• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Percakapan sehari-hari baik itu pedagang, petani, nelayan, pegawai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Dalam Percakapan sehari-hari baik itu pedagang, petani, nelayan, pegawai"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Dalam Percakapan sehari-hari baik itu pedagang, petani, nelayan, pegawai negeri, dan lain sebagainya, istilah kredit sekarang bukanlah hal yang asing lagi di telinga masyarakat. Ini menandakan bahwa istilah itu telah dikenal di kehidupan ekonomi kita, baik dikota maupun pedalaman. Secara etimologis istilah kredit berasal dari bahasa latin, credere, yang berarti kepercayaan. Misalnya, seorang nasabah debitur yang memperoleh kredit dari bank adalah tentu seseorang yang mendapat kepercayaan dari bank. Hal ini menunjukkan bahwa yang menjadi dasar pemberian kredit oleh bank kepada nasabah debitur adalah kepercayaan1. Makna

dari kepercayaan tersebut adalah adanya keyakinan dari bank sebagai kreditur bahwa kredit yang diberikan akan sungguh-sungguh diterima kembali dalam jangka waktu sesuai dengan kesepakatan. Dengan demikian bahwa dasar diberikannya kredit ialah kepercayaan. Apabila dilihat dari sudut ekonomi, kredit adalah penundaan pembayaran. Maksud dari penundaan pebayaran ialah pengembalian atas penerimaan uang atau barang yang tidak dilakukan bersama pada saat menerimanya tetapi pengembaliannya dilakukan pada masa yang telah ditentukan.

Sebagaimana diketahui bahwa unsur esensial dari kredit bank adalah adanya kepercayaan dari bank sebagai kreditur terhadap nasabah peminjam sebagai debitur. Kepercayaan tersebut timbul karena dipenuhinya segala ketentuan 1 Hermansyah, 2005, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h.55.

(2)

dan persyaratan untuk memperoleh kredit bank oleh debitur antara lain jelasnya tujuan peruntukan kredit, adanya benda jaminan atau agunan dan lain-lain. Setiap perjanjian tentu mengandung adanya prestasi dan kontraprestasi. Oleh karena itu, dalam perjanjian kredit sejak saat adanya kesepakatan atau persetujuan dari kedua belah pihak (bank dan nasabah debitur) telah menimbulkan hubungan hukum atau menimbulkan hak dan kewajiban dari masing-masing pihak sesuai kesepakatan yang telah mereka sepakati.

Perjanjian kredit adalah perjanjian pokok (prinsipil) yang bersifat riil sebagai perjanjian prinsipil, maka perjanjian jaminan adalah assesornya. Dengan bertambah meningkatnya pembangunan nasional yang bertitik berat pada bidang ekonomi, dibutuhkan penyediaan dana yang cukup besar, sehingga memerlukan lembaga hak jaminan yang kuat dan mampu memberikan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

Secara Umum Jaminan kredit diartikan sebagai penyerahan kekayaan atau pernyataan kesanggupan seorang untuk menanggung pembayaran kembali suatu hutang. Serta nilai dan legalitas jaminan yang dikuasi oleh bank atau yang disediakan oleh debitur harus cukup untuk menjamin fasilitas kredit yang diterima nasabah/debitur. Barang-barang yang diterima kreditur harus dikuasai atau diikat secara yuridis baik berupa akta dibawah tangan maupun akta otentik.

Kegunaan jaminan diantaranya :

1. Memberikan hak dan kekuasaan kepada kreditur untuk mendapat pelunasan dari hasil penjualan barang-barang jaminan tersebut,

(3)

apabila debitur melakukan cidera janji, yaitu membayar kembali utangnya pada waktu yang telah di tetapkan dalam perjanjian. 2. Menjamin agar debitur berperan serta dalam transaksi untuk

membiayai usahanya, sehingga kemungkinan untuk meninggalkan usaha atau proyeknya dengan merugikan sendiri atau perusahaannya dapat dicegah atau sekurang-kurangnya kemungkinan untuk berbuat demikian dapat diperkecil.

3. Memberikan dorongan kepada debitur untuk memenuhi janjinya, khususnya mengenai pembayaran kembali sesuai dengan syarat-syarat yang telah disetujui agar debitur dan atau pihak ketiga yang ikut menjamin tidak kehilangan kekayaan yang telah dijaminkan kepada bank.2

Kebendaan yang dijaminkan untuk pelunasan hutang tidak dibatasi macam ataupun bentuknya. Yang jelas kebendaan tersebut harus mempunyai nilai secara ekonomis serta memiliki sifat mudah dialihkan atau mudah diperdagangkan sehingga kebendaan tersebut tidak akan menjadi suatu beban bagi kreditur untuk menjual lelang pada waktu yaitu pada saat dimana debitur secara jelas melalaikan kewajibannya sesuai dengan ketentuan dan syarat-syarat yang berlaku dalam perjanjian pokok yang melahirkan hutang piutang tersebut.3

2 Thomas Suyatno, 1997, Dasar-Dasar Pengkreditan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 88

(4)

Di dalam penjelasan umum (4) UUHT, dijelaskan:

“Jika debitur cidera janji, kreditur pemegang hak tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahului daripada kreditur-kreditur yang lain”.

