• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesadaran Dan Transformasi Diri Dalam Kajian Dakwah Islam Dan Komunikasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kesadaran Dan Transformasi Diri Dalam Kajian Dakwah Islam Dan Komunikasi"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

KESADARAN DAN

KESADARAN DAN

KESADARAN DAN

KESADARAN DAN

KESADARAN DAN TRANSFORMASI DIRI

TRANSFORMASI DIRI

TRANSFORMASI DIRI

TRANSFORMASI DIRI

TRANSFORMASI DIRI

DALAM KAJIAN DAKW

DALAM KAJIAN DAKW

DALAM KAJIAN DAKW

DALAM KAJIAN DAKW

DALAM KAJIAN DAKWAH ISLAM DAN

AH ISLAM DAN

AH ISLAM DAN

AH ISLAM DAN

AH ISLAM DAN

KOMUNIKASI

KOMUNIKASI

KOMUNIKASI

KOMUNIKASI

KOMUNIKASI

Uus Uswatusolihah

IAIN Purwokerto Abstract AbstractAbstract Abstract

Abstract: Human behavior is a product of the interpretation on the surrounding world through social interaction. It is how a person defines others, situa-tions, objects, and ever his own that defines him/herself. Accordingly, it is the individual him/herself that is active to manage and define his/her be-havior and environment. Meanwhile, the essence of individual is conscious-ness. Personal development depends on communication with other people who forms or influences the person, and the vice versa, a person can form and influence other people. Communication also has a significant role in social development. Therefore, what is happening to Indonesian society is a reflection of behaviors and accumulation of individual consciousness level of the citizens. To change the condition of Indonesia, we have to start chang-ing the individuals. Islamic da’wah should be committed through buildchang-ing individual consciousness and constructing positive self-concept among the audience (mad’u). this is because only people with positive self-concept can improve themselves for their ability to reveal the aspects of personality they don’t like and try to change.

Keywords: Keywords: Keywords: Keywords:

Keywords: Consciousness, Transformation, Self, Da’wah, Communication Abstrak

AbstrakAbstrak Abstrak

Abstrak: Perilaku manusia merupakan produk dari interpretasi mereka atas dunia di sekeliling mereka lewat interaksi sosial. Definisi yang mereka berikan kepada orang lain, situasi, objek dan bahkan diri mereka sendirilah yang menentukan perilaku mereka. Jadi individulah yang dipandang aktif untuk mengatur dan menentukan perilaku serta lingkungannya sendiri. Sementara inti dari individu adalah kesadaran (consciousness). perkembangan diri bergantung pada komunikasi dengan orang lain, yang membentuk atau mempengaruhi diri sebagaimana orang–orang tersebut dipengaruhi kehadiran diri tersebut. Komunikasi juga berperan penting dalam perkembangan masyarakat. Dengan demikian, apa yang terjadi dengan masyarakat bangsa Indonesia pada hakekatnya merupakan cermin perilaku dan akumulasi tingkat kesadaran individu-individu warga negaranya. jika ingin mengubah kondisi

(2)

bangsa Indonesia, maka kita harus memulainya dengan mengubah individu-individu warga negaranya. Dakwah Islam harus dilakukan dengan mem-bangun kesadaran individual dan membentuk konsep diri mad’u yang positif. Karena hanya orang yang memiliki konsep diri positiflah yang akan mampu memperbaiki dirinya karena ia sanggup mengungkapkan aspek-aspek kepribadian yang tidak disenanginya dan berusaha mengubahnya.

Kata Kunci Kata Kunci Kata Kunci Kata Kunci

Kata Kunci: Kesadaran, Transformasi, Diri, Dakwah, Komunikasi

PENDAHULUAN

PENDAHULUAN

PENDAHULUAN

PENDAHULUAN

PENDAHULUAN

Salah satu slogan yang sering kita banggakan sebagai bangsa Indonesia adalah bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang ramah, sopan dan religius dengan 90% lebih penduduknya adalah muslim. Namun ironisnya, setiap hari kita menyaksikan berbagai peristiwa amoral dan asosial yang menyayat hati dan menciderai kemanusiaan. Melalui saluran media massa, kita kerap melihat berita tentang pencurian, pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, perang antar kampung, dan konflik antar suku dan agama. Belum lagi pemberitaan tentang kebejatan moral yang dilakukan oleh para pejabat negara, anggota dewan, bahkan orang-orang yang dianggap ahli agama dan terdidik. Perilaku amoral dan asosial itu nampak begitu mudah dan entengnya dilakukan oleh pelaku, dan karena seringnya membuat kita sebagai penonton pun sepertinya tidak lagi merasa miris dan haru.

Singkatnya, -dalam bahasa dakwah- kemunkaran dan kemaksiatan tampaknya telah menjadi kebiasaan dan karakter masyarakat kita. Mengapa hal itu terjadi? Mengapa perilaku seperti itu bisa terjadi? Mana efek ceramah-ceramah agama dan maraknya pengajian di hampir seluruh stasiun radio dan televisi? Mana fungsi sholat yang katanya mencegah perbuatan keji dan munkar? Mana bekas bulan suci Ramadhan yang katanya bulan bengkel jiwa dan penyucian diri? Kita bisa dengan mudah melimpahkan kesalahan ini kepada orang lain. Kita bisa melimpahkannya kepada para pimpinan dan pejabat negara yang tidak bisa memimpin dan tidak bisa menjadi teladan. Kita juga mungkin bisa melimpahkan kesalahan kepada para kiai dan ulama yang dianggap kurang ikhlas dan semangat berdakwah. Kita juga bisa melimpahkan kesalahan kepada sistem pendidikan nasional dan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.

Dalam perspektif interaksionisme simbolik, masyarakat dan individu merupakan satu kesatuan yang saling terkait. Kondisi masyarakat merupakan cermin dari individunya, juga sebaliknya, individu merupakan gambaran dari

(3)

suatu masyarakat. Masyarakat eksis dan membentuk individu, juga sebaliknya, individulah yang menciptakan dan membentuk masyarakat. Diri dan masyarakat saling mempengaruhi, masing-masing menjadi rujukan bagi yang lainnya sehingga keduanya disebut kembar (twin born).1 Perilaku manusia merupakan produk dari

interpretasi mereka atas dunia di sekeliling mereka lewat interaksi sosial. Perilaku seringkali merupakan pilihan individu sebagai hal yang layak dilakukan berdasarkan caranya mendefinisikan situasi yang ada. Definisi yang mereka berikan kepada orang lain, situasi, objek dan bahkan diri mereka sendirilah yang menentukan perilaku mereka. Jadi individulah yang dipandang aktif untuk mengatur dan menentukan perilaku serta lingkungannya sendiri. Sementara inti dari individu adalah kesadaran (consciousness).2

Dengan demikian, apa yang terjadi dengan masyarakat bangsa Indonesia pada hakekatnya merupakan cermin perilaku dan akumulasi tingkat kesadaran individu-individu warga negaranya. Oleh karena itu dalam perspektif ini, jika ingin mengubah kondisi bangsa Indonesia, maka kita harus memulainya dengan mengubah individu-individu warga negaranya.

