OPTIMASI SUHU ANNEALING GEN tetM DARI BAKTERI
Staphylococcus aureus PADA PASIEN ULKUS DIABETIK
ARTIKEL PENELITIAN
OLEH:
GIVIEN YANGWA KRISMONI
NIM. I1021161019
PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2020
OPTIMASI SUHU ANNEALING GEN tetM DARI BAKTERI Staphylococcus
aureus PADA PASIEN ULKUS DIABETIK
Givien Yangwa Krismoni1, Rafika Sari2, Pratiwi Apridamayanti3
Program Studi Farmasi, Fakultas Kedokteran, Universitas Tanjungpura, Pontianak
givien22@gmail.com
ABSTRAK
Staphylococcus aureus is the dominant gram-positive bacterium found in diabetic ulcer patients. This bacterium has a resistance strain known as MRSA (Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus) which has been resistance to the antibiotic Methicillin. MRSA strains in Staphylococcus aureus have resistance to many antibiotics such as tetracycline that used to treat diabetic ulcer patients. Staphylococcus aureus has the tetM gene as a resistance gene that is found on the extra chromosome called plasmid. The selection of appropriate antibiotic therapy for diabetic ulcer patients is needed, therefore it is necessary to identify it using a PCR (Polymerase Chain Reaction) method in vitro with annealing temperature optimization. This research aims to optimize the annealing temperature to obtain resistance genes using forward 5 '-GGGCATCAAGCAA CATTTC-3' and reverse 5 '-TCGAGGTCCGTCTGAACTTT-3' primers with temperatures of 57 ° C, 58 ° C and 60 ° C for 30 seconds. The results of this research were obtained tetM gene with a size of 366 bp using annealing temperature of 60 ° C for 30 seconds and no tetM gene was obtained using annealing temperature of 57 ° C and 58 ° C. The conclusion of this research is the 60 ° C annealing temperature is the optimal temperature to obtain the tetM gene that causes resistance to tetracycline antibiotics in Staphylococcus aureus bacteria.
Keyword : PCR, Resistensi, S. aureus, tetM, Tetrasiklin PENDAHULUAN
PCR (Polymerase Chain Reaction) dikembangkan pada tahun 1984 oleh seorang biokimiawan bernama Kary Mullis. PCR atau reaksi berantai polimerase adalah suatu metode enzimatis dalam bidang biologi molekuler yang bertujuan untuk melipatgandakan secara eksponensial suatu sekuen nukleotida tertentu dengan jumlah kelipatan ribuan hingga jutaan salinan secara in vitro.(1) Ketika awal perkembangannya, metode ini hanya digunakan sebagai metode untuk melipat-gandakan DNA, kemudian metode ini dikembangkan untuk melipatgandakan dan melakukan kuantitasi molekul mRNA.(2) Amplifikasi DNA pada PCR dapat dicapai bila menggunakan primer oligonukleotida yang disebut amplimers. Primer DNA suatu sekuens oligonukleotida pendek yang berfungsi mengawali sintesis rantai DNA. Primer yang digunakan pada PCR terdiri dari 20-30 nukleotida. DNA template
(cetakan) yaitu fragmen DNA yang akan dilipatgandakan dan berasal dari patogen yang terdapat dalam spesimen klinik. Enzim DNA polimerase merupakan enzim termostabil Taq dari bakteri termofilik
Thermus aquaticus. Deoksiribonukleotida
trifosfat (dNTP) menempel pada ujung 3’
primer ketika proses pemanjangan dan ion magnesium menstimulasi aktivasi polimerase.(3)
Pemilihan suhu pada proses PCR sangat penting karena suhu merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan suatu PCR, dalam hal ini suhu berkaitan dengan proses denaturasi DNA templat, annealing dan ekstensi primer. Suhu denaturasi DNA templat berkisar antara 93 – 95°C, tergantung pada panjang DNA templat yang digunakan dan juga pada panjang fragmen DNA target. Suhu denaturasi yang terlalu tinggi akan menurunkan aktivitas polimerase DNA yang akan berdampak pada efisiensi PCR.