Hal di atas dipertegas pula dalam KUHPerdata pasal 1238 yang menentukan:

“Siberutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebua akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.

Untuk dapat dilaksanakannya pemberian kredit itu, harus ada suatu persetujuan antara bank sebagai kreditur dengan nasabah penerima kredit sebagai kreditur yang dinamakan perjanjian kredit. Untuk lebih mengamankan dana yang disalurkan kreditur kepada debitur, bank memerlukan tambahan pengamanan berupa jaminan khusus dan yang banyak digunakan adaa jaminan kebendaan berupa tanah. Penggunaan tanah sebagai jaminan kredit didasarkan pada pertimbangan tanah paling aman dan mempunyai nilai ekonomis yang relative tinggi.

Pada tahun 1996 sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, (untuk selanjutnya disebut sebagai UUHT) pada tanggal 9 April 1996 pengikatan obyek jaminan utang berupa tanah sepenuhnya dilakukan melalui lembaga jaminan Hak Tanggungan. UUHT mengatur lembaga jaminan yang disebut Hak Tanggungan. Lembaga jaminan Hak Tanggungan digunakan untuk mengikat obyek jaminan utang berupa tanah sebagai agunan kredit sangat diminati oleh bank, tentunya mempunyai tujuan yaitu untuk menjamin pelunasan

(5)

kredit melalui penjualan agunan secara umum yang dikenal dengan lelang, ataupun dengan cara yang dapat dimungkinkan yaitu secara dibawah tangan dalam hal debitur wanprestasi. Namun upaya tersebut adalah upaya terakhir sebelumnya telah dilakukan dengan melalui pendekatan kekeluargaan, ataupun peringatan sebelumnya. Sehingga didapatkan suatu lembaga pengikatan jaminan yang memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi semua pihak yang terkait, benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang bersangkutan dalam Pasal 1 Ayat (1) UUHT, berikan definisi Hak tanggungan sebagai berikut:

“Hak tangungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan hutang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya”.

Ada beberapa Unsur pokok dari Hak Tanggungan yang termuat dalam definisi tersebut. Unsur-unsur pokok itu adalah:

1. Hak Tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan hutang 2. Obyek hak tanggungan adalah hak atas tanah sesuai UUPA

3. Hak tanggungan dapat dibebankan atas tanahnya (hak atas tanah) saja, tetapi dapat pula dibebankan berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu. Hutang yang dijamin harus suatu hutang tertentu

(6)

4. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya.4

Hak tanggungan memang dirancang sebagai hak jaminan yang terkuat, dengan ciri khas eksekusi mudah dan pasti, akan tetapi dalam prakteknya banyak menimbulkan kendala-kendala. Seperti terjadi dalam hal nasabah bank atau debitur cidera janji pada saat akan diadakan lelang karena cidera janji maka debitur mengadakan perlawanan atau gugatan untuk menunda lelang yang dimohonkan oleh bank dengan macam-macam alasan antara lain jumlah hutang menurut debitur tidak sesuai dengan jumlah yang telah tercantum di akta perjanjian kredit atau perjanjian hutang piutang. Pihak kreditur kesulitan mengeksekusi jaminan karena debitur melakukan perlawanan melalui gugatan adapun bunyi pasal 6 UUHT adalah sebagai berikut :

“Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak tangungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak tangungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut”.

Sebelum dilakukannya eksekusi terhadap Hak Tanggungan Pada Bab IV Pasal 10 diatur tentang Tata Cara Pemberian, Pendaftaran, Peralihan, dan hapusnya Hak Tanggungan yang menentukan sebagai berikut :

Pasal 10 UUHT

(1). Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang meninbulkan utang tersebut.

4 Sutan Remy Sjahdeini, Hak tanggungan, Asas-asas Ketentuan Pokok dan Masalah

(7)

(2). Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3). Apabila obyek Hak Tanggungan berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang telah memenuhi syarat untuk didaftarkan akan tetapi pendaftarannya belum dilakukan, pemberian Hak Tanggungan dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan.

Sebelum suatu fasilitas kredit diberikan, maka bank harus merasa yakin bahwa kredit yang diberikan benar-benar akan kembali. Keyakinan tersebut diperoleh dari hasil penilaian kredit sebelum kredit tersebut disalurkan. Penilaian kredit oleh bank dapat dilakukan dengan berbagai cara untuk mendapatkan keyakinan tentang nasabahnya, seperti melalui prosedur penilaian yang benar dan sungguh-sungguh.5

Proses Pembebanan Hak Tanggungan diatur didalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. Proses pembebanan Hak Tanggungan dilakukan melalui kegiatan, yaitu:

1. Tahap pemberian Hak Tanggungan, yaitu dengan dibuatkannya Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang didahului dengan perjanjian piutang yang dijamin. Pemberian Hak Tanggungan dibuktikan dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT)6. Untuk dapat dibebani hak jaminan atas tanah,

obyek hak tanggungan yang bersangkutan harus memenuhi 4 syarat, yaitu:

5 Kasmir, 2012, Dasar-dasar Perbankan, PT Raja Grafindo, Jakarta, h.136.

6 Kian Goenawan, 2008, Panduan Mengurus Izin Tanah dan Properti, Pustaka Grhatama, Yogyakarta, h.27.

(8)

1. Dapat dinilai dengan uang;

2. termasuk hak yang didaftar dalam daftar umum; 3. mempunyai sifat dapat dipindah tangankan; 4. memerlukan penunjukan oleh undang-undang7

UUHT menetapkan cara eksekusi obyek jaminan yang dapat ditempuh (dilakukan) oleh kreditor yaitu sebagai berikut:

a. Eksekusi berdasarkan hak pemegang hak tanggungan peringkat pertama untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum dan kemudian mengambil pembayaran piutangnya dari hasil penjualan tersebut.

b. Berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat dalam Sertifikat Hak Tanggungan sesuai dengan irah-irah yang mencantumkan kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Irah irah yang dicantumkan pada Sertifikat Hak Tanggungan sudah jelas tertuang pada pasal 14 ayat 2 dan 3 UUHT dimaksudkan untuk menegaskan adanya kekuatan eksekutorialnya sehingga apabila debitur cedera janji dapat segera dieksekusi seperti halnya suatu putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, melalui tata cara sesuai dengan Hukum Acara Perdata.

Adapun bunyi Pasal 14 ayat 2 dan 3 adalah :

7 Purwahid Patrik dan Kashadi, 2008, Hukum Jaminan, Edisi Revisi dengan UUHT, (Semarang : Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang), h.56.

(9)

(2) Sertifikat hak tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat irah-irah dengan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”

(3) Sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimkasud pada ayat (2) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti grosse acte Hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah.

Obyek Hak Tanggungan (tanah dan bangunan) telah dijual dan menjadi milik pihak lain, maka kreditur sebagai pemegang jaminan tetap mempunyai hak untuk melakukan eksekusi atas jaminan tersebut jika debitur cidera janji meskipun tanah dan bangunan telah beralih dari milik debitur menjadi milik pihak lain8. Eksekusi

Hak Tanggungan terjadi apabila Debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya untuk membayar kembali hutangnya sebagaimana telah diperjanjikan tertuang dalam ketentuan Pasal 20 UUHT adalah sebagai berikut :

(1). Apabila debitor cedera janji, maka berdasarkan:

a. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau

b. Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayat 2, obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan Hak mendahulukan dari kreditor-kreditor lainnya

(2). Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan obyek Hak Tanggungan, dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak.

(3). Pelaksanaan penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan atau pemegang Hak Tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan/atau media massa setempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan.

8 Sutarno, 2003, Aspek-aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, CV. Alfabeta, Bandung, h. 155.

(10)

(4). Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi Hak Tanggungan dengan cara bertentangan dengan ketentuan pada ayat 1, ayat 2 dan ayat 3 batal demi hukum

(5) Sampai saat pengumuman untuk lelang dikeluarkan, penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat dihindarkan dengan pelunasan utang yang dijamin dengan Hak tanggungan itu berserta biaya-biaya eksekusi yang telah dikeluarkan.

Menurut penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996, penjelasan Nomor 9, salah satu ciri Hak Tanggungan adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya, jika debitor Wanprestasi. Walaupun secara umum ketentuan tentang eksekusi telah diatur dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku, dipandang perlu untuk memasukan secara khusus ketentuan tentang eksekusi Hak Tanggungan dalam undang-undang ini. Sehubungan dengan itu pada sertifikat Hak Tanggungan, yang berfungsi sebagai surat tanda bukti adanya Hak tanggungan, dibubuhkan irah-irah dengan kata-kata “ DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” untuk memberikan kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Akan tetapi apabila debitor mengalami wanprestasi/cidera janji, tidak memenuhi kewajiban, sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan, kemudian pihak kreditor mengajukan permohonan lelang eksekusi kepada Pengadilan Negeri setempat untuk melelang eksekusi atas jaminan yang telah dibebankan Hak Tanggungan, dengan cara dan prosedur yang telah ditetapkan, akan tetapi apabila debitor wanprestasi melakukan perlawanan dengan cara melakukan gugatan atas permohonan lelang eksekusi tersebut maka pihak pengadilan akan menunda proses lelang eksekusi tersebut dan memilih menyidangkan perlawan/

(11)

Gugatan dari debitor tersebut, sehingga salah satu ciri Hak Tanggungan adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya, tetapi dalam pelaksanaanya tidak mudah dan tidak pasti, karena menunggu hasil keputusan dari perlawanan/ gugatan dari debitor tersebut, walaupun perlawanan atau gugatan pada azasnya tidak menangguhkan eksekusi dan pengecualiannya.

Dari pasal-pasal yang telah disebutkan yaitu pada Pasal 6, Pasal 14 dan Pasal 20 UUHT menurut penulis terjadi inkonsisten pada pasal-pasal tersebut dikarenakan karena bila ada perlawanan hukum yaitu berupa gugatan terhadap permohonan lelang eksekusi yang dilakukan oleh debitur yang wanprestasi maka pelaksanaan lelang eksekusi yang dimohonkan ditunda oleh Pengadilan Negeri.