Tema perubahan atau transformasi diri merupakan tema yang menarik perhatian, baik kalangan ilmuan sosial maupun agamawan. Dalam kajian ilmu sosial, transformasi diri banyak dibahas dalam psikologi, sosiologi dan ilmu komunikasi terutama dalam perspektif teori interaksionisme simbolik. Dalam kajian agama, permasalahan transformasi diri menemukan relevansi dan signifikansinya dalam ilmu dakwah. Bukankah transformasi merupakan makna luas dari dakwah Islam. Bukankah tujuan dakwah Islam adalah mengubah kondisi mad’u dari kondisi semula menuju kondisi yang lebih baik? Tulisan singkat ini mencoba menggali bagaimana transformasi diri ditinjau dalam perspektif dakwah dan komunikasi.

TRANSFORMASI DIRI DAN KESADARAN

TRANSFORMASI DIRI DAN KESADARAN

TRANSFORMASI DIRI DAN KESADARAN

TRANSFORMASI DIRI DAN KESADARAN

TRANSFORMASI DIRI DAN KESADARAN

Transformasi merupakan proses restrukturisasi yang segala identifikasi dan gambaran diri terdahulu yang diolah dalam perspektif masa depan dan pandangan terhadap ruang sosialnya. Transformasi terjadi karena perubahan kondisi psikologis dan lingkungan individu. Transformasi diri dapat terjadi karena adanya kesadaran (consciousness) dalam diri individu atas situasi dan kondisi psikologis dan lingkungannya. Dedy Mulyana menuliskan:

“Kesadarann berubah bila hubungan antara diri dan pengalaman sosialnya ditafsir ulang dan dilihat dengan pemahaman baru: bila apa yang sebelumnya dianggap suatu keniscayaan (taken for granted)...menjadi problematik,

(4)

menjadi problematik, bila pembedaan-pembedaan dan kategori-kategori lama kehilangan manfaatnya, digantikan oleh tipikasi-tipikasi dan definisi-definisi baru”.

Para psikolog membagi kesadaran ke dalam tiga lapisan: lapisan kesadaran yang bisa terlihat, terasa dan terdengar seketika, lapisan sub-sadar dan lapisan ketidaksadaran. Lapisan sub-sadar adalah lapisan yang baru bisa diketahui ketika kita berusaha keras untuk memfokuskan pikiran untuk menggalinya. Karena jika tidak kita gali maka ia akan terpendam bahkan tenggelam ke tingkat yang lebih dalam yaitu ketidaksadaran. Orang yang lapisan ketidaksadarannya tebal sering tidak tahu bahwa ia sedang membohongi diri sendiri, tidak bisa melihat kesalahannya sendiri dan akibatnya ia sulit berubah. Dalam filsafat India, hubungan antara kesadaran dan ketidaksadaran sering diibaratkan dengan manusia yang menunggang gajah. Manusia ibarat kesadaran, gajah ibarat ketidaksadaran. Sanggupkah manusia si kesadaran mengendalikan “si gajah” ketidaksadaran yang lebih besar dan powerful?3

Dari hasil berbagai penelitian psikologi, diketahui bahwa kemampuan mengendalikan ketidaksadaran sehingga membuatnya menjadi tipis, dan tentunya dapat menebalkan wilayah kesadaran, hanya bisa dilakukan bila seseorang rajin melakukan observasi diri. Obsevasi diri dilakukan dengan melakukan introspeksi seraya menelaah isi pikiran, menelaan keinginan, dan menelaah segala perasaan dan situasi dirinya. Dengan observasi dan penelaahan itu, seseorang akan mampu berkenalan bahkan lebih familier dengan “si gajah” ketidaksadarannya yang kebanyakan berisi hal-hal yang negatif. Latihan menelaah ketidaksadaran melalui kesadarannya akan membuat seseorang terlatih untuk meningkatkan kontrol dirinya.4

Bagi George Herbert Mead, kesadaran merupakan esensi diridan sumber identitas. Menurutnya, kesadaran-diri berarti menjadi suatu diri dalam penga-laman seseorang sejauh sikap yang dimilikinya sendiri membangkitkan sikap serupa dalam upaya sosial. Kesadaran adalah pemahaman manusia atas pengalamannya sendiri, yang memungkinkannya mendefinisikan dirinya sendiri dan keadaannya. Dengan kata lain, kesadaran diri menurut Mead menyangkut objektifikasi diri.5 Kesadaran adalah hubungan antara individu

dengan lingkungannya sejauh lingkungan itu eksis bagi individu. Kesadaran berarti hubungan diri yang mengamati, mengetahui dan berefleksi dan dunia sosial di sekelilingnya. Ia adalah pemahaman manusia atas pengalamnnya.6

Kesadaran inilah yang menyebabkan manusia melakukan perubahan atau transformasi diri.

(5)

TRANSFORMASI DIRI SEBAGAI

TRANSFORMASI DIRI SEBAGAI

TRANSFORMASI DIRI SEBAGAI

TRANSFORMASI DIRI SEBAGAI

TRANSFORMASI DIRI SEBAGAI TUJUAN DAKW

TUJUAN DAKW

TUJUAN DAKW

TUJUAN DAKW

TUJUAN DAKWAH

AH

AH

AH

AH

Secara etimologi, dakwah terambil dari kata

ﺓﻮﻋﺩ ﻮﻋﺪﻳ ﺎﻋﺩ

  yang secara

memiliki kesamaan makna dengan kata al-nida’ yang berarti menyeru atau me-manggil. Di dalam al-Qur’an, kata dakwah dan derivasinya terulang sebanyak 215 kali.7 Ketika menjelaskan istilah tersebut, pakar bahasa Ibnu Manzur

menyebutkan beberapa arti yang terkandung seperti: meminta pertolongan, menghambakan diri, memanjatkan doa, persaksian Islam dan memanggil atau mengundang (al-nida’).8 Islam disebut agama dakwah (di>n al-da’wah) karena

ia mengajak orang agar berkenan mengikuti seruannya.

