Penambahan mineral kalsium dari cangkang kepiting bakau
Scylla
serrata
pada pakan terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup
udang galah
Macrobrachium rosenbergii
The addition of calcium mineral from Scylla serrata shells on commercial
fed to increase growth and survival rate of freshwater prawn
Macrobrachium rosenbergii
Fajar Fajri1, Azwar Thaib1, Lia handayani2*
1Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan, Universitas Abulyatama Aceh Besar 23372
Indonesia; 2Program Studi Teknologi Hasil Perikanan Fakultas Perikanan Universitas Abulyatama
Aceh Besar 23372 Indonesia; *Email Korespondensi: liahandayani_thp@abulyatama.ac.id
Received : 11 October 2018 Accepted: 12 September 2019
Abstract. Mud crab shell is one of the fisheries waste that can be utilized as a calcium source as it contains lots of calcium carbonate. Crab shells flour can be utilized as calcium supplements to freshwater prawn fed. The purpose of this research was to observe the effects the addition of calcium from mud crab shells on the growth, survival rate and molting frequency of freshwater prawn. The research was conducted for 70 days in fisheries Laboratory, Abulyatama University. The result of the research showed that two percent of calcium addition on the fed gave higher growth, survival rate and molting frequency value than other treatments. The average of freshwater prawn growth rate were A (0% CaO)= 1.20 g, B (1% CaO) = 1.41 g, C (2% CaO) = 1.92 g, D (3% CaO) = 1.77 g. The average of freshwater prawn survival rate were A = 75 %, B = 91,1 %, C = 91,1 %, and D = 89 %. The molting frequency were A = 1.06 ; B = 1.22; C = 1,57 and D = 1.34. It is concluded that crab shells could be used as a source of natural calcium for freshwater prawn.
Keywords : Calcium, Freshwater Prawn, Macrobranchium rosenbergii, Molting
Abstrak.Cangkang kepiting bakau merupakan salah satu jenis limbah perikanan yang dapat diubah menjadi sumber kalsium karena cangkang kepiting mengandung kalsium karbonat tinggi. Pemanfaatan tepung cangkang kepiting pada pakan adalah sebagai suplemen. Penelitian ini dilakukan dengan berbagai tujuan, yaitu untuk mengetahui efek penambahan mineral kalsium (CaO) dari cangkang kepiting bakau pada pakan terhadap laju pertumbuhan, kelangsungan hidup dan frekuensi molting udang galah. Penelitian ini berlangsung selama 70 hari di laboratorium perikanan, Universitas Abulyatama. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa perlakuan dengan penambahan 2 % kalsium merupakan nilai tertinggi untuk laju pertumbuhan, kelangsungan hidup dan frekuensi molting udang galah dibanding perlakuan lain. Nilai rata-rata pertumbuhan udang galah tiap perlakuan adalah: A (0% CaO) = 1,20 g, B (1% CaO) = 1.41 g, C (2% CaO) = 1.92 g dan D (3% CaO) = 1,77 gr. Sedangkan nilai rata-rata kelangsungan hidup udang galah adalah A = 75 %, B = 91,1 %, C =91,1 % dan D = 89 %. Nilai ata-rata frekuensi molting udang galah selama pemeliharaan pada tiap perlakuan adalah A = 1,06 kali/ekor, B = 1,22 kali/ekor, C = 1,57 kali/ekor dan D = 1,34 kali/ekor. Oleh karena itu disimpulkan bahwa cangkang kepiting dapat dimanfaatkan menjadi salah satu sumber kalsium alami untuk pakan udang galah.