Secara umum istilah verzet diartikan perlawanan, perlawanan merupakan upaya hukum terhadap putusan. Perlawanan tergolong upaya hukum biasa yang sifatnya menghentikan pelaksanaan putusan untuk sementara. Selain Perlawanan yang termasuk upaya hukum biasa adalah banding dan kasasi. Perlawanan tereksekusi terhadap sita eksekusi barang bergerak dan barang yang tidak bergerak, diatur dalam pasal 207 HIR atau pasal 225 RBg. Perlawanan ini pada azasnya tidak menangguhkan eksekusi (Pasal 207 ayat (3) HIR atau 227 RBg). Namun, eksekusi harus ditangguhkan, apabila segera nampak, bahwa perlawanan tersebut benar dan beralasan, paling tidak sampai dijatuhkannya putusan oleh Pengadilan Negeri. Terhadap putusan dalam perkara ini, barulah permohonan banding diperkenankan.

Oleh karena hal tersebut Kepastian hukum dari UUHT belumlah jelas, berdasarkan latar belakang tersebut akan dilakukan penelitian lebih lanjut yang

(12)

akan dituangkan dalam bentuk Tesis yang berjudul “PERLAWANAN HUKUM TERHADAP PERMOHONAN LELANG EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN OLEH DEBITUR WANPRESTASI” sangat aktual dan menarik untuk diteliti selain dari penelusuran penulis, penelitian terkait belum pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti lainnya.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah kekuatan eksekutorial Hak Tanggungan apabila Debitur yang wanprestasi melakukan perlawanan atas permohonan lelang eksekusi dari Kreditur?

2. Bagaimanakah akibat hukum dengan adanya perlawanan hukum terhadap permohonan lelang eksekusi Hak Tanggungan oleh Debitur Wanprestasi?

1.3. Ruang Lingkup Masalah

Untuk memperoleh uraian yang lebih jelas, terarah dan sistematis, dirasa perlu dilakukan pembatasan ruang lingkup masalah. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari penulisan yang menyimpang dari judul penelitian tersebut. Adapun ruang lingkup masalah dalam usulan penelitian ini yang diberi judul Perlawanan Hukum Terhadap Permohonan Lelang Eksekusi Hak tanggungan oleh Debitur Wanprestasi Meliputi (1) Sertifikat Hak Tanggungan. (2) Perlawanan dari Debitur (3) Lelang Eksekusi.

1.4. Tujuan Penelitian

(13)

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam UUHT, mengenai Kepastian Ketentuan Pelaksanaan Eksekusi Hak Tanggungan Terhadap Debitur Wanprestasi Yang Melakukan Perlawanan, setelah berlakunya UUHT. 1.4.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk menemukan jawaban dari permasalahan yaitu :

1. Untuk mengetahui, menganalisis, dan mengaplikasikan Ketentuan Undang-Undang No 4 Tahun 1996 Dalam Perlawanan Hukum Terhadap Permohonan Lelang Eksekusi Hak Tanggungan oleh Debitur Wanprestasi.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi Ketentuan Undang Undang No 4 Tahun 1996 Dalam Perlawanan Terhadap Permohonan Lelang Eksekusi Hak Tanggungan oleh Debitur Wanprestasi.

1.5. Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Teoritis

Dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu hukum, serta dapat memecahkan problema kongkret mengenai Perlawanan Hukum

(14)

Terhadap Permohonan Lelang Eksekusi Hak Tanggungan oleh Debitur Wanprestasi.

1.5.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis yaitu : 1. Bermanfaat bagi pemerintah sebagai bahan masukan dan

pertimbangan dalam rangka membuat kebijakan mengenai Perlawanan Hukum Terhadap Permohonan Lelang Eksekusi Hak Tanggungan oleh Debitur Wanprestasi, sehingga dapat menyelesaikan permasalahannya serta dapat melindungi baik pihak debitur maupun kreditur.

2. Bermanfaat bagi debitur dan kreditur khususnya, serta masyarakat pada umumnya agar mengetahui tentang adanya Perlawanan Hukum Terhadap Permohonan Lelang Eksekusi Hak Tanggungan oleh Debitur Wanprestasi.

1.6 Orsinilitas Penelitian

Setelah ditelusuri melalui judul-judul tesis yang ada di Indonesia melalui penelusuran dengan media internet ditemukan beberapa judul tesis yang menyangkut mengenai Hak Tanggungan. Adapun judul-judulnya adalah sebagai berikut :

Tesis Pertama yang berjudul “Analisa yuridis eksekusi hak tanggungan di Pengadilan Negeri Semarang” oleh Sugeng Nugroho, Program Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro 2009 dengan rumusan masalah:

(15)

