pemahaman masyarakat terhadap konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.

2. Peningkatan pengetahuan dan keterampilan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

3. Rehabilitasi lahan.

4. Peningkatan produktivitas lahan.

5. Kegiatan lain yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Berdasarkan Kementrian Negara dan Lingkungan Hidup, (1986) dalam Samsudin (2005), secara keseluruhan, pembangunan daerah penyangga taman nasional bertujuan untuk :

(24)

2. Mengembangkan sistem jasa yang berkaitan dengan kegiatan pengelolaan taman nasional.

3. Mengembangkan jenis – jenis kebutuhan pokok yang berasal dari kawasan taman nasional dengan mengembangkan pola budidaya yang baik untuk satwa, ikan, maupun tumbuhan.

4. Meningkatkan produktivitas lahan melalui usaha tani yang intensif.

5. Meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat terhadap kegiatan pengembangan taman nasional.

6. Meningkatkan pola hubungan dengan wilayah disekitarnya.

2.3 Pemberdayaan Masyarakat disekitar Kawasan Konservasi

Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P. 49/Menhut-II/2008 Tentang Hutan Desa, pemberdayaan masyarakat setempat adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat setempat untuk mendapatkan manfaat sumberdaya hutan secara optimal dan adil melalui pengembangan kapasitas dan pemberian akses dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat.

Tujuan pemberdayaan yaitu, terciptanya masyarakat yang mau dan mampu mengembangkan kreativitas yang bertumpu pada potensi sosial, budaya dan lingkungan yang mereka miliki guna mendukung kelangsungan pembangunan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dalam rangka peningkatan kesejahteraannya (Basuki, 2004)

Berdasarkan Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya dalam pasal 37 ayat 1 disebutkan bahwa peran serta masyarakat dalam konservasi sumbedaya alam hayati dan ekosistemnya diarahkan dan digerakkan oleh pemerintah melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan behasil guna. Lebih lanjut Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyebutkan bahwa pengelolaan kawasan konservasi (Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam, dan Taman Buru) diarahkan kepada pemanfaatan yang bersifat multi-fungsi, dengan memperhatikan aspek ekologis, ekonomi, sosial dan budaya, serta dengan melibatkan dan mengutamakan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan konservasi.

(25)

Pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi, adalah segala upaya yang bertujuan untuk terus meningkatkan keberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi, untuk memperbaiki kesejahteraannya dan meningkatkan partisipasi mereka dalam segala kegiatan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, secara berkelanjutan (Basuki, 2004).

Pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi bukan sekedar untuk menghentikan terjadinya perusakan sumberdaya hutan dan ekosistemnya saja, tetapi diarahkan sebagai upaya untuk memberikan kesempatan, kemudahan dan fasilitasi terhadap masyarakat yang tinggal di sekitarnya, agar mereka secara mandiri mau dan mampu mengembangkan kesadaran, pengetahuan dan keterampilannya, guna memanfaatkan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya untuk sebesar-besar kemakmurannya, dengan senantiasa memperhatikan upaya pelestarian (ekologi, ekonomi dan sosial budaya) sumberdaya alam, dan lingkungan hidupnya (Basuki, 2004).

Prinsip yang digunakan sebagai kebijakan dasar dalam pemberdayaan masyarakat sesuai dengan Permenhut No. P.01/Menhut-II/2004, pasal 5 yaitu:

1. Penciptaan suasana iklim yang memungkinkan berkembangnya potensi masyarakat,

2. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat,

3. Melindungi masyarakat melalui keberpihakan kepada masyarakat untuk mencegah persaingan yang tidak sehat

Kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan hendaknya diprioritaskan pada (Basuki, 2004):

1. Lokasi dimana masyarakat mempunyai ketergantungan yang tinggi terhadap kawasan dan sumber daya alam yang ada

2. Lokasi di dalam dan berbatasan langsung dengan kawasan konservasi (Taman Nasional dan KSDA).

3. Masyarakat yang belum pernah mendapatkan bantuan.

Terhadap kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan diluar kawasan konservasi, maka perlu dipedomani hal-hal sebagai berikut (Basuki, 2004):

(26)

1. Diarahkan semaksimal mungkin kegiatan pengembangan dilakukan diluar kawasan konservasi.

2. Kegiatan yang dapat dilakukan berupa budidaya, penangkaran, dan pembuatan sarana produksi yang dinilai sudah benar

Jenis kegiatan yang dapat dikembangkan dalam rangka pemberdayaan masyarakat (Basuki, 2004):

1. Pelestarian sumber daya alam melalui bentuk kegiatan : Budidaya flora dan fauna, Penangkaran flora dan fauna, Pembuatan Demplot (kebun bibit), dll.

2. Penyadaran masyarakat melalui bentuk kegiatan : Pelatihan dan Fasilitasi, antara lain Pelatihan Budidaya, Pelatihan Ketrampilan masyarakat, kepramukaan, pencegahan kebakaran hutan, dll.

3. Perlindungan dan pengamanan hutan melalui bentuk kegiatan : pembentukan PAM swakarsa, pembentukan masyarakat peduli api, dll 4. Pengembangan usaha tani melalui bentuk kegiatan : Agroforestry,

Intensifikasi Pekarangan, Pengembangan tanaman MPTs (Coklat, Bambu, Sengon, Karet, Kemiri, dll),

5. Pengembangan ekowisata melalui bentuk kegiatan : pengembangan desa wisata, home stay, home industry, kerajinan tangan, etalase, warung, peralatan camping, dll.