Kata kunci: Kalsium, Macrobranchium rosenbergii, Molting, Udang Galah
Pendahuluan
Cangkang kepiting merupakan salah satu jenis limbah hasil perikanan yang potensial manfaatnya, namun masih belum termanfaatkan secara maksimal. Pasar kepiting serta usaha pembekuan kepiting merupakan sumber penghasil limbah tersebut. Menurut Wahyuni (2003) DOI: 10.13170/depik.8.3.12090 RESEARCH ARTICLE
kepiting menghasilkan limbah hingga 80% karena hanya 20% yang dikonsumsi. Penumpukan cangkang kepiting dapat menimbulkan berbagai masalah lingkungan, seperti timbulnya bau tidak sedap yang menyebabkan berkumpulnya carrier penyakit, selain itu juga mengganggu secara estetika. Selain mengandung pigmen warna, abu dan protein yang tinggi, limbah cangkang kepiting juga mengandung kalsium karbonat dan kitin (Supriyantini, 2007). Protein (15,06-23,90%), kitin (18,70-32,20%) dan CaCO3 hingga 53,70-78,40% (Darmawan et al., 2007). Kadar kalsium adalah yang tertinggi dibanding mineral lainnya dalam cangkang kepiting (Nuarisma, 2014) hingga mencapai nilai sebesar 82,54%. Kalsium karbonat (CaCO3) yang terkandung dalam cangkang kepiting bakau dapat diubah menjadi kalsium oksida (CaO) menggunakan reaksi dekomposisi oleh panas (kalsinasi), oleh karena itu cangkang kepiting dapat dimanfaatkan sebagai sumber kalsium alami. Pemanfaatan cangkang kepiting menjadi kalsium telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, yaitu sebagai sebagai suplemen pengeras gigi yang diujicobakan pada tikus (Komariah, 2016) sedangkan Nuarisma (2014) memanfaatkan cangkang kepiting bakau menjadi sumber kalsium yang diaplikasikan pada obat kumur.
Salah satu mineral yang sangat dibutuhkan oleh tubuh adalah kalsium, baik manusia maupun hewan-hewan lainnya. Seperti halnya udang galah membutuhkan kalsium untuk proses molting. Pertumbuhan udang merupakan akibat yang ditimbulkan dari proses molting. Pada saat proses molting berlangsung, kalsium sangat dibutuhkan oleh udang terutama untuk pembentukan eksoskeleton. Tingkat kerja osmotik dan tingkat konsumsi oksigen akan menurun dengan penambahan mineral kalsium Ca(OH) dalam konsentrasi berbeda. Namun sebaliknya, laju pertumbuhan, kelangsungan hidup, frekuensi molting dan efisiensi pakan akan meningkat (Abidin, 2011). Pemberian mineral kalsium (Ca2+) dengan konsentrasi berbeda kedalam pakan berpengaruh nyata pada pertumbuhan udang vannamei dengan media pemeliharaan bersalinitas rendah (Rahayu, 2016). Keberhasilan proses molting memiliki peranan penting pada pertumbuhan udang galah, karena udang galah hanya dapat tumbuh dan berkembang melalui proses molting. Oleh karena itu semakin sering udang galah melakukan
molting, maka akan semakin cepat pula pertumbuhannya, sehingga dapat mengurangi biaya
produksi dengan demikian akan meningkatkan keuntungan bagi para pembudidaya.
Selain untuk pertumbuhan, proses molting juga berpengaruh terhadap sintasan (survival rate). Sintasan yang rendah pada budidaya udang galah disebabkan oleh terjadinya kanibalisme. Kanibalisme pada umumnya terjadi saat proses molting berlangsung, karena pengerasan cangkang yang terlalu lambat, sehingga mengeluarkan aroma yang khas dan mengundang udang galah lain untuk memangsa udang galah yang sedang molting. Cadangan mineral Ca2+ dalam tubuh udang sangat mempengaruhi keberhasilan proses molting. Kalsium yang dibutuhkan oleh udang galah dapat diperoleh dari pakan maupun lingkungan. Beberapa penelitian mengenai penambahan kalsium komersil pada pakan udang telah dilakukan, seperti Hakim (2009) yang telah melakukan penelitian mengenai penambahan kalsium komersil pada pakan lobster air tawar.sedangkan penambahan kalsium alami pada pakan udang masih akan terus dikembangkan seperti yang telah dilakukan oleh Handayani (2018) menambahkan nanokalsium dari cangkang tiram pada pakan lobster air tawar. Nanokasium dari cangkang kepiting juga telah diuji terhadap pertumbuhan udang galah (Saidi et al., 2018). Beberapa penelitian serupan lainnya juga telah dilakukan seperti penambahan nano CaO dari cangkang langkitang (Handayani et al., 2019), nanokalsium dari cangkang tiram pada pakan udang galah (Fitriana et al., 2019) dan penambahan kalsium dari tulang ikan kambing-kambing pada pakan udang galah (Restari et al., 2019), hasil yang diperoleh dari penelitian-penelitian yang telah dikembangkan tersebut menunjukkan mineral Ca2+ yang ditambahkan sebagai suplemen melalui dapat meningkatkan nilai sintasan dan pertumbuhan, sehingga diharapkan penambahan kalsium dari cangkang kepiting bakau pada pakan udang galah juga dapat memperoleh hasil serupa seperti penelitian terdahulu.