Suhu terlalu tinggi juga dapat merusak DNA templat, sedangkan suhu yang terlalu rendah dapat menyebabkan proses denaturasi DNA templat tidak sempurna. Suhu denaturasi yang digunakan pada umumnya adalah 94°C. Suhu annealing yang pada umumnya digunakan berkisar antara 37 - 60°C. Pemilihan suhu annealing berkaitan dengan Tm primer yang digunakan untuk proses PCR. Suhu annealing yang digunakan dapat dihitung berdasarkan (Tm – 5) °C sampai dengan (Tm + 5)°C. Melting temperatur (Tm) adalah temperatur di mana 50 % untai ganda DNA terpisah. Pemilihan Tm suatu primer sangat penting karena Tm primer akan berpengaruh sekali di dalam pemilihan suhu annealing proses PCR. Tm berkaitan dengan komposisi primer dan panjang primer. Suhu Tm primer sebaiknya berkisar antara 50–65°C.(4)
Diabetes mellitus merupakan penyakit yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah baik disebabkan oleh kerusakan pancreas maupun resistensi insulin ataupun keduanya. Diabetes yang tidak terkontrol dapat menyebabkan kerusakan pada sel saraf dan pembuluh darah. Komplikasi diabetes mellitus adalah ulkus dimana terjadi infeksi superficial pada kulit penderita. Bakteri yang ditemukan pada ulkus yaitu Enterobacter sp. Staphylococcus aureus, Salmonella sp. dan Pseudomonas sp. Pengobatan ulkus dapat dilakukan dengan pemberian antibiotik. Antibiotik memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan bakteri. penggunaan antibiotik dalam waktu yang lama dapat mengakibatkan resistensi.(5) S. aureus ditemukan sebanyak 97% pada
pasien ulkus diabetik.(6) Kalimantan Barat merupakan provinsi dengan prevalensi terjadinya diabetes mellitus tertinggi di Indonesia yaitu 11,1%. Tingginya angka kejadian diabetes mellitus ini perlu diwaspadai akan terjadinya komplikasi kronik yaitu ulkus diabetik.(7) S. aureus
merupakan bakteri patogen Gram positif yang menyebabkan infeksi pada manusia.(8)
S. aureus memiliki galur resistensi yaitu
MRSA yang bersifat multiresisten atau resisten terhadap banyak antibiotik.(9) Gen
tetM merupakan gen penyebab resistensi
antibiotik tetrasiklin pada bakteri S. aureus. Gen tetM menyebabkan adanya perubahan sisi pengenalan target tetrasiklin hingga memiliki afinitas yang rendah, gen tetM yang terdapat di ekstra kromosom yakni plasmid menghalangi interaksi antara tetrasiklin dengan ribosom sehingga tetrasiklin menjadi tidak efektif.(10)
Teknik PCR merupakan cara yang cepat untuk memperbanyak sekuen DNA spesifik yang diinginkan dengan ukuran tertentu dengan mekanisme perubahan suhu.(11) Elektroforesis merupakan cara pemisahaan yang dilakukan berdasarkan perbedaan ukuran berat molekul dan muatan listrik yang dikandung oleh makro-molekul tersebut.(12) Keberhasilan PCR ditentukan ada tidaknya primer oligonukleotida yang menempel dan menyatu dengan DNA template. Suhu
annealing adalah suhu dimana primer akan
menempel pada template DNA, besarnya suhu dapat dihitung berdasarkan nilai melting temperatur (Tm) dari masing-masing primer. Pencarian kondisi optimal dari suhu annealing sangat penting, karena berkaitan dengan spesifitas dan sensitifitas produk PCR.(13) Optimasi dilakukan untuk memperoleh produk PCR yang berkualitas dan berkuantitas tinggi dengan memodifikasi komponen ataupun kondisi reaksi PCR. Optimasi suhu annealing pada penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan hasil PCR yang optimal.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan secara in
vitro menggunakan metode biologi molekuler yaitu Polymerase Chain Reaction (PCR) konvensional. Bahan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah kultur bakteri S. aureus, primer forward5’ -AGGGCATCA AGCAACATTTC-3’ dan
reverse 5’-TCGAGGTCCGTCTGAACTT T-3’, GF-1 Bacterial DNA Extraction Kit, Gel Agarose, DNA Ladder 50-500bp, DNA Ladder 100-10.000bp, Loading dye, Red
Gel, KAPA2G Fast ReadyMix PCR Kit, Mueller Hilton Agar (MHA), Nutrien Broth
(NB), Aquades, Etanol Absolut, Buffer TAE, dan larutan Na2EDTA pH 8.0.