2.4 Masyarakat Tradisional 2.4.1 Definisi masyarakat adat

Menurut definisisi yang diberikan oleh UN Economic and Sosial Council, masyarakat adat atau tradisional adalah suku-suku dan bangsa yang karena mempunyai kelanjutan historis dengan masyarakat sebelum masuknya penjajah di wilayahnya, menganggap dirinya berbeda dari kelompok masyarakat lain yang hidup di wilayah mereka.

Ada beberapa ciri yang membedakan masyarakat adat dari kelompok masyarakat lain. Pertama, mereka mendiami tanah-tanah milik nenek moyangnya, baik seluruhnya atau sebagian. Kedua mereka mempunyai garis keturunan yang sama, yang berasal dari penduduk asli daerah tersebut. Ketiga, mereka

(27)

mempunyai budaya yang khas, yang menyangkut agama, sistem suku, pakaian, tarian, cara hidup, peralatan hidup sehari-hari, termasuk untuk mencari nafkah. Keempat , mereka mempunyai bahasa tersendiri. Kelima, biasanya hidup terpisah dari kelompok masyarakat lain dan menolak atau bersikap hati-hati terhadap hal-hal baru yang berasal dari luar komunitasnya (Keraf, 2002).

2.4.2 Budaya masyarakat tradisional

Menurut Nugraha dan Murtijo(2005), perlu kiranya upaya penguatan sistem tata nilai budaya masyarakat desa hutan yang arif. Konstruksi kearifan tradisional dari sistem nilai budaya masyarakat desa hutan harus segera direvitalisasi, disosialisasikan, dan diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Rekonstruksi dan revitalisasi sistem tatanilai budaya arif masyarakat desa hutan dapat dilakukan dengan mengidentifikasi keseluruhan sistem tata nilai masyarakat yang bersumber dari para tetua adat. Setelah diinventarisir kemudian dipilih dari bermacam tatanilai adat yang arif dan masih relevan dengan tata nilai budaya sekarang serta mampu memecahkan persoalan masyarakat desa hutan saat ini. Hasil pilihan kegiatan inventarisasi sistem tata nilai budaya tersebut kemudia di sosialisasikan kepada segenap komponen masyarakat desa hutan, khususnya generasi muda sebagai penerus budaya masyarakat desa hutan. Sedangkan untuk aplikasi sistem tata nilai budaya masyarakat desa hutan dapat dilakukan dengan menempatkan sistem tata nilai tersebut sebagai pedoman dan pegangan hidup.

Kearifan budaya masyarakat desa hutan harus tetap dipertahankan, jika perlu dikembangkan dengan mengakulturasikan sistem tata nilai modern yang arif dengan sistem tata nilai budaya masyarakat sebagai identitas bersama.

Sistem budaya arif masyarakat desa hutan yang bisa diakulturasikan dengan konsep-konsep positif modernisasi adalah (1) pelibatan kelembagaan lokal, (2) pengadosian tata nilai arif masyarakat (kearifan tradisional), (3) optimalisasi potensi sumberdaya hutan yang didasarkan pada karakteristik setempat.

2.4.3 Definisi kearifan tradisional

Menurut Keraf (2002) yang dimaksud dengan kearifan tradisional adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman, atau wawasan serta adat

(28)

kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Jadi, kearifan tradisional ini bukan hanya menyangkut pengetahuan dan pemahaman masyarakat adat tentang manusia dan bagaimana relasi yang baik antara manusia, melainkan juga menyangkut pengetahuan, pemahaman adat dan kebiasaan tentang manusia, alam, dan bagaimana relasi diantara semua penghuni komunitas ekologis ini harus dibangun.

Seluruh kearifan tradisional ini dihayati, dipraktikkan, diajarkan, dan diwariskan dari satu generasi ke generasi lain yang sekaligus membentuk pola perilaku manusia sehari-hari, baik terhadap sesama manusia maupun terhadap alam dan Yang Gaib. Ini menunjukan bahwa, pertama, kearifan tradisional adalah milik komunitas. Tidak ada pengetahuan atau kearifan tradisional yang bersifat individual. Kedua, kearifan tradisional lebih bersifat praksis, atau ” pengetahuan bagaimana”. Pengetahuan dan kearifan masyarakat adat adalah pengetahuan bagaimana hidup secara baik dalam komunitas ekologis, sehingga menyangkut bagaimana berhubungan secara baik dengan semua isi alam. Ketiga, kearifan tradisional bersifat holistik, karena menyangkut pengetahuan dan pemahaman tentang seluruh kehidupan dengan segala relasinya di alam semesta. Keempat, berdasarkan kearifan tradisional dengan ciri seperti itu, masyarakat adat juga memahami semua aktifitasnya sebagai aktivitas moral. Kelima, kearifan tradisional bersifat lokal, karena terkait dengan tempat yang partikular dan kongkret. Tetapi karena manusia dan alam bersifat universal, kearifan dan pengetahuan tradisional dengan tidak direkayasa pun menjadi universal pada dirinya sendiri (Keraf, 2002).