Riset ini sangat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahun, terutama dibidang budidaya udang galah sehingga dengan mempercepat pertumbuhan dan meningkatkan kelangsungan hidup udang galah dapat menekan biaya produksi yang berimbas pada meningkatnya keuntungan yang diperoleh oleh petani udang. Selain itu, penelitian ini juga dapat mengurangi hasil samping perikanan berupa penumpukan cangkang kepiting sehingga tidak terjadi penimbunan yang akan menghasilkan aroma tidak sedap yang berakibat pada berkembangnya bibit penyakit. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan sintasan dan pertumbuhan udang galah dengan penambahan mineral Ca2+ dari cangkang kepiting ada pakan, serta mengetahui persentase penambahan kalsium terbaik pada pakan tersebut.
Bahan dan Metode Penelitian Alat dan Bahan
Adapun peralatan yang digunakan meliputi ball mill, furnace, aquarium, timbangan digital, aerator. Sedangkan bahan-bahan yang digunakan meliputi limbah cangkang kepiting yang diperoleh dari beberapa rumah makan di kota Banda Aceh, pakan udang komersil dan benih udang galah dengan ukuran rata-rata 0.87 gram yang berasal dari BPBAP Ujong Batee, Aceh Besar.
Pembuatan kalsium
Pembuatan nanokalsium dilakukan dengan metode top down. Cangkang kepiting yang telah dicuci bersih dan dikeringkan, dihaluskan hingga 100 mesh. Selanjutnya tepung cangkang kepiting tersebut dianalisa kadar proksimatnya serta dikalsinasi pada suhu 900ºC selama 2 jam. Kalsium yang dihasilkan dari proses kalsinasi ditambahkan kedalam pakan komersil yang telah ditepungkan sebanyak 1%, 2% dan 3% dari 1 kg pakan. Tahap repeleting pakan mengikuti prosedur (Handayani, 2018). Tepung cangkang kepiting yang telah dikalsinasi diuji kadar kalsiumnya.
Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 2 kali ulangan.Perlakuan pada penelitian ini adalah variasi penambahan kalsium pada pakan yaitu 0% (sebagai kontrol), 1%, 2% dan 3% per kg jumlah pakan. Pemeliharaan udang galah dilakukan dalam aquarium berukuran 60 x 60 x 40 cm dengan kepadatan 18 ekor/aquarium yang dilengkapi aerator. Sebelum penelitian dimulai, udang galah terlebih dahulu diaklimatisasi terhadap lingkungan selama 15 menit. Sesudah masa aklimatisasi selesai, hewan uji (udang galah) dipuasakan selama 24 jam untuk menghilangkan sisa pakan didalam tubuh. Pemeliharaan udang dilakukan selama 60 hari untuk mengetahui pertumbuhan dan kelangsungan hidup.Pemberian pakan sebanyak 5% dari bobot tubuh dengan frekuensi pakan adalah 2 kali/hari, yaitu pada pukul 08:00 WIB (25%) dan 17:00 WIB (75%). Sampling dilakukan setiap 7 hari sekali untuk mengukur panjang dan berat udang. Sedangkan kualitas air dikontrol dengan melakukan penyiponan setiap 3 hari sekali.
