• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN. morbiditas dan mortalitas di negara berkembang. WHO memperkirakan tiap

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I. PENDAHULUAN. morbiditas dan mortalitas di negara berkembang. WHO memperkirakan tiap"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1

Merokok merupakan faktor risiko terbesar yang dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas di negara berkembang. WHO memperkirakan tiap tahunnya merokok menyebabkan kematian sekitar 4 juta jiwa di seluruh dunia, jika ini terus berlanjut maka tahun 2030 merokok akan membunuh 1 dalam 6 orang. Pada Pusat Amerika Serikat Bagian kontrol penyakit dan pencegahan juga melaporkan bahwa tiap tahunnya merokok menyebabkan kira-kira 440.000 kematian dini dan dampak kerugian dalam biaya ekonomi kesehatan 157 milyar dolar amerika antara tahun 1995 dan 1999 (Yang, 2005). Tembakau/rokok membunuh separuh dari masa hidup perokok dan separuh perokok mati pada usia 35-69 tahun. Data epidemi tembakau di dunia menunjukkan tembakau membunuh lebih dari lima juta orang setiap tahun. Jika terus berlanjut, pada tahun 2020 diperkirakan terjadi sepuluh juta kematian dengan 70 persen terjadi di negara berkembang. Dapat diketahui bahwa rokok mengandung lebih dari empat ribu bahan kimia, termasuk 43 bahan penyebab kanker yang terlah diketahui, sehingga lingkungan yang terpapar dengan asap tembakau (disebut perokok pasif) juga dapat menyebabkan bahaya kesehatan (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2009). WHO melaporkan hampir 6 juta orang meninggal setiap tahun disebabkan oleh rokok (World Health Organization, 2015).

Di negara UK ada berbagai usaha untuk mengukur beban kesehatan yang berdampak pada ekonomi dari penyakit yang terkait dengan merokok. Pada tahun

(2)

2005 setelah dilakukan estimasi dihasilkan 109.164 kasus kematian yang disebabkan oleh rokok (27,2% laki-laki dan 10,5% perempuan) (Allender dkk., 2009). Bahaya kesehatan dari merokok banyak penelitian saat ini memfokuskan pada CVD (Cardiovascular Disease), COPD (Chronic Obstructive Pulmonary Disease) dan kanker paru-paru. Penyakit tersebut diyakini sebagai penyebab utama dari kematian yang disebabkan oleh rokok baik di negara industri maupun negara maju. Di negara Industri pada tahun 2000 terdapat 0,52 juta jiwa meninggal yang disebabkan oleh kanker paru-paru, 1,02 juta jiwa meninggal disebabkan oleh CVD dan 0,31 juta jiwa meninggal dari COPD. Di negara berkembang, kematian yang disebabkan karena menderita kanker paru-paru sebanyak 0,33 juta jiwa, meninggal disebabkan karena menderita CVD sebanyak 0,67 juta jiwa, dan 0,65 juta jiwa meninggal disebabkan karena COPD (Ezzati, 2004). Biaya perawatan rumah sakit di Thailand pada tahun 2006 ditemukan sekitar 9,86 juta Baht yang menggambarkan 0,48% dari GDP. Dampak ekonomi akibat merokok di Thailand menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 2006 merokok dapat menyebabkan angka kesakitan sebesar 5.299 kasus penyakit kanker paru, 624.309 kasus penyakit COPD, dan 52.605 kasus penyakit CHD. Biaya pengobatan akibat penyakit tersebut mencapai 368,49 juta Baht untuk kanker paru, 7.714,88 juta Baht untuk COPD, dan 1.773,65 juta Baht untuk CHD (Nganthavee, 2007). Secara global terjadi peningkatan konsumsi rokok terutama di negara berkembang. Diperkirakan saat ini jumlah perokok di seluruh dunia mencapai 1,3 milyar orang. Meskipun bahaya rokok sudah banyak diinformasikan namun jumlah perokok di Indonesia tidak menurun, bahkan ada kecenderungan