2.4.4 Peran pengetahuan lokal

Dalam rangka siklus pengembangan masyarakat, pengetahuan lokal berperan dalam seluruh langkah dari program pengembangan (Tabel 2).

(29)

Tabel 2 Peranan pengetahuan lokal. Langkah Peranan pengetahuan Lokal

Penilaian Penilaian secara situasional mencakup masukan dan analisa dari anggota komuniti lokal. Bagaimana presepsi komuniti lokal (informasi secara taksonomi) dari ekonomi lokal, sosial, dan lingkungan lebih jelas bila dipandang dari sudut pengetahuan lokal

Perencanaan Perencanaan memasukan ketepatan waktu dalam pelaksanaan, ini harus disinergikan dengan kalender musim dari komuniti lokal, bagaimana ketersediaan tenaga kerja lokal, kejadian-kejadian khusus dan peran dari pranata lokal

Penerapan Dalam penerapan memerlukan partisipasi dari komuniti lokal khususnya dalam adaptasi dengan peningkatan praktek-praktek program. Metode-metode lokal kadang dipakai guna ketepatan dan kesesuaian dengan situasi yang ada

Monitoring dan evaluasi

Dampak-dampak terhadap indicator lokal menjadi acuan yang sangat berarti gabi keberhasilan suatu program

(30)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Dusun Senaru, Desa Senaru, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Barat, Propinsi Nusa Tenggara Barat selama bulan April-Mei 2007. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan dengan teknik purposive sampling, dengan pertimbangan pentingnya kedudukan Dusun senaru sebagai salah satu pintu masuk ke kawasan taman nasional, dan karena Dusun Senaru adalah salah satu dusun adat yang masih dipertahankan oleh pemerintah daerah, sehingga diduga masih ada praktek-praktek tradisional dalam kehidupan masyarakatnya.

3.2 Jenis Data

Data yang dikumpulkan adalah: kehidupan sosial-budaya dan nilai/kepercayaan masyarakat, aturan dan praktek tradisional yang berlaku, aturan dan praktek formal yang diberlakukan. Dilengkapi dengan data: keadaan umum lokasi (letak, luas, kondisi fisik, dan sosial ekonomi) dan data kependudukan (jumlah, tingkat pendidikan, mata pencaharian, potensi lahan, sejarah kawasan), dan hasil penelitian lain yang pernah dilakukan.

Data yang dikumpulkan berupa data kualitatif dengan menggunakan metode pengumpulan data kualitatif. Penelitian kualitatif tidak bermaksud untuk menggambarkan karakteristik populasi atau menarik generalisasi kesimpulan yang berlaku bagi suatu populasi, melainkan lebih terfokus kepada representasi terhadap fenomena sosial. Data atau informasi harus ditelusuri seluas-luasnya (dan sedalam mungkin) sesuai dengan variasi yang ada. Hanya dengan cara demikian peneliti mampu mendeskripsikan fenomena yang diteliti secara utuh (Bungin, 2003).

3.3 Bahan dan Alat

Objek dalam penelitian ini adalah informan dan aktivitas masyarakat. Alat yang digunakan adalah alat tulis, kamera, alat perekam suara.

(31)

3.4 Metode Pengumpulan Data 3.4.1 Teknik pengumpulan data

Pengumpulan data dilakukan dengan beberapa tekhnik yaitu:

1. Dengan wawancara mendalam, bisa digali apa yang tersembunyi di sanubari seseorang, apakah yang menyangkut masa lampau, masa kini, maupun masa depan. Dengan wawancara tak berstruktur yang bisa secara leluasa melacak ke berbagai segi dan arah guna mendapatkan informasi yang selengkap mungkin dan semendalam mungkin (Bungin, 2003).

2. Observasi langsung. Dilakukan untuk mengecek atau mendapatkan gambaran langsung atas isu-isu yang muncul dari sumber sekunder ataupun wawancara (Mitchell, et al., 2000).

3. Penelusuran pustaka berupa data profil desa dan laporan/ penelitian lain yang pernah dilakukan di lokasi penelitian.

Pengumpulan data utama dalam penelitian ini dilakukan dengan wawancara mendalam (depth interview) dengan beberapa orang informan kunci (key informan) yang dianggap banyak mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan penelitian. Tahapan dalam pengumpulan informasi adalah:

1. pemilihan sampel awal, apakah itu informan (untuk diwawancarai) atau suatu situasi sosial (untuk di observasi) yang terkait dengan fokus penelitian

2. pemilihan sampel lanjutan guna memperluas deskripsi informasi dan melacak variasi informasi yang mungkin ada,

3. menghentikan pemilihan sampel lanjutan bilamana dianggap sudah tidak ditemukan lagi variasi informasi (sudah terjadi replikasi perolehan informasi). Dalam menempuh tiga tahapan tersebut, prosedur pemilihan sampel dalam penelitian kualitatif yang lazim digunakan adalah melalui teknik snowball sampling. Selanjutnya, bilamana dalam proses pengumpulan data sudah tidak lagi ditemukan variasi informasi, maka peneliti tidak perlu lagi untuk mencari infroman baru, proses pengumpulan informasi dianggap sudah selesai (Bungin, 2003).