Parameter pengamatan
Kelangsungan hidup
Kelangsungan hidup udang galah dihitung dengan membandingkan jumlah udang galah yang hidup pada akhir masa pemeliharaan dengan jumlah udang galah pada awal masa penebaran. Kelangsungan hidup atau sintasan dapat dihitung menggunakan rumus Muchlisin et al. (2016):
SR (%) = (No-Nt/No) x 100 Keterangan:
SR = Survival rate atau kelangsungan hidup (%)
Nt = Jumlah udang galah yang mati selama penelitian (ekor) N0 = Jumlah udang galah pada awal penelitian (ekor)
Pertumbuhan
Rumus pertumbuhan panjang mutlak yang digunakan berdasarkan Effendie (1997) sebagai berikut:
L = Lt – L0
Keterangan: L = Pertambahan panjang mutlak (cm), Lt = Panjang udang galah pada akhir pemeliharaan (cm), L0 = Panjang udang galah pada awal pemeliharaan (cm)
Frekuensi molting
Frekuensi molting udang galah dihitung dengan jumlah keseluruhan udang galah yang
molting selama masa pemeliharaan dibagi jumlah udang galah yang digunakan sebagai sampel
penelitian (Handayani, 2018). Adapun satuan frekuensi molting adalah kali/ekor . MFq = Xmolt/Ntot
Dimana:
MFq = Frekuensi molting (kali/ekor), Xmolt = Jumlah udang galah yang molting secara keseluruhan (kali), Ntot = Jumlah udang galah yang digunakan pada penelitian (ekor).
Hasil
Kadar abu memiliki kadar yang paling tinggi (74,2%) diikuti dengan kadar N-total (10%), kadar air (4,49%) dan kadar lemak (0,17%) (Table 1). Berdasarkan uji statistik yang telah dilakukan untuk parameter kelangsungan hidup, pertumbuhan bobot, pertumbuhan panjang dan frekuensi molting diperoleh nilai FHitung> FTabel 0,05 namun <FTabel 0,01, dengan masing-masing nilai FTabel 0,05 =6,59 dan FTabel 0,01 = 16,69. Sedangkan FHitung secara berturut-turut adalah 11,00; 8,33; 12,62 dan terakhir untuk parameter frekuensi molting sebesar 6,67. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penambahan kalsium pada pakan dengan persentase yang berbeda menghasilkan perbedaan yang nyata diantara perlakuan (Tabel 2). N
ilai laju pertumbuhan bobot dan panjang mutlak diperoleh dari hasil pengukuran berat dan panjang tubuh udang yang dilakukan setiap 7 hari sekali selama masa penelitian. Hasil terbaik pada penambahan mineral CaO sebanyak 2% berbanding lurus dengan frekuensi
molting yaitu perlakuan 2% juga memberikan hasil terbaik untuk nilai frekuensi molting.
Semakin besar nilai frekuensi molting maka dapat diartikan bahwa semakin sering pula udang galah tersebut melakukan molting atau pergantian kulit baru, sehingga akan semakin cepat pula pertumbuhannya. Molting terjadi ketika tubuh udang tidak muat tertampung lagi didalam karapas lama sehingga akan merangsang udang galah untuk melakukan pergantian kulit.