1. Isolasi bakteri Staphylococcus aureus
Media MHA (Mueller Hinton Agar) 9,541 gram dilarutkan dengan 250 mL aquadest, dipanaskan hingga mendidih. Media disterilkan dengan autoklaf selama 15 menit. Media yang sudah steril dituang ke dalam cawan petri 10 mL dan ke dalam tabung 3 mL (dibuat agar miring), pengerjaan dilakukan di LAF. Kultur stok bakteri diambil dan divortex terlebih dahulu. Bakteri digores pada media dan diamkan selama 30 menit, inkubasi selama 24 jam dengan suhu 37°C. Peremajaan bakteri dilakukan dengan mengambil kultur tunggal Staphylococcus aureus pada cawan petri dan digoreskan pada media agar miring, dan inkubasi selama 24 jam dengan suhu 37°C. Penumbuhan bakteri pada media cair dilakukan dengan melarutkan 0,651 Nutrien Broth (NB) dengan aquades 50 mL dan dipanaskan hingga mendidih, kemudian di dinginkan. Bakteri pada agar miring diambil dan dimasukan pada media cair dan dihomogenkan, diinkubasi dengan suhu 37°C selama 24 jam.(14)Kultur bakteri siap digunakan untuk tahap ekstraksi.
2. Ekstraksi Bakteri
Kultur bakteri S. aureus dalam media cair diambil 1 ml di masukkan kedalam tube PCR dan di sentrifugasi dengan kecepatan 6000 rpm selama 2 menit. Pellet hasil sentrifugasi di ambil dan ditambahkan 100 µl buffer R1. Tambahkan lisozim atau proteinase sebanyak 20 µl dan diinkubasi pada suhu 37˚C selama 20 menit
untuk gram positif. Pellet disentrifugasi
dengan kecepatan 10.000 rpm selama 3 menit dan di buang supernatan hasil sentrifugasi. Pellet di resuspensi dengan 180 µl buffer R2 serta di tambahkan 20 µl proteinase K. Inkubasi dengan suhu 65°C selama 20 menit dan digojog setiap 5 menit. Tambahkan buffer BG sebanyak 400 µl dan diinkubasi pada suhu 65˚C selama 10
menit. Tambahkan etanol absolut sebanyak 200 µl setelah inkubasi selesai. Pindahkan sampel ke kolom sebanyak 650 µl dan sentrifugasi kembali dengan kecepatan 10.000 rpm selama 1 menit. Kolom dicuci dengan 650 µl wash buffer dan disentrifugasi dengan kecepatan 10.000 rpm selama 1 menit, buang air yang tertampung. Sentrifugasi kembali kolom dengan kecepatan 10.000 rpm selama 1 menit. Pindahkan kolom kedalam mikrotube dan ditambahkan 100 µl elution buffer TE. Sentrifugasi dengan kecepatan 10.000 rpm selama 1 menit. Simpan hasil ekstraksi dalam suhu 4 sampai -20˚C.(15)
3. Amplifikasi Gen tetM
Amplifikasi gen tetM dengan PCR menggunakan reagen KAPA2G Fast ReadyMix PCR kit dengan total volume
PCR yang digunakan adalah 12,49 µl.(16) Primer forward yang digunakan untuk gen
tetM 5’AGGGCATCAAGCAACATTTC
-3’ dan primer reverse 5’TCGAGGTCCGT
CTGAACTTT-3’.(17) Proses amplifikasi dilakukan dengan tahapan awal atau pradenaturasi yang diatur suhu 95ºC dalam waktu 1 menit, kemudian dilanjutkan dengan 35 siklus untuk 3 tahapan yaitu tahapan denaturasi dengan suhu 95ºC dalam waktu 30 detik, tahap annealing dengan suhu 57 ºC, 58ºC, dan 60ºC dalam waktu 30 detik, tahap ekstensi dengan suhu 72ºC dengan waktu 30 detik, dan pos ekstensi 72ºC selama 7 menit.(14)
Tabel 1. Tahapan Amplifikasi
Pra denaturasi 95ºC 1 menit Denaturasi 95ºC 30 detik Annealing
58ºC 60ºC
Ekstensi 72ºC 30 detik Post ekstensi 72ºC 7 menit
4. Elektroforesis
Elektroforesis dilakukan pada 2% (b/v) gel agarosa dalam larutan 1X TAE (Tris base, asam asetat g1asial, Na2EDTA pH 8.0 dan H2O), dicampurkan dan dipanaskan hingga semua agarosa larut, ditambahkan pewarna GelRed kemudian biarkan hangat. Tuang larutan agarosa kedalam tray elektroforesis yang telah disiapkan dan dipasangi sisir, biarkan agarosa dingin dan mengeras. Disiapkan 3