1. Bagaimana praktek penyelesaian sengketa lelang eksekusi di pengadilan negeri semarang?

2. Bagaimana kelebihan dan kekurangan penyelesaian eksekusi melalui hak tanggungan di pengadilan negeri semarang ?

Tesis Kedua yang berjudul “Pelaksanaan parete eksekusi hak tanggungan sebagai alternatif penyelesaian kredit bermasalah di PT Bank Permata tbk” oleh Yordan Demesky, Program Magister Ilmu Hukum Universitas Indonesia 2011 dengan rumusan masalah:

1. Bagaimana peranan parate eksekusi hak tanggungan dalam menyelesaikan kredit bermasalah di PT Bank Permata tbk?

2. Apa kendala kendala yang dihadapi oleh PT Bank Permata tbk dalam melaksanakan parate eksekusi hak tanggungan?

3. Apakah undang-undang hak tanggungan telah konsisten mengatur mengenai parate eksekusi hak tanggungan?

Tesis Ketiga yang berjudul “kedudukan benda jaminan yang dibebani hak tanggungan apabila terjadi eksekusi dalam hal debitur pailit dari persepektif hukum kepailitan” oleh Lily Mayheni, Program Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana 2012 dengan rumusan masalah:

1. Bagaimana kedudukan jaminan yang telah dibebani dengan hak tanggungan apabila debitur pailit?

2. Bagaimana pengaturan hukum tentang eksekusi terhadap benda jaminan dalam hal debitur pailit?

(16)

Dengan memperhatikan tesis-tesis yang diuraikan diatas sangat berbeda dengan penulisan tesis ini yang menyangkut efektifitas Ketentuan UUHT. Adapun pokok-pokok permasalahan dari tesis yang akan di bahas penulis adalah :

1. Bagaimanakah kekuatan eksekutorial Hak Tanggungan apabila Debitur yang wanprestasi melakukan perlawanan hukum atas permohonan lelang eksekusi dari Kreditur?

2. Bagaimanakah akibat hukum dengan adanya perlawanan hukum terhadap permohonan lelang eksekusi Hak Tanggungan oleh Debitur Wanprestasi?

1.7. Landasan Teoritis

Teori hukum merupakan ilmu yang mempelajari pengertian-pengertian pokok dan system dari hukum sebagai temuan yang bersifat teoritikal di bidang hukum oleh para pakar hukum melalui kajian penelitiannya,“A theory is a set of interrelated constructs (concepts), definitions, and propositions that present a systematic view of phenomena by specifying relations among variables, with the purpose of explaining and predicting the phenomena”9 (Teori adalah suatu rangkaian konsep, definisi, dan proposisi yang dipresentasikan secara sistimatis dengan menspesifikasikan hubungan antara variable, dengan tujuan menjelaskan dan memprediksi suatu fenomena). Untuk mengkaji dan menjawab masalah yang ada dalam tesis ini digunakan teori sebagai berikut;

9 Nasution Bahder Johan, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju,

(17)

A. Teori Kepastian Hukum

Keberlakuan hukum dalam masyarakat harus memperhatikan kepastian hukum di dalamnya agar hukum tersebut diterima oleh masyarakat. Kepastian hukum menunjuk keadaan pemberlakuan hukum yang jelas, tetap, konsisten, dan konsekuen yang pelaksanaanya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif. Kepastian hukum menurut Gustav Radbruch dalam Theo Huijbers adalah :

Hubungan antara keadilan dan kepastian hukum perlu diperhatikan. Oleh sebab itu kepastian hukum harus dijaga demi keamanan dalam Negara, maka hukum positif selalu harus ditaati, pun pula kalau isinya kurang adil, atau juga kurang sesuai dengan tujuan hukum. Tetapi terdapat kekecualian, yakni bilamana pertentangan antara isi tata hukum dan keadilan menjadi begitu besar, sehingga tata hukum itu Nampak tidak adil pada saat itu tata hukum itu boleh dilepaskan.10

Menurut Peter Mahmud Marzuki mengenai konsep kepastian hukum mengemukakan:

Kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu bagi kesewenangan pemerintah karena adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang, melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim yang lainnya untuk kasus serupa yang telah diputus.11

Menurut L.JVan Apeldoorn, kepastian hukum mempunyai dua segi. Pertama, mengenai soal dapat ditentukannya (bepaalbaarheid) hukum dalam hal-hal uang konkret. Artinya pihak-pihak yang mencari keadilan ingin mengetahui

10 Theo Huijebers, 1982, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yoyakarta, h. 163

11 Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta (Selanjutnya disingkat Peter Mahmud Marzuki I) h. 158.