Tabel 1. Komposisi parameter kimia cangkang kepiting yang diuji
Parameter/parameters Parameter Nilai/stdev (%) Parameters of value ±
Kadar Abu/Ash (%) 74,2 ± 0,17
Kadar Air/Moisture (%) 4,49 ± 0,26
Kadar N-Total/Nitrogen total (%) 10,0 ± 0,20
Kadar Lemak/Fat (%) 0,17 ± 0,19
Tabel 2 Rata-rata pengaruh penambahan CaO terhadap beberapa parameter yang diukur
Parameter/Parameters Perlakuan penambahan CaO
0% 1% 2% 3%
Pertumbuhan bobot mutlak/Absolute Weight growth(gr) 1.2 1.41 1.92 1.77
Pertumbuhan panjang mutlak/Absolute Lenght growth(cm) 1.45 1.62 2.09 1.89
Kelangsungan hidup/Survival rate (%) 75 91.1 91.1 89
Rasio konversi pakan/feed conversion ratio 2.57 2.4 2.18 2.32
Pembahasan
Kadar Abu tepung cangkang kepiting adalah sebesar 74,2 %. Sedangkan kadar abu dari tepung cangkang rajungan yaitu 72,28 % (Yanuar et al., 2009) dan 60,2% (Hilman, 2008), dengan demikian hasil yang diperoleh dari penelitian tidak jauh berbeda dengan penelitian serupa. Kadar abu yang tinggi disebabkan oleh tingginya kadar kalsium karbonat didalam cangkang kepiting. Kadar air yang terukur pada tepung cangkang kepiting dalam penelitian ini tergolong rendah yaitu sebesar 4,49%. Rendahnya kadar air yang diperoleh dari analisa disebabkan oleh tahap pengeringan sebelum proses penepungan, selain itu juga dipengaruhi oleh proses milling, sesuai dengan pernyataan (Handayani, 2017). Kadar air ini juga sebanding dengan hasil penelitian terhadap cangkang rajungan yang dilakukan oleh Hilman (2008) yaitu 4,1% dan Yanuar et al. (2009) sebesar 3,24%. Selain kadar air dan abu, kadar N-total (protein kasar) adalah parameter lainnya yang diukur. Kadar N-total yang diperoleh adalah sebesar 10,0 %, hasil ini tidak jauh berbeda dengan kadar N-total cangkang rajungan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rochima (2007) yaitu 10,43%. Cangkang kepiting bakau memiliki kadar lemak yang lebih tinggi dibandingkan cangkang rajungan. Menurut (Handayani, 2017) kalsinasi tepung cangkang tiram yang dilakukan selama ≥ 4 jam akan menghasilkan nilai rendemen CaO yang konstan, yaitu sebesar 57-55 % selama waktu kalsinasi 4-8 jam. Kadar kalsium dari cangkang tiram hasil penelitian Handayani (2017) adalah sebesar 56,77 %. Tingginya kadar kalsium berbahan baku cangkang tiram dibandingkan cangkang kepiting disebabkan oleh tingginya kadar abu dari cangkang tiram tersebut yaitu 94,78%, hal tersebut dapat dibuktikan dari tingkat kekerasan masing-masing cangkang tersebut.
Dari hasil uji statistik, hasil yang diperoleh selama masa pemeliharaan udang galah 2 bulan menunjukkan bahwa penambahan mineral CaO sebanyak 2 % merupakan hasil terbaik untuk pertumbuhan (bobot dan panjang) mutlak, kelangsungan hidup, rasio konversi pakan maupun frekuensi molting. Hasil akhir ini dikuatkan oleh penelitian terdahulu yang serupa Hakim (2009) dan (Handayani, 2018) yaitu persentase penambahan kalsium sebanyak 2 % merupakan hasil terbaik bagi pertumbuhan lobster air tawar. Kalsium yang ditambahkan pada pakan berfungsi untuk mempercepat pengerasan karapas, sehingga akan meminimalisir terjadinya kanibalisme. Saat melakukan molting, tubuh udang mengeluarkan aroma yang khas, sehingga memicu udang-udang galah yang lain untuk memangsa. Saat molting, udang mengeluarkan energi yang sangat besar, sehingga tubuh menjadi lemas, oleh karena itu sangat mudah untuk di mangsa. Penambahan kalsium yang cukup pada pakan membuat pengerasan kulit lebih cepat, namun pada penelitian ini tetap ditambahkan shelter sebanyak 2 kali jumlah udang agar udang dapat bersembunyi dari serangan udang lain sehingga dapat menekan tingkat kanibalisme.