μl ekstraksi DNA dan ditambahkan 1 μl
loading buffer. Ambil sisiran pada gel, dan putar sisi gel. Tuang buffer TAE 1X sampai melebihi permukaan gel. Masukkan ekstraksi DNA yang sudah di tambahkan loading buffer kedalam sumur yang terbentuk secara hati-hati dan perlahan. Tambahkan DNA ladder pada bagian sumur
sebanyak 1 μl. Hubungkan alat
elektroforesis tersebut dengan power supply yang telah diatur dengan voltase 90 volt selama 1 jam. Amati pita-pita yang terbentuk dengan menggunakan UV 254 nm.(1)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Isolasi bakteri S. aureus bertujuan untuk mendapatkan kultur murni atau biakan murni. S. aureus mudah tumbuh pada banyak pembenihan bakteri. Media pembenihan yang digunakan untuk isolasi bakteri S. aureus adalah MHA (Mueller Hinton Agar). MHA merupakan media diferensial yang memiliki pH 7,4 yang mengandung ekstrak daging sapi, peptone, dan agar.(18)Media MHA berfungsi sebagai nutrisi untuk pertumbuhan bakteri S. aureus, sedangkan media Nutrient Broth
yang merupakan media cair berfungsi untuk memudahkan homogenisasi bakteri pada saat proses ekstraksi DNA. Bakteri yang sudah di gores pada petri kemudian diinkubasi selama 24 jam dengan suhu
37°C. Metode ekstraksi DNA menggunakan GF-1 Bacterial DNA Extraction Kit mengikuti prosedur dari perusahaan. Tingkat keberhasilan dari proses teknik PCR ditentukan oleh metode ekstraksi DNA yang digunakan. Pelet DNA yang mengandung polisakarida dari hasil ekstraksi dapat menghambat aktivitas kerja enzim Taq polimerase. Kontaminan lainnya seperti polifenol teroksidasi juga dapat mengikat DNA dalam bentuk ikatan kovalen sehingga DNA yang didapat bukan DNA murni.
Tahapan ekstraksi DNA terdiri dari tiga proses utama, yaitu proses lisis sel, purifikasi, dan presipitasi. Tujuan amplifikasi yaitu untuk memperbanyak DNA menggunakan teknik PCR (Polymerase Chain Reaction). Teknik tersebut dilakukan secara in vitro dan berlangsung dalam waktu yang relatif cepat. Proses perbanyakan DNA dilakukan dengan menggunakan reagen KAPA2G
Fast ReadyMix PCR Kit yang terdiri dari
beberapa komponen yang diperlukan untuk PCR seperti dNTPs, enzim Taq polimerase, dan MgCl2 yang terdapat dalam PCR
master mix.
Gen yang digunakan untuk amplifikasi adalah gen tetM. PCR didahului dengan pradenaturasi dan diakhiri dengan pos ekstensi. Pradenaturasi dilakukan untuk memastikan bahwa molekul DNA target yang ingin dilipatgandakan jumlahnya benar-benar terdenaturasi, sedangkan pos ekstensi untuk memastikan bahwa setiap utas tunggal yang tersisa sudah diperpanjang secara sempurna.(19) Optimasi perlu dilakukan untuk memastikan bahwa pengujian adalah sensitif sebagaimana diperlukan dan spesifik untuk yang diinginkan. Faktor yang yang menentukan keberhasilan PCR salah satunya adalah
tahapan PCR merupakan hal yang sangat penting untuk menghindari kesalahan penempelan primer. Suhu annealing
merupakan suhu yang diperkirakan agar primer dapat berikatan dengan template (DNA) secara stabil. Suhu annealing sangat penting untuk dioptimalisasi karena pada tahap annealing menentukan seberapa optimal primer menempel pada template DNA. Suhu annealing yang tinggi akan menyulitkan terjadinya ikatan primer sehingga menghasilkan produk PCR yang kurang efisien.