(3)

meningkat setiap tahun. Pada tahun 2009, jumlah perokok aktif di Indonesia terbanyak ketiga di dunia setelah Tiongkok dan India. Selain jumlah perokok yang meningkat, usia perokok pemula pun semakin lama semakin muda. Menurut The Asean Tobacco Control Atlas 2013 jumlah perokok dewasa di Indonesia adalah tertinggi dibanding 8 negara ASEAN lainnya (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan dkk., 2014). Masalah merokok adalah peningkatan prevalensi perokok yang menjadi semakin serius. Jumlah perokok di dunia mencapai lebih dari 1 miliar orang terdiri dari 800 juta pria dan 200 juta wanita. Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) dan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan terjadinya peningkatan prevalensi perokok usia 15 tahun ke atas yaitu: 27% (Susenas 1995); 31,5% (SKRT 2001); 34,4% (Susenas 2004); 34,7% (Riskesdas 2007) dan 36,3% (Riskesdas 2013). Walaupun proporsi perokok wanita lebih rendah dibandingkan pria, namun terjadi juga peningkatan sebanyak 5 kali lipat dari 1,7% (1995) menjadi 6,7% (2013). Data Global Youth Tobacco Survey 2014 (GYTS 2014) menyebutkan 20,3% anak sekolah merokok (laki-laki 36% dan perempuan 4,3%), 57,3% anak sekolah usia 13-15 tahun terpapar asap rokok dalam rumah dan 60% terpapar di tempat umum atau enam dari setiap 10 anak sekolah usia 13-15 tahun terpapar asap rokok di dalam rumah dan di tempat-tempat umum. WHO (2012) juga menunjukkan prevalensi perokok di Indonesia sebesar 34,8%, dan sebanyak 67% laki-laki di Indonesia adalah perokok (angka terbesar di dunia). Hasil penelitian Badan Litbang Kemenkes tahun 2010 menunjukkan bahwa kematian akibat penyakit yang terkait dengan tembakau terjadi 190.260 orang atau sekitar

(4)

12,7% dari seluruh kematian di tahun yang sama (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2015). Pada tahun 2013, dampak buruk akibat tembakau dan merokok pada kesehatan masyarakat di Indonesia sudah nampak jelas pada hasil kajian Badan Litbangkes. Hasil kajian menunjukkan telah terjadi kenaikan kematian premature akibat penyakit terkait tembakau dari 190.260 (tahun 2010) menjadi 240.618 kematian, serta kenaikan penderita penyakit akibat konsumsi tembakau dari 384.058 orang (tahun 2010) menjadi 962.403 orang. Kondisi tersebut berdampak juga pada peningkatan total kumulatif kerugian ekonomi secara makro akibat penggunaan tembakau. Jika dinilai dengan uang, kerugian ekonomi naik dari 245,41 trilyun rupiah (tahun 2010) menjadi 378,75 trilyun rupiah (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2014).

Jika tidak ada usaha untuk mengendalikan epidemi rokok yang sudah serius, sebanyak 1 milyar kematian akan terjadi pada abad ini (WHO, 2012). Indonesia merupakan negara dengan tingkat penggunaan rokok yang cukup tinggi. Menurut data WHO, Indonesia merupakan negara ketiga dengan jumlah perokok terbesar di dunia setelah china dan india (World Health Organization dkk., 2012). World Health Organization Framework Convention on Tobacco Control (WHO FCTC) merupakan salah satu program milik WHO yang mulai diberlakukan semenjak 27 Februari 2005. WHO FCTC dikembangkan dalam rangka merespon masalah tembakau yang dihadapi dunia dan mengedepankan kesehatan masyarakat serta menyediakan kerjasama kesehatan dunia terkait dengan merokok. Program kerja dari WHO FCTC mempunyai tujuan untuk mengurangi penggunaan tembakau. Saat ini Indonesia merupakan satu-satunya negara di Asia

(5)

yang belum menandatangani WHO FCTC (World Health Organization, 2003). Pada tahun 2008, WHO meluncurkan program MPOWER yang merupakan program tindak lanjut dari WHO FCTC untuk dapat merealisasikan kegiatan-kegiatan pengendalian tembakau dan mengukur seberapa jauh kegiatan-kegiatan-kegiatan-kegiatan tersebut terlaksana. MPOWER merupakan singkatan dari Monitoring, Protecting, Offering, Warning, Enforcing, dan Raising. Sesuai dengan namanya fungsi dari MPOWER adalah memonitor penggunaan tembakau dan regulasi, menjaga atau melindungi dari dampak merokok, menawarkan bantuan untuk tidak tergantung dengan produk tembakau, memperingati bahaya tembakau, menyelenggarakan larangan iklan, promosi dan sponsor produk tembakau dan menaikkan pajak tembakau (World Health Organization, 2003).