(18)

apakah yang menjadi hukumnya dalam hal yang khusus, sebelum ia memulai perkara. Kedua kepastian hukum berarti keamanan hukum. artinya, perlindungan bagi para pihak terhadap kesewenangan hakim.12

Menurut Jan Michiel Otto, Kepastian hukum yang sesungguhnya memang lebih berdimensi yuridis. Untuk itu ia mendefinisikan kepastian hukum sebagai kemungkinan bahwa dalam situasi tertentu:

a. Tersedia aturan-aturan yang jelas, konsisten dan mudah diperoleh (accessible), diterbitkan oleh dan diakui Negara;

b. Instansi-instansi pemerintah menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya; c. Warga secara prinsipil menyesuaikan prilaku mereka terhadap

aturan-aturan tersebut;

d. Hakim-hakim (Peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka menyelesaikan sengketa hukum, dan;

e. Keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan.13

Teori kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengetian, yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa kemananan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena adanya aturan hukum yang

12 Shidarta, 2006, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berfikir, PT. Revika Aditama, Bandung, h.82-83.

(19)

bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu.14

Keterkaitan teori kepastian hukum dengan tesis ini dipergunakan untuk memberikan kepastian hukum kepada kreditur selaku pemberi kredit dimana jaminannya berupa tanah yang telah bersertifikat hak tanggungan sehingga dalam prosesnya kreditur merasa yakin untuk memberikan kreditnya kepada debitur karena sudah adanya pengikatan kredit melalui lembaga hak tanggungan.

Teori Perlawanan

a. Pengertian Teori Perlawanan

Perlawanan merupakan upaya untuk mencegah atau menangkis dari adanya intimidasi dari pihak lain, baik yang dilakukan oleh negara, perusahaan maupun yang dilakukan oleh pengusaha ekonomi kuat. Teori yang menganalisis tentang hal ini, disebut dengan teori perlawanan. Istilah teori perlawanan berasal dari bahasa inggris, yaitu resistance theory, sedangkan dalam bahasa belanda disebut bestrijding atau tenegnstelling theorie. Secara leksikal, perlawanan dimaknakan sebagai perjuangan, usaha mencegah (menangkis, bertahan) atau pertentangan.15Hall dan Bennet menyajikan konsep teoritis tentang

perlawanan. Hall mengemukakan bahwa:

“Konsep tentang perlawanan bukan sebagai suatu kualitas atau tindakan yang tetap, melainkan sebagai suatu yang rasional dan konjongtural. Artinya, perlawanan tidak dipahami sebagi suatu yang tunggal dan universal, sebagai suatu 14 Peter Mahmud Marzuki I, Op.cit, h. 137

15 Halim HS, 2014, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan Disertasi, Jakarta: RajaGrafindo Persada, h.223

(20)

tindakan yang mendefinisikan dirinya untuk segala waktu; perlawanan dilihat sebagai suatu yang terbentuk oleh berbagai repetoar yang maknanya bersifat khusus untuk waktu, tempat dan hubungan sosial tertentu.”16

Sementara itu, Bennet mengartikan perlawanan adalah :

“Hubungan yang defensif dengan kekuasaan kultural yang diambil oleh kekuatan-kekuatan sosial yang subordinat di bawah kondisi di mana bentuk-bentuk kekuasaan kultural yang dipersoalkan muncul dari sebuah sumber yang jelas dialami sebagai sesuatu yang eksternal dan lain, artinya perlawanan berangkat dari hubungan-hubungan kekuasaan dan subordinasi di mana sebuah kebudayaan yang mendominasi berusaha memaksakan dirinya dari luar untuk mempengaruhi pada budaya-budaya subordinat”.17

Dalam konsep ini, perlawanan dimaknakan sebagai hubungan kekuasaan yang lebih tinggi yang memaksakan dirinya untuk memengaruhi budaya-budaya yang lebih rendah. Dalam definisi diatas, hanya disajikan tentang pengertian perlawanan itu sendiri, sedangkan pengertian teori perlawanan tidak disajikan oleh ahli tersebut. Menurut hemat penulis, yang diartikan dengan teori perlawanan atau teori resistensi adalah :

“Teori yang mengkaji dan menganalisis bentuk perlawanan yang dilakukan oleh kaum tani, buruh atau kaum lemah untuk menangkis atau mencegah terjadinya penindasan dari negara atau perusahaan terhadap harta benda kaum atau petani”

Unsur-Unsur teori perlawanan, meliputi:

1. Objek kajiannya, yaitu bentuk perlawanan;

2. Subjeknya, yaitu kaum lemah atau petani versus negara atau perusahaan atau kaum kaya;

16 Syafruddin, 2006, Perlawanan Perempuan sasak (Perspektif Feminisme), Mataram: Mataram University Press, h. 11

(21)

3. Tujuan melakukan perlawanan, yaitu mencegah terjadinya penidasan atau dipenuhinya permintaan mereka.

James C. Scoot membagi jenis perlawanan menjadi tiga macam, yang meliputi:

a. Berdasarkan kelasnya;

b. Perlawanan yang sesungguhnya; c. Perlawanan yang bersifat insidental.18

Perlawanan (resistensi) penduduk desa dari kelas yang lebih rendah adalah tiap (Semua) tindakan (para) anggota kelas itu dengan maksud untuk melunakkan atau menolak tuntutan-tuntutan (misalnya : sewa, pajak, penghormatan). Yang dikenakan oleh kelas itu pada kelas diatasnya (misalnya: negara, tuan tanah, pemilik mesin, pemberi pinjaman uang) atau untuk mengajukan tuntutan sendiri (misalnya, pekerjaan, rumah, lahan, kemurahan hati dan penghargaan) terhadap kelas-kelas diatasnya.