Adapun secara terminologis terdapat beberapa pengertian dakwah yang tidak seragam yang dikemukakan oleh para ulama. Syekh Ali Mahfudz misal-nya, mengartikan dakwah dengan memotivasi manusia kepada kebaikan dan petunjuk Allah SWT, serta mengajak untuk melakukan kebiasaan-kebiasaan yang dipandang terpuji dan mencegah mereka dari melakukan kebiasaan-kebiasaan yang dipandang tidak pantas oleh akal maupun syara’.9 Senada

dengan itu, Ilyas Ismail, seraya mengutip dari Azizi Ibn Farhan al-Anzi, men-jelaskan bahwa dakwah juga dapat diartikan sebagai suatu aktivitas untuk me-motivasi orang lain dengan bas}i>rah supaya menempuh jalan yang diridai Allah SWT. Bas}i>rah maksudnya pengetahuan yang mendalam dengan tujuan agar motivasi ini tepat sasaran. Dakwah Islam dengan bas}i>rah maknanya berarti dakwah yang disebarluaskan dengan cara damai dan bukan dengan kekerasan, serta mengutamakan aspek kognitif (kesadaran intelektual) dan afektif (kesa-daran emosional).10

Sayyid Quthub mendefinisikan dakwah sebagai usaha untuk mewujudkan sistem Islam dalam kehidupan nyata, mulai dalam tatanan yang paling kecil, seperti individu, keluarga, hingga tatanan yang lebih besar seperti Negara atau ummah dengan tujuan mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.11 Untuk

me-wujudkan tujuan tersebut, menurut Quraish Shihab, diperlukan keinsafan atau kesadaran masyarakat untuk melakukan perubahan diri dari keadaan yang kurang baik menjadi lebih baik.12

Amrullah Ahmad mendefinisikan dakwah sebagai ikhtiar mengajak manusia masuk ke jalan Allah (sistem Islam) sehingga Islam dapat dilaksanakan dalam kehidupan pribadi (syakhsiyyah), keluarga (usroh), kelompok (jama>’ah) sehingga tercipta khairul ummah.13 Dalam realisasinya, usaha mengajak itu

dengan melibatkan unsur-unsur penyeru, pesan, media, metode, yang diseru, dan tujuan. Sementara itu, dalam pengertian yang luas, menurut al-Bahiy, dakwah

(6)

Islam pada hakikatnya adalah mengubah suatu situasi ke situasi yang lebih baik, sesuai ajaran Islam.14

Dengan demikian, dapat dijelaskan bahwa dalam dakwah terdapat dua

dimensi besar: Pertama, mencakup penyampaian pesan kebenaran, yaitu

dimensi “kerisalahan” (bi ah}san al-qawl). Dimensi kerisalahan dakwah mencoba menumbuhkan kesadaran diri (individu/masyarakat) tentang kebenaran nilai dan pandangan hidup secara Islami, sehingga terjadi proses internalisasi nilai-nilai Islam sebagai nilai-nilai hidupnya. Dengan kata lain dakwah kerisalahan dalam prakteknya merupakan proses mengkomunikasikan dan menginternalisasikan nilai-nilai Islam. Kedua, mencakup pengaplikasian nilai kebenaran yang meru-pakan “kerahmatan” (bi ah}san al-‘amal). Dakwah kerahmatan ini merupakan upaya mengaktualisasikan Islam sebagai rahmat (jalan hidup yang menyejah-terakan, membahagiakan, dan sebagainya) dalam kehidupan umat manusia. Dengan begitu, kalau dalam dimensi kerisalahan dakwah lebih cocok sebagai “pengenalan Islam” dan “penanaman kesadaran”, sedangkan dalam dimensi kerahmatan, dakwah merupakan upaya mewujudkan Islam dalam kehidupan.15

Dari uraian di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa terdapat definisi yang beragam redaksi dan pengungkapannya, namun dari semua definisi itu dapat ditarik benang merah bahwa tujuan dakwah Islam adalah transformasi atau perubahan menuju kondisi yang lebih baik dari sebelumnya sesuai dengan ajaran Islam kerena adanya kesadaran dalam diri sendiri dan tanpa paksaan. Transformasi dimulai dari yang paling kecil yakni individu, lalu keluarga, ma-syarakat dan negara. Transformasi suatu kaum, bangsa atau negara tidak mungkin terjadi tanpa perubahan-perubahan dari dalam individu-individu masyarakatnya.

Dalam al-Qur’an, padanan kata untuk transformasi atau perubahan adalah “taghyi>r” (change). Berdasarkan QS. al-Ra’du ayat 11:

نا

ﲑﻐﻳ

ﺎﻣ

مﻮﻘﺑ

ﲑﻐﻳ

ﱴﺣ

ﺎﻣ

ﻢﻬﺴﻔﻧﺎﺑ

“… Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri…..”

Kata “anfus” dalam bahasa Arab, merupakan bentuk jamak dari kata “nafs”. Kata an-nafs sering kali diterjemahkan menjadi ruh, nafsu, diri dan

jiwa.16 Menurut Fazlur Rahman, kata an-nafs dalam al-Qur’an dan

diterje-mahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan ‘jiwa”, sesungguhnya berarti

“pribadi” atau “keakuan”. Oleh karena itu, kalimat an-nafs al-muthmainnah dan

(7)

puas dan jiwa yang mengutuk), sebaiknya dipahami sebagai keadaan-keadaan mental, aspek-aspek, watak-watak, atau kecenderungan-kecenderungan dari pribadi manusia.17