Observasi langsung merupakan metode kunci dalam penelitian ini, yakni untuk melihat secara langsung keadaan lingkungan daerah penelitian, serta

(32)

mengamati tempat-tempat yang diceritakan oleh informan yang berkaitan dengan penelitian.

3.4.2 Teknik pengambilan sampling

Pemilihan lokasi dilakukan dengan teknik purposive sampling. Menurut Nasution (2003) sampling yang purposive adalah sampel yang dipilih dengan cermat hingga relevan dengan desain penelitian. Penelitian tidak mengutamakan patokan keterwakilan populasi , melainkan keterwakilan aspek permasalahan. Sebagai implikasinya sample harus dipilih secara sengaja (purposif) dan lazimnya dalam jumlah kecil. Seseorang dipilih sebagai sample hanya jika ia memberikan sumbangan pemahaman atas aspek masalah yang sedang diteliti. (Sitorus, 1998).

3.5 Analisis Data

Data yang diperoleh dari berbagai sumber (informan, hasil observasi lapangan, profil lokasi, penelitian sebelumnya) dengan berbagai jenisnya kemudian di triangulasi untuk mengetahui kecocokan antara sumber yang satu dengan yang lainnya. Setelah semua data sama dan tidak ada tambahan informasi baru, maka bisa disimpulkan data yang diperoleh sudah mencukupi.

Kemudian untuk tahapan analisis data dilakukan dengan tiga tahap yaitu: 1. Reduksi data, yaitu mengelompokkan data yang dikumpulkan berdasarkan

tema-tema tertentu dan membuang data hasil yang tidak berkaitan dengan penelitian

2. Penyajian data yang disampaikan dalam bentuk deskriptif, dengan dilengkapi oleh gambar.

3. Pemaparan dan penegasan kesimpulan.

Antara kegiatan pengumpulan data dan analisis data menjadi tak mungkin dipisahkan satu sama lain. Keduanya berlangsung secara simultan atau atau berlangsung serempak (Bungin, 2003).

(33)

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Dusun Senaru, Desa Senaru, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Barat, Propinsi Nusa Tenggara Barat (Gambar 2). Dusun senaru merupakan salah satu pintu masuk dari dua pintu masuk utama ke Taman Nasional Gunung Rinjani. Sebelah utara berbatasan dengan Dusun Lendang Cempaka, sebelah selatan berbatasan dengan Taman Nasional Gunung Rinjani, dan sebelah timur berbatasan dengan Dusun Batu Koq. Dusun Senaru ini ditetapkan oleh Departemen Pariwisata NTB sebagai dusun tradisional (traditional village) yang diperuntukan untuk tujuan wisata.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian (Sumber: Pusat Informasi Rinjani Trek Center)

4.2 Kondisi Fisik

Dusun Senaru terletak pada ketinggian 560-600 mdpl. Curah hujan menurut data tahun 2004 adalah 2.279 mm/tahun, dengan 4 bulan hujan. Suhu rata-rata 29’C. Berdasarkan peta tanah tahun 1967, jenis tanahnya adalah regosol

(34)

coklat keabuan dan regosol coklat kekuningan. Sedangkan berdasarkan klasifikasi tanah, termasuk dalam golongan tanah inceptisol dan entisol.

4.3 Aksesibilitas

Dusun Senaru terletak 90 km dari Kota Mataram (Ibu Kota Propinsi). Jarak ini bisa ditempuh dengan waktu 3-4 jam. Alat transportasi berupa bis kecil. Kondisi jalan dari Mataram ke Bayan adalah jalan aspal dengan lebar 6 meter, sedangkan untuk jalan masuk ke Dusun Senaru kurang lebih 9 km ada jalan aspal selebar 4 meter dengan kondisi yang sudah mulai rusak. Jarak dari pasar tradisional setempat kurang lebih 10 km. Masyarakat Dusun Senaru menggunakan angkutan umum (colt) dan ojek motor untuk menjangkaunya.

4.4 Sarana dan Prasarana

Untuk sarana dan prasarana, di Dusun senaru sudah terdapat saluran air sebanyak 2 keran air, kemudian kamar mandi dan WC. Masyarakat juga sudah menikmati fasilitas listrik walaupun penggunaannya masih terbatas pada penerangan rumah saja.

Fasilitas lainnya yaitu 1 buah masjid, kemudian di Desa Senarunya sendiri terdapat 1 Puskesmas, 1 Taman kakak-kanak, 6 SD, 2 SLTP, dan 2 lembaga pendidikan agama. Sedangkan untuk SMA terdekat berjarak 10 km, terletak di Kecamatan Bayan.

4.5 Kependudukan

Penduduk terdiri dari suku Sasak. Yaitu penduduk asli pulau Lombok. Matapencaharian utama dan sebagian besar dari penduduk adalah sebagai petani di sawah dan kebun. Komoditas utama yaitu kopi, coklat, vanila, kelapa, jagung dan padi. Selain itu penduduk juga bekerja sebagai porter untuk mendampingi para pendaki Gunung Rinjani. Sebagian lagi bekerja sambilan sebagai tukang ojek. Enghasilan rata-rata masyarakatnya adalah 200-300 ribu per bulan.