Davis et al. (2005) mengemukan bahwa mineral Ca2+ sangat besar peranannya pada proses metabolisme yaitu berfungsi dalam mengatur permeabilitas membran sel serta berperan sebagai pengatur pemasukan zat-zat nutrisi yang akan diserap oleh sel. Dengan demikian mineral Ca2+ sangat berperan besar terhadap pertumbuhan sehingga jika ketersediaan mineral Ca2+ dalam pakan tercukupi, proses metabolisme tubuh akan berjalan dengan baik. Pertumbuhan udang akan terganggu jika mineral Ca2+ dalam pakan jumlahnya tidak tercukupi, begitu juga sebaliknya, kadar Ca2+ yang terlalu tinggi juga akan menyebabkan hal yang sama (Shiau dan Hsieh, 2001). Semua proses metabolisme pada udang termasuk kinerja enzim, sistem imun hingga kualitas daging membutuhkan kehadiran mineral didalamnya. Semua tahapan metabolisme pada tubuh udang tidak akan berjalan dengan sempurna jika ketersediaan mineral tidak tercukupi. Tetapi, pemberian mineral Ca2+ dengan jumlah yang berlebihan juga akan menyebabkan proses homeostatis ion kalsium berlangsung rumit dan sulit. Sehingga lebih banyak energi yang digunakan untuk proses tersebut dan pertumbuhan terhambat. Seperti yang terjadi dengan dosis penambahan CaO sebanyak 3 %.
Terjadi penurunan, baik pertumbuhan maupun kelangsungan hidup karena udang memiliki batas maksimal penyerapan mineral kalsium didalam tubuh.
Rasio konversi pakan atau FCR (feed conversion ratio) adalah nilai perbandingan jumlah total pakan yang habis dikonsumsi dengan pertambahan bobot udang, FCR terbaik (terendah) terdapat pada perlakuan C dengan tambahan kalsium 2%. Mujiman (2001) berpendapat bahwa nilai FCR berkaitan dengan mutu pakan, oleh karena itu semakin rendah nilai FCR maka semakin baik pula kualitas pakan dan sehingga semakin efesien pakan tersebut digunakan untuk pertumbuhan. Penambahan kalsium sebanyak 2% menghasilkan frekuensi
molting tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya yaitu 1,57 kali/ekor. Hal ini terjadi
karena penambahan kalsium 2% menghasilkan penyerapan kalsium yang baik sehingga mempercepat pengerasan kulit udang setelah molting dikarenakan semakin cepat terjadinya pengerasan maka akan mempercepat pula frekuensi molting udang tersebut. Namun hasil tersebut masih lebih rendah jika dibandingkan dengan frekuensi molting udang yang diberi mineral Ca2+ berukuran nano sebanyak 2%, yaitu mencapai 2,27 kali/ekor (Handayani et al., 2019); 2,14 kali/ekor (Saidi et al., 2018); 2,71 kali/ekor (Handayani, 2018). Frekuensi molting dengan penambahan mineral kalsium berukuran nano lebih tinggi dibanding dengan frekuensi
molting udang yang diberi mineral kalsium berukuran mikro, hal ini dikarenakan oleh mineral
berukuran nano akan lebih mudah diserap oleh tubuh. Sehingga pemanfaatannya akan lebih maksimal dibanding mineral yang berukuran mikro. Penggunaan mineral Ca2+ dari tulang ikan kambing-kambing (aceh: leubim) pada pakan hanyak mampu menghasilkan frekuensi molting udang galah sebesar 0,75 kali/ekor (Restari et al., 2019).