An-nafs dalam pengertian pribadi atau keakuan adalah totalitas diri manusia. Pernyataan ‘aku” adalah pernyataan total tentang diri seseorang. Jika seseorang mengatakan “aku makan”, maka pernyataan aku menunjuk pada totalitas diri meskipun yang melakukan makan adalah mulutnya. Oleh karena itu, ia tidak akan mengatakan mulutku makan. Demikian juga dengan per-nyataan “aku punya pensil”, perper-nyataan aku menunjuk pada totalitas diri meskipun yang memegang pensil adalah tangannya. Jadi, pernyataan “aku”, baik dalam kaitan dengan perbuatan atau pemilikan menyangkut hal-hal yang fisik dan non-fisik, yang di dalamnya terdapat kesatuan transenden, kesatuan dari keadaan-keadaan dan perbuatan dan kesatuan dari kualitas-kualitas, yang membentuk sebuah eksistensi yang terdiri dari jasa>d,haya>t dan ru>h.18 Dengan

demikian, nafs adalah kesatuan dinamik yang bersifat spiritual dari jasa>d,haya>t

dan ru>h, dimana dinamikanya akan tercermin dalam aktivitas hidupnya. “Keakuan” muncul ketika kesadaran manusia tentang dirinya terbentuk, dan terbentuknya kesdaran tersebut sesungguhnya dumulai sejak manusia lahir. Kesadaran tentang diri dibentuk dan terus berkembang yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik internal maupun eksternal. Faktor internal adalah kapa-sitas berpikir yang terbawa oleh kodratnya, sedangkan faktor eksternal adalah keluarga, lingkungan tempat dia hidup, kebudayaan, termasuk di dalamnya adalah pendidikan. Munculnya kesadaran tentang diri menempatkan manusia pada posisi objek dan subjek. Manusia sebagai kesadaran adalah subjek meng-hadapi dirinya sebagai objek. Kesadaran muncul sebagai buah dari perenungan terhadap diri sendiri.19

Beragama yang sempurna harus berasal dari kesadaran dari dalam diri sendiri, dan itulah yang diharapkan dalam dakwah Islam. Oleh karena itu, dengan tegas al-Qur’an melarang sikap pemaksaan dalam beragam sebagaimana dalam firman Allah surat al-Baqarah ayat 256:

“..Tidak boleh ada paksaan dalam beragama, sebab sudah jelaslah yang benar itu dari yang salah… (QS. al-Baqarah: 256)

Kata an-nafs terjemahannya dalam bahasa Inggris adalah “self” (diri). Konsep tentang self atau diri banyak mendapat perhatian ilmuwan sosial karena diri merupakan hal yang penting dalam interaksi sosial. Pembahasan tentang

(8)

self (diri) terutama menjadi pusat perhatian dalam tradisi fenomenologis, terutama perspektif interaksionisme simbolik.

TEORI “DIRI” PERSPEKTIF INTERAKSIONISME

TEORI “DIRI” PERSPEKTIF INTERAKSIONISME

TEORI “DIRI” PERSPEKTIF INTERAKSIONISME

TEORI “DIRI” PERSPEKTIF INTERAKSIONISME

TEORI “DIRI” PERSPEKTIF INTERAKSIONISME

SIM-BOLIK

BOLIK

BOLIK

BOLIK

BOLIK

Perspektif Interaksionisme Simbolik dalam Kajian Komunikasi

Perspektif Interaksionisme Simbolik dalam Kajian Komunikasi

Perspektif Interaksionisme Simbolik dalam Kajian Komunikasi

Perspektif Interaksionisme Simbolik dalam Kajian Komunikasi

Perspektif Interaksionisme Simbolik dalam Kajian Komunikasi

Perspektif interaksionisme simbolik merupakan salah satu pendekatan dalam tradisi fenomenologis atau interpretatif, selain pendekatan etnome-todologis. Maurice Natanson menggunakan istilah fenomenologis sebagai istilah umum untuk merujuk kepada semua pandangan ilmu sosial yang menganggap kesadaran manusia dan makna subjektifnya sebagai fokus untuk memahami tindakan sosial.20 Tradisi fenomenologi menurut Creswel adalah

studi yang berupaya menjelaskan makna pengalaman hidup sejumlah orang tentang suatu konsep atau gejala, termasuk di dalamnya konsep diri atau pandangan hidup mereka sendiri.21 Littlejohn menyatakan “phenomenology

makes actual lived experience the basic data of reality”, fenomenologi menjadi-kan pengalaman hidup yang sesungguhnya sebagai data dasar dari realitas.22

Dedy Mulyana memandang bahwa fenomenologi termasuk pendekatan inter-pretif atau subjektif, yang memandang manusia aktif, reflektif, dan kreatif. Pendekatan interpretif bertolak belakang dengan paradigma objektif atau struktural yang berasumsi bahwa manusia adalah pasif.23

Meski perspektif fenomenologis pada mulanya adalah pendekatan dalam sosiologi dan psikologi, namun tidak salah kalau dikatakan bahwa perspektif tersebut secara lugas disebut sebagai salah satu perspektif dalam ilmu komu-nikasi. Hal ini karena sebagaimana diketahui bersama bahwa kajian ilmu komunikasi memang banyak mengadopsi dan meminjam dari disiplin lain, terutama psikologi dan sosiologi, baik dalam pendekatan maupun materinya. Teori Interaksionisme Simbolik dikembangkan oleh George Herbert Mead pada tahun 1920-an dan 1930–an ketika Ia menjadi dosen filsafat di Universitas Chicago. Mead banyak menulis artikel, namun gagasan-gagasannya mengenai interaksi simbolik justru berkembang pesat setelah para mahasiswanya me-nerbitkan catatan-catatan dan bahan kuliahnya, terutama melalui buku yang menjadi rujukan utama teori interaksi simbolik, Mind, Self and Society. Buku itu justru terbit tak lama setelah Mead meninggal dunia. Penyebaran teori Mead berlangsung melalui interpretasi dan penjabaran oleh para mahasiswanya.

(9)

Salah satu mahasiswanya yang justru melakukan interpretasi dan penja-baran lebih lanjut gagasan-gagasan Mead adalah Herbert Blumer. Bahkan Blumer-lah yang menciptakan istilah “interaksi simbolik” pada tahun 1937 dan mempopulerkannya di kalangan akademik.24

Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Komu-nikasi merupakan aspek yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Kita belajar menjadi manusia melalui komunikasi. Seorang anak kecil hanyalah se-onggok daging sampai dia belajar mengungkapkan perasaannya melalui tangisan, tendangan, atau senyuman yang merupakan bentuk kemampuan berkomuniksinya yang paling sederhana. Selanjutnya, melalui komunikasi, kita menemukan diri kita, mengembangkan konsep diri dan menetapkan hubungan dengan orang lain. Penelitian menunjukkan bahwa 75% waktu bangun (terjaga) manusia digunakan untuk berkomunikasi.25You cannot not communicate, Anda

tidak dapat tidak berkomunikasi.26

Menurut teoritisi interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya ada-lah interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol. Simbol digunakan untuk merepresentasikan apa yang dimaksudkan oleh manusia untuk berko-munikasi dengan sesamanya. Interaksionisme simbolik berusaha memahami manusia dari sudut pandang subjek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain, situasi, objek, dan diri mereka sendirilah yang menentukan perilaku. Oleh karena itu, perspektif interaksionisme simbolik berpandangan bahwa perilaku manusia pada dasarnya adalah produk dari interpretasi mereka atas dunia di sekeliling mereka, perilaku dipilih sebagai hal yang layak dilakukan berdasarkan cara individu mendefinisikan situasi yang ada.27

Secara ringkas, interaksionisme simbolik didasarkan pada premis-premis sebagai berikut: Pertama, Individu merespon suatu situasi simbolik. Mereka merespon lingkungan, termasuk objek fisik (benda) dan objek sosial (perilaku manusia) berdasarkan makna yang dikandung komponen-komponen lingku-ngan tersebut bagi mereka. Ketika mereka menghadapi suatu situasi, responnya bergantung pada bagaimana mereka mendefinisikan situasi yang dihadapi dalam interaksi sosial. Kedua, makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat pada objek melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Negosiasi itu dimungkinkan karena manusia mampu menamai segala sesuatu, bukan hanya objek fisik tetapi juga gagasan-gagasan abstrak. Ketiga,

(10)

makna yang diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu se-jalan dengan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial. Perubahan inter-pretasi dimungkinkan karena individu dapat melakukan proses mental, yakni berkomunikasi dengan dirinya sendiri. Manusia membayangkan atau meren-canakan apa yang akan mereka lakukan. Dalam proses ini, individu meng-antisipasi reaksi orang lain, mencari alternatif-alternatif ucapan atau tindakan apa yang akan ia lakukan.

George Ritzer meringkaskan teori interaksi simbolik ke dalam prinsip-prinsip sebagai berikut:28

a. Manusia diberkahi kemampuan berpikir, sehingga ia tidak seperti hewan, b. Kemampuan berpikir manusia dibentuk oleh interaksi sosial.

c. Dalam interaksi sosial, manusia belajar makna dan simbol yang memung-kinkan mereka menerapkan kemampuan khas mereka, yakni berpikir. d. Makna dan simbol memungkinkan manusia melanjutkan tindakan (action)

dan interaksi yang khas manusia.

e. Manusia mampu memodifikasi atau mengubah makna dan simbol yang

mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi berdaasarkan interpretasi mereka atas situasi.

f. Manusia mampu melakukan modifikasi dan perubahan ini karena, antara

lain kemampuan mereka berinteraksi dengan diri sendiri, yang memung-kinkan mereka memeriksa tahapan-tahapan tindakan, menila keuntungan dan kerugian relatif dan kemudian memilih salah satunya.

g. Pola-pola ini membentuk kelompok dan masyarakat.

Jadi, menurut penganut interaksionisme simbolik, perilaku manusia tidak deterministik, melainkan perilaku adalah produk penafsiran individu atas objek di sekelilingnya. Makna yang diberikan kepada objek berasal dari interaksi sosial dan dapat berubah selama interaksi berlangsung. Interaksi sosial itu sen-diri bersifat dinamis dan selalu berubah yang memungkinkan manusia bertukar dan menafsirkan makna. Manusia bereaksi bukan terhadap tindakan orang lain, melainkan terhadap makna dari tindakan orang lain tersebut.

T

T

T

T

Teori

eori

eori

eori T

eori

T

T

Tentang “Diri” Geor

T

entang “Diri” Geor

entang “Diri” Geor

entang “Diri” Geor

entang “Diri” George Herbert Mead

ge Herbert Mead

ge Herbert Mead

ge Herbert Mead

ge Herbert Mead

Teori interaksionisme simbolik sebenarnya telah mengilhami beberapa perspektif lain yang dianggap varian interaksionisme simbolik, seperti “teori penjulukan” (labeling theory) dalam studi penyimpangan perilaku, perspektif dramaturgis dari Erving Goffman dan Etnometodologi dari Harold Garfinkel.

(11)

Namun inti dari teori interaksi simbolik adalah tori tentang “diri” (self) dari George Herbert Mead.

Diri didefinisikan sebagai sesuatu yang dirujuk dalam pembicaraan biasa melalui kata ganti orang pertama tunggal yaitu ‘aku’ (I) “daku” (me), “milikku” (mine) dan “diriku” (myself). Sesuatu yang dikaitkan dengan diri menciptakan emosi yang lebih kuat dari pada yang tidak dikaitkan dengan diri. Menurut Mead, diri muncul karena interaksi, tegasnya melalui komunikasi. Tanpa komu-nikasi, diri tidak akan berkembang. Manusia unik karena manusia memiliki kemampuan untuk memanipulasi simbol-simbol melalui kesadaran. Mead me-nekankan pentingnya komunikasi, yang tidak hanya berupa isyarat verbal berupa kata-kata, frasa dan kalimat, namun juga isyarat nonverbal berupa kontak mata, mimik wajah, postur, gerakan tubuh, sentuhan dan lain-lain.

Dalam interaksi, manusia menafsirkan tindakan verbal dan nonverbal. Bagi Mead, tindakan verbal merupakan mekanisme utama interaksi manusia. Penggunaan bahasa oleh manusia dalam interaksi sosial pada gilirannya akan memunculkan pikiran (mind) dan “diri” (self). Berpikir adalah ciri khas ma-nusia. Berpikir (thinking) menurut Mead adalah suatu percakapan terinter-nalisasikan antara individu dengan dirinya sendiri. Pikiran mengisyaratkan kapasitas dan sejauh mana manusia sadar akan diri mereka sendiri, siapa dan apa mereka. Jadi, beda dengan binatang, selain dapat berkomunikasi dengan orang lain, manusia juga dapat berkomunikasi dengan diri mereka sendiri. Lewat berpkir, terutama melalui kesadaran, manusia mampu mencegah tindakannya sendiri untuk sementara, menunda reaksinya terhadap suatu stimulus. Hewan biasanya langsung bereaksi terhadap stimulus. Perilaku hewan pada umumnya ditandai dengan mekanisme stimulus-respons. Penundaan reaksi sangat di-perlukan bagi manusia cerdas. Penataan, pengujian dan seleksi akhir tidak akan dapat dilakukan jika responnya bersifat terbuka atau reaksinya langsung.