Jumlah penduduk dusun Senaru tahun 2007 adalah 136 kepala keluarga (KK) terdiri dari 546 individu dengan jumlah laki-laki 227 orang dan wanita 269

(35)

orang. Di dusun tradisionalnya sendiri hanya terdiri dari 21 rumah yang berisi 21 KK dengan 130 individu.

Sebagian besar penduduk tidak mengenyam pendidikan formal. Tingkat pendidikan tertinggi yaitu SMA sebanyak 2 orang, kemudian SLTP sebanyak 8 orang dan ssebagian lagi hanya tamat SD.

Organisai Desa yang sudah ada adalah Jaringan Perempuan LBH APIK, organisasi kesenian dan olahraga, organisasi profesi berupa kelompok tani, LPM dan 1 koperasi.

(36)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Masyarakat Adat Senaru

Masyarakat Senaru adalah masyarakat yang homogen. Penduduknya adalah suku asli pulau lombok yang dikenal dengan sebutan suku sasak. Semuanya beragama Islam tapi masih dipengaruhi oleh ritual dan kepercayaan adat istiadat. Mereka hidup dalam pemukiman tradisional yang dibatasi pagar. Pemukiman tradisional ini hanya terdiri dari 21 rumah yang diisi oleh 21 kepala keluarga. Salah satu dari rumah itu dihuni oleh pemimpin adat yang disebut melokaq. Luas dan jumlah rumah dalam pemukiman tersebut tidak boleh bertambah. Jika ada pasangan keluarga baru, maka mereka harus pindah ke luar pagar pemukiman tradisional. Perbaikan pemukiman tradisional ini dilakukan setiap delapan tahun sekali. Selain rumah adat, didalam pemukiman ini terdapat bangunan bernama berugaq dan lumbung. Berugaq terletak di antara dua rumah yang berhadapan fungsinya sebagai tempat berkumpul masyarakat, tempat upacara adat, dan tempat menerima tamu. Sedangkan lumbung berfungsi sebagai tempat menyimpan hasil panen khususnya padi juga sebagai tempat mengikat ternak (Gambar 3).

Gambar 3 Dusun Adat Senaru

Mereka menghabiskan sebagian besar waktu sehari-harinya untuk berkebun/berladang dan berkumpul dengan sesama. Berkebun dan berladang dilakukan mulai pagi hari sekitar jam 6.30 sampai jam 16.00. Waktu istirahat sekitar jam 11.00 siang dan dilanjutkan kembali jam 13.00 sampai malam hari

(37)

mereka habiskan untuk berkumpul bersama anggota masyarakat lainnya di tempat yang mereka namakan berugaq yang ada di depan rumah mereka.

Dusun adat Senaru dipimpin oleh seorang pimpinan adat (melokaq). Tugas melokaq adalah memimpin upacara adat dan musyawarah (gundam), menentukan dan membagi lahan yang boleh dibuka, menentukan awal musim tanam, memilih benih, menentukan pohon yang boleh ditebang dan cara menebangnya, mengambil bambu adat untuk keperluan upacara.

Selain melokaq, dalam pengambilan keputusan para tetua adat dan kiyai juga memiliki pengaruh yang kuat di masyarakat. Para tetua adat, harus menghadiri musyawarah (gundam) dalam rangka memecahkan persoalan yang timbul. Anjuran-anjuran mereka sangat diperhatikan dan ikut menentukan rumusan-rumusan kebijakan yang akan diambil.

Homogenitas anggota, bentuk dusun tradisional yang kompak dan terbuka serta kebiasaan masyarakatnya untuk berkumpul bersama menjadikan hubungan yang erat antar individu. Masyarakat juga memiliki nilai kolektifitas yang tinggi, dimana kegiatan-kegiatan masyarakat seperti upacara adat, pembukaan lahan, pembangunan dan perbaikan rumah adat semuanya dilakukan secara bersama-sama. Hubungan yang erat antar individu dan nilai kolektifitas yang tinggi menjadikan masyarakat memiliki kontrol sosial yang kuat terhadap anggotannya. Contohnya, pemanfaatan sumberdaya alam diatur agar tidak merugikan kepentingan bersama, dengan adanya larangan untuk mengambil hasil hutan untuk kepentingan pribadi yang bisa berakibat pada rusaknya kawasan hutan.

5.2 Pemanfaatan Sumberdaya Alam

Sumberdaya alam dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, yaitu konsumsi sehari-hari (beras, jagung, kacang-kacangan, kayu bakar), peralatan (rotan, bambu, kayu), upacara adat (sapi/kambing, ayam, beras, sirih, pinang, kelapa), bangunan (kayu, rotan, bambu, alang-alang), dan untuk diperdagangkan (jagung, kakao, kelapa, pisang, vanili, pinang, sirih).