Menurut Affandi (2002) kalsium berperan pada hemolimfe, eksoskeleton lama, hepatopankreas, eksoskeleton baru, dan gastrolith. Proses adsorpsi mineral Ca2+ dan garam-garam anorganik dari eksoskeleton lama, pakan yang diberikan, dan media pemeliharaan secara osmotik melalui hemolimfe secara transport aktif. Kemudian mineral Ca2+ tersebut tersimpan dan terakumulasi di organ hepatopankreas dan gastrolith yang terletak dibagian depan kantong lambung (Iskandar, 2003). Selanjutnya tahap perlepasan kulit lama yang dimulai dengan melemaskan otot-otot dari anggota tubuhnya sehingga dapat terlepas dari eksokeleton (kulit lama) Adegboye dalam (Kurniasih, 2008). Tahap terakhir yaitu transfer mineral Ca2+ dari gastrolith ke eksokeleton yang baru, dengan demikian terjadilah pengerasan cangkang (eksoskeleton) baru dari cadangan material organik dan anorganik yang ada pada hepatopankreas serta hemolimfe.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan diperoleh hasil bahwa penambahan kalsium dengan jumlah yang berbeda pada pakan memberi perbedaan hasil yang nyata di antara perlakuan dengan persentase terbaik adalah 2% kalsium per kg pakan. Disamping itu, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa cangkang kepiting dapat dimanfaatkan menjadi salah satu sumber kalsium alami sehingga dapat meningkatkan nilai ekonomi dari limbah padat tersebut. Penambahan kalsium sebanyak 2% dapat meningkat frekuensi molting sebesar 0,51 kali/ekor selama masa pemeliharaan.
Daftar Pustaka
Abidin, J. 2011. Penambahan kalsium untuk meningkatkan kelangsungan hidup dan pertumbuhan juvenil udang galah (Macrobrachium rosenbergii deman) pada media bersalinitas. [Tesis] Program Studi Ilmu Akuakultur Sekolah Pascasarjana, IPB, Bogor. Affandi, R., T. UM. 2002. Fisiologi hewan air. UNRI Press, Riau. 217 hlm.
Darmawan, E., S. Mulyaningsih, F. Firdaus. 2007. Karakteristik khitosan yang dihasilkan dari limbah kulit udang dan daya hambatnya terhadap pertumbuhan Candida albicans. LOGIKA. Yogyakarta: Bidang Farmakologi dan Bioteknologi, Farmasi FMIPA
UII Yogyakarta, Bidang Material dan Komposit, DPPM UII Yogyakarta, Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, 4, 207-213.
Davis, D. A., C. E. Boyd, D. B. Rouse, I. P. Saoud. 2005. Effects of potassium, magnesium and age on growth and survival of Litopenaeus vannamei post-larvae reared in inland low salinity well waters in west Alabama. Journal of the World Aquaculture Society, 36(3), 416-419.
Fitriana, N., L. Handayani, Nurhayati. 2019. Penambahan nanokalsium cangkang tiram (Crassostrea gigas) pada pakan dengan dosis berbeda terhadap pertumbuhan udang galah (Macrobachium rosenbergii). Acta Aquatica, 6(2), 80–85.
Hakim, R.R. 2009. Penambahan kalsium pada pakan untuk meningkatkan frekuensi molting lobster air tawar (Cherax quadricarinatus). Jurnal Gamma, 5(1): 72-78.
Handayani, L., F. Syahputra. 2017. Isolasi dan karakterisasi nanokalsium dari cangkang tiram
(Crassostrea gigas). Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia, 20(3): 515-523.
Handayani, L., F. Syahputra. 2018. Penambahan nano kalsium dari cangkang tiram (Crassostrea
gigas) dalam pertumbuhan udang galah (Macrobrachium rosenbergii). Seminar Nasional
Multidisiplin Ilmu Universitas Asahan. Kisaran. 361–368 pp.
Handayani, L., F. Syahputra. 2018. Perbandingan frekuensi molting lobster air tawar (Cherax
quadricarinatus) yang diberi pakan komersil dan nanokalsium yang berasal dari cangkang
tiram (Crassostrea gigas). Depik Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan, Pesisir dan Perikanan, 7(1): 42-46.
Handayani, L., Nurhayati, M. Nur. 2019. Perbandingan frekuensi molting udang galah
(Macrobrachium rosenbergii de Man ) yang diberi nano CaO Cangkang Langkitang (Faunus
ater ) pada Pakan dan Lingkungan. Seminar Nasional Multidisiplin Ilmu Universitas Asahan ke -3.790–799 pp.