Sebagimana pikiran berkembang, diri pun berkembang. Perkembangan diri terletak pada konsep “pengambilan peran orang lain” (taking the role of the other) dalam dirinya. Bagi Mead, individu bersifat aktif, inovatif, yang tidak saja tercipta secara sosial namun juga menciptakan masyarakat baru yang perilakunya tidak dapat diramalkan. Dedy Mulyana mengutipkan kata-kata Mary Jo Deegan: “individu sendiri yang mengontrol tindakan dan perilakunya, dan mekanisme kontrol tersebut terletak pada makna yang dikonstruksi secara sosial.”29

(12)

Konsep Diri dan

Konsep Diri dan

Konsep Diri dan

Konsep Diri dan

Konsep Diri dan T

T

T

T

Transformasi

ransformasi

ransformasi

ransformasi

ransformasi

Pembahasan penting dari teori diri Mead adalah tentang konsep diri. Konsep diri adalah pandangan kita mengenai siapa diri kita, dan itu hanya bisa kita peroleh lewat informasi yang diberikan oleh orang lain terhadap diri kita. Mead mengatakan bahwa setiap manusia mengembangkan konsep dirinya melalui interaksi dengan orang lain dalam masyarakat- dan itu dilakukan lewat komunikasi. Dalam berkomunikasi, kita tidak hanya menanggapi orang lain, kita juga mempersepsi diri kita. Sebagai manusia, kita menjadi subjek dan objek sekaligus. Menurut Charles H. Cooley, kita melakukannya dengan membayang-kan diri kita sebagai orang lain; dalam diri kita. Cooley menyebutnya dengan

the looking glass-self (diri cermin), seakan-akan kita menaruh cermin di depan kita. Dengan mmengamati diri kita, kita akan sampai pada gambaran dan penilaian diri kita, dan itulah konsep diri.30

Dengan teori the looking-glass self, Cooley berpendapat bahwa konsep diri individu secara signifikan ditentukan oleh apa yang ia pikirkan tentang pikiran orang lain mengenai dirinya. Jadi menekankan pentingnya respon orang lain yang ditafsirkan secara subjektif sebagai sumber primer data mengenai diri. Ringkasnya, apa yang diinternalisasikan sebagai milik individu berasal dari informasi yang ia terima dari orang lain. Suatu gagasan diri seperti ini tampak-nya memiliki 3 unsur, yaitu: imajinasi penampilan kita bagi orang lain, imajinasi penilainnya atas penampilan tersebut, dan sejenis perasaan-diri (self- feeling), seperti kebanggaan atau malu.31

William D. Brooks, sebagaimana dikutip Jalaluddin Rakhmat, mendefini-sikan konsep diri sebagai “those physical, social, and psychological perceptions of ourselves that we have derived from experiences and our interaction with others”. Konsep diri adalah pandangan dan perasaan kita tentang diri kita, yang meliputi aspek fisik, psikologis dan sosial. Konsep diri bukan hanya sekedar gambaran deskriptif, tetapi juga penilaian tentang diri kita, mencakup apa yang kita pikirkan dan apa yang kita rasakan. Anita Taylor mendefinisikan konsep diri sebagai “all you think and feel about you, the entire complex of beliefs and attitudes you holds abaout yourself’.32

Dengan demikian ada dua komponen konsep diri, yakni komponen kognitif dan komponen afektif. Bisa jadi komponen kognitif mengatakan: “Saya ini orang bodoh”, tetapi komponen afektifnya bisa berkata:” Saya senang diri saya bodoh, ini lebih baik bagi saya”, atau juga berkata: “Saya malu sekali karena saya menjadi orang bodoh”. Komponen kognitif disebut citra-diri (self image), sedangkan komponen afektif disebut harga-diri (self esteem).

(13)

Konsep diri secara signifikan ditentukan oleh apa yang ia pikirkan tentang pikiran orang lain mengenai dirinya. Jadi menekankan pentingnya respon orang lain yang diinterpretasikan secara subjektif sebagai sumber primer data me-ngenai diri. Tapi tidak semua orang lain mempunyai pengaruh yang sama terhadap diri kita. Ada yang paling berpengaruh, yaitu orang-orang yang paling dekat dengan kita. Mead menyebut mereka significant others.

Ketika kita masih kecil, mereka adalah orang tua kita, saudara-saudara kita dan orang lain yang serumah dengan kita. Dari mereka kita secara perlahan-lahan membntuk konsep diri kita. Senyuman, pujian, pelukan, penghargaan menyebabkan kita menilai diri kita sdewasa, secara positif, sebaliknya cemo-ohan, hinaan, ejekan, hardikan membuat diri kita memandang diri kita secara negatif. Dalam perkembangan, significant others meliputi semua orang yang mempengaruhi perilaku, pikiran dan perasaan kita. Mereka mengarahkan tindakan kita, membentuk pikiran kita dan menyentuh kita secara emosional. Ketika kita tumbuh dewasa, kita mencoba menghimpun penilaian semua orang yang pernah berhubungan dengan kita, sehingga dalam tarap tertentu kita menemui kesulitan memisahkan siapa kita dari siapa kita menurut orang lain. Karena ketika kita berinteraksi dengan orang lain, kita terus berupaya memain-kan peran-peran yang diharapmemain-kan oleh orang lain terhadap diri kita.

Hubungan antara konsep diri dengan perilaku disebut dengan nubuat yang dipenuhi sendiri (self-fulfilling prophecy) yakni kecendrungan untuk bertingkah laku sesuai dengan konsep dirinya. Jika kita berpikir kita bodoh, kita akan benar-benar menjadi orang bodoh. Jika kita berpikir kita bisa mengatasi per-soalan, maka persoalan apapun yang dihadapi pasti dapat diatasi. You don’t think what you are, you are what you think.