Sistem Jaminan Sosial Nasional merupakan program negara yang bertujuan memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat. Usaha ke arah perlindungan dan kesejahteraan sesungguhnya telah dirintis pemerintah dengan menyelenggarakan beberapa bentuk jaminan sosial di bidang kesehatan, diantaranya adalah melalui PT Askes (Persero) dan PT Jamsostek (Persero). Untuk masyarakat miskin dan tidak mampu, pemerintah memberikan jaminan melalui skema Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Namun demikian, skema-skema tersebut masih terfragmentasi, terbagi-bagi. Biaya kesehatan dan mutu pelayanan menjadi sulit terkendali (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2013a). Untuk mengatasi hal itu, pada tahun 2004 dikeluarkan Undang-undang No. 40 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). UU No. 40 tahun 2004 ini

(6)

mengamatkan bahwa jaminan sosial wajib bagi seluruh penduduk termasuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui suatu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Undang-Undang No.24 Tahun 2011 juga menetapkan, Jaminan Sosial Nasional akan diselenggarakan oleh BPJS, yang terdiri atas BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Khusus Untuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) akan diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan yang impementasinya dimulai tanggal 1 Januari 2014 dan paling lambat tahun 2019 seluruh penduduk Indonesia yang pada tahun 2014 berjumlah 252,2 juta (Badan Pusat Statistik, 2015) sudah menjadi peserta BPJS Kesehatan yang dilakukan secara bertahap (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2013a). Pada awal BPJS Kesehatan beroperasi, target yang ditetapkan sebanyak 121,6 juta peserta tetapi BPJS Kesehatan mampu menggaet sebanyak 133,4 juta peserta. Namun dengan bertambahnya jumlah peserta program JKN akan mempengaruhi pada jumlah defisit dana yang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2014 BPJS Kesehatan mengalami defisit Rp 5,2 triliun, tahun 2015 menyentuh angka Rp 7 triliun, dan dikhawatirkan tahun 2016 dapat diprediksi akan meningkat menjadi Rp 9,25. Hal ini terjadi karena adanya kesenjangan antara pendapatan dengan pengeluaran (mismatch) (CNN Indonesia, 2016).

Dalam penelitian ini, yang merupakan studi pertama tentang dampak ekonomi dari perspektif governmental (payer), memberikan data terbaru gambaran beban penyakit akibat rokok dalam bentuk biaya pengobatan penyakit akibat rokok yang harus ditanggung pemerintah. Data ini akan membantu untuk

(7)

mengadvokasi kebijakan pengendalian tembakau dan upaya promotif dan preventif untuk mencegah dampak buruk akibat rokok yang lebih fatal.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, dapat disusun rumusan masalah sebagai berikut:

1. Apakah ada hubungan antara status merokok dengan penyakit dengan menggunakan parameter relative risk (RR)?

2. Berapa estimasi smoking-attributable fractions (SAF) setiap kategori penyakit yang berkaitan dengan rokok?

3. Berapa perkiraan jumlah kesakitan akibat rokok tahun 2015?

4. Berapa perkiraan biaya pengobatan penyakit akibat rokok tahun 2015

(8)

C. Keaslian Penelitian

Beberapa penelitian yang telah dilakukan tentang hubungan antara beban ekonomi dengan penyakit yang diakibatkan oleh rokok adalah:

Tabel 1. Keaslian Penelitian

Peneliti Tempat Metode Parameter Input Parameter Output Hasil

Kosen dkk (2009)

Indonesia Cross sectional study

Jumlah sampel yang diambil 5 rumah sakit yaitu Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta, Rumah Sakit Persahabatan Jakarta, Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya, Rumah Sakit Dr. Sardjito Yogyakarta dan Rumah Sakit Sanglah Denpasar - Angka kesakitan dan kematian akibat rokok - Nilai YLD - Nilai YLL - Nilai DALYs - Kerugian ekonomi yang disebabkan rokok

Menunjukkan bahwa angka kematian akibat rokok sebesar 602.350 kematian, sepertiga dari total kematian di tahun yang sama, dengan estimasi DALY sebesar 13.066.230 atau 25,5% dari total DALYs (disability

adjusted life years lost) di tahun 2008, dan

menyebabkan kerugian ekonomi sebesar 18,5 milyar USD.

Prasetyoputra dan Irianti (2014)

Indonesia Systematic review Mengumpulkan pustaka-pustaka berdasarkan kesesuaian dan relevansi dengan topik dengan mengumpulkan 75 artikel yang relevan, dan 37 laporan dari pemerintah atau organisasi non pemerintah dan produk-produk hukum.

Kajian mengenai dampak kesehatan dan ekonomi dari

merokok di

Indonesia.

Merokok memperburuk derajat kesehatan, menyebabkan kematian dini, dan

kemungkinan berakibat negatif pada pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam jangka panjang, sehingga perumusan kebijakan pengendalian tembakau di Indonesia harus memperhatikan aspek gender dan budaya yang sangat kental di Indonesia.

(9)

Lanjutan Tabel 1.