Diluar areal pemukiman tradisional, masyarakat membagi lahan hutan menjadi dua. Pertama, hutan tutupan desa, yaitu hutan yang dianggap sebagai hutan yang masih terdapat pohon-pohon besar dan dianggap keramat serta sebagai

(38)

sumber air. Di dalamnya tidak boleh digunakan untuk kebun dan ladang, tidak boleh diambil hasil hutannya kecuali untuk keperluan adat. Bahan bangunan berupa kayu, rotan, bambu dan alang-alang berasal dari kawasan ini. Kayu yang boleh ditebang hanya yang akan dijadikan bahan pembuat rumah adat saja. Masyarakat biasa rumahnya terbuat dari kayu salinguru (Actinodaphne diversifolia) dan genggorang. Rumah Melokaq dibuat dari kayu salinguru dan pisak. Pembangunan masjid menggunakan kayu suren (Toona sureni). Jenis rotan yang digunakan untuk bahan bangunan adalah rotan sega (Calamus caesius) yang dikenal oleh masyarakat dengan sebutan pejalin beri. Sedangkan bambu yang dimanfaatkan adalah bambu tali (Asparagus cochinchinensis). Selain itu di hutan tutupan desa juga ditemukan kayu bajur (Pterospermum javanicum) dan klokos udang (Eugunia Opaca).

Kedua, gawah, yaitu hutan yang boleh dibuka untuk kebun, ladang dan melepas ternak. Hutan tutupan desa berada di atas pemukiman tradisional. Gawah terletak antara pemukiman tradisional dengan hutan tutupan desa. Masyarakat mengenal dua bentuk pemanfaatan gawah, yaitu: ladang dan kebun.

Ladang dikelola dengan sistem tanam gilir padi dan jagung. Kacang-kacangan ditanam sebagai pelengkap kebutuhan di pematang sawah. Tanahnya dibajak dengan alat bajak tradisional atau cangkul. Padi ditanam hanya menghasilkan sekali setahun. Setelah padi kemudian ditanami jagung. Padi hanya bisa sekali setahun karena hanya mengandalkan hujan, tidak dengan irigasi. Jad i musim tanam padi adalah ketika awal musim hujan selama 3-4 bulan (Januari-April/Mei). Sisanya ditanami jagung. Menurut Ruf dan Lancon (2005), siklus hidup tanaman jagung yang lebih singkat dibandingkan dengan tanaman sekunder lainnya seperti kacang kedelai menjadikannya lebih mudah menyesuaikan pola penanaman dengan baik terhadap distribusi curah hujan (Gambar 4).

(39)

Gambar 4 Ladang

Pemanfaatan lahan yang kedua yaitu kebun (Gambar 5). Tanaman utama yang ditanamam adalah kopi yang sebagiannya ditumpangsarikan dengan vanili. Selain kopi, juga ada kebun kakao dan kebun pisang. Masyarakat tidak menggunakan jarak baku dalam menanam. Masyarakat menanam dengan jarak tanam hanya berdasar perkiraan dan kebiasaan saja, tidak pernah diukur. Jenis tanaman juga berdasarkan kebiasaan yang ditanam sebelumnya. Tidak ada pemeliharaan (pemangkasan, pemupukan, hanya pembersihan ringan semak belukar). Tiap kebun dibatasi pagar hidup. Tanaman lain seperti pinang, sirih, kelapa, ditanam di areal yang masih kosong sekitar kebun/ladang.

Gambar 5 Kebun

Hasil kebun berupa kopi, kakao dan pisang dijual oleh masyarakat melalui tengkulak. Para tengkulak biasanya datang dengan truk pengangkut. Ini dilakukan karena sulit dan mahalnya biaya angkutan jika harus mengangkut dan menjual sendiri. Juga karena masyarakat tidak mempunyai pasar yang pasti untuk

(40)

menjualnya. Masyarakat terpaksa menjual pada tengkulak karena sebagian dari mereka meminjam modal dari para tengkulak tersebut untuk kegiatan bertani dan berkebunnya. Menjual ke tengkulak tentunya petani tidak memiliki posisi tawar yang kuat untuk menentukan harga, selain itu petani juga tidak memiliki informasi tentang harga komuditi di pasaran. Petani hanya bisa menuruti harga yang ditentukan oleh tengkulak.

Hasil sampingan dari sawah ladang dan kebun yaitu sirih, kacang-kacangan, fanili dan pinang biasanya dijual ke pasar terdekat yang jaraknya sekitar 9-10 km. Dijual setiap hari kamis. Jarak yang cukup jauh mengharuskan masyarakat mengeluarkan biaya tambahan sekitar Rp 6000 tiap ke pasar untuk biaya angkutan umum. Padahal hasil bumi yang dijual jumlahnya kecil.

Selain berladang dan berkebun, masyarakat juga berternak sapi dan ayam. Jumlah ternak sapi rata-rata 2 ekor tiap orangnya. Ternak ayam dilakukan dalam jumlah kecil karena dari pengalaman masyarakat, jumlah yang besar akan mendatangkan penyakit. Masyarakat tidak menggembalakan sapinya di areal khusus. Pemberian makan sapi dilakukan dengan membawanya ke kebun juga memanfaatkan limbah pertanian. Masyarakat juga tidak memiliki kandang khusus, sapi diikat di bawah lumbung padi. Sapi ini sebagian besarnya digunakan untuk keperluan upacara adat, bukan untuk dijual (Gambar 6).

Gambar 6 Sapi yang dilepas di kebun

Pembukaan lahan dilakukan oleh melokaq dengan memeriksa lahan yang subur dengan ciri-ciri tanah gembur dan banyak ditumbuhi rumput, setelah mendapat lahan yang subur melokaq membagi pada warganya. Masyarakat lalu membersihkan lahan dengan cara tebas-bakar. Kegiatan pembukaan lahan

(41)

dilakukan secara berkelompok. Satu kelompok sebanyak 10 orang. Sistem kerjanya bergiliran. Misalnya hari ini semua bekerja di kebun si A maka besok di kebun si B.