Konsep diri merupakan faktor yang sangat mempengaruhi kehidupan kita. Sebuah fakta psikologis mengatakan bahwa keberhasilan dan kesuksesan seseorang sangat tergantung pada konsep dirinya. Konsep diri yang positif akan mendorong seseorang untuk membuat prestasi dan konsep diri yang negatif justru sebaliknya, akan membuat seseorang menjadi kerdil dan tidak ber-kembang dan mudah prustasi. Ada beberapa hal yang menandai orang yang memiliki konsep diri negatif, yaitu: Pertama, Ia sangat peka terhadap kritik. Orang ini sangat tidak tahan dengan kritik, kritik dianggapnya sebagai usaha untuk menjatuhkan harga dirinya. Kedua, ia responsif sekali terhadap pujian. Ia tidak dapat menyembunyikan antuiasmenya terhadap pujian. Ketiga, ia memiliki sikap hiperkritis, tidak sanggup mengungkapkan penghargaan atau pengakuan pada kelebihan orang lain. Ia selalu mengeluh, mencela, atau

(14)

meremehkan apa pun dan siapa. Keempat, ia cenderung merasa tidak disenangi orang lain. Ia merasa tidak diperhatikan, sehingga ia beraeaksi kepada orang lain sebagai musuh. Ia tidak pernah mempersalahkan dirinya, tetapi menganggap dirinya sebagai korban. Kelima, ia bersikap pesimis terhadap kompetisi seperti terungkap dalam keengganannya untuk bersaing dengan orang lain dalam membuat prestasi.

Sebaliknya, orang yang memiliki konsep diri positif ditandai dengan bebe-rapa hal: 1) Ia yakin akan memampuannya mengatasi masalah; 2) Ia merasa setara dengan orang lain; 3) Ia menerima pujian tanpa rasa malu; 4)Ia menyadari bahwa setiap orang memiliki berbagai perasaan, keinginan dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui masyarakat; 5) Ia mampu memperbaiki dirinya karena ia sanggup mengungkapkan aspek-aspek kepribadian yang tidak dise-nanginya dan berusaha mengubahnya.33

Mead menunjukkan bahwa perkembangan diri bergantung pada komu-nikasi dengan orang lain, terutama sejumlah kecil orang penting (significant others) yang membentuk atau mempengaruhi diri sebagaimana orang–orang tersebut dipengaruhi kehadiran diri tersebut. Komunikasi juga berperan penting dalam perkembangan masyarakat. Sebagaimana dikemukakan oleh Dewey:

“Masyarakat eksis melalui komunikasi, perspektif yang sama-budaya yang sama-muncul melalui partisipasi dalam saluran komunikasi yang sama. Melalui partisipasi sosiallah perspektif bersama dalam kelompok diinter-nalisasikan dan berbagai pandangan muncul melalui kontak dan asosiasi yang sama.”

Dengan demikian, hanya orang yang memiliki konsep diri positiflah yang diharapkan terjadi transformasi dan perubahan dalam dirinya menuju kondisi yang lebih baik.

PENUTUP

PENUTUP

PENUTUP

PENUTUP

PENUTUP

Perilaku manusia merupakan produk dari interpretasi mereka atas dunia di sekeliling mereka lewat interaksi sosial. Perilaku seringkali merupakan pilihan sebagai hal yang layak dilakukan berdasarkan caranya mendefinisikan situasi yang ada. Definisi yang mereka berikan kepada orang lain, situasi, objek dan bahkan diri mereka sendirilah yang menentukan perilaku mereka. Jadi individulah yang dipandang aktif untuk mengatur dan menentukan perilaku serta lingkungannya sendiri. Sementara inti dari individu adalah kesadaran (consciousness). perkembangan diri bergantung pada komunikasi dengan orang lain, yang membentuk atau mempengaruhi diri sebagaimana orang-orang

(15)

tersebut dipengaruhi kehadiran diri tersebut. Komunikasi juga berperan penting dalam perkembangan masyarakat.

Dengan demikian, apa yang terjadi dengan masyarakat bangsa Indonesia pada hakekatnya merupakan cermin perilaku dan akumulasi tingkat kesadaran individu-individu warga negaranya. jika ingin mengubah kondisi bangsa Indonesia, maka kita harus memulainya dengan mengubah individu-individu warga negaranya. Dakwah Islam harus dilakukan dengan membangun kesa-daran individual dan membentuk konsep diri mad’u yang positif. Karena hanya orang yang memiliki konsep diri positiflah yang akan mampu memperbaiki dirinya karena ia sanggup mengungkapkan aspek-aspek kepribadian yang tidak disenanginya dan berusaha mengubahnya.

CA

CA

CA

CA

CAT

T

T

TA

T

A

A

A

AT

TAN

T

T

T

AN

AN

AN

AN AKHIR

AKHIR

AKHIR

AKHIR

AKHIR

1 Richard West and Lynn H. Turner, Introducing Communication Theory,

Analysis and Application (New York: McGraw-Hill, 2007), hlm. 105.

2 Dedy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, Paradigma Baru Ilmu

Komunikasi dan Ilmu Sosial lainnya (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008), hlm. 71.

3 Kompas Klasika, edisi Sabtu 13 Agustus 2011, hlm. 33. 4 Ibid.

5 Ibid., hlm. 229.

6 Mulyana, Metodologi, hlm. 7.

7 Muhammad Fuad Abd al-Baqi, Mu’jam Mufahras li Alfa>z} al-Qur’a>n al-Kari>m

(Beirut: Dar al-Fikr, 2000), hlm. 330-3.

8 Muhammad Mukarram Ibn Manzur al-Afriki al-Misri, Lisa>n al ‘Arab (Beirut:

Dar al Shadir, tt), XIV:285.

9 M. Ali Mahfudz, Hida>yah al-Mursyidi>n Ila< T}uru>q al A’zi wa al-Khita>bah

(Beirut: Dar al-Ma’rifah, tt.), hlm. 17.

10 Ilyas Islamil dan Prio Hotman, Filsafat Dakwah: Rekayasa Membangun

Agama dan Peradaban Islam (Jakarta: Prenada Media, 2011), hlm. 29-30.

11 Sayyid Quthub, Tafsir fi> Z}ila>l Al-Qur’a>n (Beirut: Dar al-Syuruk, 1982),

I:187.

12 Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1992), hlm.

194.

13Amrullah Ahmad, Dakwah Islam dan Perubahan Sosial, makalah, Medan,

1997, tidak dipublikasikan. Lihat juga: Rosyidi, Dakwah Sufistik Kang Jalal (Jakarta: Khazanah Populer Paramadina, 2004), hlm. 1. Khairu ummat artinya umat yang terbaik, yakni umat yang unggul, umat yang aqidah dan ibadahnya kuat. Hal ini dibuktikan dengan melakukan tiga hal yaitu amar ma’ruf, nahi mungkar,

(16)

dan iman. Ketiganya dipahami Sayyid Quthub sebagai ciri atau karakter dasar umat Islam. Lihat: Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Qutub: Rekonstruksi Dakwah Harakah (Jakarta: Penamadani, 2006), hlm. xxvii.