Hilman, M. 2009. Pemanfaatan cangkang rajungan (Portunus sp.) sebagai alternatif sumber kalsium dalam kerupuk. Skripsi, Departemen THP, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Iskandar, F., L. Gradon, K. Okuyama. 2003. Control of the morphology of nanostructured particles prepared by the spray drying of a nanoparticle sol. Journal of Colloid and Interface Science, 265(2): 296-303.
Komariah, A., N. Alamsyah. 2016. Pengaruh pemberian nano kalsium dari eksoskeleton kepiting bakau (Scylla sp.) masa kebuntingan dan laktasi terhadap kekerasan gigi tikus (F1). In Prosiding Seminar Biologi, 12(1): 948-953.
Kurniasih, T. 2008. Peranan pengapuran dan faktor fisika kimia air terhadap pertumbuhan dan sintasan lobster air tawar (Cherax sp.). Media Akuakultur, 3(2): 126-132.
Muchlisin, Z.A., F. Afrido, T. Murda, N. Fadli, A.A. Muhammadar, Z. Jalil, C. Yulvizar. 2016. The effectiveness of experimental diet with varying levels of papain on the growth performance, survival rate and feed utilization of keureling fish (Tor tambra). Biosaintifika, 8(2): 172-177.
Mujiman, A. 2001. Makanan ikan. Penebar Swadaya, Jakarta.
Nuarisma, F. 2014. Pemanfaatan nanokalsium dan nanokitosan dari limbah cangkang kepiting
(Scylla sp.) sebagai Obat Kumur. [Skripsi] Departemen THP, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Rahayu, G. 2016. Kajian pemberian mineral kalsium (Ca) pada pakan terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang vaname (Litopenaeus vannamei) yang dipelihara pada salinitas rendah. [Skripsi] Jurusan Perikanan dan Kelautan, Fakultas Pertanian, UNILA, Lampung. Restari, A.R., L. Handayani, Nurhayati. 2019. Penambahan kalsium tulang ikan
kambing-kambing (Abalistes stellaris) pada pakan untuk keberhasilan gastrolisasi udang galah
Rochima, E. 2014. Kajian pemanfaatan limbah rajungan dan aplikasinya untuk bahan minuman kesehatan berbasis kitosan. Jurnal Akuatika, 5(1): 71-82.
Shiau, S.Y., J.F. Hsieh. 2001. Quantifying the dietary potassium requirement of juvenile hybrid tilapia (Oreochromis niloticus). British Journal of Nutrition, 85(2): 213-218.
Supriyantini, E. 2007. Isolasi khitin dari limbah udang windu (Penaeus monodon) dan limbah kepiting bakau (Scylla serrata). Laporan Hasil Penelitian. Jurusan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro, Semarang.
Wahyuni, S. 2003. Karakteristik kitosan dari kulit kepiting bakau (Scylla serrata), Kepiting Rajungan (Portunus pelagicus), dan Udang Windu (Penaeus monodon). Jurnal Aqua Hayati, 9(2): 191-200.
Yanuar, V., J. Santoso, E. Salamah. 2009. Pemanfaatan cangkang rajungan (Portunus pelagicus) sebagai sumber kalsium dan fosfor dalam pembuatan produk crackers. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan, 121): 59-72.
Zufadhillah, S., A. Thaib, L. Handayani. 2018. Efektivitas penambahan nano CaO cangkang kepiting bakau (Scylla serrata) kedalam pakan komersial terhadap pertumbuhan dan frekuensi molting udang galah (Macrobrachium rosenbergii). Acta Aquatica, 5(2): 69–74.
How to cite this paper:
Fajri, F., A. Thaib, L. Handayani. 2019. Penambahan mineral kalsium dari cangkang kepiting bakau (Scylla serrata) pada pakan terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang galah
(Macrobrachium rosenbergii). Depik Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan, Pesisir dan Perikanan, 8(3):