Sebelum penanaman diadakan upacara adat (membangar) yaitu untuk menyatukan diri dengan alam yang dipimpin oleh melokaq. Setelah upacara pembukaan lahan, ada upacara lainnya yang dilakukan masyarakat terkait dengan prosesi penanaman padi yaitu:

1. Rowah bineq: mendo'akan padi yang akan ditanam

2. Buburang pare: upacara selametan lagi ketika padi berumur sekitar 30 cm (mendara)

3. Menyemprak: upacara selamatan lagi ketika padi akan segera menghasilkan.

4. Rowah petu'an pare: upacara selamatan jika padi mencapai hasil 100-200 ikat. dilakukan sebelum padi dibawa pulang. rowah sambi, upacara ketika padi diletakan dilumbung. Sebelum upacara ini padi tidak boleh digunakan.

5.3 Aturan Formal dan Informal 5.3.1 Aturan informal yang berlaku

Dalam kehidupan masyarakat yang juga terkait dengan interaksi mereka dengan alam, ada nilai-nilai mendasar yang dipercayai oleh masyarakat adat Senaru. Pertama, kepercayaan wetu telu yang dianut oleh masyarakat. Masyarakat percaya bahwa hidup berasal dari tiga jalan yaitu beranak yang diwakili oleh sapi atau kambing, bertelur yang diwakili oleh ayam dan bertumbuh yang diwakili oleh padi. Maka keberadaan tiga hal ini di alam harus tetap dijaga. Caranya yaitu dengan menjaga alam tempat mereka hidup.

Kedua, keyakinan masyarakat bahwa air sebagai sumber kehidupan hanya akan tersedia jika kondisi alamnya bagus. Ada ungkapan dalam masyarakat yaitu, “nyara gawah nyara hujan.” Artinya, tak ada hutan maka tak ada hujan. Jika tidak ada hutan tidak akan ada hujan, jika tidak ada hujan tidak akan ada air bagi masyarakat, jika tidak ada air berarti tidak ada kehidupan. Mereka belajar dari masyarakat kampung lain yang mengalami kesulitan karena kekurangan air untuk

(42)

mengolah lahan mereka. Karenannya masyarakat sangat menjaga interaksi dengan hutan. Karena itu prinsip masyarakat dalam mengelola hutan adalah membiarkan hutan tumbuh dengan sendirinya tanpa diganggu.

Ketiga, kepercayaan mereka akan adanya roh leluhur yang tinggal pada benda-benda yang ada di alam. Menggangu dan merusak alam berarti mengganggu roh leluhur dan itu dipercaya akan mendatangkan kemarahan mereka. Kemarahan itu akan mendatangkan sanksi supranatural (kebendon), bisa berupa sakit fisik bahkan sampai meninggal, penyakit gila, gagal panen, dan bencana alam.

Nilai-nilai tersebut dijadikan aturan dalam mengelola sumberdaya alam yaitu:

1. Harus meminta ijin kepada roh nenek moyang sebelum berinteraksi dengan alam.

2. Setiap upacara adat harus dilengkapi dengan sapi, ayam, dan beras.

3. Tereng kedengcor (konservasi air dengan memelihara tegakan bambu di daerah sungai).

4. Tidak boleh menebang pohon tanpa ijin dari melokaq.

5. Tidak boleh memanfaatkan hutan tutupan desa untuk kepentingan individu. 6. Pembukaan gawah harus melalaui ijin dari melokaq

7. Tidak boleh menyeret rotan melewati ladang orang lain. 8. Tidak boleh memanjat pohon kemiri untuk memanen buahnya.

Pelanggaran terhadap aturan-aturan ini, akan mendapatkan sanksi berupa denda adat yang besarnya untuk pelanggaran pertama denda berupa: 244 uang bolong, 1 kelapa, gula 1 lonjor, 1 ayam, beras secatu (1 1/2 kg). Pelanggaran untuk kedua kali dendanya meningkat menjadi kambing. Untuk pelanggaran ketiga kalinya, dendanya berupa sapi.

Aturan-aturan tersebut di wujudkan dalam bentuk praktek-praktek tradisional sebagaimana ditunjukan pada Tabel 3.

(43)

Tabel 3 Praktek-praktek tradisional masyarakat Dusun Senaru

Aturan informal Praktek tradisional

Harus meminta ijin kepada roh nenek moyang sebelum berinteraksi dengan alam.

Upacara ntoq lekoq buak (meminta perlindungan bagi pendaki gunung rinjani) Setiap upacara adat harus dilengkapi dengan

sapi, ayam, dan beras.

Masyarakat beternak dan berkebun/ berladang selain untuk konsumsi juga untuk keperluan upacara adat

Tereng kedengcor (konservasi air dengan

memelihara tegakan bambu di daerah sungai).

Menanam 10 batang bambu jika mengambil 1 batang (khusus untuk bambu yang berada di sekitar sungai)

Tidak boleh menebang pohon tanpa ijin dari melokaq.

 Pengambilan bambu dan kayu dilakukan bersama melokaq.