Sifat perlawanan yang sesungguhnya, yaitu :

a. Terorganisir, sistematis dan koorperatif; b. Tanpa pamrih;

c. Mempunyai akibat-akibat revolusioner;

d. Mengandung gagasan dan tujuan yang meniadakan dasar dari dominasi itu sendiri.

Sifat perlawanan yang insidental, yaitu:

a. Tidak teroganisir, tidak sistematis dan individual; b. Bersifat untung-untungan dan berpamrih;

c. Tidak mempunyai akibat-akibat revolusioner; dan

18 James C Scoot, 1993, Perlawanan Kaum Tani, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia , h. 302

(22)

d. Maksud dan logikanya mengandung arti penyesuaian dengan sistem dominasi yang ada.

Perbedaan ini penting bagi setiap analisis yang bertujuan untuk mencoba menggambarkan berbagai bentuk perlawanan, baik yang dilakukan oleh negara maupun yang dilakukan oleh perusahaan terhadap masyarakat. Sadikin Gani, mengemukakan tiga bentuk perlawanan kaum tani terhadap negara maupun terhadap perusahaan yang merugikan mereka. Ketiga bentuk perlawanan itu, meliputi:

a) Perlawanan petani merupakan upaya-upaya yang dilakukan petani untuk menentang dan menolak segala bentuk keputusan yang mengakibatkan hilangnya hak penguasaan/kepemilikan mereka atas sebidang tanah merupakan salah satu bentuk gerakan sosial. Gerakan sosial yang dimaksud disini adalah upaya-upaya yang dilakukan sekelompok orang untuk melakukan perubahan, atau mempertahankan keadaan yang menyangkut kehidupan yang menyangkut kehidupan sosial, ekonomi dan politik dalam sebuah masyarakat;

b) Konflik agraria (tanah) merupakan gejala dan/aau peristiwa yang timbul dari adanya perlawanan dari sekelompok orang yang mengidentifikasi dirinya sebagai petani, termasuk pihak-pihak yang mendukung perlawanan petani terhadap kelompok masyarakat lain, atau institusi pemerintah maupun perusahaan yang tidak mengakui dan/atau merebut hak penguasaan/pemilikan petani atas sebidang tanah yang mereka akui dan yakini sebagai miliknya;

(23)

c) Jika konflik agraria diletakkan dalam kerangka gagasan reforma agraria, maka konflik dalam konteks reforma agraria lebih bermakna sebagai strategi perjuangan petani untuk mendorong pelaksanaan reforma agraria. Sementara itu, penulis berpendapat bentuk perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat/petani terhadap negara atau perusahaan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:

a) Bentuk perlawanan yang sesuai dengan hukum b) Bentuk perlawanan yang bertentangan dengan hukum

Perlawanan yang sesuai dengan hukum, yaitu demontrasi. Sedangkan yang tidak sesuai dengan hukum, meliputi intimidasi, perusakan, pembakaran, dan lain-lain. Teori Perlawanan dikembangkan oleh james C. Scoot, Samuel L Popkin, Gramsci, dan Hotma Siahaan. James C. Scoot mengemukakan sebuah teori perlawanan yang dinamakan dengan bentuk-bentuk perlawanan sehari-hari para petani. Ia mengemukakan bahwa:

“Bentuk-bentuk perlawanan yang digunakan oleh petani dalam melindungi kepentingannya adalah dengan cara menghambat berpura-pura, pura-pura menurut, mencopet, pura-pura tidak tahu, memfitnah, pembakaran, sabotase, dan sebagainya. Ia menyebutnya gaya perlawanan petani sehari-hari dengan gaya Brechtian”.

Dalam permasalahan yang akan di bahas dalam tesis ini teori Perlawanan sangat cocok digunakan sebagai pisau analisis dalam membahas dan membedah rumusan masalah ke dua karena dalam rumusan masalah ke dua banyak membahas mengenai akibat hukum dengan adanya perlawanan hukum terhadap permohonan lelang eksekusi oleh Debitur wanprestasi ke pihak Kreditur .

(24)

Untuk memperoleh, mengumpulkan, serta menganalisa setiap data atau informasi yang sifatnya ilmiah, diperlukan suatu metode agar karya tulis ilmiah mempunyai susunan yang sistematis dan konsistensi.19

1.8.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan hukum primer dan sekunder, yaitu bahan hukum yang bersumber dari berbagai peraturan perundang-undangan dan bahan lain dari berbagai literatur. Penelitian hukum yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

- Beranjak dari adanya inkonsistensi dalam norma/asas hukum - Tidak menggunakan hipotesis

- Menggunakan landasan teori

- Menggunakan bahan hukum yang terdiri atas bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.20

Jenis penelitian ini digunakan karena berangkat dari adanya inkonsistensi norma mengenai kekuatan eksekutorial Eksekusi Hak Tanggungan karena apabila debitor mengalami wanprestasi/cidera janji, tidak memenuhi kewajiban, sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan, kemudian pihak kreditor mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri setempat untuk melelang eksekusi atas jaminan yang telah dibebankan Hak Tanggungan, dengan cara dan prosedur yang