Suhu annealing yang terlalu rendah menyebabkan terjadinya penempelan primer pada DNA di tempat yang tidak spesifik. Primer yang digunakan untuk amplifikasi adalah primer tetM yang sudah memenuhi kriteria primer yang naik. Primer yang baik yaitu berukuran 18-30 bp, mengandung 40-60% G+C dan tidak memiliki selisih suhu leleh yang tinggi. Pasangan primer dengan selisih suhu leleh yang lebih dari 5°C menyebabkan penurunan proses amplifikasi, atau bahkan memungkinkan tidak terjadi proses amplifikasi.(20) Suhu annealing yang dipilih untuk amplifikasi harus dapat mengoptimalkan kerja dari primer yang digunakan. Proses annealing memerlukan waktu yang sangat singkat berkisar antara 30 detik atau kurang dari 30 detik jika Ta (Temperature of melting) dekat dengan Tm atau kecuali primer tidak terlalu panjang seperti umumnya.(21)
Optimasi yang dilakukan menggunkan suhu 57°C, 58°C dan 60°C selama 30 detik. Hasil amplifikasi dilihat dengan elektroforesis menggunakan konsentrasi gel agarosa 2% berdasarkan penelitian Pyatov et al (2017) dan dillakukan di suhu kamar.(17)(22) Konsentrasi agarosa 2% digunakan untuk pemisahan DNA yang berukuran 100-2000 bp.(23) Gen tetM memiliki ukuran 366 bp sehingga masuk dalam rentang konsentrasi agarosa 2% dengan voltase 95 V dan 50 mA dalam waktu 15, 30, 45, dan 60 menit. Pemisahan DNA yang berukuran kecil (<200 bp) menggunakan gel poliakrilamida,
pada penelitian ini untuk pemisahan DNA yang berukuran besar yaitu gen tetM 366 bp menggunakan gel agarosa. DNA dalam gel agaraosa dapat terllihat dengan penambahan GelRed yang akan berikatan dengan DNA dan akan bersifat fuorescens dibawah sinar UV.(24) (25) (26) Berdasarkan hasil optimasi suhu 57°C dan 58°C menunjukkan tidak adanya gen tetM yang muncul, dilihat menggunakan lampu UV 254 nm.
Gambar 1. Hasil Elektroforesis annealing
57°C selama 60 menit. A: Ladder 100-10.000, B: kontrol negatif, C: Sampel
Gambar 2. Hasil Elektroforesis annealing
58°C selama 60 menit. A: Ladder 100-10.000, B: kontrol negatif, C: Sampel
100 150 200 600 500 400 800 1200 1000 A B C A B C 4000 1600
Gambar 3. Hasil Elektroforesis annealing
60°C selama 60 menit. A: Ladder 50-500, B: kontrol negatif, C: Sampel
Optimasi pada suhu 57°C menunjukkan tidak munculnya gen tetM sedangkan optimasi suhu 58°C menunjukkan adanya pita DNA yang berukuran selain 366 bp pada elektroforesis. Hal ini terjadi akibat suhu
annealing yang digunakan tidak sesuai
untuk mengamplifikasi DNA sehingga proses penempelan primer pada DNA target tidak terjadi atau mispriming. Hal ini juga dapat terjadi akibat adanya false priming yaitu kesalahan penempelan primer diluar suhu annealing yang akan mengakibatkan kesalahan pembentukan produk pada suhu tertentu sehingga hasil yang diinginkan tidak sesuai.(27) Optimasi suhu 60°C menggunakan Ladder dengan ukuran 50-500 bp menunjukkan terdapatnya pita DNA yang berukuran spesifik 366bp diikuti dengan smear atau ekor. Gen tetM muncul pada waktu 60 menit.
Hasil analisis PCR menggunakan primer tetM menunjukkan terdapat pita
DNA yang ditandai dengan munculnya fragmen DNA yang memiliki panjang spesifik 366 bp yang dibandingkan dengan marker. Hal ini sesuai dengan penelitian Pyatov (2017) yang menggunakan primer dan suhu annealing yang sama untuk mendeteksi gen resistensi pada mastitis. Letak pita DNA menggunakan primer
forward 5’AGGGCATCAAGCAACATTT
C-3’ dan reverse 5’TCGAGGTCCGTCTG
AACTTT-3’ pada penelitian ini berada
diantara 350bp dan 400bp. Letak tersebut sesuai dengan sekuens data dari GenBank NCBI yaitu NC_017331.