14 Aep Kusnawan, Komunikasi Penyiaran Islam (Bandung: Benang Merah

Press, 2004), hlm. vii.

15 Fatmawati, “Paradigma Baru Mengemas Dakwah Melalui Media Televisi,”

dalam Komunika, Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vo. 4 Nomor 2, 2010, hlm. 348.

16 Ahmad Warsun Munawwir, Al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, tt, hlm.

1545.

17 Fazlur Rahman, Major Themes of The Qur’an (Chicago: Bibliotheca

Islamica, 1980), hlm. 17, 112.

18 Musa Asy’ arie, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an

(Yogya-karta: Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992), hlm. 79.

19 Ibid., hlm. 85.

20 Dedy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, Paradigma Baru Ilmu

Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008), hlm. 55.

21 Engkus Kuswarno, “Manajemen Komunikasi Pengemis”, dalam Dedy

Mul-yana dan Solatun, ed., Metode Penelitian Komunikasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008), hlm. 91. Lihat juga: Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), hlm.103-4.

22 Stephen W. Littlejohn, Theories of Human Communication, Fifth Edition,

(Belmont California: Wadswort Publishing Company, 1992), hlm. 13.

23 Mulyana, Metodologi Penelitian, hlm. 59.

24 EM Griffin, A First Look at Communication Theory (New York: McGraw

Hill, 2003), hlm. 5, 56. Interaksionisme simbolik sesungguhnya terdiri dari dua madzhab, yakni madzhab Iowa dan madzhab Chicago. Madzhabb Iowa meng-gunakan metode positifistik dalam kajian-kajiannya, sedangkan madzhab Chicago menggunakan pendekatan humanistik. Meski ada dua madzhab, namun ketika disebut interaksionisme simbolik, pada umumnya merujuk pada interaksionisme simbolik madzhab chicago. Mulyana, Metodologi, hlm. 68, 70.

25 Jalaludin Rakhmat, Retorika Modern Pendekatan Praktis (Bandung: Remaja

Rosdakarya, 2002), hlm. 2.

26 Pernyataan dari Maltzawick, Beavin dan Jackson, sebagaimana dikutip

Dedy Mulayana dalam Dedy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 60.

27 Ibid., hlm. 71.

28 Ibid., hlm. 73. Lihat juga Richard West dan Lynn H. Turner, Introducing,

hlm. 102.

29 Ibid., hlm. 75.

30 Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi (Bandung: Remaja Rosdakarya,

1998), hlm. 99.

(17)

32 Ibid., hlm. 100.

33 Rakhmat, Psikologi, hlm. 105.

DAFT

DAFT

DAFT

DAFT

DAFTAR PUST

AR PUST

AR PUST

AR PUST

AR PUSTAKA

AKA

AKA

AKA

AKA

Ahmad, Amrullah. “Dakwah Islam dan Perubahan Sosial”.Makalah, Medan, 1997, tidak dipublikasikan.

Al-Baqi,Muhammad Fuad Abd. Mu’jam Mufahras li Alfa>z} al-Qur’a>n al-Kari>m.

Beirut: Dar al-Fikr, 2000.

Al-Misri, Muhammad Mukarram Ibn Manzur al-Afriki. Lisa>n al-‘Arab. Jilid 4. Beirut; Dar al Shadir, tt.

Asy’arie, Musa. Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an.

Yogya-karta: Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992.

Fatmawati, “Paradigma Baru Mengemas Dakwah Melalui Media Televisi,” dalam Komunika, Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vo.4, Nomor 2, 2010.

Islamil, Ilyas, dan Hotman, Prio. Filsafat Dakwah: Rekayasa Membangun

Agama dan Peradaban Islam. Jakarta: Prenada Media, 2011.

_____, Paradigma Dakwah Sayyid Qutub: Rekonstruksi Dakwah Harakah.

Jakarta: Penamadani, 2006.

Kusnawan, Aep. Komunikasi Penyiaran Islam. Bandung: Benang Merah Press, 2004.

Mahfudz, M. Ali. Hida>yah al-Mursyidi>n ila> T}uru>q al-A’zi wa al-Khita>bah.

Beirut: Dar al-Ma’rifah, tt.

Mulyana, Dedy. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosda-karya, 2012.

_____, Metodologi Penelitian Kualitatif, Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial lainnya. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008.

Munawwir, Ahmad Warsun. Al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, tt. Quthub,Sayyid. Tafsi>r fi> Z}ila>l al-Qur’a>n. 1 jilid. Beirut: Dar al-Syuruk, 1982. Rahman, Fazlur. Major Themes of The Qur’an. Chicago: Bibliotheca Islamica,

1980.

Rosyidi. Dakwah Sufistik Kang Jalal. Jakarta: Khazanah Populer Paramadina, 2004.

(18)

West Richard, and Lynn H. Turner. Introducing Communication Theory, Analysis and Application. New York: McGraw-Hill, 2007.

Referensi

Dokumen terkait

Islam memandang bahwa pelaksanaan sidang isbat nikah keliling di Kecamatan Tanara mengandung kemaslahatan yang menghasilkan faedah bagi masyarakat yaitu membantu

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh variabel harga, citra merek, atribut produk dan variabel keseluruhan serta pengaruh keempatnya secara simultan terhadap

Dalam mengatasi masalah ini sebaiknya perusahaan dapat memanfaatkan sumber rekrutmen lain selain dari sumber rekrutmen yang telah digunakan sebelumnya sehingga proses

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi optimum pengaruh variasi konsentrasi ekstraktan, waktu pengadukan, dan keasaman umpan, campuran dua

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui titik tanam dan berat bibit yang tepat sehingga mampu menghasilkan pertumbuhan rumput laut Kappaphycus alvarezii hasil

Jika anda memilih sampel acak 64 pelanggan, terdapat 85% peluang bahwa rata-rata sampel kurang dari berapa menit?.. Karena mean &gt; median, distribusi populasi harga jual

Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa aktivitas dan hasil belajar passing sepak bola (menggunakan kaki bagian dalam dan luar) meningkat melalui

Inisiatif ini diluncurkan untuk memacu pertumbuhan akses energi bagi semua, yang didukung dengan pengembangan energi terbarukan, serta upaya-upaya untuk melakukan