 Kayu yang boleh diambil hanya jenis tertentu yang digunakan sebagai bahan bangunan

 Kayu di tebang dengan arah rebah mengarah ke gunung rinjani Tidak boleh memanfaatkan hutan tutupan desa

untuk kepentingan individu.

 Pengambilan kayu, rotan dan bambu hanya untuk keperluan perbaikan rumah adat (dilakukan setiap 8 tahun)

 Pengambilan bambu dan kayu dilakukan bersama melokaq

Pembukaan gawah harus melalaui ijin dari

melokaq

 Penentuan layak tidaknya lahan oleh melokaq

 Pembagian lahan oleh melokaq disesuaikan dengan tenaga yang dimiliki oleh tiap keluarga

 Pembukaan lahan dengan cara tebas-bakar secara berkelompok

 Sebelum penanaman diadakan upacara adat (membangar) yaitu untuk menyatukan diri dengan alam

Tidak boleh menyeret rotan melewati ladang orang lain.

Cara membawa rotan adalah dipotong sehingga cukup pendek untuk bisa dipanggul

Tidak boleh memanjat pohon kemiri untuk memanen buahnya.

 Buah kemiri yang diambil adalah yang jatuh dengan sendirinya

 Buah kemiri yang jatuh menjadi milik umum. Boleh diambil oleh siapa saja.

(44)

5.3.2 Aturan formal yang diberlakukan

Selain aturan-aturan informal tersebut, masyarakat Senaru juga dipengaruhi oleh aturan-aturan formal yang diberlakukan terhadap mereka. Aturan-aturan formal tersebut adalah:

1. Ditetapkan mejadi desa wisata, yaitu desa tradisional (tradisional village) berdasarkan Perda. No. 9 Tahun 1989.

2. Penetapan Senaru sebagai desa berdasarkan Perda No. 15 tahun 1996.

3. SK Kepala Desa No: 101/10/pem. I/2005, tentang penghentian pembukaan lahan di kawasan hutan Senaru.

4. SK Kepala desa No 208/02/ Pem I/ 2006, tentang pengajuan sertifikasi lahan oleh masyarakat

5. Pelestarian permukiman suku Sasak tradisonal yang ada di Dusun Senaru, yang tertuang dalam RTRW Propinsi NTB Tahun 2000-2010. Pada Pasal 32 Dusun Tradisional Senaru ditetapkan sebagai Cagar Budaya yang harus dilindungi dan dilestarikan keberadaannya.

6. Adanya Zona pemanfaatan khusus kultural menurut SK 99/IV/Set-3/2005 tanggal 26 September 2005 tentang Penataan Zona pada Taman Nasional Gunung Rinjani

Hasil penerapan aturan formal tersebut adalah: masyarakat tetap hidup dengan pola pemukiman tradisional sasak, sertifikasi lahan menjadi milik pribadi, penghentian pembukaan lahan untuk kebun dan ladang, pengambil keputusan tertinggi berada di tangan kepala desa, masyarakat boleh melaksanakan upacara adat di dalam kawasan TN dan bantuan dan pemberdayaan untuk masyarakat.

Bantuan yang diterima masyarakat berupa (Gambar 7): 1. Pengaliran air dari PDAM

2. WC dan kamar mandi umum dari Pemda

3. Kampung sudah dialiri listrik, walaupun hanya cukup untuk penerangan saja. 4. Bibit jeruk dari Pemda/Deptan.

5. Kebun gaharu hasil kerjasama UNRAM (Universitas Mataram) dan Dephut. 6. TNGR memberikan pelatihan porter dan guide dan juga pelatihan pembuatan

makanan dari hasil kebun.

Gambar

Gambar 1  Alur penelitian
Tabel 1  Tujuan normatif pengelolaan Taman Nasional
Tabel 2  Peranan pengetahuan lokal.
Gambar 2  Peta lokasi penelitian (Sumber: Pusat Informasi  Rinjani Trek Center)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada form ini terdapat 4 fungsi yaitu save untuk menyimpan jenis barang baru pada database, update untuk mengganti atribut dari jenis barang yang sudah tersimpan pada

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan permainan Scrabble dalam pembelajaran Bahasa Inggris siswa kelas III Sekolah Dasar, serta untuk mengetahui peningkatan

[r]

Terima kasih tak terhingga juga peneliti ucapkan kepada Allah SWyT dan Rasul-Nya karena telah karena telah memberikan kesempatan belajar dan terus belajar, hingga akhirnya

Adapun tentang tauhid juga sangat beliau kedepankan agar supaya masyarakat banyak yang selalu menomorsatukan Allah Swt dimanapun berada, apalagi pada sat itu adalah

Diskriminasi yang dilakukan oleh orang kulit putih membuat orang kulit hitam selalu memiliki sebuah mimpi untuk menjadi orang yang di terima oleh orang kulit putih dengan

3) Responsibility (pertanggungjawaban). Pertanggungjawaban perusahaan adalah kepatuhan perusahaan terhadap peraturan yang berlaku, diantaranya termasuk masalah pajak,

Secara umum pada periode ini berlaku konstitusi RIS sehinga bentuk negara Indonesia adalah serikat dan mempunyai sistem pemerintahan republik parlementer. Hal ini