Pita DNA yang muncul diikuti oleh smear atau materi ikutan yang dapat disebabkan karena pada DNA masih terdapat protein dan RNA. Smear tersebut bisa merupakan sisa dari larutan-larutan yang masih terbawa selama proses ekstraksi atau juga dapat berupa DNA yang terdegradasi. DNA juga dapat mengalami
overload pada saat proses PCR. Volume
kultur bakteri yang terlalu tinggi dapat membuat tube terlalu penuh dengan DNA yang dapat menjadi faktor munculnya smear. Hal ini dapat di atasi dengan mengurangi volume DNA template.
Menurut Irmawati (2003) smear dapat terjadi akibat terputusnya ikatan antar molekul yang disebabkan oleh adanya gerakan fisik yang berlebihan yang dapat terjadi dalam proses pemipetan, pada saat dibolak-balik dalam ependorf atau proses sentrifugasi.(28)
Munculnya gen tetM ini menunjukkan bahwa adanya resistensi pada bakteri S. aureus terhadap antibiotik Tetrasiklin.(10) Mekanisme terjadinya resistensi tetrasiklin antara lain disebabkan adanya perubahan sisi pengenalan target tetrasiklin hingga memiliki afinitas yang rendah, gen tetM yang terdapat di ekstra kromosom yakni plasmid menghalangi interaksi antara tetrasiklin dengan ribosom sehingga tetrasiklin menjadi tidak efektif.(10) Menurut Trzcinski et al. (2000) keberadaan gen tetM pada isolat S.aureus perlu diwaspadai, karena diketahui tidak hanya menyebabkan sifat resistensi S.aureus
terhadap tetrasiklin namun juga perlu diobservasi kemungkinan resistensi pada antibiotik lain. Hal ini menyebabkan berkurangnya pilihan jenis antibiotik yang dapat digunakan pada kasus penyakit ulkus diabetik yang disebabkan bakteri S.aureus.
KESIMPULAN
Kesimpulan dari penelitian ini adalah suhu annealing 60°C selama 30 detik merupakan suhu annealing optimum untuk mengidenttifikasi gen tetM ukuran 366bp penyebab resistensi terhadap antibiotik tetrasiklin dari isolat bakteri S.
aureus pada pasien ulkus diabetik dengan
menggunakan primer spesifik.
SARAN
Saran untuk penelitian ini yaitu perlu dilakukan analisis lebih lanjut terhadap produk PCR menggunakan teknik sekuensing untuk mengetahui urutan basa dan mutasi yang terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Pranawaty, R.N., Buwono, I.D., Liviawat, E. Aplikasi Polymerase Chain Reaction (PCR) Konvensional dan Real Time PCR untuk Deteksi White Spot Syndrome Virus pada Kepiting. Jurnal Perikanan dan Kelautan. 2012 Desember;3(4):61–74. 2. Feranisa, A. Komparasi Antara Polymerase Chain Reaction (PCR) Dan Loopmediated Isothermal Amplification (LAMP) Dalam Diagnosis Molekuler. ODONTO Dental Journal. 2016 Desember;3(2):146–7.
3. Yusuf, Z.K. Polymerase Chain Reaction (PCR). 2010;5(6):1–6. 4. Handoyo, D dan Rudiretna, A. Prinsip
Umum dan Pelaksanaan Polimerase Chain Reaction (PCR). Unitas. 2001;9(1):23–7.
5. Nur, A., Marissa, N. Gambaran Bakteri Ulkus Diabetikum di Rumah Sakit Zainal Abidin dan Meuraxa Tahun 2015. Buletin Penelitian Kesehatan. 2016;44(3):187–96.
6. Mathangi, T., Prabhakaran, P. Prevalence of Bacteria Isolated from Type 2 Diabetic Foot Ulcers and the Antibiotic Susceptibility Pattern. IntJCurrMicrobiolAppSci.
2013;2(0):10–20.
7. Hasnawati, Sugito, Purwanto, H., Brahim, R. Profil Kesehatan Indonesia 2008. Jakarta: Depkes RI; 2009.
8. Kusnan, Kusmanto D, Slipranata M. Resistensi Antibiotik Dan Deteksi Gen Pengode Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) Isolat Broiler Di Wilayah Yogyakarta. Jurnal Kedokteran Hewan. 2016 Mar;10(1):13–5.