19 Iqbal Hasan M., 2002, Pokok-pokok Materi Metode Penelitian dan Aplikasinya. Cet.I Ghalia Indonesia, h. 43

20 Soejono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

(25)

telah ditetapkan, akan tetapi apabila debitor wanprestasi melakukan perlawanan dengan cara melakukan perlawanan atas permohonan lelang eksekusi tersebut maka pihak pengadilan akan menunda proses lelang eksekusi tersebut dan memilih menyidangkan perlawan/Gugatan dari debitor tersebut, sehingga salah satu ciri Hak Tanggungan adalah mudah dan pasti dalam eksekusinya, tetapi dalam pelaksanaan normanya tidak mudah dan tidak pasti, karena menunggu hasil keputusan dari perlawanan/gugatan dari debitor tersebut, walaupun perlawanan atau gugatan pada azasnya tidak menangguhkan eksekusi dan pengecualiannya.

1.8.2 Jenis Pendekatan

Sebagai penelitian hukum normatif, pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Pendekatan Perundang-undangan (The Statue Apperoach) dan Pendekatan Kasus (The Case Approach) dengan menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai dasar awal melakukan analisis.

1. Pendekatan Perundang-undangan (The Statue Approach) dilakukan peneltian sinkronsasi perundang-undangan baik vertical maupun horizontal. Dalam penulisan tesis ini pendekatan ini digunakan untuk mensinkronisasikan peraturan perundang-undangan yang akan digunakan dalam hal eksekusi hak tanggungan oleh debitur wanprestasi.

2. Pendekatan kasus (The Case Approach), peneliti harus memahami

ratiodecidendi yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk sampai kepada putusannya. Racio decidendi inilah yang

(26)

menunjukkan bahwa ilmu hukum merupakan ilmu yang bersifat preskriptif bukan deskriptif. Yang dalam hal ini tesis mengemukakan kasus mengenai perlawanan dari debitur cidera janji kepada pihak kreditur yang akan melakukan lelang eksekusi.

1.8.3 Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini diperoleh dari sumber bahan hukum primer dan sumber bahan hukum sekunder, sebagai berikut:

1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat

autoratif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan yang dipergunakan sebagai bahan hukum dalam penulisan tesis ini yaitu:

• Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

• Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1960 Nomor 104)

• Undang-Undang No 4 tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3632)

(27)

• Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan jo. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

2. Bahan Hukum sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi meliputi buku literature, jurnal hukum, makalah, tesis, artikel ilmiah dan komentar-komenta atas putusan. Bahan-bahan hukum sekunder yang berupa hukum harus relevan dengan topik penelitian.21

1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Dalam penelitian ini, bahan hukum dikumpulkan melalui penelitian kepustakaan yaitu memahami dan mengkaji lebih mendalam tentang literatur dan peraturan perundang-undangan yang ada korelasinya dengan pembahasan baik langsung maupun tidak langsung.22

1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum

Dari bahan hukum yang telah dikumpulkan baik hukum primer maupun bahan hukum sekunder maka bahan hukum yang ada tersebut diolah dan dianalisis secara diskriptif yaitu memaparkan dan menganalisi hasil temuan yang diperoleh dari bahan-bahan hukum tertulis, disusun secara sistematis sehingga diperoleh suatu kesimpulan yang obyektif untuk mengarahkan dan memberikan

21 Soejono Soekanto dan Sri Madmuji, Op.Cit, H.13-14

22 Amirudin dan H.Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.58

(28)

gambaran secara jelas dan logis, artinya ada hubungan dan keterkaitan antara bahan hukum satu dengan bahan hukum lainnya untuk mendapatkan gambaran mengenai obyek permasalahan yang diteliti yaitu perlawanan terhadap eksekusi Hak tanggungan oleh debitur wanprestasi.

Referensi

Dokumen terkait

Ada beberapa metode untuk melakukan pengujian ini, salah satu diantaranya adalah metode “dye test” seperti yang dilakukan oleh Noakes dan Sleigh (2009). Pengujian yang dimaksud

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan nikmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan

Para pemegang saham, Dalam laporan kedua selama menjabat selaku Komisaris Utama, dengan gembira kami melaporkan bahwa bank Anda telah menghasilkan kinerja yang sangat baik di tahun

Nilai speedup semakin bertambah seiring dengan bertambahnya jumlah node dan thread yang digunakan, namun nilai speedup yang diperoleh baik pada implementasi

aureus resisten terhadap antibiotik ciprofloxacin (15%), cefotaxime (31%), dan cefadroxil (8%), sedangkan bakteri Gram negatif yang mengalami resistensi tertinggi

Jika seseorang itu percaya bahawa kitar semula dapat membantu dalam memulihkan alam sekitar yang kini mempunyai sumber yang amat terhad dan dapat menjimatkan kos dengan

Perubahan karakteristik hubungan tripusat pendidikan tersebut antara lain: (1) menitikberatkan perhatian pada siswa secara keseluruhan, baik aspek akademis maupun

D/A : Jabatan Agama Islam Negeri Perak, Tingkat 5, Kompleks Islam Darul Ridzuan, Jalan Panglima Bukit Gantang Wahab, 30000 Ipoh, Perak. Yahanis