Peneliti Tempat Metode Parameter Input Parameter Output Hasil

Kristina, dkk (2015)

Indonesia Menyeleksi penyakit terkait rokok menggunakan sumber data dari Survei Riset Kesehatan Dasar Indonesia tahun 2013 yang telah terkumpul dari 33 provinsi dan 497 kabupaten/kota. Total responden terdiri dari 300.000 sampel rumah tangga. Data yang dikumpulkan melalui wawancara selama bulan Mei-Juni 2013. Menghitung angka kematian yang diakibatkan rokok dengan menggunakan nilai Relative risk dan prevalensi perokok dari masing-masing penyakit kanker

- Jumlah Insidensi penyakit Kanker - Data kesakitan dan

kematian penyakit kanker

- Prevalensi perokok di Indonesia tahun 2013

- Nilai relative risk

- Angka kesakitan dan kematian kanker akibat rokok - Nilai YLD - Nilai YLL - Biaya yang dikeluarkan akibat rokok Sebesar 74.440 kematian karena kanker terjadi di tahun 2013 dengan biaya yang dikeluarkan akibat rokok sebesar 1.309 juta USD

Sepanjang pengetahuan penulis, perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah terletak pada sumber data yang digunakan yaitu laporan dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Indonesia tahun 2015.

(10)

sangat diperlukan. Seiring dengan era jaminan kesehatan nasional (JKN), dimana negara berkewajiban menanggung biaya pengobatan seluruh warga negara, pemetaan beban penyakit, terutama penyakit kronik yang notabene memerlukan biaya pengobatan yang sangat besar dirasa sangat penting. Dengan fakta bahwa perokok di Indonesia sangat tinggi prevalensinya, estimasi beban penyakit yang diakibatkan oleh rokok sangat relevan untuk dilakukan.

D. Tujuan Penelitian

Tujuan umum, penelitian ini bertujuan untuk mengukur dampak ekonomi akibat merokok di Indonesia.

Tujuan khusus:

1. Mengetahui hubungan antara status merokok dengan penyakit dengan menggunakan parameter relative risk (RR)

2. Mendapatkan estimasi smoking-attributable fractions (SAF) setiap kategori penyakit yang berkaitan dengan rokok

3. Mengetahui angka kesakitan akibat rokok di Indonesia Tahun 2015 4. Memperkirakan biaya pengobatan penyakit akibat rokok tahun 2015

(11)

a. Bagi Peneliti

Penelitian dapat menjadi sarana pembelajaran bagi peneliti mengenai analisis beban rokok di Indonesia yaitu estimasi biaya pengobatan penyakit akibat rokok.

b. Bagi Pemerintah

Hasil penelitian ini dapat menyediakan informasi terbaru dan akurat bagi pemerintah mengenai dampak rokok pada kesehatan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan bagi pemerintah untuk menyusun kebijakan mengenai pengendalian tembakau.

c. Bagi Masyarakat

Penelitian ini dapat memberikan informasi terbaru dan akurat mengenai dampak rokok terhadap kualitas hidup yang selama ini masih sedikit tersedia. Informasi tersebut diharapkan secara tidak langsung dapat memberikan edukasi kepada masyarakat dan meningkatkan kesadaran perubahan perilaku merokok di masyarakat

Gambar

Tabel 1. Keaslian Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, dapat dirumuskan identifikasi masalah adalah guru belum menganggap variasi belajar seperti variasi suara, gerak dalam kegiatan

Kesatuan tindakan ini adalah merupakan suatu kewajiban dari pimpinan untuk memperoleh suatu koordinasi yang baik dengan mengatur jadwal waktu dimaksudkan bahwa kesatuan

Proses pembuatan gelamai ini secara alami akan memakan biaya yang cukup tinggi ditambah lagi dengan mahalnya bahan baku dan pekerjaannya tidak dapat berlangsung

Ngadirejo Kediri pada tahun 2013-2015 yang terdiri dari biaya pemesanan, biaya penyimpanan, total biaya pemesanan dan penyimpanan bahan baku pembantu, dan fokus

Disajikan gambar organ penyusun sistem saraf pada manusia, siswa mampu mengidentifikasi fungsi dari bagian yang ditunjuk pada gambar.. 1 PG

Ini disebabkan karena sistem pembangunan ekonomi dan demokrasi tidak kompatibel dengan perilaku yang dihasilkan dari proses pendidikan untuk membangun karakter

Penulis dapat menyimpulkan bahwa menjadi seorang manajer itu tidak bisa dilakukan oleh sembarangan orang, terlebih dahulu orang tersebut harus dipastikan

Hasil uji Independent Sampel T-test pada tabel 4 didapatkan hasil sebelum intervensi p=0,613 (p>0,05), dan setelah intervensi p= 0,784 (p>0,05) yang artinya bahwa