9. Yuwono. Pandemi Resistensi Antimikroba: Belajar dari MRSA. JKK. 2010;42(1):2837–42.
10. Ardaninggar, A.A.A., Hidayati, A.N. Resistensi Obat Multipel pada Gonore (Multidrug Resistant Gonorrhoeae). J Indon Med Assoc. Oktober;67(10). 11. Erviani, A.E. Analisis Multidrug
Resistensi Terhadap Antibiotik Pada Salmonella typhi Dengan Teknik Multiplex PCR. Jurnal Ilmiah Biologi. 2013 Jun;1(1):51–60.
12. Pratiwi, R. Mengenal Metode Elektroforesis. Oseana. 2001;26(1):25–31.
13. Asy’ari, M., Noer, A.S. Optimasi
Konsentrasi MgCl2 dan Suhu Annealing Pada Proses Amplifikasi Multifragmens Mtdna Dengan Metoda PCR. JKSA. 2005;8(1). 14. Brakstad, O.G., Aasbakk, K.,
Maeland, J. Detection of Staphylococcus aureus by Polymerase Chain Reaction Amplification of the nuc Gene. 1992 Jul;30(7):1654–6. 15. Rachmawati, R., Susilowati, P.E.,
Raharjo, S. Analisis Gen Merkuri Reduktase (Mera) Pada Isolat Bakteri Dari Tambang Emas Kabupaten Bombana Sulawesi Tenggara. 2013;3(2):108–10.
16. Kapabiosystems. Kapa 2G Fast ReadyMix PCR Kit [Internet]. [cited
2019 Dec 1]. Available from: https://www.kapabiosystems.com 17. Pyatov V, Vrtková I, Knoll A.
Detection of selected antibiotic resistance genes using multiplex PCR assay in mastitis pathogens in the Czech Republic. Acta Vet Brno. 2017;86(2):167–74.
18. Murray, P.R., Zeitinger, J.R. Evaluation of Mueller Hinton Agar for Disk Diffusion Susceptibility Tests. Journal of Clinical Microbiology. 1983;18(5).
19. Promega. PCR Core System-Technical Buletin. Instruction for use of Products M7660 and M7665. Printed in USA: Promega Corporation; 2001.
20. Pahlevi, M.R. Desain Primer untuk Identifikasi Gen GmDREB2 pada Kedelai. Jurnal Agrinis. 2016;1(1). 21. Rybicky EP. PCR Primer Design and
Reaction Optimisation In Molecular Biology Techniques Manual. South Africa: epartement of Microbiology University Cape Town; 2001.
22. Hidayati, Saleh, E., dan Aulawi, T. Identifikasi Keragaman Gen BMPR-1B (Bone Morphogenetic Protein Receptor IB) pada Ayam Arab, Ayam Kampung, dan Ayam Ras Petelur menggunakan PCR-RFLP. Jurnal Peternakan. 2016;13(1):1–12.
23. Thermo Scientific. General Recomendation for DNA
Electrophoresis [Internet]. [cited 2019 Nov 15]. Available from: https://www.thermofisher.com/conten t/dam/LifeTech/global/brands/Docum ents/1114/general-recommendations-dna-electrophoresis.pdf
24. Birren, B., Green, E.D., Klapholz, S., Myers, R.H., Riethman, H., Roskams, J. Genome Analysis. a Laboratory Manual. New York: Cold Spring Harbour Laboratory Press; 1999. 25. Barker, K. At the Bench : a
Laboratory Navigator. Chapter 15. New York: Cold Spring Harbour Laboratory Press; 1998.
26. Sambrook, J., Fritsch, E.F., Maniatis, T.,. Moleculer Cloning. a Laboratory Manual, Book 1. New York: Cold Spring Harbour Laboratory Press; 1989.
27. Maitriani, L.K.B., Wirajana, i.n., Yowani, S.C. Desain Primer Untuk Amplifikasi Fragmen Gen Inha Isolat 134 Multidrug Resistance Tuberculosis (MDR-TB) Dengan Metode Polymerase Chain Reaction. Indonesia E-Journal of Applied Chemistry Cakra Kimia. 2015 Oktober;3:89–90.
28. Irmawati. Perubahan Keragaman Genetik Ikan Kerapu Tikus Generasi Pertama pada Stok Hatchery. Thesis. Bogor: ITB; 2003.